bab ii tinjauan pustaka 2.1 rumah sakit … dan membentuk bagian-bagian virus tersebut (murphy et...
TRANSCRIPT
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor
Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) didirikan pada
tanggal 9 Mei 2000 berdasarkan SK Rektor IPB No. 052/K13.12.1/KP/2000 yang
dikelola oleh Tim Manajemen Rumah Sakit Hewan Pendidikan FKH-IPB. Secara
operasional diresmikan oleh Presiden RI Abdurahman Wahid pada tanggal 11
Oktober 2000. Tugas dari RSH-IPB adalah menunjang pendidikan kedokteran hewan,
serta memberikan pelayanan kesehatan kepada hewan selaku pasien, masyarakat
pemilik hewan, dan lingkungan (RSH-IPB 2000).
Visi dari RSH-IPB adalah menjadi Rumah Sakit Hewan rujukan spesialis
terpilih di Indonesia. Misi RSH-IPB adalah menunjang pendidikan kedokteran hewan
dan menyiapkan pendidikan dokter hewan spesialis bersamaan dengan pemberian
pelayanan kesehatan kepada hewan selaku pasien dan masyarakat pemilik hewan.
2.2 Virus
Virus bukan sel dan bukan mikroorganisme karena tidak memiliki organel
fungsional dan bergantung sepenuhnya pada inang untuk memproduksi energi dan
sintesis makromolekulnya. Virus hanya memiliki satu tipe asam nukleat fungsional
antara DNA atau RNA, tidak pernah keduanya, dan dibedakan dari mikroorganisme
lain karena memiliki dua fase yang sangat berbeda selama siklus hidupnya. Fase
hidup virus di luar sel inang merupakan fase untuk ditransmisikan dan virus tidak
melakukan metabolisme. Di dalam sel inang, merupakan fase untuk bermetabolisme
aktif dan membentuk bagian-bagian virus tersebut (Murphy et al. 1999).
Tujuan virus hidup bukan untuk menyebabkan penyakit pada manusia, hewan,
tumbuhan ataupun organisme lain, namun virus terseleksi oleh alam untuk
meningkatkan virulensi yang merupakan proses dimana ekologi dan evolusi biologis
memainkan peranan penting sehingga kemunculan virus dan penyakitnya tidak
terlepas dari dinamika ini. Selama 50 tahun belakangan ini dalam penelitian virus
5
memperjelas banyak rincian infeksi virus mengenai biologi sel dan molekulnya,
imunologi, morfogenesis virus, dan topik lainnya. Penyebab dan proses munculnya
penyakit viral perlu dipelajari secara genetis dan ekologis dimana beberapa faktor
berhubungan dengan ekologi dan evolusi biologis dari agen patogen, inang, dan
hubungan antara patogen dengan inang yang tidak dapat dihindarkan (Lunet 2012).
Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi infektivitas virus karena mempengaruhi
protein permukaan yang akan terdenaturasi dalam waktu beberapa menit pada suhu
55 hingga 60oC. Denaturasi ini mengakibatkan virion tidak mampu melakukan
penempelan pada sel, penetrasi, dan/atau uncoating (Murphy et al. 1999).
Banyak penyakit yang disebabkan oleh virus pada anjing, diantaranya adalah
Parvo dan Distemper. Salah satu cara untuk mendiagnosa penyakit viral, diantaranya
dengan melakukan pemeriksaan terbentuk atau tidaknya badan inklusi virus tersebut.
Badan inklusi merupakan akumulasi dari komponen struktur viral (Sharma &
Adlakha 2009). Menurut Murphy et al. (1999), badan inklusi virus yang terbentuk
pada sel yang terinfeksi terdapat secara intrasitoplasma seperti penyakit Rabies dan
Pox, serta intranuklear seperti penyakit Herpes dan Parvo. Beberapa virus seperti
Canine Distemper Virus dan Porcine cytomegalovirus, membentuk baik badan inklusi
intranuklear maupun intrasitoplasmik pada sel yang sama. Pencegahan yang
dilakukan hanya pemberian vaksin secara berkelanjutan, namun hal ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya infeksi.
2.3 Canine Distemper Virus (CDV)
2.3.1 Etiologi
Pada tahun 1809, Edward Jenner adalah orang pertama yang menjelaskan
penyebab dan gejala klinis dari CDV namun etiologi virus didemonstrasikan oleh
Carré (MacLachlan & Edward 2011). Henri Carré dianggap sebagai penemu Canine
Distemper Virus pada tahun 1905 (Murphy 2008). Pada tahun 1988, virus yang
berbeda namun mirip dengan CDV, yaitu Phocine Distemper Virus (PDV), diisolasi
dari sejumlah besar anjing laut yang mati di sepanjang pantai utara Eropa dan
6
menunjukkan gejala klinis yang serupa dengan distemper pada anjing (Mahy & Marc
2010).
Taksonomi CDV berdasarkan International Committee on Taxonomy of
Viruses (ICTV) pada tahun 2009 adalah
Ordo : Mononegavirales
Famili : Paramyxoviridae
Subfamili : Paramyxovirinae
Genus : Morbilivirus
Spesies : Canine distemper virus
Diameter dari virionnya adalah 150-350 nm dan memiliki nukleokapsid yang
dikelilingi oleh amplop dari lipid. Virion sangat sensitif terhadap dehidrasi, panas,
deterjen, pelarut lemak, formaldehida, dan agen oksidasi (Mahy & Marc 2010).
Gambar 1 Struktur virion dari Morbilivirus (Mahy & Marc 2010).
Gambar 2 Canine Distemper Virus (Auburn University 2009).
7
Strain CDV tertentu sangat virulen dan neurotropik, seperti “Snyder Hill”
strain yang menyebabkan polioencephalomyelitis dan strain A75/17 dan R252 yang
menyebabkan demyelinasi sistem saraf pusat (Côté 2011). Virus ini menyerang
hewan yang termasuk famili Canidae (anjing, dingo, serigala, rubah), Mustelidae
(musang, cerpelai, sigung, berang-berang), Procyonidae (rakun, panda), beberapa
Viveridae (binturong), sejumlah besar Felidae (singa, macan, cheetah), dan Tayassu
tajacu (MacLachlan & Edward 2011).
2.3.2 Patogenesa
Penyakit ini mudah menyebar selama masa infeksi terutama melalui rute
aerosol, namun tidak zoonosis (Côté 2011). Saluran respirasi adalah saluran utama
tempat masuknya virus dan juga menginfeksi via saluran pencernaan melalui
kontaminasi pakan dan air. Eksudat dari hidung mengandung virus dapat menyebar di
udara melalui bersin, lalu virus tersebut masuk ke dalam saluran hidung anjing lain
yang dapat diinfeksi untuk bereplikasi serta menyebar di dalam tubuh (Legendre
2005). Anjing yang umumnya terinfeksi adalah anjing yang tidak divaksinasi, tidak
memperoleh kolostrum dari induk yang sudah memiliki imunitas, pemberian
vaksinasi yang tidak tepat, imunosuppresi, dan sejarah interaksi dengan hewan yang
terinfeksi (Nelson & Couto 1998).
Anjing dengan umur 3 sampai 6 bulan yang paling umum terinfeksi, anjing
mengalami demam seminggu pasca infeksi virus namun biasanya tidak teramati. Dua
minggu pasca infeksi, virus menyebabkan kerusakan ringan pada sel-sel saluran
pernapasan, mata, paru-paru, dan saluran pencernaan (Legendre 2005). Virus
bereplikasi pada makrofag epitel saluran pernapasan atas lalu terbawa melalui
jaringan limfatik lokal menuju limfonodus pada tonsil, retrofaringeal, dan bronchial
(Côté 2011). Cell-associated viremia berakibat infeksi pada seluruh jaringan limfatik
yang disertai dengan infeksi pada saluran respirasi, pencernaan, epitel urogenitalia,
sistem saraf pusat, dan saraf mata. Penyakit menyebar seiring dengan replikasi virus
pada jaringan. Derajat keparahan viremia dan menyebarnya virus ke jaringan lainnya
8
tergantung pada tingkat imunitas tubuh yang spesifik selama periode infeksi (Kahn
2005).
2.3.3 Gejala Klinis dan Diagnosa
Gejala umum yang teramati oleh pemilik antara lain depresi, kelemahan,
eksudat dari mata dan hidung, batuk, muntah, atau diare, namun pada infeksi yang
sudah parah dapat teramati gangguan saraf seperti kejang atau ataksia (Côté 2011).
Gejala tersebut merupakan infeksi kombinasi antara virus dan bakteri. Virus
distemper yang bersifat subklinis dan dalam jangka waktu yang lama juga dapat
menginfeksi kulit, sehingga telapak kaki anjing menjadi keras dan menebal, dan
disebut sebagai penyakit “hard pad”. Selain itu, virus juga menyerang sistem
kekebalan tubuh sehingga merusak kemampuan tubuh untuk melawan infeksi
(Legendre 2005).
Temuan pemeriksaan fisik dapat berupa suara napas yang keras saat dilakukan
auskultasi, kaheksia, dehidrasi, dan peradangan pada mata (anterior uveitis, optik
neuritis, degenerasi retina, atau keratokonjungtivitis) jika infeksi CDV bersifat
sistemik (Côté 2011). Setengah dari total anjing yang terinfeksi CDV mengalami
kerusakan saraf karena CDV tertarik dan bereplikasi cepat pada jaringan saraf
(Legendre 2005). Kerusakan pada saraf mengakibatkan kejang yang disebut sebagai
“chewing-gum” seizures karena membuka dan menutup mulut dengan keras secara
berulang-ulang. Gejala lain yang menunjukkan infeksi CDV adalah mioklonus
kepala, leher, atau tungkai (Côté 2011). Mioklonus adalah kontraksi ritmik yang
sangat kuat pada otot rangka (Widodo et al. 2011). Kerusakan pada sumsum tulang
dapat mengakibatkan kelemahan dan paralisis, namun kerusakan pada saraf juga
dapat menyebabkan gerakan tidak terkoordinasi dari kaki (Legendre 2005). Pada
anjing yang pulih dari infeksi CDV dimungkinkan mengalami anosmia persisten atau
kehilangan daya penciuman (Côté 2011).
Salah satu kasus yang dipaparkan oleh Richards et al. (2011) ditemukan pada
9 tahun anjing jenis Jack Russell Terrier betina sudah steril dan divaksinasi di
Ontario Veterinary College Veterinary Teaching Hospital (OVC VTH) dengan gejala
9
kerusakan saraf termasuk kebutaan selama 1 minggu. Tidak ada gejala batuk, eksudat
pada mata atau hidung, maupun suara abnormal paru-paru seperti yang umumnya
dilaporkan oleh dokter hewan. Pemeriksaan postmortem menghasilkan diagnosa
bahwa anjing tersebut terjangkit Canine Distemper (CD). Neuritis pada mata yang
didiagnosa sebelumnya bukanlah temuan yang menunjukan infeksi CDV karena
hanya terdapat gejala gangguan saraf.
Anamnesa pemilik, sejarah penyakit, gejala klinis yang teramati, dan
pemeriksaan fisik diperlukan untuk menetapkan diagnosa tetapi alat bantu diagnosa
juga dapat digunakan. Alat bantu tersebut antara lain radiografi thoraks, uji serum
antibodi, uji protein cairan serebrospinal, atau PCR (Polymerase Chain Reaction)
untuk CDV pada darah, serum, atau cairan serebrospinal (Côté 2011). Menurut
Rosenfeld dan Sharon (2010) CDV sangat jarang dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan darah dan hanya bisa ditemukan pada anjing dengan infeksi sangat akut.
Pada infeksi akut tersebut, badan inklusi sangat jelas tampak menggunakan
pewarnaan Diff-Quik ataupun Romanowsky (Gambar 3) dan terlihat sebagai inklusi
homogen berwarna merah keunguan yang pekat. Pada pewarnaan Wright-Giemsa,
badan inklusi sulit terlihat jelas karena berwarna ungu muda yang menyerupai
pewarnaan sitoplasma neutrofil dan eritrosit.
a b
10
Gambar 3 Ulas darah badan inklusi CDV (a) dari sumsum tulang di intrasitoplasma sel darah putih bersifat eosinofilik (b) pada neutrofil dan limfosit dengan pewarnaan Romanowsky (VDIC; Kapil et al. 2008).
2.3.4 Perubahan Patologis
Kerusakan jaringan terjadi karena infeksi sekunder oleh bakteri. Kelainan
patologis baik secara anatomi maupun histologi pada anjing yang mati akibat
terinfeksi CDV dapat ditemukan terutama pada organ pernapasan (Gambar 4).
Gambar 4 Pneumonia akibat infeksi CDV (King 2010).
b a
d c
11
Gambar 5 Histopatologi badan inklusi CDV pada organ (a) sitoplasma epitel vesica urinaria (b) nukleus sel glial otak (c) intrasitoplasmik dan intranuklear sel Sertoli (d) intrasitoplasmik epitel saluran empedu (King 2010).
Canine Distemper Virus akan membentuk badan inklusi intrasitoplasmik dan
intranuklear pada sel (Murphy et al. 1999). Badan inklusi tersebut terutama
ditemukan dalam sitoplasma sel epitel pada saluran respirasi dan urinaria (Aiello
1998), namun juga dapat ditemukan pada sel otak, sel Sertoli, dan epitel saluran
empedu (Gambar 5).
2.3.5 Terapi dan Pencegahan
Infeksi sekunder oleh bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik
berspektrum luas, sedangkan untuk gejala diare dan muntah dapat diberikan antidiare,
antiemetik, infus cairan elektrolit untuk mengatasi dehidrasi (Côté 2011). Anjing akan
terlihat normal selama 2 sampai 3 minggu dengan pemberian antibiotik hingga
munculnya penyakit pada otak dan sumsum tulang belakang jika mengalami
kerusakan saraf. Pemberian antikonvulsan dapat dilakukan untuk mengurangi kejang.
Perawatan, pemberian pakan yang berkualitas baik dan disukai, serta lingkungan
yang bebas stress akan membantu meningkatkan selera makan dan menjadi sehat.
Penanganan yang dapat dilakukan sangat terbatas, sehingga vaksinasi merupakan cara
yang dapat dilakukan untuk mencegah. Vaksin untuk mencegah Distemper mulai
diberikan saat anak anjing disapih. Jika induknya sudah divaksinasi atau sembuh dari
Distemper, maka antibodi terhadap Distemper akan diberikan kepada anaknya di
dalam susu (Legendre 2005).
12
2.4 Canine Parvovirus (CPV)
2.4.1 Etiologi
Pada tahun 1928, Verge dan Christoforoni menemukan Feline Panleukopenia
Virus yang merupakan Parvovirus pertama, sedangkan Canine Parvovirus baru
ditemukan pada tahun 1978 oleh Carmichael, Appel, dan Parish yang merupakan
Canine Parvovirus-2 (Murphy 2008). Merupakan virus DNA yang tidak beramplop
sehingga tahan di lingkungan (Gambar 6) (Steiner 2008). Taksonomi CPV
berdasarkan International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) pada tahun
2009 adalah
Famili : Parvoviridae
Subfamili : Parvovirinae
Genus : Parvovirus
Spesies : Canine Parvovirus
Gambar 6 Canine Parvovirus (Brooks 2001).
Virus ini dapat bertahan di lingkungan selama 6 bulan karena sulit untuk
membunuh virus dari tanah yang sudah terkontaminasi tanpa membunuh semua
vegetasi yang ada (Legendre 2005). Virus akan lebih tahan lama di lingkungan pada
musim dingin dan sudah resisten terhadap desinfektan (Côté 2011). Ada dua tipe dari
Parvovirus yang menginfeksi anjing, yaitu Canine Parvovirus-1 (CPV-1) dan Canine
Parvovirus-2 (CPV-2). Canine Parvovirus-1 dikenal sebagai “minute virus of
canine”, yang bersifat nonpatogen namun terkadang dapat menyebabkan penyakit
pada anak anjing (Nelson & Couto 1998). Canine Parvovirus-2 menyebabkan
13
gastroenteritis hemoragi yang parah pada anjing karena hanya bereplikasi pada
anjing.
Selama beberapa tahun, CPV-2 menunjukkan laju mutasi yang tinggi sehingga
muncul varian CPV-2a dan CPV-2b serta dapat memperluas range inangnya ke
kucing (Battilani et al. 2007). Anjing ras Doberman Pinschers, Rottweilers, Labrador
Retrievers, American Ctaffordshire Terriers, German Shepherd, dan Alaskan
Malamute lebih rentan terinfeksi CPV dan menunjukkan gejala yang lebih parah
daripada ras lainnya (Legendre 2005; Steiner 2008). Sedangkan ras Toy Poodle dan
Cocker Spaniels lebih tahan terhadap infeksi CPV (Côté 2011). Faktor resiko
terinfeksi Parvo menurut Tilley & Smith (1997) adalah anjing di bawah umur 3 bulan,
copatogen (parasit, virus, dan bakteri), CPV-2 yang diikuti Canine coronavirus, dan
kepadatan serta sanitasi yang buruk sehingga menurunkan keberhasilan vaksinasi.
2.4.2 Patogenesa
Canine Parvovirus adalah virus yang mudah menyebar yang menyebabkan
gastroenteritis dan miokarditis pada anjing. Karakteristik infeksinya bersifat akut
sehingga gejala akan muncul dalam waktu yang singkat setelah virus masuk (Zeng et
al. 2008). Virus ini umum ditemukan di lingkungan sehingga sebagian besar anjing
dewasa sudah memperoleh kekebalan melalui vaksinasi atau infeksi sebelumnya.
Infeksi pada anjing melalui jaringan limfoid oronasal dan menebar melalui sistem
limfoid ke organ lainnya yang pembelahan selnya cepat, seperti kripta epitel usus dan
sumsum tulang (Steiner 2008). Kerusakan jaringan pada usus menyebabkan
hilangnya cairan tubuh serta kerusakan sel epitel usus memungkinkan bakteri masuk
ke tubuh melalui aliran darah (Legendre 2005). Kerusakan struktur permukaan
mukosa usus akan berdampak pada penurunan laju absorpsi yang akan menuju pada
disfungsi usus (Steiner 2008).
Virus ini dapat menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang, leukopenia,
neutropenia, dan limfopenia. Virus memiliki daya tarik terhadap sel yang aktif
bermitosis walaupun belum diketahui secara pasti bahwa replikasi virus sebagai
penyebab reduksi dan membunuh sel-sel sumsum tulang atau efek lainnya (Weiss &
14
Wardrop 2010). Disfungsi kekebalan tubuh sebagai dampak rusaknya sumsum tulang
dan sel darah putih dapat menyebabkan kematian selain akibat gejala klinis yang
timbul (Legendre 2005).
2.4.3 Gejala Klinis dan Diagnosa
Parvo yang menginfeksi saluran pencernaan menyebabkan muntah, diare,
demam, dan penurunan kemampuan untuk melawan infeksi terutama pada anak
anjing yang terinfeksi parah. Anak anjing umumnya terinfeksi akibat tanah yang
terkontaminasi CPV dan gejala akan terlihat antara 4 hingga 14 hari dari terinfeksi.
Gejala yang paling awal terlihat adalah depresi, menurunnya nafsu makan, dan
demam lalu diikuti dengan muntah dan diare berdarah pada 1 atau 2 hari kemudian
(Legendre 2005). Darah yang terdapat pada feses seringkali berwarna gelap atau
melena. Gejala demam berhubungan erat dengan infeksi sekunder bakteri sebagai
akibat terjadinya leukopenia dan menurunnya pertahanan usus (Steiner 2008).
Semua gejala yang timbul akan cepat menyebabkan dehidrasi dan kematian
pada infeksi yang parah. Anak anjing umur 6 hingga 8 minggu memiliki tingkat
mortalitas yang tinggi jika dibandingkan dengan anjing dewasa karena tingkat
kekebalannya berbeda (Legendre 2005). Miokarditis dapat teramati pada anak anjing
yang sudah terinfeksi selama di dalam uterus induk hingga 8 minggu setelah lahir
(Steiner 2008). Anamnesa pemilik, sejarah penyakit, gejala klinis yang teramati, dan
pemeriksaan fisik diperlukan untuk menetapkan diagnosa tetapi alat bantu diagnosa
juga dapat digunakan.
Alat bantu tersebut antara lain CPV antigen test kit, pemeriksaan darah
(complete blood count), ELISA, dan PCR. Untuk uji antigen digunakan feses atau
serum anjing suspect untuk mendeteksi virus dan memperoleh hasil yang cepat.
Pemeriksaan CBC dilakukan jika anjing depresi dan dehidrasi, infeksi CPV akan
memberikan gambaran leukopenia (Côté 2011). Uji feses menggunakan ELISA untuk
menunjukkan saat virus shedding, namun bisa menunjukkan hasil positif palsu jika
anjing divaksinasi menggunakan vaksin hidup yang dilemahkan. Sedangkan, PCR
15
hanya digunakan untuk membedakan antara infeksi CPV dengan vaksin karena akan
mendeteksi DNA virus pada feses (Steiner 2008).
Blood Urea Nitrogen (BUN) dihasilkan di hati lalu masuk ke aliran darah
untuk diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Penyakit yang mengakibatkan
pendarahan pada usus, seperti infeksi Parvovirus, dapat menjadi penyebab sekunder
meningkatnya kadar BUN dalam darah. Penyakit ini jelas dapat mengakibatkan
hipokalemia akibat dari hilangnya cairan tubuh yang signifikan melalui muntah dan
diare (Rosenfeld & Sharon 2010). Dehidrasi dapat terlihat dari membran mukosa
mulut yang kering. Palpasi abdominal akan menunjukkan usus yang penuh berisi
cairan dan memicu gerakan kontraksi muntah (Côté 2011).
2.4.4 Perubahan Patologis
Perubahan patologis terutama akan terlihat pada usus, berupa kongesti,
dilatasi, dan titik-titik hemoragi (Gambar 7). Pada CPV yang menyebabkan
miokarditis, akan terlihat pucat pada miokardium. Secara histopatologi, dapat terlihat
kerusakan kripta usus berupa dilatasi, hilangnya epitel usus, nekrosa epitel usus, serta
badan inklusi intranuklear pada epitel usus (Gambar 8).
b a
16
d c
Gambar 7 Patologi anatomi CPV (a) kongesti pada usus yang disertai dengan perubahan warna Daun Peyer (b) segmental enteritis ditandai dengan kongesti dan dilatasi (c) titik hemoragi pada mukosa duodenum (d) miokardium pucat terutama pada ventrikel (King 2010).
c b a
e d
17
Gambar 8 Histopatologi organ akibat CPV (a) dilatasi kripta usus (b) hilangnya epitel kripta dan sel debris di kripta (c) nekrosa epitel dengan debris merah muda di lumen kelenjar dan epitel pleomorfisme serta dilatasi kripta (d) badan inklusi pada usus halus anak anjing (e) miokarditis akut (Aburto 2009; King 2010).
2.4.3 Terapi dan Pencegahan
Terapi cairan secara intravena diperlukan untuk mengatasi dehidrasi karena
anjing tidak dapat memperoleh asupan cairan serta kekurangan cairan dalam jumlah
besar akibat diare dan muntah. Selain itu, terapi antibiotik diperlukan untuk
membunuh bakteri yang berada di aliran darah. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mencegah penyakit ini adalah dengan vaksinasi. Anak anjing divaksinasi pada umur 6
minggu dan mengurangi paparan terhadap lingkungan yang terinfeksi sampai
divaksinasi lengkap. Induk anjing yang sudah divaksinasi atau pernah terinfeksi CPV
akan memberikan antibodi kepada anaknya melalui susu, namun antibodi maternal
akan melindungi kurang lebih selama 3 bulan tergantung jumlah antibodi yang
diberikan (Legendre 2005).
2.5 Cuaca
Iklim dinyatakan sebagai rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang
cukup lama (Sudrajat 2009). Menurut Kartasapoetra dalam Sudrajat (2009), unsur-
unsur cuaca dan iklim antara lainnya radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara,
awan dan presipitasi (hujan), evaporasi (penguapan), tekanan udara, dan angin.
Unsur-unsur tersebut menunjukkan pola keragaman sebagai dasar untuk melakukan
18
klasifikasi iklim, namun unsur yang sering digunakan adalah suhu dan curah hujan.
Menurut Lakitan dalam Sudrajat 2009, hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang
paling beragam sesuai waktu dan tempat sehingga klasifikasi iklim untuk wilayah
Indonesia dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama.
Salah satu sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang digunakan di
Indonesia adalah sistem Oldeman. Sistem klasifikasi ini disesuaikan dengan bidang
pertanian, maka menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila
mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering
apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm (Handoko 1994).