bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep dasar tumbuh … ii.pdf · teori perkembangan psikoseksual...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tumbuh Kembang Anak
2.1.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan pada dasarnya merupakan dua peristiwa yang
berbeda namun keduanya saling berkaitan. Pertumbuhan merupakan suatu
peningkatan ukuran tubuh yang dapat diukur dan dihasilkan oleh adanya
pembelahan sel dan sintesis protein. Pertumbuhan berhubungan dengan perubahan
pada kuantitas yang maknanya terjadi perubahan pada jumlah dan ukuran sel
tubuh yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan berat seluruh
bagian tubuh. Perkembangan adalah Peningkatan keterampilan dan kapasitas
untuk berfungsi secara bertahap dan terus-menerus. Perkembangan berhubungan
dengan perubahan secara kualitas, diantaranya terjadi peningkatan kapasitas
individu untuk berfungsi yang dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan,
dan pembelajaran. proses tersebut terjadi secara terus-menerus dan saling
berhubungan serta ada keterkaitan anatara satu komponen dan komponen lain.
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan adalah suatu
proses alamiah yang terjadi pada individu secara bertahap akan semakin
bertambah berat dan tinggi. Sedangkan perkembangan adalah suatu proses yang
terjadi secara simultan dengan pertumbuhan yang menghasilkan kualitas individu
untuk berfungsi, yang dihasilkan melalui proses pematangan dan proses belajar
dari lingkungannya (Supartini, 2004).
11
2.1.2 Tumbuh Kembang Masa Balita
Pada masa ini, pertumbuhan fisik anak relatif lebih lambat dibandingkan dengan
masa bayi, tetapi perkembangan motoriknya bekerja lebih cepat. Anak sering
mengalami penurunan nafsu makan sehingga tampak langsing dan berotot, dan
anak mulai belajar berjalan. Pada mulanya, anak berdiri tegak dan kaku, kemudian
berjalan dengan berpegangan. Anak mulai belajar berlari dan menaiki tangga
sekitar usia 16 bulan, tetapi masih terlihat kaku, oleh karena itu anak perlu
diawasi, karena dalam beraktifitas anak tidak memperhatikan bahaya. Menurut
teori Erikson, anak berada pada fase mandiri vs malu atau ragu-ragu (otonomi vs
doubt), hal ini terlihat dengan perkembangannya kemampuan anak yaitu dengan
belajar untuk makan, dan berpakaian sendiri. Apabila orang tua tidak mendukung
upaya anak untuk belajar mandiri, makan hal ini dapat menimbulkan rasa ragu
akan kemampuannya, misalnya orang tua yang selalu memanjakan anak dan
mencela aktivitas yang dilakukan oleh anak. Pada masa ini, sudah sampai
waktunya anak dilatih untuk buang air besar atau buang air kecil pada tempatnya
(toilet training). Tahap perkembangan anak pada usia 2-3 tahun, anak balita sudah
mampu mengucapkan keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil. Ini
menandakan anak balita khususnya usia 2-3 tahun sudah mampu menunjukkan
peningkatan kemandirian dalam hal toileting melalui proses toilet training.
(Riyadi dan Sukarmin, 2009). Berikut akan dipaparkan beberapa teori
perkembangan anak usia 1-3 tahun:
12
1. Teori perkembangan psikoseksual (Freud)
Fase anal (1-3 tahun), selama fase kedua, yaitu menginjak tahun pertama
sampai tahun ketiga, kehidupan anak berpusat pada kesenangan anak, yaitu
selama perkembangan otot sfingter. Anak senang menahan feses, bahkan
bermain-main dengan fesesnya. Dengan demikian toilet training adalah waktu
yang tepat dilakukan pada periode ini (Soetjiningsih, 2014).
2. Periode perkembangan anak menurut Wong (2000), dalam Supartini (2004)
Periode kanak-kanak awal (usia 1-3 tahun), toddler menunjukkan
perkembangan motorik yang lebih lanjut dan anak-anak menunjukkan
kemampuan aktivitas lebih banyak bergerak, mengembangkan rasa ingin tahu,
dan eksplorasi terhadap benda yang ada di sekelilingnya, sehingga bahaya atau
resiko terjadi kecelakaan harus diwaspadai pada periode ini. Orang tua perlu
mendapatkan bimbingan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bahaya
atau ancaman kecelakaan tersebut. Pada usia ini, sudah sampai waktunya
seorang anak terlatih toileting.
3. Perkembangan mental, gerak kasar dan halus, emosi, sosial, prilaku, bicara
anak usia 2-3 tahun.
Perkembangan mental, gerakan kasar dan halus, emosi, sosial, perilaku, bicara
anak usia 2-3 tahun menurut Soetjiningsih (2014), adalah sebagai berikut:
a. Belajar meloncat
b. Memanjat
c. Melompat pada satu kaki
d. Membuat jembatan dengan tiga kotak
13
e. Mampu menyusun kalimat
f. Menggunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang di
tunjukkan kepadanya
g. Menggambar lingkaran
h. Bermain bersama dengan anak-anak lain dan menyadari adanya
lingkungan lain diluar keluarganya
2.1.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tumbuh Kembang
Pola pertumbuhan dan perkembangan secara normal antara anak yang satu dengan
yang lainnya pada akhirnya tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh interaksi
banyak faktor. Menurut Soetjiningsih (2014), faktor yang mempengaruhi tumbuh
kembang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor dalam (internal)
a. Genetika
Faktor genetik akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan
kematangan tulang, alat seksual serta saraf, sehingga merupakan modal
dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang.
b. Pengaruh hormon
Pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa prenatal, yaitu saat janin
berumur 4 bulan. Pada saat itu, terjadi pertumbuhan yang cepat. Hormon
yang berpengaruh terutama adalah hormone pertumbuhan somatotropin
yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitary. Selain itu, kelenjar tiroid juga
menghasilkan hormon tiroksin yang berguna untuk metabolisme serta
maturasi tulang, gigi, dan otak.
14
2. Faktor eksternal (lingkungan)
Faktor lingkungan yang dapat berpengaruh dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. Prenatal (selama kehamilan)
Meliputi: gizi, yaitu nutrisi ibu hamil akan mempengaruhi pertumbuhan
janin selama trimester akhir kehamilan. Mekanis (posisi janin yang
abnormal dalam kandungan dapat menyebabkan kelainan konginetal
misalnya club foot). Toksin, zat kimia, radiasi, kelainan endokrin, infeksi
TORCH atau penyakit menular seksual, kelainan imunologi, psikologis
ibu.
2. Natal (kelahiran)
Riwayat kelahiran dengan vacum ekstraksi atau forceps dapat
menyebabkan trauma kepala pada bayi sehingga beresiko terjadinya
kerusakan jaringan otak.
3. Pasca natal
Seperti halnya pada masa pasca natal, faktor yang berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak adalah gizi, penyakit kronis atau kelainan
konginetal, lingkunga fisik dan kimia, psikologis, endokrin, sosioekonomi,
lingkungan pengasuhan, stimulasi, dan obat-obatan.
2.2 Penyuluhan
2.2.1 Pengertian
Penyuluhan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan
pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan
mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran (Maulana, 2009).
15
Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari
dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (di luar diri manusia). Faktor
internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari berbagai
faktor antara lain ; sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi,
pendidikan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).
penyuluhan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan sadar untuk
menciptakan peluang bagi individu untuk senantiasa belajar memperbaiki
kesadaran serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan demi kepentingan
kesehatan (Nursalam, 2008). Menurut Pickett dan Hanlon (2009), penyuluhan
kesehatan adalah proses membantu seseorang dengan bertindak secara sendiri
untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang
mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain. Secara operasional
pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek baik individu, kelompok atau
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri
(Notoatmodjo, 2012).
2.2.2 Tujuan
Terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga, kelompok
khusus, dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat
serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
(Nursalam, 2008). Menurut Maulana (2009) tujuan penyuluhan kesehatan adalah
16
mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan. Selain itu
tujuan dari penyuluhan kesehatan antara lain:
1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat. Oleh
sebab itu, pendidik kesehatan bertanggung jawab mengarahkan cara-cara
hidup sehat menjadi kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari.
2. Menolong individu agar mampu mandiri mengadakan kegiatan untuk
mencapai tujuan hidup sehat.
3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan
kesehatan yang ada.
Oleh karena itu, pencapaian target penyuluhan dibagi menjadi tujuan jangka
pendek yaitu tercapainya perubahan pengetahuan, tujuan jangka menengah hasil
yang diharapkan adalah adanya peningkatan pengertian, sikap, dan keterampilan
yang akan mengubah perilaku ke arah perilaku sehat, dan tujuan jangka panjang
adalah dapat menjalankan perilaku sehat dalam kehidupan sehari-harinya
(Maulana, 2009).
2.2.3 Sasaran
Sasaran penyuluhan kesehatan sesuai dengan program pembangunan Indonesia
meliputi: masyarakat umun dengan berorientasi pada masyarakat pedesaan,
kelompok tertentu (misalnya wanita, pemuda, remaja, termasuk lembaga
pendidikan), dan individu dengan teknik pendidikan kesehatan individual
(Maulana, 2009). Sedangkan menurut Absah (2011) Sasaran penyuluhan
kesehatan mencakup individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Penyuluhan
kesehatan pada individu dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, puskesmas,
17
posyandu, keluarga binaan dan masyarakat binaan. Penyuluhan kesehatan pada
keluarga diutamakan pada keluarga resiko tinggi, seperti keluarga yang menderita
penyakit menular, keluarga dengan sosial ekonomi rendah, keluarga dengan
keadaan gizi yang buruk, keluarga dengan sanitasi lingkungan yang buruk dan
sebagainya. Penyuluhan kesehatan pada sasaran kelompok dapat dilakukan pada
kelompok ibu hamil, kelompok ibu yang mempunyai anak balita, kelompok
masyarakat yang rawan terhadap masalah kesehatan seperti kelompok lansia,
kelompok yang ada di berbagai institusi pelayanan kesehatan seperti anak sekolah,
pekerja dalam perusahaan dan lain-lain. Penyuluhan kesehatan pada sasaran
masyarakat dapat dilakukan pada masyarakat binaan puskesmas, masyarakat
nelayan, masyarakat pedesaan, masyarakat yang terkena wabah dan lain-lain.
2.2.4 Materi atau Pesan
Materi atau pesan yang disampaikan kepada sasaran hendaknya disesuaikan
dengan kebutuhan kesehatan dari individu, keluarga, kelompok dan masyarakat,
sehingga materi yang disampaikan dapat dirasakan langsung manfaatnya. Materi
yang disampaikan sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak
terlalu sulit untuk dimengerti oleh sasaran, dalam penyampaian materi sebaiknya
menggunakan metode dan media untuk mempermudah pemahaman dan untuk
menarik perhatian sasaran (Effendy, 2009)
18
2.2.5 Metode Penyuluhan
Menurut Notoatmodjo (2012), metode penyuluhan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil penyuluhan secara optimal. Metode
yang dikemukakan antara lain :
1. Metode penyuluhan perorangan (individual)
Dalam penyuluhan kesehatan metode ini digunakan untuk membina perilaku
baru atau seseorang yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku
atau inovasi. Dasar digunakan pendekatan individual ini karena setiap orang
mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan
penerimaan atau perilaku baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini antara lain:
a. Bimbingan dan penyuluhan
Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif. Setiap
masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikoreksi dan dibantu
penyelesaiannya. Akhirnya klien akan dengan sukarela, berdasarkan
kesadaran dan penuh pengertian akan menerima perilaku tersebut.
b. Wawancara
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan.
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali
informasi mengapa sasaran tidak atau belum menerima perubahan, untuk
mempengaruhi apakah perilaku yang sudah atau akan diadopsi itu
mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum
maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
19
2. Metode penyuluhan kelompok
Dalam memilih metode penyuluhan kelompok harus mengingat besarnya
kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk
kelompok yang besar, metodenya akan berbeda dengan kelompok kecil.
Efektifitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran
penyuluhan. Metode ini mencakup :
a. Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang.
Metode yang baik untuk kelompok ini adalah ceramah dan seminar.
1. Ceramah
Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun
rendah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode
ceramah adalah persiapan dan pelaksanaan.
2. Seminar
Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan
pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari
seseorang ahli atau beberapa orang ahli tentang suatu topik yang
dianggap penting di masyarakat.
b. Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 15 orang.
Metode yang cocok untuk kelompok ini adalah diskusi kelompok, curah
pendapat, bola salju, memainkan peranan, permainan simulasi.
3. Metode penyuluhan massa
Dalam metode ini penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang
sifatnya massa atau public. Oleh karena sasaran bersifat umum dalam arti
20
tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi,
tingkat pendidikan dan sebagainya, maka pesan kesehatan yang akan
disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh
massa tersebut. Pada umumnya bentuk pendekatan massa ini tidak langsung,
biasanya menggunakan media massa. Beberapa contoh dari metode ini adalah
ceramah umum, pidato melalui media massa, simulasi, dialog antara pasien
dan petugas kesehatan, sinetron, tulisan dimajalah atau koran, bill board yang
dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan sebagainya.
2.2.6 Alat Bantu dan Media Penyuluhan
1. Alat Bantu Penyuluhan (Peraga)
Alat bantu penyuluhan adalah alat-alat yang digunakan oleh penyuluh dalam
menyampaikan informasi. Alat bantu ini sering disebut alat peraga karena
berfungsi untuk membantu dan meragakan sesuatu dalam proses penyuluhan
(Notoatmodjo, 2012). Prinsip pembuatan alat peraga atau media bahwa
pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima atau ditangkap melalui
pancaindra. Semakin banyak pancaindra yang digunakan, semakin banayak dan
semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan alat peraga dimaksudkan mengerahkan indra
sebanyak pada suatu objek sehingga memudahkan pemahaman. Menurut
penelitian, pancaindra yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak
adalah mata, sedangkan 13 % sampai 25% pengetahuan manusia diperolaeh atau
disalurkan melalui indra lainnya (Effendy, 2009).
21
Alat peraga atau media mempunyai intensitas yang berbeda dalam membantu
permasalahan seseorang. Elgar Dale menggambarkan intensitas setiap alat
peraga dalam sebuah kerucut. Alat peraga yang memiliki intensitas paling
tinggi adalah benda asli dan yang memiliki intensitas paling rendah adalah
kata-kata. Hal ini berarti penyampaian materi dengan kata-kata saja kurang
efektif. Seperti penggunaan metode, akan lebih efektif dan efisien apabila
yang digunakan tidak hanya satu alat peraga, tetapi gabungan dari beberapa
media (Effendy, 2009).
Manfaat alat peraga menurut Effendy (2009) adalah:
1. Menimbulkan minat sasaran
2. Mencapai sasaran yang lebih banyak
3. Membantu mengatasi banyak hambatan dan pemahaman
4. Merangsang sasaran untuk meneruskan pesan kepada orang lain
5. Memudahkan penyampaian informasi
6. Memudahkan penerimaan informasi oleh sasaran
7. Menurut penelitian, organ yang paling banyak menyalurkan pengetahuan
adalah mata. Oleh sebab itu, dalam aplikasi pembuatan media, disarankan
lebih banyak menggunakan alat-alat visual karena akan mempermudah
cara penyampaian dan penerimaan informasi oleh masyarakat.
8. Mendorong keinginan untuk mengetahui, mendalami, dan mendapat
pengertian yang lebih baik.
22
9. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh, yaitu menegakkan
pengetahuan yang telah diterima sehingga apa yang diterima lebih lama
tersimpan dalam ingatan.
Pada garis besarnya ada 3 macam alat bantu penyuluhan, yaitu :
a. Alat bantu lihat (visual aids)
Alat ini berguna dalam membantu menstimulasikan indera penglihatan
pada waktu ternyadinya penyuluhan. Alat ini ada 2 bentuk yaitu alat yang
diproyeksikan misalnya slide, film dan alat yang tidak diproyeksikan
misalnya dua dimensi, tiga dimensi, gambar peta, bagan, bola dunia,
boneka dan lain-lain. Masing-masing media, baik yang diproyeksikan
maupun tidak diproyeksikan tak lepas dari kelebihan dan keterbatasan
yang ada, tergantung pada situasi dan kondisi pengoperasiannya (Munadi,
2008).
b. Alat bantu dengar (audio aids)
Alat ini berguna dalam membantu menstimulasi indera pendengar, pada
waktu proses penyampaian bahan penyuluhan. Pesan hanya diterima
dengan indera pendengaran dan hanya memanipulasi bunyi atau suara
(Munadi, 2008). Media audio bisa menyampaikan pesan verbal maupun
non verbal. Pesan verbal berupa bahasa lisan atau kata-kata, sedangkan
pesan non verbal berwujud bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan,
guman, musik, dan lain-lain (Amien dan Lamere, 2010). Jenis-jenis alat
bantu dengar antara lain tape recorder, cd maupun radio. Alat bantu
dengar mempunyai kelebihan fleksibel, murah, mudah dibawa, namun
23
memerlukan peralatan khusus, memerlukan kemampuan dan keterampilan
khusus untuk pemanfaatannya (Waryanto, 2007).
c. Alat bantu lihat-dengar (audio-visual aids)
Alat ini berguna dalam menstimulasi indera penglihatan dan pendengaran
pada waktu proses penyuluhan. Media ini mempunyai unsur suara dan
unsur gambar. Menurut Herdiannanda (2010) audio visual merupakan
kombinasi audio dan visual dimana penyajian materi atau bahan ajar akan
lebih optimal dengan menggunakan media ini karena dapat membangun
kondisi yang dapat membuat sasaran mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Media audio visual dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu media audio visual murni dan media audio visual tidak murni.
Media audio visual murni dilengkapi oleh fungsi peralatan suara dan
gambar dalam satu unit, contohnya film bergerak (movie), televisi, dan
video. Sedangkan media audio visual tidak murni adalah peralatan media
visual yang diberikan suara, contohnya slide, opaque, OHP (Munadi,
2008). Media audio visual lebih dikenal sebagai media video (Waryanto,
2007).
Video merupakan media yang cocok digunakan untuk berbagai sasaran
pembelajaran, seperti masyarakat umum, kelompok bahkan individu
(Amien dan Lamere, 2010). Video juga dapat dimanfaatkan dalam
berbagai topik, tipe orang yang belajar, dan dapat digunakan pada
perubahan perilaku baik kognitif, afektif, psikomotorik, dan interpersonal
(Waryanto, 2007). Manfaat dan karakteristik lain dari media video dapat
24
meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran, diantaranya
adalah pesan yang disampaikan lebih cepat dan lebih mudah diingat,
memperjelas hal-hal yang abstrak dan memberikan penjelasan yang lebih
realistik (Munadi, 2008). Namun kekurangannya yaitu sulit untuk direvisi,
relatif mahal, dan memerlukan keahlian khusus dalam pengoprasiannya
(Waryanto, 2007).
2. Media Penyuluhan
Media adalah alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan
pendidikan atau pengajaran. Media penyuluhan disebut juga sebagai alat peraga
karena berfungsi membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses penyuluhan.
Penyuluhan kesehatan tak dapat lepas dari media karena melalui media, pesan
yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami, sehingga sasaran dapat
mempelajari pesan tersebut sampai memutuskan untuk mengadopsinya ke
perilaku yang positif. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan kesehatan,
media ini dibagi menjadi 3 yakni :
a. Media cetak
Media ini mengutamakan pesan-pesan visual, biasanya terdiri dari gambaran
sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata warna. Yang termasuk dalam
media ini adalah booklet, leaflet, flyer (selebaran), flip chart (lembar balik),
rubric atau tulisan pada surat kabar atau majalah, poster, foto yang
mengungkapkan informasi kesehatan. Ada beberapa kelebihan media cetak
antara lain tahan lama, mencakup banyak orang, biaya rendah, dapat dibawa
kemana-mana, tidak perlu listrik, mempermudah pemahaman dan dapat
25
meningkatkan gairah belajar. Media cetak memiliki kelemahan yaitu tidak
dapat menstimulir efek gerak dan efek suara dan mudah terlipat.
b. Media elektronik
Media ini merupakan media yang bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan
didengar dan penyampaiannya melalui alat bantu elektronika. Yang termasuk
dalam media ini adalah televisi, radio, video film, cassette, CD, VCD. Seperti
halnya media cetak, media elektronik ini memiliki kelebihan antara lain lebih
mudah dipahami, lebih menarik, sudah dikenal masyarakat, bertatap muka,
mengikut sertakan seluruh panca indera, penyajiannya dapat dikendalikan dan
diulang-ulang serta jangkauannya lebih besar. Kelemahan dari media ini
adalah biayanya lebih tinggi, sedikit rumit, perlu listrik dan alat canggih untuk
produksinya, perlu persiapan matang, peralatan selalu berkembang dan
berubah, perlu keterampilan penyimpanan dan keterampilan untuk
mengoperasikannya.
c. Media luar ruang
Media menyampaikan pesannya di luar ruang, bisa melalui media cetak
maupun elektronik misalnya papan reklame, spanduk, pameran, banner dan
televisi layar lebar. Kelebihan dari media ini adalah lebih mudah dipahami,
lebih menarik, sebagai informasi umum dan hiburan, bertatap muka, mengikut
sertakan seluruh panca indera, penyajian dapat dikendalikan dan jangkauannya
relatif besar.
Kelemahan dari media ini adalah biaya lebih tinggi, sedikit rumit, perlu alat
canggih untuk produksinya, persiapan matang, peralatan selalu berkembang
26
dan berubah, memerlukan keterampilan penyimpanan dan keterampilan untuk
mengoperasikannya.
Media penyuluhan kesehatan yang baik adalah media yang mampu
memberikan informasi atau pesan-pesan kesehatan yang sesuai dengan tingkat
penerimaan sasaran, sehingga sasaran mau dan mampu untuk mengubah
perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan (effendi, 2009)
2.3 Toilet Training
2.3.1 Pengertian
Kebiasaan mengompol pada anak di bawah usia 2 tahun merupakan hal yang
wajar, bahkan ada beberapa anak yang masih mengompol pada usia 4-5 tahun dan
sesekali terjadi pada anak 7 tahun. Anak di bawah usia 2 tahun mengompol karena
belum sempurnanya kontrol kandung kemih atau toilet trainingnya (Ford, 2007).
Pada tahapan usia 1 sampai 3 tahun, kemampuan sfingter uretra untuk mengontrol
rasa ingin berkemih dan sfingter ani untuk mengontrol rasa ingin defekasi mulai
berkembang. Sekitar 90 persen bayi mulai mengembangkan kontrol kandung
kemih dan perutnya pada umur 1 tahun hingga 2,5 tahun (Natalia, 2006). Toilet
training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol
dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Toilet training ini dapat
berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan sampai 24 bulan
(Hidayat, 2008). Menurut supartini (2004), toilet training merupakan aspek
penting dalam perkembangan anak usia toddler yang harus mendapat perhatian
orang tua dalam berkemih dan defekasi.
27
2.3.2 Macam-Macam Toilet Training
Menurut Gilbert (2009) toilet training terdiri dari bowel control (kontrol buang air
besar) dan bladder control (kontrol buang air kecil).
1. Bowel Control (Kontrol buang air besar)
Bowel control adalah kemampuan anak menahan dan melepaskan keinginan
buang air besar atau kemampuan sfingter ani untuk mengontrol rasa ingin
defekasi mulai berkembang. Rata- rata anak mulai bisa latihan sejak usia 8
bulan sampai 2 tahun pada anak perempuan dan 3 tahun pada anak laki-laki.
2. Bladder Control (control buang air kecil)
Bladder control adalah kemampuan anak menahan dan melepaskan keinginan
buang air kecil atau kemampuan sfingter uretra untuk mengontrol rasa ingin
berkemih.
2.3.3 Tujuan Toilet Training
Tujuan dari toilet training ini adalah untuk melatih kemampuan anak usia 1
sampai 3 tahun mengendalikan rasa ingin kencing dan rasa ingin defekasi
(Supartini, 2004).
2.3.4 Tahapan Toilet Training
Menurut Gilbert (2009), tahapan melatih anak toilet training terdiri dari:
1. Pastikan anak siap
Umumnya anak bisa dilatih toilet training setelah otot-ototnya mulai dapat
mengontrol kandung kemih pada usia di atas 18 bulan. Selain itu juga ditandai
dengan kesiapan emosi, fisik dan psikologis di usia sekitar 2-3 tahun. Tanda-
28
tanda anak siap untuk dilatih toilet training antara lain: anak dapat duduk
tegak, dapat membuka-memakai celana, bisa memahami instruksi sederhana
dan sudah bisa mengatakan keinginannya untuk buang air besar dan buang air
kecil.
2. Biasakan kegiatan kamar mandi
Membiasakan anak dalam melakukan toilet training dapat di mulai dengan
mengenalkan dan membiasakan anak untuk buang air kecil dan buang air
besar di pispot. Ajarkan anak menggunakan toilet untuk menumbuhkan
pemahaman anak tentang perlunya toilet. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menceritakan secara sederhana bagaimana cara buang air besar dan buang air
kecil di toilet.
3. Mengatur Jadwal
Mengatur asupan cairan dan makanan anak diperlukan untuk mengatur
interval ke kamar mandi. Untuk mengatur jadwal orang tua perlu mengamati
jadwal siklus buang air besar dan buang air kecil anak. Siklus ini memudahkan
untuk mengajak anak menyalurkan dorongan buang air kecil dan buang air
besar di tempat dan waktu yang tepat.
4. Konsisten
Melatih anak untuk melakukan toileting harus dilakukan dengan konsisten
sehingga anak cepat paham dan semakin terampil memakai toilet. Informasi
yang lengkap mengenai kebiasaan dan jadwal toileting dapat diberikan untuk
menambah pemahaman anak.
29
5. Memberi pujian
Memberikan pujian kepada anak apabila berhasil melakukan toilet training
dengan benar akan membuat anak menganggap toilet training merupakan hal
yang penting. Hindari untuk menghukum dan memasang wajah marah dan
kecewa karena hal tersebut akan membuat anak takut sehingga anak tidak
berani mengatakan keinginannya untuk buang air besar dan buang air kecil.
2.3.5 Tanda Kesiapan Anak Melakukan Toilet Training
Menurut Gilbert (2009) tanda kesiapan anak melakukan toilet training adalah:
1. Kesiapan fisik
kemampuan anak secara fisik sudah kuat dan mampu. Hal ini dapat ditunjukan
dengan anak mampu duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk
dapat dilatih buang air besar dan kecil, dapat jongkok dan berdiri ditoilet
selama 5-10 menit tanpa berdiri dulu, mempunyai kemampuan motorik halus
seperti membuka celana dan pakaian.
2. Kesiapan mental
Dimana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu mengontrol
dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar dan buang air kecil.
Kesiapan psikologis yang harus dimiliki anak diantaranya adalah anak dapat
bersabar mengontrol keinginan buang air kecil maupun buang air besar, tidak
rewel jika berada di dalam toilet tanpa bantuan orang lain, mengenal rasa yang
datang tiba-tiba untuk berkemih dan defekasi, komunikasi secara verbal dan
non verbal jika merasa ingin berkemih dan defekasi, keterampilan kognitif
untuk mengikuti perintah dan meniru perilaku orang lain
30
3. Kesiapan psikologis
a. Dapat duduk atau jongkok di toilet 5 sampai 10 menit tanpa berdiri dulu
b. Mempuyai rasa penasaran atau rasa ingin tau terhadap kebiasaan orang
dewasa dalam buang air
c. Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat di
celana dan ingin diganti segera
4. Kesiapan intelektual
Hal ini dapat ditunjukan apabila anak memahami arti buang air besar atau
kecil sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat mengetahui
kapan saatnya harus buang air kecil dan buang air besar, kesiapan tersebut
akan menjadikan diri anak selalu mempunyai kemandirian dalam mengontrol
khususnya buang air besar dan buang air kecil (toilet training). Anak dalam
kesiapan intelektual harus dapat membedakan buang air kecil dan buang air
besar dan mengerti dimana tempat buang air semestinya, serta dapat
mengkomunikasikan jika ia ingin melakukan kedua hal tersebut kepada orang
tua.
5. Kesiapan orang tua
a. Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan defekasi
b. Ada keinginan untuk meluangkan waktu yang diperlukan untuk latihan
berkemih dan defekasi pada anak
c. Tidak mengenal konflik atau stress keluarga yang berarti, misalnya
perceraian
31
2.3.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Toilet Training Pada Anak
1. Usia
Menurut riset yang dilakukan di Amerika menunjukkan usia rata-rata anak
menguasai latihan toilet training adalah usia 35 bulan bagi anak perempuan
dan usia 39 bulan bagi anak laki-laki. Usia yang efektif untuk dilakukan
latihan toilet training adalah usia 1-3 tahun. Hasil penelitian Nurul (2010),
toilet training yang diajarkan pada sekelompok anak usia <24bulan, 68%
dapat menyelesaikannya sebelum usia 3 tahun. Sedangkan pada sekelompok
yang berusia >24 bulan, hanya 54% yang mampu menyelesaikannya sebelum
3 tahun.
2. Jenis Kelamin
Hasil penelitian Nurul (2010), jenis kelamin juga berpengaruh terhadap
keberhasilan toilet training pada anak, dimana anak perempuan lebih mudah
untuk diajarkan toilet training dibandingkan anak laki-laki karena emosional
pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.
3. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Tingkat
pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet
training. Apabila pendidikan ibu rendah akan berpengaruh pada pengetahuan
tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan
toilet training pada anak.
32
2.3.7 Tanda Anak Berhasil Toilet Training
Menurut Gilbert (2009), tanda seorang anak berhasil melakukan toilet training
adalah:
1. Tidak mengompol dalam waktu beberapa jam sehari minimal 3-4 jam
2. Anak berhasil bangun tidur tanpa mengompol
3. Sudah mampu memberi tahu apabila celana atau popoknya sudah basah dan
kotor
4. Bisa memakai dan melepas celana sendiri
5. Mampu jongkok 5 sampai 10 menit tanpa berdiri dulu
6. Mampu memberi tahu toiletnya sudah selesai
2.3.8 Akibat Apabila Orang Tua Tidak Mengajarkan Toilet Training
Apabila orang tua tidak berhasil dalam mengajarkan anak tentang bagaimana
toilet training yang benar, maka akan sangat berdampak terhadap perkembangan
anak, seperti:
1. Kesulitan mengontrol buang air besar
Salah satu akibat jika orang tua tidak berhasil dalam mengajarkan anak
tentang toilet training adalah anak akan mengalami kesulitan mengontrol
buang air besar, buang air besar menjadi tidak teratur, anak akan menahan
keinginan buang air besar dengan sengaja atau tidak mau buang air besar pada
tempatnya, misalnya dicelana.
2. Kesulitan mengontrol kandung kemih atau buang air kecil
Kesulitan anak dalam mengontrol kandung kemih atau buang air kecil salah
satunya ditunjukkan dengan kegagalan menahan keinginan untuk buang air
33
kecil dengan sengaja misalnya mengompol atau buang air kecil di sembarang
tempat.
3. Enuresis
Menurut pengalaman 25% anak gagal melakukan buang air besar atau buang
air kecil setelah umur 3 tahun dan pada anak laki-laki lebih sering daripada
anak perempuan (Ford, 2007)
2.4 Pengaruh Penggunaan Audio Visual terhadap Keberhasilan Toilet
Training pada Anak
perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh, sehingga
hal tersebut dapat memunculkan sikap terhadap nilai-nilai yang baik salah satunya
adalah kesehatan (Listuayu, 2012). Dalam perkembangan psikoseksual anak
terdapat 5 tahap yaitu tahap oral, tahap anal, tahap oedipal/phalik, tahap laten dan
tahap genital (Hidayat, 2008). Pada tahap anal fokus kesenangan berubah ke area
anal, anak-anak semakin tertarik pada sensasi kesenangan pada daerah anal. Pada
tahap ini anak mulai mampu untuk mengontrol buang air besar dan buang air
kecil. Pada tahap inilah waktu yang tepat untuk orang tua mengajarkan anak
tentang toilet training (Supartini, 2004). Untuk mendukung keberhasilan anak
dalam melakukan toilet training diperlukan media yang tepat sehingga dapat
mengembangkan stimulus suara dan gerak sehingga dapat mengubah perilaku dan
anak pun berhasil dalam melakukan toilet training. Stimulus dapat menggunakan
media untuk memperjelas pesan yang disampaikan sehingga dapat memberikan
pengalaman yang tidak langsung (Fitriani, 2011).
34
Media yang sebaiknya digunakan dalam pembelajaran sebaiknya yang
menggunakan lebih dari satu panca indera karena diketahui bahwa 83%
pengetahuan manusia disalurkan melalui penglihatan dan 11% melalui
pendengaran (Citerawati, 2012). Disini dapat disimpulkan bahwa alat-alat audio
visual lebih mempermudan cara penyampaian dan penerimaan bahan pendidikan,
salah satunya dengan menggunakan video. Video juga dapat menggambarkan
suatu proses yang dapat disaksikan secara berulang-ulang dan dapat mendorong
atau meningkatkan motivasi dalam menanamkan sikap dan segi afektif lainnya.
Hal ini di dukung oleh penelitian Ira Rahmawati, Toto Sudargo, dan Ira
Paramastri (2007) yang berjudul “Pengaruh Penyuluhan dengan Media Audio
Visual Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Balita Gizi
Kurang dan Buruk di Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan
Tengah”, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan responden dengan
metode media audio visual. Grafik peningkatan pada media audio visual lebih
baik dibandingkan pada grafik kelompok modul dan kontrol.
Pemilihan audiovisual sebagai media penyuluhan kesehatan dapat diterima
dengan baik oleh responden. Hal tersebut terbukti dari setelah diberikan
pendidikan kesehatan dengan audio visual perilaku cuci tangan dengan sabun
anak dikategorikan perilaku baik dibandingkan sebelum diberikan pendidikan
dengan audio visual dalam penelitian Dwi Aprilina Andriani (2013) yang berjudul
“Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Audio Visual terhadap Perilaku Cuci
Tangan Pakai Sabun Anak Prasekolah di PAUD Aisyiah Dalung.