bab ii tinjauan pustaka 2.1 kemampuan membaca …. bab ii.pdf · belum sampai pada pemahaman yang...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemampuan Membaca Permulaan
Masa peka anak untuk belajar membaca dan berhitung berada di usia
empat hingga lima tahun, karena di usia ini anak lebih mudah membaca dan
mengerti angka (Hainstock, 2002). Doman (2005) menyarankan sebaiknya
anak mulai belajar membaca di periode usia satu hingga lima tahun.
Menurutnya, pada masa ini otak anak bagaikan pintu yang terbuka untuk
semua informasi dan anak bisa belajar membaca dengan mudah dan alamiah.
Namun menurut Dardjowidjojo (2003), dari segi neurologis pada usia satu
tahun otak baru berkembang 60% dari otak orang dewasa, di usia ini anak
belum dapat mengidentifikasi letak garis lurus dan setengah lingkaran apalagi
kombinasinya, maka anak belum mungkin belajar membaca.
Dardjowidjojo (2003) kemudian menyebutkan bahwa membaca hanya
dapat dilakukan ketika anak sudah memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu
untuk berbicara. Prasyarat ini antara lain: menguasai sistem fonologis (bunyi),
sintaksis (struktur kalimat), dan kemampuan semantik (kaitan makna antar
kata). Sementara menurut Grainger (2003), kesiapan untuk memulai
pengajaran membaca tergantung pada kesadaran fonemis. Istilah ini meliputi
banyak aspek kepekaan anak terhadap struktur bunyi kata lisan, menentukan
kemampuan memetakan bunyi ke simbol yang penting untuk membaca,
12
menulis, dan mengeja. Faktor ini pula yang nantinya menjadi dasar untuk
membedakan kemampuan membaca pada anak normal dan pembaca lemah.
Pernyataan diatas memberi makna bahwa kematangan sangat
berperan dalam menentukan waktu yang tepat hingga anak dinyatakan siap
untuk belajar membaca. Anak yang berada pada masa peka untuk belajar
membaca akan dengan mudah menerima dan menanggapi rangsangan yang
diberikan padanya dalam bentuk huruf, suku kata, kata, atau kalimat. Anak
pun akan cepat memberi respon tiap kali stimulus yang sama muncul, dan
sebagai hasilnya anak akan menunjukkan perubahan perilaku sebagai
indikator keberhasilan proses belajarnya, yang dalam hal ini berarti anak
menguasai kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam membaca.
Membaca merupakan proses yang melibatkan sejumlah kegiatan fisik
dan mental. Proses membaca terdiri dari sembilan aspek, yaitu sensori,
perseptual, urutan pengalaman, pikiran, pembelajaran, asosiasi, sikap, dan
gagasan (Ramli, 2007).
Proses membaca dimulai dengan sensori visual yang diperoleh
melalui pengungkapan simbol-simbol grafis melalui indra penglihatannya.
Aspek urutan dalam proses membaca merupakan kegiatan mengikuti
rangkaian tulisan yang tersusun secara linier. Pengalaman merupakan aspek
penting dalam proses membaca. Anak yang memiliki pengalaman yang
banyak akan mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan
pemahaman kosa-kata dalam membaca. Pengalaman konkret dan pengalaman
tidak langsung akan meningkatkan perkembangan konseptual anak. Aspek
13
afektif merupakan proses membaca yang berkenaan dengan kegiatan
memusatkan perhatian.
2.1.1 Pengertian Kemampuan Membaca Permulaan
Initial reading (membaca permulaan) merupakan tahap kedua dalam
membaca (Abdurrahman, 2002). Membaca secara teknis juga mengandung
makna bahwa dalam tahap ini anak belajar mengenal fonem dan
menggabungkan (blending) fonem menjadi suku kata atau kata (Mar’at,
2005). Kemampuan membaca ini berbeda dengan kemampuan membaca
secara formal (membaca pemahaman), dimana seseorang telah memahami
makna suatu bacaan. Tidak ada rentang usia yang mendasari pembagian
tahapan dalam proses membaca, karena hal ini tergantung pada tugas-tugas
yang harus dikuasai pembaca pada tahapan tertentu.
Sareb (2008) mengungkapkan bahwa membaca permulaan
menekankan pengkondisian siswa untuk masuk dan mengenal bahan bacaan.
Belum sampai pada pemahaman yang mendalam akan materi bacaan, apalagi
dituntut untuk menguasai materi secara menyeluruh, lalu menyampaikan hasil
pemerolehan dari membacanya.
Steinberg dalam Susanto (2011) menjelaskan bahwa membaca
permulaan adalah membaca yang diajarkan secara terprogram kepada anak
prasekolah. Program ini merupakan perharian pada perkataan-perkataan utuh,
bermakna dalam konteks pribadi anak-anak dan bahan-bahan yang diberikan
14
melalui permainan dan kegiatan yang menarik sebagai perantara
pembelajaran.
Anderson dalam Dhieni, dkk (2008) mengungkapkan bahwa membaca
permulaan adalah membaca yang diajarkan secara terpadu, yang menitik
beratkan pada pengenalan huruf dan kata, menghubungkannya dengan bunyi.
Pembelajaran membaca permulaan dititik beratkan pada aspek-aspek yang
bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang
wajar, kelancaran dan kejelasan suara.
Menurut Depdikbud dalam Ayriza (2005), huruf konsonan yang harus
dapat dilafalkan dengan benar untuk membaca permulaan adalah b, d, k,l, m,
p, s, dan t. Huruf-huruf ini, ditambah dengan huruf-huruf vokal akan
digunakan sebagai indikator kemampuan membaca permulaan, sehingga
menjadi a, b, d, e, i, k, l, m, o, p, s, t, dan u.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
kemampuan membaca permulaan mengacu pada kecakapan (ability) yang
harus dikuasai pembaca yang berada dalam tahap membaca permulaan.
Kecakapan yang dimaksud adalah penguasan kode alfabetik, dimana pembaca
hanya sebatas membaca huruf per huruf, mengenal fonem, dan
menggabungkan fonem menjadi suku kata atau kata.
2.1.2 Tahapan Proses Belajar Membaca
Grainger (2003) menyebutkan adanya tiga tahapan dalam proses
membaca. Tahap prabaca dapat dilihat dari kesiapan anak untuk memulai
15
pengajaran formal dan tergantung pada kesadaran fonemis anak. Anak yang
dinyatakan siap (biasanya pada anak-anak yang baru memasuki usia
prasekolah) kemudian akan melalui tahap pertama dalam proses membaca.
Tahap pertama adalah tahap logografis, anak-anak taman kanak-kanak
atau awal kelas 1 menebak kata-kata berdasarkan satu atau sekelompok kecil
huruf sehingga tingkat diskriminasi sangat buruk. Kemudian setelah
mendapat pengajaran, diskriminasi menjadi lebih baik. Anak dapat
membedakan kata yang sudah dan belum dikenal, namun mereka belum dapat
membaca kata-kata yang belum dikenal. Strategi membaca awal pada tahap
logografis secara umum tidak bersifat fonologis, tetapi lebih bersifat
pendekatan global atau visual dimana pembaca awal mencoba
mengidentifikasi kata secara keseluruhan berdasarkan ciri-ciri yang bisa
dikenali. Tahap kedua adalah tahap alfabetis, pada tahap ini pembaca awal
memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang bagaimana membagi kata-
kata ke dalam fonem-fonem dan bagaimana merepresentasikan bunyi-bunyi
yang mereka baca dan eja dengan ortografi alfabet. Tahap ketiga dilalui
ketika anak sudah lancar dalam proses dekoding. Anak pada tahap ini mampu
memecahkan kata-kata yang beraturan dan tak beraturan dengan
menggunakan konteks. Biasanya tahap ini berlangsung ketika anak berada
pada pertengahan sampai akhir kelas 3 dan kelas 4 sekolah dasar.
Menurut Mercer dalam Abdurrahman (2002) membagi tahapan
membaca menjadi lima, yaitu:
16
a. Kesiapan membaca
b. Membaca permulaan
c. Ketrampilan membaca cepat
d. Membaca luas
e. Membaca yang sesungguhnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak
umumnya sebagai pembaca awal berada pada tahap membaca permulaan.
Lebih khususnya, anak-anak berada pada tahap pertama dan kedua dalam
proses membaca, yaitu tahap logografis dan alfabetis. Pembagian tahapan ini
berdasarkan kemampuan yang harus dikuasai anak, yaitu penguasaan kode
alfabetik yang hanya memungkinkan anak untuk membaca secara teknis,
belum sampai memahami bacaan seperti pada tahap membaca lanjut.
Pengajaran membaca permulaan di taman kanak-kanak umumnya
sudah dimulai sejak awal tahun pertama. Anak-anak diberi stimulasi berupa
pengenalan huruf-huruf dalam alfabet. Praktik ini langsung disandingkan
dengan ketrampilan menulis, dimana anak diminta mengenal bentuk dan arah
garis ketika menulis huruf. Metode belajar membaca di taman kanak-kanak
biasanya mendapat hambatan dalam penerapannya. Metode ini diberikan
sama pada setiap anak, dan materi ajaran umumnya hanya berasal dari buku
penunjang. Jika melihat perbedaan anak dalam gaya belajar, hal ini akan
kurang memberi hasil yang optimal. Penanganan secara individual di kelas
saat belajar membaca tidaklah dimungkinkan, karena ketersediaan tenaga
17
guru yang terbatas. Untuk mengatasinya guru pun membagi anak dalam
kelompok-kelompok kecil setiap harinya.
Dalam hal baca tulis, siswa kelas A (nol kecil) sudah mendapatkan
rangsangan berupa huruf abjad sejak minggu kedua mereka bersekolah.
Praktek selanjutnya adalah mengenal bentuk dengan belajar menulis huruf
dengan menebalkan garis atau meniru tulisan guru di buku kotak-kotak.
Praktek ini bisa jadi memang membuat anak mampu menulis atau memegang
pensil, tapi anak tidak tahu apa yang ia tulis karena ia hanya sekedar
mengikuti pola yang ada.
2.1.3 Kemampuan Membaca Anak Taman Kanak-Kanak
Anak prasekolah adalah anak berusia tiga sampai enam tahun.
Biasanya mengikuti program prasekolah. Di Indonesia, sistem Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) melibatkan anak berusia nol sampai delapan tahun
(Suyanto, 2005). Pendidikan yang diberikan pada anak di rentang usia
tersebut dibagi berdasarkan sumbernya. Anak berusia nol sampai dua tahun
mendapat pendidikan dari lingkup nonformal, yaitu keluarga; anak berusia
tiga sampai enam tahun mendapat pendidikan anak usia dini (kelompok
bermain) dan taman kanak-kanak (TK); sementara anak usia tujuh sampai
delapan tahun mendapat pendidikan Sekolah Dasar (SD) kelas satu dan dua.
Anak yang duduk di bangku TK umumnya berusia empat sampai lima
tahun. Menurut Piaget dalam Santrock (2002), anak berada pada tahap
perkembangan kognitif praoperasional yang berlangsung antara usia dua
18
sampai tujuh tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia
dengan gambar-gambar. Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana
antara informasi inderawi dan tindakan fisik.
Akan tetapi, meskipun anak-anak prasekolah mampu melukiskan
dunia secara simbolik, namun mereka masih belum mampu melaksanakan
apa yang disebut sebagai “operasi (operation)”, yaitu tindakan mental yang
diinternalisasikan dan memungkinkan anak melakukan secara mental sesuatu
yang sebelumnya dilakukan secara fisik. Selanjutnya Piaget dalam Chaer
(2003) menyatakan bahwa dalam sub tahap pemikiran simbolik tahap
praoperasional, anak melambangkan suatu benda dengan benda lain. Anak
dapat melakukan peniruan yang ditunda, dimana peniruan dilakukan setelah
benda atau objek yang ditiru sudah tidak ada. Jadi, peniruan yang dilakukan
tanpa kehadiran benda aslinya tersebut merupakan salah satu jenis simbolisasi
atau bayangan mental (kemampuan akal).
Bahasa terdiri dari berbagai simbol yang dapat terungkap secara lisan
maupun tulisan. Pemerolehan bahasa terjadi pada sub tahap pemikiran
simbolik tahap praoperasional tersebut, sehingga menurut Piaget, bahasa
merupakan hasil dari perkembangan intelektual secara keseluruhan dan
sebagai bagian dari kerangka fungsi simbolik.
Bahasa berkaitan erat dengan perkembangan kognisi anak, terutama
dalam hal kemampuan berpikir. Lev Vygotsky dalam Santrock (2002)
mengemukakan hubungan antara bahasa dan pemikiran, bahwa meskipun dua
hal tersebut awalnya berkembang sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya
19
bersatu. Prinsip yang mempengaruhi penyatuan itu adalah pertama, semua
fungsi mental memiliki asal-usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus
menggunakan bahasa dan menggunakannya pada orang lain sebelum
berfokus dalam proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus
berkomunikasi secara eksternal menggunakan bahasa selama periode yang
lama sebelum transisi kemampuan bicara eksternal ke internal berlangsung.
Jadi, anak perlu belajar bahasa untuk mengasah ketrampilan mereka dalam
melakukan proses mental seperti berpikir dan memecahkan masalah, karena
bahasa merupakan alat berpikir. Demikian pula dengan membaca, yang
merupakan salah satu komponen bahasa yang perlu dipelajari sejak dini.
Salah satu teori membaca yang amat berpengaruh adalah teori rute
ganda (Grainger, 2003). Teori rute ganda menjelaskan mekanisme yang
terjadi pada pembaca awal dalam mencoba mengatasi kata-kata yang belum
dikenal. Pembaca awal akan melalui dua rute yang akan menentukan suatu
kata akan dikenali (berhasil dibaca) atau tidak. Rute pertama (rute visual),
merupakan rute pengenalan yang tergantung pada pendekatan mencocokkan
pola visual, dimana anak-anak menatap jalinan huruf cetak dan
membandingkan pola itu dengan simpanan kata-kata yang telah mereka kenal
dan pelajari sebelumnya. Rute kedua (rute fonologis), pembaca mengubah
simbol (huruf) menjadi bunyi. Rute kedua mungkin hanya digunakan bila rute
pertama gagal. Pembaca lemah sebagaimana pembaca awal menggunakan
metode rute visual, namun mereka berbeda dalam hal kesadaran fonemis,
karena anak-anak normal memiliki kesadaran fonemis yang memungkinkan
20
mereka memanfaatkan asosiasi bunyi-simbol dan kemampuan memetakan
bunyi ke dalam kata berdasarkan konsep mereka tentang bentuk huruf yang
benar.
Maka dapat disimpulkan bahwa anak-anak usia Taman Kanak-kanak
memiliki potensi yang terpendam untuk menjadi pembaca yang baik. Tahap
perkembangan yang memungkinkan mereka mengerti simbol-simbol dalam
bahasa memberi kesempatan untuk cepat belajar dan mengasah ketajaman
berpikir. Selain itu, anak-anak sebagai pembaca awal umumnya memiliki
kesadaran fonemis yang cukup baik dan sangat berguna dalam proses
membaca. Karena itu, diperlukan adanya pemilihan metode yang tepat
dengan harapan anak dapat belajar membaca dengan efektif, memanfaatkan
segala potensinya dan merasa nyaman dalam belajar menggunakan metode
yang memperhatikan kebutuhan belajar mereka.
2.1.4 Tujuan Umum Pengajaran Membaca Permulaan
Pengajaran membaca permulaan, memiliki tujuan yang memuat hal-
hal yang harus dikuasai siswa secara umum, yaitu:
1. Mengenalkan siswa pada huruf-huruf dalam abjad sebagai tanda suara atau
tanda bunyi.
2. Melatih ketrampilan siswa untuk mengubah huruf-huruf dalam kata
menjadi suara.
21
3. Pengetahuan huruf-huruf dalam abjad dan keterampilan menyuarakan
wajib untuk dapat dipraktikkan dalam waktu singkat ketika siswa belajar
membaca lanjut.
(Lestary, 2004)
2.1.5 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Membaca Anak Taman Kanak-Kanak
Prinsip pembelajaran membaca yang dimaksud adalah prinsip
pembelajaran untuk menimbulkan kebiasaan dan minat membaca pada anak
usia dini. Prinsip ini perlu untuk diketahui agar dapat mengajarkan kegiatan
membaca sesuai dengan tahap perkembangannya, terutama bagi tingkat dasar,
yaitu agar anak dapat memperoleh pengalaman belajar yang baik dan
menyenangkan dalam membaca tingkat dasar.
Santrock (2002) yang menyatakan bahwa pembelajaran membaca
seharusnya paralel dengan pembelajaran bahasa alami anak. Materi yang
diberikan untuk pembelajaran membaca sebaiknya utuh dan bermakna.
Artinya, anak-anak sebaiknya diberikan materi dalam bentuk lengkap, seperti
cerita-cerita dan puisi-puisi, sehingga anak dapat belajar memahami fungsi
komunikatif bahasa. Pembelajaran membaca seharusnya diintegrasikan
dengan subjek dan keahlian lainnya seperti ilmu pengetahuan alam, studi-
studi sosial, dan materi membaca seharusnya terpusat pada pengetahuan
sehari-hari.
Pembelajaran membaca di Taman Kanak-kanak harus benar-benar
dilaksanakan dengan sistematis, artinya sesuai dengan kebutuhan, minat,
22
perkembangan dan karakteristik anak. Proses pembelajaran, alat-alat
permainan (media pembelajaran) yang digunakan, harus diperhatikan, dan
lingkungan belajar yang kondusif. Hal ini sangat penting, sebab bila anak
mengalami kegagalan pada periode ini, akan berpengaruh terhadap
kemampuan berbahasa anak, baik keterampilan ekspresif maupun reseptif
(Susanto 2011).
Dalam mengajarkan membaca harus memperhatikan prinsip
pembelajaran anak usia dini. Torrey dalam Susanto (2011) menyatakan
bahwa prinsip pembelajaran membaca untuk anak usia dini yaitu, membuat
anak agar anak tertarik dalam kegiatan membaca, sehingga kegiatan ini
menjadi kegiatan yang menyenangkan. Jika anak sudah memiliki rasa senang
membaca, akan lebih mudah untuk dibimbing dalam kegiatan belajar
membaca lebih tepatnya lagi jika anak sudah ditanamkan sejak dini, sehingga
kegiatan membaca bukan menjadi suatu beban, melainkan suatu kebutuhan.
Dari pendapat di atas prinsip pembelajaran belajar membaca yang
dimaksud adalah membiasakan anak membaca sejak dini, dengan materi yang
bermakna serta terpusat pada pengetahuan sehari-hari sehingga anak lebih
mudah untuk memahaminya, kegiatan membaca yang dilakukan sesuai
dengan kebutuhan dan minat yang sesuai dengan karateristik anak, maka anak
lebih mudah dibimbing untuk kegiatan membaca selanjutnya.
23
2.2 Metode Bermain
Menurut Ismail (2006) “permainan edukatif, yaitu suatu kegiatan yang
sangat menyenangkan dan merupakan cara atau alat pendidikan yang bersifat
mendidik.” Ismail (2006) juga meninjau bermain dari perspektif pendidikan,
yaitu sebuah kegiatan yang memberi peluang kepada anak untuk dapat
berswakarya, melakukan, dan menciptakan sesuatu dari permainan itu dengan
tangannya sendiri, baik dilakukan didalam maupun di luar ruangan.”
Bermain begitu penting bagi anak, dalam pembelajaran sebaiknya
dikemas dengan cara yang menyenangkan dan tidak melupakan keberadaan
anak dalam usia bermainnya. Dengan bermain anak-anak mendapatkan
berbagai pengalaman dan pengetahuannya. Melalui bermain, anak
memperoleh pelajaran yang mengandung aspek perkembangan kognitif,
sosial, emosi, dan fisik.
Menurut para ahli pendidikan dalam Ismail (2006) dikatakan bahwa
cara belajar anak yang paling efektif ada pada permainan anak, yaitu dengan
bermain dalam kegiatan belajar mengajarnya. Saat bermain, anak dapat
mengembangkan motorik halus dan motorik kasarnya, meningkatkan
penalaran, dan memahami keberadaan di lingkungan teman sebaya,
membentuk daya imajinasi dengan dunia sesungguhnya, mengikuti peraturan,
tata tertib, dan disiplin yang tinggi. Secara alamiah bermain dapat memotivasi
anak untuk mengetahui sesuatu lebih mendalam, dan secara spontan pula anak
mengembangkan bahasanya, mendapat kesempatan bereksperimen, dan
memahami konsep-konsep sesuai dengan permainan dirinya.
24
Hasil penelitian Rumbold dalam Bennett, dkk (2005) menyebutkan
bahwa permainan yang memiliki arah jelas adalah hal yang benar dan lahan
subur bagi proses pembelajaran. Permainan adalah motivator yang penuh
daya, mendorong anak menjadi kreatif dan mengembangkan gagasan,
pemahaman dan bahasa mereka. Melalui permainan, anak-anak melakukan
eksplorasi, menerapkan dan menguji hal-hal yang mereka ketahui dan dapat
mereka lakukan.
Bennett, dkk (2005) menyimpulkan beberapa wilayah kunci sehingga
permainan dipandang istimewa sekaligus vital dalam pendidikan sebagai
berikut:
1. Rasa memiliki merupakan hal pokok bagi pembelajaran anak yang
diperoleh melalui permainan.
2. Anak-anak mempelajari cara belajar melalui permainan.
3. Anak-anak lebih mungkin mengingat hal-hal yang mereka lakukan dalam
permainan.
4. Pembelajaran melalui permainan terjadi dengan mudah, tanpa ketakutan
dan tanpa hambatan yang menghadang.
5. Permainan itu alamiah, anak-anak adalah diri mereka sendiri.
6. Dilihat dari sudut perkembangan (developmental), permainan itu memadai.
Anak-anak secara intuitif mengetahui hal-hal yang mereka butuhkan dan
memenuhi kebutuhan melalui permainan.
7. Anak-anak tidak bisa gagal didalam permainan karena tidak ada yang
benar atau salah.
25
8. Permainan memampukan para guru untuk mengamati pembelajaran yang
sesungguhnya.
9. Anak-anak mengalami berkurangnya frustasi didalam permainan sehingga
mengurangi masalah disiplin.
Jadi, permainan menguatkan sikap positif terhadap pembelajaran
sehingga membantu anak untuk mengembangkan kepercayaan diri dan harga
diri, anak menjadi lebih mandiri serta bertanggung jawab pada keputusan
mereka sendiri.
2.2.1 Permainan Puzzle
Puzzle secara bahasa Indonesia diartikan sebagai tebakan. Tebakan
adalah sebuah masalah atau “enigma” yang diberikan sebagai hiburan yang
biasanya ditulis atau dilakukan.
Menurut Wahyuni dan Maureen (2010), puzzle adalah media visual
dua dimensi yang mempunyai kemampuan untuk menyampaikan informasi
secara visual tentang segala sesuatu sebagai pindahan dari wujud yang
sebenarnya. Menurut Ismail (2006) “puzzle adalah permainan menyusun
suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa puzzle adalah permainan teka-teki
menyatukan kembali beberapa bagian objek yang sudah diacak menjadi suatu
objek utuh pada tempat yang sesuai.
Permainan puzzle melibatkan koordinasi mata dan tangan. Namun
secara khusus puzzle biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-
26
potong menurut bagian tertentu. Puzzle dapat terbuat dari plastik, spon,
kertas, ataupun dari kayu. Guru dapat menggunakan puzzle ini untuk
mengarahkan anak pada pelajaran yang akan diajarkan pada saat itu.
Puzzle memiliki beragam jenis. Ada yang terbuat dari karton tebal dan
ada yang terbuat dari kayu. Seiring waktu, semakin bertambah usia anak,
maka tingkat kesulitan puzzle akan semakin bertambah. Biasanya hal ini
ditujukkan dengan jumlah kepingan yang semakin banyak dengan ukuran
yang lebih kecil.
Tips memilih puzzle yang baik adalah potongan kepingan harus
memenuhi presisi bentuk dan tidak ada bagian yang tajam sehingga
memudahkan anak memasang ke tempat yang sesuai, tidak membuat anak
frustasi dan tidak membahayakan. Sebaiknya jangan memilih puzzle dari
karton tipis, sebab akan menyulitkan anak memasang bentuk karena mudah
terlepas satu dengan yang lain dan mudah rusak.
Manfaat puzzle menurut Wahyuni dan Maureen (2010) adalah sebagai
berikut:
1. Meningkatkan Keterampilan Kognitif
Keterampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan
kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Dengan bermain
puzzle anak akan mencoba memecahkan masalah, yaitu menyusun gambar.
Pada tahap awal mengenal puzzle, mereka mungkin mencoba untuk
menyusun gambar puzzle dengan cara mencoba memasang-masangkan
bagian-bagian puzzle tanpa petunjuk. Dengan sedikit arahan dan contoh,
27
maka anak sudah dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya dengan
cara mencoba menyesuaikan bentuk, menyesuaikan warna, atau logika.
Contoh usaha anak menyesuaikan bentuk misalnya bentuk cembung harus
dipasangkan dengan bentuk cekung. Contoh usaha anak menyesuaikan
warna misalnya warna merah dipasangkan dengan warna merah. Contoh
usaha anak menggunakan logika, misalnya bagian gambar roda atau kaki
posisinya selalu berada di bawah.
2. Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus
Keterampilan motorik halus (fine motor skill) berkaitan dengan
kemampuan anak menggunakan otot-otot kecilnya khusunya tangan dan
jari-jari tangan. Dengan bermain puzzle tanpa disadari anak akan belajar
secara aktif menggunakan jari-jari tangannya. Agar puzzle dapat tersusun
membentuk gambar maka bagian-bagian puzzle harus disusun secara hati-
hati. Perhatikan cara anak-anak memegang bagian puzzle akan berbeda
dengan caranya memegang boneka atau bola. Memegang dan meletakkan
puzzle mungkin hanya menggunakan dua atau tiga jari, sedangkan
memegang boneka atau bola dapat dilakukan dengan mengepit di ketiak
(tanpa melibatkan jari tangan) atau menggunakan kelima jari dan telapak
tangan sekaligus.
3. Meningkatkan Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi
dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan. Namun
puzzle dapat pula dimainkan secara kelompok. Permainan yang dilakukan
28
oleh anak-anak secara kelompok akan meningkatkan interaksi sosial anak.
Dalam kelompok anak akan saling menghargai, saling membantu dan
berdiskusi satu sama lain. Jika anak bermain puzzle di rumah, orang tua
dapat menemani anak untuk berdiskusi menyelesaikan puzzle-nya, tetapi
sebaiknya orang tua hanya memberikan arahan kepada anak dan tidak
terlibat secara aktif membantu anak menyusun puzzle.
4. Melatih Koordinasi Mata dan Tangan
Anak belajar mencocokkan keping-keping puzzle dan
menyusunnya menjadi satu gambar. Ini langkah penting menuju
pengembangan keterampilan membaca.
5. Melatih Logika
Membantu melatih logika anak. Misalnya puzzle bergambar
manusia. Anak dilatih menyimpulkan dimana letak kepala, tangan, dan
kaki sesuai logika.
6. Melatih Kesabaran
Bermain puzzle membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan
memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan.
7. Memperluas Pengetahuan
Anak akan belajar banyak hal, warna, bentuk, angka, dan huruf.
Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini biasanya merupakan hal yang
mengesankan bagi anak dibandingkan pengetahuan yang didapat dengan
menghafal. Anak dapat belajar konsep dasar, binatang, alam sekitar, buah-
buahan, alfabet dan lain-lain. Tentu saja dengan bantuan ibu dan ayah.
29
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vernanda, Yunus,
&Rahmahtrisilvia (2013), penerapan media puzzle sebagai media untuk
meningkatkan kemampuan mengenal huruf vokal bagi anak kesulitan
belajar sudah mulai menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan anak
mengenal huruf vokal setelah diberikan intervensi selama 11 hari. Pada
hari ke-11 kemampuan anak telah stabil. Lama waktu penerapan metode
permainan puzzle pada anak usia prasekolah sebaiknya diterapkan selama
15-20 menit untuk mengindari anak merasa jenuh serta untuk menjaga
konsenterasi anak terhadap pembelajaran dengan metode permainan puzzle
itu sendiri sehingga nantinya dapat menunjukkan hasil yang optimal.
2.2.2 Jenis Puzzle
Terdapat berbagai macam jenis-jenis puzzle, yakni:
1. Spelling puzzle adalah puzzle yang terdiri dari gambar-gambar dan huruf-
huruf acak untuk menjadi satu kosakata yang benar
Gambar 1. Spelling Puzzle
2. Jigsaw puzzle yakni, puzzle yang berupa beberapa pertanyaan untuk
dijawab kemudian dari jawaban itu diambil huruf-huruf pertama untuk
30
dirangkai menjadi sebuah kata yang merupakan jawaban pertanyaan yang
paling akhir.
3. The thing puzzle adalah puzzle yang berupa deskripsi kalimat-kalimat yang
berhubungan dengan gambar-gambar benda untuk dijodohkan.
Gambar 2. The thing puzzle
4. The letters readiness puzzle yakni, puzzle yang berupa gambar-gambar
disertai dengan huruf-huruf nama gambar tersebut, tetapi huruf itu belum
lengkap.
Gambar 3. The letters readiness puzzle
5. Crosswords puzzle adalah puzzle yang berupa pertanyaan-pertanyaan yang
harus dijawab dengan cara memasukkan jawaban tersebut ke dalam kotak-
kotak yang tersedia baik secara horizontal maupun vertikal.
31
2.3 Pengaruh Metode Bermain terhadap Kemampuan Membaca Permulaan
Terdapat berbagai penelitian mengenai penerapan metode bermain
dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode bermain sangat
efektif diterapkan untuk meningkatkan kemampuan membaca bagi anak.
Jenis permainan yang digunakan juga sangat beragam, ada yang
menggunakan media kartu kata bergambar, permainan meloncat bulatan kata,
permainan pola suku kata dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian Sundari (2013), dapat dilihat bahwa metode
bermain sangat baik untuk diterapkan sebagai metode pembelajaran pada
anak. Dimana dalam penelitian ini, jenis permainan yang digunakan, yaitu
permainan pola suku kata dan kartu kata bergambar. Berdasarkan hasil
analisis data diperoleh kesimpulan: (1) terdapat pengaruh metode permainan
pola suku kata terhadap kemampuan membaca awal dengan nilai Z=-2.585
dan nilai p value (0.010<0.05) siswa kelompok B6 TK Negeri 2 Yogyakarta,
(2) terdapat pengaruh permainan kartu kata bergambar terhadap kemampuan
membaca dengan nilai Z=-2.395 dan nilai P value (0,011<0,05) siswa
kelompok B6 TK Negeri 2 Yogyakarta, dan (3) metode permainan dengan
kartu kata bergambar lebih berpengaruh terhadap kemampuan membaca awal
dengan nilai mean rank yang lebih tinggi yaitu 11,81 dibandingkan dengan
metode permainan pola suku kata dengan nilai rata-rata sebesar 5,19 dengan
nilai p value (0,004<0,05). Sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa, ada
32
pengaruh metode permainan pola suku kata dan kartu kata bergambar
terhadap kemampuan membaca awal kelompok B6 TK Negeri 2 Yogyakarta
Penelitian lain yang juga mendukung efektifitas metode bermain
untuk diterapkan sebagai metode pembelajaran pada anak, khususnya dalam
upaya meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Aulina (2012). Pada penelitian ini peneliti
meneliti pengaruh permainan dan penguasaan kosakata terhadap kemampuan
membaca permulaan pada anak usia lima sampai enam tahun. Permainan
yang dimaksud adalah permainan scrabble dan permainan kartu gambar
sedangkan penguasaan kosakata terdiri dari penguasaan kosakata tinggi dan
penguasaan kosakata rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
terdapat perbedaan kemampuan membaca permulaan antara anak yang
diberikan perlakuan permainan scrabble dan anak yang diberikan perlakuan
kartu gambar, (2) terdapat pengaruh interaksi antara permainan dan
penguasaan kosakata terhadap kemampuan membaca permulaan, (3) anak
dengan penguasaan kosakata tinggi yang diberikan perlakuan permainan
scrabble memiliki kemampuan membaca permulaan lebih tinggi daripada
anak yang diberikan perlakuan permainan kartu gambar, (4) anak dengan
penguasaan kosakata rendah yang diberikan perlakuan permainan kartu
gambar memiliki kemampuan membaca permulaan relatif sama dengan anak
yang diberikan perlakuan permainan scrabble.
Sehingga dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerapan metode bermain dapat memberikan pengaruh yang baik dan dapat
33
meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak. Meskipun
terdapat perbedaan efektifitas pada tiap-tiap jenis permainan yang diterapkan.
Namun permainan-permainan yang diterapkan tetap memberikan hasil yang
baik pada perkembangan kemampuan anak.
2.4 Pengaruh Metode Permainan Puzzle terhadap Kemampuan Membaca
Puzzle adalah sebuah permainan untuk menyatukan pecahan keping
untuk membentuk sebuah gambar atau tulisan yang telah ditentukan. Media
puzzle dapat digunakan untuk mengajarkan pengenalan huruf kepada anak.
Puzzle merupakan suatu media berwarna warni yang bisa dibongkar pasang
bisa berupa huruf, angka, binatang dan lain-lain yang dapat merangsang
imajinasi. Tidak hanya itu media puzzle juga memiliki keunggulan seperti:
mudah diperoleh, tidak berisiko, cepat dikenal anak, memiliki warna yang
bervariasi, serta memiliki gambar-gambar yang menarik bagi anak. Sehingga
banyak peneliti memilih menggunakan media puzzle sebagai media
penelitian, karena puzzle merupakan media yang menarik dengan warna dan
bentuk yang menarik sehingga dapat menarik perhatian anak untuk mengikuti
pelajaran. Selain itu media puzzle diharapkan dapat merangsang daya ingat
anak untuk meningkatkan kemampuan mengenal huruf.
Beberapa penelitian yang menggunakan puzzle sebagai media
penelitian, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Vernanda, Yunus, &
Rahmahtrisilvia (2013). Dimana dalam penelitian ini media puzzle digunakan
dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengenal huruf vokal bagi anak
34
kesulitan belajar. Dari hasil penelitian didapatkan data setelah diberikan
intervensi berupa permainan puzzle terjadi peningkatan kemampuan anak
dalam mengenal huruf vokal. Pengamatan dihentikan setelah hari ke sebelas,
karena pada hari ke sebelas kemampuan anak sudah stabil. Dimana anak
mampu memasangkan huruf a, i, u, e, dan o, menyebutkan huruf a, i, u, e, dan
o dan menunjukkan huruf a, i, u, e, dan o. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa media puzzle dapat meningkatkan kemampuan mengenal huruf vokal
bagi anak kesulitan belajar.
Penelitian lain yang juga menggunakan puzzle sebagai media
penelitian, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2012). Penelitian
ini dilakukan untuk melihat efektifitas media puzzle untuk meningkatkan
kemampuan menyusun kalimat bagi Cerebral Palsy. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kelompok yang mendapatkan intervensi penerapan
media puzzle menunjukkan peningkatan yang signifikan, yakni 80%
sedangkan anak yang tidak diberikan intervensi tidak menujukkan adanya
perubahan dalam kemampuan menyusun kalimat SPOK. Sehingga dalam
penelitian tersebut disimpulkan bahwa media puzzle efektif digunakan untuk
meningkatkan kemampuan menyusun kalimat pada anak.