bab ii tinjauan pustaka 2.1 umum - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58140/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Bendungan adalah sebuah bangunan yang dibangun melintang pada badan
sungai dengan perhitungan-perhitungan kekuatan tertentu untuk mendapatkan
efek berupa tampungan yang dinamakan waduk. Pada hakikatnya, bendungan
merupakan suatu bangunan yang dibangun dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan sumber daya air, baik untuk kebutuhan air irigasi, air
baku, industri, kebutuhan rumah tangga serta dapat menjadi pengendalian banjir.
Pelaksanaan pengelakan mengacu pada Metode Pengentrolan Sungai Selama
Pelaksanaan Konstruksi Bendungan, SNI 03-6456.1.2000 bagian 1, Pengendalian
Sungai Selama Pelaksanaan Konstruksi Bendungan dan Bagian 2, Penutupan Alur
Sungai dan Pembuatan Bendungan Pengelak. Beberapa jenis pengelak sungai
yang lazim adalah sebagai berikut (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya
Air dan Konstruksi, 2017):
a) Pengelakan seluruh lebar sungai dengan kombinasi bendungan pengelak
(cofferdam) dan saluran tertutup berupa konduit atau terowongan pengelak/
diversion tunnel.
b) Pengelakan dengan saluran terbuka /diversion channel.
c) Pengelakan pada sebagian lebar sungai dengan dilindungi dengan bendungan
pengelak (cofferdam) dan membiarkan bagian sungai yang lain untuk
melewatkan air.
Dalam merencanakan konstruksi bendungan pengelak dan saluran pengelak
pada Bendungan Ciawi (Cipayung) Bogor, ada beberapa teori yang digunakan
sebagai bahan acuan dalam perhitungan. Dalam bab ini akan dijelaskan beberapa
teori tersebut, sebagai berikut:
Desain Saluran Pengelak
Desain Bendungan Pengelak
Perhitungan Stabilitas Bendungan Pengelak
5
Analisis Pembebanan Saluran Pengelak menurut Terzaghi
Bentuk-bentuk Konstruksi Pada Saluran Pengelak
Analisis Struktur Beton Bertulang Saluran Pengelak
2.2 Desain Saluran Pengelak (Konduit)
Konduit merupakan salah satu cara praktis untuk mengalihkan aliran sungai
selama konstruksi berlangsung selain menggunakan terowongan (tunnel).
Terowongan adalah cocok diterapkan pada kondisi lapisan pondasi yang cukup
bagus, sedangkan konduit atau gorong-gorong cocok diterapkan pada pondasi
batuan yang lebih jelek dan pada lembah yang cukup lebar, sehingga mungkin
biaya konstruksinya akan lebih tinggi. Konduit beton sepanjang kira-kira 200 m
diperkirakan memerlukan beton bertulang minimum 20 m3 untuk setiap debit
1m3/det.Pelaksanaan galian pondasi mungkin dapat terganggu, dan mungkin juga
ada masalah pada bidang kontak antara beton dengan zona inti urugan (Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi, 2017).
Dalam kondisi tertentu pada bendungan tipe urugan (earth dam), kadang
untuk saluran pengelak dilakukan metode conduit diversion, yaitu dengan struktur
culvert di bawah kaki bendungan. Biasanya penampang culvert berbentuk
lingkaran/oval yang memperoleh kekuatan lebih. Penggunaan culvert sebagai
saluran pengelak maka perlu dipertimbangkan beberapa hal, yaitu:
Struktur culvert harus dapat melayani dua jenis beban yaitu beban dari luar
berupa beban tanah timbunan dari bendungan, dan yang kedua beban dari
dalam yaitu tekanan air yang ada di dalam culvert.
Perembesan (leakage) yang mungkin terjadi pada daerah hulu, melalui
sepanjang bidang luar culvert yang bersentuhan dengan tanah timbunan dan
bendungan.
Untuk mengatasi masalah pertama, struktur memang harus diperhitungkan
terhadap dua jenis beban tersebut. Terkadang culvert bagian dalam dilapisi dengan
plat baja untuk menahan tekanan air dan untuk menahan tekanan beban tanah,
culvert diberi tulangan secukupnya. Sedangkan, untuk mengatasi masalah kedua
yaitu rembesan pada permukaan luar culvert, sepanjang struktur culvert diberi cut-
6
off collars. Cut-off collars adalah berupa tonjolan keliling culvert untuk
menghambat terjadinya rembesan di sepanjang culvert (Asiyanto, 2011).
2.2.1 Desain Hidrolis Pengelak
Untuk analisis hidrolika pada saluran pengelak ini dibahas mengenai kapasitas
pengaliran melalui saluran pengelak, baik melalui terowongan maupun konduit
karena prinsip dasar dari kedua pengelak tersebut adalah sama. Kapasitas
pengaliran saluran ini dibedakan menjadi tiga kondisi yaitu, pada saat aliran bebas
(free flow) yaitu pada saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran
terbuka, kondisi pada saat aliran tertekan yaitu pada saat sifat hidrolik yang terjadi
berupa hidrolika saluran tertutup dan aliran transisi.
Gambar 2.1 Debit yang Lewat di Dalam Terowongan Dalam Kondisi Aliran
Terbuka dan Tertekan
(Sumber: Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia Pusat Pembinaan Kompetensi
dan Pelatihan Konstruksi, 2005)
Tipe aliran pada saluran pengelak dibagi menjadi dua kondisi yaitu:
a. Kondisi Aliran Bebas
Pada saat seluruh panjang terowongan belum terisi penuh oleh air sehingga
masih berupa aliran terbuka (open channel flow). Dalam hal ini digunakan rumus
manning yaitu (Ven Te Chow, 1988:98):
7
Gambar 2.2 Hidrolika Aliran dalam Pengelak Pada Aliran Bebas (Sumber: Ven Te Chow, 1988: 497)
V = 2/13/21
SRn
(2-1)
Q = A. v (2-2)
Dengan:
v = kecepatan aliran (m/detik)
n = koefisien kecepatan manning (untuk beton n = 0,014)
R = jari-jari hidrolis =A/P (m)
S = kemiringan saluran pengelak
Q = debit yang mengalir lewat saluran pengelak (m3/detik)
A = luas penampang basah (m2)
b. Kondisi Aliran Tekan
Pada saat seluruh panjang saluran penampang alirannya terisi penuh oleh air,
sehingga terjadi aliran tekan. Dalam hal ini kecepatan airnya ditentukan oleh
perbedaan tinggi tekan, sehingga menggunakan rumus sebagai berikut (Badan
Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia Pusat Pembinaan Kompetensi
dan Pelatihan Konstruksi, 2005):
Gambar 2.3 Hidrolika Aliran yang Lewat di Dalam Terowongan (Sumber: Ven Te Chow, 1988:497)
8
V = f
gh
2 (2-3)
Q = A.f
gh
2 (2-4)
∑𝐹 = 𝐹𝑒 + 𝐹𝑏 + 𝐹𝑓 + 𝐹𝑜 (2-5)
Dengan:
Fe = koefisien kehilangan energi yang besarnya tergantung pada bentuk inlet
Fb = kehilangan energi karena belokan
Ff = kehilngan energi karena gesekan
Fo = koefisien kehilangan tekan pada saat keluar (outlet)
Perhitungan Ff dan Fb:
𝐹𝑓 = 𝑓.𝐿
𝐷 (2-6)
𝐹𝑓 = 124,50 .𝑛2
𝐷13
.𝐿
𝐷 (2-7)
Dengan:
L = panjang saluran (m)
D = diameter saluran (m)
n = koefisien kekasaran manning
fb = fb1x fb2 (2-8)
fb1 = 0,131 + 0,1632 .(D
R)
7/2 (2-9)
fb2 = (
90)
1/2 (2-10)
Dengan:
fb1 = koefisien belokan akibat diameter saluran dan jari-jari lengkung belokan
fb2 = koefisien belokan akibat dari sudut lengkung belokan
D = diameter saluran (m)
R = jari-jari belokan saluran (m)
= radius belokan saluran (°)
9
2.2.3 Penelusuran Banjir Lewat Saluran Pengelak
Penelusuran banjir adalah merupakan perkiraan hidrograf di suatu titik pada
suatu aliran atau bagian sungai yang didasarkan atas pengamatan hidrograf di titik
lain. Hidrograf banjir dapat ditelusuri lewat palung sungai atau waduk. Tujuan
penelusuran banjir adalah untuk (Soemarto, 1999):
a. Perkiraan banjir jangka pendek.
b. Perhitungan hidrograf satuan untuk berbagai titik sepanjang sungai dari
hidrograf satuan di suatu titik di sungai tersebut.
c. Perkiraan terhadap kelakuan sungai setelah terjadi perubahan dalam palung
sungai (misalnya karena adanya pembangunan bendung atau pembuatan
tanggul).
d. Derivasi hidrograf sintetik.
Perhitungan persamaan kontinuitas yang umum digunakan dalam penelusuran
banjir (flood routing) adalah sebagai berikut (Soemarto, 1995: 176):
I-Q = 𝑑𝑠
𝑑𝑡 (2-11)
Bila:
I = 𝐼1+𝐼2
2 (2-12)
Q = 𝑄1+𝑄2
2 (2-13)
ds = 𝑆2 − 𝑆1 (2-14)
Persamaan di atas menjadi:
𝐼1+𝐼2
2 +
𝑄1+𝑄2
2 = 𝑆2 − 𝑆1 (2-15)
𝐼1+𝐼2
2∆𝑡+ (𝑆1 −
𝑄1
2∆𝑡) = (𝑆2 −
𝑄2
2∆𝑡) (2-16)
𝐼1+𝐼2
2 + (
𝑆1
∆𝑡−
𝑄1
2) = (
𝑆2
∆𝑡−
𝑄2
2) (2-17)
Maka,
𝑆1
∆𝑡−
𝑄1
2 = 𝜓1 (2-18)
𝑆2
∆𝑡−
𝑄2
2 = 𝜑1 (2-19)
𝐼1+𝐼2
2+ 𝜓1 = 𝜑1 (2-20)
10
Dengan:
S = besarnya tampungan (storage) (m3)
I = debit yang masuk (m3/dt)
Q = debit yang keluar (m3/dt)
dt = periode penelusuran (detik, jam atau hari)
2.3 Desain Bendungan Pengelak (Cofferdam)
Bendungan pengelak (cofferdam) adalah bersifat sementara yang digunakan
untuk mengalihkan aliran sungai atau menutup suatu daerah tertentu selama
konstruksi bendungan dilakukan. Tinggi bendungan pengelak ini harus didesain
bersama-sama dengan ukuran bukaan terowongan/konduit, sehinga tercapai
kondisi yang baik ditinjau dari keamanan dan ekonominya. Pada tugas akhir ini
mencakup studi tinggi bendungan pengelak terhadap kapasitas aliran sungai yang
melalui terowongan/konduit, termasuk penelusuran banjir (flood routing) dari
debit banjir yang didesain. Bila bangunan outlet telah ditentukan menggunakan
ukuran bukaan yang besar, maka bendungan pengelak akan menjadi lebih rendah.
Perlu diingat bahwa air banjir yang terkumpul di belakang bendungan pengelak
harus segera dikeluarkan pada waktunya sehingga tidak terjadinya banjir (Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi, 2017).
Bendungan pengelak harus didesain dengan mempertimbangkan terhadap
pengaruh penggalian dan pengeringan (dewatering) serta stabilitasnya. Biasanya,
bendungan pengelak tersebut dikonstruksi dengan menggunakan material-material
yang ada di lokasi. Jenis yang biasa digunakan adalah timbunan tanah dan
timbunan batu yang dilengkapi dengan lapisan kedap air. Desain bendungan
pengelak ini juga mengikuti kriteria dan asumsi yang digunakan untuk bendungan
permanen. Dengan pertimbangan ekonomi, bendungan pengelak tersebut didesain
dan dikonstruksi seperti bendungan permanen dimana bendungan pengelak ini
nantinya juga menyatu dengan bendungan permanennya.
2.3.1 Perhitungan Dimensi Bendungan Pengelak (Cofferdam)
1. Tinggi bendungan pengelak
Tinggi bendungan pengelak menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977:259)
adalah elevasi permukaan air yang terdapat di depan pintu pemasukan saluran
11
pengelak ditambah tinggi jagaan yang diperlukan untuk keamanan bendungan
pengelak.
H = HWL + hf (2-21)
Dengan:
H = elevasi puncak bendungan pengelak (m)
HWL = muka air tertinggi di depan saluran pengelak (m)
Hf = tinggi jagaan (m)
Tinggi jagaan menurut (Sosrodarsono dan Takeda, 1977:174):
Hf = hw + he
2 + ha + hi (2-22)
Dengan:
Hf = tinggi jagaan (m)
hw = tinggi ombak akibat tiupan angin (m)
he = tinggi ombak akibat gempa (m)
ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk (m)
hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi waduk (m)
2. Lebar mercu bendungan
Dalam memperoleh lebar minimum mercu bendungan, dilakukan perhitungan
dengan rumus sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1977:174):
B = 3,6. H1/3 – 3 (2-23)
Dengan:
B = lebar mercu bendungan (m)
H = tinggi bendungan (m)
3. Kemiringan bendungan
Kemiringan rata-rata lereng bendungan (lereng udik dan lereng hilir) adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan panjang garis
horizontal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut (Sosrodarsono dan
Takeda, 1977:171).
12
2.4 Analisis Stabilitas Lereng Bendungan Pengelak
Merupakan perhitungan konstruksi untuk menentukan ukuran (dimensi)
bendungan agar mampu menahan muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja
padanya dalam keadaan apapun (Soedibyo, 1988).
Analisis stabilitas lereng adalah suatu analisis yang menjelaskan tentang
permukaan tanah yang tidak datar atau mempunyai sudut kemiringan maka akan
cenderung mengerakkan massa tanah ke arah permukaan yang lebih rendah.
Tujuan dari analisis ini adalah menentukan faktor keamanan (safety factor) dari
bidang potensial longsor. Faktor keamanan adalah sebagai berikut (Braja M. Das,
1994:165):
Fs = 𝜏f
𝜏d > 1,5 aman (2-24)
Dengan:
Fs = angka keamanan terhadap kekuatan tanah
𝜏𝑓= kekuatan geser rata-rata dari tanah (t/m2)
𝜏𝑑= tegangan geser rata-rata yang bekerja sepanjang bidang longsor (t/m2)
Pada umumnya, prosedur analisis stabilitas dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu (Braja M. Das, 1994:176):
a) Prosedur Massa (Mass Procedure)
Dalam hal ini, massa tanah yang berada di atas bidang gelincir diambil
sebagai suatu kesatuan. Prosedur ini berguna bila tanah yang membentuk talud
dianggap homogen, walaupun hal ini jarang dijumpai pada talud sesungguhnya
yang ada di lapangan.
b) Metode Irisan (Method of Slices)
Pada prosedur ini, tanah yang berada di atas bidang gelincir dibagai menjadi
beberapa irisan-irisan paralel tegak. Stabilitas tiap-tiap irisan dihitung secara
terpisah. Metode ini lebih teliti karena tanah yang tidak homogen dan tekanan air
pori dapat juga kita masukkan dalam perhitungan.
13
2.4.1 Analisis Stabilitas Menggunakan Metode Bishop
Pada tahun 1995, Bishop memperkenalkan suatu penyelesaian yang lebih teliti
dibandingkan metode irisan yang sederhana. Dalam metode ini, pengaruh gaya–
gaya pada sisi tepi tiap irisan diperhitungkan.
Gambar 2.4 Metode Irisan Bishop yang Disederhanakan; (a) Gaya – Gaya
yang Bekerja Pada Irisan Nomor n, (b) Poligon Gaya Untuk Keseimbangan (Sumber: Braja M. Das, 1994)
Gaya–gaya yang bekerja pada irisan nomor n, ditunjukkan dalam Gambar 2.4
(a). Gaya-gaya tersebut adalah sebagai berikut (Braja M. Das, 1994):
W𝑛 = 𝛾𝐿𝐻 (2-25)
Dengan:
W𝑛 = berat irisan (t/m)
γ = berat jenis batuan (t/m3)
L = lebar irisan (m)
H = tinggi irisan (m)
Nr = 𝑊𝑛 cos 𝑎𝑛 (2-26)
Dengan:
Nr = gaya normal (gaya tegak lurus) pada bawah irisan (t/m)
14
𝑎𝑛 = sudut titik pusat bidang longsor terhadap irisan (º)
Tr = 1
𝐹𝑠 ( c +𝜎tan ∅). ∆𝐿𝑛 (2-27)
Tr = 1
𝐹𝑠 ( c ∆𝐿𝑛 +𝑁𝑟tan ∅)
Dengan:
Tr= gaya geser (gaya sejajar) pada bawah irisan (t/m)
Fs = angka keamanan terhadap kekuatan tanah
c = angka kohesi tanah (t/m2)
𝜎 = tegangan geser tanah (t/m2)
∅ = sudut geser tanah (º)
∆𝐿𝑛 = lebar irisan (m)
Gambar 2.4 (b) menunjukkan poligon gaya untuk keseimbangan dari irisan
nomor n. Jumlah gaya dalam arah vertikal menurut Braja M. Das (1994):
Nr =
s
n
n
n
s
n
n
F
F
LcTW
sintancos
sin
(2-28)
Dengan:
∆𝑇 = Tn- Tn+1 = jumlah gaya geser pada sisi-sisi irisan (t/m)
Untuk keseimbangan blok ABC (Gambar 2.5), ambil momen terhadap O
pn
n
nnrW1
sin =
pn
n
r rT1
(2-29)
Dengan:
W𝑛 = berat irisan (t/m)
r = jari-jari lingkaran bidang longsor (m)
𝑎𝑛 = sudut titik pusat bidang longsor terhadap irisan (º)
Tr = gaya geser (gaya sejajar) pada bawah irisan (t/m)
15
Gambar 2.5 Analisis Stabilitas dengan Metode Irisan yang Biasa: (a)
Permukaan Bidang yang Dicoba; (b) Gaya yang Bekerja pada Irisan Nomor
n
(Sumber: Braja M. Das, 1994)
Dengan memasukkan persamaan (2-28) dan (2-27) ke persamaan (2-29), maka
didapatkan:
sF =
n
pn
n
n
pn
n n
nn
W
mTWcb
sin
1)tantan(
1
1 )(
(2-30)
16
Dengan:
Fs = angka keamanan terhadap kekuatan tanah
c = angka kohesi tanah (t/m2)
b𝑛 = lebar irisan (m)
W𝑛 = berat irisan (t/m)
∅ = sudut geser tanah (º)
∆𝑇 = Tn- Tn+1 = jumlah gaya geser pada sisi-sisi irisan (t/m)
𝑎𝑛 = sudut titik pusat bidang longsor terhadap irisan (º)
)(nm = s
n
nF
sintancos (2-31)
Untuk penyederhanaan, bila kita mengumpamakan ∆T = 0, maka persamaan
berubah menjadi :
Gambar 2.6 Variasi )(nm dengan sF/tan dan n
(Sumber: Braja M. Das, 1994)
sF =
n
pn
n
n
pn
n n
nn
W
mWcb
sin
1)tan(
1
1 )(
(2-32)
Dengan:
Fs = angka keamanan terhadap kekuatan tanah
17
c = angka kohesi tanah (t/m2)
b𝑛 = lebar irisan (m)
∅ = sudut geser tanah (º)
W𝑛 = berat irisan (t/m)
𝑎𝑛 = sudut titik pusat bidang longsor terhadap irisan (º)
2.5 Analisis Pembebanan Saluran Pengelak
Terzaghi (1946) mengkombinasikan hasil pembebanan batuan dari
terowongan dengan menghitung faktor pembebanan batuan Head Pressure (Hp)
dengan lebar terowongan (B) dan tinggi terowongan (Ht) dari kelenturan batuan
diatas terowongan. Untuk pembebanan dapat dilihat seperti gambar 2.7 sebagai
berikut (Singh dan Goel, 2006:29):
Gambar 2.7 Diagram Pembebanan Terowongan (Sumber: Singh dan.Goel, 2006: 26)
Pembebanan pada studi ini menggunakan perhitungan pembebanan menurut
Terzaghi :
1) Tekanan batuan vertikal atas saluran
Pv = γ . Hp (2-33)
18
Dengan :
Pv = tekanan batuan vertikal atas saluran (t/m)
𝛾 = berat jenis batuan (t/m3)
Hp = head pressure/tinggi tekanan (m)
2) Berat sendiri saluran menurut (Braja M. Das, Jilid 1:31):
W = 𝛾 . 𝑉 (2-34)
Dengan :
W = Berat Bangunan (ton)
𝛾 = Berat Jenis Bahan (t/m3)
V = Volume (m3)
3) Tekanan tanah aktif horizontal (Braja M. Das,Jilid 2:50):
Pa = Ka.𝛾.h (2-35)
Dengan :
Pa = tekanan batuan aktif horizontal bagian atas (t/m)
Ka = koefisien tanah aktif
𝛾 = berat jenis batuan (t/m3)
h = tinggi tanah (m)
4) Tekanan grouting
Dalam metode pelaksanaan Bendungan Ciawi (Cipayung) tekanan grouting
adalah 10 t/m2
5) Tekanan air di dalam saluran (Bambang Triatmodjo, 1993)
P = 𝜌 g h (2-36)
Dengan :
P = tekanan air (N/m2)
𝜌 = rapat massa air (kg/m3)
g = gaya gravitasi (m/s3)
h = tinggi bidang (m)
2.6 Bentuk- Bentuk Konstruksi Pada Konduit
Menurut Phillips dan Allen (1968) pada buku Beggs Deformeter Stress
Analysis of Single Barrel Conduits menampilkan pembebanan terhadap bentuk
konduit serta menjelaskan koefisien-koefisien mempunyai hubungan dengan
19
beban-beban yang bekerja pada penampang konduit. Dijelaskan ada beberapa
bentuk dari konduit yang secara umum digunakan adalah sebagai berikut :
20
Gambar 2.8 Bentuk Konduit A,B, dan C (Sumber:Philips&Allen, 1968)
21
Gambar 2.9 Bentuk Konduit D,E, dan F (Sumber:Philips&Allen, 1968)
22
Gambar 2.10 Bentuk Konduit Lingkaran, Persengi dan G (Sumber: Philips&Allen, 1968)
23
Pada Tabel Beggs Deformeter Stress Analysis of Single Barrel Conduits karya
Phillips dan Allen (1968) untuk menentukan besaran momen, gaya lintang, dan
gaya normal dengan tebal pembetonan menggunakan persamaan :
M = km. W . r2 (2-37)
Dengan:
M = momen persatuan panjang pada segmen dinding konduit (ton/m)
Km = koefisien momen
W = beban yang bekerja (ton/m2)
r = jari- jari konduit (m)
Untuk menentukan besarnya gaya normal menggunakan persamaan:
N = kn.W.r (2-38)
Dengan:
N = gaya normal pada segmen dinding konduit (ton)
Kn = koefisien gaya normal
D = kD.W.r (2-39)
Dengan:
D = gaya lintang pada segmen dinding konduit (ton)
kD = koefisien gaya lintang
Besaran koefisien dapat dilihat dari tabel yang disajikan menurut Phillips dan
Allen (1968), koefisien disetiap bentuk konduit berbeda.
2.6.1 Mekanika Konduit pada Pembebanan Vertikal dan Horizontal
Pada buku Beggs Deformeter Stress Analysis of Single Barrel Conduits karya
Phillips dan Allen (1968) menjelaskan koefisien momen yang disediakan pada
pembebanan vertikal dan horizontal, berikut nilai koefisien beserta gambar :
24
Gambar 2.11 Koefisien Pembebanan Vertikal Seragam dan Reaksi Pondasi Seragam Bentuk Lingkaran (Sumber: Philips&Allen, 1968)
Gambar 2.12 Koefisien Pembebanan Batuan Vertikal dan Reaksi Pondasi Seragam Bentuk Lingkaran (Sumber: Philips&Allen, 1968)
25
Gambar 2.13 Koefisien Pembebanan Tekanan Segitiga dari Dalam Bentuk Lingkaran (Sumber: Philips&Allen, 1968)
Gambar 2.14 Koefisien Pembebanan Berat Sendiri Bentuk Lingkaran (Sumber: Philips&Allen, 1968)
26
Gambar 2.15 Koefisien Pembebanan Horizontal Segitiga di Kedua Sisi Bentuk Lingkaran (Sumber: Philips&Allen, 1968)
Gambar 2.16 Koefisien Pembebanan Horizontal Seragam di Kedua Sisi Bentuk Lingkaran (Sumber: Philips&Allen, 1968)
27
2.7 Analisis Struktur Beton Bertulang Saluran Pengelak
2.7.1 Analisis Struktur Beton
Pada perencanaan beton, kekuatan yang dibutuhkan atau disebut kuat perlu
menurut SK SNI T-15-1991-03, dapat diungkapkan sebagai beban rencana
ataupun momen, gaya geser, dan gaya-gaya lain yang berhubungan dengan beban
rencana. Beban rencana atau beban terfaktor didapatkan dengan mengalikan
beban kerja dengan faktor beban dan kemudian digunakan subskrip u sebagai
penunjuknya. Dengan demikian, apabila digunakan kata sifat rencana atau
rancangan menunjukkan bahwa beban sudah terfaktor. Untuk beban mati dan
hidup SKSNI T-15-1991-03 pasal 3.2.2 ayat 1 menetapkan bahwa beban rencana,
gaya geser rencana, dan momen rencana ditetapkan hubungannya dengan beban
kerja atau beban guna melalui persamaan berikut (Dipohusodo, 1994):
U = 1,2D + 1,6L (2-40)
Dengan:
U = kuat rencana (kuat perlu) (t/m2)
D = beban mati (t/m2)
L = beban hidup (t/m2)
Sebagai contoh beban rencana adalah:
Wu = 1,2WDL + 1,6WLL (2-41)
Dengan:
Wu = beban rencana (t/m2)
WDL = beban mati (t/m2)
WLL = beban hidup (t/m2)
Sedangkan momen perlu untuk beban mati dan beban hidup adalah:
Mu = 1,2MDL + 1,6MLL (2-42)
Mu = 1
8Wu. l2 (2-43)
Dengan:
Mu = momen perlu (tm)
MDL= momen beban mati (tm)
MLL = momen beban hidup (tm)
L = panjang beton (m)
28
2.7.2 Analisis Struktur Beton Menggunakan Software STAAD PRO
STAAD adalah singkatan dari Structural Analysis and Design, yang dirilis
oleh Research Engineering di Amerika. STAAD merupakan salah satu program
analisis dan desain struktur yang akurat dalam merancang pada bidang teknik
sipil. STAAD Pro menggunakan teknologi dengan metode input yang mudah.
Oleh karena itu, program ini layak dipelajari dan dipahami oleh para praktisi
perencana struktur. Fasilitas-fasilitas yang terdapat pada STAAD secara umum
dapat dibagi menjadi 5 bagian yaitu (Setiawan, 2006):
1. Menu Bar
Letaknya adalah di atas tampilan layar, menu ini memberikan akses ke semua
fasilitas yang ada di dalam STAAD Pro.
2. Menu Toolbar
Selain memberikan kemudahan mengakses perintah-perintah yang
paling sering digunakan, Toolbar juga dapat diatur baik tampilan maupun
pilihan ikonnya.
3. Main Window
Merupakan daerah terbesar pada pusat layar, dimana pemodelan dan hasil-
hasilnya disajikan dalam bentuk gambar.
4. Page Control
Serangkaian tombol yang letaknya disebelah kiri dari layar. Dengan tombol-
tombol ini tugas-tugas khusus dapat dilakukan dengan mudah.
5. Data Area
Pada bagian sebelah kanan layar adalah Data Area, dimana tempat berbagai
kotak dialog, tabel, data, dan lain-lain yang tampilanya tergantung dari tipe
operasi yang sedang dilakukan.
29
Gambar 2.17 STAAD-Modeling (Sumber: Perancangan)
2.7.2.1 Input Data
STAAD Pro menyediakan input data melalui input/command file mengandung
serangkaian perintah bahasa inggris yang berisi instruksi atau data menyangkut
analisa maupun desain struktur. Menurut Setiawan (2006) untuk membuat input
file (geometri, penampang properti, konstanta bahan, dukungan, beban, data
analisis/desain, dan lain-lain) salah satu caranya ialah dengan mengaktifkan
STAAD-Modeling. Dengan cara ini, selain pembuatan input dengan cara
visualisasi hingga verifikasi grafik dapat dilakukan secara berbarengan, susunan
perintah dalam text input dapat dilihat dan diedit pada ikon STAAD Editor.
Perintah pada text input yang biasanya digunakan sebelum melakukan analisis tipe
Menu Bar
Toolbar
Data Area
Main Window
Page Control
30
struktur, satuan yang digunakan, Joint Coordinates, Member Incidences, Element
Property, Material, Support, dan pembebanan.
Gambar 2.18 STAAD-Editor (Sumber: Perancangan)
2.7.2.2 Output Data
Setelah proses analisis, STAAD Pro menghasilkan output file. File ini
menyajikan informasi yang akurat apabila analisa dilakukan secara benar.
Misalnya, jika STAAD Pro bertemu masalah tidak stabil selama proses analisis,
apabila itu terjadi maka dilaporkan dalam file output.
Selain dapat diakses langsung melalui kotak dialog STAAD Analysis and
Design, output file dapat diakses juga dengan terlebih dahulu mengakses Go to
Post Processing Mode atau Stay in Modeling Mode. Jika diawali dengan pilihan
dua tersebut maka, pilih menu File-View-Output File-STAAD Output dengan cara
sebagai berikut (Setiawan, 2006):
31
Gambar 2.19 Cara Untuk Mengakses Output File (Sumber: Perancangan)
Berikut adalah tampilan test.anl output file sebagai hasil dari eksekusi test.std
input file.
Gambar 2.20 Test.anl Output File (Sumber:Perancangan)
Untuk mencetak output file di atas dapat dilakukan dengan memilih ikon Print.
Selanjutnya tampak kotak dialog Print. Pastikan bahwa komputer telah
32
tersambung dengan printer dengan baik. Bila telah siap tekan OK untuk
melakukan pencetakan.
Gambar 2.21 Kotak Dialog Print (Sumber: Perancangan)
2.7.3 Penulangan Saluran Pengelak
Perhitungan penulangan menurut Cahya (1999) sesuai dengan SK SNI 1991
setelah diketahui kekuatan beton (f’c dan fy), momen yang bekerja (Mu), dan
dimensi beton (b dan h) adalah sebagai berikut:
Drenc = h – selimut beton- 1
2 d tulangan (2-44)
Rn = 𝑀𝑢
∅.𝑏.(𝑑𝑟𝑒𝑛𝑐)2 (2-45)
𝜔 = 0,85 – √0,72 − 1,7 𝑅𝑛
𝑓𝑐′ (2-46)
= 𝜔.𝑓′𝑐
𝑓𝑦 (2-47)
min 1,4
𝑓𝑦 (2-48)
maks = 0,75.ρb = 0,75.0.85 𝑓𝑐′
𝑓𝑦 .𝛽1 (
600
600+𝑓𝑦) (2-49)
As = .b.drenc (2-50)
Dengan:
fc’= kuat tekan beton/mutu beton (Mpa)
fy = mutu baja tulangan (Mpa)
Mu = momen yang bekerja (kNm)
33
b = panjang plat (diambil 1 m)
h = tebal beton (mm)
drenc = tebal efektif beton (mm)
Rn= momen persatuan luas (kNm)
∅ = reduksi kekuatan = 0,80
As = luas tulangan (mm2)
ρ = rasio tulangan yang direncanakan (mm2)
ρmaks = rasio tulangan maks (mm2)
ρmin= rasio tulangan min (mm2)
Perhitungan tulangan susut dengan syarat menurut SK SNI 2013:
Memilih tulangan pokok yang akan dipasang beserta tulangan susut dan suhu
dengan menggunakan tabel.
1) Tulangan susut dan suhu harus paling sedikit langan memiliki luas tulangan
terhadap bruto penampang beton sebagai berikut, tetapi tidak kurang dari
0,0014 :
a. Pelat yang menggunakan betang tulangan ulir mutu 300……….…..0,0020
b. Pelat yang menggunakan batang tulangan ulir atau jaring kawat las (polos
atau ulir) mutu 400…....0,0018
c. Pelat yang menggunakan tulangan dengan tegangan leleh melebihi 400 Mpa
yang diukur pada regangan leleh sebesar 0,35%.............................0,0018 x
400/fy
2) Tulangan susut dan suhu harus dipasang dengan jarak lebih dari lima kali tebal
pelat atau 450 mm.