bab ii tinjauan pustaka 2.1 pengangguran 2.1.1 definisi...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengangguran
2.1.1 Definisi Pengangguran
Pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara
aktif mencari pekerjaan tetapi belum memperolehnya. (Sukirno, 2004: 28)
Selanjutnya International Labor Organization (ILO) memberikan definisi
pengangguran yaitu:
1. Pengangguran terbuka adalah seseorang yang termasuk kelompok
penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, dan
bersedia menerima pekerjaan, serta sedang mencari pekerjaan.
2. Setengah pengangguran terpaksa adalah seseorang yang bekerja sebagai
buruh karyawan dan pekerja mandiri (berusaha sendiri) yang selama
periode tertentu secara terpaksa bekerja kurang dari jam kerja normal,
yang masih mencari pekerjaan lain atau masih bersedia mencari pekerjaan
lain/tambahan (BPS, 2001: 4).
Data pengangguran dikumpulkan BPS melalui survei rumah tangga, seperti
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Sensus Penduduk (SP), Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS), dan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas). Diantara sensus/survei tersebut Sakernas merupakan survei yang
dirancang untuk mengumpulkan data ketenagakerjaan secara periodik. Saat ini
Sakernas diselenggarakan dua kali setahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus.
(Badan Pusat Statistik Sumatera Utara)
Berdasarkan pengertiannya, pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga,
antara lain :
Pengangguran Terbuka (Open Unemployment)
Penganggguran terbuka adalah tenaga kerja yang betul-betul tidak
mempunyai pekerjaan. Pengangguran ini terjadi ada yang karena belum
mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal dan ada juga
yang karena malas mencari pekerjaan atau malas bekerja.
Pengangguran Terselubung (Disguessed Unemployment)
Pengangguran terselubung yaitu pengangguran yang terjadi karena
terlalu banyaknya tenaga kerja untuk satu unit pekerjaan padahal dengan
mengurangi tenaga kerja tersebut sampai jumlah tertentu tetap tidak
mengurangi jumlah produksi. Pengangguran terselubung bisa juga terjadi
karena seseorang yang bekerja tidak sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, akhirnya bekerja tidak optimal.
Setengah Menganggur (Under Unemployment)
Setengah menganggur adalah tenaga kerja yang tidak bekerja
secara optimal karena tidak ada pekerjaan untuk sementara waktu. Ada
yang mengatakan bahwa tenaga kerja setengah menganggur ini adalah
tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu atau kurang
dari 7 jam sehari. Misalnya seorang buruh bangunan yang telah
menyelesaikan pekerjaan di suatu proyek, untuk sementara menganggur
sambil menunggu proyek berikutnya.
Pengangguran terbuka (Open Unemployment) atau secara umum
disebut dengan pengangguran, adalah penduduk usia kerja yang tidak
mempunyai pekerjaan apapun, yang secara aktif mencari pekerjaan.
Pengangguran di negara-negara berkembang bisa dipilah kedalam dua
kelompok, yaitu pengangguran perkotaan dan pedesaan. (BPS, 2000:8)
2.1.2 Jenis-jenis Pengangguran Berdasarkan Penyebabnya
Menurut Sadono Sukrino (2000), jika dilihat dari sebab-sebab timbulnya,
pengangguran dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sebagai berikut :
Pengangguran Friksional (Frictional unemployment)
Yaitu pengangguran yang timbul akibat perpindahan orang atau
sekelompok orang dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pekerjaan ke
pekerjaan yang lain dan karena tahapan siklus hidup yang berbeda.
Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
Pengangguran ini terjadi karena adanya perubahan dalam struktur
perekonomian yang menyebabkan kelemahan di bidang keahlian lain.
Pengangguran Siklus (cyclical unemployment)
Pengangguran ini terjadi karena adanya gelombang konjungtur, yaitu
adanya resesi atau kemunduran dalam kegiatan ekonomi.
Pengangguran teknologi
Pengangguran ini terjadi karena adanya penggunaan alat–alat teknologi
yang semakin modern.
Pengangguran Musiman
Pengangguran musiman terjadi karena adanya perubahan musim.
2.1.3 Konsep Angkatan Kerja
a. Bekerja Penuh (Employed)
Yaitu orang – orang yang bekerja penuh atau jam kerjanya lebih dari 35
jam / minggu.
b. Setengah Menganggur (Underemployed)
Yaitu mereka yang bekerja, tetapi belum dimanfaat secara penuh. Jam
kerjanya kurang dari 35 jam/minggu. Berdasarkan definisi ini, tingkat
pengangguran di Indonesia termasuk tinggi, yaitu 35% per tahun.
c. Menganggur (Unemployed)
Yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan. Kelompok ini sering disebut Penganggur Terbuka. (Rahardja &
Manurung, 2004:173)
2.1.4 Faktor Penyebab Pengangguran di negara-negara berkembang
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pengangguran di negara-negara
berkembang, antara lain:
Kebijakan Pemerintah yang Tidak Tepat
Perekonomian di negara berkembang pada umumnya dikategorikan
ke dalam dua sektor, yaitu sektor subsisten yang diasumsikan dan
dicirikan sebagai sektor yang lamban, tradisional, terbelakang, dan
mempunyai pengangguran tidak kentara dan sektor modern berupa
pertambangan, perkebunan, dan industri. Pada akhirnya pembangunan
disusun dengan strategi perluasan sektor modern melalui akumulasi
kapital. Dimana pertumbuhan sektor modern akan menyerap angkatan
kerja dari sektor tradisional sampai pada akhirnya tidak ada lagi yang
tersisa. Namun, pada kenyataannya, tidak semua negara berkembang dapat
mengikuti perkembangan dan kemajuan industri. Yang berakibat kepada
meningkatnya penggunaan teknologi yang padat kapital. Yang mendorong
meningkatnya investasi. Selain itu juga, kepercayaan yang salah yang
menganggap bahwasanya dengan tingginya investasi maka kesempatan
kerja pun akan meningkat. Namun, pada kenyataannya, penggunaan
teknologi yang kurang tepat, menyebabkan penyerapan kesempatan pun
menjadi kecil. Di lain pihak, kurangnya upaya pelatihan tenaga kerja,
menyebabkan langkanya angkatan kerja yang memliki skill. Yang pada
akhirnya, memaksa para pengusaha untuk memilih proses mekanis.
Distorsi Harga Faktor Produksi
- Tingginya Upah di Sektor Modern
Upah yang berlaku untuk tenaga kerja tak berskill di sektor modern
di negara-negara berkembang seringkali melebihi tingkat upah
keseimbangan pasar karena adanya kebijakan upah minimum dari
pemerintah, tekanan serikat pekerja, dan perusahaan asing yang
beroperasi di negara tersebut yang biasanya menentukan upah lebih
tinggi dari tingkat upah domestik. Pemerintah sering berinisiatif
memberlakukan kebijakan upah minimum dengan argumentasi untuk
membantu para pekerja miskin. Sering pula kebijakan pemerintah
tersebut merupakan pengaruh dari tekanan serikat buruh. Sementara
itu, perusahaan asing yang berlokasi di negara tersebut biasanya
memberikan upah yang meskipun di bawah standar negara mereka,
tetapi lebih tinggi dari standar domestik untuk memastikan
mendapatkan tenaga kerja berkualitas dan akhirnya mendorong tingkat
upah domestik untuk ikut meningkat. Jika dihitung secara kasar di
seluruh negara berkembang, Pendapatan per pekerja dari upah
minimum resmi ternyata beberapa kali lebih tinggi daripada
pendapatan per kapita negara tersebut. Hal ini akan menyebabkan
pengangguran yang lebih tinggi karena beberapa studi menunjukkan
tingkat upah yang tinggi akan mengurangi penyerapan tenaga kerja.
- Rendahnya Biaya Kapital
Beberapa kebijakan pemerintah telah membuat biaya kapital di
negara-negara berkembang menjadi rendah, misalnya kebijakan
mendorong investasi dengan mengenakan subsidi tingkat bunga dan
potongan pajak, atau kebijkan menjaga tingkat kurs lebih rendah dari
keseimbangan pasar. Kurs yang rendah membuat harga barang impor,
termasuk barang-barang kapital menjadi murah. Kebijakan ini
ditunjang pula dengan kebijakan pemerintah di negara-negara
berkembang untuk memprioritaskan impor barang-barang kapital
(supaya impornya tidak berupa barang konsumsi, tetapi barang-barang
produktif), sehingga sempurna mendorong pengusaha untuk
mengimpor barang-barang kapital bagi perusahaannya, dan akhirnya
mengadopsi teknologi padat kapital yang akan menyerap sedikit tenaga
kerja.
- Pengangguran Penduduk Berpendidikan Tinggi
Pengangguran tenaga kerja berpendidikan di negara-negara
berkembang tersebut disebabkan karena lapangan kerja tidak sesuai
dengan kurikulum yang diajarkan di bangku sekolah. Salah satu
sebabnya adalah karena kurikulum yang disusun di negara-negara
berkembang tersebut lebih condong ke ilmu sosial yang lebih mudah
diselenggarakan dari pada ilmu-ilmu alam dan teknik yang sebenarnya
lebih dibutuhkan dibanyak perusahaan. Di sisi lain para lulusan
tersebut lebih suka memilih untuk pekerjaan yang mereka rasakan
lebih cocok dengan pendidikan mereka yang menolak untuk bekerja di
bidang lain, terutama jika bayarannya di bawah standar yang mereka
inginkan. Pengangguran jenis ini mempunyai kompleksitasnya sendiri.
2.1.5 Dampak Pengangguran
Adapun dampak-dampak pengangguran terhadap perekonomian, antara lain
sebagai berikut:
a. Dampak Pengangguran terhadap perekonomian
1. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimumkan
kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Pengangguran menyebabkan
pendapatan nasional yang sebenarnya (actual output) dicapai lebih rendah
dari pada pendapatan nasional potensial (potential output). Keadaan ini
berarti tingkat kemakmuran masyarakat yang dicapai lebih rendah dari
pada tingkat yang mungkin dicapainya.
2. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak (tax revenue) pemerintah
berkurang. Pengangguran yang diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi
yang rendah, pada gilirannya akan menyebabkan pendapatan yang
diperoleh pemerintah akan semakin sedikit. Dengan demikian,
pengangguran yang tinggi akan mengurangi kemampuan pemerintah
dalam menjalankan berbagai kegiatan pembangunan.
3. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran
menimbulkan dua akibat buruk kepada sektor swasta. Pertama,
pengangguran tenaga kerja biasanya akan diikuti pula dengan kelebihan
kapasitas mesin-mesin perusahaan. Keadaan ini jelas tidak akan
mendorong perusahaan untuk melakukan investasi di masa yang akan
datang. Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan
perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang. Keuntungan yang rendah
mengurangi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi. Kedua hal
tersebut jelas tidak akan menggalakkan pertumbuhan ekonomi di masa
yang akan datang.
b. Dampak Pengangguran terhadap Individu dan Masyarakat
1. Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan
pendapatan. Di negara-negara maju, para penganggur memperoleh
tunjangan (bantuan keuangan) dari badan asuransi pengangguran, dan oleh
sebab itu, mereka masih mempunyai pendapatan untuk membiayai
kehidupan dan keluarganya. Di negara sedang berkembang tidak terdapat
program asuransi pembangunan, dan karenanya kehidupan penganggur
harus dibiayai oleh tabungan masa lalu atau pinjaman (bantuan keluarga
dan teman-teman). Keadaan ini potensial bisa mengakibatkan
pertengkaran dan kehidupan keluarga yang tidak harmonis.
2. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Keterampilan
dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan hanya dapat dipertahankan apabila
keterampilan tersebut digunakan dalam praktek. Pengangguran dalam
kurun waktu yang lama akan menyebabkan tingkat keterampilan pekerjaan
menjadi semakin merosot.
3. Selain hal-hal tersebut pengangguran dapat pula menimbulkan
ketidakstabilan sosial dan politik. Kegiatan ekonomi yang lesu dan
pengangguran yang tinggi dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat
kepada pemerintah yang berkuasa. Kegiatan-kegiatan kriminal seperti
pencurian dan perampokan dan lain sebagainya pun akan semakin
meningkat.
3.1 Inflasi
3.1.1 Definisi Inflasi
Inflasi adalah suatu gejala di mana tingkat harga umum mengalami
kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan tingkat harga umum yang terjadi sekali
waktu saja tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi. (Nanga, 2001: 237)
Sementara itu, menurut Rahardja (1997), inflasi adalah kecenderungan
dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, tetapi jika kenaikan
meluas kepada sebagian besar harga barang-barang maka hal ini disebut inflasi.
Dari uraian diatas, setidaknya ada 3 hal penting yang ditekankan, yaitu:
1. Adanya kecenderungan harga yang tidak mengikat, yang berarti bisa saja
tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik
dibandingkan dengan sebelumya, tetapi tetap menunjukkan tendensi yg
meningkat.
2. Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus-menerus
(sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi
bisa beberapa waktu lamanya.
3. Bahwa tingkat harga yang dimaksud disni adalah tingkat harga umum,
yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada
satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga - harga secara
umum.
3.1.2 Jenis-jenis Pengelompokan Inflasi
Berdasarkan laporan hasil Sosial Indonesia 2007 BPS, ada beberapa
jenisi pengelompokan inflasi, yaitu :
- Inflasi IHK atau inflasi umum (headline inflation)
Inflasi seluruh barang/jasa yang dimonitor harganya secara periodic.
Inflasi umum adalah komposit dari inflasi inti, inflasi administered prices,
dan inflasi volatile goods.
- Inflasi inti (Core Inflation)
Adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum (faktor-faktor
fundamental seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan
permintaan dan penawaran agregat) yang akan berdampak pada perubhan
harga-harga secara umum dan lebih bersifat permanen dan persistent.
Berdasarkan SBH 2007 jumlah komoditasnya sebanyak 694 antara lain
beras, kontrak rumah, upah buruh, mie, susu, mobil, sepeda motor, dan
sebagainya.
- Inflasi Administered (Administered Price Inflation)
Adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya secara
umum diatur pemerintah. Berdasarkan SBH 2007 jumlah komoditasnya
sebanyak 19 antara lain bensin, tariff listrik, rokok dan sebagainya.
- Inflasi bergejolak (Volatile Goods Price Inflation)
Adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya sangat
bergejolak. Umumnya dipengaruhi oleh shocks yang bersifat temporer
seperti musim panen, gangguan alam, gangguan penyakit, dan gangguan
distribusi. Pada umumnya didominasi oleh bahan makan, sehingga sering
disebut sebagai inflasi volatile foods. Jumlah komoditinya sebanyak 61
antara lain beras, minyak goring, cabe, daging ayam ras, dan sebagainya.
Sementara itu, berdasarkan bobotnya, inflasi dapat dibedakan
menjadi :
1. Inflasi ringan (10% setahun), ditandai dengan kenaikan harga berjalan
secara lamban dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu
yang relative lama.
2. Inflasi sedang (10-30% setahun), ditandai dengan kenaikan harga yang
relative cepat atau perlu diwaspadai dampaknya terhadap perekonomian.
3. Inflasi berat (30-100%), ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar
dan terkadang berjalan dalam waktu yang relative pendek serta
mempunyai sifat akselerasi, yang artinya harga minggu atau bulan ini lebih
tinggi dari minggu atau bulan sebelumnya.
4. Hiperinflasi (> 100%), dimana inflasi ini merupakan inflasi yang paling
parah, akibatnya dimana masyakat tidak lagi berkeinginan untuk
menyimpan uang, nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ditukarkan
dengan barang. Harga-harga barang naik 5 sampai 6 kali. Biasanya
keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja
(misalnya: ditiimbulkan oleh adanya perang) yang dibelanjai atau ditutup
dengan mencetak uang.
Sementara, menurut asalnya, inflasi dibedakan menjadi:
1. Domestic Inflation
Inflasi yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti kenaikan
konsumsi masyarakat, ekspansi moneter dan lain sebagainya.
2. Imported Inflation
Inflasi yang berasal dari luar negeri, seperti kenaikan harga – harga barang di
Negara-negara langganan dagang kita, mekanismenya baik melalui impor
ataupun ekspor. (Waluyo, 2007:176)
Berdasarkan penyebab awalnya, dapat dibedaan menjadi dua yaitu:
1. Demand Pull Inflation
Demand Pull Inflation yaitu inflasi yang timbul karena permintaan
masyarakat terhadap berbagai barang terlalu kuat. Demand Pull Inflation
terjadi karena kenaikan permintaan agregat dimana kondisi produksi telah
berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi
mendorong kenaikan output (produksi) tetapi hanya mendorong kenaikan
harga yang disebut inflasi murni.
Kenaikan permintaan yang melebihi Prosuk Domestik Bruto akan
menyebabkan Inflationary Gap yang menyebabkan inflasi. Negara yang
menganut sistem pasar bebas dapat mengalami demand pull inflation yang
muncul dari sektor riil dan sektor moneter. (Khalwaty, 2000, P : 15 – 16).
AS
P1
P2 AD2
AD1
0 Q1 Q2
Gambar 3.1 Demand Pull Inflation
Karena permintaan akan barang-barang (agregat demand) bertambah misalnya
karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan
uang atau kenaikan permintaan barang luar negeri akan barang-barang ekspor atau
bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah, maka
kurva agregat demand bergeser dari AD1 ke AD2, akibatnya tingkat harga umum
naik dari P1 ke P2.
2. Cost Push Inflastion
Cost Push Inflation yaitu inflasi yang timbul karena kenaikan biaya
produksi. Pada cosh push inflation tingkat penawaran lebih rendah dibandingkan
tingkat permintaan. Karena adannya kenaikan harga faktor produksi sehingga
produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu.
Penawaran agregat terus menurun karena adanya kenaikan biaya produksi.
Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama maka akan terjadi inflasi yang
disertai resesi.
AS2 AS1
P2
P1 AD
0 Q2 Q1 Gambar 3.2 Cost Push Inflastion
Bila biaya produksi naik karena kenaikan harga sarana produksi yang
didatangkan dari luar negeri, atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak
maka kurva penawaran masyarakat bergeser dari S1 ke S2. Kedua jenis inflasi ini
jarang sekali dijumpai secara murni dalam praktek, pada umumnya bentuk yang
sering terjadi adalah kombinasi dari kedua jenis inflasi tersebut, dan sering kali
keduanya saling memperkuat satu sama lain. (Khalwaty, 2000, P : 20).
3.1.3 Teori Inflasi
Secara garis besar ada tiga kelompok teori mengenai inflasi, masing-
masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi, dan masing-masing
bukan teori inflasi yang lengkap yang mencakup semua aspek penting dari proses
kenaikan harga ini. Untuk menerapkannya kita harus menentukan aspek-aspek
mana yang dalam kenyataan penting dimana proses inflasi di suatu negara, dengan
demikian teori mana atau kombinasi mana yang lebih cocok. (Budiono, 1990, P :
167-175).
Teori Kuantitas
Teori kuantitas merupakan teori yang paling tua mengenai inflasi, namun
teori ini masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern
terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan
dalam proses inflasi dari jumlah uang beredar dan harapan masyarakat mengenai
kenaikan-kenaikan harga (ekspektasi). Inti teori ini adalah:
• Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar.
Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti kegagalan
panen hanya akan menaikkan harga – harga sementara saja. Bila uang
tidak ditambah inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab awal
kenaikan harga tersebut.
• Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar
dalam harapan masyarakat megenai kenaikan harga-harga di masa yang
akan datang.
Ada 3 kemungkinan keadaan:
- Bila masyarakat tidak mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan
mendatang. Sebagian besar dari pernambahan jumlah uang yang beredar
akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya. Ini berarti
sebagian besar dari kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan
untuk pembelian barang. Selanjutnya tidak ada kenaikan permintaan yang
berarti terhadap barang-barang, jadi tidak ada kenaikan harga. Kenaikan
ini biasa dijumpai pada saat inflasi masih naru, masyarakat belum sadar
bahwa inflasi sering berlangsung.
- Masyarakat mulai sadar bahwa ada inflasi. Penambahan jumlah uang
beredar tidak lagi diterima masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi
menambah pembelian barang-barang. Hal ini dilakukan karena orang-
orang berusaha untuk menghindari kerugian yang ditimbulkan seandainya
mereka memegang uang tunai. Orang secara perorangan. Melakukan
penyesuaian dalam neracanya dengan membelanjakan kasnya untuk
membeli barang-barang. Dari masyarakat secara keseluruhan ini berarti
ada permintaan barang-barang. Akibat selanjutnya kenaikan harga barang-
barang tersebut. Bila masyarakat mengharapkan kenaikan harga-harga
untuk naik dimasa mendatang sebesar laju inflasi di bulan bulan yang lalu,
maka kenaikan jumlah uang beredar sepenuhnya diterjemahkan menjadi
kenaikan permintaan akan barang-barang. Keadan ini biasa di jumpai pada
waktu inflasi sudah berjalan cukup lama dan orang-orang mempunyai
cukup waktu untuk menyeseuaikan sikapnya terhadap situasi yang baru.
- Dalam tahap ketiga terjadi hiperinflasi. Orang-orang sudah kehilangan
kepercayaannya terhadap mata uang. Keadaan ini ditandai dengan makin
cepatnya perderan uang. Hiperinflasi menyebabkan hancurnya sendi-sendi
ekonomi moneter dan sosial politik masyarakat. Struktur masyarakat yang
baru akan timbul menggantikan yang lama.
Teori Keynes
Dimana, inflasi didasarkan pada teori makro dan menyoroti aspek lain selain
inflasi. Menurut teori ini inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas
ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini adalah proses perebutan rezeki
diantara kelompok-kelompok sosial yang mengiginkan bagian yang lebih besar
daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses ini akhirnya
menimbulkan keadaan dimana permintaan masyarakat melebihi jumlah yang
tersedia, yang pada akhirnya menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap
timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menerjemahkan
aspirasi mereka menjadi permintaan efektif.
Bila jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada
tingkat harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum barang-barang yang
dihasilkan oleh masyarakat maka inflationary gap timbul. Karena permintaan total
melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Proses inflasi
akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan
masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan
berhenti bila jumlah permintaan efektif total melebihi jumlah output yang tersedia
pada tingkat harga yang berlaku.
Teori Strukturalis
Yaitu teori dimana inflasi didasarkan pada pengalaman di negara-negara
Amerika latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur
perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan
dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian, yang berubah secara gradual
dalam jangka panjang maka teori ini dapat disebut sebagai teori inflasi jangka
panjang. Menurut teori strukturalis ada dua ketegaran utama pada negara-negara
berkembang yang menimbulkan inflasi, antara lain:
- Ketidakelastisan penerimaan ekspor
Yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara perlahan dibandingkan dengan
pertambahan sektor lain. Hal ini disebabkan oleh :
a) Harga pasar dunia barang-barang ekspor semakin tidak menguntungkan
dibandingkan dengan haraga impor yang disebut dengan memburuknya
term of trade. Harga barang-barang hasil alam yamg merupakan ekspor
negara berkembang tumbuh lebih lambat dibanding harga barang-barang
industri yang merupakan impor negara sedang berkembang.
b) Produksi barang-barang ekspor tidak responsive terhadap kenaikan harga.
Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan
untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Akibatnya negara
tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang
menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri untuk barang-
barang sebelumnya di impor (impor substitution strategy), meskipun
seringkali produksi dalam negeri mempunyai biaya produksi lebih tinggi
dari pada barang sejenis yang di impor. Biaya produksi yang lebih tinggi
ini menyebabkan harga yang lebih tinggi. Bila proses substitusi impor ini
terus berlangsung juga meluas maka kenaikan biaya produksi juga meluas
ke berbagai barang yang tadinya diimpor sehingga makin banyak harga-
harga yang naik, sehingga terjadi inflasi.
- Ketidakelastisan Supply atau Produksi Bahan Makanan dalam Negeri.
Pertambahan produksi bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh
secepat pertambahan penduduk dan pendapatan perkapita, sehingga bahan
makanan dalam negeri cenderungnaik melebihi harga-harga barang lain.
Kenaikan harga barang menyebabkan tuntunan kenaikan upah dan
kenaikan upah diikuti oleh kenaikan harga lagi. Proses ini akan terhenti
dengan sendirinya jika harga bahan makanan tidak terus naik.
Dalam teori strukturalis ada tiga hal yang perlu dicatat:
1. Teori ini menjelaskan proses inflasi jangka panjang di negara-negara yang
sedang berkembang
2. Proses inflasi tersebut hanya berlangsung terus apabila jumlah uang yang
beredar bertambah terus. Tanpa kenaikan jumlah uang yang beredar maka proses
tersebut akan berhenti dengan sendirinya.
3. Sering dijumpai bahwa ketegaran structural tersebut disebabkan oleh kebijikan
harga/moneter pemerintah sendiri. Sering pula dijumpai bahwa ketidakmampuan
produksi barang ekspor untuk tumbuh disebabkan oleh kurs valuta asing yang
ditekan terlalu rendah dengan maksud menekan inflasi. Sering pula
ketidakelastisan ini disebabkan oleh adanya pungli sehingga harga yang diterima
produsen benar-benar rendah, dan kurang cukup menggairahkan industri.
3.1.4 Pengukuran Tingkat Inflasi
1. Indeks Harga Konsumen
Salah satu cara untuk mengukur tingkat inflasi adalah dengan
menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK), IHK merupakan indeks yang
paling banyak digunakan dalam menghitung inflasi termasuk di Indonesia yang
dilakukan oleh badan pusat Statisk (BPS). IHK dapat digunakan untuk
menghitung inflasi bulanan, triwulan, semester, dan tahunan. Untuk menghitung
inflasi dapat digunakan rumus :
Keterangan:
I = Tingkat inflasi pada tahun atau periode t
IHKt = Indeks harga konsumen pada tahun atau periode t
IHK t-1 = Indek harga konsumen pada tahun atau periode t-1
Perhitungan ini mempunyai kelemahan yaitu sangat peka terhadap fluktuasi
barang-barang yang berpengaruh terhadap Indeks Biaya Hidup Konsumen
(ISHK), terutama harga barang-barang kebutuhan pokok. Akibat tingkat inflasi
relative tinggi mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah dan gaji mereka.
Kenaikan upah akan mendorong kenaikan biaya prosduksi. Disamping itu tingkat
inflsi yang tinggi mendorong perintah untuk memberi subsidi pada masyarakat
dan proteksi pada kalangan industri agar dapat hidup dan bersaing terutama
industri yang berorientasi ekspor. Keadaan tersebut dalam jangka panjang akan
semakin menigkatkan inflasi.
2. Indeks Biaya Hidup (IBH)
Angka indeks tersebut tidak mengikuti perkembangan nilai mata uang
sehingga kebijaksanaan pemerintah dan pola konsumsi sudah berubah (banyak
barang yang tercakup dalam IBH sudah tidak dijual lagi), dan hanya mencakup
pengeluaran buruh kelas bawah dan jumlah sampel relaitf kecil, sehingga faktor
penimbangnya menjadi tidak realistis. Pengangguran indikator inflasi di Indonesia
berganti dengan IHK karena kelemahan-kelemahan IBH tersebut.
3. GDP Deflator (PDB deflator)
GDP deflator adalah rasio antara GDP nominal (PDB nominal) dengan GDP
real (PDBriil) dari tahun tersebut, GDP Deflator yang mempunyai cakupan lebih
luas disbanding kedua indeks terdahulu, sebenarnya mencerminkan
perkembangan tingkat harga umum (general price index).
4. Indeks Harga Perdagangan Besar
IHPB (Indeks harga perdagangan bebas) mengukur inflasi
berdasarkan harga-harga barang pada tingkat produsen, metode perhitungannya
sama dengan IHK hanya berbeda jumlah dan jenis barang dalam keranjang.
Barang yang termasuk kategori barang ini merupakan barang mentah dan barang
setegah jadi. (Badan Pusat Statistik, 2010)
3.1.5 Hubungan Pengangguran dan Inflasi
Kurva Philiips pertama kali dikemukakan oleh A.W. Philips, pada tahun 1958.
Philips menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan
perubahan tingkat upah. Philips menggunakan perubahan tingkat upah karena
upah akan mempengaruhi harga barang dan jasa dan pada akhirnya juga
mempengaruhi inflasi. Pada perkembangannya, kurva Philips yang digunakan
oleh para ekonom saat ini berbeda dalam penjelasan mengenai hubungan yang
terdapat dalam kurva tersebut. Philips menyatakan bahwa perubahan tingkat upah
dapat dijelaskan oleh tingkat pengangguran dan perubahan tingkat inflasi.
Kurva Philips
%
Tingkat
Inflasi
0 Tingkat Pengangguran % Sumber : Samuelson and Nordhaus, 2004 : 395 Gambar 3.3 Kurva Philips Bentuk kurva Philips memiliki kemiringan menurun, yang menunjukkan
hubungan negatif antara perubahan tingkat upah dan tingkat pengangguran, yaitu
saat tingkat upah naik, pengangguran rendah, ataupun sebaliknya. Kurva Philips
membuktikan bahwa antara stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi
tidak mugnkin terjadi secara bersamaan, yang berarti bahwa jika ingin mencapai
kesempatan kerja yang tinggi / tingkat pengangguran rendah, sebagai
konsekuensinya harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi. Dengan
kata lain, kurva ini menunjukkan adanya trade-off (hubungan negative) antara
inflasi dan tingkat pengangguran, yaitu tingkat pengangguran akan selalu dapat
diturunkan dengan mendorong kenaikan laju inflasi, dan bahwa laju inflasi akan
selalu dapat diturunkan dengan membiarkan terjadinya kenaikan tingkat
pengangguran.
4.1 Pendidikan
4.1.1 Definisi Pendidikan
Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
nasional yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Adapun ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di negara maju (compulsory
education) adalah sebagai berikut:
a) Ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah
b) Diatur dengan undang-undang wajib belajar
c) Tolak ukur keberhasilan program adalah tidak adanya orang tua yang
terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah
d) Ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah.
Sedangkan ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di Indonesia (universal
primary education) adalah sebagai berikut:
a) Tidak bersifat paksaan.
b) Tidak diatur dengan undang undang tersendiri
c) Keberhasilan diukur dari angka partisipasi dalam pendidikan dasar
d) Tidak ada sanksi hukum bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak
bersekolah. (Suwarso dan Suyoto, 1994)
4.1.2 Kondisi Pendidikan Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memeliki peranan vital dalam
pembangunan masa depan suatu bangsa. Apabila pendidikan di suatu negara atau
wilayah buruk maka pembangunan masa depan negara tersebut juga akan
menurun, karena pendidikan menyangkut tentang berbagai aspek penting, seperti
karakter sekaligus sebagai jati diri suatu bangsa. Sehingga apabila ingin
memajukan suatu bangsa maka harus mempeerhatikan pendidikan dan
menjadikannya sebagai prioritas yang paling utama.
Di Indonesia sendiri pendidikan masih berada di tingkat kesekian. Ini
menjadi suatu kendala pembangunana masa depan suatu bangsa. Karena negara
yang minim pendidikan dekat kemiskinan. Hal ini, dapat dilihat dari :
• Pertama, kepedulian pemerintah yang bisa dikatakan rendah terhadap
pendidikan yang harus kalah dari urusan yang lebih strategis yaitu Politik.
Bahkan, pendidikan dijadikan jargon politik untuk menuju kekuasaan agar
bisa menarik simpati di mata rakyat. Jika melihat negara lain, ada
kecemasan yang sangat mencolok dengan kondisi sumber daya manusia
(SDM) ini. Misalnya, Amerika serikat. Menteri Perkotaan di era Bill
Clinton, Henry Cisneros, pernah mengemukakan bahwa dia khawatir
tentang masa depan Amerika Serikat dengan banyaknya penduduk
keturunan Hispanik dan kulit hitam yang buta huruf dan tidak produktif.
Dimana, suatu bangsa tidak mungkin memiliki tenaga kerja bertaraf
internasional jika seperempat dari pelajarnya gagal dalam menyelesaikan
pendidikan menengah. Kecemasan yang sederhana, namun penuh makna,
karena masyarakat Hispanik cuma satu diantara banyak etnis di Amerika
Serikat. Dan di Indonesia, dapat dilihat adanya pengabaian sistematis
terhadap kondisi pendidikan, bahkan ada kecenderungan untuk
menganaktirikannya, dan harus kalah dari dimensi yang lain.
• Kedua, penjajahan terselubung. Di era globalisasi dan kapitalisme ini, ada
sebuah penjajahan terselubung yang dilakukan negara-negara maju dari
segi kapital dan politik yang telah mengadopsi berbagai dimensi
kehidupan di negara-negara berkembang. Umumnya, penjajahan ini tentu
tidak terlepas dari unsur ekonomi. Dengan hutang negara yang semakin
meningkat, badan atau organisasi donor pun mengintervensi secara
langsung maupun tidak terhadap kebijakan ekonomi suatu bangsa.
Akibatnya, terjadilah privatisasi di segala bidang. Bahkan, pendidikan pun
tidak luput dari usaha privatisasi ini. Dari sini pendidikan semakin mahal
yang tentu tidak bisa di jangkau oleh rakyat. Akhirnya, rakyat tidak bisa
lagi mengenyam pendidikan tinggi dan itu berakibat menurunnya kualitas
sumber daya manusia di Indonesia. Sehingga, tidak heran jika tenaga kerja
di Indonesia banyak yang berada di sektor informal akibat kualitas sumber
daya manusia yang rendah, dan ini salah satunya karena biaya pendidikan
yang memang mahal. Apa lagi ditengah iklim investasi global yang
menuntut pemerintah memberikan kerangka hukum yang dapat
melindungi Investor dan juga buruh murah. Buruh murah ini merupakan
hasil dari adanya privatisasi ( otonomi kampus ),yang membuat
pendidikan tidak lagi bisa dijangkau rakyat. Akhirnya, terbentuklah link up
sistem pendidikan, dimana pendidikan hanya mampu menyediakan tenaga
kuli dengan kemampuan minim.
• Ketiga, adalah kondisi masyarakat sendiri yang memang tidak bisa
mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang ada. Tentu hal ini tidak
terlepas dari kondisi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi
sehingga harapan rakyat akan kehidupannya menjadi rendah. Bisa
dikatakan, telah terjadi deprivasi relatif dalam diri masyarakat. Hal ini
akan berdampak pada kekurangannya respek terhadap dunia pendidikan,
karena mereka lebih mementingkan urusan perut daripada sekolah.
Akibatnya, kebodohan akan menghantui, dan kemiskinan pun akan
mengiringi. Sehingga, kemiskinan menjadi sebuah reproduksi sosial,
dimana dari kemiskinan akan melahirkan generasi yang tidak terdidik
akibat kurangnya pendidikan, dan kemudian menjadi bodoh serta
kemiskinan pun kembali menjerat. (Tulus Tambunan, 1997)
5.1 Kerangka Konseptual
Ada banyak variable yang mempengaruhi Pengangguran di Sumatera
Utara, namun dalam penelitian ini, variabel yang digunakan antara lain: inflasi
dan pendidikan. Sedangkan variabel lainnya dianggap konstan.
Inflasi (X1)
Dalam bagan di atas dijelaskan, bahwa varibel Pengangguran (Y),
dipengaruhi oleh variabel bebas, antara lain : Inflasi (X1) dan Pendidikan (X2).
7.1 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atau kesimpulan sementara yang
diambil untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian.
Berdasarkan permasalahan di atas maka sebagai jawaban sementara penulis
membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap Pengangguran di Sumatera
Utara, ceteris paribus.
2. Pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap Pengangguran di
Sumatera Utara, ceteris paribus.
Pengangguran (Y)
Pendidikan (X2)