bab ii tinjauan pustaka

23
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Hewan Uji Berdasarkan klasifikasi (Hooper 2000) spons laut Petrosia nigricans adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Porifera Kelas : Demospongiae Ordo : Haplosclerida Famili : Petrosidae Genus : Petrosia Spesies : Petrosia nigricans Gambar 3 P. nigricans dari Perairan Pulau Pari Petrosidae memiliki karakteristik berbentuk kompak, seperti kawah gunung atau vas bunga, mengerak, membulat atau bercabang. Teksturnya keras dan rapuh, mencerminkan sebagian besar spesies ini memiliki spikula yang tersusun atas silikat dibandingkan spongin. Rangka luar seperti jala terdiri dari spikul tunggal atau bidang spikul yang membentuk kulit yang mengeras dan membuat penampilan luarnya terlihat halus. Rangka bagian tengah kurang lebih seperti jala yang merupakan jalur-jalur spikul. Perkembangbiakan secara ovivar. Famili Petrosidae saat ini diketahui memiliki tiga genus yaitu Petrosia, Strongylophora dan Xestospongia (Hooper 2000).

Upload: ramdhani

Post on 07-Aug-2015

318 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Hewan Uji

Berdasarkan klasifikasi (Hooper 2000) spons laut Petrosia nigricans

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Filum : Porifera

Kelas : Demospongiae

Ordo : Haplosclerida

Famili : Petrosidae

Genus : Petrosia

Spesies : Petrosia nigricans

Gambar 3 P. nigricans dari Perairan Pulau Pari

Petrosidae memiliki karakteristik berbentuk kompak, seperti kawah

gunung atau vas bunga, mengerak, membulat atau bercabang. Teksturnya keras

dan rapuh, mencerminkan sebagian besar spesies ini memiliki spikula yang

tersusun atas silikat dibandingkan spongin. Rangka luar seperti jala terdiri dari

spikul tunggal atau bidang spikul yang membentuk kulit yang mengeras dan

membuat penampilan luarnya terlihat halus. Rangka bagian tengah kurang lebih

seperti jala yang merupakan jalur-jalur spikul. Perkembangbiakan secara ovivar.

Famili Petrosidae saat ini diketahui memiliki tiga genus yaitu Petrosia,

Strongylophora dan Xestospongia (Hooper 2000).

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

10

Genus Petrosia banyak ditemukan di perairan terumbu karang Indonesia.

Voogd dan Soest (2002) menemukan 7 spesies spons Petrosia di Sulawesi

Selatan yaitu Petrosia alfiani, Petrosia corticata, Petrosia hoeksemai, Petrosia

strongylata, Petrosia lignosa, Petrosia plana dan Petrosia nigricans. Karakteristik

Petrosia dengan tubuh yang keras dan kokoh, warna bagian luar tubuh coklat

atau kombinasi warna coklat dan warna lain (coklat kemerahan, coklat

kehitaman, coklat keemasan dan coklat kekuningan) dengan bentuk

pertumbuhan menyerupai tabung, vas, mangkuk, lembaran dan membulat.

P. nigricans bentuknya menyerupai lembaran, mangkok dan tabung.

Ukuran spons ini bisa mencapai 150 cm tingginya dan diameternya mencapai

200 cm. P. nigricans berwarna coklat kegelapan dan coklat kehitaman. Spiculnya

berbentuk oxea dan strongylota dengan 3 kategori ukuran: 240-305 X 8-16 mµ ,

120-188 x 9-10 mµ , dan 57-85 x 5 mµ. Habitatnya mulai kedalaman 3 sampai 45

meter. Distribusi penyebarannya di wilayah Indo-Australia (Voogd dan Soest

2002).

Morfologi Spons

Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera terdiri

dari tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood

dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan Budiyanto 1996; Rachmat 1996;

Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut (Warren 1982); Ruppert

dan Barnes 1991) Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu Calcarea,

Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia.

Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons

ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri

dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah

kelompok spons yang terdominan di antara Porifera masa kini. Mereka tersebar

luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka

sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit,

dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya

ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa (Dictyoceratida, Dendroceratida

dan Verongida) spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen atau

spikulanya tidak ada. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka

kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat

dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

11

dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999).

Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan

dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut

atau terowongan di terumbu karang. Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid

kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini

dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat

yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982;

Ruppert dan Barnes 1991).

Spons terbagi menjadi tiga kelompok utama sesuai dengan cara

bagaimana tubuhnya tersusun. Spons sederhana adalah asconoid, mempunyai

bentuk seperti tabung sederhana yang dipenuhi oleh lubang-lubang porus (ostia).

Bagian internal yang terbuka pada tabung disebut spongocoel yang terdiri dari

sel-sel leher (collars), selain itu terdapat pula satu bagian yang terbuka keluar

yang disebut oskulum. Kelompok yang lebih kompleks adalah syconoid yang

berukuran relatif lebih besar dibanding asconoid, mempunyai bentuk tubuh

tubular dengan oskulum tunggal tetapi dengan dinding tubuh yang lebih kurus

dan ukuran porus yang lebih panjang berpenetrasi ke dalam membentuk sebuah

sistem kanal sederhana. Kanal-kanal tersebut dipenuhi oleh sel-sel leher

(collars), flagella yang menggerakkan air ke dalam spongocoel dan keluar

melalui oskulum. Kategori ketiga adalah organisasi tubuh yang disebut

leuconoid, merupakan spons terbesar dan paling kompleks. Spons ini terdiri dari

sejumlah kamar kecil yang digarisi oleh sel-sel berflagel. Pergerakan air melewati

kanal ke dalam kamar-kamar tersebut dan ke luar melalui kanal pusat dan

oskulum (Myers 2001).

Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi,

dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan

berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat.

Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau

pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung

tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki

tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari kondisi lingkungan

yang lebih stabil jika dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada

perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan Budiyanto 1996). Spons

merupakan hewan multiseluler sederhana dan memiliki bentuk yang bervariasi.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

12

Bentuknya dipengaruhi oleh lingkungan kimia dan lingkungan fisik seperti

kedalaman, arus, ombak dan sedimentasi (Rachmat et al. 2001).

Gambar 4 menunjukkan contoh sederhana penampang melintang dari

suatu spons berdasarkan kategori saluran serta susunan tubuh yaitu asconoid,

syconoid, dan leuconoid.

Asconoid Syconoid Leuconoid

Gambar 4 Penampang melintang tubuh spons berdasarkan susunan tubuhnya (Myers 2001)

Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis,

atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari

segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak

pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain

mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui

sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam.

Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju,

seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis

berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis

tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak

berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya

(Romimohtarto dan Juwana 1999).

Banyak spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna

kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

13

disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat

didalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian

dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya

adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau

zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam

satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda

dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap

akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang

cerah (Wilkinson 1980).

Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis

seperti yang dijumpai pada marga leucosolenia, atau masif bentuknya dan agak

tidak teratur. Spons juga banyak terdiri dari segumpal jaringan yang tidak tentu

bentuknya, mengkerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan

dan pada benda-benda inilah mereka menempel (Rigby et al. 1993). Dinding sel

spons terlihat dalam Gambar 5.

Gambar 5 Dinding sel spons (Rigby et al. 1993)

Keterangan gambar :

1. Spikula : Berfungsi menopang tubuh spons dan membentuk kerangka,

terbuat dari kapur karbonat atau silikon. Spikula bermacam-

macam bentuknya.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

14

2. Archaeocyte : Sel yang memproduksi spikula dan serat spongin, penting juga

dalam mengidentifikasi jenis, memelihara bentuk spons, dan

kemungkinan mencegah serangan predator

3. Sclerocyte : Sel-sel aktif spons yang mempunyai banyak mitokondria,

mikrofilamen sitoplasmik, dan vakuola kecil, dan bertanggung

jawab untuk memproduksi spikula kalkareus dan silikon pada

spons.

4. Mesenchyme : Disebut juga mesohil yang merupakan suatu matrik protein

yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm, dimana

bahan rangka ditemukan dengan semua tipe sel lainnya.

5. Pinacocyte : Lapisan pinacoderm yang terletak di permukaan bagian luar

spons yang terdiri dari satu lapisan sel.

6. Choanocyte : Berperan utama pada fagositosis dan pinakosis, karena dia

mempunyai vakuola makanan, berfungsi untuk membuat

arus dan mengarahkan air oleh flagella yang dikelilingi oleh

sel-sel leher (collars).

7. Porocyte : Sel-sel yang terdapat pada pinacoderm dan kontraktil yang

dapat membuka dan menutup lubang, mengatur diameter

ostia.

8. Pore/Ostium : Bukaan bagian luar pada saluran porocytes atau disebut juga

lubang pemasukan (incurrent pore).

9. Canal : Saluran tempat pertukaran air dan oksigen dan tempat

masuknya makanan dan nutrien.

10. Flagellum : Berfungsi menciptakan arus masuk melalui sistem saluran

pada spons dengan cara memukul-mukulnya secara terus-

menerus.

11. Collar : Berfungsi menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel

tubuh dengan cara membuat gerak mengombak pada selnya

dan juga berfungsi membuang sisa makanan yang tidak

tercerna.

Makanan dan Cara Makan

Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder) yang menetap. Spons

memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak,

seperti bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori arus masuk

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

15

(ostia) yang terbuka dalam air, dan di bawa ke dalam rongga lambung atau

ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari spons

diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terus menerus.

Choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik disebelah maupun di dalam

sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini

pencernaan terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari

dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan

barangkali diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang

terdapat di lapisan tengah. Penting bagi spons untuk hidup dalam air bersirkulasi,

karenanya kita temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya air yang

keruh. Karena arus air yang lewat melalui spons membawa serta zat buangan

dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang

jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung

asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut

(Romimohtarto dan Juwana 1999).

Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring

oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978). Partikel yang berukuran antara

2-5 μm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes,

yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel

yang berukuran antara 0.1-1.5 μm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh

flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak pada gerakan sel leher (collars)

menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes, dimana

mereka dicerna secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil

dalam jumlah yang signifikan bahan organik terlarut (dissolved organic matter,

DOM) secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca

1990). Menurut penelitian (Reiswig 1976, diacu dalam Brusca dan Brusca 1990)

80 % bahan organik terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % adalah

bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al. (1999) jenis ultraplankton yang

dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik,

Prochlorococcus sp, Synechococcus sp, cyanobakteri, dan picoeukaryotes

autotropik.

Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut

(Schmidt 1970, diacu dalam Brusca dan Brusca 1990) jenis Epydatia fluvialis

mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh spons.

Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

16

tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah

choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik.

Kualitas Air

Suhu

Perubahan suhu air secara nyata akan mempengaruhi hampir seluruh

proses-proses biokimia, proses fisilogis dan ekologis dari spons laut.

Pertumbuhan spons berhubungan dengan suhu air laut untuk beberapa spesies

daerah empat musim. Pertumbuhan spons Latrunculia wellingtonensis lebih

besar pada musim dingin dan Polymastia croceus pada musim semi (Duckworth

dan Battershill 2001). Suhu air pada penelitian transplantasi spons jenis Auletta

sp di Teluk Labuange Kabupaten Barru Sulawesi berkisar 29.9-31.5oC (Masak

2003). Penelitian tranplantasi spons jenis A. aaptos di terumbu karang Pulau

Barrang Lompo, Makasar, suhu perairan yang terukur berkisar 26.3-29.7oC

(Rani dan Haris 2005).

Salinitas

Salinitas merupakan salah satu variabel yang menentukan kehidupan

organisme akuatik terutama berkaitan dengan keseimbangan osmotik antara

protoplasma medium air lingkungannya. Penelitian Masak (2003) salinitas air

laut pada transplantasi spons jenis Auletta sp di Teluk Labuange Kabupaten

Barru di Sulawesi berkisar 30.50-33.10‰. Penelitian Rani dan Haris (2005)

tranplantasi spons jenis Aaptos aaptos di terumbu karang Pulau Barrang

Lompo, Makasar, salinitas perairan yang terukur berkisar 29.0-32.3‰. Penelitian

Voogd (2005) tentang distribusi bioaktif spons di Kepulauan Spermonde bahwa

kelimpahan spons dengan kelompok bioaktif kuat berbeda nyata dan berasosiasi

negatif dengan fluktuasi tingkat salinitas. Salinitas di daerah penelitian berkisar

antara 28-34 ‰.

Bahan Organik

Richter et al. (2001) menyatakan total bahan oganik di perairan terdiri 2

jenis yaitu partikel bahan organik dan bahan organik terlarut. Dalam perairan

oligotropik di daerah tropis, partikel bahan organik terdiri dari fitoplankton dan

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

17

bakteriplankton. Menurut Benner menyatakan (2000) partikel bahan organik

kandungannya hanya kurang dari 3% dari total bahan organik. Hampir 97%

bahan organik terdiri dari bahan organik terlarut sebagai stok karbon di perairan

laut. Menurut Ribes et al. (2003) bahan organik di perairan terumbu karang

dibagi 3 jenis. Pertama dalam bentuk bahan organik terlarut (dissolved organic

matter) diantaranya terdiri dari simbiotik bakteri. Banyak spons didalam tubuhnya

mengandung simbiotik bakteria (Ribes et al. 2003; Yahel et al. 2003). Kedua

adalah jenis partikel bahan organik hidup (live particulated organic matter)

diantaranya dari sel-sel plankton (Ribes et al. 2003; Reiswig, 1971). Tipe ketiga

adalah partikel bahan organik tak hidup (non living particulate organic matter)

diantaranya detritus. Detritus sangat penting sebagai sumber makanan spons

(Ribes et al. 2003; Wilson et al. 2003).

Bahan organik terlarut berkisar antara 12.21-23.31mg/l yang cukup tinggi

berasosiasi dengan tingginya pertumbuhan transplantasi spons jenis A. aaptos

(Rani dan Haris 2005). Total bahan organik dari hasil penelitian (Suharyanto

2001) pada penelitian beberapa aspek biologi spons di Perairan Pulau Barrang

Lompo berkisar antara 0.6-4.1 mg/l. Menurut Brusca dan Brusca (1990), spons

dapat mengkonsumsi bahan organik terlarut dalam jumlah yang signifikan pada

sistem saluran airnya. Ketersediaan makanan yang banyak dalam bentuk bahan

organik terlarut akan memicu pertumbuhan spons yang lebih tinggi.

Penelitian budidaya tiga spons di Teluk Awarange, Kabupaten Barru di

Sulawesi Selatan, yaitu Callyspongia sp, Callyspongis basilana, dan Haliclona

sp dengan perbedaan ukuran transplantasi, pertumbuhan spons tinggi dengan

nilai TOM 11.21- 16.00 mg/l. Tingginya kandungan TOM digunakan spons

sebagai sumber makanan dengan filter feeder (Rosmiati et al. 2002). Umumnya

spons, lamella branchia dan ascidians tumbuh optimal pada kondisi bahan

organik 15.00 – 20 mg/l air laut (Jorgensen 2008).

Tingginya biomassa spons di Karibia menggambarkan tingginya

konsentrasi bahan organik. Biomassa populasi spons di Belize Karibia lima kali

lebih tinggi dibandingkan di Great Barrier Reef. Perbedaan ini disebabkan spons

di Karibia mengkonsumsi sepuluh kali lebih bahan organik dibandingkan spons di

Great Barrier Reef (Wilkinson dan Anthony 1990).

Tingginya biomassa heterotropik spons pada kedalaman 15-20m

berhubungan langsung dengan ketersediaan bahan organik di perairan terumbu

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

18

karang. Tingginya biomassa spons menunjukkan indikator adanya bahan organik

yang tinggi pada perairan. Tingginya biomassa spons heterotropik menunjukkan

indikator awal adanya polusi bahan organik di perairan (Wilkinson dan Anthony

1990).

Kecepatan Arus

Tingkat arus laut mempunyai pengaruh yang besar terhadap

pertumbuhan dan biomassa spons yang ditransplantasikan. Setelah 9 bulan

ditransplantasikan, spons jenis Latrunculia wellingtonensis di pesisir selatan

Wellington, New Zealand, pada lokasi yang terbuka dengan kecepatan arus

0.19-0.46 m/detik dan pada lokasi yang terlindung dengan kecepatan arus 0.13

m/detik. Jenis spons yang ditransplantasikan pada perairan terbuka mempunyai

biomassa dan pertumbuhan mendekati tiga kali lebih besar dari pada lokasi

terlindung (Duckworth dan Battershill 2003). Tingginya pergerakan air umumnya

mempengaruhi pertumbuhan spons dan berpengaruh terhadap ketersediaan

makanan (Duckworth et al. 2004).

Penelitian tranplantasi spons jenis A. aaptos di terumbu karang Pulau

Barrang Lompo, Makasar, kecepatan arus yang terukur berkisar 0.040-5.39

cm/det. Pengaruh arus yang kuat (1.90-5.39 cm/det) terhadap rendahnya

pertumbuhan spons yang ditransplantasikan diduga karena arus yang kuat dapat

mengangkat sedimen dan meningkatkan kekeruhan pada daerah berpasir yang

akhirnya dapat menutupi permukaan tubuh spons (Rani dan Haris 2005).

Fosfat dan Nitrat

Kandungan fosfat dalam air laut dari hasil penelitian (Suharyanto 2001)

pada penelitian beberapa aspek biologi spons di Perairan Pulau Barrang Lompo

berkisar antara 0.866-0.1814 mg/l, sedangkan kandungan nitrat 0.0132-0.0478

mg/l. Pada penelitian (Rani dan Haris 2005) tingginya pertumbuhan spons A.

aaptos pada konsentrasi nitrat (0.908-1.967mg/l) dan fosfat (1.824-2.189mg/l)

yang tinggi diduga berhubungan dengan mikrosimbionnya. Nitrat dan fosfat

secara bersama-sama dibutuhkan oleh mikrosimbion spons untuk pertumbuhan

dan multiaplikasinya. Mikro simbiotik pada spons terdiri dari bakteri heterotropik,

cyanobakteri dan alga uniselular.

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

19

Kedalaman Perairan

Penelitian tentang makanan dan pertumbuhan spons Callyspongia

vaginalis, Angelas conifera dan Aplysina fistularis dari Florida dan Bahama

terdapat perbedaan yang nyata dan lebih besar hasil transplantasi spons

terhadap biomassa, pertumbuhan dan makanan dengan bertambahnya

kedalaman. Penelitian dilakukan di kedalaman 7 m, 15 m, 23 m dan 30 m. Spons

mengkonsumsi 65-93% partikel bahan organik dari makanannya dari semua

stasiun penelitian. Spons bertambah ukuran dan pertumbuhannya dengan

bertambahnya kedalaman, hal ini dikarenakan adanya bertambahnya

ketersediaan makanan dan berbeda nyata proses- proses di dasar perairan yang

pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan spons (Lesser 2005).

Penelitian spons di Daviest Reef (Great Barrier Reef) bahwa total

biomassa spons mencapai maksimum pada kedalaman 20 m. Semua lokasi

penelitian yang diteliti di Great Barrier Reef populasi spons menurun pada

perairan yang dangkal (<10m) dibandingkan pada perairan yang lebih dalam.

Cahaya dalam bentuk radiasi UV adalah faktor pembatas perairan dangkal

kurang dari 10 m ( Wilkinson dan Trott 1985).

Spons di perairan Karibia menunjukkan peningkatan biomassa dan

keragaman sampai kedalaman 50m. Beberapa lokasi di perairan Karibia, spons

bertambah ukuran, pertumbuhan dan ketersediaan makanan dengan

bertambahnya kedalaman. Kedalaman yang berbeda mempengaruhi

ketersediaan makanan dan laju makan. Beberapa penelitian menunjukkan

bertambahnya biomassa, pertumbuhan dan keragaman spons dengan

bertambahnya kedalaman. Perbedaan persaingan, hidrodinamik, dan

pemangsaan spons dengan perbedaan kedalaman ditemukan. Bintang laut,

ikan, dan penyu sebagai predator spons, memangsa spons pada perairan yang

dangkal (Lesser 2005). Kondisi hidrodinamik diantaranya dipengaruhi arus yang

semakin membesar pada spons di perairan dangkal (Palumbi 1986).

Penelitian (Voogd 2005) tentang kekayaan dan kelimpahan kelompok

bioaktif spons dengan kategori lemah, sedang dan kuat di Kepulauan

Spermonde, Sulawesi Selatan. Bioaktif ekstrak kasar spons diuji dengan brine

shrimp lethality assay. Dari penelitian ini didapatkan 67 spesies bioaktif lemah,

52 sedang dan 32 tergolong kuat; rata-rata kelimpahan per kelompok spons

bioaktif lemah 94±27/m2, sedang 75 ±19/m2 dan kelompok bioaktif kuat 174

±66/m2. Kekayaan jenis spons meningkat dengan penambahan kedalaman

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

20

untuk semua kelompok bioaktif spons (lemah, sedang dan kuat) dan mencapai

optimum pada kedalaman 10-15 m (Gambar 6 dan Gambar 7). Kelompok bioaktif

berbeda nyata dan berasosiasi positif dengan kedalaman.

Gambar 6 Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga

tipe senyawa bioaktif (Voogd 2005)

Gambar 7 Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe

senyawa bioaktif (Voogd 2005) Spons bertambah ukuran dan bertambah pertumbuhannya pada

kedalaman lebih besar dari 10m (Lesser 2005). Komposisi alga dan karang

menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gardner et al. 2003). Pertumbuhan

dan kelangsungan hidup spons transplantasi Psammocinia hawere di New

Zealand lebih tinggi pada kedalaman 17m daripada 10m (Duckworth et al. 1997).

Intensitas sinar matahari yang tinggi di perairan dangkal pada spons hasil

transplantasi meningkatkan penempelan alga. Alga dapat menyebabkan spons

mati (Kaandrorp dan Kluijver 1992); alga dapat mengurangi penyembuhan luka

Kedalaman (m)

Kedalaman (m)

Kel

impa

han

(ind/

m2 )

Kel

impa

han

(ind/

m2 )

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

21

spons (Hoppe 1998); penempelan alga memberi kontribusi pada tingginya

kematian P. hawere pada kedalaman 5 m (Duckworth et al. 1997).

Kedalaman lokasi budidaya spons mempengaruhi pertumbuhan spons

Latrunculia wellingtonensis dan Polymastia croceus, dan terdapat interaksi

antara musim dan aliran air (Duckworth et al. 2004). Penelitian pengaruh

kedalaman pada pertumbuhan dan kelangsungan spons transplantasi

memperlihatkan adanya pengaruh intensitas cahaya dan pergerakan air. Arus

yang lambat menjadi faktor pembatas spons transplantasi (Wilkinson dan Vacelet

1979). Tingginya kematian spons dan pertumbuhan yang negatif spons

transplantasi P. hawere pada kedalaman 5m diakibatkan oleh tingginya

instensitas sinar matahari (Duckworth et al. 1997). Pengaruh sinar ultraviolet di

perairan dangkal menyebabkan kerusakan jaringan spons Mycale cecilia dan

menimbulkan kematian (Jokiel 1980).

Beberapa faktor seperti turbulensi, kompetisi, radiasi ultraviolet dan

pemangsaan adalah hal yang sering terjadi pada kondisi spons perairan dangkal

(Wilkinson dan Evans 1989). Kompetisi ruang dengan organisme bentik seperti

karang dan alga di perairan dangkal, menyebabkan spons kalah dalam kompetisi

ini. Pengaruh pemangsaan mengurangi kelimpahan spons diperairan dangkal,

sebagai contoh penyu dan beberapa spesies ikan diketahui memakan spons di

perairan berkarang di Karibia (Wilkinson dan Anthony 1990).

Transplantasi Spons

Metode transplantasi spons telah dilakukan oleh Duckworth et al. (1999)

terhadap spons laut Latrunculia brevis dan Polymastia croceus. Spons ini

dipotong secara in situ dan disisakan sekitar 30% dari volume awal, untuk

memberikan kesempatan beregenerasi. Semua spons dikumpulkan dan

dipotong pada air laut mengalir di laboratorium. Fragmen dipotong berbentuk

kubus dengan ukuran sekitar 27 cm3 dan berat sekitar 16 gram. Semua

fragmen paling sedikit mempunyai satu sisi yang tidak terpotong, dengan

seluruh pinacoderm dan oskula. Tiga metode yang digunakan oleh (Duckworth

et al. 1999) pada setiap jenis spons, yaitu: (1) fragmen ditempatkan pada

jaring; (2) fragmen ditempelkan secara langsung pada tali; dan (3) fragmen

dengan tali benang kecil melaluinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa, dari ketiga metode tersebut, laju pertumbuhan antar metode

transplantasi tidak berbeda nyata pada kedua jenis spons tersebut, sedangkan

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

22

sintasannya berbeda nyata, dimana sintasan tertinggi didapatkan pada metode

pertama, yaitu fragmen ditempatkan pada jaring. Laju pertumbuhan pada kedua

jenis spons, yang didapatkan pada metode pertama relatif bagus dengan

pertumbuhan berat rata-rata 1.2 gram selama 95 hari penelitian, dan sintasan

mencapai 100 % pada L. brevis dan 97.5 % pada P. croceus (40 fragmen).

Hasil penelitian Haris (2004) merupakan modifikasi metode Duckworth

et al.(1999) dengan transplantasi spons A. aaptos dilewatkan pada seutas tali

poliethilen diameter 4 mm ditengahnya. Regenerasi fragmen spons dimulai

setelah satu hari ditransplantasi dan terpigmentasi dan sempurna sistem

saluran airnya setelah satu bulan ditransplantasi. Pertumbuhan bulanan

fragmen spons di Pulau Barrang Lompo dan di Pulau Samalona pada bulan

pertama umumnya rendah, tetapi pada bulan-bulan berikutnya sampai akhir

penelitian, pertumbuhan bulanan semakin meningkat antara bulan yang satu

dengan bulan yang lainnya. Pertumbuhan rata-rata fragmen spons di Pulau

Barrang Lompo dan Pulau Samalona pada habitat berkarang lebih tinggi

daripada di habitat berpasir. Sintasan fragmen spons di Pulau Barrang Lompo

lebih tinggi daripada di Pulau Samalona. Sintasan fragmen spons di Pulau

Barrang Lompo pada habitat rubble lebih tinggi daripada di habitat berpasir

dan berkarang, sedangkan sintasan di Pulau Samalona pada habitat berpasir

lebih tinggi daripada di habitat rubble dan habitat berkarang. Penelitian transplantasi spons oleh Masak (2003) di Balai Penelitian

Perikanan Pantai, Maros Selawesi Selatan. Penelitian spons dengan

perlakuan substrat sebagai tumbuh spons: batu sungai dengan berat 0.7±

0.01 kg dibungkus jaring poliethylen (BP), Jaring poliethylen dibentangkan

pada kerangka besi segiempat berukuran 60 x 90 cm (pxl) dengan posisi

vertikal dalam air (PV), Jaring poliethylen dibentangkan pada rangka besi

segiempat berukuran 60 x 90 cm dengan posisi horizontal dalam air (PH).

Hasil pengamatan Masak (2003) menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang

spons Auletta sp, pada substrat BP lebih baik dibandingkan dengan substrat

PV dan PH. Laju pertumbuhan spons pada awal pemeliharaan pada 2 kali

interval waktu 30 hari, relatif sama pada ketiga perlakuan. Selanjutnya pada

pemeliharaan 2 kali 30 hari terakhir terlihat bahwa perlakuan substrat BP,

Auletta sp, memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan

substrat PV dan PH yang relatif sama. Tingkat kelangsungan hidup spons

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

23

setelah 120 hari pemeliharaan tidak berbeda pada substrat BP, PV dan PH

masing-masing dengan nilai 70.83, 75.00 dan 76.67 %.

Metode transplantasi spons oleh Voogd (2005) di Kepulauan

Spermonde, Sulawesi Selatan dengan metode menembusnya dengan tali

poliethylen pada jaringan spons dan dibentangkan rangka besi segi empat

berukuran 70 x 100 cm2. Dari Sembilan jenis spons yang ditransplantasikan:

Aaptos suberitoides, Acanthostrongylophora sp, Amphimedon paraviridis,

Callyspongia (Euplacella) biru, Hyrtios reticulatus, Ircinia ramosa, Petrosia

hoeksemai, Petrosia nigricans dan Pseudoceratina purpurea. Dari sembilan

spesies, tujuh spesies yang diseleksi untuk dibudidayakan. Angka kelulusan

hidupnya, tinggi untuk semua spesies. Angka kelulusan hidup 80% untuk A.

paraviridis dan 92% untuk I. ramosa. Kematian tinggi terjadi pada transplan P.

purpurea.

Penelitian Hibah Pasca IPB (Soedharma et al. 2007) spons P.

nigricans melimpah di perairan Pulau Pari dan Pramuka. Penelitian

transplantasi spons Petrosia sp selama 1 bulan di perairan Pulau Pari

dihasilkan spons dengan kelangsungan hidup berkisar 95.12-100%.

Sedangkan kelangsungan hidup spons A. aaptos selama transplantasi 1

bulan berkisar 36.54-88.46%.

Pertumbuhan Transplantasi Spons

Penelitian budidaya spons sebagai spons bahan antikanker, antibakteri

dan antitumor di Selandia Baru dengan jenis Latrunculia wellingtonensis dan

Polymastia croceus pada perairan yang terbuka dan terlindung dengan

volume awal rata-rata 25.0 cm3 dan 23.4 cm3. Hasil penelitian menyatakan

pertumbuhan (biomassa) berbeda nyata dipengaruhi oleh lokasi dan metode

transplantasi. Pertumbuhan rata-rata spons L. wellingtonensis metode tali

pada perairan yang terbuka selama 9 bulan sebesar 241 cm3 atau terjadi

peningkatan volume awal 960%. Sedangkan spons P. croceus pada metode

tali pada perairan terbuka setelah 9 bulan penelitian mencapai pertumbuhan

volume sebesar 170 cm3 terjadi peningkatan volume 730% (Duckworth dan

Battershill 2003).

Penelitian Hibah Pasca IPB (Soedharma et al. 2007) menyatakan

bahwa penelitian transplantasi spons Petrosia sp selama 1 bulan di perairan

Pulau Pari dihasilkan spons dengan pertumbuhan berkisar 1.39-4.98 cm3.

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

24

Pertumbuhan spons Aaptos aaptos selama transplantasi 1 bulan berkisar

0.33-1.94 cm3. Perbandingan laju pertumbuhan spons (% per tahun) pada

beberapa metode transplantasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan laju pertumbuhan spons (% per tahun) pada beberapa metode transplantasi

Spesies dan Referensi Metode Laju

Pertumbuhan (% per tahun)

Hippiospongia dan Spongia spp (Moore 1908) Dilekatkan beton 100 Hippiospongia dan Spongia spp (Moore 1908) Ditusuk kawat 100 Hippiospongia lachne (Crawshay 1939) Dilekatkan beton 150 Spongia agaricina (Verdenal dan Vacelet 1990) Ditusuk kawat 38-90 Spongia agaricina (Verdenal dan Vacelet 1990) Ditusuk kawat 150 Raspailia agminata (Duckworth 1997) Kantong jaring 35 Geodia cydonium (Muller et al. 1999) Jaring 380 Latrunculia wellingtonensis (Duckworth dan Battershill 2003) Tali 700 Latrunculia wellingtonensis (Duckworth dan Battershill 2003) Jaring 270 Polymastia croceus (Duckworth dan Battershill 2003) Tali 360 Polymastia croceus (Duckworth dan Battershill 2003) Jaring 130

Sumber: Duckworth dan Battershill (2003)

Komponen Bioaktif dari Spons

Penelitian di bidang bahan alami laut telah berkembang pada sekitar tiga

puluh tahun terakhir ini. Dari sekedar isolasi dan karakterisasi metabolit sekunder

sampai kepada isolasi senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas atau

farmakologi seringkali diikuti oleh uji toksisitas untuk menentukan keamanan

penggunaan senyawa-senyawa tersebut untuk obat. Laporan Faulkner (1998)

menyatakan bahwa sampai tahun 1996, kimia produk alam laut telah sangat

berkembang dan telah sampai kepada sintesis senyawa-senyawa aktif yang

secara mendalam telah diteliti sifat biologinya, termasuk aktivitas atau efek

farmakologinya, dan sifat ekologinya. Laporan itu telah menyatakan tentang

produk alam laut baru yang mempunyai sifat biologi dan farmasetika yang

menarik. Sampai tahun 1996, penelitian terhadap spons masih tetap

mendominasi laporan produk alam laut. Metabolit spons yang diteliti umumnya

karena sifat biomediknya, tetapi juga fungsi ekologinya. Mengingat bahwa

banyak senyawa antibiotika dihasilkan dari mikroba daratan, maka tidak mustahil

mikroorganisme laut juga merupakan sumber senyawa antibiotika disamping

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

25

aktivitas biologi lain. Hal ini memerlukan penelitian interdisiplin lebih lanjut

dengan peran utama peneliti para ahli mikrobiologi.

Di bidang farmakologi, penelitian produk alami laut pada 30 tahun telah

berkembang ke arah penemuan senyawa-senyawa sitotoksik, antitumor,

antikanker, antibiotika, antivirus, antiparasitosis dan penyakit-penyakit akibat

gangguan fisik dan gangguan fungsi organ. Dari hasil-hasil pemanfaatan pada

satu tahun terakhir (1986 -1987) dari kurun waktu 10 tahun (1977-1987) dapat

dikemukan bahwa penelitian terhadap spons cenderung naik. Penelitian

organisme laut di bidang biomedik sampai sekarang masih tetap didominasi oleh

spons (Faulkner 1998). Jumlah metabolit baru dari organisme laut yang telah

ditemukan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Metabolit baru dari organisme laut yang ditemukan dalam waktu 1986-1987 (Faulkner 1998)

Organisme Jumlah Metabolit Baru Ditemukan Algae 289 36% Spons 186 23% Coelenterata 177 22% Echinodermata 105 13% Tunica 19 2% Bryozoan 14 2% Mikroba 11 2% Jumlah 801 100%

Spons secara alami mengeluarkan metabolit sekunder sebagai respon

terhadap lingkungan. Harper et al. (2001) dalam dekade terakhir, dilaporkan

bahwa sebanyak 50% senyawa bioaktif yang ditemukan dalam invertebrata

berasal dari filum porifera. Produksi metabolit sekunder dari spons merupakan

kompensasi akibat interaksi dengan lingkungan biotik, abiotik dan sebagai

senjata kimia terhadap predator. Salah satu pemicu produksi senyawa terpen,

poliketida dan alkoloid oleh spons adalah kompetisi dengan koral dan untuk

mencegah infeksi bakteri. Senyawa 7-deacetoxyolepupuane dari spons Dysidea

sp menyebabkan kematian spons Cacospongia sp dan senjata kimia terhadap

predator ikan Promacanthus imperator.

Rachmat (2005) menyatakan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun

2004 sampai 2008 telah melakukan penelitian keanekaragaman, informasi

bioprospekting spons dan makroalga di Indonesia secara terperinci meliputi

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

26

perairan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Papua, dan

Maluku. Pada tahun 2004 telah dikumpulkan 65 jenis spons dari perairan Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dengan kandungan metabolit

sekunder 38 spesies mengandung terpenoid, 20 spesies mengandung steroid

dan 33 spesies mengandung alkoloid. Empat jenis spons:Callyspongia azurea,

Ircinia sp, Acanthostrongylaophora ingens dan Callyspongia samurensis

diteruskan ke tahap isolasi dan identifikasi. Penelitian tahun 2005 di perairan

Sulawesi ditemukan 103 spesies spons yang mengandung 60% alkaloid, 50%

steroid dan 20% mengandung steroid. Jenis spons yang potensial untuk

diteruskan analisa dan identifikasi bioprospektingnya adalah Xestopongia sp,

Petrosia sp, Crella calypta, Anomoianthella rubra, Callyspongia azurea dan

Angelas ceylonica.

Senyawa antibakteri telah diisolasi dari spons laut jenis: Discodermia

kiiensis, Cliona celata, Lanthella basta, Lanthella ardis, Psammaplysila purpurea,

Agelas sceptrum, Phakelia .flabellata. Senyawa antijamur telah diisolasi dari

spons laut jenis: Jaspis sp, Jaspis johnstoni, dan Geodia sp. Senyawa anti tumor

dan anti kanker telah diisolasi dari spons laut jenis: Aplysina fistularis, A.

aerophoba. Senyawa antivirus telah diisolasi dari spons laut jenis: Cryptotethya

crypta, dan Ircinia variabilis. Senyawa sitotoksik diisolasi dari spons laut jenis:

Axinella cannabina, Epipolasis kuslumotoensis, Spongia officinalis, Igernella

notabilis, Tedania ignis, Axinella verrucosa, dan Ircinia sp. Senyawa antienzim

tertentu telah diisolasi dari spons laut jenis: Psammaplysilla purea (Ireland et

al.1989; Munro et al. 1989).

Kimura et al.(1998) mengisolasi senyawa 1-Methyherbipoline dari

Halisulfate-1 dan Suvanin sebagai inhibitor protease serin dari sponge jenis

Coscinoderma mathewsi. Komponen bioaktif alami yang merupakan peptida

makrosiklik berhasil diisolasi dari spons jenis Theonella swinhoei yang berasal

dari perairan Jepang. Komponen ini dikenal dengan nama Cyclotheonamida A

dan B yang menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap serin protease

seperti thrombin dan mempunyai dua bentuk utama yaitu cyclothonamida A

(C36H45N9O81) serta cyclotheonamida B (C34H47N9O8) yang mengandung

vinylogous tyrosine dan alpa-ketoarginin residu yang merupakan jenis asam

amino yang belum diketahui secara pasti di alam.

Spons laut menghasilkan ekstrak kasar dan fraksi yang bersifat

antibakteri, antijamur, antibiofouling dan ichtyotoksik. Bioaktifitas antibakteri

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka

27

ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Halichondria sp,

Callyspongia pseudoreticulata, Callyspongia sp dan Auletta sp (Suryati et al.

1996). Beberapa spons yang belum diketahui jenisnya, yang aktif terhadap

bakteri Staphylococcus aures, Bacillusubtilis, dan Vibrio cholerae Eltor (Rachmat

1996).

Bioaktifitas antijamur ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa

jenis seperti: Auletta sp yang aktif terhadap jamur Aspergillus fumigatus, Clathria

sp yang aktif terhadap Aspergillus sp, Aspergillus fumigatus dan Fusarium sp,

Theonella cylindrica yang aktif terhadap Aspergillus sp, Aspergillus fumigatus

dan Fusarium sp dan Fusarium solani (Muliani et. al. 1998). Senyawa bioaktif

yang dihasilkan oleh beberapa spons laut dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut (Soest dan Braekman 1999)

Senyawa Kelompok Spons Peroxy-polyketides Homosclerophorida (9)

Steroid amines Plakina- Corticium (2)

Saponines Astrophorida (8)

Triterpenes Stelletta (4)

Penaresidins Penares (2)

Sulfated sterol Pachastrellidae (2)

Aaptamines Subberetidae (3)

4,8,12- trimethyl tridecanoid acid Spirastrellidae/ Clionidae (2)

Clionamides Cliona (2)

Peroxy-sesterterpenoids Latrunculiidae (4)

Pyrrologuinoline alkaloids Latrunculiidae (5)

Pyrrole-2-carboxylic derivates Axinellidae-Agelasidae- Ceratoporellidae (26)

Isocyanoterpene Axinellidae-Bubaridae-Halichondridae (32)

Sulfated sterol Halichondriidae (9)

Cyclic diterpenes Desmoxydae (3)

Linear diterpenes Myrmekioderma (2)

Sesquiterpenes phenols Didiscus (2)

Topsentins Spongosorities (4)

Di-dan sesquiterpenes Agelas (6)

3- alkylpiperidine derivates Haplosclerida (12)

Polyhidroxylated acetylines Petrosia (7)

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka

28

Keterangan : Angka dalam kurung pada kolom kedua adalah jumlah jenis/genus

Bioaktifitas antibiofouling ekstrak kasar spons laut terdapat pada

beberapa jenis seperti: Asterospus sarasinorum, Callyspongia sp, Clathria sp.

Clathria jaspis, yang keaktifannya tinggi terhadap teritip (Balanus amphirit);

Echynodicum sp, Gelliodes sp, Pericarax sp, dan Xestopongia sp, yang

keaktifannya rendah terhadap teritip (Balanus amphirit)(Suryati et al.1999).

Bioaktivitas ichtyotoksik ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis

seperti: Auletta sp, Callyspongia sp, Callyspongia pseudoreticulata, yang toksik

terhadap nener bandeng (Chanos chanos) (Parenrengi et al. 1999).

Senyawa Bioaktif yang Diisolasi dari Spons Indonesia

Rachmat (2008) menyatakan temuan senyawa baru dari spons laut

Indonesia telah dipublikasikan dalam jurnal dalam negeri dan jurnal internasional

Tetrahedron Letters dan jurnal Natural Product. Beberapa diantara metabolit

Lanjutan Tabel 3 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut (Soest dan Braekman 1999)

Senyawa Kelompok Spons

Linear 3- alkylpiperidines Niphatidae + Callyspongidae (6)

Brominated acetylines Xestospongia (3)

Linear 3- alkylpiperidines Niphatidae + Callyspongidae (6)

Cyclic 3 - alkypiperidin Chalinidae + Petrosidae (8)

Cyclopropenesterol Petrosidae + Phloeodyctydae (8)

Tetrahydropyrans Haliclona (2)

Furano atau lactone terpenes Dictosidae + Dendroceratida (8)

Furano atau lactone sesterpenes Spongiidae+Thorectidae+Irciinidae (56)

Furano atau lactone sesterpenes Dysideidae (14)

Furano atau lactone diterpenes Darwinellidae + Dictyodendrillidae (13)

Bromotyrosine derivates Verongidae (22)

Macrocylic bromotyrosines Ianthella (2)

Guanidine- imidazoles Clathrinida (4)

Long- chained aminoalcohols Clathrinida (3)

Peroxy-sesterterpenoid Mycale (5)

Trikentrin indole Trikentrion (2)

Polycyclic guanidine alkaloids Crambeidae (3)

Straight- chain acetylenes Haplosclerida (17)

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka

29

sekunder yang berhasil diisolasi, diidentifikasi, dan diuji bioaktivitasnya secara

ringkas diuraikan dibawah ini:

Aaptamin dan Demethylaaptamin diisolasi dari spons A. aaptos yang

dikumpulkan di perairan Barranglompo, Kepulauan Spermonde Sulawesi

Selatan. Aaptamin dan Demethylaaptamin merupakan senyawa alkaloid dan

menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan

Bacillus subtilis. Pengembangan senyawa bioaktif Aaaptamin dari A. aaptos

cukup prospektif karena spons A. aaptos merupakan spesies spons yang ada di

hampir seluruh perairan Indonesia dan telah berhasil dibudidayakan (Rachmat

2008). Beberapa senyawa bioaktif yang diisolasi dari spons Indonesia dapat

dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Senyawa bioaktif yang diisolasi dari spons Indonesia

Lead Compound Aktivitas Biota Asal Aaptamine Sitotoksik Aaptos aaptos Barangamide Sitotoksik Theonella swinhoei Bitungolide A-F Sitotoksik Theonella swinhoei Brianthein A Sitotoksik Brianthein exvacatum Demethyl aaptamin Antibakteri Sitotoksik Aaptos aaptos Isomisakinolide Sitotoksik Theonella swinhoei Jaspamide Sitotoksik Jaspis splendens Lembehyne A MDR Haliclonia sp Luteoresin Sitotoksik Chaelonaphysilla sp Mcfarlandin Sitotoksik Chaelonaphysilla sp Melophlin A dan B Sitotoksik Melophlus sarassinorum Methyl scalardycin B Sitotoksik Carteriospongia foliascens New mereosesquiterpenes Sitotoksik Aplidium longithorax New scalarane sesterpenes Sitotoksik Phyllospongia sp Sarasinoside A Sitotoksik Melophlus sarassinorum Scalardycin Sitotoksik Carteriospongia foliascens Swinholide A Sitotoksik Theonella swinhoei Theonella peptolide Sitotoksik Theonella swinhoei Xestoquinone Sitotoksik Xestospongia sp

Sumber: Rachmat (2008)

Dari spons Theonella swinhoei yang dikumpulkan dari perairan

Barranglompo Sulawesi Selatan, telah diisolasi senyawa aktif yang diberi nama

Barangamide A. Barangamide merupakan senyawa baru berupa undecapeptide

siklik yang memiliki tiga unit N-methylated aminoacid, dan tiga ß-alanine yang

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka

30

saling berikatan secara bergantian. Barangamide A telah diuji aktivitasnya

terhadap sel leukemia limposit dan menunjukkan aktivitas sitotoksik yang

ditunjukkan dengan IC 50 1.3 -2.4 µm/ml. Bitungolides A diisolasi dari spons

Theonella swinhoei yang dikumpulkan dari perairan Bitung. Bitungolide

merupakan novel substance berupa polyketides. Bitungolides menunjukkan

aktivitas sitotoksik IC50 10 µg/ml (Rachmat 2008).

Senyawa lain yaitu Lembehyne A diisolasi dari spons Haliclona sp yang

diambil dari perairan Pulau Lembeh Sulawesi Utara. Dari hasil identifikasi

ditunjukkan Lembehyne A sebagai senyawa polyacetylene. Lembehyne A

merupakan novel substance serta menunjukkan aktivitas neuritogenik terhadap

sel kanker L1210 pada IC50 10 µm/ml. Melophlins A dan B diisolasi dari spons

Melophlus sarassinorum yang diambil dari perairan Kepulauan Spermonde

Sulawesi Selatan. Identifikasi dengan spektrofotometer FTIR dan NMR.

Melophlins A dan B merupakan senyawa tetramic acid. Selain Melophlins A dan

B dalam Melophlins A menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker HL60

pada konsentrasi 0.2 dan 0.4 µm/ml dan efek efek reversing MDR pada IC50 5

µm/ml. Selain Barangamide dari spons Theonella swinhoei asal Baranglompo

telah diisolasi dan diidentifikasi Swinholide A. Swinholide A merupakan senyawa

peptida dan memiliki aktivitas citotoxic terhadap KB sel dengan IC50 0.05 µm/ml

(Rachmat 2008).

Sifat sitotoksik dari senyawa bioaktif “lead compound “ spons yang diuji

bervariasi dari IC50 0.2 µm/ml -IC50 2.4 µm/ml untuk kriteria aktif sitotoksik. Ada

juga dengan IC50 10 µm/ml yaitu Bitungolide dan Lembehyne. Pada umumnya

kandungan bioaktif dalam hewan invertebrata yang diperoleh jumlahnya relatif

sangat kecil yaitu hanya sekitar 10-6 %/bobot basah. Diperlukan biomassa dalam

jumlah besar merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan atau

komersialisasi karena umumnya biomassa terdapat di alam senyawa aktif yang

tidak dapat dilanjutkan karena kekurangan biomassa. Di Indonesia belum

dilakukan budidaya spons secara komersial apalagi dalam kaitannya dengan

penggunaan untuk menghasilkan substansi bioaktif (Rachmat 2008).

Komponen Bioaktif Petrosia sp

Penelitian Rachmat (2005) tentang bioaktif spons dari perairan Sulawesi

diantaranya terdapat 2 jenis Petrosia sp yang potensial untuk diteruskan analisa

dan identifikasi bioprospektingnya. Di perairan Sulawesi ditemukan 103 spesies

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka

31

spons yang mengandung 60% alkaloid, 50% steroid dan 20% mengandung

steroid.

Dua senyawa yang disolasi dari spons Petrosia sp berasal dari Taman

Nasional Laut Bunaken adalah senyawa alkoloid yang menunjukkan tingkat

toksisitas cukup tinggi terhadap larva Artemia salina dengan LC50 masing-masing

sebesar 7.23 (isolat 1) dan 5.69 µg/ml (isolat 2). Sitotoksisitas terhadap sel

myeloma menunjukkan nilai LC50 masing-masing sebesar 16.95 µg /ml (isolat 1)

dan 18,8 µg (isolat 2) (Astuti 2005). Hasil uji fraksi metanol spons P. nigricans

dari perairan gosong Pulau Pramuka Kepulauan Seribu memiliki aktifitas

sitotoksik terhadap sel tumor Hela dengan nilai LC 50 sebesar 11.9 µg/ml dan

hasil uji Brine Shrimp Lethality Test bahwa ekstrak kasar P. nigricans memiliki

aktivitas tahap awal yang baik dengan LC50 23.4/ µg/ml (Nursid et al. 2006).

Hasil analisis dereplikasi substansi bioaktif fraksi polar Petrosia sp dari

perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa subfraksi aktif ini memiliki dua

senyawa mayor yang memiliki gugus karbonil (C=O), gugus nitrogen ikatan

rangkap dua (N=C), dan sistem siklik konjugasi ternitrogenasi merupakan

trigonelin dan aminozooanemonin, yaitu senyawa bioaktif umum pada organisme

laut yang memiliki peran primer sebagai regulator osmosis (Januar et al. 2007)

Penelitian bioaktif senyawa spons P. nigricans dari perairan Pulau Barang

Lompo Sulawesi Selatan ditemukan 17 senyawa dari ekstrak metanol yaitu 10

senyawa bahan alam yang sudah diketahui, 2 new cerebrosides, satu senyawa

turunan bis- indole dan 4 senyawa turunan new 2-oxo-purine (Ashour 2005).