bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/bab ii.pdfpopulasi dalam...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tanaman
Persebaran umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr meliputi
kawasan Asia tropis Indonesia (Pulau Jawa dan Kalimantan) dan Filipina (Leyte,
Luzon, Mindanao dan Negros), Afrika tropis, serta Amerika tropis. Bawang dayak
(Eleutherine palmifolia (L.) Merr) sendiri berasal dari Amerika tropis, yang
kemudian dibudidayakan dan dilestarikan di Afrika tropis dan cakupan zona
floristik Malesia yaitu Indonesia (Jawa dan Kalimantan) serta Filipina (Leyte,
Luzon, Negros dan Mindanao) (Nooteboom, 2017).
Tanaman umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr tumbuh
dengan baik pada daerah tropis dengan ketinggian sekitar 600-1500 mdpl.
Tumbuhan ini biasanya ditemukan di pinggir jalan yang berumput, di kebun teh,
kina dan kebun karet. Beragam nama daerah dari tanaman Eleutherine palmifolia
(L.) Merr seperti, bawang kapal (Melayu), bawang sabrang (Sunda, Jawa), bawang
dayak (Kalimantan), dan bawang hantu (Tanah Karo). Masyarakat tanah Karo biasa
menggunakan tanaman ini sebagai obat asma dan obat luka. Tetapi masyarakat
tersebut masih menganggap tanaman tersebut sebagai gulma (Firdaus, 2014).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Menurut Amanda (2014), berikut ini klasifikasi dari tanaman umbi Bawang
Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Liliopsida
Ordo : Liliales
Famili : Iridaceae
Genus : Eleutherine
Spesies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr
8
Gambar 2.1 Tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
(Saptowalyono, 2007).
2.1.2 Nama Lain Bawang Dayak
Bawang dayak secara umum dikenal di Indonesia dengan nama bawang
kapal dan bawang merah hutan. Tumbuhan bawang dayak juga memiliki beberapa
nama daerah yaitu bawang dayak (Palangkaraya, Samarinda); teki sabrang (Jawa);
bawang sabrang, babawangan beureum, bawang hantu/kambe (Dayak); bawang
siyem (Sunda); bawang lubak (Punan Lisum), luluwan sapi, bawang sayup
(Melayu), bawang berlian dan brambang sabrang (Saptowalyono, 2007).
2.1.3 Manfaat Bawang Dayak
Secara empiris tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.)
Merr) dapat menyembuhkan penyakit kanker usus, kanker payudara, diabetes
melitus, hipertensi, menurunkan kolesterol, obat bisul, stroke, sakit perut sesudah
melahirkan. Kenyataan yang ada di masyarakat lokal merupakan bukti bahwa
tanaman ini merupakan tanaman obat multifungsi yang sangat bermanfaat. Manfaat
dari tanaman bawang dayak di antaranya sebagai antikanker payudara, mencegah
penyakit jantung, immunostimulant, antiinflamasi, antitumor, serta anti bleeding
agent (Saptowalyono, 2007).
Berbagai penelitian tersebut menemukan pula kandungan penting dalam
bawang dayak sebagai antikanker yang sangat ampuh mencegah perkembangan sel
kanker dalam tubuh dan menangkal radikal bebas. Beberapa testimoni ditemukan
pula bahwa bawang dayak mampu menyembuhkan penyakit diabetes dan hipertensi
9
(Bintari, 2002). Tanaman ini memiliki adaptasi yang baik, dapat tumbuh dalam
berbagai tipe iklim dan jenis yanah.
Selain hal tersebut di atas tanaman ini juga dapat diperbanyak dan di panen
dalam waktu yang singkat, sehingga tanaman ini dapat dengan mudah
dikembangkan untuk skala industri. Ramuan bawang dayak sudah lama
dimanfaatkan berbagai kalangan masyarakat Dayak sebagai obat alternatif karena
mudah diperoleh dan harganya yang terjangkau. Masyarakat sudah banyak
membudidayakan bawang dayak di pekarangan sebagai toga (tanaman obat
keluarga) dan ramuannya sudah banyak menyembuhkan penyakit. Selain
digunakan sebagai tanaman obat, tanaman ini juga bisa digunakan sebagai tanaman
hias karena memiliki bunga yang berwarna putih (Firdaus R, 2006).
2.1.4 Morfologi Tanaman
Tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
merupakan tumbuhan semak, berumpun, tumbuhan semusim dengan tinggi ± 50
cm. Menurut Backer dan Brink (1965) dalam buku Flora of Java, morfologi
bawang daya (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) terdiri atas:
a. Daun
Bentuk daun tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
adalah lonjong, berujung runcing dengan pangkal yang tumpul, pertulangan
menyirip, warna daun hijau (bentuk daun seperti tanaman anggrek tanah).
b. Bunga
Tipe bunga tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
yaitu majemuk berkas (fascicled) yang tumbuh di ujung batang, berwarna putih
dengan tipe simetri bunga yaitu bersimetri banyak (actinomorphus) berkelopak
6, dan mekar pada waktu sore hari dalam beberapa jam.
c. Batang
Batang Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) memiliki
struktur yang tumbuh tegak atau merunduk, basah dan berumbi. Cocok pada
tempat terbuka dan tanah yang kaya humus dan lembap
d. Umbi
Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) umumnya berbentuk
lonjong, bulat telur, berwarna merah dan sedikit garis putih seperti bawang
10
merah (Allium cepa) dan tidak berbau. Umbi bawang dayak mampu dikonsumsi
dan diproduksi setelah usia 6 bulan dengan tinggi tanaman ± 20-50 cm.
2.1.5 Habitat dan Penyebaran
Bawang danyak banyak tumbuh di daerah pegunungan antara 600 sampai
1500 m di atas permukaan laut. Bawang dayak juga mudah dibudidayakan
dikarenakan bawang dayak tumbuh tidak tergantung musim dan dalam waktu 2
hingga 3 bulan setelah tanam sudah dapat dipanen (Saptowalyono, 2007).
2.1.6 Kandungan Kimia Umbi Bawang Dayak
Menurut penelitian Woris, dkk (2017) mengungkapkan bahwa ekstrak
tanaman umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) mengandung
senyawa yang memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan jamur. Hal ini
dikarenakan adanya senyawa metabolit sekunder dalam bawang hutan yang
berpotensi sebagai antijamur. Derivat kuinon yang terkandung dalam umbi bawang
hutan memiliki potensi sebagai antijamur (Chansukh dkk., 2012). Senyawa yang
berpotensi sebagai antijamur dalam ekstrak bawang hutan yaitu senyawa alkaloid,
tanin, fenolik, dan flavonoid, steroid, glikosida, glikosida sianogenik, saponin
(Woris dkk., 2017).
Tabel II.1 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Umbi Eleutherine
palmifolia (L.) Merr (Setiawan dan Febriyanti, 2017).
Keterangan :
(+) : Mengandung golongan senyawa
(-) : Tidak mengandung golongan senyawa
Jenis
Fitokimia
Hasil Uji
Ektrak
Etanol
96%
Fraksi
Etanol +
Air
Fraksi
Etil
Asetat
Fraksi n-
Heksana
Flavonoid + + + +
Fenolik + + + -
Alkaloid + + + -
Saponin + + - -
Triterpenoid + - + +
Tanin - - - -
11
2.1.7 Khasiat
Umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr merupakan tanaman yang sudah
secara turun temurun dipergunakan masyarakat sebagai tanaman obat. Secara
empiris bawang dayak sudah dipergunakan masyarakat lokal. Sebagai obat
berbagai jenis penyakit seperti kanker payudara, obat penurun darah tinggi
(hipertensi), penyakit kencing manis (diabetes mellitus), menurunkan kolesterol,
kanker usus dan mencegah stroke (Galingging, 2009).
Penggunaan Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) dapat
dipergunakan dalam bentuk segar, simplisia, manisan dan dalam bentuk bubuk
(powder). Potensi bawang dayak sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar
sehingga perlu ditingkatkan penggunaannya sebagai bahan obat modern
(Galingging, 2009).
2.2 Tinjauan Jamur Candida albicans
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk
tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan
berkembang menjadi blastospora dan membentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini
tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Candida albicans dan
patogenitasnya dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan fenotipik dimana faktor-
faktor seperti pH, suhu, kondisi anaerob dan faktor gizi dalam jaringan pencernaan
berperan dalam meningkatkan penetrasi Candida albicans melalui sel mukosa
(Kalista dkk., 2017).
Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan
terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak
kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Dinding sel
Candida albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai target dari
beberapa antimikotik (Kalista dkk., 2017).
Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta
bersifat antigenik. Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang
kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm. Dinding sel Candida albicans seperti sel
eukariotik lainnya terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini
memiliki aktivitas enzim seperti manan sintase, kitin sintase, glukan sintase,
ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Terdapatnya membran sterol pada
12
dinding sel memegang peranan penting sebagai target antimikotik dan
kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang berperan dalam
sintesis dinding sel (Toenjes dkk., 2005).
Resistensi antifungal merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan
pengobatan klinis infeksi fungi penyebab lain seperti imunitas pasien yang lemah,
bioavailabilitas obat yang rendah dan metabolisme obat yang cepat. Penelitian
Candrasari (2014) menunjukkan bahwa Candida albicans resisten terhadap
antifungal azole, polyene, dan echinocandin. Sebagian besar mekanisme molekuler
resistensi Candida albicans pada agen anti fungi disebabkan oleh adanya mutasi
gen. Mutasi ini akan mempengaruhi ikatan obat dengan target enzim, biosintesis
komponen dari struktur fungi, dan konfirmasi senyawa dalam sel fungi.
2.2.1 Klasifikasi
Berikut ini klasifikasi Candida albicans menurut Vasanthakumari (2007),
yakni sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Sub Divisi : Saccharomyces
Kelas : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Famili : Saccharomtcetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Gambar 2.2 Jamur Candida albicans (Mekhanzie, 2012).
13
2.2.2 Morfologi Candida albicans
Jamur Candida albicans merupakan sel ragi bertulang tipis, gram positif,
tidak memiliki kapsul, berbentuk oval hingga bulat dengan ukuran 3-4 μm. Jamur
Candida albicans juga membentuk pseudo hifaketika tunas-tunasnya terus
bertumbuh, tetapi gagal melepaskan diri sehingga menghasilkan rantai-rantai sel
panjang yang bertakik atau menyempit pada lokasi penyekatan di antara sel. Jamur
Candida albicans bersifat dimorfik, selain ragi dan pseudohifa Jamur Candida
albicans juga dapat menghasilkan hifa sejati (Brooks dkk., 2013).
Jamur Candida albicans merupakan organisme yang memiliki dua wujud dan
bentuk secara simultan/ dimorphic organism. Pertama adalah yeast-like state (non-
invasif dan sugar fermenting organism. Kedua adalah fungal form memproduksi
root-like structure/ struktur seperti akar yang sangat panjang dan dapat memasuki
mukosa (invasif). Dinding sel C. albicans bersifat dinamis dengan struktur berlapis,
terdiri dari beberapa jenis karbohidrat berbeda (80-90%): (i) Mannan (polymers of
mannose) berpasangan dengan protein membentuk glikoprotein (mannoprotein);
(ii) α-glucans yang bercabang menjadi polimer glukosa yang mengandung α-1,3
dan α-1,6 yang saling berkaitan, dan (iii) chitin, yaitu homopolimer N-acetyl-D-
glucosamine (Glc-NAc) yang mengandung ikatan α-1,4. Unsur pokok yang lain
adalah adalah protein (6-25%) dan lemak (1-7%). Yeast cells dan germ tubes
memiliki komposisi dinding sel yang serupa, meskipun jumlah α-glucans, chitin,
dan mannan relatif bervariasi karena faktor morfologinya. Jumlah glucans jauh
lebih banyak dibanding mannan pada C. albicans yang secara imunologis memiliki
keaktifan yang rendah (Vandepitte dkk., 2003; Greenwood dkk., 2007).
Gambar 2.3 Struktur Dinding Candida albicans (Larone, 1986).
14
Jamur Candida albicans berkembang biak dengan cara memperbanyak diri
dengan spora yang tumbuh dari tunas yang disebut dengan blastospora (Siregar,
2004).Organisme Candida tumbuh dengan mudah dalam botol kultur darah dan
pada plateagar. Pada kultur media, spesies Candida terbentuk halus, berwarna putih
krem, dengan koloni berkilau. Banyak spesies Candida mudah diidentifikasi
berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan kit komersial yang mengevaluasi
asimilasi karbohidrat dan reaksi fermentasi sertamemberikan identifikasi spesies
dari isolat Candida selama 2-4 hari (Brooks dkk., 2013).
2.2.3 Patogenesis Candida albicans
Menurut Komariah (2012) terdapat beberapa tahapan patogenesis Candida
albicans dalam rongga mulut sebagai berikut :
1. Tahap akuisisi adalah masuknya sel jamur ke dalam rongga mulut. Umumnya
terjadi melalui minuman dan makanan yang terkontaminasi oleh Candida
albicans.
2. Tahap stabilitas Pertumbuhan adalah keadaan ketika Candida albicans yang
telah masuk melalui akuisisi dapat menetap, berkembang, dan membentuk
populasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel
jamur dengan sel epitel rongga mulut hostpes. Pergerakan saliva yang terjadi
secara terus menerus mengakibatkan sel Candida albicans tertelan bersama
saliva dan keluar dari dalam rongga mulut karena saliva memiliki kemampuan
untuk menurunkan perlekatan Candida albicans.Apabila penghilangan lebih
besar dibanding akuisisi maka tidak terjadi kolonisasi. Apabila penghilangan
sama banyak dengan akuisisi maka agar terjadi kolonisasi diperlukan faktor
predisposisi. Apabila penghilangan lebih kecil dibanding akuisisi maka Candida
albicans akan melekat dan bereplikasi, hal ini merupakan awal terjadinya
infeksi. Beberapa faktor predisposisi seperti pemakaian gigi palsu, khususnya
jika mengakibatkan rasa sakit dan diiringi kondisi rongga mulut yang tidak
bersih, dapat menjadi substrat bagi pertumbuhan Candida albicans.
3. Tahap Perlekatan (adhesi) adalah interaksi antara sel Candida albicans dengan
sel pejamu yang merupakan syarat berkembangnya infeksi. Kemampuan
melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam merusak sel dan
penetrasi (invasi) ke dalam sel inang. Enzim fosfolipase yang dimiliki oleh
15
Candida albicans akan memberikan kontribusi dalam mempertahankan infeksi.
Iritasi fisik karena penetrasi terus menerus dapatmenyebabkan luka lokal yang
dapat digunakan sebagai jalan masuk jamur.
2.2.4 Infeksi akibat Candida albicans
Candida albicans dapat menimbulkan serangkaian penyakit pada beberapa
tempat (Simatupang, 2009), antara lain :
1. Mulut
a. Penyakit ini biasa terjadi pada bayi yang dapat mengenai selaput mukosa pipi
bagian dalam, lidah, palatum mole dan permukaan rongga mulut yang tampak
sebagai bercak-bercak (pseudomembran). Pseudomembran yang terlepas dari
dasarnya akan tampak daerah yang basah dan merah.
b. Perleche Penyakit ini ditandai dengan adanya lesi berupa fisur pada sudut
mulut, basah dan dasarnya eritematosa.
2. Genitalia wanita
Jamur Candida albicans penyebab yang paling umum dari vulvovaginitis.
Hilangnya pH asam merupakan predisposisi timbulnya penyakit tersebut.
Keadaan pH normal yang asam akan dipertahankan oleh bakteri vagina.
Vulvovaginitis menyerupai sariawan akan tetapi menimbulkan iritasi, gatal yang
hebat dan pengeluaran sekret.
3. Genitalia pria
Penderita mendapatkan infeksi oleh karena kontak seksual dengan pasangannya
yang menderita vulvo vaginitis. Lesi berupa erosi dan pustula yang terdapat pada
glandula penis.
4. Kulit Infeksi ini terdapat pada lapisan kulit terluar dan merupakan bentuk paling
sering dari infeksi Candida. Infeksi ini sering terjadi pada daerah tubuh yang
basah, hangat seperti ketiak, lipat paha, skrotum, atau lipatan-lipatan dibawah
payudara.
5. Kuku Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku
menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang berwarna kecoklatan, rasa
nyeri dan akhirnya kuku juga dapat tanggal. Infeksi ini biasa mengenai orang-
orang yang pekerjaanya berhubungan dengan air.
16
6. Paru dan organ lain Infeksi Candida dapat menyebabkan infeksi sekunder ke
paru-paru, ginjal, jantung, meningen dan organ lainnya.
7. Candidiasis monokutan menahun, penyakit ini timbul karena adanya
kekurangan dari jumlah leukosit atau sistem hormonal. Gambaran klinisnya
mirip seperti penderita dengan defek poliendokrin.
2.3 Tinjauan Antijamur
Obat anti jamur merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan
organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan dan ragi,
atau obat yang digunakan untuk menghilangkan jamur (Batubara, 2010).
Istilah antifungi mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik.
Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi
sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan fungi dan mematikannya
(Marsh, 1977).
2.3.1 Mekanisme antifungi
Mekanisme dari antifungi dapat dikelompokkan menjadi beberapa
komponen, berikut ini adalah mekanisme dari antifungi yang dikelompokkan
berdasarkan penelitian Pelczar dan Chan (1986) :
a. Gangguan pada membran sel. Gangguan ini dapat terjadi karena adanya
ergosterol di dalam membran sel jamur. Ergosterol merupakan komponen sterol
yang sangat penting, sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan polien.
Komplek polien ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori yang
permeabel terhadap konstituen yang esensial bagi sel jamur, sehingga konstituen
tersebut keluar dari sel dan mengakibatkan kematian bagi sel jamur tersebut.
Contoh: amfoterisin B dan nystatin.
b. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur Mekanisme ini merupakan
mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol karena mampu
menimbulkan ketidak teraturan membran sitoplasma jamur dengan cara
mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam
pengangkutan senyawa-senyawa esensial yang dapat menyebabkan ketidak
seimbangan metabolit sehingga menghambat biosíntesis ergosterol dalam sel
jamur. Contoh: ketokonazol, klortimazol, dan mikonazol.
17
c. Penghambatan sintesis protein jamur. Mekanisme ini merupakan mekanisme
yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena
senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur
menjadi suatu metabolit yang antagonis, yang kemudian akan bergabung dengan
asam ribonukleat dan selanjutnya akan menghambat síntesis asam nukleat dan
protein jamur. Contoh: flusitosin.
d. Penghambatan pertumbuhan jamurEfek antijamur ini terjadi karena adanya
senyawa antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubulus
dalam sel, kemudian merusak struktur spindle mitotik dan menghentikan
metafase pembelahan sel jamur sehingga akan membatasi pertumbuhan jamur
(Pelczar dan Chan, 1986).
2.4 Tinjauan tentang Nystatin
Nystatin merupakan suatu antibiotik polien yang dihasilkan oleh
Streptomyces noursei. Obat yang berupa bubuk warna kuning kemerahan ini
bersifat higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan juga eter.
Larutannya mudah terurai dalam air atau plasma. Sekalipun nystatin mempunyai
struktur kimia dan mekanisme kerja mirip dengan Amfoterisin B tetapi Nystatin
lebih toksik sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik. Nystatin tidak diserap
melalui saluran cerna, kulit maupun vagina. Nystatin menghambat pertumbuhan
antijamur dan juga ragi tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan juga virus
(Gunawan, 2012).
2.4.1 Mekanisme Kerja
Nystatin hanya akan diikat oleh jamur dan juga ragi yang sensitif. Aktivitas
antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran sel jamur atau
ragi terutama ergosterol. Akibat terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik
ini akan terjadi perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan
berbagai molekul kecil (Gunawan, 2012).
Candida albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap nystatin,
tetapi C. tropicalis, C. guillermondi dan C. Stellatiodes mulai resisten bahkan
sekaligus menjadi tidak sensitif terhadap amfoterisin B (Gunawan, 2012).
18
2.4.2 Indikasi
Nystatin gunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput lendir dan juga
saluran pencernaan. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral serta saluran
pencernan cukup diobati secara topikal. Kandidiasis di mulut, esofagus dan juga
lambung biasanya merupakan komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama
pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Sebagian besar infeksi
ini memberikan respons yang baik terhadap nystatin. Kandidiasis saluran cerna
jarang ditemukan, tetapi keadaan ini dapat merupakan penyebab timbulnya nyeri
perut dan juga diare (Gunawan, 2012).
2.5 Koloni Jamur dan Bakteri
Adapun perbedaan antara koloni dari jamur (Kapang dan Khamir) dan juga
bakteri, antara lain :
a. Jamur (Kapang)
Kapang (Mould/ filamentous fungi) merupakan mikroba anggota Kingdom
Fungi yang membentuk Hifa. Tubuh atau Talus suatu kapang pada dasarnya
terdiri dari 2 bagian miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman).
Miselium merupakan kumpulan beberapa filamen yang dinamakan hifa. Setiap
hifa lebarnya 5-10 μm, dibandingkan dengan sel bakteri yang biasanya
berdiameter 1 μm (Coyne dan Mark, 1999).
Kapang melakukan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri
dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora aseksual dihasilkan
lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan spora seksual
(Pelczar, 1999).
Jamur tidak dapat hidup secara autotrof, melainkan secara heterotrof. Jamur
hidup dengan menguraikan bahan-bahan organik yang ada dilingkungannya.
Habitat kapang sangat beragam, namun pada umumnya kapang dapat tumbuh
pada substrat yang mengandung sumber karbon organik.Umumnya jamur hidup
secara saprofit, artinya hidup dari penguraian sampah-sampah organik seperti
bangkai, sisa tumbuhan, makanan dan kayu lapuk. Ada pula jamur yang hidup
secara parasit artinya jamur mendapatkan bahan organik dari inangnya misalnya
dari manusia, binatang dan tumbuhan. Adapula yang hidup secara simbiosis
mutualisme, yakni hidup bersama dengan orgaisme lain agar saling
19
mendapatkan untung, misalnya bersimbiosis dengan ganggang membentuk
lumut kerak (Pelczar, 1999).
Gambar 2.4 Pengamatan koloni kapang (Marham dkk, 2016).
b. Jamur (Khamir)
Khamir merupakan jenis jamur uniseluler, bentuk sel tunggal dan
berkembangbiak secara pertunasan. Ukuran sel khamir beragam antara lain:
lebarnya berkisar antara 1-5μm dan panjangnya berkisar dari 5-30μm atau lebih.
Biasanyasel khamir berbentuk telur, tetapi beberapa ada yang memanjang atau
berbentuk bola.Setiap spesies mempunyai bentuk yang khas, namun sekalipun
dalam biakan murni terdapat variasi yang luas dalam hal ukuran dan bentuk. Sel-
sel individu, tergantung kepada umur dan lingkungannya. Khamir tidak
dilengkapi flagellum atau organ-organ penggerak lainnya (Dwijoseputro, 2005).
Gambar 2.5 Morfologi Makroskopik Isolat Khamir asal daun jati pada
medium YMA berumur 48 jam pada suhu 27-28°C (Marham dkk, 2016).
20
c. Bakteri
Bakteri adalah kelompok mikroba yang tidak memiliki membran inti
sel,termasuk prokariota dan mikroskopik, serta memiliki peran dalam
kehidupan. Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai penyebab penyakit,
kelompok lainnya memberikan manfaat dibidang pangan, pengobatan, dan
industri. Struktur sel bakteri relatif sederhana, tanpa nukleus, kerangka sel dan
juga organel lainnya seperti mitokondria dan kloroplas (Madigan, 2009). Pada
umumnya, bakteri berukuran 0,5-5μm, tetapi ada bakteri yang dapat berdiameter
hingga 700μm, yaitu Thiomargarita. Bakteri umumnya memiliki dinding sel,
seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan bahan pembentuk sangat berbeda
(peptidoglikan). Beberapa jenis bakteri bersifatmotil (mampu bergerak) yang
disebabkan oleh flagel (Madigan, 2009).
Gambar 2.6 Bentuk Sel Bakteri (Pelczar, 1999)
21
Gambar 2.7 Morfologi Koloni Bakteri (Fardiaz, 1992)
2.6 Golongan Senyawa Metabolit Sekunder yang Memiliki Aktivitas
Antijamur
Pada tanaman umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr terdapat beberapa
golongan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antijamur
diantaranya, yaitu :
2.6.1 Flavanoid
Flavonoid diperoleh dari hidroksilasi zat fenolik sebagai unit C6-C3 yang
terkait pada cincin aromatik. Disintesis dari tanaman untuk infeksi mikroba dan
telah diketahui bahwa secara in vitro efektif sebagai zat antimikroba terhadap
berbagai macam mikroorganisme. Flavonoid memiliki kemampuan kompleks
ekstraseluler, protein terlarut dan kompleks dengan dinding sel bakteri. Sifat
flavonoid yang lebih lipofilik dapat merusak membran mikroba (Cowan, 1999).
Flavonoid mampu untuk membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri,
sehingga menyebabkan kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan
lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri (Haryati dkk.,
2015).
22
2.6.2 Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen biasanya sebagian bagian dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas
fisiologi yang menonjol sehingga banyak di antaranya digunakan dalam bidang
pengobatan (Harbone, 1987).
Mekanisme kerja dari alkaloid kuartener planar seperti berberin dan harmane
sebagai antibakteri melalui cara berinteraksi dengan asam deoksiribosa nukleat
(DNA) bakteri atau berinteraksi dengan dinding sel bakteri (Cowan, 1999). Alkaoid
juga diduga mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri
sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan
kematian sel (Haryati dkk., 2015).
2.6.3 Triterpenoid
Triterpenoid contohnya lanosterol, bahan dasar bagi senyawa-senyawa
steroid. Triterpenoid memiliki atom C30. Triterpenoid tersebar luas dalam damar,
gabus dan kutin tumbuhan. Damar adalah asam triterpenoid yang sering bersama-
sama dengan gom polisakarida dalam damar gom. Triterpenoid alkohol juga
terdapat bebas dan sebagai glikosida. Triterpenoid asiklik yang penting hanya
hidrokarbon skualena yang diisolasi untuk pertama kali dari minyak hati ikan hiu
tetapi juga ditemukan dalam beberapa malam epikutikula dan minyak nabati
(minyak zaitun). Triterpenoid merupakan bagian dari terpenoid. Terpenoid
disintesis dari unit asetat yang diperoleh dari asam lemak (Cowan, 1999).
Terpenoid dapat bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada
membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat dan
merusak porin, mengurangi permeabilitas dinding bakteri sehingga sel bakteri
kekurangan nutrisi, pertumbuhan bakteri terhambat atau mati. (Haryati dkk., 2015).
2.6.4 Steroid
Mekanisme steroid sebagai antibakteri berhubungan dengan membran lipid
dan sensitivitas terhadap komponen steroid yang menyebabkan kebocoran pada
liposom (Madduluri dkk, 2013). Steroid dapat berinteraksi dengan membran
fosfolipid sel yang bersifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga
23
menyebabkan integritas membran menurun serta morfologi membran sel berubah
yang menyebabkan sel rapuh dan lisis (Ahmed, 2007).
2.6.5 Antrakinon
Antrakinon termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya
berasal dari turunan fenol. Senyawa golongan kuinon telah tersebar luar di alam
dan senyawa ini memiliki ciri yang sangat reaktif (Zhang dkk., 2009). Kuinon
merupakan cincin aromatik dengan substitusi dua keton. Senyawa ini, bertanggung
jawab dalam reaksi pencoklatan pada buah-buahan dan sayuran dan sebagai
perantara melanin dalam jalur sintesis pada kulit manusia. Dengan menyediakan
sumber radikal bebas yang stabil, kuinon merupakan irreversibel kompleks
nukleofilik asam amino dalam protein yang menimbulkan inaktivasi protein dan
hilangnya fungsi sehingga besar potensi kuinon sebagai efek antimikroba (Cowan,
1999). Kuinon memiliki aktivitas antimikroba yang cukup luas, senyawa tersebut
juga dapat membentuk kompleks dengan asam amino nukleofilik dalam protein
sehingga dapat membentuk protein kehilangan fungsinya. Kuinon bereaksi dengan
protein adesin bulu-bulu sel, polipeptida dinding sel, dan eksoenzim yang
dilepaskan melalui membran (Putra, 2010).
2.6.6 Polifenol
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini
mempunyai tanda khas yaitu banyak gugus fenol dalam molekulnya. Senyawa fenol
dalam tanaman dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu asam fenol, flavonoid dan
tanin (Kunaepah, 2008). Berdasarkan penelitian Alberto, dkk (2006), efek
antibakteri dari polifenol pada kulit apel dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen pada manusia yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan beberapa
bakteri patogen lainnya. Mekanisme penghambatan antibakteri polifenol antara lain
adalah dengan cara :
a. Mengganggu pembentukkan dinding sel. Pada konsentrasi rendah, molekul fenol
lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein dan dapat
melarut pada fase lipid dari membran bakteri.
b. Bereaksi dengan membran sel. Komponen bioaktif fenol dapat mengakibatkan
lisis sel dan menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan sel
24
sitoplasma dan asam nukleat serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran
sel (Kunaepah, 2008).
2.6.7 Tanin
Tanin adalah senyawa fenol yang memiliki berat molekul 500-3000 daltons
(Da). Tanin diklasifikasi atas dua kelompok atas dasar tipe struktur dan aktivitasnya
terhadap senyawa hidrolitik yaitu tanin terkondensasi (condensed tannin) dan tanin
yang dapat dihidrolisis (hyrolyzable tannin) (Hagerman, 2002). Tanin hidrolisis
adalah tanin pada pemanasan dengan asam klorida atau asam sulfat menghasilkan
asam galat atau asam elagat. Tanin terkondensasi adalah tanin pada pemanasan
dengan asam klorida menghasilkan phlobaphenes seperti phloroglucinol
(Browning, 1966).
Mekanisme kerja tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran
sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya
permeabilitas sel tidak dapat sehingga pertumbuhannya terhambat dan mati
(Ajizah, 2004). Tanin juga mempunyai daya sebagai antibakteri dengan cara
mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan
senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara lain melalui reaksi dengan membran
sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik (Masduki,
1996).
2.6.8 Saponin
Saponin adalah senyawa glikosidankompleks yang mempunyai bobot
molekul yang besar. Saponin dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar
berdasarkan struktur kimia, antara lain steroid, alkaloid, dan triterpenoid. Saponin
mempunyai rasa pahit dan akan berbusa dalam air (Sukadana, 2007).
Mekanisme saponin sebagai agen antibakteri adalah dengan cara berinteraksi
dengan kolesterol pada membran sel dan menyebabkan membran sel mengalami
modifikasi lipid yang akan mengganggu kemampuan bakteri untuk berinteraksi
dengan membran yang sudah mengalami modifikasi tersebut. Terganggunya
interaksi antara bakteri dengan membranselnya akan menyebabkan kemampuan
bakteri untuk merusak atau berinteraksi dengan host akan terganggu. Ketika
membran sel terganggu, zat antibakteri akan dapat dengan mudah masuk kedalam
25
sel dan akan mengganggu metabolisme hingga akhirnya terjadilah kematian bakteri
(Karlina, 2013).
2.6.9 Fenolik
Salah satu kandungan senyawa yang terdapat di umbu Eleuthherine
palmifolia adalah golongan fenol atau fenolik. Fenolik merupakan senyawa
metabolit sekunder yang dapat disintesis tumbuhan, sebagai respon terhadap
berbagai kondisi seperti infeksi, radiasi UV, dan lain sebagainya. Pada tumbuhan,
fenolik dapat bertindak sebagai antifeedants, atraktanuntuk penyerbuk, kontributor
pigmentasi tanaman, antioksidan, sebagai pelindung dari berbagai jenis parasit dan
paparan suhu ekstrim (Ravangpaiet dkk., 2011). Senyawa fenolik adalah senyawa
yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang menempel di cincin aromatik.
Dengan kata lain, senyawa fenolik adalah senyawa yang sekurang-kurangnya
memiliki satu gugus fenol. Banyaknya variasi gugus yang mungkin tersubstitusi
pada kerangka utama fenol menyebabkan kelompok fenolik memiliki banyak sekali
anggota. Terdapat lebih dari 8.000 jenis senyawa yang termasuk dalam golongan
senyawa fenolik. Anggota senyawa fenolik mulai dari yang paling sederhana
dengan berat molekul kecil hinggasenyawa yang kompleks dengan berat molekul
yang sangat besar (Marinova dkk., 2005).
Mekanisme kerja senyawa fenol dalam membunuh serta menghambat sel
bakteri yaitu dengan cara melakukan terjadinya denaturasi protein sel. Ikatan
hidrogen yang terbentuk akan mempengaruhi membran sitoplasma serta
permeabilitas protein karena kedua komponen tersusun dari protein. Terganggunya
permeabilitas dari dinding sel dan membran sitoplasma akan mengakibatkan
makromolekul serta ion dalam sel tidak seimbang yang akhirnya akan terjadi lisis
pada bakteri (Pelczar dan Chan, 1988).
2.7 Tinjauan Ekstraksi dan Fraksinasi
2.7.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia
dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu.
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat
aktif dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
26
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian, hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Agoes, 2007).
Ekstraksi bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat
dalam simplisia. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat
padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar
muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Proses pengekstraksian
komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat
aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan
berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentras cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel,
waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Agoes, 2007).
Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional
adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat
bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target
ekstraksi perlu ditentukan terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi,
diantaranya (Sarker dkk., 2006) :
1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui
2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme
3. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara
struktural.
Semua senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu sumber
tetapi tidak dihasilkan oleh sumber lain dengan kontrol yang berbeda, misalnya
dua jenis dalam marga yang sama atau jenis yang sama tetapi berada dalam kondisi
yang berbeda. Identifikasi seluruh metabolit sekunder yang ada pada suatu
organisme untuk studi sidik jari kimiawi dan studi metabolomik (Agoes, 2007).
Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan adalah
sebagai berikut :
1. Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan
penggilingan bagian tumbuhan.
2. Pemilihan pelarut
27
3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.
4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.
5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petroleum eter, kloroform, dan sebagainya.
Adapun ekstraksi terbagi menjadi 3 jenis yaitu ekstraksi dengan
menggunakan pelarut (cara dingin dan panas), ekstraksi destilasi uap dan metode
lainnya. Metode ekstraksi dengan cara dingin diantaranya adalah maserasi, dan
perkolasi. Sedangkan metode ekstraksi dengan cara panas diantaranya adalah
refluks, soxhlet. Untuk metode lain diantaranya adalah ekstraksi
berkesinambungan, superkritikal karbondioksida, ekstraksi ultrasonik dan ekstraksi
energi listrik.
2.7.2 Metode Maserasi Perendaman
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan
pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar (Depkes, 2000).
Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut
organik pada suhu ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi
senyawa bahan alam karena melalui perendaman sampel tumbuhan akan terjadi
pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan
di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut
dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur
lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pengekstrak untuk proses maserasi
akan memberikan efektifitas yang tinggi melalui cara memerhatikan kelarutan
senyawa bahan alam pelarut tersebut (Darwis, 2000).
Menurut Voight (1995), Lama maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari. Dan
maserasi akan lebih efektif jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena
keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif.
Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang
lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak.
28
Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air,
etanol, etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan seba gai penyari karena lebih
selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun,
netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala
perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Depkes,
1995).
Keuntungan dan Kerugian Maserasi
a. Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah:
- Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam
- Biaya operasionalnya relatif rendah
- Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan
b. Kelemahan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah:
- Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu
terekstraksi sebesar 50% saja
- Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari
- Menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi
hilangnya metabolit
- Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut
pada suhu kamar (27oC) (BPOM, 2000).
2.7.3 Fraksinasi
Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan
kelarutan senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling
bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik seperti metanol, etanol,
etil asetat, n-heksana dan petroleum eter (Dey, 2012). Ekstrak dipartisi dengan
menggunakan peningkatan polaritas pelarut seperti petroleum eter, n-heksana,
kloroform, dietil eter, etil asetat dan etanol. Pemilihan pelarut pada ekstraksi
umumnya bergantung pada sifat analitnya dimana pelarut dan analit harus memiliki
sifat yang sama, contohnya analit yang sifat lipofilitasnya tinggi akan terekstraksi
pada pelarut yang relatif nonpolar seperti n-heksana sedangkan analit yang
semipolar terlarut pada pelarut yang semipolar seperti etil asetat atau diklorometana
(Venn, 2008).
29
Kebanyakan aglikon terekstraksi pada fraksi non-polar seperti terpenoid dan
steroid sedangkan flavonoid, glikosida, saponin dan gula ester ditemukan pada
fraksi yang lebih polar dan fraksi air. Petroleum eter dan n-heksana juga dapat
digunakan untuk menghilangkan lipid, wax dan senyawa lemak (Dey, 2012).
Sekilas ada banyak pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi ini, namun
mcternyata ada pelarut yang tidak memenuhi syarat. Pertama, pelarut harus tidak
bercampur dengan air, mempunyai titik didih yang rendah (jika digunakan untuk
evaporasi) dan sebaiknya memiliki densitas yang lebih rendah daripada air (untuk
membentuk lapisan atas sehingga pemisahan lebih mudah dilakukan). Kedua,
pelarut harus aman dan tidak merusak lingkungan jika digunakan. Banyak pelarut
yang tidak aman digunakan karena berbagai alasan seperti dietil eter (mudah
terbakar), toluen (memiliki titik didih yang tinggi), benzen (keamanan), dan pelarut
klorida seperti diklorometana (berbahaya bagi lingkungan). Praktisnya, hanya ada
beberapa pelarut saja yang biasa digunakan seperti n-heksana, metil tertier butil eter
(MTBE) dan etilasetat (Venn, 2008).
Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,
aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam
lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat
diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana, 1989). Fraksinasi bertingkat
umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut
yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta
dielektrik pelarut.
2.8 Skrinning Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan pengindentifikasi bioaktif dengan cepat
memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan
bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining fitokimia
merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam
tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat
reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal yang
berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode
ekstraksi (Kristanti, 2008).
30
Skrining fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi
pemeriksaan kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/ steroida, tanin
dan saponin menurut prosedur yang telah dilakukan oleh (Harbone, 1987; Depkes,
1995).
2.8.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis atau biasa disebut KLT merupakan sistem
kromatografi yang pemakaiannya paling luas, karena dapat diterapkan hampir pada
setiap golongan senyawa, kecuali pada kandungan yang sangat atsiri. Cara ini dapat
dipakai pada pemeriksaan pendahuluan ekstrak kasar dari kebanyakan senyawa dan
juga sebagai cara pemisahan dan deteksi pendahuluan (Harbone, 1987).
Komponen umum pengembang KLT, yaitu benzena. Sekarang diketahui
bahwa uap benzena merusak kesehatan dan pelarut ini harus ditangani dalam ruang
yang baik ventilasinya, misalnya dalam lemari asam. Dalam banyak hal, tetapi tak
selalu, benzena dapat diganti dengan toluena yang kurang berbahaya. Sebagai
tindakan keamanan umum, kita hendaknya menghindari hubungan yang terlalu
lama dengan setiap campuran pelarut organik untuk KLT (Harborne, 1987).
Penjerap yang dipakai untuk KLT ialah silika gel, alumina, keselgur, dan
selulosa. Silika gel merupakan penjerap yang paling banyak dipakai dalam KLT
dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Karena sebagian besar silika gel
bersifat sedikit asam, maka asam sering agak mudah dipisahkan. Jadi
meminimumkan reaksi asam-basa antara penjerap dan senyawa yang dipisahkan
(Harborne, 1987).
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada KLT lebih baik
dikerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna. Tetapi dapat juga
menggunakan harga Rf, hal ini dapat didefinisikan sebagai berikut :
Harga Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑡𝑜𝑡𝑜𝑙𝑎𝑛
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
Harga Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga
Rf standart. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT yang
juga mempengaruhi harga Rf adalah struktur kimia dari senyawa yang sedang
dipisahkan, sifat dari penjerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari
lapisan penjerap, pelarut dan derajat kemurnian fasa gerak, derajat kejenuhan dari
uap dalam bejana pengembangan yang digunakan, teknik percobaan, jumlah
31
cuplikan yang digunakan, suhu, kesetimbangan antara atmosfer dalam bejana jenuh
dengan uap pelarut (Harborne, 1987).
2.8.2 Faktor yang Mempengaruhi KLT
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam KLT yang juga akan
mempengaruhi nilai Rf adalah (Harborne, 1987):
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
2. Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya.
Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan
mengeringkan molekul-molekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari
penyerap. Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap
harga Rf meskipun menggunakan fase bergerak dan zat terlarut yang sama tetapi
hasil akan dapat diulang dengan hasil yang sama, jika menggunakan penyerap
yang sama, ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga
homogen.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
Pada prakteknya tebal lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tetapi perlu
diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran
pelarut menjadi tidak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.
4. Pelarut dan derajat kemurniannya fase bergerak.
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase bergerak dalam
Kromatografi Lapis Tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut
digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan.
6. Teknik percobaan arah pelarut bergerak di atas plat.
7. Jumlah cuplikan yang digunakan.
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil
penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya hasil dan efek tak
kesetimbangan lainnya, sehingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan
harga Rf.
32
8. Suhu.
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama
untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang
disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase.
9. Kesetimbangan.
Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam
kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh
dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan
uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan
dengan permukaan pelarut yang berbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat
pada bagian tepi-tepi dan keadaan ini harus dicegah.
2.8.3 Manfaat dari Kromatografi Lapis Tipis, yaitu :
a. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat.
b. Pemeriksaan simplisia hewan dan tanaman.
c. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.
d. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif sediaan obat.
2.8.4 Fase Diam
Fase diam dapat digunakan silika gel, alumina dan serbuk selulosa. Partikel
silika gel mengandung gugus hidroksil pada permukaannya yang akan membentuk
ikatan hidrogen dengan molekul polar air. Pada kromatografi lapis tipis, sebuah
garis digambarkan dibagian atas dan bawah lempengan dan setetes pelarut dari
campuran pewarna di tempatkan pada garis yang telah ditentukan. Diberikan
penandaan pada garis dilempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan.
Jika dilakukan dengan tinta, pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya
kromatogram di bentuk (Roy, 1991).
Alumina (Al2O3) dan silika gel (SiO2). Alumina lebih polar daripada silika
gel, dan senyawa ini sering dinyatakan lebih aktif daripada silika gel. Alumina lebih
cocok untuk analisis senyawa-senyawa yang nonpolar atau kurang polar (seperti
hidrokarbon, eter, aldehida, keton, dan alkil halida) karena senyawa-senyawa polar
sangat kuat teradsorbsi pada adsorbent ini. Analisis KLT senyawa-senyawa polar
pada alumina umumnya menghasilkan harga Rf yang rendah dan pemisahan yang
minimal. Sebaliknya silika gel dipilih sebagai adsorbent untuk senyawa-senyawa
33
polar (asam karbokislat, alkohol, amina) karena senyawa-senyawa non polar
teradsorbsi lemah pada silika gel. Analisis KLT senyawa-senyawa nonpolar pada
silika gel umumnya memberikan harga Rf yang tinggi dan pemisahan yang
maksimal (Roy, 1991).
2.8.5 Fase Gerak
Fase gerak dapat digolongkan menurut ukan kekuatan teradsorbsinya pelarut
atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak
digunakan adalah jenis adsoberben alumina atau sebuah lapis tipis silica,
Penggolongan ini dikenal sebagai deret elutropik pelarut. Suatu pelarut yang
bersifat larutan relative polar, dapat mengusir pelarut yang relative tak polar dari
ikatannyadengan alumina/ silica gel. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering
disebut dengan eluen (Johnson, 1991).
Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur
pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4
persyaratan pertama adalah yang paling penting. Gelembung udara (degassing)
yang ada harus dihilangkan dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati
detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan
(Johnson, 1991).
2.9 Tinjauan Pelarut Fraksi Etanol
Ethyl alkohol atau etanol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil
ataugugus OH, dengan rumus kimia C2H5OH. Istilah umum yang sering dipakai
untuk senyawa tersebut, adalah alkohol. Etanol mempunyai sifat tidak berwarna,
mudah menguap, mudah larut dalam air, berat molekul 46,1, titik didihnya 78,3°c,
membeku pada suhu -117,3 °C, kerapatannya 0,789 pada suhu 20°C, nilai kalor
7077 kal/gram, panas latent penguapan 204 kal/gram dan angka oktan 91-105
(Hambali dkk., 2008).
2.10 Metode Pengujian Antibiotik
2.10.1 Metode Difusi
Pada metode difusi agar digunakan media agar padat yang dapat berupa kertas
cakram, silinder atau cekungan yang dibuat pada media padat. Larutan uji akan
berdifusi dari pencadang ke permukaan media agar padat yang telah diinokulasi
34
bakteri. Bakteri akan terhambat pertumbuhannya dengan pengamatan berupa
lingkaran atau zona disekeliling pencadang (Jiang, 2011).
Gambar 2.8 Klasifikasi Metode Mikrobiologi untuk Deteksi Biologi (Choma,
2015).
1. Metode Disc Diffusion atau metode Kirby Baure
Difusi cakram atau yang disebut dengan Kirby-Bauer disc diffusion test
merupakan standar prosedur yang tetap untuk uji sensitivitas dan disetujui oleh
WHO (Hudzicki, 2013). Metode ini menggunakan kertas cakram yang berisi zat
antimikroba dan diletakkan pada media agar yang telah ditanami bakteri uji.
Metode ini berdasarkan difusi antibakteri pada agar yang diinokulasi
mikroorganisme. Efek dari antibakteri diekspresikan dengan terbentuknya suatu
zona pertumbuhan yang terhambat (Pudjarwoto, 2008).
Zat yang akan diuji diserapkan ke dalam cakram kertas dengan cara
meneteskan larutan antibakteri pada cakram kertas kosong (mencelupkan kertas
saring ke dalam larutan senyawa) dalam jumlah tertentu dengan kadar tertentu.
Kertas cakram diletakkan diatas permukaan agar padat yang telah diolesi bakteri,
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antibakteri dapat dilihat
dari daerah hambat di sekeliling cakram kertas (Choma, 2015). Menurut Davis
dan Stout (1971), ketentuan antibakteri adalah sebagai berikut : daerah hambatan
20 mm atau lebih mengindikasi sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm
mengindikasikan kuat, 5-10 mm mengindikasikan sedang dan daerah hambatan
5 mm atau kurang mengindikasikan lemah. . Berdasarkan diameter zona inhibisi
dan kriteria interpretatif CLSI, hasilnya kemudian dibagi menjadi tiga kategori
yaitu, rentan, menengah, atau resisten. Semakin besar diameter zona inhibisi,
adalah mikroorganisme yang lebih rentan untuk antimikroba tersebut (Jiang,
2011).
35
Gambar 2.9 Prosedur Metode Difusi Cakram (Disk) (Jiang, 2011)
Metode ini dipengaruhi banyak faktor fisik dan kimia, selain interaksi
sederhana dari obat dan organisme (misalnya, sifat dari media dan diffusibility,
ukuran molekul dan stabilitas obat). Penggunaan disk tunggal untuk setiap
antibiotik dengan standarisasi dari kondisi pengujian memungkinkan laporan
rentan atau tahan untuk mikroorganisme dengan membandingkan ukuran zona
inhibisi dengan standar obat yang sama. Inhibisi sekitar cakram yang berisi
sejumlah obat antimikroba tidak berarti kerentanan terhadap konsentrasi obat
yang sama per mililiter menengah, darah, atau urin (Jawetz, 2013).
Pengujian menggunakan metode difusi cakram mudah untuk dilakukan
dan hasilnya dapat terlihat jelas. Metode ini memiliki keebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus dan
relatif lebih murah. Sedangkan kelemahannya adalah ukuran zona bening yang
terbentuk tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulum, predifusi, dan preinkubasi
serta ketebalan medium (Pelczar dan Chan, 1988).
2. Metode Lubang/ Sumuran
Pada metode ini dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan
mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan
diuji (Pratiwi, 2008).
Pada uji ini, beberapa lubang berdiameter milimeter pada permukaan
agar-agar diinokulasi dan diisi dengan sampel. larutan senyawa yang diuji
berdifusi ke media agar menyebabkan penghambatan pertumbuhan
mikroorganisme. Kemudian, zona hambatan diukur, konsentrasi hambat
minimum (MIC) ditentukan secara visual. (Choma, 2015).
36
Bakteri uji yang umurnya 18-24 jam disuspensikan ke dalam media agar
pada suhu sekitar 45°C. Suspensi bakteri dituangkan ke dalam cawan petri steril.
Setelah agar memadat, dibuat lubang-lubang dengan diameter 6-8 mm. Kedalam
lubang tersebut dimasukkan larutan zat yang akan diuji aktivitasnya kemudian
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Aktivitas antibakteri dapat
dilihat dari daerah bening yang mengelilingi lubang perforasi (Choma, 2015).
Gambar 2.10 Metode Lubang/ Sumuran (Paliling dkk., 2016)
2.10.2 Bioautografi
Bioautografi merupakan metode skrining mikrobiologi yang umum
digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antimikroba. Skrining merupakan
prosedur pertama, yang dilakukan pada sampel yang akan dianalisis, untuk
mengetahui ada atau tidaknya analit yang didapat. Metode skrining ini memberikan
sensitivitas yang lebih tinggi daripada metode lainnya. Metode ini juga memiliki
kelebihan yaitu, sederhana, murah, hemat waktu dan tidak memerlukan peralatan
yang canggih (Choma, 2015).
Metode bioautografi sendiri ddibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Bioautografi Kontak
Bioautografi kontak merupakan senyawa antimikroba yang dipindahkan
dari lempeng KLT ke medium agar yang telah diinokulasikan bakteri uji secara
merata dan dilakukan kontak langsung (Dewanjee dkk., 2014).
37
Metode ini didasarkan pada difusi dari senyawa yang telah dipisahkan
dengan Kromatografi Lapis Tipis. Lempeng kromatografi tersebut ditempatkan
di atas permukaan media agar yang sebelumnya diinokulasikan dengan
mikroorganisme yang sensitif terhadap senyawa antimikroba yang dianalisis.
Setelah 15-30 menit, lempeng kromatografi tersebut dipindahkan dari
permukaan medium. Senyawa antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng
kromatogram ke dalam media agar dapat menghambat pertumbuhan bakteri
setelah diinkubasi pada waktu dan suhu yang tepat sampai noda menghambat
pertumbuhan mikroorganisme uji tampak pada permukaan membentuk zona
yang jernih (Marston, 2006).
Gambar 2.11 Bioautografi Kontak ((Dewanjee dkk., 2014).
2. Bioautografi Langsung (Deteksi KLT)
Metode Bioautografi langsung merupakan metode dimana
mikroorganisme tumbuh secara langsung diatas lempeng KLT. Prinsip kerja dari
metode ini adalah suspensi mikroorganisme uji dalam medium cair
disemprotkan pada permukaan KLT dengan cara menghilangkan sisa-sisa eluen
yang menempel pada lempeng kromatogram. Setelah itu di inkubasi pada suhu
dan waktu tertentu (Dewanjee dkk., 2014).
38
Gambar 2.12 Bioautografi Langsung (Dewanjee dkk., 2014).
3. Bioautografi Perendaman (Agar Overlay Bioautografi)
Bioautografi perendaman merupakan metode dimana medium agar telah
diinokulasikan dengan suspensi bakteri kemudian dituang di atas lempeng KLT.
Pada metode ini lempeng kromatografi yang telah dieluasi di letakkan dalam
cawan petri, sehingga permukaan tertutup oleh medium agar yang berfungsi
sebagai base layer. Setelah base layer memadat, dituangkan medium yang telah
disuspensikan mikroba uji yang berfungsi sebagai seed layer. Kemudian di
inkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai (Dewanjee dkk., 2014).
Gambar 2.13 Bioautografi Perendaman (Dewanjee dkk., 2014).
39
2.10.3 Metode Dilusi
Metode ini digunakan untuk mengukur konsentrasi hambat minimum (KHM)
dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat
seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan
mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa
penambahan mikroba uji atau pun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24
jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai
KBM (Pratiwi, 2008).
1. Metode Dilusi Tabung
Prinsip metode ini menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media
cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing
tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Selanjutnya seri
tabung diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya
kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang
ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada
pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Selanjutnya biakan dari semua
tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan dan
keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh.
Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak
adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji
(Dzen dkk., 2003).
2. Metode Dilusi Agar
Prinsip metode ini yaitu suatu antimikroba dengan konsentrasi biasa
dimasukkan kedalam lempengan agar padat. Setiap lempengan agar dapat
menetes banyak isolat yang berlainan. Isolat berlainan ditempatkan pada
permukaan lempengan agar dan diinkubasi. Jika isolatnya sensitif terhadap
konsentrasi antibiotika yang dites maka akan tumbuh dan akan terlihat suatu
koloni pertumbuhan bakteri (Edberg dkk., 1986). Uji kepekaan cara dilusi agar
memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Uji
kepekaan cara dilusi cair dengan menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan
40
jarang dipakai, namun kini ada cara yang lebih sederhana dan banyak dipakai
yakni menggunakan microdilution plate. Keuntungan uji mikrodilusi cair adalah
bahwa uji ini memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba
yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri (Jawetz, 2013).
2.11 Media Pembiakan Candida albicans
2.11.1 Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA)
Media ini disebut sebagai media universal karena dapat digunakan untuk
mengisolasi semua jenis jamur, akan tetapi saprobes (organisme yang hidup dari
bahan-bahan yang membusuk atau sudah mati) kontaminan dapat tumbuh cepat
pada medium ini sehingga menutupi organisme patogen sesungguhnya.
Dekstrosanya yang tiggi dan pHnya yang asam dapat menyebabkan SDA hanya
dapat menjadi media pembiakan jamur-jamur tertentu. Dalam SDA, terdapat 40
gram dekstrosa, 15 gram agar, 5 gram cernaan enzimatik kasein dan juga 5 gram
cernaan enzimatik jaringan hewan. Kandungan enzim kasein dan juga jaringan
hewan berperan dalam menyediakan kebutuhan nitrogen dan juga vitamin untuk
pertumbuhan organisme. Media ini memiliki pH yang rendah yaitu sekitar 5,6 ± 0,2
sehingga cocok untuk pertumbuhan jamur terutama dermatofita dan kadar pH yang
bersifat asam tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan beberapa
spesies jamur (McIntosh, 2010).
Pertumbuhan koloni kandida di media SDA, diperlukan suhu udara yang
sesuai dengan suhu kamar, yaitu 25-30ºC, agar Candida albicans mudah tumbuh.
Kultur diinkubasikan selama 4 minggu sebelum ditentukan bahwa tidak terjadi
pertumbuhan jamur. Dalam waktu 24-48 jam akan terbentuk koloni bulat, basah,
mengkilat seperti koloni bakteri, berukuran sebesar kepala jarum (Ramali, 2013).
2.11.2 Sabouraud dextrose broth (SDB)
Media lain yang biasa digunakan dalam pembiakan jamur khususnya
Candida albicans ialah SDB. Sabouraud dextrose broth memiliki kandungan
dekstrosa yang tinggi dan juga sifat pH yang asam, yang dapat mendukung
pertumbuhan dari jamur dan menghambat pertumbuhan bakteri. Medium ini
merupakan media modifikasi dari Sabouraud dextrose agar (SDA), dengan jumlah
dekztrosa dan tanpa agar (Gigi dkk., 2000).
41
Kandungan SDB dalam 1 liter terdiri dari 20 gram dekstrosa dan juga 10 gram
campuran pepton jaringan hewan dan kasein cernaan pankreas (1:1). Dekstrose
sendiri merupakan sumber energi karbohidrat, sedangkan pepton ialah sumber
nitrogen, vitamin, mineral dan juga asam amino. Dalam suhu 25ºC, pH SDB adalah
5,6 ± 0,2. Selain jamur Candida albicans yang dapat tumbuh terdapat jamur yang
lainnya yaitu : Aspergillud niger, Lactobacillus casei dan juga Saccharomyces
cerevisiae. Sedangkan untuk Escherichia coli sebagian dapat terhambat dalam
media SDB (Gigi dkk., 2000).
2.12 Standart Pengukuran Zona Hambat
Pengukuran zona hambat dapat dilakukan dengan cara mlihat zona bening
yang terdapat pada media uji yang berada di sekeliling dick cakram. Standart
pengukuran zona hambat pada jamur menurut CLSI 28th Edition ialah sebagai
berikut :
Tabel II.2 Standart Pengukuran Zona Hambat (Clinical and Laboratory Standars
Institute 28th Edition, 2018 ).
Interpretive
Category
Breakpoints
MIC, µg/ mL Zona Diameter, mm
Susceptible ≤ 4 ≥ 20
Susceptible-dose dependent 8-16 15-19
Intermediate 8-16 15-19
Resistant ≥ 32 ≤ 14
Non susceptible > 4 < 20