bab ii tinjauan pustaka 2.1 puskesmas
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Puskesmas
Puskesmas menurut PERMENKES RI Nomor 43 Tahun 2019 yang
dimaksud dengan Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Pusat kesehatan masyarakat sebagai salah satu jenis fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama memiliki peranan penting dalam system
kesehatan nasional, khusunya subsistem upaya kesehatan (Kemenkes RI, 2019)
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat yang :
1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat
2. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
3. Hidup dalam lingkungan sehat
4. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Kemenkes RI, 2019)
2.1.1 Sumber Daya Manusia Puskesmas
Sumber daya manusia puskesmas terdiri dari tenaga kesehatan dan tenaga
non kesehatan. Jenis tenaga kesehatan di puskesmas paling sedikit terdiri atas
dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medic, tenaga gizi dan tenaga
kefarmasian. Sedangkan tenaga non kesehatan harus dapat mendukung kegiatan
ketatausahaan, administrasi keuangan, system informasi dan kegiatan operasional
lain di Puskesmas. (Kemenkes RI, 2019)
2.2 Kategori Puskesmas
Dalam rangka pemenuhan pelayanan kesehatan yangdidasarkan pada
kebutuhan dan kondisi masyarakat maka puskesmas dapat dikategorikan menjadi
puskesmas rawat inap dan puskesmas non rawat inap. (Kemenkes RI, 2019)
Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat
pertama dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama. Upaya kesehatan
masyarakat esensial yang dilaksanakan di Puskesmas meliputi :
a. Pelayanan promosi kesehatan
b. Pelayanan kesehatan lingkungan
c. Pelayanan KIA / KB
d. Pelayanan gizi, dan
e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
Sedangkan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama di Puskesmas
dilaksanakan dalam bentuk :
a. Rawat jalan
b. Pelayanan gawat darurat
c. Pelayanan satu hari (one day care)
d. Home care, dan
e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.
(Kemenkes RI, 2019)
2.2.1 Jaringan Pelayanan Puskesmas
Dalam rangka meningkatkan aksebilitas pelayanan, Puskesmas didukung
oleh jaringan pelayanan yaitu :
2.2.1.1 Puskesmas Pembantu
Puskesmas Pembantu merupakan jaringan pelayanan puskesmas yang
memberikan pelayanan kesehatan secara permanen di suatu lokasi dalam wilayah
kerja Puskesmas. Puskesmas pembantu merupakan bagian integral puskesmas
yang harus dibina secara berkala oleh Puskesmas. Tujuan Puskesmas Pembantu
adalah meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat
di wilayah kerjanya. Fungsi Puskesmas Pembantu adalah untuk menunjang dan
membantu melaksanakan kegiatan yang dilakukan Puskesmas, di wilayah
kerjanya. Puskesmas Pembantu didirikan dengan perbandingan 1 (satu)
Puskesmas Pembantu untuk melayani 2 (dua) sampai 3 (tiga) desa/Kelurahan
(Kemenkes RI, 2019).
Peran Puskesmas Pembantu yaitu :
1. Meningkatkan akses dan Jangkauan pelayanan dasar di wilayah kerja
Puskesmas
2. Mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan terutama UKM
3. Mendukung pelaksanaan kegiatan posyandu, imunisasi, KIA, penyuluhan
kesehatan, surveilans, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.
4. Mendukung pelayanan rujukan
5. Mendukung pelayanan promotif dan preventif.
Penanggung jawab Puskesmas Pembantu adalah seorang perawat atau
bidan, yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan atas usulan Kepala
Puskesmas. Tenaga minimal di Puskesmas Pembantu terdiri dari 1 (satu) orang
perawat dan 1 (satu) orang bidan. (Kemenkes RI, 2019)
2.2.1.2 Puskesmas Keliling
Puskesmas keliling merupakan jaringan pelayanan puskesmas yang
sifatnya bergerak, untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan bagi
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang belum terjangkau oleh pelayanan
dalam gedung Puskesmas. Puskesmas keliling dilakukan secara berkala sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan dengan memperhatikan siklus kebutuhan
pelayanan. Tujuan dari Puskesmas Keliling adalah meningkatkan jangkauan dan
mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat terutama masyarakat di daerah
terpencil/sangat terpencil dan terisolasi baik di darat maupun di pulau-pulau kecil
serta untuk menyediakan sarana transportasi dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan. (Kemenkes RI, 2019)
Fungsi dari Puskesmas Keliling yaitu :
1. Sarana transportasi petugas
2. Sarana transportasi logistik
3. Sarana pelayanan kesehatan
4. Sarana pendukung promosi kesehatan.
Peran Puskesmas Keliling yaitu :
1. Meningkatkan akses dan jangkauan pelayanan dasar di wilayah kerja
Puskesmas
2. Mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan di daerah yang jauh dan sulit
3. Mendukung pelaksanaan kegiatan luar gedung seperti Posyandu, Imunisasi,
KIA, penyuluhan kesehatan, surveilans, Pemberdayaan Masyarakat, dll
4. Mendukung pelayanan rujukan
5. Mendukung pelayanan promotif dan preventif
Jenis Puskesmas keliling ditinjau dari sarananya, yaitu :
1. Puskesmas keliling darat, berupa kendaraan roda 2, kendaraan roda 4 biasa,
dan kendaraan roda 4 double gardan
2. Puskesmas keliling perairan, berupa perahu polietylen, perahu fiberglass,
perahu kayu ketinting. (Kemenkes RI, 2019)
Aspek pendukung dalam pelaksanaan puskesmas keliling ada subsistem
yang harus dibangun untuk mendukung pelaksanaan kegiatan. Subsistem ini
antara lain sistem rujukan, sistem komunikasi dengan Puskesmas, dan sistem
pencatatan dan pelaporan. Untuk operasional Puskesmas keliling, pendukung
yang harus dipenuhi yaitu peralatan pelayanan kesehatan, obat dan bahan habis
pakai, perlengkapan keselamatan tim dan perorangan, dan alat komunikasi.
(Kemenkes RI, 2019)
2.2.1.3 Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Berdasarkan PMK 74 tahun 2016 :
i. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
ii. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan
b. Permintaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pendistribusian
f. Pengendalian
g. Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
iii. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, meliputi:
1. Pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi
Obat
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
4. Ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5. Pemantauan dan pelaporan efek samping Obat
6. Pemantauan terapi Obat; dan
7. Evaluasi penggunaan Obat.
Sumber daya kefarmasian di Puskesmas meliputi:
1. Sumber Daya Manusia
Berdasarkan Permenkes No.74 tahun 2016 Bab IV bagian A,
tentang Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
minimal harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker
sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan. Jumlah kebutuhan
Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan
pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta memperhatikan
pengembangan Puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah
Apoteker di Puskesmas adalah 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima
puluh) pasien perhari. Semua tenaga kefarmasian harus memiliki
surat tanda registrasi dan surat izin praktek untuk melaksanakan
Pelayanan Kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk
Puskesmas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
2. Sarana dan Prasarana
Berdasarkan Permenkes No.74 tahun 2016 Bab IV bagian B,
Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian
di Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi:
a. Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1
(satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komPasundan, jika
memungkinkan. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada
bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan
secara terbatas) Ruang pelayanan resep dan peracikan atau
produksi sediaan secara terbatas meliputi rak obat sesuai
kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan disediakan
peralatan peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral)
untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket
dan label obat, buku catatan pelayanan resep, buku-buku
referensi/standar sesuai kebutuhan, serta alat tulis secukupnya.
Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara
yang cukup. Jika memungkinkan disediakan pendingin
ruangan (air conditioner) sesuai kebutuhan.
c. Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan obat meliputi konter penyerahan obat,
buku pencatatan penyerahan dan pengeluaran obat. Ruang
penyerahan obat dapat digabungkan dengan ruang penerimaan
resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling,
lemari buku, buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet,
poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling, formulir
jadwal konsumsi obat (lampiran), formulir catatan pengobatan
pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling cabinet), serta 1
(satu) set komputer, jika memungkinkan.
e. Ruang penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis
Pakai Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi
sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk
menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Selain itu juga
memungkinkan masuknya cahaya yang cukup. Ruang
penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari
obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
f. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis
Pakai dan Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu
tertentu. Ruang arsip memerlukan ruangan khusus yang
memadai dan aman untuk memelihara dan menyimpan
dokumen dalam rangka untuk menjamin penyimpanan sesuai
hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang baik
2.3 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
2.3.1 Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas
dan ISPA bawah. Infeksi saluran pernafasan akut atas adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold,
faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, dan sinusitis.
Sedangkan infeksi saluran pernafasan akut bawah merupakan infeksi yang telah
didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh infeksi sekunder oleh
bakteri. Yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut,
bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumoia aspirasi. (I Made Agus, 2015)
2.3.2 Jenis-Jenis ISPA
Penyakit ISPA menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Istilah ISPA meliputi tiga
unsur, yaitu :
a. Infeksi
Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan merupakan organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ aksesorisnya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
c. Infeksi Akut
Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ditentukan
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari. (Hastono, 2007)
Penyakit ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas,
saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru), dan organ aksesoris
saluran pernafasan. Berdasarkan batasan tersebut, jaringan paru termasuk dalam
saluran pernafasan (respiratory tract). (Widoyono, 2015).
Program pemberantasan penyakit (P2) membagi ISPA dalam 2 golongan,
yaitu :
1. ISPA non Pneumonia
Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan istilah batuk
dan pilek ( Commond cold )
2. ISPA Pneumonia
Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi
kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas
cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah. (Widoyono, 2015)
2.3.3 Tanda dan Gejala ISPA
Gejala umum dari penyakit ISPA adalah :
a. Hidung tersumbat dan pilek
b. Batuk kering tanpa dahak yang dihasilkan dari paru-paru
c. Demam ringan, yang merupakan salah satu ciri-ciri tubuh yang sedang
mlawan virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh
d. Sakit tenggorokan
e. Sakit kepala ringan
f. Bernafas cepat atau kesulitan bernafas
g. Warna kebiruan pada kulit akibat kurangnya oksigen
h. Gejala sinusitis seperti wajah terasa nyeri, hidung beringus, dan kadang-
kadang rasa sakit dan demam. (Widoyono, 2015)
2.3.4 Penyebab ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain :
1. Virus penyebab ISPA meliputi virus Parainfluenza, adenovirus, rhinovirus,
koronavirus, koksakavirus A dan B, streptokokus dan lain-lain.
2. Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air
bersih. (Depkes RI, 2006)
2.3.5 Pencegahan ISPA
Untuk mencegah ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
a. Imunisasi
b. Penyehatan lingkungan pemukiman (PLP) polusi di dalam maupun di luar
rumah
c. Mengatasi demam
d. Perbaikan makanan pendamping ASI pada balita
e. Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum. (Widoyono,
2015)
2.3.6 Penularan ISPA
Penularan ISPA bisa melalui kontak langsung atau tidak langsung dari
benda yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA dan dapat juga
ditularkan melalui udara tercemar pada penderita ISPA yang kebetulan
mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum.
(Widoyono, 2015)
2.3.7 Pengobatan ISPA
Penyakit ISPA adalah kondisi yang pengobatannya melibatkan langkah-
langkah perawatan di rumah untuk kasus-kasus ringan, yang salah satu tujuan
utamanya untuk mengurangi ketidaknyamanan. Pada kasus yang parah,
perawatan pelayanan kesehatan dapat menjadi pilihan utama. (Widoyono,
2015)
Pada kasus ringan, obat ISPA dapat dijual bebas untuk meringankan gejala.
Contohnya Acetaminophen yang efektif dalam menurunkan demam. Dokter
juga mungkin meresepkan obat antibiotik jika ada komplikasi bakteri seperti
bakteri pneumonia. Vitamin C juga bisa diberikan untuk membantu
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Penanganan selanjutnya juga bisa
dilakukan dengan banyak istirahat atau pada kasus berat dapat diberikan osigen
untuk meringankan pernafasan. (Widoyono, 2015)
2.3.8 Tatalaksana Terapi ISPA
2.3.8.1 ISPA non Pneumonia
a. Anjuran istirahat dan banyak minum sangat penting pada influenza ini.
Pengobatan simtomatis diperlukan untuk menghilangkan gejala yang
terasa berat atau mengganggu.
b. Parasetamol 500 mg 3 x sehari atau asetosal 300 – 500 mg 3 x sehari
baik untuk menghilangkan nyeri dan demam.
c. Untuk anak, dosis parasetamol adalah : 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali
sehari
d. Antibiotik hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder.
2.3.8.2 ISPA Pneumona
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti
infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai
secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil
kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi
antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen. Community-
Acquired Pneumonia (CAP) Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat
jalan. Namun pada kasus yang berat pasien dirawat di rumah sakit dan
mendapat antibiotika parenteral. Pilihan antibiotika yang disarankan pada
pasien dewasa adalah golongan makrolida atau doksisiklin atau
fluoroquinolon terbaru.1,19 Namun untuk dewasa muda yang berusia
antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup
mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri
Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin
direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat fluoroquinolon terbaru.
Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung
pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida yang dapat
dipilih mulai dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin
merupakan agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4 kali
sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya diminum
satu kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi pasien.
Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat
menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama
10-14 hari
2.4 Antibiotik
2.4.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi maupun bakteri
yang memiliki khasiat mematikan atau yang dapat menghambat pertumbuhan
kuman sedangkan toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil. (Tan dan
Raharja, 2010).
Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan pada
salah satu infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Beberapa studi menemukan
bahwa sekitar 40-62% antibiotik dikonsumsi secara tidak tepat. Pada berbagai
penelitian, kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit ditemukan
30%-80% tidak didasarkan pada indikasi. Penggunaan antibiotik yang cukup
tinggi menimbulkan masalah dan ancaman global bagi kesehatan terutama
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat
rumah sakit tetapi lambat laun juga berkembang di masyarakat. (Kemenkes,
2011).
2.4.2 Penggolongan Antibiotik
Penggolongan Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya, adalah sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2011) :
a. Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, meliputi
antibiotik beta laktam, basitrasin, vankomisin
b. Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein, meliputi
aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin,
azitromisin, klaritromisin).
c. Obat antimetabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam
metabolisme folat, meliputi sulfonamida dan trimetroprim.
d. Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, meliputi
kuinolon (asam nalidiksat, fluorokuinolon) dan nitrofuran.
Berdasarkan aktivitas antibiotik, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut :
a. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum), contohnya seperti tetrasiklin
dan sefalosporin, efektif terhadap organisme baik gram positif maupun
gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk
mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan
pembiakan dan sensitifitas.
b. Antibiotika spektrum sempit (narrow spektrum), golongan ini terutama
efektif untuk melawan satu jenis mikroorganisme. Contohnya penisillin
dan eritromisin. Dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram positif. Karena antibiotik spektrum sempit bersifat selektif,
maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut
daripada antibiotik spektrum luas. (Kee, 1996).
2.4.3 Efek Samping Antibiotika
Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi atau biologis. Antibiotik
seperti rifampicyn, cotrimoxazole, dan isoniazide potensial hematoksik dan
hepatotoksik. Pemakaian kloramfenikol yang melampaui batas keamanan akan
menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat anemia dan neutropenia. Anemia
aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan
kematian pasien setelah pemakaian kloramfenikol. Efek samping alergi
terutama disebabkan oleh penggunaan penisillin dan sefalosporin. Keadaan
yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik. Kejadian yang sering
timbul adalah ruam dan urtikaria. Efek samping biologis disebabkan karena
pengaruh antibiotika teerhadap flora normal di kulit maupun di selaput lendir
tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antimikroba berspektrum luas.
(Amin, 2014)
2.4.4 Resistensi Antibiotika
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotika dengan dosis normal atau kadar hambat
minimalnya. Resistensi terjadi ketika ada perubahan bakteri yang
menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia, atau bahan
lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. (Utami,
2012)
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi resistensi bakteri terhadap
antibiotik adalah :
a. Penggunaan antibiotika yang terlalu sering
b. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional
c. Penggunaan antibiotika yang berlebihan
d. Penggunaan antibiotika untuk jangka waktu yang lama. (WHO, 2014)
Langkah penting untuk mengurangi resistensi adalah dengan mencegah
terjadinya infeksi, yaitu dengan menjaga kebersihan diri, lingkungan,
makanan, air yang digunakan serta pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan, dan vaksinasi untuk mengurangi kebutuhan antibiotika (WHO,
2014).
2.4.5 Penggunaan Antibotika
Pengetahuan dalam penggunaan antibiotika yang benar merupakan peran
penting dalam keberhasilan proses pengobatan. Saat ini, pengetahuan
masyarakat tentang resistensi antibiotika sangat rendah. Hasil penelitian yang
dilakukan WHO dari 12 negara termasuk Indonesia, sebanyak 53-62%
berhenti minum antibiotika ketika merasa sudah sembuh (WHO, 2015).
Beberapa kriteria penggunaan obat rasional yaitu (Depkes RI, 2008)
2.5 Penggunaan Obat Rasional
2.5.1 Definisi POR
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang tepat
untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan, untuk jangka
waktu yang cukup, dan biaya yang terjangkau. (WHO, 2007). Oleh sebab itu
tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten /Kota
diharapkan mampu melakukan :
a. Menerapkan penggunaan obat yang rasional dalam praktek
b. Mengenal dan mengidentifikasi berbagai masalah penggunaan obat yang
tidak rasional
c. Mengidentifikasi berbagai dampak ketidakrasionalan penggunaan obat
d. Mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya
penggunaan obat yang tidak rasional
e. Melakukan upaya-upaya perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah penggunaan obat yang tidak rasional
f. Menetapkan upaya intervensi yang sesuai berdasarkan masalah
ketidakrasionalan penggunaan obat yang ada (Kemenkes RI, 2004)
Penggunaan obat rasional (POR) merupakan keadaan dimana kondisi pasien
didiagnosis dengan tepat, obat yang paling tepat diberikan dengan dosis dan
formula yang tepat dan sistem kesehatan dapat menyediakan obat yang dibutuhkan
pasien.(WHO, 2009). Selain itu POR didefinisikan dengan kepahaman pasien
terhadap obat dan pentingnya terapi, sehingga pasien patuh dalam menggunakan
obat yang diberikan. (Kemenkes RI, 2012)
Berikut adalah beberapa dampak ketidakrasionalan penggunaan obat, yaitu :
1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
2. Dampak terhadap biaya pengobatan
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak
diharapkan
4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat. (Kemenkes RI, 2012)
2.5.2 Tujuan Penggunaan Obat Rasional
Adapun tujuan program POR yang dibuat pemerintah yaitu :
1. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya
2. Mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga
terjangkau
3. Mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat
membahayakan pasien
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan
kesehatan. (Kemenkes RI, 2012)
2.5.3 Kebijakan penggunaan obat rasional
Kebijakan penggunaan obat rasional merupakan salah satu upaya untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan ini dimaksud untuk
menjamin keamanan, efektivitas serta biaya yang terjangkau dari suatu pengobatan
yang diberikan kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan maupun pada
pengobatan sendiri (self medication). (Kemenkes, 2017)
Untuk mencapai tujuan program penggunaan obat rasional ditetapkan landasan
kebijakan yaitu :
1. Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak tergantikan dalam
pemberian pelayanan kesehatan.
2. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan
pemerataan obat esensial yang dibutuhkan masyarakat
3. Pemerinth melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam penggunaan
obat rasional
4. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan tidak
menyesatkan. Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan pengobatan. (Kemenkes RI, 2017)
2.5.4 Kriteria Obat Rasional
a. Tepat Diagnosa
b. Tepat Dosis
c. Tepat Indikasi
d. Tepat Obat
e. Tepat Cara Pemberian
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
g. Tepat Durasi Pemberian
h. Waspada Terhadap Efek Samping
i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dan mutu terjamin
k. Tepat Informasi
l. Tepat Tindak Lanjut
m. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)