bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka. bab 2.pdf11 bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka...
TRANSCRIPT
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengulas mengenai peran desa adat
dalam era global. Salah satunya adalah penelitian Darmadi (2011) yang berjudul
“Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam
Postkolonialitas Kawasan Industri Pariwisata”. Penelitian ini menjelaskan tentang
bagaimana representasi budaya masyarakat lokal di Kuta (yang juga di dalamnya
menyangkut tentang Desa Adat, sebab Desa Adat juga merupakan representasi dari
budaya masyarakat lokal di Kuta) yang berjuang untuk menghadirkan kembali posisi
dan peranan masyarakat lokal yang didominasi ruang turistik global. Diterangkan
juga oleh Darmadi bahwa Kuta merupakan kawasan turistik dan bagian dari destinasi
pariwisata global. Adanya fakta tersebut menjadikan realitas kehidupan masyarakat
lokal dan penduduk asli dalam situasi terdominasi dan terjajah secara ekonomi dan
budaya. Keberadaan desa adat menjadi suatu barikade dan wadah advokasi bagi
permasalahan tadi.
Penelitian ini memberi gambaran bahwa politik identitas desa adat dipandang
wajar sebagai penggerak dinamis dalam representasi masyarakat lokal dan formasi
identitas manusia global. Adanya penyesuaian antara nilai budaya tradisional dan
budaya turistik global, merupakan wujud adaptasi masyarakat lokal terhadap
pertumbuhan industri pariwisata di Kuta, yang disambut dengan politik identitas dan
12
ekonomi politik desa adat. Teori postkolonial digunakan sebagai pisau analisis dan
juga sebagai bahan untuk mengkonstruksi konsep penelitian. Selain itu, hasil
penelitian ini juga menyarankan agar masyarakat lokal khususnya krama desa adat
agar dapat mengelola potensi desa di dalam kawasan wisata. Saran lainnya yaitu
bahwa seluruh penentu kebijakan bersama masyarakat lokal khususnya desa adat
setempat patut melakukan advokasi budaya dan emansipasi masyarakat lokal
kawasan wisata Kuta sebagai wujud langkah nyata dalam membantu dan
memberdayakan masyarakat lokal sebagai tuan rumah yang bermartabat.
Permasalahan yang diangkat oleh Darmadi dalam thesisnya yang berjudul
“Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam
Postkolonialitas kawasan Industri Pariwisata” sesungguhnya hampir serupa dengan
penelitian skripsi yang diangkat oleh penulis yang membahas bagaimana suatu sistem
kemasyarakatan di Bali yang bernama desa adat ketika dihadapkan dengan
modernisasi dan globalisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Darmadi juga sama-sama
mengangkat Desa Adat Kuta sebagai lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan
Darmadi juga sama-sama membahas mengenai peran Desa Adat Kuta dalam
mengadvokasi kepentingan masyarakat lokal.
Yang menjadi pembeda antara penelitian yang dilakukan oleh Darmadi dan
penulis adalah penelitian Darmadi lebih menekankan kepada bagaimana sebuah
kearifan lokal dapat berperan dalam memberdayakan masyarakat lokal, sehingga
eksistensi masyarakat lokal tidak tergerus oleh arus globalisasi dan dominasi kawasan
turistik komersial kapitalistik yang berwujud industri pariwisata. Desa adat kemudian
13
dilihat sebagai salah satu representasi dari budaya masyarakat lokal yang mewadahi
dan mengadvokasi kepentingan dan potensi masyarakat lokal sehingga eksistensi dan
martabat masyarakat lokal dalam kedigjayaan ekonomi, sosial, politik dan budaya
dapat terjaga. Sedangkan penulis dalam skripsi ini membahas bagaimana Desa Adat
Kuta melakukan perluasan peran untuk menjaga eksistensinya dimata masyarakat
adat dengan menunjang kebutuhannya dalam hal sosial dan ekonomi.
Penelitian berikutnya adalah penelitian dari Bao (2012), yang berjudul “Kritik
Jurnal: Kuatnya Kekuasaan Ondoafi di Tengah Masyarakat Urban”. Penelitian ini
menjelaskan tentang studi mengenai kekuasaan garis keturunan Ondoafi di kota
Jayapura, Papua. Pada konteks lokal, di Papua pada umumnya dan di kota Jayapura
pada khususnya terdapat stratifikasi sosial yang beragam. Strata tertinggi ditempati
oleh kaum Ondoafi. Ondoafi merupakan pemegang garis keturunan yang ditarik dari
melalui garis lurus dari pendiri kampong dan anak laki-laki sulung Ondoafi
sebelumnya. Penelitian ini berbicara mengenai bagaimana Ondoafi ini
mengaktualisasikan modal kekuasaannya dalam konteks perubahan masyarakat dan
bagaimana Ondoafi merawat modal kekuasaannya agar tetap kuat ditengah
masyarakat urban. Penelitian ini juga menjelaskan fenomena globalisasi membawa
pengaruh terhadap modernisasi masyarakat perkotaan, sehingga dengan begitu,
masyarakat Ondoafi tersebut harus dapat beradaptasi dengan arus modernisasi dan
globalisasi tersebut. Namun, adaptasi terhadap modernisasi dalam penelitian tersebut
dibatasi dalam konteks adaptasi terhadap masyarakat urban.
14
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Bao dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis ini adalah terletak pada lokasi penelitian dan subjek dalam
penelitiannya. Apabila dalam penelitian Bao menggunakan kaum Ondoafi dan
masyarakat urban sebagai subjek, maka dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis
ini menggunakan Desa Adat Kuta dan masyarakat di daerah perkotaan sebagai subjek
penelitiannya.
Selain dua penelitian diatas, terdapat juga sebuah studi kritik tentang
kebudayaan politik di Bali yang ditulis oleh Suryawan (2012) dalam sebuah buku
yang berjudul Sisi Dibalik Bali, Politik Identitas, Kekerasan dan Interkoneksi Global.
Buku tersebut membahas mengenai kompleksitas persoalan yang terjadi akibat
adanya kebersinggungan Bali dengan berbagai faktor regional, global, dan
interkoneksi sejarah, politik, budaya, industri pariwisata dan aspek lainnya.
Secara garis besar buku tersebut mengulas mengenai dilema kehidupan
masyarakat Bali yang disatu sisi (dengan politik identitas lokalnya) didorong untuk
mempertahankan kultur yang telah dikonstruksi bagi kemolekan citranya demi
industri pariwisata. Namun disisi lain dengan adanya fenomena globalisasi,
masyarakat Bali juga pada akhirnya bergerak menuju modernitas yang mana
pariwisata menjadi salah satu faktor pendorong modernitas ini.
Proses pembangunan industri pariwisata ini melahirkan kelas menengah urban
(yang oleh Suryawan disebut juga sebagai Kelompok Elite) yang memiliki banyak
identitas. Kelompok elite ini seolah-olah memanfaatkan kebudayaan Bali sebagai
pilar dalam pembangunan industri pariwisata. Dalam konteks wacana politik
15
kebudayaan dan pembangunan industri pariwisata, energi, pikiran dan semua
kemampuan rakyat Bali dimobilisasi untuk berdebat dalam wacana pelestarian
budaya. Didukung sponsor negara dengan apparatus dan modalnya, wacana tentang
pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi, hingga
tokoh masyarakat untuk mewacanakan pencanggihan pelestarian budaya. Gula-
gulanya adalah siasat manusia untuk mencari akses ekonomi politik dibawah koor
pelestarian budaya.
Ada beberapa hal yang mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis
dalam ulasan permasalahan pada buku tersebut, yakni perihal adanya transformasi
dari masyarakat tradisional ke modern (dilihat dari adanya transformasi mata
pencaharian), dari masyarakat pedesaan yang bertransformasi menuju masyarakat
perkotaan. Selain itu, peran masyarakat urban juga dibahas sebagai suatu golongan
masyarakat yang turut mengambil peran dalam pemeliharaan citra originalitas Bali
melalui tindakan pelestarian budaya.
Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adah bahwa
penelitian tersebut mengeksplorasi tentang segala aspek kebudayaan Bali yang
dieksploitasi untuk kepentingan kapitalis. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan
oleh penulis lebih menitikberatkan pada bagaimana peran lembaga tradisional yaitu
desa adat dalam mengelola sumber daya manusia dan bagaimana nantinya sumber
daya manusia ini dapat bersaing pada masyarakat yang multi identitas itu.
16
2.2 Kerangka Konsep
2.2.1 Peran Desa Adat Kuta
Peranan merupakan sekumpulan harapan yang dimiliki oleh seseorang yang
berstatus sebagai anggota atau menjadi bagian dari suatu sistem sosial berkenaan
dengan hierarki dan hak-hak atau kekuasaan yang akan dinikmatinya dengan menjadi
anggota dari suatu organiasi atau sistem tersebut, lalu apa yang dilakukan orang
(anggota) tersebut untuk menanggapinya (Pareek, 1985: 1). Lebih lanjut dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer disebutkan hal yang senada dengan
pengertian dari Pareek bahwa peran adalah sesuatu yang diharapkan dimiliki oleh
seseorang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat (Salim, 1991: 1408).
Seseorang yang memiliki jabatan atau status dalam suatu sistem tentunya
mendambakan hak-hak dan keuntungan dari sistem tersebut. Untuk mendapatkan
hak-haknya itu, maka seseorang harus melakukan aksi dan tindakan sebagai
tanggapan terhadap harapan dan dambaan dari para anggota maupun dirinya sendiri
sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam sistem tersebut. Secara sederhana,
peran dapat didefinisikan sebagai aksi-aksi atau tindakan untuk merealisasikan
harapan-harapan dan cara mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan tupoksi dari
struktur yang menjadi bagian dari sebuah sistem sosial.
Menurut Pareek (1985: 3), tiap peranan mempunyai sistem dan dalam sistem
ini subjek peranan terdiri dari pemegang peranan dan mereka yang mempunyai
hubungan langsung dengan pemegang peranan itu. Pihak yang dikategorikan
mempunyai hubungan langsung dengan pemegang peranan selanjutnya mengirimkan
17
harapan-harapan pada peranan itu. Si pemegang peranan juga mempunyai berbagai
harapan dari perananya, dan dalam pengertian itu si pemegang peranan juga seorang
pengirim peranan.
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa peran yang nampak di dalam struktur
masyarakat Desa Adat Kuta, antara lain Prajuru, Krama Adat, dan Krama Tamiu.
Prajuru merupakan pengurus desa adat yang dipilih secara demokratis melalui
paruman (sidang utama desa). Struktur prajuru di Desa Adat Kuta terdiri dari
Bendesa sebagai kepala desa adat, kemudian yang bertindak sebagai wakil bendesa
sekaligus mengepalai bidang-bidang di Desa Adat Kuta yang disebut sebagai
Pangliman. Pangliman terdiri dari pangliman pawongan yang membidangi urusan
kependudukan, pangliman palemahan yang membidangi urusan lingkungan serta
pangliman parhyangan yang membidangi urusan keagamaan. Urutan berikutnya
dalam struktur prajuru desa adat adalah petegen (bendahara) dan penyarikan
(sekretaris). Sebagai staf yang melaksanakan tugas di lapangan dalam bidang-bidang
terdapat pesayahan yang berada di bawah koordinasi dengan pangliman. Oleh
karenanya, pesayahan terdiri dari pesayahan pawongan, pasayahan palemahan dan
pasayahan parhyangan. Peran lainnya yang ada dalam struktur masyarakat Desa
Adat Kuta adalah Krama Adat. Dalam awig-awig Desa Adat Kuta pada Sarga III,
Palet I, Pawos 4, nomor (1) dan (2) (Awig-awig Desa Adat Kuta, 1992: 2) disebutkan
sebagai berikut:
“(1). Sane kabawos Krama Desa inggih punika kulawarga Agama Hindu, sampun mabanjar suka-duka tur nyungsung Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta;
18
(2). Sejaba punika kabawos tamiu”.
Artinya:
“(1). Yang disebut sebagai Krama Desa yaitu orang yang beragama Hindu, telah menjadi anggota banjar adat (suka duka), dan menyungsung (Pura) Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta; (2). Diluar itu disebut pendatang”.
Jadi, sesuai dengan awig-awig Desa Adat Kuta yang dimaksud krama adat
adalah warga yang beragama Hindu, menyungsung Pura Kahyangan Tiga di Desa
Adat Kuta, dan menjadi anggota banjar adat (suka-duka). Sementara yang disebut
krama tamiu adalah warga pendatang yang menetap di Desa Adat Kuta, yang tidak
termasuk sebagai penyungsung Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta dan tidak
tercatat sebagai anggota banjar adat di Desa Adat Kuta. Peran-peran tersebut
merupakan bagian yang mendukung struktur sosial dari Desa Adat Kuta. Namun
berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas adat dan keagamaan serta kegiatan-kegiatan
desa adat lainnya, peran prajuru desa dan krama adat menjadi faktor utama yang
mendukung pelaksanaan program-program yang disusun oleh Desa Adat Kuta.
Menurut Katz dan Kahn (dalam Pareek, 1985: 3), organisasi dalam hal ini
adalah suatu sistem peran yang mewadahi dan memberi ruang bagi pemegang peran
dan pengirim peranan untuk memenuhi segala harapan-harapan dan hak-haknya
dalam organisasi atau sistem itu. Sehingga merujuk pada pernyataan Katz dan Kahn,
peran tidak dapat dipisahkan dari kaitannya dengan organisasi. Oleh karena itu
organisasi juga memiliki andil besar dalam merealisasikan harapan dan hak-hak
anggotanya. Organisasi merupakan bentuk akumulatif dari individu-individu dalam
19
masyarakat yang menghimpun diri dan menjadi sebuah kesatuan masyarakat yang
legal dan diakui (paling tidak oleh anggota organiasi yang bersangkutan). Oleh
karena organisasi merupakan bentuk akumulatif dari individu dalam masyarakat yang
bersifat legal, maka organiasasi dalam pendiriannya juga memiliki hak-hak dan
harapan-harapan yang ingin dipenuhi dan melakukan rangkaian aksi dan tindakan
untuk mewujudkan harapan itu. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa organisasi juga
berperan, dalam arti juga menjadi subjek peran itu sendiri ketika organisasi tersebut
ingin memenuhi harapan dan tujuannya.
Desa Adat merupakan suatu daerah dimana masyarakat yang bersangkutan
lahir serta beraktivitas dan melakukan kegiatan ataupun kebiasaan-kebiasaan yang
dilangsungkan secara turun temurun oleh masyarakat yang bersangkutan sesuai
dengan desa kala patra-nya masing-masing.
Fungsi utama dari desa adat ini adalah untuk memelihara, menegakkan dan
memupuk adat istiadat yang berlaku di desa adatnya dan segala tradisi yang diwarisi
secara turun-temurun dari leluhur mereka. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi
pengingkaran terhadap fungsi utama dari desa adat ini, maka secara lebih rinci fungsi
desa adat dikodifikasikan menjadi lebih spesifik yaitu untuk mengatur kehidupan
peguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan unsur-unsur yang
menjadikan desa tersebut dikategorikan sebagai desa adat, yaitu unsur warganya yang
disebut sebagai pawongan, unsur wilayah desa yang disebut sebagai palemahan dan
unsur tempat-tempat pemujaan bagi warganya yang dinamakan dengan istilah
parhyangan. Ketiga unsur tersebutlah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tri
20
Hita Karana. Berdasarkan fungsinya itu, diprogramkanlah tugas-tugas desa adat yang
dituangkan ke dalam awig-awig desa adat, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis (Surpha, 1993: 13).
Sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Desa Adat (Perda No. 06/1986)
ditegaskan bahwa desa adat Bali merupakan kesatuan hukum masyarakat hukum adat
yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dari kedudukan gandanya
tersebut, ,kemudian desa adat ditentukan fungsi dan perannya dalam perda tersebut
sebagai berikut:
1. Membantu pemerintah, Pemerintah daerah dan Pemerintah desa/ Pemerintahan kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan;
2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adat; 3. Memberikan kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan; 4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan Kebudayaan Nasional pada umumnya dan Kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salunglung sabayantaka/ musyawarah untuk mufakat;
5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.
Berdasarkan informasi yang didapat penulis dari Bapak I Wayan Swarsa
(Bendesa Adat Kuta), bahwa Penyebutan desa adat di provinsi Bali memiliki
perbedaan istilah pada masing-masing daerahnya. Hal tersebut mengacu pada
kebijakan dari masing-masing desa adat untuk menentukan istilah penyebutan desa
adatnya. Beberapa desa adat (secara terintegrasi melalui Majelis Madya Desa
Pakraman) memilih menggunakan istilah Desa Pakraman untuk menyebut istilah desa
adatnya. Sedangkan Desa Adat Kuta sama halnya dengan sebagian besar desa adat se-
21
Kabupaten Badung, tetap menggunakan istilah desa adat (Wawancara tanggal 20
November 2014).
Dalam penjabaran konsep pada penelitian ini penulis menjabarkan tentang
bagaimana Desa Adat Kuta berperan sebagai suatu organisasi masyarakat, sebagai
wadah bagi pemangku kepentingan untuk mewujudkan harapan-harapan kolektif dari
masyarakat adat Kuta dan sebagai suatu sistem peran.
Desa Adat Kuta merupakan salah satu desa adat yang ada di Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung, Bali. Desa Adat Kuta ini memiliki keunikan karena selain
menjalankan peranan dan fungsi sebagai mana desa adat pada umumnya yang
berperan dalam mengorganisir pelaksanaan upacara adat dan keagamaan secara
tradisi, Desa Adat Kuta juga melakukan beberapa peran lain diantaranya peningkatan
terhadap kualitas sumber daya manusia, memberdayakan aset-aset desa sebagai
sumber pendapatan utama desa sehingga desa adat menjadi berdikari secara ekonomi.
Jadi berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
konsep peran Desa Adat Kuta adalah aksi-aksi ataupun tindakan untuk merealisasikan
harapan-harapan dan cara mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan tupoksi atau
fungsi dari sebuah kesatuan masyarakat adat di Kuta yang disebut Desa Adat Kuta.
2.2.2 Peningkatan Kualitas
Menurut Hornby (1995: 598), peningkatan adalah suatu tindakan atau proses
dalam memperbaiki atau dierbaiki, dimana terjadi suatu proses penambahan atau
perubahan nilai kearah yang lebih baik dari suatu objek yang dimaksud.
22
Kualitas adalah standar yang dimiliki oleh suatu objek, yang mana ketika
dibandingkan dengan objek yang memiliki sifat yang sama maka objek tersebut akan
menunjukkan nilai lebih baik atau lebih buruk (Hornby, 1995: 950).
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan
kualitas merupakan suatu proses dalam menaikkan derajat, nilai atau standar dari
suatu objek kearah yang lebih baik. Penambahan nilai tersebut dapat diindentifikasi
dengan cara membandingkan objek tersebut dengan objek lain yang memiliki
kesamaan sifat.
2.2.3 Sumber Daya Manusia
Menurut Istijanto (2005: 1), sumber daya Manusia (SDM) adalah aset
organisasi yang hidup dan bernafas disamping aset-aset lain yang tidak bernafas
seperti gedung, mesin, barang-barang, dan sebagainya. Keunikan dari aset SDM ini
adalah mensyaratkan pengelolaan yang berbeda dengan aset lainnya, sebab aset ini
memiliki pikiran, perasaan dan perilaku. Oleh karenanya perlu dirancang suatu
mekanisme pengelolaan sumber daya manusia yang biasa disebut sebagai manajemen
sumber daya manusia.
Menurut Bhartos (2001: 1), manenjemen sumber daya manusia mencakup
masalah-masalah yang berkaitan dengan pembinaan, penggunaan dan perlindungan
sumber-sumber daya manusia. Selain itu, Sunarto (2004: 1) juga menyatakan
manajemen sumber daya manusia dapat didefinisikan sebagai pendekatan strategik
dan koheren untuk mengelola aset paling berharga milik organisasi (masyarakat),
23
orang-orang yang bekerja dalam organisasi (baik secara individu maupun kolektif),
memberikan sumbangan untuk mencapai sasaran organisasi.
Untuk memahami pengertian Sumber Daya Manusia, Nawawi (dalam
Makmur, 2007: 58) menyatakan sebagai berikut.
Pengertian SDM perlu dibedakan antara pengertiannya secara makro dan mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh pekerjaan (lapangan kerja). SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain-lain.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa sumber daya
manusia (SDM) sebagaimana diuraikan diatas perlu dibedakan menurut konteks
kedudukan dan wilayah keberadaan manusianya. Dengan pembedaan tersebut maka
kita dapat lebih mudah mempelajari hal-hal yang terkait dengan sumber daya manusia
ini.
Apabila mengacu pada pembedaan yang dinyatakan Nawawi tersebut, maka
yang dibahas pada penelitian ini adalah SDM Mikro yaitu manusia atau orang yang
bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai,
karyawan, pekerja, tenaga kerja, dan lain-lain. Dalam perspektif penulis, sumber daya
manusia yang dikelola oleh desa adat dalam hal ini tidak hanya orang-orang yang
memasuki usia angkatan kerja, namun dalam realitasnya, penulis banyak menemukan
bahwa anak-anak usia 15 tahun kebawahpun banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
adat meskipun porsi tugas dan tanggung jawabnya kecil.
24
Pada perspektif SDM mikro, semua elemen masyarakat dipandang memiliki
peluang untuk diberdayakan kemampuannya. Namun karena terdapat penggolongan-
penggolongan dalam masyarakat menyangkut usia, pekerjaan, keterampilan, agama,
wilayah dan lain-lain, maka untuk dapat mengelola sumber daya manusia dalam
masyarakat yang demikian diperlukan manajemen SDM yang baik. Menurut
Rachmawati (2008: 4), keberadaan sumber daya manusia juga mempunyai efek yang
lebih besar dibandingkan dengan sumber daya yang lain bagi perkembangan dan
kesuksesan organisasi dimasa mendatang.
Sumber daya manusia menjadi faktor penting dan sentral dalam sebuah
organisasi. Apapun bentuk dan tujuannya, organisasi dibuat dengan visi untuk
kepentingan bersama dan dalam pelaksanaan misinya akan dikelola oleh manusia.
Jadi manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan organisasi.
Keunggulan kompetitif suatu organiasi sangat bergantung pada inovasi. Inovasi
sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi dan moral kerja setiap personil
organisasinya. Sikap dan moral atau mental personil organisasi merupakan hasil dari
pembentukan kebijakan dan praktik lingkungan manajemen.
2.3 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Sistem Tindakan
(action system) dari Talcott Parsons. Teori sistem tindakan ini digunakan dalam
menganalisis peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia
di Desa Adat Kuta. Teori sistem tindakan merupakan teori yang melihat tindakan
25
individu sebagai dasar dalam melakukan analisa sosiologis. Inti pemikiran dari
Parsons dalam teori ini adalah bahwa: (1). Setiap tindakan mengarah pada suatu
tujuan (setiap tindakan memiliki tujuan); (2). Tindakan terjadi dalam suatu situasi,
dimana beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya
digunakan oleh yang bertindak (aktor) sebagai alat untuk mencapai tujuan yang
dimaksud; dan (3). Secara normatif, tindakan tersebut diatur sehubungan dengan
penentuan alat dan tujuan (Johnson, 1986: 106).
Berdasarkan uraian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa tindakan
dilihat sebagai satuan realitas sosial yang paling kecil dan fundamental. Komponen-
komponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Apabila
mengacu pada konteks peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber
daya manusia, dapat dilihat bahwa peran berkorelasi dengan tindakan. Sebagaimana
diungkapkan oleh Pareek (1985: 1), bahwa peran merupakan aksi-aksi atau tindakan
untuk merealisasikan harapan-harapan dari seseorang yang menjadi bagian dari suatu
sistem sosial.
Peran-peran yang dilakukan oleh Desa Adat Kuta memiliki tujuan yaitu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menunjukkan eksistensi desa adat di
mata krama Desa Adat Kuta. Peran-peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia memiliki elemen-elemen sebagai sarana untuk
mewujudkan tujuan dari peran tersebut. Elemen-elemen tersebut ditunjukan dengan
adanya standar norma yang berlaku di Desa Adat Kuta serta digelarnya acara-acara
pameran, komepetisi ataupun perlombaan serta didirikannya lembaga-lembaga yang
26
dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat Desa Adat Kuta. Desa Adat Kuta
membentuk sebuah sistem dimana setiap lembaga dan pengelolaan acara seremonial
(event) dilaksanakan secara terkoordinasi dengan Desa Adat Kuta. Segala peran yang
dilakukan dikorelasikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Teori sistem tindakan yang dikemukakan oleh Parsons diterjemahkan ke
dalam empat konsep, dimana dalam menganalisis peran Desa Adat Kuta dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia, konsep-konsep tersebut akan dijadikan
sebagai perangkat analisis. Keempat konsep tersebut antara lain organisme perilaku,
sistem kultural, sistem sosial dan sistem kepribadian.
Konsep-konsep dari teori sistem tidakan tersebut diaplikasikan dalam
menganalisis fungsi dan peran dari berbagai bagian dalam struktur masyarakat,
bagaimana bagian-bagian dalam struktur ini berhubungan, kemudian bagaimana
proses yang terjadi ketika interaksi antar aktor dalam struktur ini terjadi. Teori sistem
tindakan ini merupakan turunan dari teori struktural fungsional yang dikemukakan
oleh Parsons. Dalam teori sistem tindakan ini, Parsons (dalam Ritzer & Goodman,
2012: 123), juga menjawab permasalahan dalam fungsionalisme struktural (yang
kemudian menjadi sintesa yang menyebabkan lahirnya teori sistem tindakan), dengan
asumsi sebagai berikut:
1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung,
2. Sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan,
3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur, 4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-
bagian lain,
27
5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya, 6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan sistem, 7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis teori
sistem tindakan ini mengarah pada keteraturan pola, perubahan sosial serta peran-
peran aktor dalam sistem. Selain itu, menurut Parsons (dalam Poloma, 2007: 169),
fokus teori sistem tindakan lebih mengarah pada konsep tindakan rasional yaitu untuk
mencapai tujuan atau sasaran (organisasi atau kepemimpinan) dengan sarana-sarana
yang paling tepat (kepemimpinan yang berbobot atau kualitas sumber daya personil
organisasi). Berdasarkan hal tersebut, Parson mengemukakan beberapa konsep yang
terjadi dalam sebuah lingkungan masyarakat dalam teori sistem tindakan ini. Konsep
tersebut terdiri dari organisme perilaku (organisme behavioral), sistem kultural,
sistem sosial dan sistem tindakan.
Organisme perilaku merupakan salah satu bentuk sistem tindakan yang
melaksanakan fungsi adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan diri dengan
lingkungan eksternal individu ataupun mengubah lingkungan eksternal untuk
disesuaikan dengan kebutuhan serta kepribadian individu. Analisis konsep organisme
perilaku ini dalam peran Desa Adat Kuta pada upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia ditunjukkan pada beberapa peran Desa Adat Kuta yaitu dalam
pelaksanaan kompetisi Jegeg Bungan Desa dan penerbitan Majalah “Kuta Kita”.
28
Kedua peran Desa Adat Kuta tersebut berupaya untuk mempengaruhi masyarakat
Desa Adat Kuta (lingkungan eksternal) dari Desa Adat Kuta (aktor) sehingga
masyarakat termotivasi untuk menyelaraskan diri dengan sistem yang terbangun yaitu
dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Konsep berikutnya adalah sistem kultural yaitu sistem tindakan yang
dikonstruksi dengan seperangkat norma-norma dan nilai yang diaplikasikan pada
aktor sehingga para aktor termotivasi untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma
yang telah diciptakan. Konsep ini diaplikasikan dalam peran Desa Adat Kuta dalam
Festival Seni dan Budaya Desa, lomba ogoh-ogoh, parade gong kebyar anak-anak,
penyelenggaraan Pasar Majelangu serta memfasilitasi kegiatan berkesenian di Desa
Adat Kuta.
Sistem sosial merupakan suatu sistem tindakan yang dibentuk dari sejumlah
aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam suatu lingkungan fisik untuk
mengoptimalkan kepuasan dari aktor-aktor yang terlibat. Pengoptimalan tersebut
tidak terlepas dari status dan peran aktor dalam suatu kultur. Di desa Adat Kuta,
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu bentuk tujuan
yang ingin dicapai, tidak terlepas dari status dan peran aktor dalam sistem lembaga
Desa Adat Kuta. Salah satu status dan peran aktor-aktor tersebut terwujud dalam LPD
sebagai lembaga yang membantu masyarakat dalam memberikan pinjaman pada
masyarakat untuk membantu perekonomian masyarakat. Selain pengelolaan LPD,
operasionalisasi konsep sistem sosial juga dilakukan pada peran Desa Adat Kuta
29
dalam penyelenggaraan Pasar Majelangu, pengelolaan aset-aset dan kekayaan milik
Desa Adat Kuta.
Sistem kepribadian merupkan suatu bentuk sistem tindakan yang muncul
dengan membentuk konstruksi tujuan dari sebuah sistem sehingga aktor dengan
segala sumber daya yang ada termobilisasi untuk mencapai tujuan dari sistem
tersebut. Dalam peran Desa Adat Kuta yang terkait dengan upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia, konsep ini ditunjukkan dalam kompetisi jegeg bungan
desa serta memfasilitasi kegiatan berolah raga di Desa Adat Kuta.
30
2.4 Model Penelitian
Bagan 3.1. Model Penelitian
Keterangan :
= Mempengaruhi / membentuk secara langsung atau nyata
= Hubungan atau relasi saling mempengaruhi secara langsung
= Mempengaruhi / membentuk secara tidak langsung
Desa Adat Kuta
Peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia
Pengorganisasian kegiatan adat dan keagamaan
Modernisasi, urbanisasi dan transformasi mata pencaharian dari sektor agraris ke industri
dan jasa
Faktor – faktor pendorong Desa Adat Kuta untuk
melakukan peningkatan kualitas SDM
Pengaruh peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan
kualitas SDM bagi kehidupan masyarakat
Peningkatan kualitas SDM, Pengembangan aset-aset desa adat
sehingga bisa memberikan keuntungan materiil untuk desa
adat
Kewajiban untuk menjalankan tradisi, mempertahankan
kearifan lokal dan warisan budaya leluhur
Eksistensi Desa Adat Kuta
31
Penjelasan Model:
Berdasarkan model penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa peran Desa
Adat Kuta muncul karena dorongan beberapa faktor. Disatu sisi peran Desa Adat
Kuta muncul karena adanya kewajiban untuk menjalankan tradisi, tuntutan untuk
menjalankan dan mempertahankan kearifan lokal serta warisan budaya leluhur. Disisi
lain, adanya perkembangan zaman yang ditunjukkan dengan adanya urbanisasi,
modernisasi dan adanya transformasi mata pencaharian dari warga Desa Adat Kuta.
Kedua faktor tersebut mendorong Desa Adat Kuta untuk menjalankan peran sesuai
dengan fungsi idealnya dan juga melakukan perluasan peran karena adanya
perkembangan-perkembangan yang terjadi di Desa Adat Kuta. Fungsi ideal dari desa
adat adalah mengorganisasi kegiatan adat dan keagamaan sebagaimana tradisi dan
corak dari peran desa adat pada umumnya. Disisi lain, perluasan peran yang
dilakukan oleh Desa Adat Kuta ditunjukkan dengan adanya upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan aset-aset Desa Adat Kuta sehingga
memberi keuntungan materiil bagi Desa Adat Kuta. Peran-peran yang muncul dari
dorongan faktor-faktor tersebut (baik dari perspektif tradisi maupun perkembangan
zaman) secara langsung mempengaruhi dan mengkonstruksi citra serta identitas Desa
Adat Kuta sebagaimana keberadaannya yang dikenal saat ini.
Peran-peran Desa Adat Kuta (baik yang ideal maupun mengenai perluasan
peran) dapat diamati dan diteliti melalui pembahasan tiga rumusan permasalahan,
antara lain: (1). Faktor-faktor yang mendorong Desa Adat Kuta untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia; (2). Peran Desa Adat Kuta dalam meningkatkan
32
kualitas sumber daya manusia; (3). Dampak Peran Desa Adat Kuta dalam
Peningkatan Kualitas sumber daya manusia bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan
penjabaran dari ketiga rumusan masalah tersebut, maka dapat diamati seperti apa
peran-peran dari citra dan identitas Desa Adat Kuta saat ini mempengaruhi eksistensi
Desa Adat Kuta.