bab ii tinjauan pustaka 2.1. manajemen
TRANSCRIPT
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen
Manajemen adalah proses menyelesaikan sesuatu secara efektif dan efisien
melalui orang lain dengan proses yang mengacu pada rangkaian kegiatan yang
sedang berlangsung maupun saling terkait sehingga menjadi suatu kegiatan
utama untuk seorang manajer dalam menumbuhkan pekerjaan yang efektif dan
efisien (Robbins et al., 2013).
Dalam definisi lain, manajemen adalah suatu proses merancang dan
memelihara suatu lingkungan dimana individu atau karyawan dapat bekerjasama
dalam suatu kelompok secara efisien dan mencapai tujuan yang sudah dipilih
bersama (Harold Koontz & Heinz Weihrich, 2012).
Manajemen adalah suatu proses planning, organizing, leading, controlling
dan sumber daya organisasi lainnya yang digunakan untuk mencapai suatu goals
dari suatu organisasi (Nickels et al., 2016).
Berdasarkan pengertian manajemen yang telah dijelaskan diatas dari
beberapa ahli, maka penulis menggunakan definisi Harold Koontz & Heinz
Weihrich (2012) manajemen adalah suatu proses merancang dan memelihara
suatu lingkungan dimana individu atau karyawan dapat bekerjasama dalam suatu
kelompok secara efisien dan mencapai tujuan yang sudah dipilih bersama.
27
2.1.1 Fungsi Manajemen
Menurut John R. Schermerhorn et al. (2017) semua manajer harus
memiliki kemampuan untuk mengenali masalah dan peluang kinerja dalam
kegiatan sehari-hari, membuat keputusan yang baik dan mengambil tindakan
yang tepat. Manajer adalah seseorang yang bertanggung jawab untuk mencapai
tujuan perusahaan dan melakukan upaya pengelolaan karyawan di perusahaan
(Dessler, 2017).
Gambar 2.1 Fungsi Manajemen
Sumber: John R. Schermerhorn et al., 2017
Berdasarkan gambar 2.1 menurut John R. Schermerhorn et al. (2017)
dalam bukunya yang berjudul Management menjelaskan bahwa manajemen
memiliki empat fungsi antara lain:
28
1. Planning
Dalam manajemen, planning adalah suatu proses menetapkan tujuan
kinerja dan menentukan tindakan apa yang harus diambil untuk
mencapainya. Melalui perencanaan, seorang manajer mengidentifikasi
pekerjaan yang diinginkan.
2. Controlling
Manajemen controlling adalah suatu proses mengukur pekerjaan kinerja,
membandingkan hasil dengan tujuan, dan mengambil tindakan korektif
sesuai kebutuhan. Melalui pengendalian, manajer memelihara kontak aktif
dengan orang-orang selama pekerjaan mereka, berkumpul dan menafsirkan
melaporkan kinerja, dan menggunakan informasi ini untuk merencanakan
tindakan dan perubahan konstruktif.
3. Organising
Melalui organising, manajer mengubah rencana menjadi tindakan dengan
mendefinisikan pekerjaan, menugaskan staf dan mendukung mereka
dengan teknologi dan sumber daya lainnya.
4. Leading
Dalam manajemen, leading adalah proses membangkitkan semangat
karyawan untuk bekerja keras dan mengarahkan upaya untuk memenuhi
rencana dan mencapai tujuan. Melalui leading, manajer membangun
komitmen untuk visi bersama, mendorong kegiatan yang mendukung
29
tujuan, dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan pekerjaan terbaik
mereka diatas nama organisasi.
2.1.2. Level Manajemen
Menurut Scott Snell dan Thomas Bateman (2013) dalam bukunya yang
berjudul Management menjelaskan 4 level manajemen yaitu:
1. Top-level Manager
Top level manager adalah eksekutif senior organisasi dan bertanggung
jawab atas manajemen keseluruhannya. Level tertinggi manajer, sering
disebut sebagai manajer strategis, fokus pada kelangsungan hidup,
pertumbuhan, dan keefektifan organisasi secara keseluruhan.
2. Middle-level Manager
Middle level manager bertanggung jawab untuk menerjemahkan tujuan
umum, terkadang disebut manajer taktis. Dalam hal lain, peran manajer
menengah adalah menjadi pengontrol administratif yang menjembatani
kesenjangan antara yang lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah.
3. Frontline Manager
Frontline manager atau operational manager adalah manajer tingkat
bawah yang melaksanakan operasi organisasi. Manajer ini sering kali
memiliki jabatan seperti supervisor atau manajer penjualan. Mereka terlibat
langsung dengan karyawan non-manajemen, melaksanakan rencana khusus
yang dikembangkan dengan middle level manager.
30
4. Team Leader
Jenis manajer yang relatif baru, dikenal sebagai team leader yang terlibat
dalam berbagai perilaku untuk mencapai efektivitas tim. Team leader
cenderung menjadi manajer yang lebih muda dengan keterampilan
kewirausahaan, bertanggung jawab untuk merekrut, melatih,
menjadwalkan, memberi kompensasi, menilai, dan jika perlu, memecat
karyawan.
2.1.3. Management Skill
Menurut Robbins dan Judge (2013) management skill terbagi menjadi tiga
bagian, antara lain:
1. Technical Skill
Technical skill adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan khusus
ke keahlian.
2. Human Skill
Human skill adalah kemampuan untuk memahami, berkomunikasi,
memotivasi, dan mendukung orang lain, baik secara individu maupun
dalam kelompok.
3. Conceptual Skill
Conceptual skill adalah kemampuan mental untuk menganalisis dan
mendiagnosis situasi yang kompleks. Conceptual skills lebih tefokuskan
pada pengambilan keputusan yang meliputin identifikasi masalah,
31
mengembangkan solusi alternatif untuk memperbaiki masalah tersebut,
mengevaluasi solusi alternatif tersebut, dan memilih yang terbaik.
2.1.4. Management Roles
Menurut Robbins dan Judge (2013) management roles terbagi menjadi tiga
macam, antara lain:
1. Interpersonal Roles
Management roles dimana mewajibkan seorang manajer untuk melakukan
tugas yang sifatnya seremonial dan simbolis.
2. Informational Roles
Semua manajer, sampai tingkat tertentu, mengumpulkan informasi dari
organisasi dan lembaga luar, biasanya dengan memindai media berita
(termasuk internet) dan berbicara dengan orang lain untuk mengetahui
perubahan dalam selera publik, apa yang mungkin direncanakan pesaing.
3. Decisional Roles
Terdapat empat role yang diidentifikasikan oleh Mintzberg, yaitu
entrepreneur role yang dimana para manajer memulai dan mengawasi
proyek baru yang akan meningkatkan kinerja organisasi mereka.
Disturbance handlers, dimana manajer mengambil tindakan korektif dalam
menanggapi masalah yang tidak terduga. Resource allocators, manajer
bertanggung jawab untuk mengalokasikan sumber daya manusia, fisik, dan
moneter. Kemudian yang terakhir yaitu negotiator role, dimana mereka
32
mendiskusikan masalah dan tawar-menawar dengan unit lain untuk
mendapatkan keuntungan untuk unit mereka sendiri.
2.2. Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia menurut Dessler (2015) adalah proses untuk
memperoleh, melatih karyawan, menilai kinerja dan memberi kompensasi serta
manfaat kepada karyawan, menghadiri hubungan kerja, kesehatan dan
keselamatan mereka, serta mengatur masalah keadilan.
Menurut Kinicki dan Williams (2013) manajemen sumber daya manusia
terdiri dari kegiatan yang dilakukan manajer di perusahaan untuk perencanaan,
menarik, mengembangkan, dan juga mempertahankan karyawan secara efektif.
Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari manajemen yang
berfokus pada cara untuk menarik, memperkerjakan, melatih, memotivasi, dan
mempertahankan karyawan di perusahaan (Robbins dan Decenzo, 2010).
Menurut Benjamin et al. (2017) sumber daya manusia adalah kemampuan
terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan
sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi
kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya.
Sedangkan menurut Bateman dan Snell (2013) menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia merupakan kegiatan yang mendorong individu
33
untuk dapat mengembangkan dan memotivasi karyawan ditempat kerja. Hal ini
merupakan aspek mendasar dari kehidupan organisasi dan manajemen.
Berdasarkan pengertian dari manajemen sumber daya manusia yang telah
diuraikan diatas, maka penulis menggunakan pengertian manajemen sumber daya
manusia adalah bagian dari manajemen yang berfokus pada cara untuk menarik,
memperkerjakan, melatih, memotivasi, dan mempertahankan karyawan di
perusahaan (Robbins dan Decenzo, 2010).
2.2.1. Proses Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Robbins dan Coulter (2012) manajemen sumber daya manusia
bertujuan untuk memastikan karyawan kompeten sesuai kegiatan yang telah
diidentifikasi, sehingga proses manajemen sumber daya manusia dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Human Resource Planning
Human Resouce Planning merupakan proses dimana manajer memastikan
bahwa perusahaan memiliki jumlah dan jenis karyawan yang sesuai dan
mampu ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai dengan fungsi
manajemen planning dan organizing guna menghindari kekurangan dan
kenaikan karyawan yang secara tiba-tiba. Human resource planning
memiliki dua langkah untuk memenuhi proses yaitu dengan menilai
kebutuhan sumber daya manusia saat ini dan kebutuhan sumber daya
manusia di masa depan.
34
2. Recruitment
Recruitment merupakan sebuah proses menemukan, mengidentifikasi dan
menarik sumber daya manusia sesuai kapasitas yang telah ditentukan.
Recruitment menjadi sebuah pendekatan untuk menarik dan menemukan
karyawan baru.
3. Selection
Selection merupakan sebuah proses memprediksi pelamar yang akan
berhasil dan dipekerjaan di perusahaan. Selection menjadi sebuah proses
kegiatan yang menghasilkan keputusan pelamar ditolak atau diterima.
4. Orientation
Orientation merupakan karyawan baru yang telah diterima terhadap
pekerjaan dan perusahaan.
5. Training
Training adalah pelatihan yang diberikan kepada karyawan sesuai
kebutuhannya yang bertujuan untuk memberikan perubahan dan
memberikan keterampilan kepada karyawan.
6. Performance Management
Performance management merupakan penetapan standar kinerja yang
dilakukan karyawan untuk melakukan pekerjaan secara efisien dan efektif
dan dilakukan evaluasi kinerja karyawan beserta penilaian kinerjanya
selama bekerja.
7. Compensation and Benefits
35
Compensation and Benefits merupakan pemberian sebuah kompensasi
dalam bentuk penghargaan dan tunjangan seperti upah dan gaji pokok,
kenaikan gaji, insentif, dan tunjangan lainnya atas kinerja karyawan guna
membantu menarik dan mempertahankan karyawan agar tetap termotivasi.
8. Career Development
Career Development merupakan proses pengembangan karir akibat dari
hasil kinerja yang baik beserta faktor lain yang menjadi pertimbangan
utama, biasanya dalam bentuk pemberian upah atau peningkatan pekerjaan
untuk mempertahankan karyawan yang berbakat dan produktif.
2.3. Employee Engagement
Employee engagement adalah sejauh mana karyawan dapat sepenuhnya
terlibat dalam pekerjaan mereka dan kekuatan komitmen karyawan terhadap
pekerjaan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Employee engagement yang
tinggi cenderung memungkinkan mereka untuk memenuhi nilai-nilai penting
(Noe et al., 2015).
Karyawan dengan tingkat employee engagement yang tinggi
mendedikasikan sumber daya mereka (kognitif, emosional, dan fisik) untuk
bekerja dan berkontribusi dalam mencapai tujuan perusahaan (Rich et al., 2010).
Selain itu, organisasi dengan employee engagement yang tinggi akan memiliki
competitive advantage dibandingkan dengan organisasi yang lain karena
36
karyawan adalah salah satu faktor yang tidak bisa ditiru oleh kompetitor dan
merupakan asset yang sangat berharga jika dikelola dengan baik (Anitha, 2014).
Robbins & Coulter (2009) berpendapat bahwa employee engagement
merupakan kondisi dimana seorang karyawan merasa terlibat, puas, dan antusias
dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Karyawan dengan engagement tinggi
cenderung lebih semangat dengan pekerjaannya dan merasakan hubungan yang
mendalam dengan perusahaan, sedangkan karyawan dengan engagement rendah
pada dasarnya tidak perhatian terhadap pekerjaan mereka. Mereka hadir untuk
bekerja namun tidak memiliki energi atau semangat dalam pekerjaan tersebut
(Robbins & Coulter, 2009).
Menurut Dessler (2013) employee engagement mengacu pada keterlibatan
seseorang secara psikologi, terhubung, dan berkomitmen untuk menyelesaikan
pekerjaan. Terdapat beberapa cara yang dapat mendorong engagement pada
karyawan, antara lain :
1. Memastikan karyawan memahami bagaimana departemen mereka
berkontribusi pada kesuksesan perusahaan.
2. Memastikan karyawan melihat bagaimana upaya mereka sendiri
berkontribusi untuk mencapai tujuan perusahaan.
3. Memastikan karyawan mendapatkan rasa pencapaian dari bekerja
diperusahaan.
Berdasarkan pengertian employee engagement yang sudah diuraikan diatas,
maka penulis mengambil pengertian employee engagement menurut Dessler
37
(2013) employee engagement mengacu pada keterlibat seseorang secara
psikologi, terhubung, dan berkomitmen untuk menyelesaikan pekerjaan.
2.3.1. Aspek Dimensi Employee Engagement
Menurut Schaufeli dan Bakker (2006), terdapat tiga aspek yang
membangun dimensi employee engagement, yaitu sebagai berikut:
1. Vigor
Kekuatan (vigor) adalah energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika
sedang bekerja, kemauan berusaha sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan
gigih dalam menghadapi kesulitan. Seseorang yang memiliki tingkat vigor
tinggi biasanya memiliki energi dan stamina tinggi serta bersemangat
ketika bekerja. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat vigor rendah
memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah juga saat
bekerja.
2. Dedication
Dedikasi yaitu perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan
dan tantangan. Seseorang yang memiliki tingkat dedikasi tinggi secara kuat
mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena adanya pengalaman
bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu, mereka selalu antusias
dan bangga dengan pekerjaannya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki
tingkat dedikasi rendah tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaannya
38
karena tidak memiliki pengalaman yang bermakna, menginspirasi dan
menantang.
3. Absorption
Absorpsi atau keasyikan adalah konsentrasi penuh, minat terhadap
pekerjaan dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Seseorang yang
memiliki tingkat absorpsi tinggi merasa tertarik dengan pekerjaan dan sulit
untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Begitupun sebaliknya, seseorang
yang memiliki tingkat absorpsi rendah tidak merasa tertarik dengan
pekerjaannya dan tidak sulit untuk melepas diri dari pekerjaannya.
2.3.2. Ciri-ciri Employee Engagement
Menurut Schaufeli dan Bakker (2008), karyawan yang memiliki tingkat
engagement tinggi memiliki ciri-ciri yang dikenal dengan istilah 3S (Say, Stay
dan Strive), dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Say
Karyawan yang secara konsisten berbicara positif mengenai organisasi
dimana ia bekerja kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan
juga kepada pelanggan.
2. Stay
Karyawan yang memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi
dimana ia bekerja dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain.
3. Strive
39
Karyawan yang memberikan waktu, tenaga dan inisiatif lebih untuk dapat
berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi.
2.3.3. Tingkatan Employee Engagement
Menurut Maslow (2013) dalam teorinya “Hierarchy of Needs”
mengungkapkan bahwa setiap individu harus memenuhi kebutuhan mendasar
mereka seperti rasa aman serta tempat untuk tinggal dan berlindung sebelum
akhirnya memiliki hasrat untuk tumbuh dan berkembang.
Gambar 2.2 Maslow’s Hierarchy of Employee Engagement
Sumber: Maslow, 2013
Berdasarkan teori Maslow (2013), terdapat 5 macam karyawan berdasarkan
tingkat engagement mereka terhadap organisasi:
1. Disengaged
Sama sekali tidak terhubung atau engaged dengan organisasi, tipe
karyawan ini hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan survival seperti
makanan, air, dan tempat tinggal. Karyawan ini adalah mereka yang hanya
40
memedulikan upah yang mereka peroleh tanpa bekerja demi tercapainya
visi dan misi organisasi.
2. Not Engaged
Tipe karyawan ini masih memiliki kebutuhan untuk mendapatkan stabilitas
dan perlindungan dari hukum serta peraturan yang berlaku dalam hidup
mereka. Ciri-ciri tipe karyawan ini dalam sebuah organisasi adalah mereka
yang sering meminta izin sakit melebihi jatah yang seharusnya dan
mengambil jatah lembur. Selain itu, karyawan ini juga tidak selalu
menyukai pekerjaan mereka dan bahkan masih mencari-cari pekerjaan lain
di luar organisasinya.
3. Almost Engaged
Tipe karyawan ini berada pada tahapan di mana mereka belum sepenuhnya
engaged dengan organisasi. Masih membutuhkan rasa cinta dan kasih
sayang, karyawan ini berada dalam sebuah breaking point antara loyalitas
dan lack of interest. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah karyawan
yang merasa bangga dengan pekerjaan mereka namun masih membuka
kemungkinan untuk bekerja di tempat lain. Hal ini mereka lakukan karena
mereka merasa bahwa pekerjaan mereka sekarang tidak memberikan
peluang untuk mengembangkan karir sesuai keinginan mereka.
4. Engaged
Merasa engaged dengan perusahaan, karyawan ini merupakan individu
yang memiliki hasrat untuk meraih hal-hal yang lebih besar dan berarti,
41
serta untuk mendapatkan rasa hormat dan kebebasan. Mereka adalah para
karyawan yang menyadari peran penting mereka dalam organisasi serta
selalu fokus dan sibuk dalam pekerjaan mereka.
5. Highly Engaged
Karyawan ini berada di tingkat teratas dalam teori “Hierarchy of Needs”
menurut Maslow. Telah memenuhi segala kebutuhan mendasar serta
menyadari peran pentingnya dalam organisasi, karyawan ini benar-benar
mencintai pekerjaannya dan bahkan berminat untuk menginspirasi orang-
orang lain di sekitarnya.
2.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement
Menurut Marciano (2010) ada 7 faktor yang mendorong terjadinya
employee engagement, yaitu:
a. Recognition (pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui
dan diapresiasi, pemberian reward diberikan berdasarkan kinerja dan para
atasan secara regular mengakui anggota timberhak mendapatkannya.
b. Empowerment (pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja,
sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam
pekerjaan, memberikan otonomi dan didorong untuk mengambil resiko.
c. Supportive feedback (umpan balik yang mendukung) berarti para atasan
memberikan feedback yang spesifik pada waktunya dalam suatu media
42
yang mendukung, tulus, dan konstruktif, bukan untuk membuat malu atau
menghukum.
d. Partnering (kemitraan), karyawan diperlakukan sebagai mitra bisnis dan
secara aktif berkolaborasi dalam pengambilan keputusan bisnis, menerima
15 informasi keuangan, mendapatkan keleluasaan dalam pengambilan
keputusan, atasan bertindak sebagai pendorong untuk pengembangan dan
pertumbuhan karyawan.
e. Expectations (harapan), dimana para atasan menjamin bahwa sasaran,
tujuan dan prioritas bisnis secara jelas ditetapkan dan dikomunikasikan,
karyawan mengetahui standar kinerja mereka yang dievaluasi dengan
bertanggung jawab.
f. Considerations (perhatian) dimana para atasan, manajer dan anggota tim
menunjukkan rasa tenggang, kepedulian dan perhatian satu sama lain, para
atasan secara aktif berusaha memahami pendapat dan perhatian karyawan
dan memahami serta mendukung saat karyawan mengalami permasalahan
pribadi.
g. Trust (rasa percaya), dimana para atasan menunjukkan kepercayaan dan
yakin dengan skill dan kemampuan karyawan, sebaliknya karyawan
percaya bahwa atasan mereka akan bekerja dengan tepat melalui mereka,
para atasan memenuhi janji dan komitmen mereka sehingga karyawan
mempercayai para atasan.
43
2.4. Work Environment
Work environment merupakan faktor kunci yang mempengaruhi komitmen
dan kepuasan karyawan terhadap suatu organisasi yang mengacu pada suasana
organisasi tempat dimana karyawan melakukan pekerjaannya (Hanaysha, 2016).
Tsai et al. (2015) berpendapat bahwa lingkungan kerja merupakan sekumpulan
knowledge sharing, motivasi, procedural justice, dan promosi yang dapat
mendorong karyawan untuk menghasilkan ide kreatif yang lebih banyak.
Selain itu, menurut Anitha J. dan Aruna (2016) work environment juga
sebagai suatu atmosfir dimana individu, situasi, dan kejadian dapat
mempengaruhi seseorang dalam bekerja. Kondisi fisik work environment dapat
menentukan jumlah ketidakhadiran, jumlah kesalahan (error rate), level inovasi
dan kolaborasi, dan seberapa lama karyawan akan bertahan di pekerjaan tersebut
(Nanzushi, 2015).
Sementara menurut Danish et al. (2013) work environment terkait dengan
iklim organisasi tertentu dalam tempat karyawan melakukan tugasnya. Work
environment yang baik didefinisikan dengan lingkungan yang terdiri dari semua
faktor mengenai pekerjaan, seperti: fasilitas untuk melakukan pekerjaan, tempat
kerja yang nyaman, aman, dan tidak ada kebisingan (Danish et al., 2013).
Lingkungan kerja terdiri dari dua dimensi yang lebih luas seperti pekerjaan
dan konteks. Pekerjaan mencakup semua karakteristik pekerjaan yang berbeda
seperti cara pekerjaan dilakukan dan diselesaikan, melibatkan tugas-tugas seperti
tugas kegiatan pelatihan, kontrol atas kegiatan yang berhubungan dengan
44
pekerjaan seseorang, rasa pencapaian dari pekerjaan, variasi dalam tugas dan
nilai intrinsik untuk sebuah tugas (Raziq et al., 2015).
Berdasarkan pengertian work environment yang sudah diuraikan diatas,
maka penulis menggunakan pengertian work environment terkait dengan iklim
organisasi tertentu dalam tempat karyawan melakukan tugasnya. Work
environment yang baik didefinisikan dengan lingkungan yang terdiri dari semua
faktor mengenai pekerjaan, seperti: fasilitas untuk melakukan pekerjaan, tempat
kerja yang nyaman, aman, dan tidak ada kebisingan (Danish et al., 2013)
2.4.1. Jenis Work Environment
Menurut Sedarmayanti (2011) work environment terbagi menjadi 2 (dua)
yaitu:
1. Lingkugan Kerja Fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat
di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
2. Lingkungan Kerja Non Fisik adalah semua keadaan yang terjadi berkaitan
dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan
sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.
Kesan yang nyaman akan lingkungan kerja dapat mengurangi rasa
kejenuhan dan kebosanan dalam bekerja. Kenyamanan tersebut tentunya akan
berdampak pada peningkatan motivasi dan menghasilkan kepuasan kerja
karyawan. Sebaliknya, ketidaknyamanan dari lingkungan kerja yang dialami oleh
45
karyawan bisa berakibat fatal yaitu menurunnya motivasi kerja karyawan itu
sendiri dan menghasilkan ketidakpuasan kerja karyawan yang berpengaruh
terhadap kinerja karyawan dalam bekerja.
2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Work Environment
Menurut Chandrasekar (2011), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
work environment, antara lain:
1. Space and Facilities Required doing the Job
Tata letak fisik kantor yang sangat penting dalam memaksimalkan
produktivitas. Faktor ini menunjukkan kepuasan karyawan melalui
ruang dan fasilitas dalam melakukan pekerjaan.
2. Relationship with Superiors at the Workplace
Atasan bertindak sebagai advokat bagi karyawan, atasan juga
mengumpulkan dan mendistribusikan sumber daya yang dibutuhkan
oleh karyawan untuk melakukan pekerjaanya dengan baik serta
memberikan dorongan positif untuk pekerjaan yang dilakukan dengan
baik.
3. Equality of Treatment at the Workplace
Memperlakukan karyawan secara setara di tempat kerja dapat
memotivasi karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan niat penuh di
lingkungan kerja mereka.
4. Communication System at the Workplace
46
Sistem komunikasi formal di tempat kerja meningkatkan kepercayaan
dan kesetiaan di antara karyawan dan mendorong kerja tim yang lebih
baik.
5. Environmental Factors are Conducive to Work
Perusahaan harus menyediakan tempat kerja yang ramah dan nyaman
untuk bekerja seperti suhu, penerangan, dan ventilasi.
2.5. Organizational Learning
Organizational learning menurut Hanaysha (2016) mempunyai sebuah
karakteristik utama yang dapat dilihat oleh kemampuan yang dimiliki
karyawannya dalam mencari atau membuat peluang untuk belajar dari sumber
daya yang bermanfaat. Setelah itu, menggunakan informasi tersebut untuk
menambah nilai bagi organisasi dan menukarnya dengan pengetahuan organisasi.
Mondy (2016) berpendapat bahwa organizational learning adalah suatu keadaan
dimana perusahaan menyadari pentingnya pelatihan dan pengembangan terkait
dengan kinerja berkelanjutan dan mengambil tindakan yang tepat. Menurut
Kreitner & Kinicki (2008), organizational learning merupakan proses secara
proaktif dalam menciptakan, memperoleh, dan menstransfer pengetahuan
ke seluruh organisasi.
Menurut Salarian, Baharmpour, & Habibi (2015), terkait organizational
learning digambarkan sebagai satu kegiatan organisasi yang meliputi perolehan
pengetahuan, berbagi informasi, menafsirkan informasi, yang memiliki pengaruh
47
sadar atau tidak sadar pada budaya organisasi yang positif. Organizational
learning didefinisikan sebagai proses dan perilaku, dan dengan demikian,
organizational learning dianggap sebagai entitas yang mendukung (Hanasya,
2016).
Dari beberapa pengertian organizational learning yang telah diuraikan
diatas, maka penulis menggunakan pengertian organizational learning menurut
Salarian, Baharmpour, & Habibi (2015), terkait organizational learning
digambarkan sebagai satu kegiatan organisasi yang meliputi perolehan
pengetahuan, berbagi informasi, menafsirkan informasi, yang memiliki pengaruh
sadar atau tidak sadar pada budaya organisasi yang positif
2.5.1. Disiplin Ilmu Organizational Learning
Menurut Peter Senge dalam bukunya yang berjudul “The Fifth Dicipline:
The Art and Practice of The Learning Organization” menyatakan bahwa ada 5
disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan oleh organisasi, diantaranya adalah:
1. Personal Mastery
Organisasi hanya dapat berkembang apabila para anggota yang berada di
dalamnya memiliki keinginanan dan kemampuan untuk terus belajar
dengan disiplin penguasaan pribadi berarti individu di dalam organisasi
terus memfokuskan diri untuk meningkatkan kemampuan dan kapabilitas
diri dengan belajar dan memfokuskan energi untuk terus menerus
memperdalam visi pribadi.
2. Mental Model
48
Mental model merupakan suatu disiplin yang menggambarkan proses
penilaian pribadi berdasarkan asumsi dan generaliasai yang ditangkap yang
dapat mempengaruhi individu dalam melakukan sebuah tindakan dan
pengambilan keputusan. Disiplin mental model ini melatih individu untuk
dapat mengkomunikasikan pemikiran atau asumsi secara efektif sehingga
dapat mempengaruhi orang lain.
3. Shared Vision
Disiplin ini menggambarkan peranan seorang pemimpin sebagai penentu
arah organisai dengan membagi tujuan organisasi dengan cara
mengkomunikasikannya kepada seluruh anggota organisasi yang ada di
dalamnya.
4. Team Learning
Dengan adanya proses pembelajaran secara bersama-sama, organisasi telah
mempererat ikatan bagi seluruh anggota didalamnya dengan melakukan
dialog dan mentransfer ilmu yang dimiliki secara perseorangan agar para
anggota dapat terus meningkatkan kompetensinya masing-masing.
5. System Thinking
System thinking merupakan landasan terpenting yang dapat
mengintegerasikan setiap individu, kegiatan, serta disiplin yang ada di
dalam organisasi karena tanpa mengaplikasikan system thinking, individu
di dalam organisasi hanya melihat segala sesuatu yang ada secara parsial
49
tanpa melihat dengan cara keseluruhan, sehingga individu tidak dapat
melihat sebuah organisasi sebagai sebuah proses yang dinamis.
2.5.2. Proses Organizational Learning
Menurut DiBella & Nevis (1998), Huber, (1991) dalam Loon Hoe &
McShane (2010) menyatakan bahwa ada tiga proses learning organization yaitu:
1. Knowledge Acquisition
Knowledge acquisition adalah pengembangan atau penciptaan
keterampilan, wawasan dan hubungan termasuk tentang bagaimana
pengetahuan disatukan.
2. Knowledge Dissemination
Knowledge dissemination adalah proses dimana pengetahuan dibagikan
dan disebarkan keseluruh organisasi. Misalnya staf pemasaran
menjadwalkan pertemuan rutin untuk membahas kebutuhan masa depan
pelanggan dengan departemen.
3. Knowledge Use
Knowledge use adalah integrasi pembelajaran sehingga pengetahuan
tersedia secara luas dan dapat digeneralisasi untuk situasi yang ada dan
yang baru. Hal ini mengacu pada cara dimana pengetahuan diterapkan oleh
anggota organisasi untuk lebih memahami bidang pekerjaan mereka
sehingga dapat membuat keputusan manajerial yang terinformasi dan
menerapkan perubahan.
50
2.5.3. Fungsi Utama Organizational Learning
Menurut Kinicki dan William (2018) terdapat 3 fungsi utama dalam
meningkatkan organizational learning yaitu sebagai berikut:
a. Membangun komitmen untuk belajar
Seorang manajer harus mampu menanamkan ke dalam diri setiap
karyawannya mengenai komitmen intelektual dan emosional terhadap ide
belajar dengan cara adalah memimpin, mempromosikannya secara terbuka,
memberikan penghargaan atau simbol dan sebagainya.
b. Bekerja untuk menghasilkan ide beserta dampak yang ditimbulkan
Seorang manajer harus mampu mencoba menghasilkan ide yang dapat
menambah nilai bagi pelanggan, karyawan maupun shareholders dengan
meningkatkan kompetensi karyawan melalui pelatihan, membuat
eksperimen dan terlibat dalam kegiatan kepemimpinan lainnya.
c. Mampu mengurangi hambatan – hambatan yang terjadi
Seorang manajer harus mampu mengurangi hambatan – hambatan untuk
belajar antara karyawan dan di dalam organisasi. Beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh manajer adalah meningkatkan komunikasi, mengurangi
konflik, mempromosikan kerja team, memberikan reward dan sebagainya
2.5.4. Rancangan Organizational Learning
Menurut Dessler (2017) agar pembelajaran organisasi menjadi lebih efektif
dapat membuat program pelatihan dan pengembangan dengan membuat suatu
rancangan terlebih dahulu yaitu sebagai berikut:
51
a. Menentukan kebutuhan dari karyawannya
b. Membuat design program semenarik mungkin sehingga karyawan tidak
merasa jenuh
c. Melakukan simulasi terlebih dahulu
d. Mengimplementasikan program tersebut kepada karyawan dengan
memberikan psikotes untuk mengetahui kecocokan program
e. Melakukan evaluasi
2.6. Organizational Commitment
Menurut Robbins (2013) menjelaskan bahwa organizational commitment
adalah bagaimana seorang karyawan menjelaskan pekerjaannya dengan elemen-
elemen organisasi beserta tujuannya dan juga memiliki keinginan untuk
mempertahankan posisinya dalam organisasi. Keterlibatan seseorang yang tinggi
dalam suatu pekerjaan berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu,
sementara komitmen organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang
merekrut individu tersebut (Robbins, 2013)
Seorang karyawan yang berkomitmen menunjukkan kesetiaan, psikologis,
keterikatan pada pekerjaan dan mengidentifikasi dengan tujuan organisasi (Bulut
& Culha, 2010).
Organizational commitment didefinisikan sebagai hal penting terutama
untuk manajemen organisasi yang terkait dengan kepuasan kerja, keduanya
52
terkait langsung dengan profitabilitas organisasi dan daya saing yang unggul
(Abdullah & Ramay, 2012). Elemen dasar commitment dalam berbagai
penjelasan berkaitan dengan keinginan karyawan tetap berada di organisasi
mereka atau keengganan mereka untuk meninggalkan organisasi dengan alasan
memanfaatkan untuk kepentingan pribadi (Randeree & Chaudhry, 2012).
Dari beberapa pengertian organizational commitment yang telah diuraikan
diatas, penulis menggunakan pengertian organizational commitment menurut
Robbins (2013) yang menjelaskan bahwa organizational commitment adalah
bagaimana seorang karyawan menjelaskan pekerjaannya dengan elemen-elemen
organisasi beserta tujuannya dan juga memiliki keinginan untuk
mempertahankan posisinya dalam organisasi. Keterlibatan seseorang yang tinggi
dalam suatu pekerjaan berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu,
sementara komitmen organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang
merekrut individu tersebut (Robbins, 2013).
2.6.1. Komponen Organizational Commitment
Kemudian, Meyer dan Allen (1991) dalam Joung et al., (2015), mengulas
teori organizational commitment dan konsep organizational commitment
menggunakan tiga komponen berbeda:
a. Affcetive Commitment (Ikatan afektif dengan organisasi)
b. Continuance Commitment (Biaya yang dirasakan terkait dengan
meninggalkan organisasi)
c. Normative Commitment (Kewajiban untuk tetap bersama organisasi)
53
2.6.2. Faktor yang Mempengaruhi Organizational Commitment
Dalam suatu perusahaan, tentu banyak faktor yang mempengaruhi
organizational commitment. Menurut Aydogdu & Asikgil (2011), terdapat
faktorfaktor yang mempengaruhi organizational commitment dalam suatu
perusahaan, antara lain:
1. Personal Factor
Dipengaruhi oleh dua jenis variabel, yaitu variabel demografis (jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, ras dan sifat kepribadian), dan variabel
disposisi (kepribadian, nilai dan minat).
2. Role Related Factors
Dipengaruhi oleh ambiguitas peran (ketidakjelasan peran dalam melakukan
pekerjaan) sehingga, hal ini berdampak pada tingkat organizational
commitment.
3. Work Experiences
Dari penelitian sebelumnya, mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh
korelasi yang kuat dan konsisten terhadap employee commitment.
4. Cultural Factors
Dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti usia, jenis kelamin, masa
kerja dan pendidikan. Karakteristik tersebut sangat signifikan dalam
menentukan organizational commitment.
54
2.7. Model dan Hipotesis Penelitian
2.7.1. Model Penelitian
Gambar 2.3 Model Hipotesis Penelitian
Sumber: Jalal Hanaysha “Testing the Effects of Employee Engagement,
Work Environment, and Organizational Learning on Organizational
Commitment”, 2016
H1: Employee Engagement berpengaruh positif terhadap Organizational
Commitment
H2: Work Environment berpengaruh positif terhadap Organizational
Commitment
H3: Organizational Learning berpengaruh positif terhadap Organizational
Commitment
55
2.7.2. Pengembangan Hipotesis Penelitian
2.7.2.1. Pengaruh Employee Engagement Terhadap Organizational Commitment
Employee engagement dianggap sebagai jenis sikap terkait pekerjaan
yang positif dan memuaskan yang dicirikan oleh tiga dimensi, yaitu
semangat, daya serap, dan dedikasi (Schaufeli dan Bakker, 2004). Menurut
Harter et al. (2002), organisasi perlu melibatkan karyawan mereka, karena
telah dibuktikan bahwa organisasi dengan karyawan yang memiliki
employee engagement, satisfaction dan loyalitas tinggi akan lebih produktif
dan lebih menguntungkan daripada karyawan yang memiliki tingkat
employee engagement rendah.
Saks (2006) membedakan antara dua jenis keterlibatan karyawan:
keterlibatan kerja dan keterlibatan organisasi. Keterlibatan kerja mengacu
pada sejauh mana seseorang benar-benar terpesona dengan kinerja peran
pekerjaannya sendiri, sedangkan keterikatan organisasi mencerminkan
sejauh mana seorang individu secara psikologis hadir sebagai anggota
organisasi.
Individu yang memiliki tingkat engagement tinggi mampu
mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan pekerjaan mereka dan pekerjaan
merupakan sumber motivasi bagi mereka. Mereka cenderung bekerja keras
dan lebih produktif daripada yang lain dan lebih cenderung menghasilkan
apa yang diinginkan pelanggan dan organisasi mereka.
56
Hasil dari sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat
penelitian yang menunjukkan bahwa employee engagement yang rendah
tidak hanya berdampak pada kinerja tetapi juga meningkatkan turnover
karyawan, mengurangi kepuasan layanan pelanggan dan meningkatkan
tingkat absensi (Cataldo, 2011).
Schaufeli et al. (2002) menyatakan bahwa keterlibatan kerja sebagai
keadaan pikiran yang ditandai dengan kekuatan (energi dan ketahanan
mental), dedikasi (merasa bangga dengan pekerjaan seseorang dan
terinspirasi olehnya) dan penyerapan (perasaan puas saat melakukan
pekerjaan).
Sebuah organisasi dengan karyawan yang terlibat dan berkomitmen
akan menjadikan tempat kerja pilihan karyawan yang menghasilkan
peningkatan kinerja organisasi. Keterlibatan adalah aspirasi penting untuk
bekerja dalam kesadaran terbaik di tempat kerja sedangkan, keinginan
seorang pekerja untuk tetap sebagai sesama perhatian terjadi melalui
komitmen (Gbadamosi, 2003).
Dari seluruh penjelasan penelitian ini sesuai dengan penelitian terhadulu
menurut Hanaysha (2016), Albdour & Altarawneh (2014), Dajani (2015),
Shoko & Zinyemba (2014), dan Rameshkumar (2019) maka dapat
disesuaikan bahwa employee enagement berpengaruh positif terhadap
organizational commitment, sehingga dapat disajikan dalam bentuk hipotesis
menjadi:
57
H1: Employee Engagement berpengaruh positif terhadap Organizational
Commitment
2.7.2.2. Pengaruh Work Environment Terhadap Organizational Commitment
Saat ini sebagian besar organisasi sudah memperhatikan kebutuhan
karyawan dengan berusaha memberikan lingkungan kerja yang positif
sehingga karyawan akan senang dan puas (Mehboob dan Bhutto, 2012).
Menurut Yesufu (1984) dalam Danish et al., (2013) lingkungan kerja
yang fasilitatif dan tepat meningkatkan komitmen dan tingkat produktivitas
karyawan, dimana organisasi harus menyediakan fasilitas pertolongan
pertama, toilet bersih, kamar kecil, air, dan pakaian yang aman untuk
karyawan mereka.
Beberapa faktor work environment adalah: 1) Ruang dan fasilitas yang
dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan, 2) Hubungan dengan atasan di
tempat kerja, 3) Kesetaraan perlakuan di tempat kerja, 4) Sistem komunikasi
di tempat kerja, 5) Pelaku lingkungan kondusif untuk bekerja , 6) Prosedur
untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya (Chandrasekar, 2010).
Pitaloka dan Paramita (2014) menemukan bahwa lingkungan kerja yang
kondusif berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan komitmen
organisasi. Haggins (2011) juga menegaskan bahwa lingkungan kerja
memainkan peran penting dalam mempengaruhi organisasi komitmen.
58
Sejalan dengan Giffords (2009), lingkungan kerja merupakan salah satu
kontributor utama bagi organisasi komitmen.
Dari seluruh penjelasan penelitian ini sesuai dengan penelitian terhadulu
menurut Hanaysha (2016), Danish et, al., (2013), dan Pitaloka dan Paramita
(2014) maka dapat disesuaikan bahwa work environment berpengaruh positif
terhadap organizational commitment, sehingga dapat disajikan dalam bentuk
hipotesis menjadi:
H2: Work Environment berpengaruh positif terhadap Organizational
Commitment
2.7.2.3. Pengaruh Organizational Learning Terhadap Organizational
Commitment
Menurut Watkins dan Marsick (1996) dalam Raduan et al., (2011)
pembelajaran dapat meningkatkan kapabilitas intelektual karyawan karena
organisasi seperti itu pada akhirnya akan menjadi lebih baik dengan
memiliki karyawan yang terpelajar. Organisasi dengan keselarasan terbesar
antara tujuan organisasi dan individu adalah organisasi yang peka terhadap
individu dan memberi mereka sumber daya dan peluang untuk belajar dan
berprestasi (Rowden dan Conine, 2005). Organisasi yang memprioritaskan
pembelajaran, pendidikan, dan pengembangan akan terbayar melalui
profitabilitas yang lebih besar dan peningkatan kepuasan kerja karyawan
(Leslie et al., 1998).
59
Menurut Garvin (1993) dalam Raduan et al. (2011) konsensus umum
dalam literatur organizational learning adalah bahwa pembelajaran di
tingkat organisasi merupakan prasyarat untuk perubahan dan kinerja
organisasi yang sukses.
Menurut Ahmad dan Marinah (2013) menjadi organisasi pembelajaran
dan meningkatkan program pelatihan adalah beberapa faktor vital yang
diperlukan untuk mengembangkan pembelajaran, meningkatkan manajemen
pengetahuan, meningkatkan individu dan organisasi kinerja, dan
mempertahankan keunggulan kompetitif.
Marquardt (1996) dalam Hendri (2019) menjelaskan bahwa
pembelajaran organisasi mengacu pada suatu kegiatan yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan kapasitas intelektual dan produktif anggota staf,
dan itu dapat dicapai melalui komitmen organisasi dan kesempatan untuk
membuat konstan perbaikan dan memiliki enam dimensi pembelajaran
organisasi yang salah satunya adalah kemampuan untuk berbagi kesamaan
visi atau kemampuan semua anggota organisasi fokus pada satu visi, yaitu
mengembangkan komitmen sejati. Pernyataan ini merupakan bukti yang
menunjukkan hubungan antara organizational learning dengan
organizational commitment.
Menurut Khandekar & Sharma (2006) menyatakan bahwa pembelajaran
organisasi adalah proses memperoleh pengetahuan individu dan kelompok
yang ingin menerapkannya dalam bekerja dan mengambil keputusan.
60
Pembelajaran organisasi mampu memperkuat kemampuan organisasi untuk
mempromosikan dan menerapkan pengetahuan yang diperlukan untuk
beradaptasi dengan kondisi lingkungan eksternal dari suatu organisasi (Hoe
dan MeShane, 2010).
Dari seluruh penjelasan penelitian ini sesuai dengan penelitian terhadulu
menurut Raduan et al., (2011), Hanaysha (2016), Hendri (2019) maka dapat
disesuaikan bahwa organizational learning berpengaruh positif terhadap
organizational commitment, sehingga dapat disajikan dalam bentuk hipotesis
menjadi:
H3: Organizational Learning berpengaruh positif terhadap Organizational
Commitment
61
2.8. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Publikasi Judul Penelitian Temuan Manfaat Penelitian
1.
Jalal Hanaysha
(2016)
Science Direct
Testing the Effects of Employee
Engagement, Work
Environment, and
Organizational Learning on
Organizational Commitment
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
employee engagement
berpengaruh positif
signifikan terhadap
organizational commitment.
Ditemukan juga bahwa
work environment memiliki
pengaruh positif yang
signifikan terhadap
organizational commitment.
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
dan sebagai jurnal
utama penelitian
2.
Ali Abbaas
Albdour &
Ikhlas I.
Altarawneh
(2014)
Research Gate
Employee Engagement and
Organizational Commitment:
Evidence from Jordan
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
employee engagement dan
organizational engagement
yang tinggi akan
berpengaruh pada tingkat
organizational commitment
yang tinggi juga.
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
employee engagement
berpengaruh positif
terhadap organizational
62
commitment.
3.
Maha Ahmed
Zaki Dajani
(2015)
Science and
Education
Publishing
The Impact of Employee
Engagement on Job
Performance and
Organisational Commitment in
the Egyptian Banking Sector
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
employee engagement
memiliki pengaruh terhadap
organizational commitment.
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
employee engagement
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
4.
Melody Shoko
& Alice Z
Zinyemba
(2014)
International
Journal of Advanced
Research:
Management and
Social Sciences
Impact of Employee
Engagement on Organizational
Commitment in National
Institutions of Higher Learning
in Zimbabwe
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
terdapat korelasi positif
antara employee
engagement dan
organizational commitment.
Employee engagement yang
tinggi cenderung memiliki
tingkat organizational
commitment yang tinggi
juga.
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
employee engagement
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
5.
M.
Rameshkumar
(2019)
Research Gate
Employee Engagement as an
Antecedent of Organizational
Commitment – A Study on
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
63
Indian Seafaring Officers antara employee
engagement terhadap
affective commitment dan
normative commitment
employee engagement
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
6.
Endang
Pitaloka &
Irma Paramita
Sofia (2014)
Research Gate
The Affect of Work
Environment, Job
Satisfaction, Organizational
Commitment on OCB of
Internal Auditors
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa work
environment berpengaruh
pada organizational
commitment.
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan work
environment
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
7.
Rizwan Qaiser
Danish, Sidra
Ramzan &
Farid Ahmad
(2013)
Research Gate
Effect of Perceived
Organizational Support and
Work Environment on
Organizational Commitment;
Mediating Role of Self
Monitoring
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa work
environment memiliki
hubungan yang signifikan
dan positif terhadap
organizational commitment
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan work
environment
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
8.
Raduan Che
Rose, Naresh
Kumar & Ong
Gua Pak
The Journal of
Applied Business
Research
The Effect Of Organizational
Learning On Organizational
Commitment, Job Satisfaction
And Work Performance
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
organizational learning
memiliki hubungan positif
terhadap organizational
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
organizational learning
64
(2011) commitment, job
satisfaction, dan work
performance.
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
9.
La Hatani,
Muh. Hikbal
Bulang,
Rahmat
Madjid,
Murdjani
Kamaluddin,
Nursaban
Rommy, A.S
Aidin Hudani,
La Ode
Kalimin dan
Zaludin (2018)
Research Journal of
Applied Sciences
Work Environment and
Organizational Learning
Towards Employee
Performance: The Mediating
Role of Organizational
Commitment
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
organizational learning
yang meningkat secara
positif dan signifikan
berkontribusi pada
peningkatan organizational
commitment dan employee
performance.
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
organizational learning
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.
10.
Muhammad
Irfani Hendri
(2019)
Emerarld Insight
The mediation effect of Job
Satisfaction and
Organizational
Commitment on the
Organizational
Learning effect of the
Employee Performance
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
organizational learning
memiliki pengaruh yang
signifikan dan positif
terhadap organizational
commitment
Jurnal ini digunakan
sebagai acuan dari
pengembangan hipotesis
yang menunjukan
organizational learning
berpengaruh positif
terhadap organizational
commitment.