bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka. bab 2.pdf11 bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka...

22
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Beberapa penelitian sebelumnya telah mengulas mengenai peran desa adat dalam era global. Salah satunya adalah penelitian Darmadi (2011) yang berjudul “Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam Postkolonialitas Kawasan Industri Pariwisata”. Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana representasi budaya masyarakat lokal di Kuta (yang juga di dalamnya menyangkut tentang Desa Adat, sebab Desa Adat juga merupakan representasi dari budaya masyarakat lokal di Kuta) yang berjuang untuk menghadirkan kembali posisi dan peranan masyarakat lokal yang didominasi ruang turistik global. Diterangkan juga oleh Darmadi bahwa Kuta merupakan kawasan turistik dan bagian dari destinasi pariwisata global. Adanya fakta tersebut menjadikan realitas kehidupan masyarakat lokal dan penduduk asli dalam situasi terdominasi dan terjajah secara ekonomi dan budaya. Keberadaan desa adat menjadi suatu barikade dan wadah advokasi bagi permasalahan tadi. Penelitian ini memberi gambaran bahwa politik identitas desa adat dipandang wajar sebagai penggerak dinamis dalam representasi masyarakat lokal dan formasi identitas manusia global. Adanya penyesuaian antara nilai budaya tradisional dan budaya turistik global, merupakan wujud adaptasi masyarakat lokal terhadap pertumbuhan industri pariwisata di Kuta, yang disambut dengan politik identitas dan

Upload: hahanh

Post on 16-Aug-2019

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengulas mengenai peran desa adat

dalam era global. Salah satunya adalah penelitian Darmadi (2011) yang berjudul

“Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam

Postkolonialitas Kawasan Industri Pariwisata”. Penelitian ini menjelaskan tentang

bagaimana representasi budaya masyarakat lokal di Kuta (yang juga di dalamnya

menyangkut tentang Desa Adat, sebab Desa Adat juga merupakan representasi dari

budaya masyarakat lokal di Kuta) yang berjuang untuk menghadirkan kembali posisi

dan peranan masyarakat lokal yang didominasi ruang turistik global. Diterangkan

juga oleh Darmadi bahwa Kuta merupakan kawasan turistik dan bagian dari destinasi

pariwisata global. Adanya fakta tersebut menjadikan realitas kehidupan masyarakat

lokal dan penduduk asli dalam situasi terdominasi dan terjajah secara ekonomi dan

budaya. Keberadaan desa adat menjadi suatu barikade dan wadah advokasi bagi

permasalahan tadi.

Penelitian ini memberi gambaran bahwa politik identitas desa adat dipandang

wajar sebagai penggerak dinamis dalam representasi masyarakat lokal dan formasi

identitas manusia global. Adanya penyesuaian antara nilai budaya tradisional dan

budaya turistik global, merupakan wujud adaptasi masyarakat lokal terhadap

pertumbuhan industri pariwisata di Kuta, yang disambut dengan politik identitas dan

12

ekonomi politik desa adat. Teori postkolonial digunakan sebagai pisau analisis dan

juga sebagai bahan untuk mengkonstruksi konsep penelitian. Selain itu, hasil

penelitian ini juga menyarankan agar masyarakat lokal khususnya krama desa adat

agar dapat mengelola potensi desa di dalam kawasan wisata. Saran lainnya yaitu

bahwa seluruh penentu kebijakan bersama masyarakat lokal khususnya desa adat

setempat patut melakukan advokasi budaya dan emansipasi masyarakat lokal

kawasan wisata Kuta sebagai wujud langkah nyata dalam membantu dan

memberdayakan masyarakat lokal sebagai tuan rumah yang bermartabat.

Permasalahan yang diangkat oleh Darmadi dalam thesisnya yang berjudul

“Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam

Postkolonialitas kawasan Industri Pariwisata” sesungguhnya hampir serupa dengan

penelitian skripsi yang diangkat oleh penulis yang membahas bagaimana suatu sistem

kemasyarakatan di Bali yang bernama desa adat ketika dihadapkan dengan

modernisasi dan globalisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Darmadi juga sama-sama

mengangkat Desa Adat Kuta sebagai lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan

Darmadi juga sama-sama membahas mengenai peran Desa Adat Kuta dalam

mengadvokasi kepentingan masyarakat lokal.

Yang menjadi pembeda antara penelitian yang dilakukan oleh Darmadi dan

penulis adalah penelitian Darmadi lebih menekankan kepada bagaimana sebuah

kearifan lokal dapat berperan dalam memberdayakan masyarakat lokal, sehingga

eksistensi masyarakat lokal tidak tergerus oleh arus globalisasi dan dominasi kawasan

turistik komersial kapitalistik yang berwujud industri pariwisata. Desa adat kemudian

13

dilihat sebagai salah satu representasi dari budaya masyarakat lokal yang mewadahi

dan mengadvokasi kepentingan dan potensi masyarakat lokal sehingga eksistensi dan

martabat masyarakat lokal dalam kedigjayaan ekonomi, sosial, politik dan budaya

dapat terjaga. Sedangkan penulis dalam skripsi ini membahas bagaimana Desa Adat

Kuta melakukan perluasan peran untuk menjaga eksistensinya dimata masyarakat

adat dengan menunjang kebutuhannya dalam hal sosial dan ekonomi.

Penelitian berikutnya adalah penelitian dari Bao (2012), yang berjudul “Kritik

Jurnal: Kuatnya Kekuasaan Ondoafi di Tengah Masyarakat Urban”. Penelitian ini

menjelaskan tentang studi mengenai kekuasaan garis keturunan Ondoafi di kota

Jayapura, Papua. Pada konteks lokal, di Papua pada umumnya dan di kota Jayapura

pada khususnya terdapat stratifikasi sosial yang beragam. Strata tertinggi ditempati

oleh kaum Ondoafi. Ondoafi merupakan pemegang garis keturunan yang ditarik dari

melalui garis lurus dari pendiri kampong dan anak laki-laki sulung Ondoafi

sebelumnya. Penelitian ini berbicara mengenai bagaimana Ondoafi ini

mengaktualisasikan modal kekuasaannya dalam konteks perubahan masyarakat dan

bagaimana Ondoafi merawat modal kekuasaannya agar tetap kuat ditengah

masyarakat urban. Penelitian ini juga menjelaskan fenomena globalisasi membawa

pengaruh terhadap modernisasi masyarakat perkotaan, sehingga dengan begitu,

masyarakat Ondoafi tersebut harus dapat beradaptasi dengan arus modernisasi dan

globalisasi tersebut. Namun, adaptasi terhadap modernisasi dalam penelitian tersebut

dibatasi dalam konteks adaptasi terhadap masyarakat urban.

14

Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Bao dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis ini adalah terletak pada lokasi penelitian dan subjek dalam

penelitiannya. Apabila dalam penelitian Bao menggunakan kaum Ondoafi dan

masyarakat urban sebagai subjek, maka dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis

ini menggunakan Desa Adat Kuta dan masyarakat di daerah perkotaan sebagai subjek

penelitiannya.

Selain dua penelitian diatas, terdapat juga sebuah studi kritik tentang

kebudayaan politik di Bali yang ditulis oleh Suryawan (2012) dalam sebuah buku

yang berjudul Sisi Dibalik Bali, Politik Identitas, Kekerasan dan Interkoneksi Global.

Buku tersebut membahas mengenai kompleksitas persoalan yang terjadi akibat

adanya kebersinggungan Bali dengan berbagai faktor regional, global, dan

interkoneksi sejarah, politik, budaya, industri pariwisata dan aspek lainnya.

Secara garis besar buku tersebut mengulas mengenai dilema kehidupan

masyarakat Bali yang disatu sisi (dengan politik identitas lokalnya) didorong untuk

mempertahankan kultur yang telah dikonstruksi bagi kemolekan citranya demi

industri pariwisata. Namun disisi lain dengan adanya fenomena globalisasi,

masyarakat Bali juga pada akhirnya bergerak menuju modernitas yang mana

pariwisata menjadi salah satu faktor pendorong modernitas ini.

Proses pembangunan industri pariwisata ini melahirkan kelas menengah urban

(yang oleh Suryawan disebut juga sebagai Kelompok Elite) yang memiliki banyak

identitas. Kelompok elite ini seolah-olah memanfaatkan kebudayaan Bali sebagai

pilar dalam pembangunan industri pariwisata. Dalam konteks wacana politik

15

kebudayaan dan pembangunan industri pariwisata, energi, pikiran dan semua

kemampuan rakyat Bali dimobilisasi untuk berdebat dalam wacana pelestarian

budaya. Didukung sponsor negara dengan apparatus dan modalnya, wacana tentang

pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi, hingga

tokoh masyarakat untuk mewacanakan pencanggihan pelestarian budaya. Gula-

gulanya adalah siasat manusia untuk mencari akses ekonomi politik dibawah koor

pelestarian budaya.

Ada beberapa hal yang mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis

dalam ulasan permasalahan pada buku tersebut, yakni perihal adanya transformasi

dari masyarakat tradisional ke modern (dilihat dari adanya transformasi mata

pencaharian), dari masyarakat pedesaan yang bertransformasi menuju masyarakat

perkotaan. Selain itu, peran masyarakat urban juga dibahas sebagai suatu golongan

masyarakat yang turut mengambil peran dalam pemeliharaan citra originalitas Bali

melalui tindakan pelestarian budaya.

Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adah bahwa

penelitian tersebut mengeksplorasi tentang segala aspek kebudayaan Bali yang

dieksploitasi untuk kepentingan kapitalis. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan

oleh penulis lebih menitikberatkan pada bagaimana peran lembaga tradisional yaitu

desa adat dalam mengelola sumber daya manusia dan bagaimana nantinya sumber

daya manusia ini dapat bersaing pada masyarakat yang multi identitas itu.

16

2.2 Kerangka Konsep

2.2.1 Peran Desa Adat Kuta

Peranan merupakan sekumpulan harapan yang dimiliki oleh seseorang yang

berstatus sebagai anggota atau menjadi bagian dari suatu sistem sosial berkenaan

dengan hierarki dan hak-hak atau kekuasaan yang akan dinikmatinya dengan menjadi

anggota dari suatu organiasi atau sistem tersebut, lalu apa yang dilakukan orang

(anggota) tersebut untuk menanggapinya (Pareek, 1985: 1). Lebih lanjut dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer disebutkan hal yang senada dengan

pengertian dari Pareek bahwa peran adalah sesuatu yang diharapkan dimiliki oleh

seseorang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat (Salim, 1991: 1408).

Seseorang yang memiliki jabatan atau status dalam suatu sistem tentunya

mendambakan hak-hak dan keuntungan dari sistem tersebut. Untuk mendapatkan

hak-haknya itu, maka seseorang harus melakukan aksi dan tindakan sebagai

tanggapan terhadap harapan dan dambaan dari para anggota maupun dirinya sendiri

sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam sistem tersebut. Secara sederhana,

peran dapat didefinisikan sebagai aksi-aksi atau tindakan untuk merealisasikan

harapan-harapan dan cara mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan tupoksi dari

struktur yang menjadi bagian dari sebuah sistem sosial.

Menurut Pareek (1985: 3), tiap peranan mempunyai sistem dan dalam sistem

ini subjek peranan terdiri dari pemegang peranan dan mereka yang mempunyai

hubungan langsung dengan pemegang peranan itu. Pihak yang dikategorikan

mempunyai hubungan langsung dengan pemegang peranan selanjutnya mengirimkan

17

harapan-harapan pada peranan itu. Si pemegang peranan juga mempunyai berbagai

harapan dari perananya, dan dalam pengertian itu si pemegang peranan juga seorang

pengirim peranan.

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa peran yang nampak di dalam struktur

masyarakat Desa Adat Kuta, antara lain Prajuru, Krama Adat, dan Krama Tamiu.

Prajuru merupakan pengurus desa adat yang dipilih secara demokratis melalui

paruman (sidang utama desa). Struktur prajuru di Desa Adat Kuta terdiri dari

Bendesa sebagai kepala desa adat, kemudian yang bertindak sebagai wakil bendesa

sekaligus mengepalai bidang-bidang di Desa Adat Kuta yang disebut sebagai

Pangliman. Pangliman terdiri dari pangliman pawongan yang membidangi urusan

kependudukan, pangliman palemahan yang membidangi urusan lingkungan serta

pangliman parhyangan yang membidangi urusan keagamaan. Urutan berikutnya

dalam struktur prajuru desa adat adalah petegen (bendahara) dan penyarikan

(sekretaris). Sebagai staf yang melaksanakan tugas di lapangan dalam bidang-bidang

terdapat pesayahan yang berada di bawah koordinasi dengan pangliman. Oleh

karenanya, pesayahan terdiri dari pesayahan pawongan, pasayahan palemahan dan

pasayahan parhyangan. Peran lainnya yang ada dalam struktur masyarakat Desa

Adat Kuta adalah Krama Adat. Dalam awig-awig Desa Adat Kuta pada Sarga III,

Palet I, Pawos 4, nomor (1) dan (2) (Awig-awig Desa Adat Kuta, 1992: 2) disebutkan

sebagai berikut:

“(1). Sane kabawos Krama Desa inggih punika kulawarga Agama Hindu, sampun mabanjar suka-duka tur nyungsung Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta;

18

(2). Sejaba punika kabawos tamiu”.

Artinya:

“(1). Yang disebut sebagai Krama Desa yaitu orang yang beragama Hindu, telah menjadi anggota banjar adat (suka duka), dan menyungsung (Pura) Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta; (2). Diluar itu disebut pendatang”.

Jadi, sesuai dengan awig-awig Desa Adat Kuta yang dimaksud krama adat

adalah warga yang beragama Hindu, menyungsung Pura Kahyangan Tiga di Desa

Adat Kuta, dan menjadi anggota banjar adat (suka-duka). Sementara yang disebut

krama tamiu adalah warga pendatang yang menetap di Desa Adat Kuta, yang tidak

termasuk sebagai penyungsung Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Kuta dan tidak

tercatat sebagai anggota banjar adat di Desa Adat Kuta. Peran-peran tersebut

merupakan bagian yang mendukung struktur sosial dari Desa Adat Kuta. Namun

berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas adat dan keagamaan serta kegiatan-kegiatan

desa adat lainnya, peran prajuru desa dan krama adat menjadi faktor utama yang

mendukung pelaksanaan program-program yang disusun oleh Desa Adat Kuta.

Menurut Katz dan Kahn (dalam Pareek, 1985: 3), organisasi dalam hal ini

adalah suatu sistem peran yang mewadahi dan memberi ruang bagi pemegang peran

dan pengirim peranan untuk memenuhi segala harapan-harapan dan hak-haknya

dalam organisasi atau sistem itu. Sehingga merujuk pada pernyataan Katz dan Kahn,

peran tidak dapat dipisahkan dari kaitannya dengan organisasi. Oleh karena itu

organisasi juga memiliki andil besar dalam merealisasikan harapan dan hak-hak

anggotanya. Organisasi merupakan bentuk akumulatif dari individu-individu dalam

19

masyarakat yang menghimpun diri dan menjadi sebuah kesatuan masyarakat yang

legal dan diakui (paling tidak oleh anggota organiasi yang bersangkutan). Oleh

karena organisasi merupakan bentuk akumulatif dari individu dalam masyarakat yang

bersifat legal, maka organiasasi dalam pendiriannya juga memiliki hak-hak dan

harapan-harapan yang ingin dipenuhi dan melakukan rangkaian aksi dan tindakan

untuk mewujudkan harapan itu. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa organisasi juga

berperan, dalam arti juga menjadi subjek peran itu sendiri ketika organisasi tersebut

ingin memenuhi harapan dan tujuannya.

Desa Adat merupakan suatu daerah dimana masyarakat yang bersangkutan

lahir serta beraktivitas dan melakukan kegiatan ataupun kebiasaan-kebiasaan yang

dilangsungkan secara turun temurun oleh masyarakat yang bersangkutan sesuai

dengan desa kala patra-nya masing-masing.

Fungsi utama dari desa adat ini adalah untuk memelihara, menegakkan dan

memupuk adat istiadat yang berlaku di desa adatnya dan segala tradisi yang diwarisi

secara turun-temurun dari leluhur mereka. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi

pengingkaran terhadap fungsi utama dari desa adat ini, maka secara lebih rinci fungsi

desa adat dikodifikasikan menjadi lebih spesifik yaitu untuk mengatur kehidupan

peguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan unsur-unsur yang

menjadikan desa tersebut dikategorikan sebagai desa adat, yaitu unsur warganya yang

disebut sebagai pawongan, unsur wilayah desa yang disebut sebagai palemahan dan

unsur tempat-tempat pemujaan bagi warganya yang dinamakan dengan istilah

parhyangan. Ketiga unsur tersebutlah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tri

20

Hita Karana. Berdasarkan fungsinya itu, diprogramkanlah tugas-tugas desa adat yang

dituangkan ke dalam awig-awig desa adat, baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis (Surpha, 1993: 13).

Sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Desa Adat (Perda No. 06/1986)

ditegaskan bahwa desa adat Bali merupakan kesatuan hukum masyarakat hukum adat

yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dari kedudukan gandanya

tersebut, ,kemudian desa adat ditentukan fungsi dan perannya dalam perda tersebut

sebagai berikut:

1. Membantu pemerintah, Pemerintah daerah dan Pemerintah desa/ Pemerintahan kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan;

2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adat; 3. Memberikan kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang berhubungan

dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan; 4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka

memperkaya, melestarikan dan mengembangkan Kebudayaan Nasional pada umumnya dan Kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salunglung sabayantaka/ musyawarah untuk mufakat;

5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.

Berdasarkan informasi yang didapat penulis dari Bapak I Wayan Swarsa

(Bendesa Adat Kuta), bahwa Penyebutan desa adat di provinsi Bali memiliki

perbedaan istilah pada masing-masing daerahnya. Hal tersebut mengacu pada

kebijakan dari masing-masing desa adat untuk menentukan istilah penyebutan desa

adatnya. Beberapa desa adat (secara terintegrasi melalui Majelis Madya Desa

Pakraman) memilih menggunakan istilah Desa Pakraman untuk menyebut istilah desa

adatnya. Sedangkan Desa Adat Kuta sama halnya dengan sebagian besar desa adat se-

21

Kabupaten Badung, tetap menggunakan istilah desa adat (Wawancara tanggal 20

November 2014).

Dalam penjabaran konsep pada penelitian ini penulis menjabarkan tentang

bagaimana Desa Adat Kuta berperan sebagai suatu organisasi masyarakat, sebagai

wadah bagi pemangku kepentingan untuk mewujudkan harapan-harapan kolektif dari

masyarakat adat Kuta dan sebagai suatu sistem peran.

Desa Adat Kuta merupakan salah satu desa adat yang ada di Kecamatan Kuta,

Kabupaten Badung, Bali. Desa Adat Kuta ini memiliki keunikan karena selain

menjalankan peranan dan fungsi sebagai mana desa adat pada umumnya yang

berperan dalam mengorganisir pelaksanaan upacara adat dan keagamaan secara

tradisi, Desa Adat Kuta juga melakukan beberapa peran lain diantaranya peningkatan

terhadap kualitas sumber daya manusia, memberdayakan aset-aset desa sebagai

sumber pendapatan utama desa sehingga desa adat menjadi berdikari secara ekonomi.

Jadi berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

konsep peran Desa Adat Kuta adalah aksi-aksi ataupun tindakan untuk merealisasikan

harapan-harapan dan cara mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan tupoksi atau

fungsi dari sebuah kesatuan masyarakat adat di Kuta yang disebut Desa Adat Kuta.

2.2.2 Peningkatan Kualitas

Menurut Hornby (1995: 598), peningkatan adalah suatu tindakan atau proses

dalam memperbaiki atau dierbaiki, dimana terjadi suatu proses penambahan atau

perubahan nilai kearah yang lebih baik dari suatu objek yang dimaksud.

22

Kualitas adalah standar yang dimiliki oleh suatu objek, yang mana ketika

dibandingkan dengan objek yang memiliki sifat yang sama maka objek tersebut akan

menunjukkan nilai lebih baik atau lebih buruk (Hornby, 1995: 950).

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan

kualitas merupakan suatu proses dalam menaikkan derajat, nilai atau standar dari

suatu objek kearah yang lebih baik. Penambahan nilai tersebut dapat diindentifikasi

dengan cara membandingkan objek tersebut dengan objek lain yang memiliki

kesamaan sifat.

2.2.3 Sumber Daya Manusia

Menurut Istijanto (2005: 1), sumber daya Manusia (SDM) adalah aset

organisasi yang hidup dan bernafas disamping aset-aset lain yang tidak bernafas

seperti gedung, mesin, barang-barang, dan sebagainya. Keunikan dari aset SDM ini

adalah mensyaratkan pengelolaan yang berbeda dengan aset lainnya, sebab aset ini

memiliki pikiran, perasaan dan perilaku. Oleh karenanya perlu dirancang suatu

mekanisme pengelolaan sumber daya manusia yang biasa disebut sebagai manajemen

sumber daya manusia.

Menurut Bhartos (2001: 1), manenjemen sumber daya manusia mencakup

masalah-masalah yang berkaitan dengan pembinaan, penggunaan dan perlindungan

sumber-sumber daya manusia. Selain itu, Sunarto (2004: 1) juga menyatakan

manajemen sumber daya manusia dapat didefinisikan sebagai pendekatan strategik

dan koheren untuk mengelola aset paling berharga milik organisasi (masyarakat),

23

orang-orang yang bekerja dalam organisasi (baik secara individu maupun kolektif),

memberikan sumbangan untuk mencapai sasaran organisasi.

Untuk memahami pengertian Sumber Daya Manusia, Nawawi (dalam

Makmur, 2007: 58) menyatakan sebagai berikut.

Pengertian SDM perlu dibedakan antara pengertiannya secara makro dan mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh pekerjaan (lapangan kerja). SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain-lain.

Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa sumber daya

manusia (SDM) sebagaimana diuraikan diatas perlu dibedakan menurut konteks

kedudukan dan wilayah keberadaan manusianya. Dengan pembedaan tersebut maka

kita dapat lebih mudah mempelajari hal-hal yang terkait dengan sumber daya manusia

ini.

Apabila mengacu pada pembedaan yang dinyatakan Nawawi tersebut, maka

yang dibahas pada penelitian ini adalah SDM Mikro yaitu manusia atau orang yang

bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai,

karyawan, pekerja, tenaga kerja, dan lain-lain. Dalam perspektif penulis, sumber daya

manusia yang dikelola oleh desa adat dalam hal ini tidak hanya orang-orang yang

memasuki usia angkatan kerja, namun dalam realitasnya, penulis banyak menemukan

bahwa anak-anak usia 15 tahun kebawahpun banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan

adat meskipun porsi tugas dan tanggung jawabnya kecil.

24

Pada perspektif SDM mikro, semua elemen masyarakat dipandang memiliki

peluang untuk diberdayakan kemampuannya. Namun karena terdapat penggolongan-

penggolongan dalam masyarakat menyangkut usia, pekerjaan, keterampilan, agama,

wilayah dan lain-lain, maka untuk dapat mengelola sumber daya manusia dalam

masyarakat yang demikian diperlukan manajemen SDM yang baik. Menurut

Rachmawati (2008: 4), keberadaan sumber daya manusia juga mempunyai efek yang

lebih besar dibandingkan dengan sumber daya yang lain bagi perkembangan dan

kesuksesan organisasi dimasa mendatang.

Sumber daya manusia menjadi faktor penting dan sentral dalam sebuah

organisasi. Apapun bentuk dan tujuannya, organisasi dibuat dengan visi untuk

kepentingan bersama dan dalam pelaksanaan misinya akan dikelola oleh manusia.

Jadi manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan organisasi.

Keunggulan kompetitif suatu organiasi sangat bergantung pada inovasi. Inovasi

sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi dan moral kerja setiap personil

organisasinya. Sikap dan moral atau mental personil organisasi merupakan hasil dari

pembentukan kebijakan dan praktik lingkungan manajemen.

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Sistem Tindakan

(action system) dari Talcott Parsons. Teori sistem tindakan ini digunakan dalam

menganalisis peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia

di Desa Adat Kuta. Teori sistem tindakan merupakan teori yang melihat tindakan

25

individu sebagai dasar dalam melakukan analisa sosiologis. Inti pemikiran dari

Parsons dalam teori ini adalah bahwa: (1). Setiap tindakan mengarah pada suatu

tujuan (setiap tindakan memiliki tujuan); (2). Tindakan terjadi dalam suatu situasi,

dimana beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya

digunakan oleh yang bertindak (aktor) sebagai alat untuk mencapai tujuan yang

dimaksud; dan (3). Secara normatif, tindakan tersebut diatur sehubungan dengan

penentuan alat dan tujuan (Johnson, 1986: 106).

Berdasarkan uraian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa tindakan

dilihat sebagai satuan realitas sosial yang paling kecil dan fundamental. Komponen-

komponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Apabila

mengacu pada konteks peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan kualitas sumber

daya manusia, dapat dilihat bahwa peran berkorelasi dengan tindakan. Sebagaimana

diungkapkan oleh Pareek (1985: 1), bahwa peran merupakan aksi-aksi atau tindakan

untuk merealisasikan harapan-harapan dari seseorang yang menjadi bagian dari suatu

sistem sosial.

Peran-peran yang dilakukan oleh Desa Adat Kuta memiliki tujuan yaitu

meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menunjukkan eksistensi desa adat di

mata krama Desa Adat Kuta. Peran-peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan

kualitas sumber daya manusia memiliki elemen-elemen sebagai sarana untuk

mewujudkan tujuan dari peran tersebut. Elemen-elemen tersebut ditunjukan dengan

adanya standar norma yang berlaku di Desa Adat Kuta serta digelarnya acara-acara

pameran, komepetisi ataupun perlombaan serta didirikannya lembaga-lembaga yang

26

dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat Desa Adat Kuta. Desa Adat Kuta

membentuk sebuah sistem dimana setiap lembaga dan pengelolaan acara seremonial

(event) dilaksanakan secara terkoordinasi dengan Desa Adat Kuta. Segala peran yang

dilakukan dikorelasikan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Teori sistem tindakan yang dikemukakan oleh Parsons diterjemahkan ke

dalam empat konsep, dimana dalam menganalisis peran Desa Adat Kuta dalam

peningkatan kualitas sumber daya manusia, konsep-konsep tersebut akan dijadikan

sebagai perangkat analisis. Keempat konsep tersebut antara lain organisme perilaku,

sistem kultural, sistem sosial dan sistem kepribadian.

Konsep-konsep dari teori sistem tidakan tersebut diaplikasikan dalam

menganalisis fungsi dan peran dari berbagai bagian dalam struktur masyarakat,

bagaimana bagian-bagian dalam struktur ini berhubungan, kemudian bagaimana

proses yang terjadi ketika interaksi antar aktor dalam struktur ini terjadi. Teori sistem

tindakan ini merupakan turunan dari teori struktural fungsional yang dikemukakan

oleh Parsons. Dalam teori sistem tindakan ini, Parsons (dalam Ritzer & Goodman,

2012: 123), juga menjawab permasalahan dalam fungsionalisme struktural (yang

kemudian menjadi sintesa yang menyebabkan lahirnya teori sistem tindakan), dengan

asumsi sebagai berikut:

1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung,

2. Sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan,

3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur, 4. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-

bagian lain,

27

5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya, 6. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan

untuk memelihara keseimbangan sistem, 7. Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang

meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis teori

sistem tindakan ini mengarah pada keteraturan pola, perubahan sosial serta peran-

peran aktor dalam sistem. Selain itu, menurut Parsons (dalam Poloma, 2007: 169),

fokus teori sistem tindakan lebih mengarah pada konsep tindakan rasional yaitu untuk

mencapai tujuan atau sasaran (organisasi atau kepemimpinan) dengan sarana-sarana

yang paling tepat (kepemimpinan yang berbobot atau kualitas sumber daya personil

organisasi). Berdasarkan hal tersebut, Parson mengemukakan beberapa konsep yang

terjadi dalam sebuah lingkungan masyarakat dalam teori sistem tindakan ini. Konsep

tersebut terdiri dari organisme perilaku (organisme behavioral), sistem kultural,

sistem sosial dan sistem tindakan.

Organisme perilaku merupakan salah satu bentuk sistem tindakan yang

melaksanakan fungsi adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan diri dengan

lingkungan eksternal individu ataupun mengubah lingkungan eksternal untuk

disesuaikan dengan kebutuhan serta kepribadian individu. Analisis konsep organisme

perilaku ini dalam peran Desa Adat Kuta pada upaya peningkatan kualitas sumber

daya manusia ditunjukkan pada beberapa peran Desa Adat Kuta yaitu dalam

pelaksanaan kompetisi Jegeg Bungan Desa dan penerbitan Majalah “Kuta Kita”.

28

Kedua peran Desa Adat Kuta tersebut berupaya untuk mempengaruhi masyarakat

Desa Adat Kuta (lingkungan eksternal) dari Desa Adat Kuta (aktor) sehingga

masyarakat termotivasi untuk menyelaraskan diri dengan sistem yang terbangun yaitu

dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.

Konsep berikutnya adalah sistem kultural yaitu sistem tindakan yang

dikonstruksi dengan seperangkat norma-norma dan nilai yang diaplikasikan pada

aktor sehingga para aktor termotivasi untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma

yang telah diciptakan. Konsep ini diaplikasikan dalam peran Desa Adat Kuta dalam

Festival Seni dan Budaya Desa, lomba ogoh-ogoh, parade gong kebyar anak-anak,

penyelenggaraan Pasar Majelangu serta memfasilitasi kegiatan berkesenian di Desa

Adat Kuta.

Sistem sosial merupakan suatu sistem tindakan yang dibentuk dari sejumlah

aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam suatu lingkungan fisik untuk

mengoptimalkan kepuasan dari aktor-aktor yang terlibat. Pengoptimalan tersebut

tidak terlepas dari status dan peran aktor dalam suatu kultur. Di desa Adat Kuta,

dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu bentuk tujuan

yang ingin dicapai, tidak terlepas dari status dan peran aktor dalam sistem lembaga

Desa Adat Kuta. Salah satu status dan peran aktor-aktor tersebut terwujud dalam LPD

sebagai lembaga yang membantu masyarakat dalam memberikan pinjaman pada

masyarakat untuk membantu perekonomian masyarakat. Selain pengelolaan LPD,

operasionalisasi konsep sistem sosial juga dilakukan pada peran Desa Adat Kuta

29

dalam penyelenggaraan Pasar Majelangu, pengelolaan aset-aset dan kekayaan milik

Desa Adat Kuta.

Sistem kepribadian merupkan suatu bentuk sistem tindakan yang muncul

dengan membentuk konstruksi tujuan dari sebuah sistem sehingga aktor dengan

segala sumber daya yang ada termobilisasi untuk mencapai tujuan dari sistem

tersebut. Dalam peran Desa Adat Kuta yang terkait dengan upaya peningkatan

kualitas sumber daya manusia, konsep ini ditunjukkan dalam kompetisi jegeg bungan

desa serta memfasilitasi kegiatan berolah raga di Desa Adat Kuta.

30

2.4 Model Penelitian

Bagan 3.1. Model Penelitian

Keterangan :

= Mempengaruhi / membentuk secara langsung atau nyata

= Hubungan atau relasi saling mempengaruhi secara langsung

= Mempengaruhi / membentuk secara tidak langsung

Desa Adat Kuta

Peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan

kualitas sumber daya manusia

Pengorganisasian kegiatan adat dan keagamaan

Modernisasi, urbanisasi dan transformasi mata pencaharian dari sektor agraris ke industri

dan jasa

Faktor – faktor pendorong Desa Adat Kuta untuk

melakukan peningkatan kualitas SDM

Pengaruh peran Desa Adat Kuta dalam peningkatan

kualitas SDM bagi kehidupan masyarakat

Peningkatan kualitas SDM, Pengembangan aset-aset desa adat

sehingga bisa memberikan keuntungan materiil untuk desa

adat

Kewajiban untuk menjalankan tradisi, mempertahankan

kearifan lokal dan warisan budaya leluhur

Eksistensi Desa Adat Kuta

31

Penjelasan Model:

Berdasarkan model penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa peran Desa

Adat Kuta muncul karena dorongan beberapa faktor. Disatu sisi peran Desa Adat

Kuta muncul karena adanya kewajiban untuk menjalankan tradisi, tuntutan untuk

menjalankan dan mempertahankan kearifan lokal serta warisan budaya leluhur. Disisi

lain, adanya perkembangan zaman yang ditunjukkan dengan adanya urbanisasi,

modernisasi dan adanya transformasi mata pencaharian dari warga Desa Adat Kuta.

Kedua faktor tersebut mendorong Desa Adat Kuta untuk menjalankan peran sesuai

dengan fungsi idealnya dan juga melakukan perluasan peran karena adanya

perkembangan-perkembangan yang terjadi di Desa Adat Kuta. Fungsi ideal dari desa

adat adalah mengorganisasi kegiatan adat dan keagamaan sebagaimana tradisi dan

corak dari peran desa adat pada umumnya. Disisi lain, perluasan peran yang

dilakukan oleh Desa Adat Kuta ditunjukkan dengan adanya upaya untuk

meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan aset-aset Desa Adat Kuta sehingga

memberi keuntungan materiil bagi Desa Adat Kuta. Peran-peran yang muncul dari

dorongan faktor-faktor tersebut (baik dari perspektif tradisi maupun perkembangan

zaman) secara langsung mempengaruhi dan mengkonstruksi citra serta identitas Desa

Adat Kuta sebagaimana keberadaannya yang dikenal saat ini.

Peran-peran Desa Adat Kuta (baik yang ideal maupun mengenai perluasan

peran) dapat diamati dan diteliti melalui pembahasan tiga rumusan permasalahan,

antara lain: (1). Faktor-faktor yang mendorong Desa Adat Kuta untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia; (2). Peran Desa Adat Kuta dalam meningkatkan

32

kualitas sumber daya manusia; (3). Dampak Peran Desa Adat Kuta dalam

Peningkatan Kualitas sumber daya manusia bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan

penjabaran dari ketiga rumusan masalah tersebut, maka dapat diamati seperti apa

peran-peran dari citra dan identitas Desa Adat Kuta saat ini mempengaruhi eksistensi

Desa Adat Kuta.