bab ii tinjauan pustaka 2.1 klasifikasi liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang...

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis Liriomyza chinensis merupakan jenis hama yang mengorok daun tanaman bawang merah. L. chinensis pertama kali ditemukan di Indonesia menyerang tanaman bawang merah di Desa Klampok, Kabupaten Brebes pada awal Agustus tahun 2000. Di Indonesia sesuai dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/KR.010/9/2015 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina, hama ini termasuk OPTK A2 yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. L. chinensis secara umum diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Diptera Famili : Agromyzidae Genus : Liriomyza Spesies : L. chinensis (Shiao et al., 1991) 2.2 Karakter Morfologi Liriomyza spp. Karakter morfologi utama untuk membedakan spesies Liriomyza spp. adalah warna scutellum dan pola warna tergit pada abdomen (Shiao, 2004). L. chinensis memiliki warna scutellum abu-abu gelap atau mendekati hitam, pola alur horizontal pada tergit abdomen yang lebih sederhana dimana tergit abdomennya tidak ada garis 7

Upload: letram

Post on 03-Aug-2019

297 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis

Liriomyza chinensis merupakan jenis hama yang mengorok daun tanaman

bawang merah. L. chinensis pertama kali ditemukan di Indonesia menyerang

tanaman bawang merah di Desa Klampok, Kabupaten Brebes pada awal Agustus

tahun 2000. Di Indonesia sesuai dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor

51/Permentan/KR.010/9/2015 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan

Karantina, hama ini termasuk OPTK A2 yang ditemukan di wilayah Jawa Barat,

Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah.

L. chinensis secara umum diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Famili : Agromyzidae

Genus : Liriomyza

Spesies : L. chinensis (Shiao et al., 1991)

2.2 Karakter Morfologi Liriomyza spp.

Karakter morfologi utama untuk membedakan spesies Liriomyza spp. adalah

warna scutellum dan pola warna tergit pada abdomen (Shiao, 2004). L. chinensis

memiliki warna scutellum abu-abu gelap atau mendekati hitam, pola alur horizontal

pada tergit abdomen yang lebih sederhana dimana tergit abdomennya tidak ada garis

7

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

8

vertikal, femur dan tibia berwarna kuning mengkilat, panjang sayap 1,3-2,0 mm,

panjang mikrosetae thorax 9-10 µm dan bentuk korokan larva dimulai dari ujung

daun lalu masuk kebagian tengah dekat tangkai daun (Gambar 2.1).

Gambar 2.1

Karakteristik morfologi imago dan korokan larva Liriomyza spp.

(A) Pola warna tergit abdomen (B) Kerapatan dan panjang mikrosetae thorax

(C) Bentuk aedeagus distiphallus imago jantan (D) Ciri kas korokan larva

(Sumber : Shiao, 2004)

L. huidobrensis memiliki warna scutellum berwarna kuning, tergit abdominal

kedua ada alur garis vertikal, femur berwarna kuning, panjang sayap 1,7-2,3 mm,

panjang mikrosetae thorax 5-6 µm dan bentuk korokan larva lebih besar dan lebih

panjang jika dibandingkan dengan spesies Liriomyza yang lain. L. sativae memiliki

warna scutellum berwarna kuning, tergit abdominal kedua ada alur garis vertikal,

L. huidobrensis L. trifolii L. sativae L. bryoniae L. chinensis

A

B

C

D

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

9

panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan

larva lebih kecil jika dibandingkan dengan spesies Liriomyza yang lain (Shiao,2004).

2.3 Persebaran Populasi Liriomyza dan Tanaman Inang

Genus Liriomyza yang dideskripsikan sekitar tahun 1984 oleh Milk

mempunyai lebih dari 300 spesies dan sebagian besar menyebar di daerah beriklim

sedang, dan beberapa spesies ditemukan di daerah tropis (Parrella, 1987). Liriomyza

adalah salah satu dari lima genus lalat pengorok daun (Agromyza, Japanagromyza,

Liriomyza, Phytomyza, dan Tropicomyza) yang berasosiasi dengan tanaman

Leguminosa (Talekar, 1990). Genus Liriomyza terdiri atas banyak spesies. Lalat

dengan tipe makan polifag ini dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman,

sehingga memungkinkan terbentuknya banyak spesies akibat adaptasi, mutasi dan

evolusi. Kemampuan tersebut menyebabkan hama dapat meretensi satu jenis

insektisida, sehingga effective life satu jenis insektisida hanya sekitar 3 tahun. Ini

membuktikan adanya kemampuan adaptasi tingkat gen yang luar biasa. Hingga saat

ini sedikitnya telah diidentifikasi 21 spesies Liriomyza (Tabel 2.1). Identifikasi

tingkat spesies lalat pengorok daun sulit dilakukan karena ukuran tubuhnya kecil

(1,50-2,00 mm) (Reed et al., 1989) dan adanya kemiripan antar spesies (Parrella,

1987; Shiao et al., 1991).

Perkembangan Liriomyza spp. sangat ditentukan oleh ketersediaan tanaman

inang di lapang. Ketersediaan berbagai tanaman inangnya membantu pertumbuhan

dan perkembangan serta pemencarannya. Pada umumnya angin berpengaruh

terhadap penyebaran Liriomyza spp. Parrella (1987) menyatakan rataan jarak

pergerakan imago betina (21,5 m) lebih jauh dari imago jantan (18,0 m) di rumah

kaca. Gerakan memencar suatu serangga umumnya berlangsung secara lambat dan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

10

jarak yang dapat dijangkau oleh individu selama hidupnya relatif pendek. Jarak

jangkau akan menjadi lebih jauh dan berlangsung dengan cepat, jika dibantu oleh

manusia secara langsung maupun tidak langsung.

Tabel 2.1

Spesies Liriomyza dan tanaman inang utama

Spesies

Liriomyza

Tanaman Inang Pustaka

L. pictella

L. bryoniae

L. solani

L. munda

L. congesta

L. trifoliearum

L. brassicae

L. huidobrensis

L. trifolii

L. langei

L. cicerina

L. horticola

L. strigata

L. taraia

L. asterivora

L. chinensis

L. viticola

L. sativae

L. helianthi

L. katoi

L. yasumatsui

Melon

Tomat, kedelai

Tomat

Mentimun

Kacang tunggak

-

Polifagus

Kentang, krisan, aster, kapri

Krisan, buncis, kedelai

-

Kacang arab

Kacang arab

Leguminosa

Leguminosa

Artemisia sp.

Bawang

-

Tomat, buncis,

kacang kratok dan kedelai

Bunga matahari

Krisan

Krisan

Oatman (1959)

Brower & van Offeren (1967);

Hofsvang et al. (2005)

Brower & van Offeren (1967)

Perez Perez (1973)

Hafez et al. (1974)

Hendrickson & Barth (1978)

Tavormina (1982); Talekar (1990)

Parrella & Bethke (1984)

Vercambre & Thiery (1983)

Vercambre & Thiery (1983)

Reed et al. (1989)

Reed et al. (1989)

Talekar (1990)

Talekar (1990)

Shiao et al. (1991)

Shiao et al. (1991)

Shiao et al. (1991)

Petitt & Wietlisbach (1994);

Hofsvang et al. (2005)

Gratton & Welter (2001)

Malipatil et al. (2004)

Malipatil et al. (2004)

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

11

2.4 Perilaku Makan dan Kerusakan

Kerusakan pada tanaman dapat disebabkan oleh aktivitas peneluran dan

makan imago serta korokan larva. Bentuk korokan larva instar 1 sangat sulit dipantau

dengan mata telanjang kecuali korokan tersebut sudah mengering. Lebar dan panjang

korokan akan semakin meluas seiring dengan pertambahan umur larva. Korokan

larva dapat tampak dari atas maupun bawah permukaan daun yang ditandai oleh

adanya bagian-bagian yang tembus cahaya (Supartha & Sasromarsono, 2000)

(Gambar 2.2). Korokan tersebut akan menimbulkan luka pada jaringan daun dan

akhirnya daun gugur sebelum waktunya (Supartha, 1998).

Gambar 2.2

Bekas korokan larva Liriomyza sp. (tanda panah warna merah)

pada daun bawang merah (Sumber : dokumen pribadi, 2017)

Setyono (2009) mengemukakan, awal serangan L. chinensis pada tanaman

bawang merah terjadi pada 2-3 minggu setelah tanam (MST). Gejala awal pada daun

yang terserang berupa bintik putih akibat tusukan ovipositor imago betina saat

meletakkan telur (Gambar 2.3). Gejala serangan berikutnya berupa korokan larva

yang berkelok. Pada serangan berat, hampir seluruh helaian daun dipenuhi oleh

Larva

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

12

bekas korokan larva sehingga daun menjadi kering dan berwarna putih kecoklatan

seperti terbakar. Menurut Soetiarso (2007), selain menyerang daun, larva L.

chinensis pada tanaman bawang merah dapat masuk sampai ke umbi dan

menyebabkan umbi bawang merah menjadi busuk.

Gambar 2.3

Bekas tusukan ovipositor Liriomyza sp. (tanda panah warna merah)

(A) Bekas tusukan ovipositor Liriomyza sp. pada daun bawang pre dan

(B) Bekas tusukan ovipositor Liriomyza sp. pada daun bawang merah

(Sumber : dokumen pribadi, 2017)

Proses makan dan peneluran Liriomyza pada tanaman diawali dengan

penusukan ovipositor pada permukaan daun tanaman. Penusukan itu dilakukan

dengan cara mengarahkan dan menekankan ovipositornya baik pada permukaan daun

atas maupun bawah. Jika ovipositornya telah masuk ke jaringan daun gerakannya

tampak lebih lamban dan berhati-hati (Supartha, 1998). Menurut Parrella (1987)

pada saat itu ovipositor masuk ke dalam jaringan mesofil dengan cara yang khusus

untuk membuat satu atau dua tipe tusukan yang berbeda. Tusukan untuk keperluan

makan lebih lebar daripada tusukan untuk peneluran, agar cairan daun yang keluar

lebih banyak. Imago betina maupun jantan mengambil makanan dari cairan tersebut.

A B

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

13

Hasil penelitian Supartha (1998) melaporkan bahwa tusukan untuk peneluran

menyerupai kantung yang berada di atas jaringan mesofil dan ditutupi oleh lapisan

epikutikula daun. Jika bagian permukaan lapisan epikutikula itu diterpa sinar

matahari tampak berkilau. Tidak semua tusukan yang disebut terakhir berisi telur.

Jumlah tusukan untuk makan lebih banyak di permukaan bagian atas, sedangkan

untuk peneluran lebih banyak di permukaan bawah daun. Telur biasanya diletakkan

satu-satu baik pada permukaan bawah maupun atas daun. Jumlah telur yang

diletakkan lebih banyak (69,11%) di permukaan bawah daripada di permukaan atas

daun (30,89%). Bekas tusukan ovipositor imago pada kedua permukaan daun

tersebut tampak seperti bercak coklat sampai berlubang akibat kematian jaringan

daun. Tusukan yang berat dapat mengakibatkan daun layu dan gugur sebelum

waktunya.

2.5 Biologi Liriomyza spp.

Bentuk telur Liriomyza seperti ginjal dengan warna agak keputih-putihan dan

tembus pandang, telur tersebut diselipkan di bawah epikutikula permukaan daun

bagian atas atau di atas epikutikula permukaan daun bagian bawah. Ukuran telur

bervariasi tergantung spesies Liriomyza. Telur L. chinensis berwarna putih bening,

berbentuk jorong dengan permukaan licin, dengan ukuran 0,35 mm x 0,15 mm

(Nawin, 2003). Telur L. congesta berukuran 0,25 mm x 0,10 mm (Dimetry, 1971), L.

trifolii 0,2 mm x 0,1 mm dan L. huidobrensis 0,28 mm x 0,15 mm (Parrella, 1987).

Periode perkembangan telur Liriomyza bervariasi antara 2-8 hari (Parrella, 1987).

Tran dan Takagi (2005) serta Hu et al. (2009) melaporkan, stadium telur L. chinensis

berlangsung 2,5-4 hari. Setyono (2009) melaporkan stadium telur L. chinensis

berlangsung 2-4 hari. Pada L. huidobrensis fase telur berkisar antara 2-3 hari

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

14

(Cardona & Karel, 1990). Menurut Parrella dan Bethke (1984) menyatakan bahwa

masa telur L. huidobrensis pada krisan, aster dan kacang (pada suhu 26,70C)

berturut-turut 3,0 ; 3,0 dan 2,6 hari. Sedangkan menurut Salas et al. (1988)

menyatakan perkembangan telur L. huidobrensis pada tanaman kentang dengan suhu

270C dan kelembaban nisbi 74,28% dengan masa 3,05 hari. Telur hanya diletakkan

pada beberapa aktivitas penusukan, artinya tidak semua aktivitas tusukan selalu

disertai dengan peletakan telur. Aktivitas penusukan lainnya adalah perilaku makan.

Bekas tusukan baik untuk keperluan makan maupun peletakan telur terlihat berupa

bintik putih (Spencer & Steyskal, 1986 ; Parrella, 1987).

Larva Liriomyza berbentuk silinder yang mengecil ke depan. Larva yang baru

keluar dari telur langsung makan sampai menjelang keluar dari daun. Kait mulut

yang berwarna hitam dan keras ditinggalkan dalam liang korokan dan dapat

digunakan untuk mengetahui tahap instar. Larva instar akhir keluar dan menjatuhkan

diri ke tanah untuk berkepompong. Larva bergerak melalui gerakan peristaltik

dengan tekanan hidrostatik kerangka luarnya. Larva mengalami tiga kali ganti kulit

(Parrella, 1987). Perkembangan larva bervariasi menurut suhu dan jenis tanaman

inang. Kebanyakan spesies, waktu perkembangan total fase larva adalah 4-6 hari

pada suhu lapangan atau laboratorium (Parrella, 1987). Pada L. chinensis larva instar

pertama menyerang daun dan menjadi instar kedua setelah 1-2 hari. Periode larva

instar kedua adalah 1-2 hari, kemudian menjadi larva instar ketiga (akhir). Stadium

larva instar ketiga berlangsung 1,5-3 hari. Larva yang baru keluar berwarna putih

susu atau putih kekuningan dan segera mengorok jaringan mesofil daun dan tinggal

dalam rongga daun selama hidupnya. Stadium larva berlangsung 6-12 hari, dan larva

yang sudah berusia lanjut (instar 3) memiliki panjang 3,52 mm dan lebar 0,65 mm.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

15

Larva instar 3 mengorok jaringan daun lebih banyak dibanding larva instar 1 (Nawin,

2003) (Gambar 2.4). Menurut Tran & Takagi (2005) instar larva dapat dibedakan

berdasarkan karakteristik morfologi, seperti panjang mulut dan cephalopharyngeal

skeleton, panjang badan, dan korokan. Panjang mulut dan cephalopharyngeal

skeleton larva instar pertama berturut-turut adalah 0,021 dan 0,089 mm, larva instar

kedua 0,054 dan 0,165 mm, serta larva instar ketiga 0,092 dan 0,261 mm.

Larva yang sudah waktunya menjadi pupa, larva akan memotong celah

semisirkular di permukaan daun yang ada di dekat atau pada bagian akhir

korokannya. Celah tersebut berada pada permukaan atas atau bawah daun tergantung

pada lokasi korokan larva di dalam mesofil. Jika tubuh larva sudah keluar tiga per

empat bagian dari liang korokannya, maka bagian anteriornya bergerak tegak dengan

permukaan daun atas secara hidrostatis dan memutar tubuh yang mendorong larva

kaluar jatuh ke tanah (Supartha, 1998).

Periode di antara fase larva dan pembentukan puparium disebut fase prapupa.

Periode prapupa Liriomyza berkisar antara 2-4 jam (Leibee, 1984). Prapupa

mempunyai tanggap negatif terhadap cahaya, tetapi positif terhadap sentuhan

(Oatman & Michelbacher, 1959). Lama stadia pupa berkorelasi negatif terhadap

suhu. Sekitar 50% dari waktu perkembangan total Liriomyza adalah stadia pupa.

Waktu perkembangannya pada suhu rumah kaca atau lapangan berkisar antara 8-11

hari (Parrella, 1987). Masa pupa L. chinensis umumnya ditemukan di tanah, tetapi

pada tanaman bawang merah sering ditemukan menempel pada permukaan bagian

dalam dari rongga daun. Stadium pupa L. chinensis berlangsung 11-12 hari (Tran &

Takagi, 2005; Hu et al., 2009). Masa pupa L. huidobrensis berkisar antara 5-7 hari

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

16

(Cardona & Karel, 1990). Masa pupa L. trifolii berkisar antara 8,8-10,5 hari

(Minkerbeg & van Lenteren, 1986).

Gambar 2.4

Siklus hidup L. chinensis

(Sumber : Nawin, 2003; Tran & Takagi, 2005; Hu et al., 2009;

Setyono, 2009) (Gambar : dokumen pribadi, 2017)

Imago Liriomyza muncul dari bagian dorsal posterior puparium, yang

prosesnya memerlukan waktu 5 menit sampai satu jam atau lebih. Imago yang baru

muncul bersifat fototaktif positif dan naik ke batang tanaman. Selama itu, sekitar 20

menit digunakan untuk mengembangkan sayap dan menggerak-gerakkan tubuhnya.

Pengerasan dan pewarnaan tubuh berlangsung sekitar 20 menit sampai 2 jam. Imago

betina umumnya lebih besar daripada jantan dan muncul dari puparia yang lebih

besar. Imago betina L. chinensis memiliki panjang tubuh 2,39±0,02 mm dan imago

jantan 2,00±0,07 mm. Imago betina L. chinensis mampu hidup selama 6-14 hari dan

imago jantan 3-9 hari (Nawin, 2003). Kebanyakan imago melakukan kopulasi segera

setelah muncul dari puparium dan hampir semua betina sudah melakukan kopulasi

Bekas tusukan ovipositor L.chinensis pada daun bawang merah saat meletakkan telur. Stadium telur antara 2-4 hari (Setyono, 2009)

Larva L. chinensis terdiri dari 3 instar Larva instar pertama = 1-2 hari Larva instar kedua = 1-2 hari Larva instar ketiga = 1,5-3 hari (Nawin, 2003)

Stadium pupa L. chinensis = 11-12 hari (Tran & Takagi, 2005; Hu et al., 2009)

Lama hidup imago betina L. chinensis = 6-14 hari Lama hidup imago jantan L. chinensis = 3-9 hari

(Nawin, 2003)

Larva

Pupa

Imago

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

17

dalam waktu 24 jam (Oatman & Michelbacher, 1959; Parrella & Bethke, 1984).

Lama waktu kopulasi adalah tiga jam. Jantan dan betina dapat berkopulasi lebih dari

satu kali, dan betina membutuhkan kopulasi lebih dari satu kali untuk

memaksimumkan produksi telurnya (Oatman & Michelbacher, 1959). Aktivitas

kopulasi serangga tersebut dapat dilihat setiap saat, namun aktivitas itu umumnya

terjadi selama pancaran sinar matahari tidak terlalu terik (Dimetry, 1971).

2.6 Resistensi Tanaman terhadap Liriomyza spp.

Resistensi tanaman terhadap serangga hama mencakup semua sifat tanaman

yang memungkinkan tanaman tersebut tidak terserang, toleran dari serangan

serangga hama, yang mana pada tingkat serangan yang sama oleh serangga hama

tersebut, tanaman rentan menderita kerusakan yang lebih besar. Painter (1951)

menyatakan resistensi tanaman sebagai kumpulan sifat yang dapat diturunkan oleh

tanaman yang mempengaruhi tingkat kerusakan tanaman oleh serangga. Varietas

tahan mempunyai kemampuan produksi lebih tinggi dan kualitas lebih baik daripada

varietas biasa pada tingkat populasi hama yang sama. Sedangkan Beck (1965)

mendefinisikan resistensi tanaman sebagai kumpulan sifat yang dapat diturunkan

oleh spesies, ras, klon atau individu tanaman sebagai inang oleh spesies, ras, biotipe

individu atau populasi serangga.

Resistensi tanaman dapat bersifat membatasi kehadiran serangga, menekan

pertumbuhan dan perkembangan serangga maupun kemampuan tanaman untuk

mengatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga. Pengertian tersebut analog

dengan mekanisme resistensi yang dikemukakan oleh Painter (1951) yaitu non

preference, antibiosis dan tolerance. Non preference adalah sifat tanaman yang

menyebabkan serangga menjauhi atau tidak memilih tanaman sebagai pakan, tempat

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

18

bertelur, atau tempat berlindung. Kemudian Kogan & Ortman (1978) mengusulkan

istilah antisenosis untuk memberikan pengertian yang lebih tepat terhadap istilah non

preference yang dikemukakan oleh Painter tahun 1951. Pada antibiosis tanaman

dipilih oleh serangga sebagai pakan, tempat bertelur dan berlindung, namun tanaman

memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup

serangga. Pengaruh tersebut dapat menyebabkan mortalitas tinggi terutama pada

instar pertama, penurunan bobot badan dan kesuburan, memendeknya lama hidup

dan masa peletakan telur imago. Toleran tanaman adalah tanaman yang dipilih

serangga untuk tempat hidupnya, namun tanaman mampu mengatasi kerusakan yang

ditimbulkan oleh serangga untuk berproduksi normal (Pedigo, 1989).

Beberapa sifat yang mendasari resistensi tanaman terhadap hama adalah sifat

biofisik dan biokimia tanaman (Smith, 1989). Salah satu sifat biofisik tanaman yang

dapat mendasari resistensi tanaman bawang merah terhadap Liriomyza adalah jenis

dan kerapatan trikoma daun. Hasil penelitian Wei et al. (2000) menunjukkan bahwa

struktur fisik daun seperti ketebalan epidermis serta kerapatan jaringan palisade dan

bunga karang memiliki peran yang lebih penting dibandingkan dengan kerapatan dan

panjang trikoma dalam menghambat aktivitas makan, oviposisi imago betina dan

perkembangan Liriomyza spp. Sifat biofisik seperti kekerasan, luas dan lengas daun

merupakan faktor yang mendasari resistensi tanaman terhadap perilaku makan dan

peneluran imago (Chiang & Norris, 1983). Liriomyza spp. lebih memilih daun

kacang hijau yang mengandung air lebih tinggi yaitu sekitar 50% untuk oviposisi

(Chiang & Norris, 1983).

Resistensi yang didasari oleh faktor biokimia tanaman dapat berpengaruh

terhadap perilaku dan fisiologi serangga (Dent, 1991). Senyawa kimia yang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

19

berpengaruh terhadap perilaku makan dan peneluran dikelompokkan ke dalam

pemikat (antractant), penahan (arrestant), perangsang (stimulant), penolak

(repellent) dan penangkal (deterant), sedangkan senyawa kimia yang berpengaruh

terhadap fisiologi serangga dikelompokkan ke dalam nutrisi, penghambat

pertumbuhan dan racun (Hsiao, 1969). Senyawa tanin dan fenol termasuk senyawa

penghalang dan penolak bagi imago yang dapat mempengaruhi palatibilitas makan

dan perilaku peneluran serangga. Selain itu kedua senyawa tersebut dapat

menghambat pertumbuhan serangga pradewasa akibat kekurangan protein dan

terhambatnya enzim-enzim sehingga secara tidak langsung berperan sebagai racun

bagi serangga (Chiang & Norris, 1983). Tanin tumbuhan mampu mengikat protein

membentuk kompleks zat penghambat pencernaan yang tidak larut dan berfungsi

sebagai penghambat makan (feeding suppressant) (Smith, 1989). Jika jaringan

tanaman dirusak, tanin mengikat protein sehingga protein tidak dapat terurai oleh

enzim-enzim yang terdapat di dalam saluran pencernaan hewan pemakannya

(Vickery & Vickery, 1981). Kondisi saluran pencernaan serangga yang sangat basa

dapat menurunkan kemampuan tanin membentuk kompleks protein.

Serangga-serangga pemakan jaringan tanaman yang banyak mengandung

tanin dengan kondisi pH pencernaan di bawah normal mempunyai mekanisme lain

untuk mencegah polifenol sebagai faktor yang dapat menurunkan laju pencernaannya

(Chiang & Norris, 1983). Beberapa larva serangga pemakan daun oak menghindari

memakan bagian daun yang mengandung tanin karena berpotensi sebagai

antifeedant. Smith (1989) mengemukakan bahwa larva pengorok daun yang berasal

dari imago musim dingin menghindari jaringan palisade tempat terakumulasinya

tanin pada daun dan berusaha memakan jaringan bunga karang mesofil daun.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

20

Senyawa tanin dan fenol tanaman dapat berfungsi sebagai senyawa yang bersifat

antisenosis dan atau bersifat antibiosis bagi serangga. Kandungan senyawa racun

tanaman dapat berpengaruh negatif terhadap biologi serangga seperti kematian

mendadak maupun perlahan-lahan selama pertumbuhan dan perkembangan serangga

(Smith, 1989). Kematian mendadak terjadi pada fase telur dan larva muda,

sedangkan kematian perlahan terjadi pada fase larva tua, prapupa, pupa dan imago.

Pengaruh langsung terhadap kemampuan hidup individu serangga terlihat pada

penurunan bobot, ukuran tubuh dan laju pertumbuhan pradewasa serta keperidian

dan lama hidup imago (Kogan, 1986).

Erb et al. (1993) menemukan tiga mekanisme antibiosis tanaman tomat

terhadap L. trifolii. Pertama, antibiosis terhadap imago yang disebabkan oleh eksudat

trikoma daun. Kedua, senyawa dari dalam daun yang berpengaruh terhadap perilaku

makan, perilaku dan kelangsungan hidup imago. Ketiga, antibiosis terhadap larva

yang juga berasal dari dalam daun tanaman yang berpengaruh buruk terhadap

pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

2.7 Pengendalian Liriomyza spp.

Ada beberapa cara pengendalian hama Liriomyza spp. Menurut Baliadi dan

Tengkano (2010) bahwa pengendalian Liriomyza spp. dapat dilakukan dengan :

2.7.1 Penggunaan Varietas Tahan

Pendekatan pengendalian yang paling menjanjikan dan menguntungkan

adalah penanaman varietas tahan (Reed et al., 1989). Perakitan varietas tahan untuk

lalat pengorok daun telah dirintis di banyak negara. Kriteria ketahanan didasarkan

pada sebaran dan kepadatan trikoma daun (Quiring et al., 1992) selain status nutrisi

(Karel & Autrique, 1989). Tingkat serangan dan jumlah imago L. trifolii pada buncis

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

21

bergantung pada kepadatan trikoma. Kepadatan trikoma bervariasi, bergantung pada

lokasi di permukaan daun, ukuran daun, tipe daun (daun primer atau skunder), dan

varietas buncis (Quiring et al., 1992). Trikoma yang rapat merupakan penolak fisik

(deterrent) bagi Liriomyza sp. Daun yang menguning kurang disukai oleh Liriomyza

sp. (Fagoonee & Toory, 1983). Memendeknya lama hidup imago betina

menyebabkan penurunan periode bertelur (Quiring et al., 1992). Berdasarkan

informasi tersebut maka upaya penemuan sumber gen untuk perakitan varietas tahan

lalat pengorok daun sebaiknya didekatkan pada kepadatan trikoma daun. Beberapa

ahli membedakan ketahanan tanaman dalam dua kelompok yaitu ketahanan ekologi

dan ketahanan genetik (Kogan, 1982). Ahli lain menganggap ketahanan ekologi

bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut ketahanan palsu atau pseudo

resistance, sedangkan yang disebut sifat ketahanan tanaman adalah ketahanan

genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi tidak tetap dan mudah berubah

tergantung pada keadaan lingkungannya, sedangkan sifat ketahanan genetik relatif

stabil dan sedikit dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.

Wigglesworth (1972) menjelaskan ketahanan ekologi atau dengan istilah lain

ketahanan yang kelihatan (apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo

resistance) merupakan sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor

genetik tetapi sepenuhnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan

kenampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya

yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat

ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat

sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan

hama tertentu. Atkins (1980) memaparkan 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

22

pengelakan inang (host evasion), ketahanan dorongan (induced resistance) dan inang

luput dari serangan (host escape). Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan

fase tumbuh tanaman tertentu tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia

hama yang aktif mengkonsumsi tanaman tersebut. Ketahanan dorongan, sifat

ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga

tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan dorongan ini terjadi

antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain.

Inang luput dari serangan, pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman

yang sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu

saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama di sekitarnya pada

waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut tidak berarti bahwa tanaman tersebut tahan

terhadap serangan hama tetapi tanaman tersebut sedang dalam keadaan luput dari

serangan hama (Supartha, 2014).

2.7.2 Budi Daya Tanaman

Menurut Soetiarso (2007) budi daya tanaman, meliputi waktu tanam yang

tepat, penanaman pada musim kemarau, pergiliran tanaman dengan tanaman bukan

bawang-bawangan dapat menekan populasi pengorok daun. Umbi untuk bibit

hendaknya berasal dari tanaman sehat, kompak (tidak keropos), tidak luka, dan

warnanya mengkilap. Penggunaan pupuk N yang berlebihan dapat mengakibatkan

tanaman menjadi sukulen karena bertambahnya ukuran sel dan dinding sel tipis

sehingga mudah terserang OPT (Soetiarso, 2007). Pengolahan tanah yang baik,

pemupukan berimbang, sanitasi, pengambilan dan pemusnahan bagian dan sisa

tanaman yang terinfeksi dapat menekan serangan lalat pengorok daun bawang.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

23

Penyiraman dengan air bersih setelah turun hujan pada siang hari dapat

membersihkan konidia yang menempel pada tanaman.

2.7.3 Kultur Teknis

Teknik pengendalian lalat pengorok daun secara kultur teknis antara lain

dilakukan dengan pemasangan mulsa plastik, penanaman serentak, dan pergiliran

tanaman. Pemakaian plastik lembaran untuk penutup tanah terbukti efektif

menurunkan populasi lalat dewasa. Pertanaman yang ditanam lebih akhir akan

menderita serangan yang lebih berat, oleh karena itu penanaman lebih awal dan

serentak direkomendasikan sebagai salah satu teknik pengendalian yang efektif.

Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang, efektif mengendalikan penggorok

daun (Soetiarso, 2007).

2.7.4 Penggunaan Perangkap

Unmole et al. (1999) mengemukakan, perangkap likat kuning merupakan alat

yang efektif untuk mengendalikan L. chinensis pada bawang merah. Jumlah imago

yang tertangkap pada perangkap dan jumlah L. chinensis pertanaman memiliki kaitan

yang erat dan dapat digunakan sebagai indikator waktu aplikasi insektisida yang

tepat. Perangkap likat kuning hendaknya dipasang segera setelah tanaman bawang

merah tumbuh. Jumlah perangkap yang dibutuhkan setiap hektar sebanyak 40 buah

(Supriadi et al., 2000). Weintraub dan Horowitz (1996) mengemukakan, perangkap

likat kuning cukup efisien menjebak lalat pengorok daun untuk memantau populasi

dan keberadaan lalat pengorok daun di lapang. Perangkap likat kuning juga dapat

digunakan untuk memantau populasi Liriomyza spp., untuk menentukan sebaran dan

aktivitas kehidupan hariannya. Nonci et al. (2009) mengemukakan, berdasarkan hasil

analisis daerah di bawah kurva perkembangan kerusakan serangan hama (DDKPK),

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

24

perangkap likat kuning lebih efektif menekan populasi L. chinensis dibandingkan

perlakuan lainnya. Rata-rata imago L. chinensis yang terperangkap pada 7 hari

setelah tanam sebanyak 36,5 ekor/perangkap/minggu dan terus meningkat hingga 35

hari setelah tanam, menjadi 208,83 ekor/perangkap/minggu. Norfahmi et al. (2010)

juga melaporkan, perangkap likat kuning lebih efektif dibandingkan dengan

perangkap likat jalan.

2.7.5 Penggunaan Musuh Alami

Parasitoid adalah organisme yang menghabiskan sebagian besar hidupnya

dengan bergantung pada organisme inang tunggal untuk mengambil makanan dalam

proses itu (Doutt, 1959). Liriomyza spp. diketahui memiliki musuh alami, khusus di

tempat aslinya. Setidaknya ada 23 spesies parasitoid telah digunakan dalam program

pengendalian biologis terhadap L. trifolii dan L. sativae di Senegal, California,

Hawaii, Barbados, Marianas, Tonga, Taiwan dan Guam (Petcharat, 2002; Cikman,

2012). Parasitoid dari famili Eulophidae, Braconidae dan Pteromalidae adalah

parasitoid yang dominan menyerang stadia larva dan pupa dari lalat Agromizidae

(Cikman, 2012). Menurut Noyes (2004) mengatakan bahwa terdapat lebih dari 300

spesies parasitoid Agromyzidae, dan lebih dari 80 spesies yang dikenal menyerang

spesies Liriomyza spp. La Salle & Parrella (1991) mendaftarkan 23 spesies parasitoid

untuk Liriomyza spp. Di Indonesia tercatat 19 jenis parasitoid berasosiasi dengan L.

sativae dan 6 jenis parasitoid berasosiasi dengan L. huidobrensis. Pada kondisi alami

larva Liriomyza spp. dapat terparasit oleh berbagi jenis parasitoid dan imagonya

dimangsa oleh predator. Jenis parasitoid Liriomyza spp. berbeda untuk setiap

tanaman dan daerah geografi atau penyebarannya. Jenis parasitoid umum yang

muncul dari daun yang menyerang L. sativae adalah Asecodes deluchii,

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

25

Quadrastichus liriomyzae, Chrysocharis sp. dan Hemiptarsenus varicornis (Rauf,

1999).

Pada proses menemukan inang oleh seekor parasitoid adalah sebuah proses

yang sangat kompleks, dimana proses itu berbeda tergantung jarak inang (long &

short range). Penemuan inang pada jarak yang jauh dapat dilakukan, karena inang

mengeluarkan beberapa senyawa kemikal yang dapat ditangkap oleh parasitoid,

dimana parasitoid memiliki sistem navigasi untuk bisa mendeteksi keberadaan inang

dari senyawa kemikal yang dikeluarkannya. Proses tersebut diantaranya adalah

sebagai berikut :

1. Proses penemuan inang pada jarak yang jauh (long range/distance),

ditentukan dengan kemikal berupa kairomon atau synomon yang secara

umum berasal dari: (1) Inang itu sendiri berupa kotoran inang, selama

ganti kulit, selama proses makan dan feromon agregasi, (2) Tanaman

dimana inang menyerang berupa synomon untuk parasitoid dan (3)

Berasal dari interaksi antara inang dan tanaman inang seperti kerusakan

selama proses makan inang, yang berupa synomon pada parasitoid.

Senyawa kimia sangat menentukan parasitoid mengidentifikasi arah

dimana inang itu berada. Senyawa kimia yang diproduksi oleh inang

mungkin feromon sex atau senyawa kimia yang diproduksi ketika proses

makan atau perkembangan inang. Daun-daun yang terserang inang

menunjukkan kenampakan yang berbeda dalam warna dan bentuk dengan

daun yang tidak terserang inang, sehingga memberikan pengaruh

ketertarikan yang berbeda bagi parasitoid, selain itu suara yang

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

26

diproduksi oleh inang kadang-kadang menjadi penyebab ketertarikan

parasitoid (Purnomo, 2009).

2. Proses menemukan inang jarak pendek oleh parasitoid, sangat ditentukan

oleh senyawa kimia tertentu yang memberitahukan pada parasitoid,

bahwa inangnya sudah dekat, yang membuat parasitoid semakin

mengintensifkan pencariannya pada area tertentu. Senyawa kimia ini

sering dinamakan arrestants yang berupa senyawa kimia yang kurang

volatil dibandingkan senyawa antractans. Senyawa ini sering diproduksi

inang ketika dalam proses makan atau peletakan telur (Purnomo, 2009).

Doutt (1959) menyatakan, bahwa perilaku parasitoid dalam menemukan

inang sebagai berikut: 1) Lokasi habitat inang, 2) Lokasi inang, 3)

Penerimaan inang, dan 4) Kesesuaian inang. Beberapa faktor penting

yang berpengaruh terhadap perilaku parasitoid adalah waktu sebelum

oviposisi (peletakan telur), ritme harian dan status perkawinan merupakan

faktor internal pada perilaku. Faktor lingkungan seperti suhu,

kelembaban, cahaya dan angin, serta jenis tanaman, kepadatan dan

kejelasan inang, adalah faktor eksternal pada parasitoid. Stimulus fisik

seperti suara, gerakan, vibrasi, ukuran, bentuk, dan tekstur dianggap

sebagai faktor sekunder. Parasitoid dalam tubuh inang mengisap cairan

tubuh atau memakan jaringan bagian dalam tubuh inang. Parasitoid yang

hidup di dalam tubuh inang disebut endoparasitoid dan yang menempel di

luar tubuh inang disebut ektoparasitoid. Parasitoid umumnya mempunyai

inang yang lebih spesifik, sehingga dalam keadaan tertentu parasitoid

lebih efektif mengendalikan hama. Kelemahan dari parasitoid itu karena

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

27

adanya parasitoid tertentu yang dapat diparasit lagi oleh parasitoid lain.

Kejadian seperti itu disebut hiperparasitisme, dimana parasitoid lain

tersebut disebut parasit sekunder. Jika parasit sekunder ini terkena parasit

lagi disebut parasit tersier. Parasit sekunder dan parasit tersier disebut

sebagai hyperparasit.

Menurut Hassel dan Waage (1984), bahwa karakter-karakter musuh alami

yang baik adalah : 1) Memiliki kemampuan mencari inang yang tinggi, 2) Memiliki

spesifitas inang, memiliki kecepatan reproduksi yang tinggi, 3) Kemampuan untuk

hidup dalam zona iklim yang luas, 4) Kemampuan untuk diperbanyak secara

artificial, 5) Kemampuan untuk membedakan inang yang cocok. Ada beberapa faktor

yang mendukung efektivitas parasitoid dalam pengendalian hayati antara lain: a)

daya kelangsungan hidup yang baik, b) hanya satu atau sedikit individu inang yang

diperlukan untuk melengkapi daur hidup, c) kemampuan dalam mencari inang

(searching capacity), d) sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag, e)

memiliki kisaran inang yang sempit.

Predator alami lalat pengorok daun adalah semut, kumbang, Chrysopa sp.,

dan spesies Diptera lain seperti Drapetis subaenescens, Tachydromia annulata,

Coenosia attenuata, Draperis sp., Oxyopes sp., Cyrtopeltis modestus, dan nematoda

entomopatogen Steinernema carpocapsae (Parrella & Bethke, 1984).

2.7.6 Penggunaan Insektisida

Insektisida berspektrum luas masih sering digunakan untuk mengendalikan

lalat pengorok daun. Secara beriringan upaya untuk memperoleh insektisida selektif

yang efektif sampai saat ini terus dilakukan. Pada awalnya, insektisida hidrokarbon

klorin dan organofosfat direkomendasikan untuk mengendalikan lalat pengorok

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

28

daun. Karel & Autrique (1989) menyatakan, L. trifolii pada buncis dapat

dikendalikan dengan 1-2 kali aplikasi insektisida diazinon, monokrotofos atau

dimetoat. Reed et al. (1989) menganjurkan pemakaian monokrotofos dosis rendah

(0,025 kg bahan aktif/ha) pada tanaman kacang arab dan diaplikasikan pada stadia

vegetatif untuk mencegah peningkatan infestasi lalat pengorok daun.

Insektisida terbukti menjadi pemicu populasi dan ledakan populasi tinggi

(Spencer, 1973). Akhir-akhir ini banyak dilaporkan timbulnya resistensi lalat

pengorok daun terhadap insektisida, termasuk hidrokarbon klorin, organofosfat,

karbamat, dan piretroid. Untuk mencegah terjadinya resistensi dibutuhkan kebijakan

penggunaan insektisida (Keil & Parrella, 1983), misalnya merotasi jenis insektisida

(Trumble et al., 1985).

Di Indonesia, untuk mengatasi lalat pengorok daun, petani sayuran umumnya

melakukan aplikasi insektisida setiap minggu, bahkan kadang-kadang seminggu dua

kali. Salah satu jenis insektisida yang banyak digunakan adalah yang berbahan aktif

profenofos. Insektisida masih belum mampu menekan kerapatan populasi larva

maupun intensitas kerusakan daun. Ada dugaan insektisida dimetoat dinyatakan

cukup efektif mengendalikan L. huidobrensis dan L. trifolii di California (Parrella &

Bethke,1984). Ketidakefektifan insektisida karena larva lalat pengorok daun tinggal

di dalam jaringan daun. Selain itu, juga dilaporkan bahwa L. huidobrensis toleran

terhadap insektisida golongan organofosfat dan resisten terhadap golongan piretroid

(McDonald, 1991). Hingga saat ini belum diperoleh jenis insektisida yang efektif

mengendalikan lalat pengorok daun. Petani sayuran tidak puas dengan hasil

pengendalian yang telah dilakukan (Rauf et al., 2000). Masih terbuka peluang untuk

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

29

mengkaji insektisida yang efektif untuk mengendalikan larva lalat pengorok daun

yang terdapat di dalam liang korokan.

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kehidupan Serangga

2.8.1 Faktor Intrinsik

Menurut Southwood (1978) laju pertambahan intrinsik adalah laju

pertambahan per individu, dimana laju keperidian dan sintasan dalam kondisi

maksimal akibat tidak terjadi mortalitas akibat faktor luar. Keadaan tersebut terjadi

apabila populasi memiliki jadwal 1x dan mx yang tetap serta kematian terjadi hanya

karena adanya faktor fisiologis (Price, 1984). Semakin tinggi nilai laju pertumbuhan

intrinsik maka semakin tinggi potensi suatu spesies untuk meningkatkan populasinya

pada lingkungan tertentu.

Populasi serangga dikatakan mengalami pertumbuhan apabila populasi

serangga memiliki sebaran umur yang stabil yaitu memiliki peluang keperidian dan

kematian yang sama pada kelompok umur tertentu untuk setiap generasi. Makin

tinggi persentase telur yang diletakkan kelompok umur muda maka makin besar nilai

laju pertambahan intrinsik (Birch, 1948). Pertumbuhan populasi pada suatu

lingkungan tak terbatas mengikuti suatu model yang bersifat eksponensial. Model

laju pertumbuhan intrinsik menurut Birch (1948) tersebut adalah Nt = Noert, dimana

No = banyaknya individu pada waktu nol, Nt = banyak individu pada waktu t, r =

laju pertumbuhan intrinsik dan e = bilangan logaritma alami (2,71828).

Faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap kelimpahan populasi adalah

natalitas, mortalitas dan pemencaran. Natalitas dipengaruhi oleh keperidian dan

fertilitas. Keperidian adalah kapasitas fisiologis untuk menghasilkan keturunan

(Krebs, 1978) yang biasanya dinyatakan dalam jumlah telur yang dihasilkan oleh

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

30

seekor betina selama hidupnya. Fertilitas menunjukkan banyaknya telur yang dapat

membentuk embrio yang dihasilkan oleh seekor betina. Keperidian serangga banyak

dilaporkan berhubungan positif dengan ukuran tubuhnya. Ukuran tubuh dan

keperidian dapat dipakai menduga natalitas serangga di lapang, melalui pengukuran

betina, pupa betina, panjang rentangan sayap atau panjang kokon (Southwood,1978).

Laju natalitas dan mortalitas menentukan kelimpahan populasi serangga

bersangkutan di dalam suatu ekosistem (van Emden, 1974). Natalitas dan mortalitas

juga mempengaruhi penambahan dan pengurangan populasi di dalam ekosistem,

tingkat kerapatan populasi tertentu dapat mempengaruhi terjadinya emigrasi keluar.

Kelimpahan dan daya tahan hidup populasi sangat tergantung pada hasil interaksi

antar sifat-sifat biologi serangga bersangkutan dengan faktor-faktor lingkungan

(Clark et al., 1976).

2.8.2 Faktor Ekstrinsik

Kelimpahan populasi dalam suatu sistem kehidupan dipengaruhi oleh faktor

luar seperti makanan, ruang, iklim, pesaing, dan musuh alami. Faktor makanan yang

mempengaruhi adalah jenis, kualitas dan kuantitas tanaman inang. Distribusi dan

kerapatan trikoma, kandungan fenolat dan nutrisi tanaman dilaporkan mempengaruhi

pemilihan tanaman inang oleh imago Liriomyza spp. (Parrella, 1987). Kandungan N

daun tanaman inang dilaporkan berkorelasi positif dengan kelimpahan populasi

Liriomyza spp. di lapang. Pada kandungan N daun yang lebih tinggi, aktivitas makan

dan keperidian Liriomyza spp. meningkat (Minkenberg & van Lenteren, 1986).

Ketersediaan berbagai jenis tanaman inang di lapang selain membantu pertumbuhan

dan perkembangan serangga, juga membantu pemencarannya. Sifat polifag yang

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

31

dimiliki Liriomyza spp. memungkinkan bagi serangga tersebut untuk memencar lebih

cepat ke jenis dan bagian tanaman lain yang lebih disukai.

Parrella (1987) memperkirakan suhu ambang bawah bagi perkembangan telur

L. trifolii pada krisan dan Apium graveolens adalah 10oC dan 12,8

oC, sedangkan

untuk perkembangan larva pada krisan, A. graveolens dan tomat adalah 6,1oC; 7,8

oC

dan 8,4oC. Suhu ambang untuk perkembangan pupa pada A. graveolens dan krisan

adalah 9,0oC dan 10,3

oC. Suhu ambang bawah untuk perkembangan telur sampai

imago pada A. graveolens dan krisan adalah 8,1oC dan 8,4

oC. Suhu optimum untuk

perkembangan telur sampai imago L. trifolii pada seledri adalah 25oC dengan

persentase puparia yang bertahan hidup sekitar 86,7% (Leibee, 1984). Kematian

terjadi lebih tinggi pada suhu 15oC terutama pada stadia telur dan larva (Minkenberg,

1988). Pengaruh suhu terhadap peneluran maksimum terjadi pada kisaran suhu 20oC

- 27oC (Dimetry, 1971). Faktor lain seperti kelembaban udara selain mempengaruhi

perilaku makan, juga berpengaruh terhadap jumlah imago yang muncul dan bertahan

hidup. Jumlah pupa yang berhasil menjadi imago meningkat bila udara pada

permukaan pupariumnya lebih lembab. Minkenberg & van Lenteran (1986)

melaporkan pupa L. trifolii berhasil menjadi imago pada suhu konstan dan

kelembaban 11, 15, 32, 51, 62, 76, 94 dan 100% berturut-turut 6, 22, 40, 64, 65, 65,

72, 88%.

2.9 Mitokondria Citochrome Oxidase I (mtCOI)

Runutan DNA mitokondria (mtDNA) menjadi pilihan untuk mempelajari

taksonomi, dan evolusi hewan. Beberapa struktur dan evolusi menyebabkan mtDNA

menjadi pilihan, antara lain, memiliki banyak copy dalam sel sehingga memudahkan

untuk memperoleh sampel yang diinginkan, tidak mengalami rekombinasi sehingga

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

32

tidak dikacaukan oleh perubahan genetik akibat rekombinasi, memiliki daerah

terkonservasi antar taksa sehingga dapat dijadikan sebagai template untuk desain

primer yang bersifat universal, yang dapat menunjukkan perbedaan antar taksa. Jika

dibandingkan dengan gen inti, mtDNA memiliki laju evolusi 1-10x lebih cepat

(Avise et al., 1987; Lin & Danforth, 2004). Terdapat beberapa peta genome

mitokondria (mtDNA) yang dapat dijadikan sebagai perbandingan antar organisme

(Morlais & Severson, 2002). Setiap spesies memiliki genotip mitokondria yang

berbeda dengan spesies lain. Mitokondria gen penyandi protein pada DNA

mitokondria umumnya mengandung perbedaan lebih tinggi dari gen ribosom, dengan

demikian lebih mungkin untuk membedakan antar spesies yang berhubungan erat

(Zein & Prawiradilaga, 2013).

Salah satu gen penyandi protein yang terdapat pada mtDNA adalah gen COI.

Gen tersebut telah umum digunakan sebagai penanda genetik pada studi populasi.

Hal ini karena gen COI memiliki laju mutasi yang cukup tinggi sehingga dapat

memperlihatkan perbedaan antar populasi atau bahkan antar individu dalam satu

spesies (Bucklin et al., 2003). Menurut Hebert et al. (2003), gen COI memiliki laju

mutasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju mutasi dua gen mitokondria

lain seperti 12S dan 16 S rDNA. Penggunaan DNA sebagai marka genetik semakin

pesat dengan dikembangkannya metode amplifikasi DNA secara in vitro yang

disebut teknik Polymerase Chain Reactions (PCR). PCR merupakan metode yang

baik dan cepat untuk amplifikasi DNA.

Gen sitokrom oksidase pada mitokondria terbagi menjadi tiga subunit yaitu

sitokrom oksidase subunit I, II dan III (Gambar 2.5). Gen Cytochrom c oxidase

subunit I (COI) merupakan representatif dari semua gen penyandi protein DNA

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

33

mitokondria. Sistem identifikasi berbasis DNA, menemukan gen mitokondria

sitokrom c oksidase subunit I (COI), yang dapat membantu resolusi pada keragaman

ini. Kemampuan sekuen COI telah divalidasi untuk mendiagnosis spesies tertentu

dalam kelompok taksonomi di kingdom binatang. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa divergensi sekuen pada COI teratur dan memungkinkan membedakan spesies

serumpun. Sistem barcode DNA untuk kehidupan hewan dapat didasarkan pada

keragaman urutan sitokrom c oksidase subunit I (COI) (Hebert et al., 2003).

Ketepatan pilihan pada sekuen yang akan dijadikan sebagai marka genetik,

merupakan hal yang mendasar dalam kajian evolusioner. Karakteristik penting yang

harus diperhatikan sebagai marka genetik adalah laju substitusi nukleotida (asam

amino) pada daerah-daerah tertentu. Gen COI memiliki karakteristik khusus yang

sesuai sebagai alat dalam kajian evolusioner yaitu : (1) Sebagai pengkatalisis terakhir

COIII

COII

COI

Gambar 2.5

Daerah gen mitokondria. Gen penyandi sitokrom oksidase memiliki tiga subunit

yaitu Cox I, Cox II dan Cox III yang ditunjuk oleh anak panah warna ungu

(Sumber : Yu et al., 2007)

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan larva lebih kecil jika dibandingkan

34

dalam rantai respirasi di mitokondria, sehingga COI banyak dikaji pada level

biokimia serta dapat menunjukkan bahwa struktur dan ukuran gen COI terkonservasi

pada semua organisme aerobik (Lunt et al., 1996). (2) Runutan asam amino

berkorelasi dengan fungsi masing-masing bagian COI, sehingga menunjukkan

karakteristik bagi spesies yang memilikinya (Lunt, 1996; Roe & Sperling, 2000). (3)

Jika dibandingkan dengan gen pengkode protein lain yang terdapat pada mtDNA,

COI memiliki ukuran yang relatif besar, sehingga memudahkan untuk memilih

daerah yang akan dipergunakan untuk kajian genetik, maupun fungsinya.