bab ii tinjauan pustaka
DESCRIPTION
VCTTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Sejarah HIV/AIDS
Sejarah tentang HIV/AIDS di dunia dimulai ketika tahun 1979 di Amerika
Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis Carinii dan dua orang
gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay
muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Di Amerika Utara dan Inggris,
epidemik pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada
saat ini epidemik terjadi juga pada pengguna obat dan pada populasi
heteroseksual. Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April
1987, terjadi pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan
sampai dengan tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus
HIV/AIDS terus meningkat.4
Gambar 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2005-2011
Kasus HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari tahun 2009
ke tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup tajam hal ini disebabkan sudah
semakin baiknya teknologi informasi sehingga pencatatan dan pelaporan kasus
HIV/AIDS yang terjadi di masyarakat sudah semakin baik, serta kerjasama yang
baik dari pemerintah dan masyarakat sehingga populasi komunitas yang beresiko
dapat dijangkau dan diketahui. Kemudian di tahun 2011 terjadi sedikit penurunan
4
kasus HIV/AIDS hal ini dapat disebabkan penderita yang sudah meninggal dunia
dan efek dari diperkenalkan dan dijalankannya program CUP (Condom Use 100
Persen).
II.2 PENGERTIAN HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang tergolong
familia retrovirus, sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang
terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun
(kekebalan) tubuh.5 HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya
dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan
daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun. Perkembangan dari penyakit
tersebut yang disebabkan oleh virus HIV dapat menimbulkan AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan
gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi
dibuat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV).5 Penyakit ini telah menjadi masalah Internasional
karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan
semakin melanda banyak Negara. Saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang
efektif untuk pencegahan HIV/AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia.
Ketika seseorang telah terserang virus HIV namun tidak secara langsung
menyebabkan AIDS tetapi butuh waktu yang cukup lama sekitar beberapa tahun.
Saat ini belum ada obat, serum, maupun vaksin yang dapat menyembuhkan
manusia dari virus HIV penyebab penyakit AIDS.
II.3 PATOFISIOLOGI HIV/AIDS
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu
komponen system imun akan mempengaruhi system imun secara keseluruhan.
HIV menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya,
makrofag, sel dendritic, organ limfoid. Fungsi sel T helper itu sendiri antara lain
menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam system imun dan pembentukan antibody,
sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan
penderitanya mudah terinfeksi penyakit. Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel
yang pertama kali yang terinfeksi adalah sel dendritic. Kemudian sel-sel tersebut
5
menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor
CD4. Setelah masuk kedalam tubuh, HIV akan menempel pada se yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai
afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan
dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosi-limfosit CD4
yang diakumulasi di jaringan limfoid akan tampak sebagailimfadenopati dari
sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. Ketika
replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi
viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash,
limfadenopati, arthralgia) terjadi 50%-70% pada orang dewasa. Dengan
terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus
dalam darah mengalami penurunan secara substansial dan pasien memasuki masa
dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.
Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar
CD4 pada orang dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-
mediated single cell killing, formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik
yang terinfeksi maupun yang tidak, respon imun spesifik untuk virus, aktivasi
mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV), autoimun,
dan apoptosis.
Gambar 2. Imunopatogenesis HIV
6
Perjalanan penyakit HIV diawali dengan munculnya gejala infeksi HIV
yang disebut sindroma retroviral akut atau Acut retroviral syndrome. Sindrom
retroviral akut diikuti oleh penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV
dalam plasma (viral load). Hitung CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun
sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan
cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai titik tertentu. Dengan
berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan akan meningkat. Pada fase akhir
penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm3, diikuti timbulnya infeksi
oportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun, dan munculnya
komplikasi neurologis. Tanpa obat ARV rata-rata kemampuan bertahan setelah
CD4 turun sekitar 3,7 tahun.
Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologi untuk
antibody HIV masih menunjukkan hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah
ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita. Window period menjadi hal
yang terpenting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang dengan HIV sudah
mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang didonorkan,
bertukaran jarum suntik pada IDU atau melalui hubungan seksual. Sebenarnya
pada saat itu pemeriksaan laboratorium telah mampu mendeteksinya karena pada
window period terdapat peningkatan kadar antigen p24 secara bermakna.
II.4 PENULARAN HIV
Penyakit ini menular melalui berbagai cara. Antara lain melalui cairan tubuh
seperti darah, cairan genitalia, cairan sperma dan ASI. Virus terdapat juga pada
saliva, air mata dan urin tapi dengan konsentrasi yang sangat rendah. HIV tidak
dilaporkan terdapat dalam air mata dan keringat. Terdapat tiga cara penularan
HIV yaitu :
a. Hubungan seksual; baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 70-80% dari total
kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis.
7
Berdasarkan hasil penelitian ternyata bahwa pria homoseks penderita AIDS
mempunyai pasangan seksual yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan pria
homosekseks sehat, dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa pria yang
melakukan hubungan seksual melalui anus lebih mudah terinfeksi. Tampaknya
hubungan homoseksual merupakan cara yang paling berbahaya karena ternyata
90% mitra seksual orang-orang dengan HIV positif mengalami penularan. Secara
teoritis cara penularan melalui hubungan seksual yang paling rawan adalah
dengan teknik anal-penis (ano genital), karena teknik ini memungkinkan
terjadinya luka pada rektum. Teknik ini pada dunia barat diperkirakan lebih sering
dilakukan oleh kaum homoseksual, ditambah lagi bila tidak memakai pelindung
(kondom) dalam praktek hubungan seksualnya.
b. Kontak langsung dengan darah atau produk darah/jarum suntik;
Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi
sampai 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia
Pemakaian jarum suntik tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%
dan terdapat 5-10% dari total kasus sedunia
Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petuga kesehatan,
risikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat 0,1% dari total kasus
sedunia
c. Secara vertikal;, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama
hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan angka
transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.
II.5 Manifestasi Klinis
Infeksi HIV muncul dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah serokonversi,
tahap kedua adalah masa ketika tidak ada gejala yang muncul, dan tahap yang
ketiga adalah infeksi HIV berubah menjadi AIDS.
a. Tahap Pertama
Orang yang terinfeksi virus HIV akan menderita sakit mirip seperti flu.
Setelah ini, HIV tidak menyebabkan gejala apa pun selama beberapa tahun. Gejala
seperti flu ini akan muncul beberapa minggu setelah terinfeksi. Ini sering disebut
sebagai serokonversi. Diperkirakan sekitar 8 dari 10 orang yang terinfeksi HIV
8
mengalami ini. Gejala yang paling umum terjadi adalah sakit tenggorokan,
demam, muncul ruam di tubuh biasanya tidak gatal, pembengkakan noda limfa,
penurunan berat badan, diare, kelelahan, nyeri persendian, dan nyeri otot.
Gejala-gejala di atas bisa bertahan hingga satu bulan. Ini adalah pertanda
sistem kekebalan tubuh sedang melawan virus. Tapi gejala tersebut bisa
disebabkan oleh penyakit selain HIV. Kondisi ini tidak semata-mata karena
terinfeksi HIV.3
b. Tahap Kedua
Setelah gejala awal menghilang, biasanya HIV tidak menimbulkan gejala
lebih lanjut selama bertahun-tahun (masa jendela). Ini adalah tahapan ketika
infeksi HIV berlangsung tanpa munculnya gejala. Virus yang ada terus menyebar
dan merusak sistem kekebalan tubuh. Pada tahapan ini, penderita akan merasa
sehat dan tidak ada masalah. Lama tahapan ini bisa berjalan sekitar 10 tahun atau
bahkan bisa lebih.
c. Tahap Ketiga atau Tahap Terakhir Infeksi HIV
Jika tidak ditangani, HIV akan melemahkan kemampuan tubuh dalam
melawan infeksi. Dengan kondisi ini, penderita akan lebih mudah terserang
penyakit serius. Tahap akhir ini lebih dikenal sebagai AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Berikut ini adalah gejala yang muncul pada infeksi
HIV tahap terakhir:
• Kelenjar getah bening membengkak pada bagian leher dan pangkal paha.
• Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.
• Merasa kelelahan hampir pada tiap saat.
• Berkeringat di malam hari.
• Berat badan turun tanpa diketahui penyebabnya.
• Bintik-bintik ungu yang tidak hilang pada kulit.
• Sesak napas.
• Diare yang parah dan berkelanjutan.
• Infeksi jamur pada mulut, tenggorokan atau vagina.
• Mudah memar atau berdarah tanpa sebab.
Resiko terkena penyakit yang mematikan akan meningkat pada tahap ini.
Misalnya kanker, TB, dan pneumonia. Tapi meski ini penyakit mematikan,
9
pengobatan HIV tetap bisa dilakukan. Penanganan lebih dini bisa membantu
meningkatkan kesehatan.
II.6 Diagnosis
Diagnosis dini untuk menemukan infeksi HIV dewasa ini diperlukan
mengingat kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam hal pathogenesis dan
perjalanan penyakit dan juga perkembangan pengobatan.
Keuntungan menemukan diagnosis dini ialah:
a. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang
b. Menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS
c. Pencegahan infeksi oportunistik, Konseling dan pendidikan untuk kesehatan
umum
d. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase
dini.
Pada orang yang akan melakukan tes HIV atas kemauan sendiri atau
karena saran dokter, terlebih dahulu perlu dilakukan konseling sebelum dilakukan
tes. Bila semua berjalan baik, maka tes HIV dapat dilaksanakan pada individu
tersebut dengan persetujuan yang bersangkutan. Diagnosis dini ditegakkan
melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau
dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:
a. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu
cara deteksi antigen virus yang makin populer belakangan ini ialah
polymerase chain reaction (PCR).
b. Tidak langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan
ELISA, Western Blot immunofluorescent assay (IFA), atau
radioimmunoprecipitation assay (RIPA).
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV, penderita dinyatakan sebagai AIDS
bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi-infeksi
dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita, selain infeksi dan
kanker dalam penetapan CDC 1993, juga termasuk ensefalopati, sindrom
kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 <200/ml. CDC
10
menetapkan kondisi dimana infeksi HIV sudah dinyatakan sebagai AIDS.
II.7 Pengobatan
Tidak ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV, tapi ada pengobatan
yang bisa memperlambat perkembangan penyakit. Perawatan ini bisa membuat
orang yang terinfeksi untuk hidup lebih lama dan bisa menjalani pola hidup sehat.
Ada berbagai macam jenis obat yang dikombinasikan untuk mengendalikan virus.
a. Obat-obatan Darurat Awal HIV
Jika merasa atau mencurigai baru saja terkena virus dalam rentan waktu
3×24 jam, obat anti HIV bisa mencegah terjadinya infeksi. Obat ini bernama post-
exposure prophylaxis (PEP) atau di Indonesia dikenal sebagai profilaksis pasca
pajanan. Profilaksis adalah prosedur kesehatan yang bertujuan mencegah dari
pada mengobati.
Pengobatan ini harus dimulai maksimal tiga hari setelah terjadi pajanan
(terpapar) terhadap virus. Idealnya, obat ini bisa diminum langsung setelah
pajanan terjadi. Makin cepat pengobatan, maka lebih baik.
Pengobatan memakai PEP ini berlangsung selama sebulan. Efek samping
obat ini serius dan tidak ada jaminan bahwa pengobatan ini akan berhasil. PEP
melibatkan obat-obatan yang sama seperti pada orang yang sudah dites positif
HIV.3
b. Hasil Tes Positif HIV
Hasil tes positif atau reaktif berarti penderita terinfeksi HIV. Tes darah
akan dilakukan secara teratur untuk mengawasi perkembangan virus sebelum
memulai pengobatan. Pengobatan dilakukan setelah virus mulai melemahkan
sistem kekebalan tubuh. Ini bisa ditentukan dengan mengukur tingkat sel CD4
dalam darah. Sel CD4 adalah sel yang bertugas untuk melawan infeksi.
Pengobatan biasanya disarankan setelah CD4 di bawah 350, meskipun
terjadi gejala atau tidak. Jika CD4 sudah mendekati 350, disarankan untuk
melakukan pengobatan secepatnya. Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan
tingkat virus HIV dalam darah. Ini juga untuk mencegah atau menunda penyakit
yang terkait dengan HIV. Kemungkinan untuk menyebarkannya juga menjadi
lebih kecil.
11
c. Keterlibatan Penyakit Lain
Bagi penderita hepatitis B dan hepatitis C yang juga terinfeksi HIV,
pengobatan disarankan ketika angka CD4 di bawah 500. Jika penderita HIV
sedang menjalani radioterapi atau kemoterapi yang akan menekan sistem
kekebalan tubuh, pengobatan dilakukan dengan angka CD4 berapa pun. Atau
ketika penderita juga menderita penyakit lain seperti TB, penyakit ginjal.
d. Obat-obatan Antiretroviral
Antiretroviral (ARV) adalah beberapa obat yang digunakan untuk
mengobati infeksi HIV. Obat-obatan ini tidak membunuh virus, tapi
memperlambat pertumbuhan virus. HIV bisa mudah beradaptasi dan kebal
terhadap satu golongan ARV. Oleh karena itu kombinasi golongan ARV akan
diberikan. Obat-obatan antiretroviral memperlambat replikasi sel-sel, yang berarti
memperlambat penyebaran virus dalam tubuh, dengan mengganggu proses
replikasi dengan berbagai cara antara lain:
1) Penghambat Nucleoside Reverse Transcriptase (NRTI)
HIV memerlukan enzim yang disebut reverse transcriptase untuk
mereplikasi diri. Jenis obat-obatan ini memperlambat kerja reverse
transcriptase dengan cara mencegah proses pengembangbiakkan materi
genetik virus tersebut.
2) Penghambat Non-Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Jenis obat-obatan ini juga mengacaukan replikasi HIV dengan
mengikat enzim reverse transcriptase itu sendiri. Hal ini mencegah agar
enzim ini tidak bekerja dan menghentikan produksi partikel virus baru
dalam sel-sel yang terinfeksi.
3) Penghambat Protease (PI)
Protease merupakan enzim pencernaan yang diperlukan dalam
replikasi HIV untuk membentuk partikel-partikel virus baru. Protease
memecah belah protein dan enzim dalam sel-sel yang terinfeksi, yang
kemudian dapat menginfeksi sel yang lain. Penghambat protease
mencegah pemecah-belahan protein dan karenanya memperlambat
produksi partikel virus baru.5
Biasanya pasien akan diberikan tiga golongan obat ARV. Kombinasi obat
12
ARV yang diberikan berbeda-beda pada tiap-tiap orang, jadi jenis pengobatan ini
bersifat pribadi atau khusus. Beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu
pil. Begitu pengobatan HIV dimulai, mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur
hidup. Jika satu kombinasi ARV tidak berhasil, mungkin perlu beralih ke
kombinasi ARV lainnya.
e. Konsumsi Obat Secara Teratur
Pengobatan HIV bisa berhasil jika penderita mengonsumsi obat secara
teratur (pada waktu yang sama setiap kali minum obat). Jika melewatkan satu
dosis saja, efeknya bisa meningkatkan resiko kegagalan.
f. Efek Samping Pengobatan HIV
Semua pengobatan untuk HIV memiliki efek samping yang tidak
menyenangkan. Berikut adalah contoh efek samping yang umumnya terjadi,
antara lain kelelahan, mual, ruam pada kulit, dan diare.
II.8 Pencegahan
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan
istilah “ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV,
terutama di Uganda dan beberapa negara Afrika lain. Prisnip „ABC” ini telah
dipakai dan dibakukan secara internasional, sebagai cara paling efektif mencegah
HIV lewat hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah :
“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang
dengan pasangan (Abstinesia)
“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau
hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)
“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja
seks atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom)
Untuk penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :
“D” : Drug; “say no to drug” atau katakan tidak pada napza/narkoba
“E” : Equipment; “no sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian
Belum ada pengobatan untuk infeksi ini. Obat-obat anti retroviral digunakan
untuk memperpanjang hidup dan kesehatan orang yang terinfeksi. Obat-obat lain
digunakan untuk melawan infeksi oportunistik yang juga diderita.
13
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada orang yang terinfeksi yaitu hampir semua
orang yang terinfeksi HIV akhirnya akan menjadi AIDS dan meninggal karena
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada janin dan bayi yaitu 20-30% dari
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan terinfeksi HIV juga dan gejala-
gejala dari AIDS akan muncul dalam satu tahun pertama kelahiran. Dua puluh
persen dari bayi-bayi yang terinfeksi tersebut akan meninggal pada saat berusia 18
bulan. Obat antiretroviral yang diberikan pada saat hamil dapat menurunkan risiko
janin untuk terinfeksi HIV dalam proporsi yang cukup besar. Kehamilan pada ibu-
ibu dengan HIV positif akan berpengaruh buruk bagi bayinya, karena itu Ibu
penderita AIDS atau HIV positif, dianjurkan untuk tidak hamil atau bila hamil
perlu dipertimbangkan secara hukum peraturan yang memperbolehkan
dilakukannya pengguguran kandungan (indikasi medis), hal ini dengan sendirinya
akan menurunkan morbiditas pada anak.
II.9 Profil Griya ASA
Aksi Stop AIDS (ASA) merupakan upaya dari pemerintah dan dunia dalam
mencegah dan memberantas penyakit HIV/AIDS yang semakin banyak di
masyarakat. ASA PKBI Jawa Tengah sebagai kelompok relawan peduli AIDS,
narkoba dan IMS yang bernaung dibawah PKBI Daerah Jawa Tengah yang lahir
pada tanggal 16 Maret 1998 karena dipicu oleh merebaknya kasus HIV-AIDS,
narkoba dan IMS di Jawa Tengah.9
Salah satu Aksi Stop AIDS (ASA) PKBI Jawa Tengah adalah program
pencegahan HIV/AIDS untuk pekerja seks. Pada tanggal 10 Januari 2002 Aksi
Stop AIDS (ASA) PKBI Jawa Tengah membagi program pencegahan HIV/AIDS
untuk pekerja seks menjadi dua yaitu, Griya ASA yang berlokasi di lokalisasi
Sunan Kuning Semarang, dan ASA TDH di jalan Argorejo 10 No.5 Kalibanteng
Kulon. Griya ASA mendapat kepercayaan untuk melakukan program ASA di
lokalisasi Sunan Kuning.9
Program ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang IMS,
HIV/AIDS kepada WPS dan pelanggannya, serta cara pencegahannya melalui
pendekatan pendampingan (Outreach). Pelaksana pendampingan adalah direkrut
dari para relawan Griya ASA PKBI Jawa Tengah. Untuk memberikan pelayanan
14
komprehensif, PKBI Kota Semarang mendirikan klinik IMS bagi WPS dan
pelanggannya di Sunan Kuning dan non lokalisasi sekaligus pelanggan PSK.
Dibangun juga sistem rujukan baik rujukan khusus maupun rujukan laboratorium.
Griya ASA PKBI Kota Semarang merupakan suatu program dari Lembaga
Swadaya Mayarakat (LSM) PKBI Kota Semarang yang bergerak di bidang
Kelaurga Berencana (KB), Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
HIV/AIDS di Kota Semarang. PKBI Semarang telah mendampingi wanita yang
dikategorikan kelompok resiko tinggi di wilayah Kota Semarang. Adapun
tujuannya adalah membantu Pemerintah dalam program KB, pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS yang setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.
Program - program yang terdapat di Griya ASA9 :
1) Outreach (Pendampingan)
2) VCT (Konseling dan Tes Sukarela)
3) PMTCT
Hal yang perlu diketahui dari hasil testing HIV adalah :
1) Tanda Non reaktif berarti HIV belum ada di dalam tubuh
2) Tanda reaktif berarti HIV sudah ada pada tubuh
3) Indeterminate berarti perlu adanya pengulangan testing HIV karena hasil
testing HIV tidak jelas
4) Masa jendela berarti masa inkubasi HIV yaitu masa antara masuknya virus
HIV ke dalam tubuh manusia sampai terbentuknya antibody terhadap HIV
atau disebut HIV positif (umumnya 2 minggu – 6 bulan).
Penyampaian hasil testing negatif dan positif, meliputi:
1) Memberikan waktu bagi klien untuk memahami hasil tes dan bereaksi.
2) Mendampingi klien dalam mengendalikan reaksi emosional.
3) Menjelaskan makna reaktif atau nonreaktif .
4) Menjelaskan kembali cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS, terlepas
hasil tes negatif/positif.
5) Memberikan dukungan yang sesuai.
6) Membuat rencana lebih lanjut.
7) Membahas tindak lanjut medis dan strategi perubahan perilaku
15
II.10 VCT (Voluntary Counseling and Test)
DEFINISI
VCT (Voluntary Counselling and Test) adalah tempat pelayanan konseling
pra tes, tes HIV dan konseling paska tes secara sukarela dan rahasia bagi mereka
yang berperilaku beresiko dan diduga terinfeksi HIV/AIDS.
Konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan
konseling dan pemahaman tentanh HIV/AIDS. Voluntary atau sukarela artinya
semua klien yang akan dikonseling harus dalam bentuk sukarela, tidak boleh
dipaksa oleh karena klien posisinya lebih rendah dari konselor atau ikut konseling
karena diperintahkan oleh pasangannya. Demi untuk tidak menyebarkan HIV
mungkin suatu waktu calon pengantin perlu tes HIV. VCT merupakan pintu
masuk (entry point) untuk pencegahan dan perawatan HIV/AIDS.6
KONSELOR
Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih
keterampilan konseling HIV dan dinyatakan mampu. Konselor VCT yang berasal
dari tenaga kesehatan atau non kesehatan yang telah mengikuti pelatihan VCT.
Tenaga konselor VCT minimal dua orang dan tingkat pendidikan konselor VCT
adalah SLTA sederajat.
Ada 4 jenis konselor yang kompeten memberikan layanan konseling
berdasarkan model implementasi dan strategi untuk meningkatkan layanan VCT,
yaitu :
a) Konselor sebaya (Peer Counsellor), konselor yang mempunyai latar
belakang sama dengan klien (termasuk ODHA)
b) Konselor awam (Lay Counsellor), konselor yang melakukan konseling
pre dan pos tes pada kasus yang biasa tanpa komplikasi
c) Konselor profesional (Professional Counsellor), konselor dengan latar
belakang tertentu dokter, psikolog, pekerja sosial, perawat
d) Konselor senior (Senior Counsellor), konselor berpengalaman dan
memiliki pendidikan konseling dan psikoterapi, tugasnya memberikan
dukungan dan supervisi bagi konselor lainnya.
16
Tugas konselor VCT adalah:
a. Mengisi kelengkapan pengisian formulir klien, pendokumentasian dan
pencatatan konseling klien dan menyimpannya agar kerahasiaan klien
terjaga.
b. Pembaharuan data dan pengetahuan HIV/AIDS
c. Membuat jejaring eksternal dengan layanan pencegahan dan dukungan di
masyarakat dan jejaring internal dengan berbagai rumah sakit yang terkait
d. Memberikan informasi HIV/AIDS yang relevan dan akurat, sehingga klien
merasa berdaya untuk membuat pilihan untuk melaksanakan testing atau
tidak. Bila klien setuju untuk melakukan testing, konselor perlu mendapat
jaminan bahwa klien benar-benar menyetujuinya melalui penandatanganan
informed consent tertulis.
e. Menjaga bahwa informasi yang disampaikan klien kepadanya adalah
bersifat pribadi dan rahasia. Selama konseling paska tes konselor harus
memberikan informasi lebih lanjut seperti dukungan psikososial dan
rujukan. Informasi ini diberikan baik kepada klien dengan HIV positif
maupun negatif
f. Pelayanan khusus yang diberikan kepada kelompok perempuan dan
mereka yang dipinggirkan, sebab mereka sangat rawan terhadap tindakan
kekerasan dan diskriminasi.
Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor adalah:
a. Memahami perasaan yang dikonselingkan sehingga dapat menampung dan
memahami perasaan-perasaan negatif yang dikeluhkan klien
b. Dalam kaitanya dengan HIV/AIDS seorang konselor harus memahami
faktor-faktor yang berhubungan dengan cara penularan, akibat dari
ketertularan, dan proses perkembangan penyakit selanjutnya, serta sikap
dan pandangan masyarakat umum terhadap HIV/AIDS
c. Menimbulkan hubungan yang baik bagi klien dan menjadi pendengar yang
baik dan dapat menyimpan rahasia
d. Mempunyai sikap akseptasi dan empati terhadap klien
e. Mampu menyelami jalan pikiran dan perasaan klien tanpa terbawa oleh
masalah dan perasaan klien6
17
PRINSIP
Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)
Sukarela dalam melaksanakan testing HIV. Pemeriksaan HIV hanya
dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan.
Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan terletak di tangan klien. Testing
dalam VCT bersifat sukarela shingga tidak direkomendasikan untuk
testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual,
rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan
Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan harus
bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua
informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar
konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam
tempat yang tidak dapat dijangkau oleh pihan yang tidak berhak.
Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif. Konselor
mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti
pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku beresiko.
Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima
hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
Testing merupakan salah satu komponen dari VCT. WHO dan Departemen
Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk
melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh
konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang
disetujui oleh klien.7
Tujuan program layanan VCT :
1. Meningkatkan kesadaran populasi beresiko tentang status kesehatan HIV-
nya
2. Meningkatkan kesadaran populasi beresiko untuk membuat keputusan dan
mempertahankan perubahan perilaku yang aman terhadap penularan HIV
3. Meningkatkan jumlah populasi beresiko dan anggota keluarganya dalam
upaya mencegah perluasan penularan HIV
18
4. Membantu mereka yang teridentifikasi terinfeksi untuk segera mendapat
pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan
Yang menjadi target sasaran program layanan VCT :
1. Pengguna Napza suntik (Penasun atau IDUs)
2. Pasangan seks tetap dari IDUs yang bukan IDUs
3. Pekerja seks perempuan langsung
4. Pekerja seks perempuan tak langsung
5. Pekerja seks laki-laki
6. Gay atau LSL
7. Waria penjaja seks
8. Pelanggan dari pekerja seks perempuan atau laki-laki
9. Pasagan tetap dari pelanggan PSK
MANFAAT VCT
a. Pada Individu
Membantu ODHA mengatasi stres dan membuat keputusan
keputusan pribadi berkaitan dengan nasibnya.
Mengurangi risiko pribadi untuk tertular HIV
Membantu ODHA untuk menerima nasibnya
Mengarahkan ODHA untuk menerima pelayanan yang dibutuhkan
Merencanakan perubahan perilaku
Merencanakan perawatan untuk masa depan
Meningkatkan kualitas kesehatan pribadi
Mencegah infeksi HIV dari ibu ke bayi
Menfasilitasi akses pelayanan sosial
Menfasilitasi akses pelayanan medis (Infeksi oportunistik, IMS,
OAT, ARV)
Memfasilitasi kegiatan dan dukungan sebaya
b. Pada masyarakat
Memutus rantai penularan HIV dalam masyarakat
Mengurangi stigma masyarakat.
Mendorong masyarakat dan pihak yang terkait untuk memberi
dukungan pada ODHA
19
Alur VCT
Gambar 3. Alur VCT
20
Administrasi: pendaftaran dan pembayarn
Pre Test: Informasi HIV dan Persetujuan (Informed Consent)
Tes: Pengambilan sampel darah dan pemeriksaan laboratorium
Hasil Pemeriksaan
Post Test: informasi hasil dan konseling hasil tes
Hasil negative:pemeriksaan ulang 3 bulan berikutnya
Hasil positif:
Analisa kesiapan pasien Manajemen reaksi emosi dan
dukungan reaksi psikologis Perencanaan dukungan dan
perawatan Info layanan klinik, KDS, MK,
ARV Rencana penurunan resiko Rukukan konseling, MK, KDS,
layanan kesehatan, PL, PMTCT
3. HASIL TEST VCT
Tabel 1. Perencanaan pemberian informasi hasil test laboratorium dan
Konseling post Test
Hasil Test (-) Hasil Test (+)
- Menegaskan kembali cara
penularan dan pencegahan
HIV/AIDS.
- Membantu merencanakan
perubahan perilaku yang lebih
sehat dan aman.
- Memberi dukungan untuk
mempertahankan perilaku yang
lebih sehat.
- Anjuran untuk melakukan VCT
kembali 3 bulan berikutnya.
- Sampaikan berita dengan hati-hati.
- Sediakan waktu untuk diskusi.
- Bantu adaptasi dengan situasi.
- Buat rencana tepat dan rasional.
- Konseling berkelanjutan melibatkan
kelurga, teman, dan lingkungan.
- Dorongan untuk mengurangi
penularan, motivasi untuk
menurunkan risiko penularan.
- Kenali sumber dukungan lain,
termasuk layanan medik RS dan
perawatan rumah.
- Merujuk pada manajemen kasus.
21
4. DATA KUNJUNGAN VCT
Tabel 2. Data kunjungan VCT Maret s/d Juni tahun 2015 di Griya ASA
Bulan
(Tahun 2015)
Jumlah
Kunjungan
Test Reaktif Keterangan
Maret 114 114 0 37 WPS, 1 pasangan risti, 76 lain-lain
April 75 75 1
(LSL)
62 WPS, 4 LSL, 8 pasangan risti, 1 lain-
lainMei 132 132 1
(LSL)
54 WPS, 1 LSL, 1 IDU, 76 lain-lain
Juni 62 62 2
(1 LSL,
1 lain-
lain)
39 WPS, 2 LSL, 21 lain-lain
Keterangan:
Lain-lain: diluar LSL, waria, WPS, PPS, IDU, WBP, pasangan resiko tinggi,
pelanggan PSK
Berdasarkan data kunjungan VCT pada bulan Maret – Juni 2015
didapatkan rata-rata jumlah kunjungan VCT sebanyak 96 orang per bulan, dengan
cakupan pemeriksaan 100% pada pengunjung VCT. Berdasarkan data tersebut
ditemukan 0 kasus baru HIV reaktif pada bulan Maret, 1 kasus baru bulan April, 1
kasus baru bulan Mei, dan 2 kasus baru pada bulan Juni 2015. Target jumlah
kunjungan setiap bulannya adalah sebanyak ±200 orang per minggu, namun jika
dilihat dari data di atas dimana rata-rata jumlah kunjungan hanya 96 orang per
bulan, maka dapat dikatakan kunjungan VCT setiap bulan belum memenuhi
target.
22
5. KENDALA VCT
Hal-hal yang menjadi kendala dalam kegiatan VCT di Griya ASA adalah:
Tabel 4. Kendala yang dihadapi dalam kegiatan VCT
PRE-TEST TEST POST-TEST
1. Calon klien masih
kurang memahami
pentingnya dan
manfaat dari VCT
2. Calon klien enggan
datang berkunjung
karena paradigma
negatif tentang HIV
AIDS di masyarakat
3. Masih ada WPS
yang tidak disiplin
dalam mengikuti
kegiatan sesuai jadwal
(pembinaan, tes
skrining)
4. Masih banyak
pengasuh wisma yang
tidak mendukung
program VCT
- 1. Sikap klien dengan hasil tes
reaktif yang menolak untuk
berobat karena merasa masih
sehat
2. Perilaku klien yang masih
menoleransi hubungan seks
tanpa kondom
3. Klien dengan hasil non-
reaktif menjadi kurang disiplin
mengikuti kegiatan VCT
berikutnya karena sudah
merasa “aman”.
23
D. STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
1. Tujuan Penanggulangan HIV dan AIDS
Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas
hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV
dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.7
2. Strategi
Untuk mencapai tujuan STRANAS, ditetapkan strategi sebagai berikut7:
- Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif
dan menguji coba cara-cara baru.
- Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang
memerlukan akses perawatan dan pengobatan
- Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat
dan di daerah melalui pendidikan dan pelatihan yang
berkesinambungan;
Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data
bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS
Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam
pencegahan HIV di lingkungannya
Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan
monitoring dan evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS
Memobilisasi sumber daya dan mengharmonisasikan
pemanfaatannya di semua tingkat.
24
E. AREA PENCEGAHAN HIV DAN AIDS
Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko kelompok-
kelompok masyarakat. Pencegahan dilakukan kepada kelompok-kelompok
masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi ancaman yang
dihadapi. Kegiatan-kegiatan dari pencegahan dalam bentuk penyuluhan,
promosi hidup sehat, pendidikan sampai kepada cara menggunakan alat
pencegahan yang efektif dikemas sesuai dengan sasaran upaya
pencegahan. Dalam mengemas program-program pencegahan dibedakan
kelompok-kelompok sasaran sebagai berikut7:
• Kelompok tertular (infected people)
Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi
HIV.Pencegahan ditujukan untuk menghambat lajunya perkembangan
HIV, memelihara produktifitas individu dan meningkatkan kwalitas
hidup.7
• Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people)
Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku
sedemikian rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam
kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki,
pelanggan penjaja seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya,
waria penjaja seks dan pelanggannya serta lelaki suka lelaki. Karena
kekhususannya, narapidana termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan
untuk kelompok ini ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko
menjadi perilaku aman.7
• Kelompok rentan (vulnerable people)
Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena
lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan
keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan
terhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah
orang dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan,
remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah
dan petugas pelayanan kesehatan. Pencegahan untuk kelompok ini
25
ditujukan agar tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko
tertular HIV (menghambat menuju kelompok berisiko).7
• Masyarakat Umum (general population)
Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam
ketiga kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatkan
kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungannya.7
26