bab ii tinjauan pustaka

28
15 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Laut Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik saja, sedangkan laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi (Mauna 2005). Dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (DKP 2001), wilayah laut adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Laut merupakan jalan raya yang menghubungkan seluruh pelosok dunia, melalui laut masyarakat dari berbagai bangsa mengadakan segala macam pertukaran dari komoditi perdagangan sampai ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa laut merupakan sarana penting dalam hubungan internasional, sebagai contoh-contoh kompetisi antar negara-negara besar untuk menguasai laut, karena barangsiapa yang menguasai laut akan menguasai lalu-lintas laut dan barangsiapa menguasai lalu-lintas laut juga akan menguasai dunia. Khusus bagi negara pantai, dalam menjalankan kegiatan di laut, maka perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara bersama oleh negara-negara pantai melalui konvensi untuk menjaga kebebasan di laut lepas atau kepentingan- kepentingan khusus negara pantai. (Mauna 2005). Lebar laut negara pantai menetapkan laut teritorialnya hinga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal (Pasal 3 UNCLOS). Sedangkan batas luar laut teritorial adalah garis jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. (pasal 4 UNCLOS). 2.1.2 Wilayah pesisir Wilayah pesisir (coastal zone) belum dididefiniskan secara baku, namun terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al. 2001). Sebagai kawasan daratan,

Upload: anjelita-salassa

Post on 11-Dec-2014

75 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka

15

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

2.1.1 Laut

Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan

bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik saja, sedangkan laut menurut definisi

hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh

permukaan bumi (Mauna 2005).

Dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (DKP 2001),

wilayah laut adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administrasi dan atau aspek fungsional. Laut merupakan jalan raya yang

menghubungkan seluruh pelosok dunia, melalui laut masyarakat dari berbagai

bangsa mengadakan segala macam pertukaran dari komoditi perdagangan sampai

ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa laut merupakan sarana penting dalam

hubungan internasional, sebagai contoh-contoh kompetisi antar negara-negara

besar untuk menguasai laut, karena barangsiapa yang menguasai laut akan

menguasai lalu-lintas laut dan barangsiapa menguasai lalu-lintas laut juga akan

menguasai dunia.

Khusus bagi negara pantai, dalam menjalankan kegiatan di laut, maka

perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara bersama oleh negara-negara

pantai melalui konvensi untuk menjaga kebebasan di laut lepas atau kepentingan-

kepentingan khusus negara pantai. (Mauna 2005).

Lebar laut negara pantai menetapkan laut teritorialnya hinga suatu batas

yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal (Pasal 3 UNCLOS).

Sedangkan batas luar laut teritorial adalah garis jarak setiap titiknya dari titik yang

terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. (pasal 4 UNCLOS).

2.1.2 Wilayah pesisir

Wilayah pesisir (coastal zone) belum dididefiniskan secara baku, namun

terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al. 2001). Sebagai kawasan daratan,

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka

16

wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti

pasang surut, intrusi air laut dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari

proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu

pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi

pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau

kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil

laut dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota.

Dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah

perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang

akan dikelola secara bertanggung-jawab.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian integral

dari pembangunan kelautan dan perikanan, perlu mendapat perhatian dengan skala

prioritas yang tinggi dan menjadi bagian dari orientasi kebijakan perencanaan

pembangunan nasional. Mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

merupakan tempat bermukim sebagian penduduk (60% penduduk Indonesia

tinggal di wilayah pesisir), juga memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam

yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati,

sehingga dalam melaksanakan program pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil

memerlukan pendekatan terpadu yaitu pendekatan: ekologi, adminsitasi,

perencanaan, sosial, budaya, dan hukum.

2.1.3 Pulau-pulau kecil

Definisi pulau dalam Pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk

secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada

air pasang, sedangkan definisi pulau sebagaimana yang tercantum dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 (Bab VIII Pasal 121 ayat 1) bahwa: Pulau adalah

massa daratan yang terbentuk secara alamiah, di kelilingi oleh air dan selalu

berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau kecil

secara harafiah merupakan kumpulan pulau berukuran kecil yang secara

fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.

Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya

(mainland).

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka

17

Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol menurut Griffith dan

Inniss (1992) serta Beller, 1990) adalah:

(1) terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler

(2) memiliki persediaan air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau air

permukaan

(3) rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan

manusia

(4) memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan

(5) tidak memiliki daerah hinterland.

Menurut Brookfield (1990), pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya

sekitar 1.000 km2 dan penduduk lebih kecil dari 100.000 orang. Batasan ini juga

digunakan di Jepang (Nakajima dan Machida, 1990). Berkaitan dengan hal

tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP 2001) mendefinisikan pulau

kecil sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 2.000 km2 dengan jumlah

penduduk sekitar 200.000 jiwa (Abubakar 2004).

Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi

manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan

penyerap limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan

manfaat lain bagi kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk

kegiatan usaha pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan

dan devisa, serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah yang sangat

berharga bagi keberlangsungan kehidupan manusia.

Pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan, sebagai pulau

dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi)

beserta kesatuan ekosistemnya.

2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara

Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga

keberadaannya mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan.

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka

18

Menurut Dahuri (1998), potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan

menjadi tiga, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi

ekonomi, dan (3) potensi sebagai bisnis pertahanan negara.

Lebih lanjut Dahuri (1998) menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam

dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil terluar terdiri dari sumberdaya hayati

(padang lamun, terumbu karang, dan hutan manggrove), yang sangat berperan

dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota

perairan. Sementara itu, potensi sumberdaya non-hayati seperti bahan tambang,

energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi.

Upaya untuk menjadikan pulau-pulau terluar sebagai basis pengembangan

komuditas pertanian, perikanan, peternakan atau industri, serta jasa lingkungan

bukan merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, hal ini dikarenakan oleh

masing-masing sektor mempunyai peluang yang sama. Adakalanya

pengembangan jasa lingkungan pada pulau-pulau kecil terluar mendapat

tantangan dari para aktivis lingkungan, karena diduga dapat merusak lingkungan

ekosistem pesisirnya.

Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya

yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana

perekonomian seperti: jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga

perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan masyarakat

rendah serta kualitas sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas

pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan

(Bengen 2004).

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan Pasal 5

dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan

perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi

manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta

proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka

19

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan

dengan cara mengintegrasikan kegiatan: (a). antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah; (b). antar Pemerintah Daerah; (c). antar sektor; (d). antara Pemerintah,

dunia usaha, dan Masyarakat; (e). antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan

(f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

2.3 Hukum Laut Indonesia

Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah

diakui dunia internasional yang penetapannya sejak Indonesia meratifikasi

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 31 Desember 1985 melalui

Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Convention on the Law of the Sea 1982. Konvensi ini telah memberi pengakuan

terhadap status Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan dicantumkannya

Bab IV pasal 46 sampai pasal 54 tentang Negara Kepulauan. Menurut Konvensi

Hukum Laut 1982 Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari

berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai

berikut:

(1) Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil laut

(2) Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil laut

(3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): 200 mil laut, dan

(4) Landas kontinen: antara 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari

isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia

memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai

negara kepulauan Indonesia berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada

sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada

perairan kepulauannya, dan pada zona maritim harus diukur dari garis-garis

pangkal atau garis dasar.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah

menetapkan batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di

laut, termasuk memberikan dasar dalam menetapkan garis batas (boundary)

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka

20

dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, baik negara-negara yang

letaknya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Undang-

undang tersebut telah dilengkapi dengan pelaksanaannya yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik

Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Karena Peraturan Pemerintah

tersebut, masih memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, dimana kedua pulau

tersebut terdapat 3 (tiga) titik pangkal pengukuran dan letaknya sangat strategis

dalam mempertegas batas-batas terluar, sehingga Pengumunan Pemerintah

tersebut secepatnya dilakukan perubahan sehingga tidak menimbulkan

permasalahan yang baru di wilayah tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam arti laut mempunyai makna

sebagai satu kesatuan wilayah, memiliki dua aspek utama yaitu keamanan

(security) dan kesejahteraan (prosperity), sehingga penetapan batas-batas terluar

wilayah sebagai yuridiksi negara di laut dengan negara-negara yang bertetangga

perlu dilaksanakan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat

menunjang berbagai kegiatan pembangunan nasional dibidang pertahanan

keamanan, perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan seperti: eksplorasi dan

eksploitasi mineral-gas dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk harta warisan

muatan kapal tenggelam, dan lain sebagainya. Penyempurnaan batas-batas

wilayah dan yuridiksi negara di laut harus dapat menunjukkan tegaknya wibawa

Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terwujudnya rasa

aman, perekonomian dan teknologi yang maju untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu.

Posisi geografis Indonesia mempunyai batas dengan sepuluh negara di

perairan dan di daratan tiga negara, sehingga pengaturan wilayah perbatasan

penting diselesaikan karena sangat strategis. Oleh karena itu Indonesia

mengakomodasikan kepentingan internasional di perairan Indonesia, yakni

menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi

perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan,

bagi kapal-kapal asing. Dengan meningkatnya kepentingan keamanan nasional,

maka kebijakan di wilayah laut yang pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka

21

kegiatan di atas permukaan laut, saat ini telah diarahkan pada pengelolaan

sumberdaya di zona ekonomi eksklusif, dasar laut dan kekayaan mineral yang

terkandung di dalamnya, sehingga terjadi perubahan pengertian hukum laut yang

dahulu bersifat unidimensional sekarang telah menjadi pluridimensional, yang

sekaligus merubahn filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu (Mauna 2005).

2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan

Pembangunan kawasan perbatasan menurut Dahuri yang diacu Pratikto et

al. (2006) mencakup beberapa aspek utama, seperti: (1) geografi (meliputi

pembuatan jaringan perhubungan laut, darat dan udara, serta sarana komunikasi),

(2) demografi (mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk

keperluan kekuatan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta), serta (3)

sumberdaya alam (untuk mengetahui secara rinci data dasar keseluruhan kekayaan

sumberdaya alam dan sistem pengamanannya). Selain aspek utama lainnya

berupa: (4) ideologi (berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan ideologi guna

menangkal ideologi asing), (5) politik (mencakup pemahaman sistem politik

nasional dan menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah

sebagai mitra pembinaan teritorial serta pemahaman politik internasional negara

tetangga), dan (6) perhubungan (mencakup pembangunan sarana perhubungan

sehingga terbuka akses pengembangan ekonomi, pendukung logistik,

pemberdayaan masyarakat dan wilayah pertahanan keamanan). Aspek lainnya

berupa: (7) ekonomi, sosial dan budaya (meliputi peningkatkan akses pasar,

kualitas komuditi, pendidikan kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta

meningkatkan ketahanan budaya guna membendung penetrasi budaya asing) dan

(8) pertahanan dan keamanan (seperti pembuatan pos-pos perbatasan),

pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai

dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa

masyarakat).

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal

memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah untuk

kepentingan nasional maupun internasional. Secara geografis penetapan batas

wilayah negara di darat maupun di laut belum tuntas diselesaikan dimana

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka

22

Indonesia memiliki bagian laut yang langsung berbatasan dengan 10 (sepuluh)

negara tetangga yaitu (1) Australia, (2) Filipina, (3) India, (4) Malaysia, (5) Palau,

(6) Papua Nugini, (7) Singapura, (8) Timor Leste, (9) Thailand dan (10) Vietnam.

Berberapa penjanjian bilateral yang disepakati adalah garis batas laut teritorial,

ZEE dan landas kontinen dengan beberapa negara tetangga antara lain dengan

Singapura, Malaysia, Thailand, India, Papua Nugini dan Aurtralia, sedangkan

Filipina, Palau, Timor Leste, dan Vietnam belum mencapai persetujuan. (Agoes

2002).

Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu dilakukan

secara komprehensif dengan tidak mengabaikan potensi dan karakteristik yang

mencakup antara lain aspek sumberdaya alam hayati dan non-hayati; aspek sarana

dan pra-sarana pembangunan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya,

hukum, kelembagaan, serta geopolitik. Dengan tidak menyampingkan

kepentingan pembangunan pemanfaatan pulau-pulau kecil, maka penataan ruang

sangat penting untuk di dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan

konflik pengelolaan. Penataan ruang pesisir termasuk pulau-pulau kecil dapat

dilakukan untuk menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat

penangkapan ikan, budidaya perairan, wisata, dan konservasi. Penetapan

pengelolaan pulau-pulau terluar dilakukan secara terencana dan

berkesinambungan, terus menenus (continous presence), kemudian dalam proses

penyusunan dituangkan dalam kebijakan jangka panjang di daerah pada dokumen-

dokumen Rencana Strategi, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana

Aksi.

Wilayah perbatasan Indonesia – Filipina dibatasi oleh pulau-pulau kecil

yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara, dan masuk dalam wilayah

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Jumlah pulau-

pulau kecil yang terdapat di dalam dua wilayah tersebut berdasarkan data dari

Dinas Hidrografi–Oseanografi (DISHIDROS) TNI Angkatan Laut November

2003 berjumlah 11 (sebelas) pulau yaitu (1) Pulau Bangkit; (2) Pulau Manterawu;

(3) Pulau Makalehi; (4) Pulau Kawalusu; (5) Pulau Kawio; (6) Pulau Marore; (7)

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka

23

Pulau Batubawaikang; (8) Pulau Miangas; (9) Pulau Marampit; (10) Pulau Intata;

(11) Pulau Kakorotan.

Kompleksitas permasalahan pengelolaan batas negara di wilayah laut

terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang belum

ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar yang

belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama penataan

ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan kesejahteraan.

Tindakan yang sering dan selalu terjadi di laut wilayah perbatasan negara yang

merupakan penyakit pesisir (coastal disease) antara lain pencurian ikan oleh

nelayan asing, di daratan kemiskinan masyarakat karena kesulitan akses dan

transportasi, kurang perhatian pembangunan sarana dan prasarana oleh

pemerintah, mobilitas masyarakat di pelintasan batas, pengelolaan sumberdaya

tidak terkontrol, dan kurangnya pengawasan aparat pemerintah, sulit melakukan

pemasaran dan kurang penentuan harga jual hasil perikanan dalam negeri

sehingga penjualan hasil perikanan dilakukan ke negara tetangga.

Menurut Sabarno (2003) dalam pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil

terluar terdapat permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga yang

meliputi :

(1) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyeluruh

untuk pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar;

(2) Penyelesaian permasalahan perbatasan negara saat ini masih tergantung pada

pertimbangan keuntungan dan kerugian dari wilayah tersebut;

(3) Penetapan batas negara masih menggunakan acuan survei dan pemetaan

wilayah yang bersifat parsial, sehingga realisasinya memerlukan koordinasi

yang panjang dan berbelit-belit;

(4) Penyelesaian permasalahan perbatasan masih bersifat insidentil dan

situasional.

Menurut Numberi (2006) isu tentang pembangunan pulau-pulau kecil

terluar diantaranya adalah kedaulatan, ekonomi dan penegakan hukum.

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka

24

Pengelolaan perbatasan sampai saat ini belum memberikan filosofi riil dan

menyentuh semua aspek yang menyertainya, termasuk teknis pelaksanaannya di

lapangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintah telah

mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Pulau-Pulau Kecil terluar yang merupakan landasan juridis yang secara khusus

berkaitan dengan pengelolaan di daerah daerah perbatasan. Beberapa hal yang

penting dalam pengelolaan tersebut adalah mencakup beberapaa bidang yaitu : (1)

bidang sumberdaya alam dan lingkungan; (2) infrastruktur dan perhubungan; (3)

pembinaan wilayah; (4) pertahanan dan keamanan; dan (5) sosial ekonomi dan

budaya.

Pengembangan pulau-pulau di wilayah perbatasan tidak terlepas dari visi-

misi pengembangan kawasan perbatasan secara umum dan kecenderungan

perubahan global dan regional yang terjadi diantaranya adalah:

(1) Liberalisasi perdagangan internasional dan tumbuhnya kawasan-kawasan

perdagangan bebas di ASEAN dan Asia Pasifik

(2) Meningkatkan kerjasama ekonomi sub-regional IMT-GT, IMS-GT, BIMP-

EAGA dan AIDA

(3) Kejahatan teroganisir lintas negara

(4) Perubahan iklim global, pemanasan suhu air laut, pencairan es di kutub utara

dan meningkatnya permukaan air laut, dan

(5) Pencemaran akibat angkutan laut dan pembuangan limbah berbahaya serta

beracun (Retraubun 2006).

Menurut Sarundajang (2006) pemerintah provinsi Sulawesi Utara harus

mampu menjaga wilayah kedaulatannya sebagai bagian kewenangan pengelolaan,

sehingga memberikan citra stabil di perairan nasional dan regional, mewujud-

nyatakan kewenangan pengelolaan di laut, penyelesaian sengketa batas wilayah

laut dengan negara tetangga Filipina dan Kerajaan Malaysia. Program

pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara sesuai dengan

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010, telah ditetapkan bahwa kegiatan-

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka

25

kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan

sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berkelanjutan adalah:

(1) Pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis

masyarakat, khususnya di pulau-pulau terluar

(2) Sosialisasi peringatan dini dan penanggulangan bencana alam di laut dan

pesisir (mitigasi bencana)

(3) Managemen kawasan pesisir secara terpadu

(4) Rencana Tata Ruang Pembangunan kawasan pesisir secara terpadu

(5) Pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir

(6) Pengendalian pencemaran

(7) Bersih pantai dan laut

(8) Rehabilitasi ekosistem mangrove

(9) Rehabilitasi ekosistem karang

(10) Pembuatan daerah perlindungan laut dan kawasan konservasi laut daerah,

cagar alam laut, dan

(11) Identifikasi penamaan laut.

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Berdasarkan ketentuan umum dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun

2007 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan

pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara

ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kegiatan pembangunan dan pengalaman empiris, terbukti bahwa

perencanaan pembangunan yang dilakukan secara sektoral, tidak atau belum

membuahkan hasil maksimal dalam mencapai pemanfaatan ekosistem pesisir dan

laut secara berkelanjutan. Oleh karena itu dalam setiap perencanaan pembangunan

perlu pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu, dengan teknik bahwa

pengelolaan pesisir terpadu menjadikan fasilitator optimalisasi keuntungan

ekonomi sosial, pemanfaatan sumberdaya alam, serta jasa-jasa lingkungan di

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka

26

wilayah pesisir. Pendekatan pengelolaan pesisir terpadu dapat menjamin

pemeliharaan struktur dan integritas fungsional ekosistem serta aliran sumberdaya

alam secara berkesinambungan, dan sangat baik untuk negara-negara yang sedang

berkembang dimana pembangunan ekonominya sangat tergantung pada kualitas

lingkungan dan sumberdaya alam.

Dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

seperti yang diatur dalam perundangannya yaitu :

(1) Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor

untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran

dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat

untuk memantau rencana tingkat nasional.

(2) Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber

daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola

ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh

dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat

dilakukan setelah memperoleh izin.

(3) Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka

kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian

pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah

mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan

di zona yang ditetapkan.

(4) Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan

jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk

melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil

pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan

perencanaan.

(5) Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan

arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka

27

Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan

teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada

gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan

oleh Pemerintah Daerah.

Dengan pelaksanaan perencanaan pembangunan pengelolaan pesisir secara

terpadu merupakan suatu proses yang dinamis dan terus menerus, dimana segala

keputusan dibuat untuk penggunaan yang berkelanjutan, serta pembangunan dan

perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998) tujuan pengelolaan pesisir terpadu

adalah:

(1) Untuk mencapai pembangunan daerah pesisir dan lautan yang berkelanjutan

(2) Untuk mengurangi gangguan alam yang membahayakan daerah pesisir dan

makhluk hidup yang terdapat di dalamnya

(3) Untuk mempertahankan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan, dan

keanekaragaman hayati di daerah pesisir dan lautan.

Pada prinsipnya pengelolaan pesisir terpadu dapat mengakomodasikan

adanya spektrum zonasi dari wilayah pesisir dan lautan yaitu (1) daerah

pedalaman (inland areas), (2) daerah pantai (coastal lands), (3) perairan pantai

(coastal water), (4) perairan lepas pantai (offshore waters), dan laut bebas (high

sea). Masing-masing zona tersebut memiliki kepemilikan, ketertarikan pemerintah

serta institusi yang berbeda. Melalui beberapa dimensi integrasi yang ada dalam

pengelolaan pesisir terpadu, proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan

menjadi sesuatu yang penting dalam keberlanjutan sumberdaya (Dahuri 2003).

2.6 Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Untuk memandu perencanaan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu

di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menentukan prinsip-prinsip

dasar pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang diuraikan dalam Pedoman Umum

Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu, seperti dikutip secara utuh. Prinsip-prinsip

umum menguraikan mengenai kaidah keterpaduan perencanaan, desentralisasi

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka

28

pengelolaan, pembangunan berkelanjutan, dan keterbukaan serta partisipasi

masyarakat. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir terpadu meliputi: (1) keterpaduan,

(2) desentralisasi pengelolaan, (3) pembangunan berkelanjutan, (4) keterbukaan dan

peran serta masyarakat, dan (5) kepastian hukum.

2.6.1 Prinsip keterpaduan

(1) Keterpaduan perencanaan sektor secara horisontal

Keterpaduan perencanaan horisontal adalah memadukan perencanaan dari

berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu,

sektor perikanan, sektor pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri

maritim, sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan sektor

pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat pemerintahan yaitu

Kabupaten/Kota, Provinsi, atau pemerintah pusat.

(2) Keterpaduan perencanaan secara vertikal

Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan

perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi,

sampai tingkat Nasional.

(3) Keterpaduan ekosistem darat dan laut

Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan

kombinasi pendekatan batas ekologis, misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan

wilayah administratif Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis

perencanaan; sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan

pertanian dan industri, perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.

(4) Keterpaduan sains dan manajemen

Pengelolaan pesisir terpadu perlu didasarkan pada masukan (input) data dan

informasi ilmiah yang absah untuk memberikan berbagai alternatif dan

rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi,

karakteristik sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan, dan biogeofisik lingkungan

setempat.

(5) Keterpaduan antar negara

Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan negara tetangga perlu mengintegrasikan

kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumber daya pesisir masing-masing

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka

29

negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antarnegara antara

lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumber daya pesisir yang

bersifat lintas negara, seperti di pesisir antara Pulau Batam dengan Singapura.

2.6.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan

Tujuan utama pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkan

sumber daya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan

pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian

sumber daya pesisir dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, baik untuk

generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Untuk itu, laju

pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju

regenerasi sumber daya hayati, atau laju inovasi untuk menemukan substitusi sumber

daya nir-hayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi

dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan

harus dilakukan dengan hati-hati (precautionary principles), selain mengantisipasi

dampak negatifnya.

2.6.3 Prinsip keterbukaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat

Keterbukaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan akan

memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami bahwasanya

perencanaan perundang-undangan yang ditetapkan Pemerintah pada dasarnya adalah

untuk kepentingan masyarakat.

Prinsip ini juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut

berperan menyusun perencanaan, melaksanakan, serta memantau sekaligus

mengendalikan pelaksanaannya, sehingga masyarakat pesisir menjadi lebih

berdaya. Keterbukaan Pemerintah dalam menginformasikan rumusan kebijakan dan

rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang akan memberi

peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan gagasan, persepsi,

keberatan, usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan

dengan pengelolaan sumber daya pesisir. Keterbukaan tersebut juga dapat

menambah wawasan masyarakat tentang proses pengambilan keputusan yang

dilakukan oleh pemerintah.

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka

30

Dengan demikian, kebijakan atau kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah

dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang

muncul akibat penetapan kebijakan itu sendiri. Oleh sebab itu, konsultasi publik

yang melibatkan stakeholders utama sejak proses perencanaan, pelaksanaan, sampai

tahap pengendalian adalah sesuatu yang sangat penting.

2.7 Hak-Hak pada Sumberdaya Properti Bersama

Menurut Ostrom (1996), pemanfaatan sumberdaya properti bersama dibatasi

dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya. Hak-

hak tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Hak Akses adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki

batas-batas fisik yang jelas

(2) Hak Memanfaatkan adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan

cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang

berlaku

(3) Hak Mengatur adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta

meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan

stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan lingkungan

(4) Hak Eksklusif adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak

akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain

(5) Hak Mengalihkan adalah hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak

tadi kepada orang lain.

Hak akses dan hak memanfaatkan lebih bersifat operasional dan melekat

dengan pemegang hak sebagai individu. Keputusan dalam menjalankan hak-hak

ini adalah keputusan individu dan pada hakekatnya tidak dipengaruhi orang lain.

Begitu hak ini diberikan kepada seseorang, dia dapat memutuskan langkah-

langkah operasionalnya sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Oleh

karena itu, kedua hak ini menjamin pemegangnya melakukan aksi-aksi pilihan

individu (individual-choice actions).

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka

31

Hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya properti bersama ini boleh

diibaratkan dengan hak azasi seseorang. Pemilikan hak ini dapat melalui

pemberian, pembelian, penyewaan, perizinan, atau karena faktor warisan dan

keturunan. Seringkali hak-hak ini secara otomatis tanpa dukungan dan bukti

formal yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pelaksanaan

hak-hak ini berpengaruh secara langsung pada tingkat pemanfaatan sumberdaya

properti bersama (Nikijuluw 2002).

Di daerah perbatasan negara, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan

merupakan suatu sistem yang dinamis, karena adanya interaksi dan

interdependensi antar elemen-elemen (subsistem-subsistem) yang saling

mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengelolaan di daerah

perbatasan melibatkan beberapa aktor yang berperan sebagai stakeholder yang

memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap wilayah pesisir di daerah

perbatasan. Stakeholder yang terlibat terdiri dari :

(1) Pemerintah, yaitu lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang

kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di daerah perbatasan.

(2) Masyarakat, termasuk masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang secara

terus menerus menetap dan memanfaatkan wilayah pesisir pulau kecil sebagai

tempat tinggal dan atau tempat bekerja, serta memanfaatkan wilayah pesisir

pulau kecil sebagai obyek mata pencaharian utama.

(3) Kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan berbeda dalam hal

pengelolaan wilayah pesisir pulau kecil di daerah perbatasan.

(4) Swasta, yaitu pelaku ekonomi yang terlibat dalam pengusahaan

pengembangan perikanan, pariwisata dan lainnya.

2.8 Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Pulau-Pulau Kecil

Berbeda dengan pulau-pulau besar, masyarakat di pulau-pulau kecil

memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri, sebagai konsekuensi dari proses

evolusi budaya yang telah terjadi dalam suatu rangkaian proses interaksi manusia

dan lingkungannya. Interaksi manusia dengan lingkungannya terjadi dalam suatu

bentuk pola tingkah laku yang dilembagakan, kemudian menghasilkan sistem

adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas, yakni

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka

32

budaya. Selanjutnya budaya yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan

adaptasi manusia terhadap lingkungan adalah aspek-aspek budaya yang berupa

sistem teknologi mata pencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut

sebagai cultural core. Oleh karenanya karakteristik inipun menjadi spesifik pada

tempat atau lokasi yang berbeda; sehingga penanganan sistem sosial bagi

pengembangan pulau-pulau kecil pun akan memiliki strategi yang berbeda pada

setiap saat.

2.9 Dimensi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Kecil

Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan pulau yang tidak

berpenghuni. Namun demikian tidak berarti bahwa pulau-pulau tersebut tidak

memiliki fungsi sosial dan ekonomi bagi masyrakat pesisir dan pemangku

kepentingan (stakeholders). Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang

atau berada pada posisi tertentu, walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki

nilai strategis baik secara sosial maupun ekonomi; misalnya pulau-pulau yang

memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga, terlebih pulau-pulau yang

berdekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi baik dalam skala lokal, regional,

nasional maupun internasional.

Beragam ekosistem dan sumberdaya alam kelautan produktif di kawasan

pulau-pulau kecil, menjadikan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang sangat

potensial bagi perkembangan sosial-ekonomi kelautan (Dahuri 2003).

2.10 Aspek Yuridis Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara

Menurut Djalal (1979), Indonesia memiliki kedaulatan terhadap

pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil perbatasan mengacu pada berbagai

ketentuan hukum internasional yang berlaku. Ketentuan awal mengacu pada

ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritime, yang diumumkan oleh

pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1939. Berdasarkan ketentuan tersebut,

batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut, sedangkan perairan laut diantara

pulau-pulau di dalam negara Indonesia merupakan laut bebas yang dapat

digunakan oleh berbagai negara.

Setelah posisi Indonesia dalam dunia Internasional semakin mantap,

maka Indonesia secara sepihak mengeluarkan deklarasi Djuanda pada tanggal

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka

33

13 Desember 1957 dan menetapkan batas perairan laut teritorial Indonesia

adalah 12 laut. Deklarasi Juanda ini, secara ekplisit menunjukkan pada dunia

bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Perairan laut yang ada diantara

pulau-pulau Indonesia merupakan laut nusantara (Mare Nostrum). Wilayah

ini merupakan wilayah kedaulatan mutlak bagi negara kesatuan Republik

Indonesia yang dikenal sebagai "archipelagic state". Batas terluar

"archipelagic state" ditetapkan dari base line pulau terluar Indonesia 12 mil

ke arah laut. Konsep "archipelagic state" menurut Djalal (1979) bahwa

Indonesia bukan berarti mengambil wilayah perairan Internasional tetapi

merupakan pemulihan hak yang sekian lama telah diambil oleh pemerintah

kolonial dari bangsa Indonesia.

Perjuangan Indonesia tentang prinsip "archipelagic state" akhirnya

diakui secara Internasional melalui keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa

pada tahun 1982, dalam bentuk konvensi hukum laut yang disebut United

Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang berlaku mutlak

pada tahun 1994.

Dengan berlakunya UNCLOS 1982, posisi Indonesia terhadap wilayah

laut sangat diuntungkan dan rezim wilayah laut Indonesia menjadi semakin

luas. Menurut Djalal (2000) dan Rais (2003), rezim itu mencakup:

(1) Perairan pedalaman.

Perairan pedalaman adalah perairan yang ditutup oleh garis dasar

penutup teluk, muara dan yang menutup lekukan selebar masksimal 24

mil. Wilayah ini merupakan bagian dari laut yang berada kearah daratan.

(2) Perairan kepulauan

Wilayah ini merupakan perairan yang ada dalam wilayah kepulauan.

Perairan ini lazim disebut perairan nusantara. Dengan demikian perairan

kepulauan merupakan kesatuan wilayah kedaulatan negara berikut ruang

udara, dan tanah yang terdapat di dalamnya.

(3) Laut teritorial

Wilayah ini merupakan bagian laut selebar 12 mil laut diukur dari garis

dasar kepulauan ke arah laut. Garis dasar kepulauan itu sendiri merupakan

titik terluar dari pulau-pulau terluar. Pulau terluar itu termasuk pulau atol.

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka

34

Batasan ini menunjukkan pulau-pulau kecil perbatasan mempunyai arti

penting sekurang-kurangnya sebagai titik dasar penetapan batas wilayah

kita. Pada wilayah ini Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah

laut teritorial, ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya. Disamping

itu, Indonesia juga berwenang membuat peraturan mengenai lintas laut yang

berkaitan dengan pelayaran.

(4) Zona tambahan (zona berdekatan).

Wilayah ini meliputi laut teritorial ditambah dengan perairan 12 mil ke arah

laut. Dalam zona tambahan ini Indonesia mempunyai wewenang tertentu

seperti pencegahan pelanggaran imigrasi, bea cukai, karantina, serta

menindak pelaku pelanggaran sesuai dengan peraturan.

(5) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Zona ini adalah bagian laut sejauh 200 mil laut diukur dari garis dasar laut

teritorial. Zona ini bukanlah wilayah kedaulatan dari suatu negara, tetapi

dengan konvensi UNCLOS negara pantai yang memiliki ZEE mempunyai:

1) Hak berdaulat (sovereign right) untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati dari

perairan diatas dasar laut.

2) Kewenangan untuk membangun pulau-pulau buatan dan instalasi di

laut, serta memberi izin atau riset ilmiah kelautan, serta perlindungan

lingkungan laut

(6) Landas kontinen

Wilayah ini mencakup dasar laut dan tanah di bawah dasar laut di luar laut

teritorial dan merupakan kelanjutan dari wilayah daratan sampai tepi luar

dari batas kontinen. Berdasarkan batasan ini negara pantai dapat

menetapkan dua kriteria landas kontinen. Pertama, wilayah yang lebarnya

dari zona landas kontinen dibatasi sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar

batas teritorial diukur. Kedua, tepi luar dari landas kontinen melebihi 200

mil dari garis dasar laut teritorial diukur, sehingga negara pantai dapat

menetapkan batas melebihi 200 mil laut tetapi tidak boleh melebihi 350 mil

laut atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka

35

Berdasarkan butir 1 sampai 6, maka Indonesia mempunyai hak terhadap

pulau-pulau kecil perbatasan negara yang ada pada keenam wilayah perairan

tersebut. Menurut Djalal (2000) terdapat masalah yuridis batas laut Indonesia

dengan negara tetangga. Masalah tersebut menyangkut perairan Indonesia saat

ini, yaitu ketidakpastian tentang garis terluar, khususnya yang terkait dengan

titik-titik dasar dan batas terluar mulai perairan kepulauan Indonesia yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan

Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Daftar

Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

2.11 Penanganan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara

Menurut Sabarno (2003), penanganan pulau-pulau kecil perbatasan

negara substansinya menyangkut justifikasi tentang administrasi perbatasan

negara, untuk menjaga stabilitas politik, ekonomi, dan sosial dalam rangka

menjaga keutuhan NKRI.

Untuk menangani administrasi perbatasan negara Indonesia dengan

negara tetangga, pemerintahan membentuk beberapa lembaga-lembaga ad-hoc

seperti:

(1) General Border Committee (GBC) Republik Indonesia-Malaysia, yang

penangananya dilakukan oleh MABES TNI

(2) Joint Commission Meeting (JMC) Republik Indonesia-Malaysia,

penanganannya diserahkan kepada oleh Kementerian Luar Negeri RI.

(3) Joint Border Committee (JBC) Republik Indonesia-Papua New Guinea,

penanganannya dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI.

(4) Joint Border Committee (JBC) Republik Indonesia - Republik Demokratik

Timor Leste, penanganannya dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam

Negeri RI.

(5) Sub Komisi Teknis Batas Landas Kontinental, penanganannya diserahkan

kepada Kementerian Luar Negeri.

(6) Sub Komisi Teknis Survey dan Demarkasi (untuk batas darat Republik

Indonesia - Malaysia), penangannya diserahkan kepada Kementerian Dalam

Negeri RI.

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka

36

(7) Sub Komisi Teknis Survey Penegasan dan Penetapan Batas Republik

Indonesia - Papua New Guinea, penangananya oleh MABES TNI.

(8) Sub Komisi Teknis Border Demarcation and Regulation Republik Indonesia

- Republik Demokratik Timor Leste, penanganannya oleh MABES TNI dan

BAKOSURTANAL.

Lebih lanjut dikemukakan Sabarno (2003), bahwa kejelasan batas negara

Indonesia dengan negara tetangga harus mendapat prioritas utama, karena sangat

mempengaruhi kontinuitas pelaksanaan pembangunan. Pengalaman

menunjukkan bahwa secara yuridis formal pelaksanaan pembangunan di wilayah

perbatasan negara masih menghadapi kesulitan karena belum adanya kejelasan

kesepakatan perbatasan sehingga sejumlah program pembangunan tidak dapat

diimplementasikan.

2.12 Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara

Menurut Dahuri (2003), Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan

pulau-pulau kecil, saat digulirkannya wacana penyewaan pulau-pulau kecil oleh

Kementerian Eksplorasi Laut dan Perikanan pada pertengahan tahun 1999. Isu

ini bahkan menjadi bahan dengar pendapat di DPR. Wacana ini mendapat

sambutan hangat, karena saat itu Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi

yang cukup serius, sehingga penyewaan pulau-pulau kecil seakan merupakan

alternatif sumber pendapatan negara untuk pembiayaan pembangunan. Oleh

sebab itu, pemerintah melakukan penajaman dalam melihat potensi yang

dimiliki pulau-pulau kecil secara lebih terarah, namun kepentingan sektoral

masih terkesan sangat menonjol.

Posisi geografis yang strategis menyebabkan beberapa pulau-pulau kecil

perbatasan mempunyai potensi ekonomi yang dapat dikembangkan untuk

berbagai kepentingan, karena:

(1) Berada pada jalur lintas perdagangan internasional, pemerintah telah

memutuskan beberapa kebijakan strategis.

(2) Dapat dijadikan pusat transit komoditas primer untuk tujuan ekspor ke

berbagai negara, antara lain: Pulau Marore dan Pulau Miangas.

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka

37

(3) Dapat dijadikan sebagai obyek wisata ekslusif untuk mendapatkan devisa,

dengan menyediakan aturan yang berkaitan dengan investasi.

Sementara itu, secara institusional pemerintah telah memberikan

wewenang kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyusun

kebijakan nasional dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati di

pulau-pulau kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, juga menyusun strategi jangka

pendek dan jangka panjang.

Strategi jangka pendek yang ditempuh menurut Dahuri (2003) adalah:

(1) Membuat rancangan Keputusan Presiden tentang pengembangan pulau--

pulau kecil terluar yang mempunyai titik dasar untuk dikelola oleh

Pemerintah Pusat.

(2) Memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai basis pengembangan

perikanan terpadu yang berbasis potensi.

(3) Memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana

pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir ke masyarakat pulau di daerah

perbatasan.

(4) Melakukan identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau kecil terluar.

(5) Mensosialisasikan pentingnya menjaga pulau-pulau kecil terluar.

Strategi jangka panjang meliputi :

(1) Menarik investasi masuk ke pulau-pulau yang mempunyai potensi jasa

lingkungan yang cocok untuk kepariwisataan bahari.

(2) Mendeklarasikan pulau-pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi

sebagai kawasan konservasi.

(3) Melakukan penataan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil termasuk laut dan

pesisirnya.

(4) Meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan.

(Abubakar 2004).

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka

38

2.13 Kejahatan Wilayah Perbatasan

Kejahatan (crime) dan pelanggaran (violation) perikanan adalah dua

bentuk tindakan atau perbuatan melawan peraturan perundang-undangan

perikanan. Pada perspektif nasional, hal tersebut berarti perbuatan melawan

hukum nasional, yaitu hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sejauh ini,

hukum positif perikanan yang merupakan payung serta rujukan bagi keseluruhan

aturan atau regulasi perikanan adalah Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU 31/2004).

UU 31/2004 ini mengatur secara komprehensif pokok-pokok pembangunan

perikanan yang berawal dari penataan atau pengelolaan sumberdaya perikanan,

pemanfaatan, pengawasan, hingga pengolahannya dan pemasaran produk

perikanan. UU 31/2004 ini juga memberikan arahan bagi pembangunan

masyarakat perikanan, terutama pemberdayaan nelayan serta pengembangan

usaha perikanan. Selain itu, UU 31/2004 memuat ketentuan tentang perbuatan

atau peristiwa pidana yang berkaitan dengan perikanan serta pengadilan atas

perbuatan atau peristiwa pidana tersebut. Perbuatan pidana atau peristiwa pidana

pada UU 31/2004 ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan

perikanan dan pelanggaran perikanan. (Nikijuluw 2008).

Kejahatan lainnya yang sangat rawan di daerah perbatasan adalah terorisme,

dimana daerah perbatasan dapat menjadi tempat masuk keluar terorisme dan

pulau-pulau kecil menjadi tempat persembunyian. Teroris bukan suatu peristiwa

yang baru di Indonesia.

2.14 Dimensi Hukum Pengelolaan Wilayah Perbatasan

Ada tiga hal berkenaan dengan pengelolaan perbatasan, yaitu: (1)

alternatif lembaga pengelola wilayah perbatasan (2) kelebihan dan kekurangan

ketiga alternatif, dan (3) implikasi terhadap sebuah usulan kebijakan (Wila 2006).

Pertama mempertahankan struktur kelembagaan yang ada seperti sekarang ini,

kedua, perlu memiliki badan khusus yang langsung bertanggung jawab kepada

presiden, ketiga tidak perlu sebuah badan akan tetapi dibentuk forum, dewan atau

board perbatasan.

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka

39

Kelebihan dan kekurangan dari ketiga alternatif kelebihannya adalah

mempertahankan stuktur yang telah ada seperti Kementerian Luar Negeri,

Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Dalam Negeri dan lainnya. Kelemahannya adalah penegakan

akuntabilitas publik dari pelaksanaan pengawasan atau implementasi dari masing-

masing peran dan tugas yang diemban oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Implikasi sebuah usulan kebijakan dengan konsep debirokratisasi atau

reinveting government dalam setiap kelembagaan perbatasan yang akan dibentuk

untuk mendukung ke arah akuntabilitas kelembagaan dan optimalisasi kinerja

yang semakin meningkat.

Menurut Dunn (2000), kebijakan meliputi tiga pendekatan yaitu: (1)

pendekatan empiris, yaitu pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari

kebijakan publik; (2) pendekatan evaluatif, yaitu pendekatan yang berkenaan

dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan, (3) pendekatan

normatif, yaitu pendekatan yang berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang

dapat memecahkan masalah kebijakan. Dalam proses penelitian, analisis

kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk

memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yaitu: deskripsi, prediksi, evaluasi

dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan, maka

prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil sedangkan

deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.

Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah khususnya pengelolaan

pulau-pulau kecil terluar adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Dalam

pengelolaannya perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non

struktural yang berada di bawah dan bertangung jawab kepada Presiden.

Kelembagaan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilaksanakan oleh Tim

Koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator

Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Wakil Ketua I

merangkap Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II

merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan

Page 26: Bab II Tinjauan Pustaka

40

terdiri dari 17 (tujuh belas) yaitu : (1) Menteri Pertahanan; (2) Menteri Luar

Negeri; (3) Menteri Perhubungan; (4) Menteri Pekerjaan Umum (5) Menteri

energi dan Sumberdaya Mineral; (6) Menteri Kesehatan; (7) Menteri Pendidikan

Nasional; (8) Menteri Keuangan; (9) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

(10) Menteri Kehutanan; (11) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala BAPPENAS; (12) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (13)

Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal; (14) Sekretaris Kabinet; (15)

Panglima Tentara Nasional Indonesia; (16) Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia; (17) Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar mengacu pada Tata Ruang

Wilayah oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali tentang batas di

wilayah laut terutama di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini menjadi

penting untuk pelaksanaan pengelolaan dan kepentingan nasional keutuhan batas

negara serta implementasi dari ratifikasi UNCLOS Tahun 1982 yang telah

dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan

United Nation Convention on the Law of The Sea.

Penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama untuk menegakan

kedudukan dan kewenangan kelembagaan. Oleh karena itu penegakan hukum

harus dikembangkan untuk menjamin kepastian hukum sehingga setiap institusi

yang berkepentingan di bidang kelautan dan perikanan mampu memainkan peran

sesuai yang diharapkan. Penegakan Hukum yang efektif juga akan menjamin

sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif. Pengembangan

penegakan hukum dapat bersifat prefentif dan represif. Pengembangan penegakan

hukum yaitu mencakup pengembangan sistem dan prosedur penanganan

pelanggaran dan penyelesaian sengeketa di bidang kelautan dan perikanan di

wilayah perbatasan.

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara,

batasan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut

dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu

kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut

Page 27: Bab II Tinjauan Pustaka

41

teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,

termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Selanjutnya disebutkan tentang definisi wilayah perairan, wilayah

yuridiksi bahwa Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan,

dan laut teritorial. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara

yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan

di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum

internasional.

Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah

kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional, sedangkan

Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak

berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas

ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak

pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal

Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.

Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi

Badan Nasional Pengelola Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola

Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3, mempunyai tugas :

(1) penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan

Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan;

(2) pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan,

pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan Kawasan

Perbatasan;

(3) pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas

Wilayah Negara;

(4) inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona

pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan

zona lainnya di Kawasan Perbatasan;

Page 28: Bab II Tinjauan Pustaka

42

(5) penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana

perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan;

(6) penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah

Negara dan Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas;

(7) pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan

(8) pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan

Kawasan Perbatasan.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, BNPP menyelenggarakan fungsi di

antaranya adalah penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi

pembangunan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Selain itu BNPP

memiliki fungsi pengkoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan

pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan batas wilayah negara dan kawasan

perbatasan. BNPP juga berfungsi untuk menyusun program dan kebijakan

pembangunan sarana dan prasana perhubungan dan sarana lain di kawasan

perbatasan. Serta, menyusun anggaran pembangunan dan pengelolaan batas

wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai dengan skala prioritas.

Susunan keanggotaan BNPP berdasarkan Pasal 6, terdiri dari (a) Ketua

Pengarah : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kamanan; (b) Wakil

Ketua Pengarah I : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; (c) Wakil Ketua

Pengarah II : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; (d) Kepala

BNPP : Menteri Dalam Negeri. Sedangkan anggota terdiri atas : (1) Menteri Luar

Negeri; (2) Menteri Pertahanan; (3) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; (4)

Menteri Keuangan; (5) Menteri Pekerjaan Umum; (6) Menteri Perhubungan; (7)

Menteri Kehutanan; (8) Menteri Kelautan dan Perikanan; (9) Menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; (10)

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal; (11) Panglima Tentara Nasional

Indonesia; (12) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (13) Kepala Badan

Intelijen Negara; (14) Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional;

(15) Gubernur Provinsi terkait.