bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Unsur Hara Tanaman untuk Tumbuh dan Berproduksi
Tumbuhan merupakan makhluk hidup yang tergantung sepenuhnya pada
bahan anorganik dari lingkungannya atau disebut autotrof. Tumbuhan
memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi untuk melakukan
fotosintesis. Untuk mensintesis bahan organik, tumbuhan memerlukan bahan
mentah dalam bentuk bahan-bahan anorganik seperti karbondioksida, air, dan
berbagai mineral yang ada sebagai ion anorganik dalam tanah. Melalui sistem
akar dan sistem tunas yang saling berhubungan, tumbuhan memiliki jaringan kerja
yang sangat intensif dengan lingkungannya seperti tanah dan udara yang
menyediakan bahan anorganik untuk membentuk senyawa karbon komplek
seperti karbohidrat, protein, lipid, dan lain sebagainya (Campbell et al. 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses yang penting
dalam kehidupan dan berlangsung secara terus menerus sepanjang daur hidup.
Pertumbuhan tanaman terjadi karena adanya proses-proses pembelahan sel dan
pemanjangan sel dimana proses-proses tersebut memerlukan karbohidrat dalam
jumlah besar. Menurut Lambers et al. (1998), pertumbuhan merupakan
pertambahan atau kenaikan berat kering, volume, panjang, dan luas yang
melibatkan pembelahan, ekspansi dan diferensiasi sel.
Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan dan hasil suatu
tanaman dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tumbuhnya. Pertumbuhan vegetatif
terbagi atas pertumbuhan daun, batang, dan akar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pertumbuhan daun dan batang ialah hormon dan genetik
(faktor dalam), hara, status air dalam jaringan tanaman, suhu udara, dan cahaya
(faktor luar). Pertumbuhan akar dipengaruhi suhu media tumbuh, ketersediaan
oksigen (aerasi), faktor fisik media tumbuh, pH media tumbuh, faktor dalam, dan
status air dalam jaringan tanaman. Pertumbuhan daun dan perluasan batang
menentukan luas permukaan daun dan struktur tajuk yang sangat penting
sehubungan dengan proses fotosintesis. Sedangkan perluasan akar akan
menentukan jumlah dan distribusi akar yang kemudian akan berfungsi sebagai
organ penyerap unsur hara mineral.
Dalam pertumbuhannya tanaman membutuhkan unsur hara yang cukup
banyak, baik hara makro maupun hara mikro yang berasal dari alam maupun
pupuk yang ditambahkan ke dalam tanah. Ketersediaan hara mineral makro dan
mikro tersebut sangat penting karena setiap zat mempunyai kegunaan yang
berbeda-beda. Hal itu pula yang mengakibatkan kebutuhan tanaman untuk setiap
zat berbeda-beda jumlahnya (Taiz & Zeiger 2002).
Hingga saat ini diketahui ada 19 unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh
tanaman, 10 di antaranya adalah hara esensial makro dan sisanya adalah esensial
mikro. Nama unsur, simbol unsur, bentuk ketersediaannya di dalam tanah, dan
jumlah akumulasinya di dalam tubuh tumbuhan dapat dililhat pada Lampiran 1.
Dari ke 19 unsur tersebut C, H, dan O mendominasi lebih dari 95% bobot kering
tumbuhan, sedangkan unsur lainnya kurang dari 5%. Unsur N yang diakumulasi
tumbuhan hanya memiliki proporsi sekitar 1,5% dari bobot kering sel atau
jaringan tumbuhan. Hal ini terkait dengan peran C, H, dan O sebagai kerangka
utama yaitu senyawa organik dalam tubuh tumbuhan. Unsur C dan O diperoleh
dari udara dalam bentuk CO2 dan O2, unsur H diperoleh dari dalam tanah dalam
bentuk air (H2O) (Hamim 2007).
Tanaman tidak dapat secara selektif menyerap unsur hara yang esensial bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Selain hara esensial, terdapat juga hara non
esensial yang dalam kondisi agroklimat tertentu bisa memperkaya pertumbuhan
tanaman dengan mendorong proses fisiologi. Hara tersebut disebut dengan hara
fungsional atau hara bermanfaat (pembangun) yang jika tidak ada maka
pertumbuhan tanaman tidak terganggu (Yukamgo & Yuwono 2007).
Pupuk Anorganik dan Pupuk Organik
Pemupukan bertujuan mengganti unsur hara yang hilang dan menambah
persediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan produksi
dan mutu tanaman. Ketersediaan unsur hara yang lengkap dan berimbang yang
dapat diserap oleh tanaman merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan dan
produksi tanaman. Pemupukan terutama dilakukan untuk menambahkan
kandungan unsur hara N, P, K, dan S. Pupuk anorganik (pupuk kimia) mempunyai
kandungan unsur hara yang tinggi, tetapi bila diberikan terus menerus pada tanah
akan mengakibatkan akumulasi unsur hara tertentu pada tanah yang pada akhirnya
akan merusak agregat tanah seperti adanya pemadatan (Kasniari & Supadma
2007). Pupuk anorganik telah secara intensif digunakan sejak tahun 1960-an.
Kemudian program intensifikasi pertanian khususnya pada komoditas padi (1970-
an) telah mendorong penggunaan pupuk anorganik secara luas, dan bahkan pada
daerah tertentu menunjukkan gejala berlebih (Rusastra et al. 2005).
Ada tiga faktor yang mendorong meningkatnya perhatian terhadap aplikasi
pupuk organik dan pupuk hayati di Indonesia, yaitu krisis ekonomi yang terjadi
pada tahun 1997, pencabutan subsidi pupuk oleh pemerintah pada tahun 1999, dan
tumbuhnya kesadaran terhadap potensi pencemaran lingkungan melalui
penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dan tidak efisien (Simanungkalit
2001). Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisa-sisa organisme
hidup. Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah dan sedikit menambah
unsur hara, serta dapat membuat unsur hara yang terikat di dalam tanah menjadi
tersedia untuk tanaman (Suriadikarta & Setyorini 2006). Pupuk organik yang
sering digunakan adalah pupuk kandang dan kompos.
Penggunaan pupuk organik dapat menjadi alternatif untuk mengurangi
berbagai dampak negatif dari pupuk anorganik, antara lain dengan memanfaatkan
limbah sisa panen dan tanaman sela dengan cara mendaur ulang menjadi kompos.
Penggunaan pupuk organik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan bahan
organik tanah, dan meningkatkan produktivitas lahan. Bahan organik sangat
diperlukan karena : (a) berperan dalam memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi
tanah, (b) meningkatkan kemampuan tanah menahan air dan mencegah erosi, (c)
berperan dalam penyediaan unsur hara dan sumber energi bagi mikroorganisme
bagi tanah (Rusastra et al. 2005).
Fungsi fisika bahan organik adalah pengikat butiran primer menjadi butiran
sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar
pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah dan
temperatur tanah. Bahan organik dengan rasio C/N tinggi seperti jerami atau
sekam lebih besar pengaruhnya pada perubahan sifat-sifat fisik tanah dibanding
bahan organik yang terdekomposisi seperti kompos dan pupuk kandang (Arafah &
Sirappa 2003).
Secara kuantitatif, bahan organik sedikit mengandung unsur hara. Namun,
fungsi kimia yang penting antara lain penyedia hara makro seperti N, P, K, Ca,
Mg, dan S dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, Mn, dan Fe (Simanungkalit et al.
2006). Fungsi kimia lain dari bahan organik adalah dapat mencegah kahat unsur
mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif
dengan pemupukan yang kurang berimbang, meningkatkan Kapasitas Tukar
Kation (KTK) tanah, dan dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam
(Al, Fe, dan Mn). Ion-ion logam tersebut dapat meracuni tanaman serta
menurunkan penyediaan hara (Rusastra et al. 2005).
Fungsi biologis bahan organik adalah sebagai sumber energi dan makanan
bagi mikroorganisme tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan
menyebabkan aktivitas dan populasi mikroba dalam tanah meningkat, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi. Dengan demikian,
pemberian pupuk organik berperan dalam penyediaan hara dan siklus hara dalam
tanah untuk mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman (Nuraini 2009).
Pupuk Hayati
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan pupuk
organik diantaranya rendahnya kandungan unsur hara dalam pupuk tersebut, sulit
dalam penyimpanan, dan petani pada umumnya kesulitan untuk
mengaplikasikannya. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut adalah penggunaan pupuk organik yang
mengandung mikroba aktivator (biofertilizer).
Ada banyak mikroorganisme berkembang di tanah, terutama di rhizosfer
tanaman. Berbagai spesies bakteri dan jamur memiliki hubungan fungsional dan
merupakan sebuah sistem holistik dengan tanaman. Mikroorganisme tersebut
mampu memberi efek yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Vessey
2003). Mikroba-mikroba tanah berperan di dalam penyediaan dan penyerapan
unsur hara bagi tanaman, misalnya hara Nitrogen (N), fosfor (P), dan Kalium (K)
(Isroi 2007).
Pupuk hayati menjadi satu alternatif input produksi dalam budidaya
tanaman, khususnya kegiatan yang menyangkut pemupukan. Pupuk hayati
didefinisikan sebagai sebuah komponen yang mengandung mikroba untuk
meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. Pupuk tersebut mengandung
mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk
membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman (Simanungkalit 2001).
Pupuk hayati juga membantu usaha mengurangi pencemaran lingkungan akibat
penyebaran hara yang tidak diserap tanaman pada penggunaan pupuk anorganik
(Saraswati & Sumarno 2008).
Dalam memacu pertumbuhan tanaman, PGPR dapat berperan langsung
maupun tidak langsung. Peran secara langsung dari bakteri tersebut dapat dengan
cara meningkatkan ketersediaan hara serta menghasilkan hormon pertumbuhan
(Vessey 2003). Bakteri PGPR juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman secara tidak langsung yaitu dengan cara memproduksi senyawa-senyawa
metabolit seperti siderofor, HCN, amonia, dan antibiotik, serta menekan
pertumbuhan bakteri, jamur dan nematoda patogen (Viveros et al. 2010; Samuel
& Muthukkaruppan 2011).
Weller et al. (2002) melaporkan bahwa komunitas mikroba dapat berperan
dalam pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme, antara lain
meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam tanah, menghasilkan hormon
yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman, meningkatkan kemampuan
bersaing dengan patogen akar, dan meningkatkan serapan unsur-unsur hara oleh
tanaman. Kemampuan mikroba dalam menjalankan fungsi ekologis beragam
sehingga untuk memanfaatkannya perlu dilakukan seleksi. Selanjutnya, mikroba
unggul hasil seleksi dapat diperbanyak dan digunakan sebagai pupuk hayati.
Pupuk Hayati Penambat Nitrogen
Unsur N terdapat dalam jumlah yang melimpah di udara yaitu kurang lebih
78%. Namun, N udara berbentuk gas N2 dan tidak dapat langsung dimanfaatkan
oleh tanaman. Tanaman hanya dapat menyerap unsur N dalam bentuk tersedia
seperti ammonium (NH4+) dan Nitrat (NO3
-) (Salisbury & Ross 1995). Oleh
karena itu, supaya dapat dimanfaatkan oleh tanaman maka N2 perlu diubah
menjadi bentuk N terikat. Pengikatan (fiksasi) N dapat dilakukan secara kimia
melalui proses industri maupun secara biologi. Pengikatan N2 dalam proses
industri dapat menghasilkan pupuk anorganik seperti urea. Pengikatan N secara
biologi dilakukan oleh berbagai jenis mikroba penambat N baik secara simbiotik
maupun non simbiotik (Hamim 2007). Pengikatan N oleh bakteri penambat N
ditunjukkan dengan persamaan kimia berikut ini:
N2 + 8 H+ + 8 elektron + 16 ATP 2 NH3 + H2 + 16 ADP + 16 Pi
Dua molekul amoniak terbentuk dari 1 molekul gas nitrogen serta
diperlukan 16 molekul ATP dan suplai elektron dan proton. Reaksi kimia tersebut
dapat dilakukan oleh organisme prokariot seperti bakteri dengan menggunakan
kompleks enzim nitrogenase (Salisbury & Ross 1995).
Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman
leguminose (kacang-kacangan) saja, sedangkan mikroba penambat N non
simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman (Kristanto 2002). Mikroba
penambat N simbiotik contohnya adalah Rhizobium sp. yang hidup pada bintil
akar tanaman kacang-kacangan. Mikroba penambat N non simbiotik misalnya
Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. (Isroi 2007). Menurut Hamim (2007),
Rhizobium hidup dalam bintil akar yang mampu secara kimia menambat nitrogen
bebas (N2) dari udara dan mengubahnya menjadi amoniak (NH3) yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman inang untuk tumbuh dan berkembang.
Saraswati (1999) melaporkan bahwa Bradyrhizobium japonicum dan
Shinorhizobium japonicum adalah bakteri bintil akar yang dapat mengikat
nitrogen bebas melalui simbiosis dengan tanaman kedelai (Glycine max) sehingga
dapat menyediakan nitrogen siap pakai bagi tanaman. Selain itu, penggunaan
pupuk mikroba yang mengandung bakteri bintil akar Bradyrhizobium japonicum,
bakteri pelarut fosfat Pseudomonas, Micrococcus, Bacillus, dan bakteri pemacu
tumbuh Azospirillum dapat meningkatkan ketersediaan hara N dan P.
Dalam banyak studi awal tentang peran PGPR pada produksi tanaman
graminaceous, diduga bahwa bakteri meningkatkan masukan nitrogen ke dalam
tanah karena banyak PGPR mampu mengikat nitrogen bebas (Cummings 2009).
Isminarni (2007) melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya diperoleh satu isolat
Azotobacter yang memiliki kemampuan menambat N, juga menghasilkan IAA,
dan berdasarkan hasil pengujian morfologi dan biokimia menunjukkan bahwa
isolat ini memiliki kemiripan yang tinggi dengan Azotobacter chroococum.
Matiru dan Dakora (2003) melaporkan bahwa bakteri PGPR seperti
Azorhizobium caulinodan ORS571, Rhizobium NGR234, Rhizobium GHR2,
Sinorhizobium meliloti strain1, Rhizobium leguminosarum bv. viceae Cn6, and R.
leguminosarum bv. viceae strain 30 yang diinfeksikan pada akar sorgum dan
millet memproduksi fitohormon seperti auksin, sitokinin, gibberellin, dan asam
absisat yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati yang terdiri atas
mikroba penambat N mampu mensuplai hingga 300-500 kg N/ha (Simarmata &
Yuwariah 2008).
Pupuk Hayati Pelarut Fosfat
Kelompok mikroba lain yang juga berperan sebagai pupuk hayati adalah
mikroba pelarut P dan K. Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P
cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit atau tidak tersedia bagi tanaman,
karena terikat pada mineral liat tanah. Peranan mikroba pelarut P ini adalah
melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak
sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp.,
Penicillium sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus megatherium. Mikroba yang
berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam
melarutkan K (Isroi 2007).
Bakteri PGPR seperti Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. dapat menghasilkan
asam-asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan asam laktat yang dapat
melarutkan fosfat dalam bentuk yang sulit larut. Asam-asam organik ini
membentuk khelat dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah seperti Al3+
dan Fe3+
. Khelat tersebut dapat menurunkan reaktivitas ion-ion tersebut sehingga
menyebabkan pelarutan fosfat yang efektif (Han & Lee 2005). Hal tersebut sesuai
hasil penelitian Han et al. (2006) dimana inokulasi bersama antara bakteri pelarut
P dengan bakteri pemobilisasi K telah meningkatkan serapan hara N, P, dan K
pada tanaman merica dan ketimun. Dalam kaitan dengan mineralisasi P organik,
beberapa mikroba menghasilkan enzim-enzim bebas yang disebut fosfatase.
Sedangkan, dalam kaitannya dengan pelarutan P anorganik beberapa mikroba
menghasilkan asam-asam organik yang berfungsi untuk meningkatkan kelarutan
senyawa P, seperti asam α ketoglutarat, asam oksalat, dan asam tatrat (Ma’shum
et al. 2003).
Gray dan Smith (2005) melaporkan bahwa Bacillus japonicum dan Bacillus
polymaxa merupakan bakteri pelarut fosfat yang dapat meningkatkan P tanah
menjadi bentuk tersedia, selain itu juga mampu menghasilkan hormon IAA
(Indole Acetic Acid) yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Bharathi et al.
(2004) melaporkan bahwa bioformulasi yang mengandung P. fluorescens Pf-1, B.
subtilis, biji nimba dan kitin efektif meningkatkan luas daun, panjang batang,
jumlah bunga, buah, rata-rata panjang buah, dan total hasil tanaman cabe pada
kondisi rumah kaca dan lapangan.
Aplikasi Terpadu Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pupuk Anorganik
Arafah dan Sirappa (2003) melaporkan bahwa hasil penelitian penggunaan
bahan organik, seperti sisa-sisa tanaman yang melapuk, kompos, pupuk kandang
atau pupuk organik cair menunjukkan bahwa pupuk organik dapat meningkatkan
produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk,
terutama pupuk K. Penggunaan pupuk organik yang bersumber dari jerami
menunjukkan kecenderungan pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tanpa pupuk organik, baik secara tunggal maupun
interaksinya dengan pupuk N, P, dan K. Pupuk organik berupa kompos
merupakan substansi penting dalam memperbaiki sifat biologi tanah sehingga
tercipta lingkungan yang lebih baik bagi perakaran tanaman disamping sebagai
sumber energi bagi mikroba tanah dalam proses dekomposisi dan pelepasan hara.
Pupuk kimia tidak dapat menggantikan manfaat ganda bahan organik, namun
dapat ditambahkan untuk mempercepat dekomposisi dan membuat hara lebih
tersedia.
Chandrasekar et al. (2005) melaporkan bahwa biofertilizer yang terdiri atas
Azotobacter dan Azospirillum yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik
menunjukkan hasil yang lebih baik pada parameter morfologi dan produksi pada
tanaman millet bila dibandingkan dengan aplikasi tunggal dari masing-masing
perlakuan. Perlakuan biofertilizer yang dikombinasikan dengan 100% urea
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Saraswati dan
Sumarno (2008) melaporkan bahwa aplikasi pupuk hayati, kompos dari serasah
jagung (5 t/ha) dan pupuk N, P, dan K dosis 50% mampu meningkatkan hasil padi
gogo sampai dengan 153%. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian pupuk
anorganik masih diperlukan sampai batas dimana pemberian pupuk anorganik
tersebut tidak menekan perkembangan mikroorganisme tanah.