bab. ii tinjauan pustaka 2.1 landasan teori dan konsep
TRANSCRIPT
60
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori dan Konsep Ekonomi.
Aceng (2011), menjelaskan pendapat (Palmquist, 2000) tentang analisis yakni
merupakan bentuk kegiatan logika yang mencari kebenaran konkret suatu proposisi,
dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma lugasnya (yang pada
dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya. Jika analisis dikategorikan sebagai
metode berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan dan kebijaksanaan, maka tentu di
dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang digunakan
untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan atau hasil pemikiran. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap entitas yang dikandung dalam ungkapan
pemikiran dan perasaan manusia. Aceng (2011) menjelaskan teori adalah sesuatu dasar
logis mengandung kebenaran serta memiliki kesesuaian arti rasional kepada fakta-fakta
yang sudah ada dan juga telah senada dengan keputusan lainnya, sehingga telah dapat
diakui bersama kebenarannya tetapi semua itu tergantung kepada berfaedah atau
tidaknya teori tersebut bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu teori justru
membantu dalam me-reproduksi hipotesis yang baru kepada lahirnya suatu konsep
yang memiliki nilai dan unsur kebenaran lebih sempurna didalam realitas kehidupan
umat manusia. Beberapa teori ekonomi dan konsep ekonomi yang dipergunakan pada
studi ini adalah sebagai berikut.
2.1.1. Teori Fungsi Produksi.
Salvatore (1992), menjelaskan fungsi produksi Cobb Douglas menyatakan
produksi adalah suatu kegiatan dalam mengubah input menjadi output. Fungsi produksi
adalah hubungan diantara faktor produksi yang digunakan sebagai input dalam proses
61
produksi dengan jumlah output yang dihasilkan pada suatu waktu dan dengan tingkat
teknologi tertentu atau menunjukkan sifat perkaitan antara faktor produksi dan tingkat
produksi yang diciptakan. Faktor produksi adalah variabel sebagai input yang
jumlahnya akan berubah jika output produksi berubah seperti bahan baku, pajak dan
lainnya. Variabel yang umumnya dinyatakan mempengaruhi dari faktor produksi
diantaranya adalah ;
1. Tingkat upah. (W).
2. Harga bahan baku (S).
3. Kemajuan teknologi (T).
4. Tingkat suku bunga (R).
Sehingga secara matematis prilaku produsen pada model Cob Douglas adalah ;
Qs = f ( W + S + T + R ) ………………………………………. (1)
Dimana Qs = Output produksi, atau dalam persamaan regresi dituliskan sebagai ;
Qs = β0 + β1 W + β2 S + β3 T + β4 R + μ…………………………… (2)
Persamaan ini memberi arti setiap pertambahan input menambah output yang sama,
dimana β0 – β4 adalah konstanta elastisitas. Untuk persamaan fungsi produksi non
linear pada model Cob Douglas adalah :
Qs = α + W β1 + S β2 + T β3 + R β4 + μ ……………………..………. (3)
Persamaan ini memberi arti setiap pertambahan input, akan menambah output
yang berkelipatan sesuai dengan kelipatan dari fungsi tersebut. Biaya produksi
dicerminkan oleh jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mendapat sejumlah input
tertentu. Biaya produksi total (total cost) merupakan jumlah biaya tetap total (total fixed
cost) dan biaya variabel total (total variable cost), dalam persamaan matematika
dituliskan ; ( total cost = total fixed cost + total variable cost ).
62
Jangka waktu produksi dapat dibedakan menjadi ; jangka waktu pendek, dimana
perusahaan tidak dapat menambah jumlah faktor produksi yang dianggap tetap seperti ;
mesin, bangunan dan lainnya yang dapat mengalami perubahan adalah waktu kerja,
jumlah buruh, bahan bakar dan sebagainya. Untuk jangka waktu panjang semua input
atau faktor produksi variabel dapat diubah dimana faktor produksi dalam jangka
panjang tidak terdapat input yang tetap. Baik pada jangka pendek maupun jangka
panjang, laba operasional perusahaan ditentukan oleh dua item, yaitu penerimaan (total
revenue) dan biaya (total cost), dimana selisihnya dikatakan sebagai laba bagi
perusahaan. Jadi berdasarkan pemikiran ini laba maksimum perusahaan ditentukan oleh
perubahan penerimaan dan perubahan biaya dengan syarat perubahan laba sama dengan
nol atau turun pertama dari persamaan laba sama dengan nol. sehingga dalam model
matematis dinyatakan sebagai ;
∆ / ∆Y= ∆TR/∆Y – ∆TC/∆Y = 0
MR = ∆TR/∆Y maka MC = ∆TC/∆Y
Jika 0 = MR – MC maka M R = MC.
Fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES) adalah fungsi
produksi neoklasik yang sifatnya konstan dan menampilkan elastisitas substitusi hal ini
menjelaskan properti dari beberapa fungsi produksi dan fungsi utilitas. Dengan kata
lain, teknologi produksi memiliki persentase perubahan konstan dalam faktor secara
proporsi (misalnya luas lahan, harga barang lain) yang disebabkan oleh perubahan
persentase pada tingkat marjinal substitusi teknis dua atau lebih, jenis masukan
produktif menjadi kuantitas agregat, hal ini telah menunjukkan Fungsi agregator
Constant Elasticity of Substitution, Hall R, (1992). Fungsi produksi Constant Elasticity
of Substitution diperkenalkan oleh Solow dan kemudian dipopulerkan oleh Arrow,
63
Chenery, Minhas. Model Constant Elasticity of Substitution, yakni sebagai berikut ;
Q = F.{ a . K r + (1 - a) . L r } 1/r
Dimana Q = Output , F = Faktor produktivitas,
a = Share parameter, 1/r = elastitas.
Bentuk umum dari fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution ( CES ) adalah ;
N (s-1)/1 s/(s-1) Q = F . Σ ai 1/s X i i=1
Menurut Hal R. (1992) Fungsi produksi CES menjelaskan perubahan diantara
kombinasi modal dan tenaga kerja. Fungsi produksi Leontief, linear dan Cobb-Douglas
adalah kasus khusus dari fungsi produksi CES. Artinya, dalam batas sebagai
pendekatan s = 1, didapatkan fungsi Cobb-Douglas; dimana s, pendekatan positif
sampai tak terhingga didapatkan (substitusi sempurna) fungsi linear, dan untuk s,
mendekati 0, disini didapatkan fungsi Leontief (sempurna melengkapi fungsi).
2.1.2. Fungsi Penawaran.
Menurut Andindita (2008), Hubungan diantara harga produk dengan jumlah
komoditas yang ditawarkan disebut sebagai fungsi penawaran, secara matematis di -
formulasi sebagai ; Qsx = f ( Px )
dimana ; Qsx = Jumlah barang x yang ditawarkan dipasar.
Px = harga produk atau komoditas x dan f adalah fungsi dari.
Asumsinya adalah faktor lain dalam keadaan ceteris paribus maka hubungan dalam
persamaan fungsional tersebut dapat dianalisis menggunakan metode kuadrat terkecil.
Dalam teori ekonomi penyusunan fungsi penawaran dapat diperoleh melalui dua
pendekatan yakni statis dan dinamis, dimana pendekatan statis dapat diperoleh dengan
dua cara yakni ; Hubungan teknis produksi dan hubungan tingkah laku atau pendekatan
64
biaya. Sebagai ilustrasi untuk hubungan teknis produksi ; misalnya diketahui fungsi
produksi Q = f ( X ) dimana Q = a + bx + cx2 maka dapat dicari nilai dari produk fisik-
marginal sebagai ; MPPx = δQ = bx* + 2 cx = Px δx Pq
tentukan nilai x..,
maka fungsi penawaran diperoleh dari nilai Q* yaitu S= Q* = a + bx* + 2 cx*2 Fungsi ini menyatakan penawaran perusahaan terjadi pada saat memaksimumkan profit karena nilai x* yang terjadi pada saat keuntungan maksimum. Andindita (2008). Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi pergeseran fungsi
penawaran statis ( supply shifters) adalah ;
1. Perubahan harga input. 6.Kuantitas barang tersebut.
2. Perubahan teknologi. 7.Cuaca / iklim.
3. Harga komoditi lain yang berhubungan ( substitute product ).
4. Perubahan harga produk gabungan ( joint product ).
5. Ramalan penjual pada harga dimasa yang akan datang.
Menurut Andindita (2008) beberapa faktor menentukan perubahan respons
penawaran dalam bidang pertanian melalui pendekatan dinamis diantaranya adalah ;
1. faktor ekonomi ; seperti harga , jumlah investasi dan faktor input.
2. faktor ekologi ; yaitu, produktivitas. Luas lahan, iklim
3. faktor teknologi ; economics scale, mesin-mesin, bibit (varities)
4. faktor institutional : peraturan dan program pemerintah, serta institusi.
5. ketidak pastian : misalnya resiko dan ekspektasi.
Andindita (2008) menyampaikan dalam penyusunan model fungsi penawaran
yang terjadi dalam berbagai hubungan adalah munculnya selang waktu (time lag)
dimana hubungan antara variabel yang terjadi akibat adanya respons yang tidak
sempurna dari suatu variabel sehingga menimbulkan ekspektasi tersendiri atas variabel
65
tersebut. Pendugaan dengan variabel demikian dikatakan sebagai model penawaran
dinamis. Beberapa model studi untuk penawaran dinamis yakni ;
1. Naive Model, Nerlove (1958), mengembangkan model bahwa para petani
mempunyai ekspektasi didalam jangka panjang dimana secara sederhana dalam
fungsi penawaran, ekspektasi tersebut adalah : E (Q) = Q* sebagai ekspektasi
jumlah ditawarkan dan E(P)=P* sebagai ekspektasi harga, misal fungsi penawaran :
Qt*=bo +b1 Pt* + b2 Zt + Ut …………………………………………….… (1)
Notasi, Qt* = ekspektasi jumlah yang ditawarkan Pt* = ekspektasi harga
mendatang Z = variabel lainnya. Ut = kesalahan regresi dan bi = koefisien regresi.
Dimana ekspektasi harga komoditi pertanian diasumsikan sama dengan harga
priode sebelumnya atau ,E(P) = Pt*=P t-1.…………………………………… (2)
Substitusikan persamaan (2) kepada (1) Sehingga fungsi penawaran menjadi ;
E(Qt) = bo +b1 p t-1 + b2 Zt +U ……………………………………………. (3)
2. Distributed Lag Model, model ini merupakan aplikasi dari model cobweb, dimana
efek dari variabel ekonomi adalah efek yang terjadi karena adanya (lagged).
Dengan memasukan variabel time lag persamaan (2), maka ekspektasi harga pada
model ini diperoleh dari priode t-1 hingga t-n yang dituliskan sebagai berikut ;
Pt*= β Pt +(1 – β) P* t-1 atau Pt* = bo Pt + b1 Pt* t-1 …………………….. (4)
Dimana nilai pengaruh dari variabel sebelumnya menjadi lebih kecil sehingga nilai
menjadi bo > b1…. > bn …………………………………………………… (5)
Jika disubstitusikan persamaan (5) kepada (4) diperoleh,
Pt* = β Pt + β (1 – β) P t-1 + β (1 – β)2 P t-2 + …………………………….. (6)
Sehingga diperoleh persamaan ; α Pt* = β Σ ( 1- β )n P t-1; 0 < β < 1 ………………………………………….. (7) n-1
66
Pt* diperoleh dari persamaan (7) dapat disubstitusi kepersamaan (3) sehingga ;
Qt =bo+ b1 [ β pt + β (1- β) P t-1 + β (1- β) 2 P t-2]………………………… (8)
3. Polynomial distributed lag, dimana bobot dari lag dapat diaproksimasi melalui
fungsi yang panjang dan fungsi tersebut dapat diaproksimasi melalui Polynomial
Misalnya dari persamaan (4) dimana dimana nilai b1 adalah fungsi Polynomial,
sehingga dapat dituliskan sebagai ;
b1 = F9i) = ao +a1c+ a2c2 ….. + ancn untuk c = 1,2…k ………………….. (9)
dengan asumsi bahwa derajat Polynomial (n) dan maksimum panjang lag (k) maka
dapat dituliskan Polynomial distributed lag (n,k) maka nilai b1 pada derajat
Polynomial n=2 menjadi bo = ao, b1= ao + a1 +a2, b2 = ao+ 2a1 +4a2, b3 = ao
+3a1 +9a2, b4 =a0 +4a1 +16a2 distribusikan persamaan (4) maka diperoleh ;
Pt* = a0 pt-1+ (a0 + a1+ a2 ) Pt-2 + (ao+ 2a1 + 4a2) pt-3 + (a0 +3a1 +9a2) pt-4 +
(a0+4a1 +16 a2) Pt-4……………………………………………………….. (10)
2.1.3 Konsep Permintaan Turunan ( derivative demand concept ).
Menurut Pappas dan Hirschey (1995) terdapat dua model dasar untuk
permintaan yaitu permintaan langsung dikenal sebagai teori perilaku konsumen terkait
dengan permintaan langsung untuk produk barang dan jasa sebagai konsumsi pribadi.
Kemudian permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam
pembuatan barang dan jasa diminta atau distribusi dari produk lainnya. Sedangkan
fungsi permintaan adalah hubungan diantara jumlah barang diminta (Q) dan variabel
yang mempengaruhinya dimana kurva permintaan adalah hubungan yang
menunjukkan diantara jumlah barang dan harga barang diminta hal ini dalam model
matematis : Qx = f (Px) atau, Qx = a – Px
67
Dengan asumsi variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus ) maka permintaan
terhadap suatu barang hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut. Variabel-variabel
yang berpengaruh terhadap permintaan suatu barang, diantaranya adalah :
1. Harga barang yang diminta ( the price of goods. X = Px ). Permintaan merupakan
fungsi dari harga suatu barang ditawarkan. Dimana jika harga dari barang tersebut
naik, maka permintaan terhadap barang tersebut menjadi turun.
2. Harga barang lain ( the price of related goods or services = Pr ), dengan kondisi ;
a. Hubungan barang substitusi, yaitu pengaruh harga substitusi terhadap barang
tersebut. Dimana jika terjadi kenaikan harga barang pokok maka permintaan
terhadap barang substitusi akan naik, disebabkan harga barang substitusi lebih
mahal dari barang pokok.
b. Hubungan barang komplementer. Apabila harga barang komplementer turun
maka jumlah permintaan terhadap barang komplementer akan naik sehingga
berakibat permintaan terhadap barang pokok juga naik.
3. Faktor lain, yang terkait dengan permintaan terhadap suatu barang antara lain,
kebijakan Pemerintah, iklim / cuaca, tingkat pendapatan, selera dan lainnya.
Faktor disebutkan diatas dijadikan dasar, oleh Pappas dan Hirschey (1995) maka
permintaan suatu barang dan jasa dalam model permintaan linier sebagai berikut :
Qdx = f ( Px - Pr + O )
notasinya adalah ,
Qdx = Kuantitas permintaan atas suatu barang.
Px = Harga barang tersebut.
Pr = Harga barang produk turunan.
O = Faktor spesifik lainnya.
68
Selanjutnya permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh banyak variabel. Setiap
variabel memberi pengaruh berbeda terhadap permintaan suatu barang atau jasa.
Variabel harga produk turunan memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan
konsumen sedangkan harga barang lainnya (substitusi) berpengaruh positif.
2.1.4 Fungsi Permintaan.
Menurut Hartono (2002), Bahwa konsumen dalam menentukan pilihan komoditi
yang akan dikonsumsi serta dalam upaya memaksimumkan, kepuasan yang disebut
preference set, berupa fungsi utility dan dalam memaksimumkan kepuasan yang
disebut preference set berupa fungsi utility dan masih dalam rangka memaksimumkan
kepuasan tersebut untuk menentukan pilihan (choice) konsumen dihadapkan kepada
kendala (constraint set) yang berupa kendala tingkat pendapatan. Hal ini dimaksud
dapat ditunjukkan oleh gambar 2.1 sebagai berikut ;
Gambar : 2.1 Proses Perilaku Konsumen. Sumber : Hartono (2002).
Hartono (2002) menjelaskan pilihan konsumen akan permintaan barang
menunjukkan perilaku konsumen, jika konsumen dapat menjadi rasional dalam
memilih, maka dapat dibentuk suatu fungsi permintaan untuk itu perlu diberikan asumsi
a. Setiap konsumen memiliki utility yaitu U = f (X1 , Y1,..Yn )
Set Pilihan Disukai
Set Batasan Pilihan
Keputusan Pilihan
Prilaku Konsumen
69
b. Komoditi adalah stricly non negatif, dan berada dikuadran pertama sebab tidak ada
konsumsi negatif.
c. Komoditi tidak dapat dibagi (non lumpy) misal αX = α (X..)
d. Setiap konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan melalui fungsi utility
dengan kendala tingkat pendapatan I = P 1 X 1 +P 2 X 2 …., P n X n
e. Utility untuk mengukur kepuasan konsumen adalah preference ordering, yaitu
harus memenuhi kriteria aksioma ;
1 Reflexivity menyatakan bahwa suatu kelompok komoditi lebih dipilih dari kelompok
komoditi yang lain Xo > Xo
2. Transitivity menyatakan bahwa pilihan komoditi konsisten, dimana dari sekumpulan
komoditi maka pilihan jatuh kepada yang lebih baik dari pada yang lain, jika Xo >
X1 dan, X1 > X2 maka, Xo > X2
3. Completeness menyatakan bahwa konsumen mampu membandingkan dua
kumpulan komoditi dalam suatu ruang komoditi.
4. Continuity menyatakan bahwa preferens dari konsumen dapat diwakili oleh suatu
fungsi utiliti yang kontinu.
5. Non satisfaction adalah menjadi perilaku konsumen secara umum.
6. Convexity menyatakan bahwa fungsi utility merupakan fungsi Convexity terhadap
titik asal yang menyatakan apabila Xo > X1 maka, λ X0 + ( 1 – λ ) X1 ≥ X1
untuk semua 0 ≤ λ ≤ 1. Convexity juga menyatakan apabila turunan kedua dari
fungsi utility lebih kecil dari nol { δu (x) δx.δx
≤ 0 } karena konsumen mencapai tingkat
kepuasan maksimum disuatu fungsi utility.
Aksioma reflexivity , transivity, dan completeness menyatakan bahwa fungsi
utiliti memiliki preference ordering atau kepuasan yang bertingkat. Sedangkan
70
continuity menyatakan bahwa preference ordering dapat dinyatakan dalam fungsi
utility dan bersifat non satisfaction serta convexity menyatakan bahwa konseumen yang
tidak pernah puas tetap mampu memaksimumkan kepuasan dengan keterbatasan -
pendapatan. Sehingga terdapat dua pilihan penyelesaian anggaran konsumen yakni
memaksimalkan utility ( primal problem ) atau konsumen meminimalkan anggaran
(dual problem).
Pilihan konsumen dalam memaksimumkan kepuasan melalui fungsi utilitas U=
f(x1…, xn) dengan keterbatasan pendapatan { P 1 X 1 + … (Pn Xn) = 1 } maka
penyelesaian untuk mendapatkan fungsi permintaan dapat dilakukan dengan methode
Langrangian atau Khun thucker, yakni ;
L = f (x1 ….xn) + λ (1 – Σ P 1 X 1) dimana λ = marginal utility of income
Syarat turunan pertama mencapai maksimum adalah ;
δL = δ u _ λ P1 = C maka, δL δX δ X1 δ λ
= 1 – Σ P 1 X 1 = 0
Untuk mendapatkan fungsi permintaan x1 = f ( P1….Pn, I ) adalah melalui Marshallian
demand function. Selanjutnya untuk meminimumkan biaya anggaran misalnya untuk
membeli komoditi C = P1 X 1 + ….. Pn Xn dengan kendala terhadap fungsi utility
yaitu, U = f (X1, …..Xn) maka penyelesaian untuk mendapatkan fungsi permintaan
dapat dilakukan dengan methode Langrangian atau Khun thucker, yaitu ;
L = ( Σ P 1 X 1) + λ (X1….Xn) syarat turunan pertama untuk minimum adalah,
δL = P1 _ λ δ u δX1 δ X 1
= 0
δL δλ
= f ( X1, X2 ) = 0
Untuk mendapatkan fungsi permintaan h1 = f(P1…..Pn, U ) dapat dilakukan dengan
menggunakan Hicksian demand function.
71
2.1.5 Teori Keseimbangan (Ekuilibrium) Harga Pasar.
Dolan and Simon (2000) menyebutkan harga adalah sebagai sejumlah uang atau
jasa atau barang yang ditukarkan oleh pembeli untuk beraneka produk atau jasa yang
disediakan oleh penjual, Dolan and Simon (2000) juga menyatakan, harga merupakan
pengorbanan ekonomis yang dilakukan oleh pelanggan untuk memperoleh produk atau
jasa. Selain itu, harga adalah salah satu faktor penting bagi konsumen didalam
mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak, karenanya, penilaian
terhadap harga atau produk bersifat relatif, semua tergantung dari persepsi individu
yang dilatar belakangi oleh lingkungan kehidupan dan daya beli individu. Dalam
menilai harga suatu produk, seorang konsumen sangat tergantung bukan hanya pada
nilai nominal (absolute), melainkan lebih kepada persepsi yang dibentuk terhadap harga
produk atau jasa tersebut.
Menurut Chiang (2006), ekuilibrium adalah sesuatu kumpulan dari variabel-
variabel terpilih yang saling berhubungan dan disesuaikan satu dengan yang lainnya
dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak ada kecenderungan untuk melekat,
( inherent ) dalam model tersebut untuk berubah. Dalam model ekuilibrium statis
permasalahannya adalah pencapaian himpunan atas nilai-nilai variabel endogen yang
memenuhi kondisi ekuilibrium dari suatu model, sedangkan pada pasar parsial
ekuilibrium, terciptanya harga didalam pasar yang terisolasi. Misalkan untuk transaksi
satu barang ditentukan oleh tiga variabel yakni, kuantitas barang diminta (Qd),
kuantitas barang ditawarkan (Qs) dan harga barang (Pr). Asumsi yang diberikan adalah
; ( Qd – Qs = 0 ) dimana Qd adalah fungsi linear menurun dari Pr dan Qs adalah fungsi
linear menaik dari Pr kemudian asumsi selanjutnya tidak ada kuantitas ditawarkan,
kecuali harga melebihi tingkat positif tertentu. Empat parameter yakni ; a,b,c,d berada
72
dalam fungsi linear, hal ini terlihat didalam Gambar 2.2, berikut ;
Gambar : 2.2 Ekuilibirum Harga Pasar. Sumber : Chiang (2006).
Gambar 2.2 memperlihatkan, fungsi permintaan memotong sumbu vertikal
dititik a dan kemiringan fungsi permintaan adalah, –b yakni berslope negatif. Fungsi
penawaran memiliki kemiringan sebesar, d yakni positif. Kemudian perpotongan dari
dua sumbu tersebut adalah keseimbangan harga, namun yang menarik mengapa
perpotongan dengan sumbu negatif, sebab sebagaimana asumsi telah disampaikan,
tidak ada kuantitas ditawarkan, kecuali harga melebihi tingkat positif tertentu. maka
dalam model matematis dituliskan sebagai ;
Qd = Qs maka ;
Qd = a – b Pr ( a , b > 0 ) dan untuk,
Qs = – c + d Pr ( c , d > 0 ).
Untuk kasus keseimbangan dengan model dua barang yang berhubungan satu dengan
yang lainnya dimana fungsi permintaan dan penawaran dari kedua barang tersebut
diasumsikan linear maka dalam istilah parameter model dapat dituliskan ;
Qd1 = Qs1 = 0 maka ;
Qd1 = a0 + a1 Pr1 + a2 Pr2 dan untuk,
( Qd = Qs ) a (Qd = a-bPr ) kurva permintaan (Qs = - c + dPr) kurva penawaran (Pr*, Q*)
Q*=Qd* Ekuilibrium Q*=Qs*
0 Pr1 P* Pr
73
Qs1 = b0 + b1 Pr1 + b2 Pr2 kemudian model untuk barang dua,
Qd2 – Qs2 = 0 maka ;
Qd2 = α0 + α1 Pr1 + α2 Pr2 kemudian untuk,
Qs2 = β0 + β1 Pr1 + β2 Pr2
Simbol a dan b, adalah koefisien dari fungsi permintaan dan penawaran atas barang
pertama sedangkan α dan β, adalah koefisien dari barang kedua. Dalam model pasar
tertutup kondisi ekuilibrium hanya terdiri dari satu persamaan yakni Qd = Qs atau E =
Qd – Qs = 0 dimana E adalah excess demand, namun untuk kasus beberapa barang
ditinjau bersama-sama maka ekuilibrium tidak dapat terjadi atas kelebihan permintaan
dari setiap barang yang disertakan kedalam model, karena sifatnya yang saling
mempengaruhi tersebut.
2.1.6 Teori Elastisitas Harga.
Menurut Pappas dan Hirschey (1995) elastisitas harga permintaan adalah
tingkat perubahan permintaan terhadap barang/jasa, yang diakibatkan oleh
perubahan harga barang / jasa tersebut. Besar atau kecil tingkat perubahan dapat
diukur dengan angka yang disebut koefisien elastisitas permintaan, dalam model
matematika dituliskan sebagai,
ε = Persentase perubahan jumlah Q = δ Q / Q = Persentase perubahan harga Pr δ Pr / Pr δ Pr / Q
δ Q / Pr
Dimana δ Q dan δ Pr adalah perubahan marjinal dalam jumlah mengikuti perubahan
harga, serta Pr dan Q adalah harga dan jumlah dititik tertentu tertentu dalam kurva
permintaan. Berdasarkan nilainya, elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi lima,
yaitu permintaan inelastis sempurna, inelastis, elastis uniter, elastis, dan elastis
sempurna. Elastisitas silang (Cross Elasticity) menunjukkan hubungan antara jumlah
barang yang diminta terhadap perubahan harga barang lain yang mempunyai
74
hubungan dengan barang tersebut. Hubungan tersebut dapat bersifat pengganti, dapat
pula bersifat pelengkap. Terdapat tiga macam respons perubahan permintaan suatu
barang (misal barang A) karena perubahan harga barang lain (barang B), yaitu:
bernilai positif, negatif, dan nol.
Pappas dan Hirschey (1995) menyebutkan dalam pengukuran elastisitas ada dua
cara yakni konsep elastisitas titik, yaitu dipergunakan dalam mengukur pengaruh dari
variabel bebas atas perubahannya yang sangat kecil atau marginal terhadap variabel
terikat sebab elastisitas titik spesifik dalam mengukur variasi titik-titik yang berbeda
sepanjang suatu fungsi. Dalam model matematik ditulis, ε titik = ε x = δ y
Menurut Andindita (2008), beberapa faktor mempengaruhi elastisitas permintaan yaitu
. x δx y
1. Kegunaan komoditas (utilitas) dimana produk dengan utilitas yang banyak akan
memiliki nilai elastisitas lebih tinggi.
2. Karakteristik produk disini hubungannya dengan elastisitas diikuti oleh ;
a. Adanya substitusi, dimana semakin banyak substitusi dari suatu produk maka
akan bersifat semakin elastis, dimana inelastis terjadi jika produk tidak memiliki
barang substitusi sebagai barang kebutuhan (necessity).
b. Lamanya waktu pemasaran, dimana produk baru dipasarkan bersifat lebih
elastis terhadap produk yang lebih lama dipasarkan.
c. Kualitas produk, dimana barang berkualitas lebih elastis sebab barang tidak
berkualitas bersifat sebagai komoditi substitusi
d. Kebutuhan utama hidup, dimana produk yang masuk kedalam kategori ini
bersifat inelastic.
75
e. Harga produk, jika harga suatu produk lebih mahal dari tingkat pendapatan
maka bersifat inelastis namun bersifat elastis jika lebih rendah dari tingkat
pendapatan
3. Elastisitas Konsumen, terdapat dua karakteristik konsumen terkait elastisitas
a. Pendapatan konsumen, dimana konsumen kaya bersifat lebih elastis.
b. Umur konsumen, dimana konsumen berusia lebih muda relative lebih elastis
dari pada konsumen berusia lebih tua.
4. Karakteristik sistem pemasaran. Sistem pemasaran dapat mengubah elastisitas
produk terutama barang pertanian dalam kaitan peningkatan kepercayaan konsumen.
Kepentingan atau manfaat dari elastisitas dapat dilihat berdasarkan kelompok
atau pihak yang berada didalam atau diluar pasar sehingga dijabarkan sebagai berikut,
1. Elastisitas harga dari permintaan menunjukkan respons konsumen terhadap
perubahan harga sehingga mempengaruhi pendapatan dari produsen tersebut.
2. Elastisitas bagi produsen bermanfaat untuk melihat perlakuan fungsi pemasaran
produk terutama untuk melihat prospek pemasaran dari produk tersebut, dalam
dimana,semakin elastis suatu produk maka produsen semakin diuntungkan dari
konsumen sebab dengan proporsi perubahan harga yang relatif sedikit proporsi
jumlah yang diminta meningkat lebih besar.
3. Elastisitas bagi pemerintah sangat diperlukan terutama dalam memutuskan
kebijakan perdagangan dalam kaitan ketersediaan pangan dimana sifat barang
pertanian adalah in elastis ( Є < 1 ) sehingga campur tangan dari pemerintah
diperlukan meski keterlibatan secara tidak langsung adalah lebih baik. Sehingga
elastisitas merupakan suatu cara untuk mengetahui besar pendapatan petani atas
perubahan harga produk.
76
4. Elastisitas pendapatan diperlukan dalam mengevaluasi dampak perubahan
pendapatan konsumen terhadap harga produk terutama perubahan harga bahan
pokok sehingga elastisitas disini lebih ditujukan kepada upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesahjateraan masyarakat.
5. Elastisitas harga ekspor/impor diperlukan oleh berbagai pihak terutama dalam
mengendalikan perdagangan internasional hal ini berkaitan dengan
penerimaan/pengeluaran devisa serta pengendalian produk barang dimaksudkan.
2.1.7 Teori Perdagangan Internasional.
Krugman dan Obstfield (1999), menjelaskan terjadinya hubungan ekonomi dari
suatu daerah kedaerah lain (regional) atau diantara bangsa kepada bangsa lain
(Internasional) disebabkan adanya perbedaan diantara permintaan dan penawaran atas
suatu barang atau jasa pada daerah / bangsa yang berdagang. Sebagai ilustrasi
perbedaan penawaran suatu barang disebabkan perbedaan dari ketersediaan faktor
produksi dalam menciptakan barang tersebut sehingga menjadikan perbedaan atas
harga barang, kualitas barang, didalam waktu, serta modal produksi yang sama.
Jika ditinjau dari segi permintaan atas barang tersebut, maka yang muncul masalah
jumlah barang yang di inginkan, harga barang saat dibeli, tingkat pendapatan, selera
pembeli serta harga barang lain.
Krugman dan Obstfield (1999) juga menyatakan sebab-musabab dari terjadinya
hubungan ekonomi antar daerah / bangsa, sebenarnya hanyalah mencakup persoalan :
1. Perbedaan tingkat kejarangan ( scarcity ). Dimana keinginan manusia tidak terbatas,
namun ketersediaan atas barang dan jasa tidak demikian halnya dan realitas didalam
masyarakat senantiasa terjadi adalah, kekurangan bersifat relatif (relative scarcity).
77
2. Perbedaan komparatif dari harga barang. Dimana perbedaan harga barang dari suatu
daerah / bangsa akan menciptakan arus perdagangan diantara mereka.
3. Perbedaan faktor produksi. disebabkan perbedaan iklim geografis daerah tersebut
menyebabkan perbedaan jenis kekayaan alam flora maupun fauna serta kandungan
bumi yang kesemuanya diperlukan manusia untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Selain itu perbedaan jumlah penduduk serta perbedaan sosial dari daerah /
bangsa berdagang menciptakan perbedaan keberadaan suatu barang /jasa.
4. Perbedaan pangsa pasar atas barang dan jasa tersebut.
Hechsher dan Ohlin (1999) menyampaikan mengenai faktor-faktor
ketersediaan, dimana terjadinya opportunity cost disebabkan oleh perbedaan dari
ketersediaan faktor-faktor produksi sehingga akibat dari perbedaan faktor endowment
tersebut harga atas suatu barang yang sama berasal dari kedua negara/wilayah tersebut
dapat berbeda sesuai dengan intensitas pemakaian dan ketersediaan faktor produksi.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi
(misal CPO) ke negara lain (misal negara B) karena harga domestik di negara A lebih
rendah jika dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang
relatif rendah di negara A tersebut disebabkan adanya kelebihan penawaran (excess
supply) yaitu produksi domestik yang melebihi konsumsi domestik. Dalam hal ini
faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai
kesempatan menjual kelebihan produksi ke negara lain. Di pihak lain, negara B terjadi
kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik
(excess demand) sehingga harga menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan
untuk membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian
terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka dapat terjadi perdagangan
78
antara kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi CPO kepada
negara B (Salvatore, 1992) hal ini ditunjukkan Gambar 2.3.
Pr Grafik Pasar negara A, Pr Grafik Hubungan Pasar, Pr Grafik Pasar negara B Sb Ekspor Sx Sw P3 Eb p2 a b p2=pw Ew P2 A B p1 Ea p1 Dw Impor Db Dx 0 Qa2 Qa1 Qa3 Qty 0 Qw Qty 0 Qb2 Qb1 Qb3 Qty Gambar 2.3. Terjadinya Perdagangan Internasional. Sumber : Salvatore, (1992).
Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat
dilihat pada Gambar 2.3. Sebelum terjadi perdagangan internasional, keseimbangan di
negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar Qa1 dan harga yang
terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik Eb dengan dengan jumlah
produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah sebesar P3. Harga di negara A (P1)
lebih rendah daripada harga di negara B (P3). Produsen di negara A akan memproduksi
lebih banyak dari tingkat konsumsi domestik untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah
P3, negara B akan meminta lebih banyak dari tingkat produksi domestiknya. Hal
tersebut akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadilah
perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar internasional
digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari negara A. Permintaan
impor digambarkan oleh kurva Dw yang merupakan excess demand dari negara B.
79
Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang menghasilkan harga dunia
sebesar P2 dimana negara A mengekspor sebesar (Qa2 - Qa3 ) yang sama jumlahnya
dengan yang diimpor negara B (Qb2 - Qb3 ) jumlah ekspor dan impor tersebut
ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada pasar dunia.
2.1.8 Teori Pendapatan Perkapita, Gross Domestic Product.
Dalam ukuran makro ekonomi, tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara
umumnya diukur menggunakan GDP perkapita. Kenaikan GDP perkapita mengindikasi
peningkatan tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara. Sekalipun ukuran tersebut
memiliki banyak kekurangan, namun dalam prakteknya ukuran tersebut memiliki arti
penting dalam mengukur tingkat kesejahteraan. GDP atau gross domestic product
(produk domestik bruto) didefinisikan sebagai jumlah barang dan jasa yang diproduksi
dalam suatu negara dalam jangka waktu satu tahun dan dalam nilai mata uang
domestik atau internasional. Besarnya nilai GDP nominal adalah perkalian dari unit
barang dan jasa yang diproduksi dengan harga barang tersebut. Karena harga barang
terus meningkat, maka biasanya digunakan GDP riil atau GDP menggunakan harga
pada tahun tertentu (tahun dasar). Sedangkan GDP perkapita adalah besarnya GDP riil
dibagi jumlah penduduk. Dari penjelasan ini diketahui bahwa GDP perkapita mengukur
berapa rata-rata barang dan jasa yang dapat dikonsumsi penduduk suatu negara. Untuk
membandingkan GDP perkapita antar negara GDP nominal tiap negara diubah kedalam
US Dollar (USD) menggunakan rata-rata nilai pasar exchange rate dalam satu tahun.
Lalu nilai tersebut dibagi total populasi. (Hubbard et al. 2012) menyatakan beberapa
tantangan dalam penggunaan GDP perkapita dalam mengukur kesejahteraan. Karena
ukuran GDP perkapita adalah ukuran rata-rata dalam nilai barang dan jasa yang bisa
dikonsumsi setiap warga negara maka ukuran tersebut tidak memperhitungkan dari
80
distribusi pendapatan, nilai waktu luang, kegembiraan (happiness), dan harapan hidup
yang utama adalah ukuran kesejahteraan. Karena GDP perkapita tidak menjelaskan
ukuran tersebut apakah berarti tidak dapat digunakan mengukur kesejahteraan. Hubbard
et al. (2012) menyatakan bahwa saat perekonomian tumbuh maka pendapatan baik
orang kaya dan miskin sama-sama akan meningkat. Sedangkan hubungan antara waktu
luang dan pendapatan perkapita ditunjukkan oleh Hubbard et al. (2012) menggunakan
data Amerika Serikat dan negara maju. Waktu luang yang dimiliki oleh penduduk
negara-negara ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan
rendah. Berdasarkan data diketahui bahwa jam kerja rata-rata di negara maju lebih
rendah dibanding negara berkembang. Begitu juga ditemukan hubungan searah antara
kegembiraan dan pendapatan perkapita oleh studi yang dilakukan Stevenson dan
Wolfer (2008) dalam Hubbard et al. (2012). Data yang mereka gunakan berasal dari
131 negara. Sedangkan harapan hidup akan meningkat dengan meningkatnya
pendapatan per kapita. Hubbard et al. (2012) mendapatkan adanya hubungan positif
antara pendapatan perkapita dan harapan hidup. Dengan pendapatan yang lebih tinggi
tentu penduduk mendapatkan kebutuhan primer dan pelayanan kesehatan yang lebih
baik. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat sekalipun GDP perkapita tidak
sempurna dalam mengukur tingkat kesejahteraan namun ukuran ini merupakan
indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Sedangkan hubungan diantara
GDP perkapita dan Purchasing power parity adalah; Purchasing power parity adalah
teori yang menjelaskan kesamaan daya beli dimana dalam jangka panjang nominal
exchange rate akan menyamakan purchasing power dari negara yang berbeda-beda.
Untuk mendalami poin ini, (Hubbard et al. 2012) menuliskan persamaan berikut : Jika
harga barang dan jasa yang sama ditiap negara berbeda maka dengan membandingkan
81
pendapatan perkapita antar negara menggunakan GDP perkapita akan menghasilkan
kesimpulan yang keliru. Untuk menutupi kelemahan GDP perkapita tersebut digunakan
GDP purchasing powerparity perkapita (GDP-PPP perkapita). GDP perkapita antar
negara disesuikan dengan suatu metode yang mengukur GDP memakai harga yang
sama. Ditentukan nilai konversi internasional untuk tujuan tersebut. Dengan
menggunakan GDP-PPP perkapita saat membandingkan pendapatan maka benar-benar
dibandingkan jumlah barang dan jasa yang bisa dikonsumsi oleh rata-rata penduduk
suatu negara.Terdapat korelasi positif diantara PDB dengan permintaan produk impor.
Peningkatan PDB akan meningkatkan permintaan terhadap produk impor, demikian
pula sebaliknya. Peningkatan impor sebagai akibat meningkatnya PDB negara importir
dapat terlihat dari dua mekanisme sebagai berikut : Kenaikan PDB negara importir
menyebabkan meningkatnya investasi.Peningkatan investasi menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan barang impor antara lain barang-barang modal dan
bahan baku sebagai input dalam proses produksi. Kebutuhan akan barang modal dan
bahan baku yang ditawarkan (supply) oleh negara lain.Kenaikan PDB negara importir
menyebabkan meningkatnya kebutuhan produk final (final product) karena tidak semua
dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
2.1.9 Teori Nilai Tukar Uang ( Kurs ).
Nopirin (1992), menyampaikan kurs adalah harga relatif dari suatu mata uang
kepada mata uang lainnya kurs digunakan untuk dapat menterjemahkan harga-harga
dari mata uang asing kedalam nilai satuan mata uang domestik. dimana nilai tukar
atas dua mata uang adalah keseimbangan harga atas mata uang tersebut, nilai tukar
yang berdasarkan pada kekuatan pasar akan selalu berubah disetiap kali nilai-nilai salah
satu dari dua komponen mata uang berubah. Sebuah mata uang akan cenderung
82
menjadi lebih berharga bila permintaan menjadi lebih besar dari pasokan yang tersedia.
Nilai tukar akan menjadi berkurang bila permintaan kurang dari suplai yang tersedia.
Nopirin (1992), juga menyebutkan ada beberapa sistem nilai tukar/kurs valuta asing,
yaitu : a). Nilai tukar tetap (fixed exchange rate system).
b). Nilai tukar mengambang ( floating exchange rate system ).
Untuk sistem yang pertama, nilai tukar dipatok menurut mata uang dalam jangka
waktu yang relatif lama. bank sentral berperan aktif melakukan intervensi dalam pasar
valuta asing untuk mempertahankan pergerakan nilai tukar suatu mata uang agar berada
pada suatu acuan nilai tukar tertentu. Sebaliknya, pada sistem yang kedua, kurs nilai
tukar valuta asing dari suatu negara sepenuhnya ditentukan oleh pasar (penawaran dan
permintaan), tanpa intervensi oleh bank sentral. Mankiw, (2003) membedakan kurs
menjadi dua, bagian yaitu kurs nominal dan kurs rill dimana kurs nominal adalah harga
relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari barang-
barang di antara dua negara. Kurs riil bermakna pula tingkat dimana barang-barang dari
suatu negara dapat diperdagangkan (ditukar) dengan barang-barang dari negara lain,
atau sering disebut terms of trade. Menurut Sawaldjo (2004) Semenjak periode 1970
hingga penulisan, sistem nilai tukar berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan
sebanyak tiga kali, yaitu sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang bebas,
dan terakhir sistem nilai tukar mengambang terkendali. Definisi masing-masing dari
sistem kurs tersebut adalah;
1. Sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ) dimana lembaga otoritas moneter
menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain
pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun permintaan terhadap
83
valuta asing yang terjadi. Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau
permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan
mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar kearah yang ditetapkan.
2. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rate system), yaitu sistem
penentuan kurs valuta asing dipasar valas, terjadi tanpa campur tangan pemerintah.
3. Sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate system), yaitu
penentuan kurs dipasar valas terjadi dengan adanya campur tangan pemerintah yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran valas melalui berbagai kebijakan fiskal,
moneter, dan perdagangan luar negeri.
Selanjutnya Sarwedi (2001), menyatakan bahwa hubungan diantara nilai tukar
uang misalkan US$ terhadap Rupiah kepada volume ekspor didalam jangka pendek
bersifat positif namun didalam jangka panjang kurs bersifat negatif. Perubahan yang
terjadi didalam jangka pendek pada nilai tukar berdampak kepada daya saing dari harga
produk ekspor. Apabila kurs diantara Rupiah kepada US$ cenderung melemah dengan
asumsi tingkat efisiensi tetap maka secara relatif harga produk ekspor akan keluar
dalam jumlah lebih banyak. Hal ini cenderung memberikan peluang lebih kepada
eksportir untuk menerima Rupiah dalam jumlah lebih besar namun harus diingat
keadaan itu tidak akan berlangsung lama. Suatu hal yang penting bahwa mekanisme ini
akan memberi dampak positif kepada eksportir akhirnya kepada produsen yang
kemudian diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan.
Sarwedi (2001), menyatakan dampak positif tersebut hanya berimbas didalam
jangka pendek sebab pasar akan terus berubah menuju suatu keseimbangan baru
dimana input domestik baik bahan baku maupun tenaga kerja akan segera
menyesuaikan diri atas perubahan harga yang telah terjadi didalam nilai kurs sehingga
84
didalam jangka panjang kurs akan memberi dampak negatif kepada kegiatan volume
ekspor. Beberapa faktor sifatnya dapat mempengaruhi perubahan valuta asing adalah;
1. Supply Foreign Currency Valas atau forex 2. Posisi Balance of Payment (BOP)
3. Tingkat suku bunga. 4. Ekspektasi dan Spekulasi.
Pada Gambar 2.4 misalnya pada posisi awal permintaan valuta asing (US$)
diwakili oleh kurva DVA1 dan penawaran valuta asing (US$) diwakili oleh kurva
SVA1, sehingga kurs adalah Rp 3000/U$ pada titik E1. Kemudian permintaan valas
mengalami peningkatan menjadi DVA2, sedangkan penawarannya tetap pada SVA1,
sehingga dolar mengalami apresiasi nilai terhadap rupiah menjadi Rp 6000/US$ atau
rupiah mengalami depresiasi nilainya terhadap dollar, pada titik E2. Dalam sistem
mengambang terkendali, penentuan nilai tukar pada bursa valas dapat dipengaruhi oleh
pemerintah. Jika pemerintah ingin mempertahankan nilai kurs ditingkat Rp 3000/US$,
maka untuk mengembalikan nilai kurs ditingkat tersebut, pemerintah dapat secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kurs tersebut melalui kebijakan moneter
dan fiskal, untuk kasus seperti dalam Gambar 2.4 tersebut,
Gambar 2.4 Penentuan Nilai Tukar Pada Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Sumber Manurung Jonni, 2009.
DVA2
DVA1
SVA1Rp/$
$100 150
Rp 3000/$
Rp 6000/$
E1
E2
E3
SVA2
3000
85
Maka untuk mengembalikan kurs pada tingkat Rp 3000/US$, pemerintah dapat
melakukan kebijakan menambah penawaran valas, dengan cara menjual cadangan
valasnya ke bursa valas. Sehingga jumlah valas yang tersedia di bursa valas akan
bertambah, yang diperlihatkan oleh pergeseran kurva SVA1 menjadi SVA2, dan
keseimbangan sekarang berada pada titik E3, kurs kembali pada tingkat Rp 3000/US$
dengan jumlah US$ yang lebih besar. Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar
mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997,
Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah
terhadap USS. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turn oil yang
melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya termasuk
Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi
baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs
berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk
selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah akan semakin meningkat.
2.1.10 Teori inflasi.
Salvatore (1992) menjelaskan pendapat J.M Keynes mengenai keadaan demand
pull inflation merupakan tekanan inflasi akibat adanya excess demand terhadap barang
dan jasa. Oleh karena adanya kenaikan pemintaan masyarakat, yang tercermin dari
bergesernya kurva permintaan (Demand Curve) dari D1 ke D2 mengakibatkan harga
naik dari P1 ke P2. Harga disini maksudnya adalah harga-harga barang dan jasa umum
atau yang disebut sebagai inflasi. Bertambahnya permintaan dapat disebabkan oleh
naiknya permintaan barang, pengeluaran pemerintah, dan permintaan barang suatu oleh
penduduk luar negeri. Menurut kaum monetaris, demand pull inflation dijelaskan
melalui Quantity Theory of Money. Jika supply uang melebihi jumlah permintaannya,
86
maka individu ekonomi akan menggunakan kelebihan uangnya itu untuk meningkatkan
konsumsi dibanding kepada tabungan dalam kaitan pertumbuhan ekonomi maka akan
terjadi inflasi. Perbedaan dari demand pull inflation dengan cost push inflation adalah :
a. Pada demand pull inflation terjadi kenaikkan output sedangkan pada cost push
inflation yang terjadi penurunan output.
b. Pada demand pull inflation, kenaikkan harga barang mendahului kenaikkan harga
bahan-bahan input (material) sedang pada cost push inflation, kenaikan harga
barang input yang justru mendahului kenaikan harga barang output.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya
inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti
dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional
dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Penggolongan inflasi lainnya adalah sumbernya inflasi yang berasal dari dalam
negeri disebut (domestic inflation) adalah jenis inflasi yang berasal dari dalam negeri
itu sendiri seperti defisit keuangan negara yang dibiayai dengan penambahan uang
baru, atau juga akibat pengenaan dan peningkatan pajak dikutip oleh pemerintah.
Sedangkan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) adalah inflasi yang
terjadi akibat pengaruh kenaikan harga barang-barang dari luar negeri. atau akibat
perubahan nilai tukar mata uang ( kurs ) yang mengakibatkan harga barang-barang dari
luar negeri menjadi mahal, dan sebab lainnya dari perdagangan internasional. Kenaikan
harga barang didalam negeri oleh sebab peningkatan dagang dari luar negeri juga bisa
terjadi, misalnya akibat naiknya nilai dan jumlah ekspor, yakni akibat naiknya
permintaan dari luar negeri. Maka dengan naiknya nilai dan jumlah ekspor telah
mengakibatkan harga dan jumlah barang di dalam negeri menjadi mahal dan berkurang.
87
Inflasi berikutnya adalah cost-push theory Inflation yakni diasumsikan bahwa
produk dan jasa pada dasarnya ditentukan oleh biaya produksi sehingga spiral harga upah
bertanggung jawab atas terjadinya peningkatan harga yakni berawal dari adanya
permintaan upah lebih tinggi yang kemudian menyebabkan biaya produksi lebih tinggi
dan akhirnya mendorong lagi tuntutan kenaikan upah, semua berdampak pada naiknya
tingkat harga umum yang diakibatkan oleh biaya input yang meningkat. Secara umum,
ada tiga faktor yang berkontribusi terhadap cost push inflate yakni kenaikan upah,
peningkatan pajak perusahaan, dan inflasi impor (saat impor barang mentah atau
setengah jadi menjadi lebih mahal, sering sebagai akibat dari depresiasi mata uang).
Teori inflasi struktural versi dari teori ini berfokus di negara sedang berkembang.
dimana, inflasi disebabkan oleh kesenjangan antara impor dan ekspor. Perubahan harga
impor terjadi lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan warga negara untuk membayarnya .
Selain itu, barang-barang import mengalahkan barang lokal. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan pada mata uang lokal dan tekanan terhadap harga, yang berujung inflasi.
Teori inflasi struktural adalah teori inflasi yang didasarkan atas pengalaman di
negara-negara Amerika Latin. Teori ini menekankan pada ketegaran (infleksibilitas)
dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan
dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian yang, menurut definisi faktor ini
hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang) , maka teori ini disebut
teori inflasi jangka panjang. yang dimaksud dengan faktor-faktor struktural di sini
adalah faktor yang hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka yang panjang.
Teori ini memberi tekanan pada ketegaran dari struktur perekonomian negara-negara
sedang berkembang. Ada dua ketegaran yang menyebabkan inflasi, yaitu
ketegaran berupa ketidak elastisan dari penerimaan ekspor dan ketegaran berupa
88
ketidak elastisan dari penawaran bahan makanan dalam negeri. Kedua proses di atas
pada umumnya berkaitan dan memperkuat satu sama lain dalam menyebabkan inflasi.
Ketegaran merupakan “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor dimana nilai
dari ekspor tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.
Dasar penukaran yang makin memburuk dan supply barang ekspor yang tidak elastis
akan menyebabkan terjadinya kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor berarti
kelambanan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Sedangkan
bagi suatu negara untuk mencapai target pertumbuhannya mengambil kebijaksanaan
pembangunan “import substitution strategy”. Inflasi terjadi jika proses substitusi impor
ini makin meluas, sehingga menaikkan biaya produksi berbagai barang, sehingga
makin banyak harga-harga yang naik. Dampak negatif yang muncul akibat terjadinya
inflasi bagi suatu negara berkembang adalah, memburuknya distribusi pendapatan,
bertambahnya jumlah masyarakat miskin dan lainnya.
2.1.11 Konsep Pajak Internasional.
Suranovich (2000), menyatakan, jikalau ada dua negara yang melakukan
perdagangan dimana satu negara meng-impor dan satu negara lagi meng-ekspor suatu
komoditi, maka kurva permintaan dan penawaran mereka seperti gambar 2.5, berikut ,
P Negara import P Negara eksport S S PtIm PtIm Pst A B C D Pst a b c d E F G H e f g h PtEx PtEx D D 0 StIm DtIm Q 0 DtEx StEx Q
89
Gambar 2.5 Kurva Permintaan Dan Penawaran atas Pajak Ekspor. Sumber ; Suranovich (2000).
Kuantitas impor dan ekspor ditunjukan oleh dua garis tebal horizontal Pst.
Ketika negara peng-ekspor mengimplementasikan pajak atas ekspor barang mereka
maka akan menyebabkan berkurangnya harga barang didalam negeri sekaligus akan
menambah harga barang tersebut diluar negeri sedangkan pengaruhnya bagi harga
barang tersebut dipasar dunia adalah sebanding atas seberapa besar jumlah barang
tersebut dalam total produksi dunia. Seandainya setelah dikenakan pajak harga barang
dinegara pengimpor bertambah sebesar PtIm maka harga barang dinegara pengimpor
turun sebesar PtEx. Namun jikalau ditetapkan kekhususan atas pajak ekspor maka nilai
pajak menjadi T = PtIm – PtEx adalah sama besar sebagaimana ditunjukan kedua garis
tebal vertikal. Tetapi jikalau dikenakan pajak berdasarkan Ad-vallorem maka nilai pajak
menjadi persamaan T=(Pt Im / Pt Ex) - 1.
Suranovich (2000) memberikan gambaran atas dampak ditimbulkan dari
penetapan pajak ekspor adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel 2.1, sebagai berikut,
Tabel 2.1, Dampak atas Penetapan Pajak Ekspor.
Dampak Penetapan Pajak Ekspor
Negara peng-impor
Negara peng-ekspor
Surplus konsumen - ( A + B + C + D ) + e Surplus produsen + A - ( e + f + g + h ) Pendapatan Pemerintah 0 (nihil) + ( c + g ) Kesahjateraan nasional - ( B + C + D ) + c – ( f + h ) Kesahjateraan Dunia - ( B + D ) - ( f + h )
Sumber, Suranovich (2000).
Pajak ekspor memberi dampak positif kepada negara peng-ekspor yaitu dilihat dari sisi
konsumen dan Pemerintah, sehingga secara keseluruhan memberi keuntungan kepada
kesahjateraan nasional meskipun hal ini masih memberi dampak negatif kepada
produsen. Sedangkan dampak pajak ekspor bagi negara peng-impor yaitu kepada
90
konsumen dan akibatnya bagi kesahjateraan nasional adalah negatif dimana mereka
harus membayar lebih pada sejumlah barang yang sama sedangkan bagi produsen
adalah positif sebab memperoleh selisih harga. (Suranovich, 2000).
Selanjutnya dampak pajak ekspor tersebut bagi kesahjateraan penduduk dunia
kepada permintaan konsumen dunia adalah negatif, jika jumlah barang yang dikenai
pajak ekspor adalah sebagian besar dari produksi dunia. Kesimpulan yang diperoleh
Suranovich (2000), terhadap kebijakan pajak ekspor adalah ;
a. Ketika negara penghasil komoditi terbesar didunia mengimplementasikan pajak
ekspor (dalam batas optimum ) maka itu akan menambah kesahjateraan nasional.
b. Jikalau pajak ekspor tersebut ditetapkan dalam nilai tinggi (diatas optimum )
maka kesahjateraan nasional akan jatuh ( negatif ).
c. Pajak ekspor lebih baik ditetapkan dalam nilai minimal terhadap jumlah volume
ekspor sehingga akan menyebabkan maksimumisasi dalam kesahjateraan nasional.
2.1.12 Teori Tingkat Suku bunga.
Kidwell, D.S, Petterson, dan Blackwell (1993) disadur oleh Sawaldjo (2002),
menyatakan bahwa, bunga uang adalah sejumlah dana yang dinilai dalam uang dan
diterima sipemilik uang ( kreditur ) sedangkan suku bunga adalah rasio dari bunga
terhadap jumlah pinjaman serta waktu dari peminjaman uang. Kemudian tingkat suku
bunga uang dalam satuan persentase adalah biaya peminjaman atau harga yang harus
dibayar untuk meminjam sejumlah dana. Tingkat suku bunga adalah variabel terpenting
dalam semua aspek bisnis karena sebagai asas tolok ukur atas kemampuan berbisnis.
Nopirin, (1992) menyatakan, tingkat suku bunga uang (The stage Interest rate)
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan seluruh aktifitas ekonomi dimasyarakat,
hal ini dapat ditunjukkan melalui semua yang terjadi di pasar uang atau pasar modal,
91
jadi tingkat suku bunga uang, memiliki fungsi alokatif bagi perekonomian khususnya
didalam bentuk penggunaannya. Tingkat suku bunga merupakan salah satu variabel
bersifat dominan dalam perekonomian yang selalu diamati dengan ekstra kehati-hatian
sebab dapat memberi dampak langsung kepada perubahan konsumsi rumah tangga atau
dalam mengambil keputusan di perusahaan sehingga perubahan tingkat suku bunga
dapat merubah arah perekonomian dari suatu negara.
Edmister R.O 1986 : disadur oleh Sawaldjo (2002) menyatakan ada tiga istilah
yang berkaitan dengan tingkat suku bunga uang yaitu :
1. State rate Tingkat suku bunga pada satu priode dikalikan jumlah pokok pinjaman
untuk menghitung beban bunga perwaktu.
2. Annual percentage rate Tingkat suku bunga dihitung pertahun disesuaikan dengan
State rate untuk jumlah priode waktu dan jumlah pokok yang dipinjam agar
diperoleh tingkat bunga ekuivalen.
3. Yield Adalah tingkat bunga ekuivalen dengan satu kontrak keuangan yang
memenuhi 3 syarat yakni : a). Jumlah seluruhnya yang benar-benar dipinjamkan.
b). Dihitung pada awal tahun. c) Kemudian dibayar pada akhir tahun berikut bunga.
Persamaan tingkat suku bunga sederhana merupakan dasar untuk menghitung
suku bunga, rumusnya adalah : i = C / P = r dengan notasi :
P = jumlah pokok hutang. i = suku bunga.
C = jumlah yang dibayar pada setiap akhir priode. r = yield.
Pembayaran sebesar C indentik dengan pembayaran bunga obligasi yang kemudian
disebut sebagai Coupon ( C ). Besarnya suku bunga sederhana sama dengan kupon
bunga dibagi pokok pinjaman. Maka dalam hal ini suku bunga sama dengan yield ( r ).
92
Sawaldjo (2002) menyebutkan, tingkat suku bunga memiliki beberapa fungsi
didalam perekonomian yaitu :
1. Mendukung kelangsungan pengaliran sumber-sumber dana tabungan kearah
investasi dan hasil akhirnya kepada tingkat pertumbuhan ekonomi.
2. Mendistribusi kredit yang tersedia atau yang diminta umumnya kepada investasi
dengan menjanjikan hasil tertinggi.
3. Menjaga keseimbangan jumlah uang beredar diantara permintaan dan penawaran
uang pada suatu negara.
4. Alat utama bagi suatu pemerintahan dalam mengatur kebijakan jumlah tabungan dan
investasi dimana kebijakan bersifat mempengaruhi pasar.
Tingkat suku bunga tidak bersifat seragam, hal ini disebabkan berbedanya jumlah
waktu dan tingkat keperluan dana pada bidang sektor ekonomi, sehingga menciptakan
permintaan dan penawaran yang berbeda-beda bahkan suatu perusahaan yang
menerbitkan sekuritas dengan tingkat suku bunga yang sama namun akhirnya dalam
realitas pasar akan berbeda juga tingkat suku bunganya. Namun meskipun demikian
dalam analisis perlu diasumsikan adanya satu tingkat suku bunga fundamental atau
disebut juga tingkat suku bunga murni atau tingkat suku bunga bebas risiko.
2.1.13 Teori Luas Lahan Kelapa Sawit Menghasilkan.
Pahan (2011), menyatakan lahan optimum untuk kelapa sawit adalah mengacu
kepada 3 kriteria yakni ; faktor lingkungan, sifat fisik lahan dan sifat kesuburan tanah,
Dimana mengacu kepada tiga kriteria tersebut semakin tinggi nilai kesesuaiannya maka
biaya diperlukan untuk tanaman kelapa sawit semakin rendah dan juga sebaliknya.
Persyaratan tumbuh dari tanaman kelapa sawit yakni daerah tropis, didataran rendah
sampai sedang, curah hujan > 2200 mm/tahun merata sepanjang tahun dengan priode
93
kemarau (< 100 mm) tidak lebih dari 3 bulan. Temperatur udara siang 290 – 340
Celcius dan malam hari 220-250 Celcius. Ketinggian dari permukaan laut < 500 meter.
Sinar matahari minimal 5 jam perhari dan bersinar sepanjang tahun.
Pahan (2011) menyampaikan peta dunia tanaman kelapa sawit yang dilansir
oleh Food of Agriculture Organization berdasarkan temperatur dan priode
pertumbuhan, variabel temperatur mencakup 14 iklim utama yang digolongkan kepada-
3 kelompok yaitu tropis, sub tropis dan temperate (tundra), maka untuk tanaman kelapa
sawit kondisi iklim tropis diberikan penilaian iklim utama dengan perbedaan isoline
(sub tropis dan temperate) menunjukkan perbedaan pada setiap priode pertumbuhan
tanaman. Maka berdasarkan kriteria tersebut zona khatulistiwa yang membelah dunia
adalah zona yang paling sesuai untuk kelapa sawit dan negara yang dilintasi oleh garis
khatulistiwa tersebut memiliki keunggulan komparatif sumber daya alam yang
mempengaruhi daya saing produk perkebunan. Selain dari itu faktor penting lainnya
yaitu sifat kesuburan tanah dimana daerah katulistiwa yang proporsi dengan lahan
gurun ternyata juga tidak sesuai untuk kelapa sawit seperti didaerah gurun pada benua
Afrika dan daerah gurun di Republik Rakyat China.
Di Indonesia penyebaran tanaman kelapa sawit mencakup 19 propinsi dengan
luas lahan menghasilkan terbesar berada di pulau Sumatera. Data luas tanaman kelapa
sawit nasional lihat pada Tabel 1.4. Sebelum tahun 1979, perkebunan kelapa sawit
masih diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar milik negara dan swasta asing.
Sejak dekade 1980, sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan perekonomian rakyat,
telah terjadi perkembangan yang sangat pesat dari usaha perkebunan kelapa sawit
rakyat yang bermitra dengan perkebunan besar.
94
2.1.14 Konsep Hubungan diantara Harga Pangan, Tingkat Pendapatan
dan Kebijakan Pemerintah.
Dengan menggunakan pendekatan garis anggaran dan kurva indeferens
Deaton dan Muellbauer (1980), menjelaskan keterkaitan diantara kebijakan harga
pangan dengan tingkat pendapatan serta jumlah konsumsi pangan yang mana
keseimbangannya mengindikasikan ketahanan pangan. Asumsi yang digunakan untuk
penjelasan adalah :
(1) hanya ada dua komoditas dikonsumsi yaitu kelompok pangan dan nonpangan,
(2) semakin ke kanan kurva indeferens menunjukkan keadaan semakin sejahtera,
(3) pangan merupakan barang normal.
(4) harga barang non pangan diasumsikan tetap.
(5) konsumen dibatasi oleh pendapatan (m) dan dapat memilih bundel komoditas
pangan (X) dan komoditas non pangan (Y) sehingga persamaan garis anggarannya
adalah: m = Px * X 1 – Py * Y 1 ………………………………… (1)
Dampak kebijakan harga pangan bagi produsen (nett consumer) dapat melalui
dua jalur. Pertama, melalui jalur produksi yaitu subsidi input menyebabkan
penggunaan teknologi meningkat sehingga produksi meningkat. Peningkatan produksi
dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan pendapatan
petani meningkat sebesar k. Peningkatan pendapatan ini menggeser garis anggaran
ke kanan dari BL1 ke BL2 (Gambar 2.6). Akibat perubahan pendapatan dari m
menjadi m + k, maka persamaan (1) menjadi :
m - k = Px * X2 + Py * Y2 ……………………………………. (2)
Kedua, melalui jalur konsumsi, karena sebagian besar produsen pangan adalah nett
consumer, maka petani dan masyarakat umumnya akan menerima dampak adanya
95
kebijakan harga output yang menyebabkan harga pangan murah. Adanya subsidi
pangan (quantity subsidy) sebesar s menyebabkan harga pangan Px menjadi lebih
murah, efek totalnya efek substitusi dan efek pendapatan menyebabkan garis anggaran
BL2 berotasi menjadi BL3.
Secara matematika persamaan (2) berubah menjadi: m + k = ( Px – s ) * X3 - Py * Y3 ……………………………………. (3) Sehinga garis anggaran BL2 dengan koefisien kemiringan Px
Py berubah lebih kecil
yaitu Px – s Py
dari persamaan BL3 setelah ada subsidi, sebagai berikut ;
Y = m + k - Px –s
Py Py X …………………………………….. (4)
Dari Gambar 2.6 bergesernya garis anggaran ke kanan sekaligus juga menggeser kurva indeferens ke kanan dari KI1 ke KI2 ke KI3. Pergeseran ini mengindikasikan makin meningkatnya kesejahteraan dan konsumsi pangan yang berimplikasi pada meningkatnya ketahanan pangan.
Gambar 2.6. Dampak Peningkatan Pendapatan dan Penurunan Harga Pangan
terhadap Kesejahteraan dan Konsumsi Pangan Sumber : Deaton dan Muellbauer (1980).
96
2.2 Penelitian Sebelumnya.
Beberapa hasil penelitian dan studi terdahulu sebagai pembanding model atas
hasil yang diperoleh didalam studi ini adalah sebagai berikut ;
Donald F. Larson (1996) dalam penelitiannya yang berjudul “Indonesia‘s Palm
Oil Sub Sector”. Sebagai Working Paper Commodity Policy and Analysis Unit no.1654
pada The World Bank International Economics Department, September 1996.
Variabel yang sama-sama digunakan antar penelitian adalah ; Luas lahan kebun sawit,
namun Larson menelitinya lebih jauh kedalam aspek jangka panjang dan jangka pendek
kemudian variabel harga CPO, harga minyak goreng Bulog dalam hal ini maksudnya
adalah harga minyak goreng. kemudian variabel GDP perkapita, volume produksi CPO
dan sebagai variabel terikat Larson menetapkan Pajak ekspor CPO. Ringkasan
mengenai penelitian Larson, dapat dilihat pada Tabel 2.2 nomor 1.
Purba Jan Horas V (2001). Meneliti dengan judul “Model Ekonometrika
Kelapa Sawit Indonesia. Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan Eksternal”. Dimuat
pada Jurnal Kopertis wilayah 4, tahun 2001. Variabel serupa digunakan antar
penelitian Purba dengan studi ini adalah, variabel luas lahan kebun sawit dimana Purba
meneliti lebih spesifik kedalam pengelompokan yaitu kebun rakyat, kebun swasta dan
kebun negara. Variabel lainnya yang serupa adalah volume produksi CPO, volume
ekspor CPO, nilai tukar kurs, tingkat suku bunga dan kebijakan pemerintah pajak
ekspor CPO sedangkan variabel terikat Purba memilih, harga CPO Internasional dan
harga CPO domestik. Persamaan lainnya adalah dalam permasalahan penelitian dimana
Purba mencari hubungan dan pola pembentukan dari harga CPO lokal dan harga CPO
Internasional. Hal dimaksudkan yakni sebagaimana tersebut dalam ringkasan dari
penelitian Purba terlihat pada Tabel 2.2 nomor 2.
97
Mohamad F. Hasan et al. (2001). Melakukan penelitian berjudul Effects of an
Export Tax on Competitiveness The Case of the Indonesian Palm Oil Industry dimuat
pada Journal of Economic Development Volume 26, Number 2, December 2001.
Persamaan variabel antar penelitian adalah, volume ekspor CPO, pajak ekspor CPO,
harga CPO Internasional, harga minyak goreng domestik, Resume dari penelitian
Hasan dapat dilihat pada Tabel 2.2 nomor 3.
Basri A.Talib dan Zaimah Darawi (2002). Melakukan penelitian berjudul An
Economic Analysis of the Malaysian Palm Oil Market, penelitian ini dimuat pada
Oilpalm Industry Economic Journal (Vol. 2(1)/2002) Beberapa variabel yang serupa
digunakan antar penelitian adalah, nilai tukar kurs, volume ekspor CPO, harga CPO
internasional, harga minyak kedelai Internasional, dimana volume produksi CPO adalah
salah satu dari variabel terikat, dari penelitian tersebut sebagaimana Tabel 2.3 nomor 4.
Bonar M. Sinaga dan Ketut Ardana (2003). Melakukan penelitian berjudul
Struktur Produksi dan Kesahjateraan Pelaku Industri Minyak Goreng Indonesia dimuat
di jurnal SOCA: 263-274, ISSN 1411-7177, Volume 2. nomor 1 2003, Bogor. Variabel
yang serupa digunakan dalam penelitian adalah luas lahan sawit, kebijakan pajak
ekspor, harga minyak goreng, harga CPO internasional, volume produksi minyak
goreng, volume permintaan minyak goreng, kurs, sehingga penelitian Sinaga lebih
memfokuskan kepada produksi dan konsumsi minyak goreng didalam negeri, model
teridentifikasi berlebih maka pendugaan model dilakukan dengan metode 2SLS. Untuk
menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual berpengaruh nyata
atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan,hal dimaksudkan
sebagaimana ditunjukkan ringkasan dari penelitian Sinaga, pada Tabel 2.3 nomor 5.
98
Karl Meilke et al. (2003). Meneliti dengan judul The Impact of Trade
Liberalization on the International Oilseed Complex. Tulisan ini dimuat pada Review of
Agricultural Economics—Volume 23, Number 1—halaman 2–17. Persamaan variabel
antar penelitian adalah, kebijakan perdagangan pangan Internasional (pajak ekspor) dan
harga minyak nabati pada pasar lokal dan pasar internasional, yang menarik dari
tulisan ini adalah kesamaan dalam meneliti pengaruh pajak ekspor pangan terhadap
harga pangan tersebut didalam negeri serta implikasi piagam putaran Uruguay pada
perdagangan pangan dunia, Ringkasan penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.3 nomor 6.
Akbar Siregar (2003). Melakukan studi berjudul analisis permintaan negara
terpilih terhadap minyak sawit kasar Indonesia, sebagai tesis magister ekonomi
pembangunan. Universitas Sumatera Utara tahun 2003. Beberapa variabel yang sama
dengan studi ini adalah ; harga CPO internasional, harga minyak kedelai, pendapatan
per kapita, pajak ekspor CPO, dan variabel kurs. Studi ini adalah tulisan terdahulu dari
peneliti didalam kajian ekspor CPO Indonesia untuk lebih jelas resume dari penelitian
ini dapat dilihat pada Tabel 2.4 nomor 7.
Adang Agustian dan Prajogo U.Hadi (2004). Melakukan studi berjudul “Analisa
dinamika ekspor dan keunggulan komparatif minyak kelapa sawit (CPO), dan tulisan
ini dimuat pada jurnal Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian IPB- Bogor, SOCA:
Volume 4. nomor 3 Tahun 2004. Beberapa variabel yang sama-sama menjadi objek
penelitian adalah variabel, pajak ekspor CPO, harga CPO Internasional, volume
produksi CPO dan harga minyak kedelai internasional. Penyebab tulisan ini dipilih
sebagai pembanding studi adalah tujuan dari penulisan, dimana Adang ingin mencari
tahu keunggulan CPO dipasar Internasional sehingga dianggap penting untuk
dibandingkan. Resume studi Adang Agustian dapat dilihat pada Tabel 2.4 nomor 8.
99
Wayan R.Susila (2004). Melakukan penelitian berjudul, Impacts of CPO Export
Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry dimuat pada Oil Palm Industry
Economic Journal (VOL. 4(2)/2004). Variabel yang serupa digunakan dalam penelitian
adalah, pajak ekspor CPO. volume produksi CPO, harga minyak goreng. Dimana
dampak pajak ekspor CPO menjadi tujuan penelitian sekaligus menjadi tujuan yang
akan dibandingkan. Penelitian Wayan dapat dilihat pada Tabel 2.4 nomor 9.
Mohd. Nasir et al. (2005). Meneliti dengan judul Market Potential and
Challenges for the Malaysian Palm Oil Industry in Facing Competition from Other
Vegetable Oils dan tulisan telah dimuat pada, Oil Palm Industry Economic Journal
(VOL. 5(1)/2005). Beberapa variabel yang serupa menjadi objek penelitian adalah,
Pajak ekspor. Harga CPO Internasional. Ringkasan dari penelitian Amiruddin terlihat
pada Tabel 2.5 nomor 10.
Dida Heryadi Salya (2006). Melakukan studi berjudul Rekayasa Model Sistem
Deteksi Dini Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit, sebagai Disertasi pada Program
Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. variabel diamati yang
serupa antar penelitian adalah, Kurs, harga CPO Internasional, volume ekspor CPO,
pajak ekspor CPO, pendapatan perkapita, Inflasi, Harga minyak goreng. Rekayasa Sub-
Model Penentuan Krisis dibangun menggunakan pendekatan teknik heuristik. ditujukan
untuk menentukan rentang batas ambang harga minyak goreng kelapa sawit yang bisa
diterima masyarakat dan dunia industri. Batas ambang atas (maksimum) ditentukan atas
dasar pertimbangan kemampuan daya beli konsumen. Sedangkan batas ambang bawah
(minimum) dibangun atas daya tahan industri untuk mampu berproduksi yaitu keuntungan
marjinal industri Ringkasan studi dari Dida dapat dilihat pada Tabel 2.5 nomor 11.
Ernawati Munadi (2007). Melakukan penelitian berjudul Penurunan Pajak
Ekspor dan Dampaknya Terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Tulisan ini
100
dimuat pada Jurnal Informatika Pertanian Vol 16 No.2, 2007. Beberapa variabel yang
serupa menjadi objek penelitian adalah variabel pajak ekspor, harga CPO
internasional,volume produksi CPO, volume ekspor CPO dan kurs, yang menarik dari
tulisan ini Ernawati meneliti masalah pengaruh pajak ekspor terhadap harga CPO
internasional, selanjutnya penelitian Ernawati dapat dilihat pada Tabel 2.5 nomor 12.
Syaad Afifuddin (2007). Melakukan Penelitian berjudul Analisis determinan
Produksi Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini
dimuat pada jurnal Wawasan Juni 2007,Volume 13 no.1. Beberapa variabel serupa
menjadi objek Penelitian adalah volume produksi CPO. Volume produksi minyak
goreng. Ringkasan dari Penelitian Syaad dapat dilihat pada Tabel 2.6 nomor 13.
Zainal Abidin (2008). Meneliti dengan judul Analisis Ekspor Minyak Kelapa
Sawit Indonesia. Penelitian dimuat pada jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 6
no.1April 2008. Beberapa variabel memiliki kesamaan Penelitian adalah pajak ekspor,
harga CPO internasional, harga minyak kedelai, volume produksi CPO, volume ekspor
CPO, nilai ekspor CPO, kurs. Resume tulisan Abidin terlihat pada Tabel 2.6 nomor 14.
Nugroho Joko Prastowo et al. (2008) . Melakukan Penelitian berjudul Pengaruh
Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi
dimuat pada Buletin Ekonomi Keuangan Bank Indonesia pada Juni 2008, nomor
Klasifikasi JEL: L81, Q11. Variabel yang hampir serupa digunakan dalam Penelitian
adalah,harga sembako produsen dan harga sembako konsumen, disini harga minyak
goreng masuk didalam salah satu kategori utama Penelitian kemudian variabel serupa
adalah indeks harga konsumen. Tujuan dari Penelitian Nugroho mencari tahu kadar
inflasi atas sembilan bahan pangan pokok juga merupakan kesamaan atas tujuan dari
Penelitian ini yaitu harga minyak goreng. Resume Penelitian pada Tabel 2.6 nomor 15.
101
Diana Chalil (2008). Melakukan Penelitian berjudul Market power and
subsidies in the Indonesian palm oil industry. Kertas kerja Penelitian disampaikan pada
AARES 52nd Annual conference, February 2008, Canberra ACT Beberapa variabel
yang sama digunakan dalam peneltian adalah ; nilai kurs, konsumsi CPO, harga CPO
lokal, harga minyak goreng sawit. Penelitian Chalil terlihat pada Tabel 2.6 nomor 16.
Rustam Effendi dan Sawitriyadi (2009). Meneliti berjudul faktor-faktor penentu
ekspor minyak kelapa sawit CPO Indonesia, dimuat pada Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Vol. 8, No. 3, Desember 2009 : 247 – 257 Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Beberapa variabel yang serupa menjadi objek Penelitian adalah variabel harga CPO
internasional, harga minyak kedelai, volume produksi CPO,volume ekspor CPO, nilai
ekspor CPO, luas lahan kelapa sawit,kurs Rupiah/US$. Ringkasan Penelitian Effendi
dapat dilihat pada Tabel 2.7 nomor 17.
Joseph Obado et al. (2009). Meneliti dengan judul The Impacts Of Exports Tax
Policy On The Indonesia Crude Palm Oil Industry. Penelitian ini dimuat oleh Jounal
ISSAAS Vol. 15, No. 2:107 -119 (2009)). Beberapa variabel Penelitian adal ah, harga
CPO internasional, harga minyak kedelai. volume produksi CPO, volume ekspor CPO,
pajak ekspor CPO. Resume Penelitian Obado terlihat pada Tabel 2.7 nomor 18.
Arifin Indra S. dan Roberto Akyuwen (2011). Meneliti dengan judul Factors
Affecting the Performance of Indonesia’s Crude Palm Oil Export dan hasil Penelitian
dipublikasikan pada International Conference on Economics and Finance Research
IPEDR vol.4 (2011) IACSIT Press, Singapore.Variabel didalam objek Penelitian adalah
Pajak ekspor CPO, Harga CPO Internasional, Volume produksi CPO, Volume ekspor
CPO,Harga minyak kedelai,Kurs, PDB per kapita. Ringkasan pada Tabel 2.7 nomor 19.
102
Noor Zahirah Mohd. Sidek et al. (2011). Malaysia’s palm oil exports: Does
exchange rate overvaluation and undervaluation matter? African Journal of Business
Management Vol. 5(27), pp. 11219-11230, 09 November, 2011 Available online at
http://www.academicjournals.org/AJBM DOI: 10.5897/AJBM11.2109 ISSN 1993-8233
©2011 Academic Journals. Beberapa variabel memiliki kesamaan penelitian adalah
nilai kurs, harga CPO Internasional, volume ekspor CPO, selanjutnya resume dari
Penelitian Noor Zahirah dapat dilihat pada Tabel 2.8 nomor 20.
Rifin Amzu (2011). Menulis disertasi berjudul, The Role of Palm Oil Industry in
Indonesian Economy And its Export Competitiveness, Dissertation Department of
Agricultural and Resource Economics, University of Tokyo, February 2011. variabel
yang serupa menjadi objek Penelitian adalah harga CPO Internasional, volume produksi
CPO, volume ekspor CPO, harga minyak kedelai, harga minyak goreng lokal, tingkat
suku bunga kredit. Kurs, PDB per kapita, pajak ekspor CPO, luas lahan kelapa sawit.
sehingga semua variabel Penelitian ini terkecuali volume produksi minyak goreng ada
didalam Penelitian Amzu, ringkasan studi dari Amzu dilihat pada Tabel 2.8 nomor 21.
Akbar Siregar (2012). Meneliti dengan judul, Analisis Struktural Harga Minyak
Goreng dan volume ekspor CPO Indonesia Pengaruhnya Terhadap Harga CPO Pasar
Internasional’ Universitas Sumatera Utara, Medan, Disertasi , 2013. Variabel yang
digunakan dalam Studi adalah ; Harga minyak goreng, Harga CPO internasional,
Volume produksi minyak goreng, Gross DomesticProduct, Indeks HargaKonsumen,
Pajak Ekspor CPO, Nilai Kurs Rp/US$, Luas Lahan Kelapa Sawit, Harga Minyak
Kedelai, Tingkat Suku Bunga.Volume Produksi CPO. Ringkasan dari studi Siregar,
terlihat di Tabel 2.8 nomor 22.
103
Tabel : 2.2 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.1 sampai dengan no.3.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
1
Donald F. Larson. “Indonesia‘s Palm Oil SubSector” Working Paper Commodity Policy and Analysis Unit no.1654 The World Bank International Economics Dept, September 1996.
1.Intervensi atas harga pasar lokal dan dampak pada pasar global. 2.Struktrur dari produksi sawit dan minyak sawit. Model Studi : ΔCS = (D no tax Pno tax – D tax P tax) / ( 1 + εd )
Luas Lahan Kebun Sawit jangka pendek (+) jangka panjang (-) Biaya Produksi (+) Harga Substitusi
Minyak Kelapa (+) Harga CPO (+) InvestasiPMA/PMDN
Jangka pendek (+) jangka panjang (-) Harga Minyak Goreng
Bulog (-) GDP / kapita (-)
Variabel terikat Pajak ekspor CPO
Methode analisa kuantitatif Dengan aplikasi matematika. Kesimpulan : 1.Harga pasar minyak goreng domestik pengaruhi harga pasar CPO global. 2.Rekomendasi menghapus Pajak ekspor CPO. 3. Pemerintah perlu untuk memperhatikan infra struktur pembangunan sektor perkebunan.
2
Purba Jan Horas “Model Ekonometrika Kelapa Sawit Indonesia, Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan Eksternal”. Jurnal Kopertis wilayah 4, tahun 2001.
1.Luas lahan kelapa sawit terhadap harga CPO lokal dan internasional Dalam hal kapasitas produksi kebun sawit rakyat, swasta, Negara. 2 Volume produksi CPO terhadap harga lokal , Internasional. 3. Simulasi kebijakan terhadap produksi, ekspor, dan harga minyak sawit. Model Studi : PVRUt = jo + j1 HCDNt + j2 SBUHt + j3 UTKUt + j4 HPUKt + j5 JCHUt + j6 Trend + j7 PVRUt-1 + U10
Luas kebun Rakyat (+) Luas kebun Swasta (+) Luas kebun Negara (-) Volume Produksi CPO (+) Volume Ekspor CPO
Indonesia (+) Nilai Tukar Kurs (+) Tingkat suku bunga (+) Tingkat Upah Kebun (+) Harga Pupuk (+) Kebijakan pemerintah (-)
Terhadap variabel terikat Harga CPO Internasional. Harga CPO domestik.
Berbagai model estimasi linear terhadap permintaaan dan penawaran Kelapa Sawit. Kesimpulan : 1. Luas kebun sawit di Sumatera mendekati jenuh. 2.Suku bunga pengaruhi nyata produksi CPO. 3.Harga pupuk, tingkat upah merespon harga CPO. 4 Orentasi produksi kebun swasta untuk ekspor, kebun rakyat dan Negara tidak. 5.Harga CPO domestik me- respons harga CPO intrnsnl. 6.Kurs & kebijakan pajak dominan Pengaruhi volume ekspor CPO Indonesia. 7. Kebijakan Pajak ekspor CPO tetap diperlukan.
3
Mohd.F.Hasan et al. Effects of an Export Tax on Competitive- ness The Case of the Indonesian Palm Oil Industry. Journal of Economic Development Volume 26, Number 2 December 2001.
Dampak dinamis jangka pendek dan jangka panjang dari pajak ekspor minyak sawit terhadap kinerja ekspor dan daya saing minyak sawit Indonesia dipasar Internasional. Model Studi :
- Nett Exports Indonesia. - Volume Ekspor CPO. - Relative Ekspor CPO. - Pajak Ekspor CPO. - Harga minyak goreng domestik Menggunakan data series
tahun 1994-1997. - Terhadap kinerja ekspor industri minyak sawit Indonesia.
Model ekonometrika vektor auto regressive (VAR) Kesimpulan : Mendapatkan : pajak ekspor memiliki dampak negatif bertahan dalam jangka waktu yg cukup lama pada daya saing industri kelapa sawit Indonesia namun pajak ekspor relevan untuk menurunkan daya saing yang dapat merugikan semua pihak.
Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.
104
Tabel : 2.3 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.4 sampai dengan no.6.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
4.
Basri A.Talib dan Zaimah Darawi, “ An Economic Analysis of the Malaysian Palm Oil Market “ Oil palm Industry Economic Journal (Vol. 2(1)/2002.)
- Identifikasi faktor penting mempengaruhi industri kelapa sawit Malaysia. - Membangun model
pasar minyak sawit Malaysia
Model Studi : YLDt=c0λ+(1–λ) YLDt–1+c1λRMPPOt + c2λRMPPOt–1+ c3λTIMEt+λu3t
Variabel bebas. Kurs (+) Volume Ekspor CPO (+) Harga CPO Internasionl(+) Teknologi Produksi (+) Harga minyak kedelai (+) Daya Beli Konsumen (+) Pertambahan Penduduk (+) Terhadap ; Volume Produksi CPO Harga Saham Sawit.
Estimasi model 2SLS. -Daya beli konsumen naik Sampai titik tertentu saja. -Jumlah penduduk lebih signifikan & elastis dalam respon volume konsumsi. - Harga minyak kedelai, signifikan & elastis. - Harga CPO internasional signifikan &elastis. - Teknologi Produksi signifikan dan elastis. - Perlu program kebijakan agar pihak swasta lebih maksimal membangun.
5.
Bonar M. Sinaga dan Ketut Ardana. “Struktur Produksi dan Kesahjateraan Pelaku Industri Minyak Goreng Indonesia jurnal SOCA: 263-274, ISSN 1411-7177, Volume 2. No.1 2003, Bogor.
- Faktor mempengaruhi struktur produksi minyak goreng.
- Dampak perubahan sosial ekonomi pada kesejahteraan masyarakat.
Model Studi : HDPO=s0+s1HXPO+ s2SDPO + s3DDPO + s4ER + s5TW + U19
- Luas lahan sawit. - Jumlah hasil panen sawit. - Jumlah kelapa kopra. - Lapangan kerja sektoral. - Tingkat upah sektoral. - Kebijakan pajak ekspor - Harga minyak goreng. (+) - Harga CPO Internas. - Vol.permintaan migor - Vol.prod.migor - Nilai kurs.
-Methode regresi 2 SLS. - Pajak CPO dominan pada Perubahan harga minyak sawit dan minyak goreng. - Sektoral perkebunan sawit menyerap pekerja dan tingkat upah memadai. - Produksi minyak goreng syarat dengan berbagai kepentingan ekonomi. - Volume produksi m.goreng ditentukan harga didalam negeri dan harga CPO Intrn.
6
Karl Meilke,Mitch Wensley, and Merritt Cluff, The Impact of Trade Liberalization on the International Oilseed Complex. Review of Agricultural Economics, Volume 23 Number 1,2003.
Perdagangan dan reformasi kebijakan domestik pangan, usulan nol untuk nol Dampak liberalisasi perdagangan kepada Produksi dan Konsumsi minyak bijian (goreng). Model Studi : D2O = α40 − α41P2O S2 O = KOD2SS1O + S2O = D1O+D2O S1M+S2M=D1M+D2M
- Kebijakan perdagangan (pajak) Internasional. - Harga minyak nabati
pasar lokal & pasar internasional.
- Harga pangan utama dunia.
- Simulasi pajak ekspor dan impor nol persen (konvensi pangan Uruguay) usulan
nol untuk nol.
Methode analisis : “ the OECD’s AGLINK.” - Pajak ekspor dan impor merugikan petani dan konsumen minyak nabati. -Harga pangan dunia ikut terpengaruh sesuai kondisi disetiap negara tidak sama. - Usulan nol untuk nol juga tidak efektif menjaga harga pada keseimbangannya. -Variabel lain seperti, cuaca, Tingkat pendapatan, jumlah penduduk lebih berpengaruh terhadap jumlah permintaan dan kepada hargakomoditas.
Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.
105
Tabel : 2.4 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.7 sampai dengan no. 9.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
7
Siregar M.Akbar Analisis Permintaan Negara Terpilih Terhadap Minyak Sawit Kasar Indonesia. Thesis Magister Ekonomi Pemb. Universitas Sumatera Utara 2003.
Melihat pengaruh dari variabel internal masing-masing negara-negara terpilih terhadap permintaan CPO Indonesia. LnPVCL(t) = α1 - α2nHCPI(t)+ α3LnHMKI(t) + α4 LnHMPL(t)+ α5Ln YCRL(t)–α6LnTAXC (t)–α7LnKRSL(t+μ
Harga CPO Harga Minyak kedelai. Harga Mentega setempat Pendapatan Perkapita (+) Pajak Ekspor CPO. Kurs Volume ekspor CPO Permintaan CPO Negara Terpilih
Methode Analisis : OLS. - Harga CPO Indonesia dipasar Internasional Kuala Lumpur berpengaruh positif,signifikan elastis. -Pemerintah harus mengupayakan minat investasi kepada pengolahan produk turunan CPO. - Perlu dibangun pasarCPO Internasional di Indonesia
8
Adang Agustian et al. Analisa dinamika ekspor dan keunggulan komparatifminyak kelapa sawit (CPO),Jurnal Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian IPB Bogor, SOCA Volume 4. nomor 3 Tahun 2004.
- Prospek dan peluang CPO bagi ekonomi Indonesia. - Persaingan CPO di pasar minyak nabati Internasional. Model Analisa : DRCR=DFCHS / (RHS-TICHS) PCR = DFCHP/ (RHP-TICHS)
- Pajak ekspor CPO. - Harga CPO lokal. - Harga CPO Internasional. - Volume Produksi CPO. - Volume ekspor CPO - Harga minyak kedelai. - Ratio biaya perseorangan. - Nilai ekspor Indonesia. - Keseimbangan volume konsumsi dan ekspor CPO.
Metode analisis : Komparatif dan Kompetitif. - Perkebunan kelapa sawit motor bagi perekonomian Indonesia (multi fungsi). - Sawit, dapat diandalkan karena keunggulan alamiah dan utilitas-nya besar. - Meningkatnya permintaan pasar internasional kepada CPO sebab harga murah dan manfaatnya luas. - Perlu dibentuk badan Pemasaran minyak sawit internasional.
9
Wayan R.Susila Impacts of CPO Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO. Industry Oil Palm Industry Economic Journal (VOL. 4(2)/2004).
- Menilai dampak pajak ekspor dalam beberapa aspek ekonomi dan aspek sosial kemasyarakatan Model Analisa : INPOAt=a0+a1RPORBP+a2INE45+a3INI45+a4D0+a5INPOAt-1+U1 INPOQt=b0+b1INPOPt+b2INPOAt+b3T+U2
- Pajak ekspor CPO. - Investasi perkebunan. - Volume produksi CPO, - Volume ekspor CPO - Pendapatan sektoral. - Distribusi pendapatan. - Harga minyak goreng. - Harga CPO internasional
- Metode Analisis : Struktur Persamaan Jalur (SEM). - Pajak ekspor menghambat pertumbuhan investasi dan tidak efektif dalam distribusi pendapatan.namun efektif menjaga pasokan CPO dalam negeri & harga minyak goreng -Produksi CPO dipengaruhi beban pajak ekspor tahun sebelumnya.
Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.
106
Tabel : 2.5 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.10 sampai dengan no.13.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
10
Nasir Mohd. Amiruddin et al. Market Potential and Challenges for the Malaysian Palm Oil Industry in Facing Competition from Other Vegetable Oils. Oil Palm Industry Economic Journal (VOL. 5(1)/2005).
- Potensi pasar dan tantangan minyak sawit Malaysia sebagai minyak industri didalam pasar persaingan minyak nabati lainnya. - Kebijakan Negara untuk ekspor CPO Dan dampaknya bagi pasar CPO internasional. Model Analisa
- Harga CPO Internasional.
- Harga minyak sayur. - Ekspor CPO Malaysia. - Ekspor minyak industri. - Permintaan CPO dunia. - Pajak ekspor. - Pertumbuhan ekonomi. - Pertumbuhan penduduk
negara importir CPO. - Konsumsi perkapita minyak CPO.
- Vektor Error orrection Model (VECM). - Terjadi perbedaan harga
dan volume permintaan produk saling substitusi di pasar internasional.
- Sifat kepemimpinan harga minyak kedelai didukung pemerintah Amerika serikat.
- Konsumsi CPO dimasa yad tetap cerah untuk konsumsi pangan dunia, namun harga CPO perlu segera perbaikan dari kebijakan pemerintah.
11
Dida Heryadi Salya Rekayasa Model Sistem Deteksi Dini Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit. Disertasi Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2006.
Deteksi dini dan rekayasa model sistem pakar, manajemen kontrol instrumen kebijakan pengendali krisis (DETRIME). Membantu ciptakan visi, misi,kebijakan pemangku kepentingan (stakeholder) Model analisis : DETRIME diajukan dapat berfungsi baik dalam mendeteksi harga minyak goreng 3 bulan kedepan.
- Kurs. - Harga CPO
internasional - Volume ekspor CPO. - Pajak ekspor CPO. - Investasi kebun sawit. - Permintaan minyak
goreng. - Harga minyak goreng. - Jumlah penduduk. - Pendapatan perkapita. - Inflasi, dan masih ada
19 variabel lainnya tidak disebutkan.
-Uji model Artificial Neural Network & model MultiLayer Back Propagatin Network. -Tingkat kritikalitas penentuan keadaan krisis ditentukan oleh parameter harga CPO dan jumlah produksi CPO serta kondisi sosial yang terjadi. -Kebijakan publik penanganan minyak goreng perlu dikaitkan dengan kebijakan pengembangan bioenergi.
12
ErnawatiMunadi Penurunan Pajak Ekspor Dampak terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Jurnal Informatika Pertanian Vol 16 No.2, 2007.
- Dampak perubahan harga CPO dalam penurunan pajak ekspor. - Pengaruhnya pada volume ekspor dan konsumsi CPO. Model analisis :
- Pajak ekspor. - Harga CPO
internasional. - Volume produksi CPO. - Volume ekspor CPO. - Nilai ekspor CPO. - Kurs
- ErrorCorrection Model - Ekspor CPO ke India dipengaruhi perubahan rasio harga minyak kedelai - Penurunan pajak ekspor akan meningkatkan harga CPO dalam negeri. - Kurs tidak signifikan dalam Mempengaruhi ekspor CPO
Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.
107
Tabel : 2.6 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.14 sampai dengan no.16.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
13
Syaad Afifuddin Analisis Determi- nan Produksi Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit Propinsi Sumatera Utara Jurnal Wawasan Juni 2007,Volume 13 no.1
-Menganalisis karakteristik industri minyak goreng di Propinsi Sumatera Utara dalam konteks teori produksi Cob douglas Diantaranya : bahan baku, nilai investasi kapasitas produksi trend waktu proxi teknologi,
- Bahan Baku CPO. - Investasi Rp/Tahun. - Kapasitas produksi - Trend waktu proxi kepada teknologi Variabel bebas : - volume produksi minyak goreng
- OLS Model -Industri minyak goreng di Propinsi. Sumut berproduksi pada Optimum kapasitas terpasang. -Variabel bahan baku berpengaruh signifikan dan elastis terhadap produksi minyak goreng.
14
Zainal Abidin, Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Aplikasi manajemen Volume 6 no.1April 2008.
- Menguji prospek bisnis CPO dimasa mendatang dan kontribusinya terhadap ekonomi nasional.
- Pajak ekspor. - Harga CPO internasional. - Harga minyak kedelai - Volume Produksi CPO. - Volume Ekspor CPO. - Nilai ekspor CPO. - Kurs - Luas lahan sawit.
Two Stage Least Square. -Kedudukan CPO dipasar nabati amat dominan dalam perubahan harga & volume. -Nilai tukar berpengaruh atas ekspor CPO dan tidak nyata untuk perluasan lahan sawit. - Perlu dibangunAgroindustri untuk nilai tambah CPO
15
Nugroho Joko Prastowo et al. Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi. Buletin Ekonomi Keuangan Bank Indonesia pada Juni 2008, no Klasifikasi JEL: L81, Q11.
- Mekanisme dalam pembentukan harga dan pola distribusi dari komoditas pangan Sembako. - Mengidentifikasi pengaruh distribusi dalam pembentukan harga komoditas pangan sembako.
- Harga sembako produsen. - Harga sembako pedagang. - Harga sembako
konsumen. - Indeks harga konsumen. - Cuaca/musim/hari besar. - Biaya transportasi. - Armada transportasi. - Infrastruktur perdagangan. - Kerusakan Infrastruktur
-Model ordinaryleast square - (volatile foods) memiliki peran penting, mengendali laju inflasi. - Gangguan distribusi sangat berpengaruh terhadap harga komoditas yang bersifat Perishable goods. - Jenis hambatan dihadapi biaya pengangkutan (35%), kerusakaninfrastruktur(20%) hambatan uaca/musim(17%) keterbatasan angkutan(16%).
16
Diana Chalil Market power and subsidies in the Indonesian palm oil industry. Papers in AARES 52nd Annual conference, February 2008, Canberra ACT
- Peran Pemerintah Dalam pembentukan harga minyak goreng.
- Nilai Kurs. - Discount rates (subsidi) - Konsumsi CPO. - Harga CPO lokal. - Harga minyak goreng
kelapa - Harga minyak goreng sawit
- Model duopoli dinamis. Regresi - Produsen industri minyak sawit menikmati beberapa tingkat kekuatan pasar. - Harga pasar lebih rendah dari harga kompetitif terjadi surplus konsumen. - Subsidi minyak goreng tidak seluruhnya tepat perlu Studi lebih jauh.
Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.
108
Tabel : 2.7 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.17 sampai dengan no.19.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
17
Rustam Effendi dan Sawitriyadi Faktor-Faktor Penentu Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 8, No. 3, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. 2009.
- Faktor signifikan dalam menentukan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia,
- Implikasi produksi
dan ekspor CPO bagi perekonomian
Indonesia.
- Harga CPO internasional. - Harga minyak kedelai. - Volume produksi CPO. - Volume ekspor CPO. - Nilai ekspor CPO. - Luas lahan kelapa sawit. - Kurs Rupiah/US$.
- Model Analisa OLS - Nilai ekspor CPO Indonesia berfluktuatif arah positif. - Faktor harga didalam dan
luar negeri mempengaruhi volume ekspor CPO.
- Volume produksi CPO dipengaruhi luas lahan. - Kurs sangat berpengaruh. - Perlu menambah lahan baru
18
Joseph Obado et al. The Impacts Of Exports Tax Policy On The Indonesia Crude Palm Oil Industry. Jounal ISSAAS Vol. 15, No. 2:107 -119 (2009).
- Dampak dari kebijakan pajak ekspor CPO terhadap industri CPO Indonesia. - Memaksimalkan Perolehan pajak Ekspor CPO bagi Kesahjateraan masyarakat.
- Harga CPO internasional. - Harga CPO domestik. - Harga minyak kedelai. - Volume produksi CPO. - Volume ekspor CPO. - Volume konsumsi CPO. - Nilai ekspor CPO. - Pajak ekspor CPO. - Pendapatan pajak ekspor. - Harga saham.
- Metode regresi 2SLS. - Pajak ekspor siginifikan
dan negatif terhadap vol.produksi volume ekspor, dan harga domestik CPO. Ditemukan positif berkaitan konsumsi CPO dan harga saham.
- Peluang kepada pemerintah untuk redistribusi pendapatan.
- Pajak ekspor CPO efektif menjaga harga minyak goreng
19.
Arifin Indra S. dan Roberto Akyuwen. Factors Affecting the Performance of Indonesia’s Crude Palm Oil Export. International Conference on Economics and Finance Research. IPEDR vol.4 (2011), Singapore.
- Faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor CPO
Indonesia. - Kebijakan oleh
pemerintah dalam mendukung ekspor khususnya CPO.
- Pajak ekspor CPO. - Harga CPO lokal. - Harga CPO Internasional. - konsumsi CPO domestik - Volume produksi CPO. - Volume ekspor CPO - Harga minyak kedelai. - Harga minyak b.matahari - Biaya ekspor. - Nilai ekspor Indonesia. - Nilai Kurs. - PDB per kapita. - Harga minyak mentah.
- Regresi berganda dengan data seri 38 tahun.
- Kebijakan pemerintah tidak optimal mendukung ekspor. - Kampanye hitam
berdampak negatif dan signifikan. - Harga CPO
lokal,Kurs,PDB perkapita,konsumsi CPO
tidak siginifikan, elastis. - Barang substitusi CPO
elastis dan signifikan. - CPO dapat diandalkan sebagai motor
perekonomian. Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.
109
Tabel : 2.8 Pemetaan Dari Studi Sebelumnya, no.21 sampai dengan no.22.
No
Nama Peneliti Judul Studi Nama Jurnal Tahun Studi
Permasalahan dan Model Studi.
Variabel Pengamatan dan Hipotesis
Methode Analisis dan Kesimpulan
20
Noor Zahirah et al. Malaysia’s palm oil exports.Does exchange rate overvaluation and undervaluationmatter African Journal of Business Management Vol. 5(27), pp. 11219-11230, 09 November, 2011 ISSN 1993-8233 ©2011.
Dampak dari risiko nilai tukar pada ekspor CPO, pada saat krisis keuangan Asia.yakni;kejadian misalignment diamati menggunakan pendekatan berbasis harga dan model pendekatan berbasis ekuilibrium perilaku nilai tukar uang.
- Nilai kurs. - misalignment nilai tukar. - Over valuation rate. - Under valuation rate. - Harga CPO Internasional. - Volume ekspor CPO. - Volume produksi CPO.
Model : Asymtes metrik berdasarkan Wald-test.
- Nilai tukar misalignment negatif mempengaruhi
ekspor kelapa sawit jangka panjang. Overvaluation/ and undervaluation
menganggu pertumbuhan ekspor CPO
- Terjadi sinyal ekonomi tidak sejalan fundamental keuangan.
- Manajemen pertukaran kompatibilitas fiskal.
21
Rifin Amzu 2011, The Role of Palm Oil Industry Indonesian Economy And its ExportCompetitivenes Dissertation Department of Agricultural and Resource Economics, University of Tokyo, February 2011
- Analisis kontribusi industri kelapa sawit terhadap ekonomi Indonesia.
- Analisis hubungan dari industri minyak sawit dengan sektor ekonomi lainnya.
- Analisis daya saing ekspor,produk CPO
Indonesia. - Analisis faktor penentu
daya saing ekspor CPO Indonesia-Malaysia.
- Harga CPO lokal. - Harga CPO Internasional. - Konsumsi CPO domestik - Volume produksi CPO. - Volume ekspor CPO. - Volume ekspor CPO
olahan - Harga minyak kedelai. - Harga minyak goreng
lokal. - Tingkat suku bunga
kredit. - Nilai ekspor Indonesia. - Kurs. - PDB per kapita. - Harga saham kelapa
sawit. - Pajak ekspor CPO. - Luas lahan kelapa sawit. - Tingkat upah sektoral. - Tingkat produksi sawit.
- Berbagai model ekonometrik Diantaranya, lag didistribusi
autoregressive (ARDL) -Sektor industri pengolahan CPO kontribusi terhadap
ekonomi dalam output dan nilai tambah.
- CPO ber kontribusi pada lapangan pekerjaan, keuangan, investasi, distribusi pendapatan
- CPO dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
- Upah tenaga kerja Indonesia lebih murah. - Volume CPO Indonesia
terus bertambah karena luas lahan Malaysia karena teknologi.
- Pajak ekspor tidak maksimal.
22
Siregar M.Akbar Analisis struktural Harga Minyak Goreng di Indonesia Pengaruhnya Terhadap Harga CPO Pasar Internasional’ Universitas Sumatera Utara, Medan, Disertasi , 2013.
1. Faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan harga. minyak goreng dan harga CPO Internasional. 2.Meneliti pengaruh dari PE-CPO dan Kurs terhadap penawaran Harga CPO dan harga M.goreng.
-Harga minyak goreng -Harga CPO internasionl. -Volume produksi minyak goreng. -GrossDomesticProduct -IndeksHargaKonsumen. -Pajak Ekspor CPO -Nilai Kurs Rp/US$. -LuasLahanKelapaSawit. -Harga Minyak Kedelai. -Tingkat Suku Bunga. -Volume Produksi CPO.
Path analisys Model Diantaranya : HCP =β0 + β1LLK (t-4). + β2HMK + β3VPC + β4HMG + β5PEC + β6KRS + β7TSB
Sumber : Diolah dari sumber disebutkan.