bab ii tinjauan pustaka 2.1 constructivism...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Tinjauan Pustaka penelitian ini, peneliti akan mengambil beberapa teori
yang nantinya akan membantu untuk menjawab masalah yang peneliti temui di lapangan,
serta membantu gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti. Teori yang akan
gunakan saat ini akan berkembang dan bertambah sesuai dengan masalah yang peneliti
temui di lapangan.
2.1 Constructivism Theory
Teori Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional berbicara mengenai
ide dan norma dalam kehidupan sosial masyarakat seperti permasalahan
lingkungan dan hak asasi manusia. Teori ini berusaha menjelaskan mengenai
bagaimana perubahan keadaan alamiah (nature) dalam politik dunia, dimana
dunia sekarang ini telah lebih global dan demokratik sehingga aktor lain
bermunculan. Kemunculan aktor-aktor ini juga ikut serta dalam mengurusi
berbagai urusan negara, tidak hanya negara saja yang turut mencampuri urusan
luar negeri suatu negara (Baylis; et.al, 2011:150-164). Pendekatan dengan teori
konstruktivis berguna untuk mengetahui keadaan alamiah (nature) yang
sebenarnya, seperti kekerasan, kelas, gender, isu rasial, dan lain sebagainya.
Konstruktivisme tidak hanya menjelaskan tetapi memahami sebuah fenomena
(Dunne; Hanson, 2014: 46).
Teori konstruktivis berangkat dari teori sosial untuk menggambarkan
bagaimana ilmu sosial dapat membantu para sarjana hubungan internasional
untuk mengerti betapa pentingnya norma dan identitas dalam politik dunia. Teori
konstruktivisme membahas mengenai hubungan norma, ide dan kepentingan.
Mereka berargumen bahwa tidak ada ketegangan antara kepentingan dan
kedaulatan negara dan prinsip moral jika dikaitkan dengan penanggulangan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Yang menjadi poin dalam teori ini
adalah perhatian kepada sifat alami konstitusi terhadap realitas politik
internasional, terutama bagaimana negara terbentuk dan dibentuk, serta berbagi
10
nilai dan norma. Konstruktivisme juga memberatkan pada kesadaran manusia dan
perannya dalam kehidupan transnasional, dengan menggunakan ide sebagai
structural factors, mempertimbangkan hubungan dinamika dari ide dan material
force sebagai konsekuensi dari bagaimana actor mengartikan realitas material,
dan kepentingannya bagaimana agen membuat struktur dan bagaimana struktur
membuat agen. Jadi, konstruktivisme secara umum merupakan teori sosial yang
berfokus pada konseptual hubungan antara agen dan struktur (Baylis; et.al, 2011).
Konstruktivisme menurut John Searle menyebutkan ‘fakta sosial’ seperti
kedaulatan, hak, atau uang, yang tidak memiliki realitas material, tapi tetap
menjadi penting dan realistis oleh masyarakat yang berperilaku sesuai dengan hal
tersebut. Konstruksi realitas ini atau sering kita kenal dengan realitas objektif
yang sangat berkaitan dengan konsep ‘fakta sosial’. Dengan keberadaan inilah
membentuk bagaimana kita mengkategorikan dan perlakuan kita terhadapnya.
Pertanyaan yang selalu dihadapi oleh konstruktivisme sosial adalah kapan norma
berubah, apa yang menyebabkan perubahan pada norma, bagaimana aktor
menerima perubahan norma tersebut, apakah actor mempersuasi atau
memaksakan yang lain untuk menerima norma yang baru (Morgan, 2015).
Teori ini memiliki perbedaan argument mengenai peningkatan kedaulatan
dan dampaknya kepada hak asasi manusia dan norma dalam suatu negara. Dalam
hal untuk menggeneralisasikan sebuah klaim substantive, kita harus
menggambarkan siapa yang menjadi aktor utama, apa yang menjadi kepentingan
dan kapasitasnya, serta apa yang menjadi inti dalam stuktur normative. Sebagai
salah satu contoh, untuk mengerti kelompok pemberontak, kita harus mengerti
sudut pandang mereka, motivasi mereka dengan material normative dalam
struktur sosial mereka. Sama juga seperti jika ingin mendapatkan situasi yang
damai atau penghormatan terhadap manusia saat terjadi perang, maka para
pencetusnya harus membangun norma, ide, dan hubungan yang dikonstruksi
dengan kepentingan dan identitas oleh aktor pada saat perang berlangsung
(Morgan, 2015).
11
Walaupun aktor itu sendiri dapat membawa mereka ke dalam aktivitas
yang terbentuk berdasarkan budaya, bukan berarti bahwa selamanya pasti,
terutama dalam hal politik. Pengetahuan membentuk bagaimana aktor
mengartikan dan mengkonstruksi realitas sosialnya. Pengetahuan, seperti simbol,
peraturan, konsep, dan kategori membentuk bagaimana struktur individu dan
mengartikan atau menerjemahkan dunia mereka. Realitas tidak ada diluar sana
dan menunggu untuk ditemukan atau diakui, namun sejarahlah yang
menghasilkan dan dengan budaya, menghasilkan sebuah pengetahuan yang
memunculkan individu untuk mengkonstruksi dan memberikan arti dari sebuah
realitas. Secara singkat memiliki arti dimana kategori yang telah ada membantu
kita untuk mengerti, dan dapat mendefinisikan pengertian dunia serta aktivitasnya
(Baylis. et.al, 2011).
Kekuatan (power) tidak hanya menjadi kemampuan salah satu aktor untuk
membuat aktor lain apa yang harus dan tidak harus mereka lakukan, tapi juga
sebagai hasil dari identitas, kepentingan, dan arti dalam batasan kekuatan yang
dimiliki oleh aktor tersebut dalam mengontrol kehidupannya. Konstruktivis
menawarkan hal penting untuk melihat sebuah power atau kekuatan. Dimana
dalam hal kekuasaan, semakin besar kekuasaannya, maka semakin mudah buat
mereka untuk meyakinkan yang lain dengan kepentingannya, seperti untuk
bekerjasama merumuskan dan menghasilkan sebuah kebijakan. Struktur
normative juga membentuk identitas dan kepentingan dari aktor seperti negara.
Peraturan sosial merupakan regulasi, dan regulasi telah ada secara aktifitas
dan secara konstitusi, memungkinkan dan mengartikan aktivitas-aktivitas
tersebut. Artinya peraturan sosial dapat berubah menjadi regulasi yang legal yang
dapat mengartikan dan mengklasifikasikan aktivitas-aktivitas kita. Hal inilah
yang disebut dengan konstruksi sosial dari sebuah realita yang dapat membentuk
sebuah aksi yang dilegitimasi (Baylis. et.al, 2011). Hadirnya sebuah norma, ide-
ide dipengaruhi dengan keadaan sosial masyarakat, dimana hubungan yang
dibangun didalamnya memunculkan sebuah komitmen dalam nilai-nilai, ide-ide,
12
dan norma-norma dalam kehidupan mereka. Hal ini kemudian memunculkan
identitas dan kepentingan yang ada dalam sebuah negara. Organisasi-organisasi
juga dapat memunculkan nilai dan norma dalam lingkungan mereka, dan dengan
kepentingan yang dimiliki, dapat mempengaruhi atau memunculkan nilai dan
norma lain yang ada dalam negara ataupun negara lain. Nilai dan norma dapat
berubah seiring dengan keadaan masyarakat pada saat itu.
Beberapa menggunakan konstruktivis untuk mengidentifikasikan
bagaimana identitas membentuk sebuah kepentingan negara dan berubah menjadi
rational choice1 untuk memahami strategi dalam berbagai kebiasaan. Hak asasi
manusia merupakan sebuah konsep dimana norma dan nilai yang dipejuangkan
pada akhir masa perang dingin. Manusia memiliki hak untuk kehidupan, hak
untuk keamanan dan martabat, hak untuk memilih pekerjaan yang sesuai, dan hak-
hak yang lainnya, merupakan sebuah konstruksi dari sebuah nilai dan norma yang
disepakati oleh masyarakat internasional mengenai hak asasi manusia.
Human security juga merupakan salah satu contoh sebuah konsep yang
muncul atas dari nilai dan norma yang ada dalam hak asasi manusa. Human
security merupakan sebuah situasi atau kondisi dimana terbebas atas ancaman dari
individu, grup atau komunitas tertentu, termasuk kebebasan dalam ancaman fisik
atau psikis (langsung dan tidak langsung). Perdagangan manusia juga merupakan
sebuah tindakan yang melawan hak asasi manusia. Akibat dari konstruksi-
konstruksi ini terhadap hak asasi manusia memunculkan adanya organisasi seperti
Human Right Watch dan munculnya berbagai kebijakan dalam penanggulangan
dan pencegahan tindakan perdagangan manusia di setiap negara. Secara
partikuler, konstruktivis berargumen bahwa kebiasaan kekerasan politik dan juga
penyelesaiannya serta pencegahan harus dijelaskan dan dimengerti dengan
berfokus pada ide dan norma yang mempengaruhi kebiasaan tersebut (Morgan,
2005:72).
1 Rational choice merupakan teori sosial yang menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana aktor
menawarkan pilihan yang telah pasti dalam suatu keadaan paksaan. (Baylis; et.al, 2011)
13
Argumen dari teori konstruktivisme ini juga bahwa hubungan antar negara
telah berubah oleh kepentingan universal. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia sudah terintegrasi dengan tujuan dan moral dari negara modern dan
menjadi sebuah rasional yang dominan dengan mengijinkan power dan kekuasaan
oleh sebuah organisasi kedalam wilayah unit kedaulatan. Selain itu, jika sebuah
negara menolak nilai universal, maka mereka harus siap dihadapkan dengan
konsekuensi yang ada. Hal ini seperti hukuman, pengeluaran, tindakan pemaksaan
yang dilakukan untuk memaksa standar yang baru ke dalam legitimasi sebuah
negara (Dunne; Hanson, 2014:64).
Dalam pandangan konstruktivis (Baylis; et al 2011: 280-290), mereka
memberikan awal yang baik dalam studi hukum internasional dengan menemukan
considerabe common ground dengan legal theories. Selanjutnya dikatakan bahwa
dengan memperluas pemahaman politik (kita) termasuk didalamnya terdapat isu
identitas dan tujuannya serta strategi dengan memberlakukan peraturan, norma
dan ide secara konstitutif, tidak dengan cara pemaksaan, dan dengan penekanan
akan pentingnya diskursus, komunikasi, dan sosialisasi dengan kerangka
kebiasaan para aktor.
2.1.1 Hukum Internasional.
Dalam pandangan konstruktivis, hukum internasional terbentuk
akibat share ideas suatu negara untuk menciptakan common interest
dalam mencapai kepentingan nasional masing-masing negara (Baylis;
et.al, 2011:290).
Hukum internasional merupakan bentuk dari sebuah perjanjian
internasional. Mochtar Kusumaatmaja dalam Sefrani menyebutkan bahwa
perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan antar dua negara
atau lebih dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu.
Dalam buku Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional
14
Kontemporer terdapat beberapa tahapan dari pembuatan perjanjian
internasional sampai pada implementasinya. Tahap pertama adalah negara
bersangkutan mengutus delegasinya sebagai perwakilan negara untuk
merundingkan mengenai perjanjian yang akan dilakukan pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Tahap kedua merupakan
negosiasi dan adopsi, dimana adopsi merupakan persetujuan akan teks
yang menjadi hasil yang telah dinegosiasikan. Tahap ketiga merupakan
autentifikasi atau penandatanganan, dimana perwakilan negara yang
menyetujui draft perjanjian akan ditandatangani. Dalam taham ini, jika
perjanjian berlaku secara hukum setelah penandatanganan, maka tidak
memerlukan lagi proses ratifikasi. Sebaliknya, jika perjanjian memerlukan
ratifikasi, maka perjanjian tersebut belum berlaku secara hukum, namun
negara yang telah menandatangani menghormati nilai-nilai yang ada
dalam perjanjian tersebut.
Tahap keempat adalah ratifikasi, dimana merupakan sebuah
bentuk konformasi yang dilakukan oleh negara untuk menyatakan
mengikat diri kepada perjanjian tersebut. dikatakan lebih lanjut oleh
Sefrani (2015: 89), ratifikasi bukan merupakan kewajiban, tetapi lebih
kepada hak suatu negara untuk memberikan konfirmasi mau mengikatkan
diri pada suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh wakilnya atau
tidak. Tahap kelima adalah aksesi dan addesi, dimana merupakan tahapan
konfirmasi untuk diikat oleh perjanjian yang telah dilakukan bagi negara
yang tidak ikut dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, namun
menginginkan untuk ikut serta diikat dalam perjanjian tersebut. Tahapan
selanjutnya adalah keberlakuan (entry into force) dan mengikat (bound).
Dalam Konvensi Wina 1969, Pasal 20 (1) dikatakan bahwa berlakunya
suatu perjanjian internasional tergantung pada (a) ketentuan perjanjian
internasional itu sendiri, (b) atau apa yang telah disetujui oleh negara
peserta. Tahapan ketujuh adalah registrasi dan publikasi dimana memiliki
15
tujuan untuk mencegah negara membuah suatu perjanjian rahasia yang
dapat merugikan negara lain atau masyarakat internasional. Tahapan
terakhir adalah implementasi perjanjian internasional, dimana dalam
tahapan ini merupakan unrusan dalam negeri negara yang telah
menandatangani dan/atau meratifikasi perjanjian internasional menjadi
hukum nasional.
Di Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan
Perjanjian Internasional, berisikan mengenai tahapan pembuatan,
pengesahan dan penyimpanan2, yaitu:
1. Lembaga negara seperti pemerintah, kementerian, dan non
kementerian pusat maupun daerah dapat menjadi pemrakarsa
perjanjian internasional.
2. Pemrakassa harus melakukan koordinasi dan konsultsi dengan menteri
luar negeri dan atau unit regional atau multilateral di kementerian
dalam maupun luar negeri.
3. Mekanisme konsultasi sesuai dengan ketentuan yang ada (surat
menyurat atau rapat antar lembaga terkait).
4. Konsultasi yang dilakukan menghasilkan draft dan atau counterdraft
perjanjian internasional dan pedoman delegasi dari Indonesia.
5. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap
penjajakan, perundingan, perumusan masalah, dan penerimaan atau
pemarafan.
6. Hasil akhir dari penyusunan draft dan counterdraft adalah draf final
perjanjian yang jika diperlukan untuk diparaf sebelum
penandatanganan.
2 Direktorat Perjanjian Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional 2011. Kemlu, Jakarta. (dalam Sefrani,
2015:92)
16
7. Perwakilan atau delegasi dalam melakukan perjanjian internasional
memerlukan surat kuasa atau surat kepercayaan agar perwakilan yang
ditunjuk secara sah oleh pemerintah sebagai perwakilan Indonesia.
8. Apabila secara substansi dan prosedural telah disepakati, maka
perjanjian tersebut siap untuk ditandatangani.
9. Perjanjian internasional dapat berlaku setelah penandatanganan atau
pertukaran nota diplomatik atau cara-cara yang disepakati para pihak
(Pasal 15 (1)).
10. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian itu dan dilakukan
dengan UU atau Perpres (Pasal 9 (1 dan 2)).
11. Kelengkapan dokumen untuk pengesahan perjanjian internasional
diatur dalam Pasal 12.
12. Suatu perjanjian harus disahkan dengan UU bila menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan masyarakat, yang terkait
beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan UU (Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 10 UU Perjanjian
Internasional). Pengesahan dengan UU berkaitan dengan:
a. Politik, pertahanan dan keamanan negara.
b. Perubahan atau penetapan batas wilayah.
c. Kedaulatan dan hak berdaulat.
d. Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaedah hukum baru.
f. Pinjaman atau hibah luar negeri.
13. Setelah disahkan, Kementerian Luar Negeri, direktorat perjanjian
terkait melakukan pemberitahuan kepada counterpart (perjanjian
bilateral) atau menyampaikan instrument ratifikasi kepada lembaga
deposit (perjanjian multilateral) untu menyatakan bahwa Indonesia
17
telah menyelesaikan prosedur internal bagi berlakunya perjajian
tersebut.
14. Naskah asli perjanjian internasional yang telah ditandatangani
pemerintah Indonesia harus disimpan di ruang penyimpanan
perjanjian internasional (treaty room) melalui lembaga pemerintahan
terkait (Pasal 17 UU Perjanjian Internasional), dan salinan naskah
resmi didaftarkan pada Sekjen PBB.
Relevansi dengan penelitian ini adalah dengan kemunculan hak asasi
manusia yang dipengaruhi oleh nilai dan norma, membuat tindakan trafficking
tergolong dalam pelanggaran hak asasi manusia. Ide dan norma dalam hak asasi
manusia mempengaruhi adanya sebuah instrument hukum atau peraturan tindak
pidana perdagangan manusia, sebagai bentuk pencegahan dan penanggulangan
terhadap tindakan tersebut. Dalam penelitian ini, teori konstruktivisme digunakan
untuk melihat bagaimana ide-ide, norma, dan sejarah mengenai trafficking yang
terjadi kepada negara-negara anggota ASEAN mempengaruhi kerjasama mereka
dalam mengatasi permasalahan trafficking di kawasan yang tertuang dalam
ACTIP.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini, peneliti juga melihat beberapa penelitian terdahulu
atau literatur lainnya yang membahas mengenai topik penelitian yang sama yaitu
perdagangan manusia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang maksimal
sesuai yang diharapkan penulis. Namun, penelitian ini memiliki perbedaan dalam
sisi pembahasan dan teori yang akan digunakan. Berikut beberapa referensi yang
membahas mengenai perdagangan manusia.
Dalam tesis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan
Orang Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Hanafi Rachman membahas
mengenai aspek dan proses penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang.
18
Ditulis dalam kesimpulannya, Hanafi menyebutkan bahwa dalam Undang-
Undang 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, diatur mengenai ketentuan pembuktian bisa dari satu saksi, namun
kenyataannya dalam mengajukan perakaranya, para aparat hukum masih
menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang juga diatur
dalam hukum acara (KUHP). Kemudian ketentuan mengenai hak korban juga
masih belum menjadi yang utama bagi para penegak hukum dalam penyelesaian
perkara, yang seharusnya didapatkan oleh korban.
Analisis Yuridis Perbedaan Perdagangan Manusia (Trafficking in
Persons) dan Penyelundupan Manusia (People Smuggling) karya skripsi Hospita
Yulima S. membahas mengenai instrumen hukum yang mengatur mengenai
perdagangan manusia dan penyelundupan manusia serta unsur utama yang
menjadi pembeda antara perdagangan manusia dan penyelundupan manusia.
Kesimpulan yang ditulis oleh Hospita dalam skripsinya adalah istrumen hukum
terhadap dua kasus ini berbeda dilihat dari instrument hukum internasional dan
nasional yang membahas mengenai dua kasus tersebut. Kemudian yang menjadi
unsur pembeda dari keduanya adalah tujuan, persetujuan dan jangkauan
wilayahnya.
Implementasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Trafficking) oleh Suparmin, Dr. SH., Mhum. Dalam tulisannya, Suparmin
menjelaskan mengenai perdagangan orang, dampaknya, dan peraturan serta
kerjasama yang dilakukan Indonesia untuk pencegahan kasus perdagangan
manusia. Perdagangan manusia merupakan kegiatan transaksional. PPB sendiri
sebagai organisasi internasional bekerjasama untuk melawan kasus perdagangan
manusia, terutama pada perempuan dan anak. Kejahatan ini juga dikategorikan
dalam Transnational Organized Crime (TOC). Instrument hukum yang
dikeluarkan oleh PBB juga sebagai bentuk untuk menanggulangi kasus
perdagangan manusia. Banyak faktor yang mempengaruhi kejahatan ini, seperti
19
ketidaktahuan masyarakat, ekonomi, dan budaya patriarki dimana pada akhirnya
perempuan (dan anak) disubordinasikan. Selain itu, lemahnya pencegahan dan
perlindungan terhadap calon korban dan korban perdagangan manusia juga
menjadi salah satu penyebab tindak terhentinya praktek perdagangan manusia.
Bentuk dari praktek perdagangan manusia beragam dan dampaknya juga
beragam. Beberapa tindak pidana perdagangan orang tertulis dalam Undang-
Undang No. 21 tahun 2007, Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak
Kepres No. 88 tahun 2002, dan berbagai kerjasama dengan negara lain ataupun
organisasi internasional. Namun, perlu adanya peningkatan upaya dalam tindak
pidana perdagangan orang, terutama kepada mereka aparat penegak hukum yang
masih dinilai kurang dalam tindakan implementasi dari aturan-aturan yang ada.
Kemudian juga penyempurnaan aturan diperlukan agar adanya satu standar yang
sama terkait dengan kasus perdagangan manusia.
Penegakan Hukum Tindak Pidana Trafficking (studi Putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta) merupakan skripsi yang ditulis oleh Anggraeni N.
Septaningrum, yang membahas mengenai Undang-Undang No. 21 tahun 2007
tentang perdagangan orang yang menjadi dasar penegakan hukum kasus
trafficking di Indonesia. Penegakan hukum mengenai kasus tindak pidana
trafficking juga dilakukan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta berdasarkan
Putusan No. 205/PID.SUS/2011/PN.YK sesuai dengan UU No. 21 tahun 2007.
Penelitian yang dilakukan Anggraeni dilakukan dengan penelitian hukum
normative dengan metode penelitian kualitatif.
Perbedaan skripsi yang ditulis Anggraeni dengan penelitian ini dapat
dilihat dari tempat yang berbeda, yaitu di Sulawesi Utara. Penulisan juga lebih
difokuskan pada pengaturan tindak pidana dan penegakan hukum perdagangan
manusia dalam hukum pidana di Indonesia, dengan Jogjakarta sebagai tempat
penelitiannya. Kemudian penelitian ini nantinya tidak lebih mendalam membahas
mengenai penegakan hukum tindak pidana perdagangan manusia, tetapi pengaruh
20
dari intrument yang dikeluarkan oleh ASEAN dalam ASEAN Convention Against
Trafficking in Persons terhadap penanggulangan perdagangaan manusia.
Ekstradisi Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Masalah
Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Menurut Hukum Internasional yang
ditulis oleh Raisa Natasha sebagai skripsinya membahas mengenai praktek
penerapan ekstradisi yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia dalam
penanggulangan kasus perdagangan manusia. Dalam skripsinya, Raisa
menunjukan adanya permintaan ekstradisi yang ditujukan kepada Indonesia
sebagai upaya penanggulangan masalah-masalah kejahatan internasional, salah
satunya adalah perdagangan manusia. Kemudian juga praktek penerapan
ekstradisi yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia dalam penanggulangan
perdagangan manusia sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Disimpulkan
dalam skripsi tersebut, bahwa Pengadilan Negeri Indonesia yang berwenang
dalam permintaan ektradisi ini, dimana yang memiliki wilayah hukum
menyangkut dengan seseorang tersebut bertempat tinggal atau tempat
ditemukannya apabila akan dilakukan penahanan. Kemudian upaya kerjasama
dalam ekstradisi ini oleh Indonesia dan Australia menjadi sebuah bentuk dari
penanggulangan kasus perdagangan manusia. Perbedaan dari skripsi ini dengan
penelitian ini adalah pemilihan tempat pembahasan yaitu Indonesia dan Australia,
kemudian juga kerjasama ekstradisi yang dilakukan oleh kedua negara dalam
penanggulangan perdagangan manusia di Indonesia.
Kebijakan Kriminal Di Negara-Negara Anggota ASEAN Tentang
Perdagangan Manusia dan Perdagangan Narkoba Sebagai Bentuk Transnational
Organized Crimes (TOCs) merupakan karya skripsi oleh Dessy Rismawanharsih.
Dalam skripsi tersebut, membahas mengenai kebijakan-kebijakan tindak kriminal
perdagangan manusia dan perdagangan narkoba di negara anggota ASEAN. Asia
Tenggara dituliskan dalam skripsi tersebut merupakan kawasan yang rentan
terhadap kejahatan transnasional, dengan negara-negara anggota ASEAN menjadi
21
negara transit dan negara pengirim. Karena itulah negara-negara ASEAN
merumuskan kebijakan dalam tataran nasional mereka masing-masing untuk
menanggulangi tindak kriminal perdagangan manusia dan perdagangan orang.
Perbedaan dalam skripsi tersebut dengan penelitian ini adalah pembahasan
mengenai bentuk kebijakan dalam upaya mencegah tindak kriminal transnasional
seperti perdagangan manusia dan perdagangan narkoba di dalam setiap kebijakan
nasional setiap negara-negara ASEAN.
22
Hasil
Gambar 1.1 Kerangka Pikir
ASEAN Convention Against
Trafficking in Persons
(ACTIP)
UU RI No.21 Tahun 2007
dan Perda Sulawesi Utara
No. 1 Tahun 2004
Mengatasi permasalahan trafficking di
Sulawesi Utara
Roadmap dari kedua
instrumen
Hak Asasi
Manusia
Trafficking (Perdagangan
Manusia)
Instrument Hukum Internasional Mengenai Kejahatan
Trafficking (Protokol Palermo)
Konstruktivisme
memunculkan
melanggar