bab ii tinjauan pustaka

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Sejarah HIV/AIDS Sejarah tentang HIV/AIDS di dunia dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi . Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Di Amerika Utara dan Inggris, epidemik pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada saat ini epidemik terjadi juga pada pengguna obat dan pada populasi heteroseksual. Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987, terjadi pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus HIV/AIDS terus meningkat. 4 4

Upload: tia-wasril

Post on 11-Jan-2016

212 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

VCT

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sejarah HIV/AIDS

Sejarah tentang HIV/AIDS di dunia dimulai ketika tahun 1979 di Amerika

Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis Carinii dan dua orang

gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay

muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Di Amerika Utara dan Inggris,

epidemik pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada

saat ini epidemik terjadi juga pada pengguna obat dan pada populasi

heteroseksual. Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April

1987, terjadi pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan

sampai dengan tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498

kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus

HIV/AIDS terus meningkat.4

Gambar 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2005-2011

Kasus HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari tahun 2009

ke tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup tajam hal ini disebabkan sudah

semakin baiknya teknologi informasi sehingga pencatatan dan pelaporan kasus

HIV/AIDS yang terjadi di masyarakat sudah semakin baik, serta kerjasama yang

baik dari pemerintah dan masyarakat sehingga populasi komunitas yang beresiko

dapat dijangkau dan diketahui. Kemudian di tahun 2011 terjadi sedikit penurunan

4

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

kasus HIV/AIDS hal ini dapat disebabkan penderita yang sudah meninggal dunia

dan efek dari diperkenalkan dan dijalankannya program CUP (Condom Use 100

Persen).

II.2 PENGERTIAN HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang tergolong

familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang

terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun

(kekebalan) tubuh.5 HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya

dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan

daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun. Perkembangan dari penyakit

tersebut yang disebabkan oleh virus HIV dapat menimbulkan AIDS.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan

gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi

dibuat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus (HIV).5 Penyakit ini telah menjadi masalah Internasional

karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan

semakin melanda banyak Negara. Saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang

efektif untuk pencegahan HIV/AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia.

Ketika seseorang telah terserang virus HIV namun tidak secara langsung

menyebabkan AIDS tetapi butuh waktu yang cukup lama sekitar beberapa tahun.

Saat ini belum ada obat, serum, maupun vaksin yang dapat menyembuhkan

manusia dari virus HIV penyebab penyakit AIDS.

II.3 PATOFISIOLOGI HIV/AIDS

Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu

komponen system imun akan mempengaruhi system imun secara keseluruhan.

HIV menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya,

makrofag, sel dendritic, organ limfoid. Fungsi sel T helper itu sendiri antara lain

menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan

pembentukan sel-sel lain dalam system imun dan pembentukan antibody,

sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan

penderitanya mudah terinfeksi penyakit. Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel

yang pertama kali yang terinfeksi adalah sel dendritic. Kemudian sel-sel tersebut

5

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid.

HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor

CD4. Setelah masuk kedalam tubuh, HIV akan menempel pada se yang

mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai

afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan

dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosi-limfosit CD4

yang diakumulasi di jaringan limfoid akan tampak sebagailimfadenopati dari

sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. Ketika

replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi

viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash,

limfadenopati, arthralgia) terjadi 50%-70% pada orang dewasa. Dengan

terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus

dalam darah mengalami penurunan secara substansial dan pasien memasuki masa

dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.

Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar

CD4 pada orang dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-

mediated single cell killing, formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik

yang terinfeksi maupun yang tidak, respon imun spesifik untuk virus, aktivasi

mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV), autoimun,

dan apoptosis.

Gambar 2. Imunopatogenesis HIV

6

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

Perjalanan penyakit HIV diawali dengan munculnya gejala infeksi HIV

yang disebut sindroma retroviral akut atau Acut retroviral syndrome. Sindrom

retroviral akut diikuti oleh penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV

dalam plasma (viral load). Hitung CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam

beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun

sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan

cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai titik tertentu. Dengan

berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan akan meningkat. Pada fase akhir

penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm3, diikuti timbulnya infeksi

oportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun, dan munculnya

komplikasi neurologis. Tanpa obat ARV rata-rata kemampuan bertahan setelah

CD4 turun sekitar 3,7 tahun.

Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologi untuk

antibody HIV masih menunjukkan hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah

ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita. Window period menjadi hal

yang terpenting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang dengan HIV sudah

mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang didonorkan,

bertukaran jarum suntik pada IDU atau melalui hubungan seksual. Sebenarnya

pada saat itu pemeriksaan laboratorium telah mampu mendeteksinya karena pada

window period terdapat peningkatan kadar antigen p24 secara bermakna.

II.4 PENULARAN HIV

Penyakit ini menular melalui berbagai cara. Antara lain melalui cairan tubuh

seperti darah, cairan genitalia, cairan sperma dan ASI. Virus terdapat juga pada

saliva, air mata dan urin tapi dengan konsentrasi yang sangat rendah. HIV tidak

dilaporkan terdapat dalam air mata dan keringat. Terdapat tiga cara penularan

HIV yaitu :

a. Hubungan seksual; baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang

pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 70-80% dari total

kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit

kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,

gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis.

7

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil penelitian ternyata bahwa pria homoseks penderita AIDS

mempunyai pasangan seksual yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan pria

homosekseks sehat, dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa pria yang

melakukan hubungan seksual melalui anus lebih mudah terinfeksi. Tampaknya

hubungan homoseksual merupakan cara yang paling berbahaya karena ternyata

90% mitra seksual orang-orang dengan HIV positif mengalami penularan. Secara

teoritis cara penularan melalui hubungan seksual yang paling rawan adalah

dengan teknik anal-penis (ano genital), karena teknik ini memungkinkan

terjadinya luka pada rektum. Teknik ini pada dunia barat diperkirakan lebih sering

dilakukan oleh kaum homoseksual, ditambah lagi bila tidak memakai pelindung

(kondom) dalam praktek hubungan seksualnya.

b. Kontak langsung dengan darah atau produk darah/jarum suntik;

Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi

sampai 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia

Pemakaian jarum suntik tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan

sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%

dan terdapat 5-10% dari total kasus sedunia

Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petuga kesehatan,

risikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat 0,1% dari total kasus

sedunia

c. Secara vertikal;, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama

hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan angka

transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.

II.5 Manifestasi Klinis

Infeksi HIV muncul dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah serokonversi,

tahap kedua adalah masa ketika tidak ada gejala yang muncul, dan tahap yang

ketiga adalah infeksi HIV berubah menjadi AIDS.

a. Tahap Pertama

Orang yang terinfeksi virus HIV akan menderita sakit mirip seperti flu.

Setelah ini, HIV tidak menyebabkan gejala apa pun selama beberapa tahun. Gejala

seperti flu ini akan muncul beberapa minggu setelah terinfeksi. Ini sering disebut

sebagai serokonversi. Diperkirakan sekitar 8 dari 10 orang yang terinfeksi HIV

8

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

mengalami ini. Gejala yang paling umum terjadi adalah sakit tenggorokan,

demam, muncul ruam di tubuh biasanya tidak gatal, pembengkakan noda limfa,

penurunan berat badan, diare, kelelahan, nyeri persendian, dan nyeri otot.

Gejala-gejala di atas bisa bertahan hingga satu bulan. Ini adalah pertanda

sistem kekebalan tubuh sedang melawan virus. Tapi gejala tersebut bisa

disebabkan oleh penyakit selain HIV. Kondisi ini tidak semata-mata karena

terinfeksi HIV.3

b. Tahap Kedua

Setelah gejala awal menghilang, biasanya HIV tidak menimbulkan gejala

lebih lanjut selama bertahun-tahun (masa jendela). Ini adalah tahapan ketika

infeksi HIV berlangsung tanpa munculnya gejala. Virus yang ada terus menyebar

dan merusak sistem kekebalan tubuh. Pada tahapan ini, penderita akan merasa

sehat dan tidak ada masalah. Lama tahapan ini bisa berjalan sekitar 10 tahun atau

bahkan bisa lebih.

c. Tahap Ketiga atau Tahap Terakhir Infeksi HIV

Jika tidak ditangani, HIV akan melemahkan kemampuan tubuh dalam

melawan infeksi. Dengan kondisi ini, penderita akan lebih mudah terserang

penyakit serius. Tahap akhir ini lebih dikenal sebagai AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome). Berikut ini adalah gejala yang muncul pada infeksi

HIV tahap terakhir:

• Kelenjar getah bening membengkak pada bagian leher dan pangkal paha.

• Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.

• Merasa kelelahan hampir pada tiap saat.

• Berkeringat di malam hari.

• Berat badan turun tanpa diketahui penyebabnya.

• Bintik-bintik ungu yang tidak hilang pada kulit.

• Sesak napas.

• Diare yang parah dan berkelanjutan.

• Infeksi jamur pada mulut, tenggorokan atau vagina.

• Mudah memar atau berdarah tanpa sebab.

Resiko terkena penyakit yang mematikan akan meningkat pada tahap ini.

Misalnya kanker, TB, dan pneumonia. Tapi meski ini penyakit mematikan,

9

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

pengobatan HIV tetap bisa dilakukan. Penanganan lebih dini bisa membantu

meningkatkan kesehatan.

II.6 Diagnosis

Diagnosis dini untuk menemukan infeksi HIV dewasa ini diperlukan

mengingat kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam hal pathogenesis dan

perjalanan penyakit dan juga perkembangan pengobatan.

Keuntungan menemukan diagnosis dini ialah:

a. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang

b. Menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS

c. Pencegahan infeksi oportunistik, Konseling dan pendidikan untuk kesehatan

umum

d. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase

dini.

Pada orang yang akan melakukan tes HIV atas kemauan sendiri atau

karena saran dokter, terlebih dahulu perlu dilakukan konseling sebelum dilakukan

tes. Bila semua berjalan baik, maka tes HIV dapat dilaksanakan pada individu

tersebut dengan persetujuan yang bersangkutan. Diagnosis dini ditegakkan

melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau

dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:

a. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan

menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu

cara deteksi antigen virus yang makin populer belakangan ini ialah

polymerase chain reaction (PCR).

b. Tidak langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan

ELISA, Western Blot immunofluorescent assay (IFA), atau

radioimmunoprecipitation assay (RIPA).

AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV, penderita dinyatakan sebagai AIDS

bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi-infeksi

dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita, selain infeksi dan

kanker dalam penetapan CDC 1993, juga termasuk ensefalopati, sindrom

kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 <200/ml. CDC

10

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

menetapkan kondisi dimana infeksi HIV sudah dinyatakan sebagai AIDS.

II.7 Pengobatan

Tidak ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV, tapi ada pengobatan

yang bisa memperlambat perkembangan penyakit. Perawatan ini bisa membuat

orang yang terinfeksi untuk hidup lebih lama dan bisa menjalani pola hidup sehat.

Ada berbagai macam jenis obat yang dikombinasikan untuk mengendalikan virus.

a. Obat-obatan Darurat Awal HIV

Jika merasa atau mencurigai baru saja terkena virus dalam rentan waktu

3×24 jam, obat anti HIV bisa mencegah terjadinya infeksi. Obat ini bernama post-

exposure prophylaxis (PEP) atau di Indonesia dikenal sebagai profilaksis pasca

pajanan. Profilaksis adalah prosedur kesehatan yang bertujuan mencegah dari

pada mengobati.

Pengobatan ini harus dimulai maksimal tiga hari setelah terjadi pajanan

(terpapar) terhadap virus. Idealnya, obat ini bisa diminum langsung setelah

pajanan terjadi. Makin cepat pengobatan, maka lebih baik.

Pengobatan memakai PEP ini berlangsung selama sebulan. Efek samping

obat ini serius dan tidak ada jaminan bahwa pengobatan ini akan berhasil. PEP

melibatkan obat-obatan yang sama seperti pada orang yang sudah dites positif

HIV.3

b. Hasil Tes Positif HIV

Hasil tes positif atau reaktif berarti penderita terinfeksi HIV. Tes darah

akan dilakukan secara teratur untuk mengawasi perkembangan virus sebelum

memulai pengobatan. Pengobatan dilakukan setelah virus mulai melemahkan

sistem kekebalan tubuh. Ini bisa ditentukan dengan mengukur tingkat sel CD4

dalam darah. Sel CD4 adalah sel yang bertugas untuk melawan infeksi.

Pengobatan biasanya disarankan setelah CD4 di bawah 350, meskipun

terjadi gejala atau tidak. Jika CD4 sudah mendekati 350, disarankan untuk

melakukan pengobatan secepatnya. Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan

tingkat virus HIV dalam darah. Ini juga untuk mencegah atau menunda penyakit

yang terkait dengan HIV. Kemungkinan untuk menyebarkannya juga menjadi

lebih kecil.

11

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

c. Keterlibatan Penyakit Lain

Bagi penderita hepatitis B dan hepatitis C yang juga terinfeksi HIV,

pengobatan disarankan ketika angka CD4 di bawah 500. Jika penderita HIV

sedang menjalani radioterapi atau kemoterapi yang akan menekan sistem

kekebalan tubuh, pengobatan dilakukan dengan angka CD4 berapa pun. Atau

ketika penderita juga menderita penyakit lain seperti TB, penyakit ginjal.

d. Obat-obatan Antiretroviral

Antiretroviral (ARV) adalah beberapa obat yang digunakan untuk

mengobati infeksi HIV. Obat-obatan ini tidak membunuh virus, tapi

memperlambat pertumbuhan virus. HIV bisa mudah beradaptasi dan kebal

terhadap satu golongan ARV. Oleh karena itu kombinasi golongan ARV akan

diberikan. Obat-obatan antiretroviral memperlambat replikasi sel-sel, yang berarti

memperlambat penyebaran virus dalam tubuh, dengan mengganggu proses

replikasi dengan berbagai cara antara lain:

1) Penghambat Nucleoside Reverse Transcriptase (NRTI)

HIV memerlukan enzim yang disebut reverse transcriptase untuk

mereplikasi diri. Jenis obat-obatan ini memperlambat kerja reverse

transcriptase dengan cara mencegah proses pengembangbiakkan materi

genetik virus tersebut.

2) Penghambat Non-Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)

Jenis obat-obatan ini juga mengacaukan replikasi HIV dengan

mengikat enzim reverse transcriptase itu sendiri. Hal ini mencegah agar

enzim ini tidak bekerja dan menghentikan produksi partikel virus baru

dalam sel-sel yang terinfeksi.

3) Penghambat Protease (PI)

Protease merupakan enzim pencernaan yang diperlukan dalam

replikasi HIV untuk membentuk partikel-partikel virus baru. Protease

memecah belah protein dan enzim dalam sel-sel yang terinfeksi, yang

kemudian dapat menginfeksi sel yang lain. Penghambat protease

mencegah pemecah-belahan protein dan karenanya memperlambat

produksi partikel virus baru.5

Biasanya pasien akan diberikan tiga golongan obat ARV. Kombinasi obat

12

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

ARV yang diberikan berbeda-beda pada tiap-tiap orang, jadi jenis pengobatan ini

bersifat pribadi atau khusus. Beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu

pil. Begitu pengobatan HIV dimulai, mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur

hidup. Jika satu kombinasi ARV tidak berhasil, mungkin perlu beralih ke

kombinasi ARV lainnya.

e. Konsumsi Obat Secara Teratur

Pengobatan HIV bisa berhasil jika penderita mengonsumsi obat secara

teratur (pada waktu yang sama setiap kali minum obat). Jika melewatkan satu

dosis saja, efeknya bisa meningkatkan resiko kegagalan.

f. Efek Samping Pengobatan HIV

Semua pengobatan untuk HIV memiliki efek samping yang tidak

menyenangkan. Berikut adalah contoh efek samping yang umumnya terjadi,

antara lain kelelahan, mual, ruam pada kulit, dan diare.

II.8 Pencegahan

Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah

penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan

istilah “ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV,

terutama di Uganda dan beberapa negara Afrika lain. Prisnip „ABC” ini telah

dipakai dan dibakukan secara internasional, sebagai cara paling efektif mencegah

HIV lewat hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah :

“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang

dengan pasangan (Abstinesia)

“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau

hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)

“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja

seks atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom)

Untuk penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :

“D” : Drug; “say no to drug” atau katakan tidak pada napza/narkoba

“E” : Equipment; “no sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian

Belum ada pengobatan untuk infeksi ini. Obat-obat anti retroviral digunakan

untuk memperpanjang hidup dan kesehatan orang yang terinfeksi. Obat-obat lain

digunakan untuk melawan infeksi oportunistik yang juga diderita.

13

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

Konsekuensi yang mungkin terjadi pada orang yang terinfeksi yaitu hampir semua

orang yang terinfeksi HIV akhirnya akan menjadi AIDS dan meninggal karena

komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS

Konsekuensi yang mungkin terjadi pada janin dan bayi yaitu 20-30% dari

bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan terinfeksi HIV juga dan gejala-

gejala dari AIDS akan muncul dalam satu tahun pertama kelahiran. Dua puluh

persen dari bayi-bayi yang terinfeksi tersebut akan meninggal pada saat berusia 18

bulan. Obat antiretroviral yang diberikan pada saat hamil dapat menurunkan risiko

janin untuk terinfeksi HIV dalam proporsi yang cukup besar. Kehamilan pada ibu-

ibu dengan HIV positif akan berpengaruh buruk bagi bayinya, karena itu Ibu

penderita AIDS atau HIV positif, dianjurkan untuk tidak hamil atau bila hamil

perlu dipertimbangkan secara hukum peraturan yang memperbolehkan

dilakukannya pengguguran kandungan (indikasi medis), hal ini dengan sendirinya

akan menurunkan morbiditas pada anak.

II.9 Profil Griya ASA

Aksi Stop AIDS (ASA) merupakan upaya dari pemerintah dan dunia dalam

mencegah dan memberantas penyakit HIV/AIDS yang semakin banyak di

masyarakat. ASA PKBI Jawa Tengah sebagai kelompok relawan peduli AIDS,

narkoba dan IMS yang bernaung dibawah PKBI Daerah Jawa Tengah yang lahir

pada tanggal 16 Maret 1998 karena dipicu oleh merebaknya kasus HIV-AIDS,

narkoba dan IMS di Jawa Tengah.9

Salah satu Aksi Stop AIDS (ASA) PKBI Jawa Tengah adalah program

pencegahan HIV/AIDS untuk pekerja seks. Pada tanggal 10 Januari 2002 Aksi

Stop AIDS (ASA) PKBI Jawa Tengah membagi program pencegahan HIV/AIDS

untuk pekerja seks menjadi dua yaitu, Griya ASA yang berlokasi di lokalisasi

Sunan Kuning Semarang, dan ASA TDH di jalan Argorejo 10 No.5 Kalibanteng

Kulon. Griya ASA mendapat kepercayaan untuk melakukan program ASA di

lokalisasi Sunan Kuning.9

Program ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang IMS,

HIV/AIDS kepada WPS dan pelanggannya, serta cara pencegahannya melalui

pendekatan pendampingan (Outreach). Pelaksana pendampingan adalah direkrut

dari para relawan Griya ASA PKBI Jawa Tengah. Untuk memberikan pelayanan

14

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

komprehensif, PKBI Kota Semarang mendirikan klinik IMS bagi WPS dan

pelanggannya di Sunan Kuning dan non lokalisasi sekaligus pelanggan PSK.

Dibangun juga sistem rujukan baik rujukan khusus maupun rujukan laboratorium.

Griya ASA PKBI Kota Semarang merupakan suatu program dari Lembaga

Swadaya Mayarakat (LSM) PKBI Kota Semarang yang bergerak di bidang

Kelaurga Berencana (KB), Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan

HIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang

dikategorikan kelompok resiko tinggi di wilayah Kota Semarang. Adapun

tujuannya adalah membantu Pemerintah dalam program KB, pencegahan

penularan IMS dan HIV/AIDS yang setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.

Program - program yang terdapat di Griya ASA9 :

1) Outreach (Pendampingan)

2) VCT (Konseling dan Tes Sukarela)

3) PMTCT

Hal yang perlu diketahui dari hasil testing HIV adalah :

1) Tanda Non reaktif berarti HIV belum ada di dalam tubuh

2) Tanda reaktif berarti HIV sudah ada pada tubuh

3) Indeterminate berarti perlu adanya pengulangan testing HIV karena hasil

testing HIV tidak jelas

4) Masa jendela berarti masa inkubasi HIV yaitu masa antara masuknya virus

HIV ke dalam tubuh manusia sampai terbentuknya antibody terhadap HIV

atau disebut HIV positif (umumnya 2 minggu – 6 bulan).

Penyampaian hasil testing negatif dan positif, meliputi:

1) Memberikan waktu bagi klien untuk memahami hasil tes dan bereaksi.

2) Mendampingi klien dalam mengendalikan reaksi emosional.

3) Menjelaskan makna reaktif atau nonreaktif .

4) Menjelaskan kembali cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS, terlepas

hasil tes negatif/positif.

5) Memberikan dukungan yang sesuai.

6) Membuat rencana lebih lanjut.

7) Membahas tindak lanjut medis dan strategi perubahan perilaku

15

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

II.10 VCT (Voluntary Counseling and Test)

DEFINISI

VCT (Voluntary Counselling and Test) adalah tempat pelayanan konseling

pra tes, tes HIV dan konseling paska tes secara sukarela dan rahasia bagi mereka

yang berperilaku beresiko dan diduga terinfeksi HIV/AIDS.

Konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan

konseling dan pemahaman tentanh HIV/AIDS. Voluntary atau sukarela artinya

semua klien yang akan dikonseling harus dalam bentuk sukarela, tidak boleh

dipaksa oleh karena klien posisinya lebih rendah dari konselor atau ikut konseling

karena diperintahkan oleh pasangannya. Demi untuk tidak menyebarkan HIV

mungkin suatu waktu calon pengantin perlu tes HIV. VCT merupakan pintu

masuk (entry point) untuk pencegahan dan perawatan HIV/AIDS.6

KONSELOR

Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih

keterampilan konseling HIV dan dinyatakan mampu. Konselor VCT yang berasal

dari tenaga kesehatan atau non kesehatan yang telah mengikuti pelatihan VCT.

Tenaga konselor VCT minimal dua orang dan tingkat pendidikan konselor VCT

adalah SLTA sederajat.

Ada 4 jenis konselor yang kompeten memberikan layanan konseling

berdasarkan model implementasi dan strategi untuk meningkatkan layanan VCT,

yaitu :

a) Konselor sebaya (Peer Counsellor), konselor yang mempunyai latar

belakang sama dengan klien (termasuk ODHA)

b) Konselor awam (Lay Counsellor), konselor yang melakukan konseling

pre dan pos tes pada kasus yang biasa tanpa komplikasi

c) Konselor profesional (Professional Counsellor), konselor dengan latar

belakang tertentu dokter, psikolog, pekerja sosial, perawat

d) Konselor senior (Senior Counsellor), konselor berpengalaman dan

memiliki pendidikan konseling dan psikoterapi, tugasnya memberikan

dukungan dan supervisi bagi konselor lainnya.

16

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

Tugas konselor VCT adalah:

a. Mengisi kelengkapan pengisian formulir klien, pendokumentasian dan

pencatatan konseling klien dan menyimpannya agar kerahasiaan klien

terjaga.

b. Pembaharuan data dan pengetahuan HIV/AIDS

c. Membuat jejaring eksternal dengan layanan pencegahan dan dukungan di

masyarakat dan jejaring internal dengan berbagai rumah sakit yang terkait

d. Memberikan informasi HIV/AIDS yang relevan dan akurat, sehingga klien

merasa berdaya untuk membuat pilihan untuk melaksanakan testing atau

tidak. Bila klien setuju untuk melakukan testing, konselor perlu mendapat

jaminan bahwa klien benar-benar menyetujuinya melalui penandatanganan

informed consent tertulis.

e. Menjaga bahwa informasi yang disampaikan klien kepadanya adalah

bersifat pribadi dan rahasia. Selama konseling paska tes konselor harus

memberikan informasi lebih lanjut seperti dukungan psikososial dan

rujukan. Informasi ini diberikan baik kepada klien dengan HIV positif

maupun negatif

f. Pelayanan khusus yang diberikan kepada kelompok perempuan dan

mereka yang dipinggirkan, sebab mereka sangat rawan terhadap tindakan

kekerasan dan diskriminasi.

Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor adalah:

a. Memahami perasaan yang dikonselingkan sehingga dapat menampung dan

memahami perasaan-perasaan negatif yang dikeluhkan klien

b. Dalam kaitanya dengan HIV/AIDS seorang konselor harus memahami

faktor-faktor yang berhubungan dengan cara penularan, akibat dari

ketertularan, dan proses perkembangan penyakit selanjutnya, serta sikap

dan pandangan masyarakat umum terhadap HIV/AIDS

c. Menimbulkan hubungan yang baik bagi klien dan menjadi pendengar yang

baik dan dapat menyimpan rahasia

d. Mempunyai sikap akseptasi dan empati terhadap klien

e. Mampu menyelami jalan pikiran dan perasaan klien tanpa terbawa oleh

masalah dan perasaan klien6

17

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

PRINSIP

Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)

Sukarela dalam melaksanakan testing HIV. Pemeriksaan HIV hanya

dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan.

Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan terletak di tangan klien. Testing

dalam VCT bersifat sukarela shingga tidak direkomendasikan untuk

testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual,

rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan

Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan harus

bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua

informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiannya oleh

konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar

konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam

tempat yang tidak dapat dijangkau oleh pihan yang tidak berhak.

Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif. Konselor

mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti

pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku beresiko.

Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima

hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

Testing merupakan salah satu komponen dari VCT. WHO dan Departemen

Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk

melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh

konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang

disetujui oleh klien.7

Tujuan program layanan VCT :

1. Meningkatkan kesadaran populasi beresiko tentang status kesehatan HIV-

nya

2. Meningkatkan kesadaran populasi beresiko untuk membuat keputusan dan

mempertahankan perubahan perilaku yang aman terhadap penularan HIV

3. Meningkatkan jumlah populasi beresiko dan anggota keluarganya dalam

upaya mencegah perluasan penularan HIV

18

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

4. Membantu mereka yang teridentifikasi terinfeksi untuk segera mendapat

pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan

Yang menjadi target sasaran program layanan VCT :

1. Pengguna Napza suntik (Penasun atau IDUs)

2. Pasangan seks tetap dari IDUs yang bukan IDUs

3. Pekerja seks perempuan langsung

4. Pekerja seks perempuan tak langsung

5. Pekerja seks laki-laki

6. Gay atau LSL

7. Waria penjaja seks

8. Pelanggan dari pekerja seks perempuan atau laki-laki

9. Pasagan tetap dari pelanggan PSK

MANFAAT VCT

a. Pada Individu

Membantu ODHA mengatasi stres dan membuat keputusan

keputusan pribadi berkaitan dengan nasibnya.

Mengurangi risiko pribadi untuk tertular HIV

Membantu ODHA untuk menerima nasibnya

Mengarahkan ODHA untuk menerima pelayanan yang dibutuhkan

Merencanakan perubahan perilaku

Merencanakan perawatan untuk masa depan

Meningkatkan kualitas kesehatan pribadi

Mencegah infeksi HIV dari ibu ke bayi

Menfasilitasi akses pelayanan sosial

Menfasilitasi akses pelayanan medis (Infeksi oportunistik, IMS,

OAT, ARV)

Memfasilitasi kegiatan dan dukungan sebaya

b. Pada masyarakat

Memutus rantai penularan HIV dalam masyarakat

Mengurangi stigma masyarakat.

Mendorong masyarakat dan pihak yang terkait untuk memberi

dukungan pada ODHA

19

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

Alur VCT

Gambar 3. Alur VCT

20

Administrasi: pendaftaran dan pembayarn

Pre Test: Informasi HIV dan Persetujuan (Informed Consent)

Tes: Pengambilan sampel darah dan pemeriksaan laboratorium

Hasil Pemeriksaan

Post Test: informasi hasil dan konseling hasil tes

Hasil negative:pemeriksaan ulang 3 bulan berikutnya

Hasil positif:

Analisa kesiapan pasien Manajemen reaksi emosi dan

dukungan reaksi psikologis Perencanaan dukungan dan

perawatan Info layanan klinik, KDS, MK,

ARV Rencana penurunan resiko Rukukan konseling, MK, KDS,

layanan kesehatan, PL, PMTCT

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

3. HASIL TEST VCT

Tabel 1. Perencanaan pemberian informasi hasil test laboratorium dan

Konseling post Test

Hasil Test (-) Hasil Test (+)

- Menegaskan kembali cara

penularan dan pencegahan

HIV/AIDS.

- Membantu merencanakan

perubahan perilaku yang lebih

sehat dan aman.

- Memberi dukungan untuk

mempertahankan perilaku yang

lebih sehat.

- Anjuran untuk melakukan VCT

kembali 3 bulan berikutnya.

- Sampaikan berita dengan hati-hati.

- Sediakan waktu untuk diskusi.

- Bantu adaptasi dengan situasi.

- Buat rencana tepat dan rasional.

- Konseling berkelanjutan melibatkan

kelurga, teman, dan lingkungan.

- Dorongan untuk mengurangi

penularan, motivasi untuk

menurunkan risiko penularan.

- Kenali sumber dukungan lain,

termasuk layanan medik RS dan

perawatan rumah.

- Merujuk pada manajemen kasus.

21

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka

4. DATA KUNJUNGAN VCT

Tabel 2. Data kunjungan VCT Maret s/d Juni tahun 2015 di Griya ASA

Bulan

(Tahun 2015)

Jumlah

Kunjungan

Test Reaktif Keterangan

Maret 114 114 0 37 WPS, 1 pasangan risti, 76 lain-lain

April 75 75 1

(LSL)

62 WPS, 4 LSL, 8 pasangan risti, 1 lain-

lainMei 132 132 1

(LSL)

54 WPS, 1 LSL, 1 IDU, 76 lain-lain

Juni 62 62 2

(1 LSL,

1 lain-

lain)

39 WPS, 2 LSL, 21 lain-lain

Keterangan:

Lain-lain: diluar LSL, waria, WPS, PPS, IDU, WBP, pasangan resiko tinggi,

pelanggan PSK

Berdasarkan data kunjungan VCT pada bulan Maret – Juni 2015

didapatkan rata-rata jumlah kunjungan VCT sebanyak 96 orang per bulan, dengan

cakupan pemeriksaan 100% pada pengunjung VCT. Berdasarkan data tersebut

ditemukan 0 kasus baru HIV reaktif pada bulan Maret, 1 kasus baru bulan April, 1

kasus baru bulan Mei, dan 2 kasus baru pada bulan Juni 2015. Target jumlah

kunjungan setiap bulannya adalah sebanyak ±200 orang per minggu, namun jika

dilihat dari data di atas dimana rata-rata jumlah kunjungan hanya 96 orang per

bulan, maka dapat dikatakan kunjungan VCT setiap bulan belum memenuhi

target.

22

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka

5. KENDALA VCT

Hal-hal yang menjadi kendala dalam kegiatan VCT di Griya ASA adalah:

Tabel 4. Kendala yang dihadapi dalam kegiatan VCT

PRE-TEST TEST POST-TEST

1. Calon klien masih

kurang memahami

pentingnya dan

manfaat dari VCT

2. Calon klien enggan

datang berkunjung

karena paradigma

negatif tentang HIV

AIDS di masyarakat

3. Masih ada WPS

yang tidak disiplin

dalam mengikuti

kegiatan sesuai jadwal

(pembinaan, tes

skrining)

4. Masih banyak

pengasuh wisma yang

tidak mendukung

program VCT

- 1. Sikap klien dengan hasil tes

reaktif yang menolak untuk

berobat karena merasa masih

sehat

2. Perilaku klien yang masih

menoleransi hubungan seks

tanpa kondom

3. Klien dengan hasil non-

reaktif menjadi kurang disiplin

mengikuti kegiatan VCT

berikutnya karena sudah

merasa “aman”.

23

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka

D. STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

1. Tujuan Penanggulangan HIV dan AIDS

Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas

hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV

dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.7

2. Strategi

Untuk mencapai tujuan STRANAS, ditetapkan strategi sebagai berikut7:

- Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif

dan menguji coba cara-cara baru.

- Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan

rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang

memerlukan akses perawatan dan pengobatan

- Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat

dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat

dan di daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang

berkesinambungan;

Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data

bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS

Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam

pencegahan HIV di lingkungannya

Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan

monitoring dan evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS

Memobilisasi sumber daya dan mengharmonisasikan

pemanfaatannya di semua tingkat.

24

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka

E. AREA PENCEGAHAN HIV DAN AIDS

Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko kelompok-

kelompok masyarakat. Pencegahan dilakukan kepada kelompok-kelompok

masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi ancaman yang

dihadapi. Kegiatan-kegiatan dari pencegahan dalam bentuk penyuluhan,

promosi hidup sehat, pendidikan sampai kepada cara menggunakan alat

pencegahan yang efektif dikemas sesuai dengan sasaran upaya

pencegahan. Dalam mengemas program-program pencegahan dibedakan

kelompok-kelompok sasaran sebagai berikut7:

• Kelompok tertular (infected people)

Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi

HIV.Pencegahan ditujukan untuk menghambat lajunya perkembangan

HIV, memelihara produktifitas individu dan meningkatkan kwalitas

hidup.7

• Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people)

Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku

sedemikian rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam

kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki,

pelanggan penjaja seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya,

waria penjaja seks dan pelanggannya serta lelaki suka lelaki. Karena

kekhususannya, narapidana termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan

untuk kelompok ini ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko

menjadi perilaku aman.7

• Kelompok rentan (vulnerable people)

Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena

lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan

keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan

terhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah

orang dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan,

remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah

dan petugas pelayanan kesehatan. Pencegahan untuk kelompok ini

25

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka

ditujukan agar tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko

tertular HIV (menghambat menuju kelompok berisiko).7

• Masyarakat Umum (general population)

Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam

ketiga kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatkan

kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan

penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungannya.7

26