bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman bawang dayak...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)
Bawang dayak merupakan tanaman khas Kalimantan. Bawang dayak secara
turun temurun sudah dipergunakan oleh masyarakat suku dayak sebagai tanaman
obat. Secara empiris bawang dayak diketahui dapat menyembuhkan penyakit
kanker usus, kanker payudara, diabetes melitus, hipertensi, menurunkan
kolesterol, obat bisul, stroke, dan sakit perut sesudah melahirkan. Bawang dayak
termasuk tanaman habitus herba semusim, merambat, dengan tinggi 30-40 cm,
bentuk batang semu, memiliki umbi yang berlapis, berwarna merah, berbentuk
bulat telur dan memanjang. Daun tunggal dengan bentuk pita, ujung dan pangkal
runcing, tepi rata, berwarna hijau. Bunga majemuk, tumbuh di ujung batang
dengan panjang tangkai ± 40 cm, bentuk silindris, kelopak terdiri dari dua daun
kelopak, hijau kekuningan, terdiri dari empat daun mahkota dengan panjang ± 5
mm, berwarna putih. Benang sari empat, kepala sari kuning, putik bentuk jarum,
panjang ± 4 mm, putih kekuningan. Memiliki akar serabut dan berwarna coklat
muda (BPOM RI, 2011).
Dalam ilmu taksonomi, berikut adalah klasifikasi dari bawang dayak atau
Eleutherine palmifolia L. (BPOM RI, 2008) :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Liliales
Famili : Iridaceae
Genus : Eleutherine
Spesies : Eleutherine americana Merr
Bawang dayak banyak terdapat di daerah pegunungan dengan ketinggian
600-2000 m di atas permukaan laut, banyak ditemui di pinggir-pinggir jalan yang
berumput dan di dalam kebun-kebun teh, kina, dan karet. Nama lain dari bawang
dayak atau Eleutherine palmifolia antara lain Eleutherine americana, E. bulbosa,
E. subaphyla, E. citriodora, E. guatemalensis, E. latifolia, E. longifolia,dan E.
5
plicata. Di Indonesia, bawang dayak juga dikenal dengan nama: Sumatera:
bawang kapal; Jawa: bebawangan beureum, bawang sabrang, bawang siem
(Sunda), brambang sabrang, luluwan sapi, teki sabrang (Jawa), bawang arab,
bawang mekah babawangan, beureum (Jawa Barat); Kalimantan Barat: bawang
dayak, bawang-bawangan; Nusa Tenggara Timur: bawang berlian. Bawang dayak
dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, dan dalam bentuk bubuk.
Masyarakat tradisional menggunakan umbi segar bawang dayak sebanyak ± 50 g
dengan cara dicuci, diparut, diperas, dan disaring. Hasil saringan ditambahkan
setengah gelas air matang panas, kemudian diminum seperempat gelas, 2 kali
sehari. Bawang dayak juga dapat dikonsumsi secara mentah sebanyak 7-10 siung
3 kali sehari (BPOM RI, 2011).
Gambar 2.1. Tanaman Bawang Dayak (Materia Medika Batu, 2017)
2.1.1 Senyawa Kimia
Bawang dayak memiliki kandungan senyawa bioaktif seperti alkaloid,
glikosida, flavanoid, fenolik, steroid, dan tannin yang merupakan sumber
potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman obat (Galingging, 2009).
Senyawa flavonoid dan fenol yang terdapat dalam ekstrak bawang dayak memiliki
aktivitas sebagai antioksidan dan inhibitor alpha-glucosidase (Febrinda dkk,
2014). Kombinasi dari kapasitas antioksidan dan kemampuan penghambatan
enzim alfa glukosidase bawang dayak memiliki potensi sebagai agen antidiabetik
yang bermanfaat dalam pencegahan dan perlindungan terhadap penyakit diabetes
mellitus (Fibrinda, dkk., 2013).
Selain itu, bawang dayak juga memiliki kandungan kimia seperti
eleutherine, elekanakin, eleuthosida B, isoeleutherin, eleutherol, eleuthinon A,
6
eleuthraquinon A dan B, eleucanarol, naftokuinon, bi-eleuterol, dan elekanasin
(BPOM RI, 2011).
2.2.2 Khasiat
Senyawa naftokuinon dan turunannya dikenal sebagai antimikroba,
antifungal, antivirial dan antiparasitik. Selain itu, naftokuinon memiliki
bioaktivitas sebagai antikanker dan antioksidan yang biasanya terdapat di dalam
sel vakuola dalam bentuk glikosida (Babula et al.,2005). Zat aktif eleutherinoside
A, eleuthoside B, dan eleutherol pada Eleutherine palmifolia (L.) Merr dapat
sebagai inhibitor alpha-glucosidase yang bisa menurunkan kadar glukosa darah
postpandrial, dan juga dapat memperbaiki kerusakan sel beta pankreas, sehingga
dapat meningkatkan sekresi insulin secara langsung. Pada terapi diabetes
digunakan ekstrak etanol dari Eleutherine palmifolia dengan 100 mg/kg tikus
perhari (Febrindaet al, 2014). Eleutherinoside A memiliki hasil yang paling aktif
dengan IC50 0,5 mM, sedangkan dua lainnya menunjukkan kurang dari 50%
penghambatan pada konsentrasi 1mm (Ieyama et al. 2011).
(a) (b) (c)
Gambar2.2 Struktur kimia senyawa (a) eleutherinoside A, (b) eleuthoside B, (c)
Eleutherol (Pubchem, 2016).
2.2 Tinjauan Ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dari proses ekstraksi zat
aktif suatu simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai,
dimana semua atau hampir semua pelarut tersebut kemudian diuapkan dan massa
7
atau serbuk yang terbentuk diperlakukan sesuai dengan baku yang ditetapkan
(Depkes RI, 2014).
Ekstrak sebagai produk jadi merupakan ekstrak yang siap digunakan dalam
sediaan obat. Ekstrak tersebut berupa ekstrak kering, ekstrak kental, dan ekstrak
cair yang proses pembuatannya telah sesuai dengan kandungan bahan aktif serta
tujuan bentuk sediaan yang akan dibuat (BPOM RI, 2005).
2.2.1 Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi yang umum dilakukan adalah maserasi dan perkolasi.
Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada beberapa faktor, seperti sifat bahan
simplisia obat, penyesuaian terhadap tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan penggunaan ekstrak.
2.2.1.1 Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan serbuk simplisia menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan. Secara
teknologi merupakan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan secara terus-menerus. Remaserasi
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).
Adapun ekstraksi dengan maserasi ultrasonik. Metode ekstraksi ultrasonik
merupakan metode ekstraksi menggunakan getaran ultrasonik (> 20.000 Hz) yang
memberikan efek pada proses ekstrak dengan prinsip meningkatkan permeabilitas
dinding sel, menimbulkan gelembung spontan (cavitation) sebagai stress dinamik
serta menimbulkan fraksi interfase. Frekuensi getaran, kapasitas alat, dan lama
proses ultrasonikasi merupakan faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi
(Depkes RI, 2000).
2.2.1.2 Perkolasi
Perkolasi merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan pelarut yang selalu
baru sampai sempurna (exhaustive extraction), umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Terdiri dari beberapa tahap seperti, tahap pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/
8
penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) dengan
jumlah 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).
2.2.2 Standarisasi Ekstrak
Standarisasi merupakan proses penjaminan produk akhir (obat, ekstrak atau
produk ekstrak) memiliki nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan
atau dirancang dalam formula terlebih dahulu. Persyaratan mutu ekstrak terdiri
dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik (Depkes RI,
2000).
2.2.2.1 Parameter Non Spesifik
Parameter non spesifik terdiri dari susut pengeringan dan bobot jenis, kadar
air, kadar abu, sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat, cemaran
mikroba, cemaran kapang, khamir dan aflatoksin.
Parameter susut p
dinyatakan dalam persen. Jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa
pelarut organik menguap identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena
berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya untuk memberikan
batasan maksimal (rentang) senyawa yang hilang pada proses pengeringan
(Depkes RI, 2000).
Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume pada suhu kamar
tertentu
Parameter ini bertujuan untuk memberikan batasan tentang besarnya masa per
satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak
pekat (kental) yang masih dapat dituang. Memberikan gambaran kandungan kimia
terlarut (Depkes RI, 2000).
Parameter kadar air merupakan pengukuran kandungan air yang berada di
dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat seperti cara titrasi, destilasi atau
gravimetric, yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang
besarnya kandungan air di dalam bahan (Depkes RI, 2000).
Parameter kadar abu, adalah pemanasan bahan pada temperatur dimana
senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga unsur
9
mineral dan anorganik memiliki nilai tinggi. Memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak (Depkes RI, 2000).
Parameter sisa pelarut menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang
ditambahkan secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair,
kandungan pelarutnya, seperti kadar alkohol. Tujuannya untuk memberikan
jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang seharusnya
tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut
(alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan. Nilai maksimal yang diperbolehkan,
namun dalam hal pelarut berbahaya seperti kloroform nilai harus negatif sesuai
batas deteksi instrumen. Terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Depkes RI,
2000).
Parameter sisa pestisida menentukan kandungan sisa pestisida yang
mungkin pernah ditambahkan atau mengkontaminasi bahan simplisia pembuatan
ekstrak. Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida
melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI,
2000).
Parameter cemaran logam berat menentukan kandungan logam berat secara
spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Memberikan jaminan
bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd,dll) melebihi
nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
Parameter cemaran mikroba menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang
patogen secara analisis mikrobiologis. Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak
boleh mengandung mikroba patogen dan non patogen melebihi batas yang
ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi
kesehatan (Depkes RI, 2000).
Parameter cemaran kapang, khamir dan aflatoksin menentukan adanya
jamur secara mikrobiologis dan adanya aflatoksin dengan KLT. Bertujuan untuk
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi
batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflatoksin
yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
10
2.2.2.2 Parameter Spesifik
Parameter spesifik terdiri dari identitas, organoleptik, dan senyawa terlarut
dalam pelarut tertentu.
Parameter identitas ekstrak meliputi: deskripsi tata nama (nama ekstrak)
nama latin tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan
(rimpang, daun, dsb), dan nama Indonesia tumbuhan. Ekstrak dapat mempunyai
senyawa identitas, artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik
dengan metode tertentu. Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik
dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000).
Parameter organoleptik ekstrak merupakan penggunaan pancaindera untuk
mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair), warna (kuning,
coklat, dan sebagainya), bau (aromatik, tidak berbau, dan sebagainya), rasa (pahit,
manis, kelat, dan sebagainya) (Depkes RI, 2000).
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu melarutkan ekstrak
dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik
dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetric. Dalam hal tertentu dapat
diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain seperti heksana, diklorometan,
methanol. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa
kandungan (Depkes RI, 2000).
2.3 Tinjauan Tablet Efervesen
Tablet efervesen merupakan sediaan tablet berbuih yang dibuat secara
kempa. Selain zat aktif, tablet efervesen juga mengandung campuran komponen
asam (asam sitrat, asam tartat) dan komponen basa (natrium bikarbonat) yang
dimaksudkan untuk menghasilkan gelembung gas (CO2) saat dimasukkan ke
dalam air. Pemberian tablet efervesen yakni dengan dilarutkan atau didispersikan
dalam air terlebih dahulu. Penyimpanan tablet efervesen harus dalam wadah
tertutup rapat atau dalam kemasan yang tahan terhadap lembab (Depkes RI,
2014).
Tablet efervesen memiliki reaksi yang cukup cepat dan biasanya
berlangsung dalam waktu satu menit atau kurang. Persyaratan yang harus
diperhatikan pada pembuatan tablet efervesen adalah kadar air. Selain itu, bahan
11
baku yang digunakan harus dalam bentuk anhidrat, agar sedikit atau tidak
mengadsorpsi kelembaban, atau bahan baku dalam bentuk hidrat yang stabil,
karena granul yang bersifat anhidrat secara sempurna pada umumnya tidak akan
kompresibel (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013).
Pembuatan tablet efervesen memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
dapat untuk formula dengan bahan aktif dalam dosis besar, dapat 3-10 kali dosis
tablet biasa; tablet tidak perlu ditelan; memiliki rasa yang enak ketika dicampur
dengan air; dosis yang lebih baik, penelitian menunjukkan bahwa tablet efervesen
meningkatkan jumlah penyerapan bahan aktif. Sedangkan keterbatasan pembuatan
tablet dalam bentuk efervesen adalah tidak semua rasa bahan obat dapat ditutup,
dan kadang waktu melarut tablet dalam air dapat lebih dari lima menit, hal
tersebut tergantung dari suhu air yang digunakan dan sifat bahan aktif yang
digunakan (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013).
2.3.1 Bahan Pembawa Tablet Efervesen
Formula tablet efervesen mengandung bahan aktif dan beberapa bahan
tambahan yang berfungsi sebagai bahan pengisi, bahan pengikat, bahan
penghancur, dan bahan pelican. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan
tablet efervesen harus mudah larut agar tidak menghasilkan residu ketika
dilarutkan. Bahan tambahan dalam pembuatan tablet efervesen antara lain:
2.3.1.1 Komponen asam
Komponen asam merupakan bahan yang dibutuhkan pada reaksi efervesen,
yang umumnya dijadikan sumber asam adalah asam makanan, anhidrida asam,
dan garam asam. Asam makanan merupakan bahan yang umumnya digunakan,
bahan ini diperoleh dari alam serta dapat digunakan dalam bahan tambahan
makanan. Asam makanan antara lain adalah asam sitrat, asam tartrat, asam malat,
asam fumarat, asam suksinat, dan asam adipat (Hadisoewignyo dan Fudholi,
2013). Komponen asam yang digunakan adalah kombinasi asam sitrat dan asam
tartrat karena penggunaan bahan asam tunggal akan menimbulkan kesukaran.
Apabila asam tartrat sebagai asam tunggal, granul yang dihasilkan akan mudah
kehilangan kekuatannya dan akan menggumpal. Sedangkan asam sitrat saja akan
menghasilkan campuran lekat dan sukar menjadi granul (Ansel, 2008).
12
2.3.1.2 Komponen basa
Komponen basa, umumnya adalah garam karbonat yang padat dan kering
menghasilkan gas karbondioksida pada sebagian besar produk efervesen.
Karbonat dan bikarbonat merupakan bahan yang lebih reaktif dan lebih sering
digunakan pada pembuatan tablet efervesen. Sumber karbonat dalam pembuatan
tablet efervesen antara lain natrium bikarbonat, natrium karbonat, kalium
bikarbonat, kalium karbonat, natrium sesquicarbonat, natrium glisin karbonat, l-
lysin karbonat, arginin karbonat, amorphous kalsium karbonat. Natrium
bikarbonat merupakan sumber utama karbondioksida dalam sistem efervesen
(Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013).
2.3.1.3 Bahan pengikat
Bahan pengikat memberikan kekompakan dan daya tahan tablet.
Penggunaan pengikat dalam formulasi tablet efervesen lebih terbatas
dibandingkan dengan tablet konvensional. Bahan pengikat yang larut air akan
memperlambat disintegrasi tablet efervesen. Bahan pengikat dalam formula tablet
digunakan dengan tujuan membentuk ikatan antarpartikel tablet yang baik,
memenuhi persyaratan bobot tablet, kekerasan tablet, dan kerapuhan tablet. Bahan
pengikat berperan sebagai perekat untuk mengikat serbuk-serbuk komponen tablet
menjadi granul, selanjutnya membantu mengikat granul-granul menjadi tablet
dalam proses pengempaan (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013).
Bahan pengikat memberikan daya adhesi pada massa serbuk sewaktu
granulasi dan pada tablet kempa serta menambah daya kohesi yang telah ada pada
bahan pengisi. Zat pengikat dapat ditambahkan dalam bentuk kering, tetapi lebih
efektif jika ditambahkan dalam larutan. Bahan pengikat yang umum meliputi gom
akasia, gelatin, sukrosa, povidon, metilselulosa, karboksimetilselulosa dan pasta
pati terhidrolisis (Depkes RI, 2014).
2.3.1.4 Bahan pengisi
Pada tablet efervesen biasanya memerlukan bahan-bahan pengisi yang perlu
ditambahkan. Bahan pengisi ditambahkan apabila jumlah zat aktif sedikit atau
sulit dikempa. Sifat tablet secara keseluruhan ditentukan oleh bahan pengisi yang
13
memiliki jumlah besar. Bahan pengisi yang sering digunakan antara lain laktosa,
sukrosa, manitol dan sorbitol (Depkes RI, 2014).
2.3.1.5 Bahan pelicin
Bahan pelicin memudahkan pengeluaran tablet dari ruang cetak melalui
pengurangan gesekan antara dinding dalam lubang ruang cetak dengan permukaan
sisi tablet. Secara umum, suatu lubrikan yang sempurna atau adjuvant untuk
sediaan efervesen harus nontoksik, tidak berasa dan larut air (Siregar dan Wikarsa,
2010). Pada umumnya lubrikan bersifat hidrofobik, sehingga cenderung
menurunkan kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet. Oleh karena itu kadar
pelicin yang berlebihan harus dihindari. Polietilen glikol dan beberapa garam
lauril sulfat digunakan sebagai bahan pelicin yang larut, tetapi bahan pelicin
tersebut umumnya tidak memberikan sifat lubrikasi yang optimal, dan diperlukan
dengan kadar yang lebih tinggi (Depkes RI, 2014).
2.4 Metode Granulasi
Granulasi berasal dari bahasa latin “ ” b
Proses granulasi merupakan proses penggabungan partikel-partikel kecil untuk
membentuk ukuran yang lebih besar, memiliki massa permanen dimana partikel-
partikelnya dapat diidentifikasi. Efektivitas dan hasil granulasi bergantung pada
beberapa sifat yaitu besarnya ukuran partikel bahan aktif dan bahan tambahan,
tipe bahan pengikat yang digunakan, efektivitas dan lama pengadukan pada saat
pencampuran bahan pengikat, dan kecepatan pengeringan (Hadisoewignyo dan
fudholi, 2013).
Metode granulasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu metode granulasi
basah (wet granulation) dan metode granulasi kering (dry granulation). Granulasi
basah adalah suatu metode yang dilakukan dengan membasahi massa tablet
menggunakan larutan pengikat hingga diperoleh tingkat kebasahan tertentu,
kemudian digranulasi. Bahan aktif yang sukar larut dalam air dan yang tahan
pemanasan atau lembab dilakukan dengan metode ini. Pada umumnya, metode
granulasi basah digunakan untuk zat aktif yang sulit dicetak karena sifat alir dan
kompresibilitasnya buruk (Hadisoewignyo dan fudholi, 2013).
14
Pada pembuatan tablet efervesen biasanya dilakukan menggunakan metode
granulasi basah. Adapun langkah–langkah yang diperlukan pada pembuatan tablet
dengan metode granulasi basah, yakni sebagai berikut: menimbang dan
mencampurkan bahan, pembuatan granulasi basah, pengayakan adonan lembab
menjadi granul, pengeringan, pengayakan kering, pencampuran bahan pelicin, dan
pembuatan tablet dengan kompresi (Ansel, 2005).
2.5 Mutu Fisik Granul
Mutu fisik granul meliputi kecepatan alir dan sudut diam, kelembaban
(MC), dan kompaktibilitas.
2.5.1 Kecepatan Alir dan Sudut Diam
Kecepatan alir adalah waktu yang dibutuhkan sejumlah serbuk untuk
mengalir. Pada campuran serbuk atau granul, sifat alir dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah rapat jenis, porositas, bentuk partikel, ukuran partikel,
kondisi percobaan, dan kandungan lembab (Voigt, 1984). Kecepatan alir
dinyatakan dalam gram/detik. Granul dinyatakan memiliki sifat alir yang baik bila
100 gram granul yang diuji memiliki kecepatan alir lebih dari 10 g/detik (Aulton,
2002).
b b
b b
b b b b b b
b b b b
(Lachman, 2008).
2.5.2 Kelembaban
Kandungan lembab granul ditentukan secara gravimetri dengan Moisture
Balance. Kadar air atau kelembaban merupakan titik kritis yang berpengaruh pada
aliran granul, proses pencetakan dan kualitas tablet. Persyaratan kandungan
lembab pada granul efervesen yakni sebesar 0,2 – 0,3% (Bertuzzi, 2005).
2.5.3 Kompaktibilitas
Kemampuan serbuk membentuk massa kompak dengan pemberian tekanan
tergantung pada karakteristik kompresibilitas serbuk tersebut. Kompaktibilitas
15
serbuk dapat diketahui dengan menggunakan penekan hidrolik. Kompaktibilitas
merupakan parameter untuk mengetahui kekerasan dan kerapuhan tablet. Serbuk
yang dapat membentuk tablet yang keras di bawah tekanan yang diberikan tanpa
“capping” b
mudah (Siregar dan Wikarsa, 2010).
2.6 Mutu Fisik Tablet Efervesen
Setelah tablet berhasil dikompresi, kemudian dilakukan pemeriksaan mutu
fisik tablet yang meliputi kekerasan tablet, kerapuhan tablet, dan waktu melarut
tablet.
2.6.1 Kekerasan Tablet
Kekerasan tablet adalah kekuatan untuk menghancurkan tablet. Ditentukan
oleh besarnya tenaga yang diperlukan untuk memecah tablet dalam uji kompresi
diametrik. Tablet harus mempunyai kekuatan atau kekerasan tertentu serta tahan
atas kerapuhan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan mekanik pada
saat pembuatan, pengepakan, dan pengiriman. Alat untuk melakukan uji
kekerasan seperti Monsanto tester, Strong – Cobb tester, Pfizer tester, Erweka
tester, dan Schleuniger tester. Faktor – faktor yang mempengaruhi kekerasan
tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan yang dikempa. Peningkatan
jumlah bahan pengikat akan meningkatkan kekerasan tablet meskipun diberikan
tekanan yang sama (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). Semakin besar tekanan,
maka semakin keras tablet yang dihasilkan, walaupun sifat dari granul juga
menentukan kekerasan tablet (Ansel, 2005).
Kekerasan tablet berhubungan dengan waktu hancur dan disolusi.
Kekerasan tablet juga berhubungan dengan terbentuknya densitas dan porositas
dari tablet. Syarat kekerasan tablet adalah 4-8 kg untuk tablet pada umumnya, 3
kg untuk tablet kunyah dan tablet hipodermik, 7-14 kg untuk tablet hisap dan 10-
20 kg untuk tablet lepas lambat (Hadisoewignyo dan Fudholi, 3013).
2.6.2 Kerapuhan Tablet
Kerapuhan tablet merupakan parameter yang menggambarkan kekuatan
permukaan tablet dalam berbagai perlakuan yang dapat menyebabkan abrasi pada
16
permukaan tablet. Erweka friabilator merupakan alat yang digunakan pada uji
kerapuhan. Uji kerapuhan berhubungan dengan hilangnya bobot tablet akibat
abrasi yang terjadi pada permukaan tablet. Nilai persentase kerapuhan berbanding
lurus dengan besarnya massa yang hilang. Semakin besar nilai persentase
kerapuhan, maka semakin besar juga massa tablet yang hilang. Kerapuhan yang
tinggi dapat mempengaruhi kadar zat aktif yang ada pada tablet. Kerapuhan tablet
dianggap cukup baik apabila hasilnya kurang dari 0,8% (Hadisoewignyo dan
Fudholi, 3013).
2.6.3 Waktu Melarut Tablet
Waktu melarut pada tablet efervesen adalah waktu yang dibutuhkan tablet
untuk terlarut atau terkikis dalam pelarut air. Waktu larut tablet dilakukan dengan
memasukkan sebuah tablet efervesen ke dalam air suling dengan volume 200 ml.
Waktu melarut tablet efervesen dihitung menggunakan stopwatch mulai dari
tablet efervesen tercelup sampai semua tablet larut (Siregar dan Wikarsa, 2010).
Tablet efervesen yang baik akan terlarut dengan cepat dalam waktu 1 - 2 menit
(Lachman, 2008).
2.7 Tinjauan Bahan Pembawa
2.7.1 Asam Sitrat
Asam sitrat berbentuk anhidrat, mengandung satu molekul air hidrat.
Mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 100% C6H8O7, dihitung
terhadap zat anhidrat. Pemerian: hablur bening, tidak berwarna atau serbuk hablur
granul sampai halus, putih, tidak berbau, rasa sangat asam. Bentuk hidrat mekar
dalam udara kering (Depkes RI, 1995). Kelarutan bahan yakni sangat mudah larut
dalam air (1: <1), mudah larut dalam etanol 95% (1:1,5), agak sukar larut dalam
eter. Asam sitrat monohidrat digunakan sebagai preparat granul efervesen
sedangkan asam sitrat anhidrat secara luas digunakan sebagai tablet efervesen
(Rowe et al, 2009). Struktur molekul asam sitrat dapat dilihat pada gambar 2.3.
17
Gambar 2.3 Struktur Molekul Asam Sitrat (Rowe et al, 2009).
2.7.2 Asam tartrat
Asam tartrat yang dikeringkan di atas fosfor pentoksida P selama 3 jam,
mengandung tidak kurang dari 99,7% dan tidak lebih dari 100,5% C4H6O6.
Pemerian: hablur, tidak berwarna, bening atau serbuk hablur sampai granul, warna
putih, tidak berbau, rasa asam dan stabil di udara (Depkes RI, 1995). Kelarutan
bahan yakni praktis tidak larut dalam kloroform, mudah larut dalam etanol 95%
(1: 2,5), sukar larut dalam eter (1: 250), larut dalam gliserin, mudah larut dalam
metanol (1: 1,7), sangat mudah larut dalam air (1: 0,75). Pada formulasi
pharmaceutical, secara luas digunakan dalam kombinasi dengan bikarbonat,
sebagai sumber asam pada komponen granul, serbuk, dan tablet efervesen (Rowe
et al, 2009). Struktur molekul asam tartrat dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur Molekul Asam Tartrat (Rowe et al, 2009).
2.7.3 Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih
dari 100,5% NaHCO3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian
bahan ini yakni serbuk hablur, putih, stabil di udara kering, namun dalam udara
18
lembab terurai secara perlahan. Larutan segar dalam air dingin, tanpa dikocok
bersifat basa terhadap lakmus. Kebasaan bertambah jika larutan dibiarkan,
digoyang kuat atau dipanaskan. Bahan ini memiliki kelarutan yakni larut dalam
air dan tidak larut dalam etanol (Depkes RI, 1995). Natrium bikarbonat larut
sangat baik dalam air, non higroskopis, serta tersedia secara komersial mulai
bentuk bubuk sampai granul, sehingga lebih banyak digunakan dalam pembuatan
tablet efervesen. Penggunaan untuk tablet efervesen yakni sebesar 25 – 50 % b/b
(Rowe et al, 2009).
2.7.4 Gelatin
Gelatin merupakan bahan pengikat yang memiliki kekuatan pengikat tinggi
dan dapat menghasilkan granul yang seragam dengan daya kompaktibilitas yang
baik (Kokil, et al., 2004). Oleh karena itu, gelatin dapat membentuk granul yang
lebih kompak dan tablet efervesen yang dihasilkanpun akan memiliki kekerasan
dan kerapuhan yang lebih baik. Gelatin adalah suatu bahan yang diperoleh melalui
hidrolisa parsial kolagen dari kulit, jaringan ikat putih, dan tulang hewan. Gelatin
yang berasal dari prekursor yang diasamkan dikenal sebagai Tipe A sedangkan
yang berasal dari prekursor yang dibasakan dikenal sebagai Tipe B.
Gelatin berbentuk lembaran, kepingan, atau serbuk kasar sampai halus
berwarna kuning lemah atau coklat terang, warna bervariasi tergantung dari
ukuran partikel. Larutannya berbau lemah seperti kaldu. Jika kering, maka akan
stabil di udara, tetapi jika lembab atau dalam bentuk larutan maka akan mudah
terurai oleh mikroba. Gelatin Tipe A menunjukkan titik isoelektrik antara pH 7
dan pH 9, gelatin Tipe B menunjukkan titik isoelektrik antara pH 4,7 dan pH 5,2.
Gelatin memiliki kelarutan tidak larut dalam air dingin, mengembang dan lunak
jika dicelup dalam air, menyerap air secara bertahap sebanyak 5-10 kali beratnya,
larut dalam air panas, dan tidak larut dalam etanol (Depkes RI, 2014).
2.7.5 Manitol
Manitol merupakan bahan yang tidak higroskopis, mengandung tidak
kurang dari 96,0% dan tidak lebih dari 101,5% C6H14O6, dihitung terhadap zat
yang telah dikeringkan. Pemerian manitol berupa serbuk hablur putih atau granul
mengalir bebas, tidak berbau dan mempunyai rasa manis sehingga dapat
19
memperbaiki rasa dalam tablet efervesen. Manitol mudah larut dalam air, larut
dalam larutan basa dan sangat sukar larut dalam etanol (Depkes RI, 2014). Dalam
pembuatan tablet, manitol digunakan sebagai bahan pengisi dengan konsentrasi
antara 10 -90% (Rowe, et al, 2009). Struktur molekul manitol dapat dilihat pada
gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur Molekul Manitol (Depkes RI, 2014).
2.7.6 Polyethylene glycol 6000 (PEG 6000)
Polyethylene glycol 6000 (PEG 6000) berbentuk padat berwarna putih dan
memiliki konsistensi dari pasta sampai serpihan lilin, memiliki rasa manis,
memiliki titik lebur 55-63°C. PEG 6000 larut dalam air dan dapat bercampur
dalam semua proporsi dengan PEG yang lainnya; larut dalam aseton,
diklorometana, etanol dan metanol; agak sukar larut dalam hidrokarbon alifatik
dan eter; tidak larut dalam fixed oil, minyak mineral. Semua PEG larut dalam air
dan bercampur dalam berbagai perbandingan polietilen glycol (setelah
dipanaskan, jika diperlukan). PEG secara kimia stabil di udara dan dalam larutan,
tidak rentan terhadap pertumbuhan mikroba dan tidak mudah menjadi tengik.
WHO menetapkan ADI (Acceptable Daily Intake) dari PEG adalah 10mg/kgBB
(Rowe et al, 2009). Struktur molekul polietilen glikol 6000 dapat dilihat pada
gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur Molekul Polietilen glikol 6000 (Rowe et al, 2009).
20
2.7.7 Aspartam
Aspartam berbentuk serbuk kristal, berwarna putih, hampir tidak berbau
dengan rasa sangat manis, stabil pada kondisi kering namun tidak stabil pada
kondisi lembab. Sedikit larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam air,
kelarutan meningkat pada suhu tinggi dan pH asam. Aspartam digunakan sebagai
agen pemanis dalam produk minuman, produk makanan, dan dalam sediaan
farmasi termasuk tablet karena kekuatan aspartam sebagai pemanis 180 – 200 kali
dari sukrosa. Aspartam dimetabolisme dalam tubuh dan memiliki nilai gizi 1 gram
yakni sekitar 17 kJ (4 kkal). Aspartam memiliki ADI (Acceptable Daily Intake)
sebesar 40mg/kgBB (Rowe et al, 2009). Struktur molekul aspartam dapat dilihat
pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Struktur Molekul Aspartam (Rowe et al, 2009)