bab ii tinjauan pustaka

8
3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua daratan (Priyono et al. 1992). Salah satu selat yang ada di Indonesia yang memiliki peranan yang sangat penting adalah Selat Bali. Selat Bali memisahkan antara pulau Jawa di sebelah barat dan pulau Bali di sebelah timur. Perairan ini menghubungkan Laut Bali di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Selat Bali merupakan perairan yang relatif sempit, dengan luas sekitar 960 mil 2 . Mulut di bagian utara lebih sempit (1 mil) dengan perairan yang dangkal sedangkan mulut di bagian selatan lebih lebar (28 mil) dengan perairan yang dalam, sehingga perairan Selat Bali lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia (Burhanudin and Praseno 1982). Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi, dengan produktivitas tertinggi pada musim timur yang disebabkan oleh fenomena upwelling di perairan Samudra Hindia. Saat terjadi upwelling, nutrien di perairan seperti nitrat dan fosfat yang sangat penting bagi perkembangan fitoplankton, meningkat tajam. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kelimpahan fitoplankton (Arinardi 1989). Karena kesuburan perairannya, Selat Bali juga kaya akan potensi perikanan seperti ikan lemuru (Sardinella lemuru). Ikan lemuru merupakan ikan plankton feeder atau ikan pemakan plankton. Menurut Pradini et al. (2001), ikan lemuru termasuk ikan pemakan fitoplankton terutama dari kelas Bacillariophyceae seperti Coscinodiscus sp., Pleurosigma sp., Nitzschia sp., dan dari kelas Dinophyceae seperti Peridinium sp., dan Ceratium sp. 2.2. Fitoplankton Plankton merupakan organisme air baik hewan (zooplankton) atau tumbuhan (fitoplankton) yang hanyut secara bebas yang pergerakan atau penyebarannya bergantung pada pergerakan massa air seperti arus dan gelombang. Fitoplankton memiliki peranan yang penting dalam ekosistem laut karena berperan sebagai produser primer yang akan menunjang kehidupan di laut, sehingga fitoplankton

Upload: kyojin-no-exodia

Post on 25-Oct-2015

64 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

aaaa

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

   

3    

2.  TINJAUAN PUSTAKA   

2.1.   Kondisi Umum Perairan Selat Bali 

Selat  adalah  sebuah  wilayah  perairan  yang  menghubungkan  dua  bagian 

perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua daratan 

(Priyono et al. 1992).  Salah satu selat yang ada di Indonesia yang memiliki peranan 

yang sangat penting adalah Selat Bali. Selat Bali memisahkan antara pulau Jawa di 

sebelah barat dan pulau Bali di sebelah timur.   Perairan ini menghubungkan Laut 

Bali di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan.   Selat Bali merupakan 

perairan yang relatif sempit, dengan luas sekitar 960 mil2.   Mulut di bagian utara 

lebih  sempit  (1  mil)  dengan  perairan  yang  dangkal  sedangkan  mulut  di  bagian 

selatan lebih lebar (28 mil) dengan perairan yang dalam, sehingga perairan Selat 

Bali lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia (Burhanudin and Praseno 

1982). 

Perairan  Selat  Bali  memiliki  kesuburan  yang  tinggi,  dengan  produktivitas 

tertinggi pada musim timur yang disebabkan oleh fenomena upwelling di perairan 

Samudra Hindia.  Saat terjadi upwelling, nutrien di perairan seperti nitrat dan fosfat 

yang sangat  penting bagi  perkembangan  fitoplankton,  meningkat  tajam.   Hal  ini 

mengakibatkan  terjadinya  peningkatan  kelimpahan  fitoplankton  (Arinardi  1989). 

Karena kesuburan perairannya, Selat Bali juga kaya akan potensi perikanan seperti 

ikan lemuru (Sardinella lemuru).  Ikan lemuru merupakan ikan plankton feeder atau 

ikan pemakan plankton.  Menurut Pradini et al. (2001), ikan lemuru termasuk ikan 

pemakan fitoplankton terutama dari kelas Bacillariophyceae seperti Coscinodiscus 

sp., Pleurosigma sp., Nitzschia sp., dan dari kelas Dinophyceae seperti Peridinium 

sp., dan Ceratium sp.   2.2.   Fitoplankton 

Plankton merupakan organisme air baik hewan (zooplankton) atau tumbuhan 

(fitoplankton)  yang  hanyut  secara  bebas  yang  pergerakan  atau  penyebarannya 

bergantung pada pergerakan massa air seperti arus dan gelombang.   Fitoplankton 

memiliki  peranan  yang  penting  dalam  ekosistem  laut  karena  berperan  sebagai 

produser  primer  yang  akan  menunjang  kehidupan  di  laut,  sehingga  fitoplankton

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

   

4    

disebut  juga  sebagai  dasar  dari  jaring-jaring  makanan  dalam  suatu  ekosistem 

perairan.   Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil akan 

melakukan fotosintesis.  Melalui proses ini, air dan karbondioksida dengan bantuan 

sinar matahari serta nutrien akan menghasilkan senyawa organik (Raymont 1984; 

Nybakken 2005).  Kelimpahan fitoplankton di perairan juga dapat menggambarkan 

kondisi lingkungan perairan termasuk kesuburan (Venrick 1982).   Menurut studi 

yang dilakukan oleh Primakov and Nikolaenko (2001), menyatakan bahwa plankton 

merespon  setiap  perubahan  yang  terjadi  di  lingkungannya,  terutama  perubahan 

bahan organik. 

Kategori plankton berdasarkan ukuran sel umumnya terbagi menjadi empat 

kelompok, yaitu ultraplankton (< 5 µm), nanoplankton (5-70 µm), mikrofitoplankton 

(70-100  µm),  dan  makrofitoplankton  (>100  µm).  Sebagian  besar  fitoplankton 

merupakan   ultraplankton   dan   nanoplankton   (Kennish   1990).  Bentuk   dari 

fitoplankton   bervariasi   sesuai   dengan   strategi   mempertahankan   daya   apung 

tubuhnya  di  kolom  perairan.  Bentuk  fitoplankton  yang  umum  ditemukan  adalah 

bentuk jarum, benang, bola, dan cakram (Nybakken 2005). 

Fitoplankton  sebagai  produsen  utama  di  laut  terdiri  dari  diatom  (kelas 

Bacillariophyceae),   dinoflagellata   (kelas   Dinophyceae),   coccolithopores   (kelas 

Prymnesiophyceae),  silikoflagellata  (kelas  Chrysophyceaea),  dan  alga  hijau  biru 

(kelas   Cyanophyceae).  Fitoplankton   yang   umum   terdapat   di   laut   biasanya 

berukuran besar dan terdiri dari dua kelompok yang mendominasi yaitu diatom dan 

dinoflagelata.  

2.2.1.   Kelas Bacillariophyceae (Diatom) Diatom merupakan kelompok terbesar fitoplankton di lautan yang berperan 

dalam produktivitas primer (Kennish 1990).   Umumnya diatom berukuran 5 µm–2 

mm.   Karakteristik utamanya adalah dinding sel yang mengandung silikat. Sel-sel 

diatom   memiliki   bentuk   yang  bervariasi   antar  spesies   dan   memiliki   ukuran 

bervariasi di dalam satu spesies (Grahame 1987; Nontji 2008).   Apabila Diatom 

mati, maka cangkangnya akan tetap utuh dan mengendap menjadi sedimen.   Pada 

umumnya Diatom berupa sel tunggal, tetapi ada beberapa yang hidup berkoloni. 

Diatom terdapat di semua bagian lautan, tetapi melimpah di daerah permukaan 

dan  lintang tinggi,  karena terdapat  air dingin  yang penuh  nutrien  apabila terjadi

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

   

5    

upwelling  terutama  saat  musim  timur  (April-Oktober).  Menurut  Odum  (1971), Diatom   cenderung   mendominasi   fitoplankton   di   perairan   dingin,   sedangkan 

Dinoflagellata lebih banyak di perairan subtropis dan tropis.  Jika Diatom melimpah 

di  daerah  dekat  pantai,  maka  pada  daerah  oceanik  keberadaan  Diatom  akan 

digantikan  oleh  Dinoflagellata.  Namun  keadaan  seperti  ini  tidak  berlaku  untuk 

perairan  pantai  di  daerah  tropis  (Raymont  1984).  Distribusi  plankton  diatom 

bervariasi   secara   temporal   dan   spasial,   yang   banyak   ditentukan   oleh   faktor 

lingkungan   yang   mempengaruhinya.  Sebaran   horizontal   misalnya   banyak 

ditentukan oleh faktor suhu, salinitas, dan arus (Nontji 2008).  Contoh dari Diatom 

ialah Coscinodiscus, Chaetoceros, Eucampia, dan Rhizosolenia.  

2.2.2.   Kelas Dinophyceae (Dinoflagellata) Dinoflagellata merupakan kelompok terbesar di perairan laut, setelah Diatom. 

Ciri khas dari kelas ini adalah bersel tunggal, berwarna coklat muda mempunyai 

sepasang flagella yang digunakan sebagai alat gerak dalam air dan tidak memiliki 

cangkang  luar  (Nybakken  2005).  Menurut  Kennish  (1990),  umumnya 

Dinoflagellata berukuran 5 sampai lebih 200 µm. Genera Dinoflagellata yang sering 

ditemui  di  perairan  antara  lain  Ceratium,  Peridinium,  dan  Dinophysis.  Beberapa 

Dinoflagellata memiliki bioluminescent, berkilau di perairan pada malam hari.  

2.2.3.   Kelas Cyanophyceae Selain   kelompok   Diatom   dan   Dinoflagellata,   fitoplankton   yang   sering 

dijumpai di laut adalah kelompok Cyanophyceae.  Ciri umum dari kelas ini adalah 

sel berbentuk bola atau silinder dengan ukuran 0,2-2 µm dan mempunyai pigmen 

fikosianin berwarna biru dan pigmen fikoeritrin berwarna merah (lebih dominan) 

Kelas Cyanophyceae atau biasa disebut kelompok alga biru umumnya ditemukan di 

perairan  dangkal,  perairan  pantai  tropis,  namun  dengan  kelimpahan  yang rendah 

(Kennish 1990).  Cyanophyceae yang umum dijumpai di perairan laut, di antaranya 

Oscillatoria   sp.,   Trichodesmium   sp.,   Spirullina   sp.,   dan   Anabaenopsis   sp. 

(Nybakken 2005).  

2.2.4.   Kelas Crysophyceae Kennish   (1990)   menyatakan   bahwa   kelompok   fitoplankton   dari   kelas 

Crysophyceae terdiri dari satu sel, memiliki satu atau dua flagella dan umumnya

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

   

6    

berdiameter kurang dari 30 µm.   Sebagian besar dari kelas ini adalah tumbuhan fotosintesis dan beberapa adalah heterotrof.  

2.3.   Distribusi Fitoplankton 

Pada suatu perairan sering terdapat kelimpahan plankton yang berlimpah pada 

satu titik pengamatan, sedangkan pada titik lain jumlah individu plankton sangat 

sedikit.   Hal  ini  menunjukkan  bahwa  distribusi  plankton  di  suatu  perairan  tidak 

merata  (Haumahu  2004).  Lalli  and  Parson  (1997)  in  Haumahu  (2004)  juga 

menyatakan bahwa distribusi plankton yang tidak merata di perairan terjadi karena 

plankton  merupakan  organisme  yang  memiliki  pola  distribusi  “patchy” 

(mengumpul)  dan  juga  memiliki  kemampuan  bergerak  yang  lemah  sehingga 

distribusinya akan bergantung pada pergerakan massa air. 

Distribusi fitoplankton secara horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor 

fisik seperti pergerakan massa air.   Oleh karena itu, pengelompokan (patchiness) 

plankton  banyak  terjadi  pada  daerah  neritik  terutama  yang  dipengaruhi  estuari 

dibanding  daerah  oseanik.  Faktor-faktor  fisik  yang  mempengaruhi  distribusi 

fitoplankton  tidak  merata,  di  antaranya  adalah  arus,  kandungan  nutrien,  suhu, 

cahaya,  kecerahan,  angin,  pH,  kekeruhan,  dan  migrasi  diurnal  dari  plankton  itu 

sendiri (Sediadi 2004).  Distribusi vertikal fitoplankton sangat berhubungan dengan 

faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitasnya, selain kemampuan pergerakan 

atau  faktor  lingkungan   yang  mendukung  plankton  mampu  bermigrasi  secara 

vertikal.  Laut  terbuka  biasanya  sangat  terstratifikasi  dan  beragam,  baik  secara 

vertikal maupun horizontal.   Dibandingkan dengan ekosistem pesisir, perairan laut 

terbuka  umumnya  memiliki  produktivitas  biologis  yang  lebih  tersebar  dengan 

keragaman spesies yang jauh lebih rendah (Dahuri 2003). 

Setiap individu dalam suatu populasi memiliki pola penyebaran yang berbeda- 

beda di suatu perairan.  Michael (1984) in Noeratilova (2006) menyebutkan bahwa 

ada tiga bentuk atau pola penyebaran individu dalam suatu populasi, yaitu: 

1.  Penyebaran  secara  acak,  dengan  individu-individu  yang  menyebar  dalam 

beberapa tempat dan mengelompok pada tempat lain. 

2.  Penyebaran secara seragam, dengan individu-individu yang menyebar dengan 

merata di setiap tempat dalam suatu ekosistem.

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

   

7    

3.  Penyebaran  secara  mengelompok,  dengan  individu-individu  yang  berada dalam kelompok-kelompok dan jarang ada yang terpisah.  

2.4.  Parameter Fisika Kimia Perairan 

2.4.1.   Suhu 

Suhu merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap proses fisika, 

kimia, dan biologi dalam suatu perairan.   Perbedaan penerimaan radiasi matahari 

menyebabkan  perbedaan  suhu.  Selain  panas  matahari,  fakor  lain  yang 

mempengaruhi  suhu  permukaan  laut  adalah  arus,  keadaan  awan,  upwelling,  dan 

kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, serta kelembaban 

(Wrytki 1961).  Sverdrup et al. (1946) menyatakan bahwa suhu di sekitar perairan 

Samudera Hindia ada kecenderungan untuk sama pada kedalaman antara 0 meter 

sampai dengan 70 meter atau 100 meter. Menurut Nontji (2007) suhu air permukaan 

di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31 °C, namun pada lokasi yang 

terjadi  kenaikan  massa  air  suhu  air  permukaan  dapat  menurun  hingga  25  °C. 

Berdasarkan  hasil  penelitian  Arinardi  (1989),  kisaran  suhu  permukaan  laut  di 

perairan Selat Bali berkisar antara 27-30 °C.  

2.4.2.   Salinitas Salinitas   menggambarkan   kandungan   garam-garam   terlarut   dalam   satu 

kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (Nybakken 2005).   Pada 

perairan  terbuka  kadar  salinitas  umumnya  bersifat  lebih  konstan  dengan  kadar 

salinitas rata-rata 35,5 PSU serta berfluktuasi antara 34-37 PSU.  Perubahan salinitas 

di laut terbuka juga relatif lebih kecil dibandingkan dengan di perairan pantai yang 

memiliki   masukan   air   tawar   dari   sungai   (Davis   1955).  Nybakken   (2005) 

menyatakan beberapa jenis organisme ada yang bertahan dengan perubahan nilai 

salinitas  yang  besar  (euryhaline)  dan  ada  pula  organisme  yang  hidup  di  kisaran 

salinitas  yang  sempit  (stenohaline).  Menurut  Odum  (1971)  pada  umumnya 

organisme samudera bersifat stenohaline.  

2.4.3.   Oksigen terlarut Oksigen  merupakan  salah  satu  gas  terlarut  dalam  perairan.  Gas  oksigen 

mempunyai  peranan  yang  sangat  penting  bagi  perkembangan  dan  pertumbuhan 

organisme laut (Hutabarat and Evans 1985).   Menurut (Eaton et al. 2005) oksigen

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

   

8    

terlarut dalam perairan umumnya berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton dan difusi dari udara.   Sverdrup et al. (1946) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen 

terlarut relatif lebih tinggi di lapisan permukaan karena adanya penambahan oksigen 

melalui proses fotosintesis dan difusi udara.  Menurut Rochford (1962) in Herlisman 

(1996), kisaran  konsentrasi  oksigen  terlarut  di  perairan  Samudra Hindia berkisar 

antara 4,00-5,79  mg/l.   Menurut Arinardi  (1989), konsentrasi  oksigen  terlarut  di 

perairan Selat Bali berkisar antara 6,17-7,83 mg/l.  

2.4.4.  Kekeruhan Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air  oleh adanya bahan padatan 

terutama yang tersuspensi dan sedikit dipengaruhi oleh warna perairan.  Kekeruhan 

disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut 

(misalnya  lumpur  dan  pasir  halus),  maupun  bahan  anorganik  dan  organik  yang 

berupa plankton dan mikroorganisme air (Eaton 2005).  Kekeruhan yang tinggi 

dapat mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air yang selanjutnya 

dapat mempengaruhi kandungan oksigen terlarut di perairan.   Pengaruh lain dari 

meningkatnya  kekeruhan  adalah  berkurangnya  penetrasi  cahaya  yang  berdampak 

pada menurunnya produktivitas primer seperti fitoplankton (Sverdrup et al. 1946). 

Kekeruhan di perairan Selat Bali relatif rendah karena masukan dari daratan sedikit 

yang  ditandai  dengan  sedikitnya  jumlah  sungai  yang  bermuara  ke  Selat  Bali 

(Priyono et al. 1992).  

2.4.5.   Nutrien Organisme   di   laut,   khususnya   fitoplankton   dalam   pertumbuhan   dan 

perkembangan hidupnya memerlukan nutrien seperti nitrat dan fosfat. Kandungan 

nutrien  di  lapisan  permukaan  perairan  Indonesia  mencerminkan  kondisi  perairan 

tropis yang berkadar nutrien rendah.   Rendahnya konsentrasi ini disebabkan oleh 

penyinaran matahari yang berlangsung setahun penuh sehingga metabolisme biota 

air berlangsung cepat (Nontji 2007).   Namun, Arinardi (1989) menjelaskan bahwa 

kandungan nutrien  tinggi di perairan disebabkan oleh dua faktor yaitu : 

1)  Adanya  penambahan  zat  hara  yang  berasal  dari  daratan  dan  terbawa  oleh 

aliran sungai.

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

   

9    

2)  Adanya pengadukan air di laut dangkal sehingga memungkinkan zat hara di dekat dasar terangkat kembali ke perairan. 

Nybakken  (2005)  juga  menjelaskan  mengenai  sumber  nutrien  di  perairan. 

Keberadaan nutrien dalam perairan dapat juga berasal dari daratan yang dibawa oleh 

aliran sungai, maupun melalui proses kenaikan massa air. 

Senyawa nitrat  dan  fosfat  merupakan  nutrien  yang dapat  dijadikan sebagai 

petunjuk   kesuburan   perairan   dan   dibutuhkan   organisme   (fitoplankton)   dalam 

pertumbuhan  dan  perkembangan  hidupnya.  Oleh  karena  itu,  kedua  unsur  ini 

merupakan  faktor  pembatas  bagi  produktivitas  fitoplankton  (Hecky  dan  Kilham 

1988).   Pada perairan laut biasanya  yang menjadi faktor pembatas adalah nitrat, 

sedangkan  untuk  perairan  tawar  sampai  estuari  fosfatlah  yang  menjadi  faktor 

pembatasnya (Gao and Song 2005).  

a.  Nitrat Senyawa nitrogen di perairan terdapat dalam tiga bentuk utama yang berada 

dalam  keseimbangan  yaitu  amonia,  nitrat,  dan  nitrit.  Keseimbangan  tersebut 

dipengaruhi   oleh   kandungan   oksigen.  Pada   saat   kadar   oksigen   rendah, 

keseimbangan akan bergerak menuju amonia, sedangkan saat kadar oksigen tinggi 

keseimbangan akan bergerak ke nitrat.  Oleh karena itu, nitrat merupakan hasil akhir 

dari oksidasi  nitrogen  dalam  air  (Grasshof  et  al.  1983).   Nitrat  juga  merupakan 

nutrien utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan algae.   Pemanfaatan nitrat oleh 

fitoplankton  berlangsung  saat  proses  fotosintesis  dan  bergantung  pada  intensitas 

matahari.   Grasshof et al. (1983) juga menyatakan jika penetrasi cahaya matahari 

cukup,  tingkat  pemanfaatan  nitrat  oleh  produsen  primer  biasanya  lebih  cepat 

daripada transpor nitrat ke lapisan permukaan.  Oleh karena itu, konsentrasi nitrat di 

hampir semua perairan pada lapisan permukaan mendekati nol. Kadar nitrat akan 

semakin  meningkat  seiring  dengan  bertambahnya  kedalaman.  Pada  distribusi 

horizontal kadar nitrat akan semakin tinggi ditemukan di perairan muara atau mulut 

sungai (Hutagalung 1997 in Puspitasari 2003; Ilyash and Matorin 2007).  

b.  Fosfat Fosfat   yang   terkandung   di   laut   berada   dalam   bentuk   terlarut   maupun 

tersuspensi.  Fosfat  terlarut  berasal  dari  penguraian  tumbuhan  dan  hewan  oleh

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

   

10    

bakteri dan erosi batuan (Nontji 2007).  Menurut Sidjabat (1973) in Hermana (2007) konsentrasi fosfat di perairan dipengaruhi oleh faktor lintang, musim, dan aktivitas 

plankton.   Fosfat merupakan salah satu senyawa nutrien yang penting. Hecky dan 

Kilham (1988) menjelaskan bahwa kadar fosfat akan semakin meningkat dengan 

masuknya   limbah   domestik   dari   daratan.  Kandungan   fosfat   akan   semakin 

meningkat dengan bertambahnya kedalaman.   Kisaran kandungan fosfat di lapisan 

permukaan  sekitar  0,2  µg-at  P/l.  Fitoplankton  dapat  tumbuh  dengan  baik  pada 

konsentrasi fosfat antara 0,01-0,1 ppm.  Apabila konsentrasi fosfat di atas 0,1 ppm, 

umumnya pertumbuhan fitoplankton menurun.