bab ii tinjauan pustaka 2.1 2.1.1 definisi...

16
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti berkembang menuju kedewasaan. Rentan usia remaja antara 11 sampai dengan 20 tahun. Masa remaja merupakan tahap kehidupan yang berlangsung antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.Masa remaja adalah periode perkembangan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Kedewasaan yang dimaksud adalah kematangan dalam hal fisik, emosi, sosial, intelektual dan spiritual (Veronica dan Nisfiannoor, 2006). 2.1.2 Perkembangan Remaja Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity). Usaha pencarian identitas pun banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas atau identity confusion, sehingga memungkinkan akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Remaja menjadi sering merasa tertekan atau justru menjadi orang yang berperilaku

Upload: others

Post on 28-Dec-2019

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Remaja

2.1.1 Definisi Remaja

Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolescere yang

berarti berkembang menuju kedewasaan. Rentan usia remaja antara 11

sampai dengan 20 tahun. Masa remaja merupakan tahap kehidupan yang

berlangsung antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.Masa remaja

adalah periode perkembangan dari masa kanak-kanak menuju

kedewasaan. Kedewasaan yang dimaksud adalah kematangan dalam hal

fisik, emosi, sosial, intelektual dan spiritual (Veronica dan Nisfiannoor,

2006).

2.1.2 Perkembangan Remaja

Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri

(self identity). Usaha pencarian identitas pun banyak dilakukan dengan

menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika

remaja gagal menemukan identitas atau identity confusion, sehingga

memungkinkan akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan

menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi dan ekspresi

emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat

berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Remaja menjadi

sering merasa tertekan atau justru menjadi orang yang berperilaku

11

agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari

ketidakstabilan emosinya (Sudrajat, 2008).

Remaja sering kali dikenal dengan fase mencari jati diri karena

berada pada keadaan transisi atau peralihan demi memperoleh status

sebagai orang dewasa dan meninggalkan status sebagai anak-anak.Remaja

cenderung bereksperimen dengan mencoba melakukan segala kegiatan

untuk menunjukkan potensi dirinya.Salah satu tempat remaja untuk

bereksperimen yaitu dengan mendaftarkan diri pada situs jejaring sosial

(Diina, 2013).

2.1.3 Remaja Pengguna Media Sosial

Internet pada saat ini sangat diperlukan dalam kegiatan belajar

mengajar terutama pada bagian informasi yang berkaitan dengan pelajaran

dan tugas. Internet merupakan media belajar yang praktis dan efisien.

Beberapa manfaat internet secara umum yakni sebagai media mencari

informasi, media komunikasi, pertukaran data, kemudahan bertransaksi

dan publikasi (Handayani, 2013).

Remaja merupakan masa yang memiliki kepekaan yang begitu kuat

terhadap hal-hal yang baru, sehingga remaja begitu mudah beradaptasi

terhadap sesuatu yang baru.Jejaring sosial yang begitu banyak

menawarkan berbagai fitur membuat para remaja tergiur tanpa

mempedulikan konten-konten yang terkandung didalamnya positif atau

negatif. Disuatu sisi, media sosial memberikan manfaat positif bagi

mobilitas kebutuhan manusia, namun di sisi lain juga membawa dampak

12

negatif bagi perkembangan pola fikir manusia terutama pada kalangan

remaja (Mappatunru, 2013).

Menurut Utami (2013) munculnya internet merupakan salah satu

penemuan yang berharga. Internet dapat memberikan informasi-

informasi yang dibutuhkan. Selain itu seseorang dapat berkomunikasi

menggunakan internet walaupun jaraknya jauh. Didukung dengan fasilitas

internet yang mudah dijangkau seperti wi-fi maupun provider yang

menawarkan beberapa paket internet lewat ponsel. Media sosial

merupakan salah satu situs yang banyak digemari oleh para remaja. Hasil

penelitian Yahoo dan Taylor Nelson Sofers (TNS) menyatakan bahwa

sebagian besar pengguna internet adalah remaja. Remaja menduduki

prosentase tertinggi sebagai pengguna internet pada penelitian tersebut.

Adanya media sosial di kalangan remaja membuat mereka dapat

berhubungan dengan teman-teman lamanya. Media sosial di kalangan

remaja juga membawa dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya

yaitu adanya tindakan bullying. Bulllying diartikan sebagai tindakan

mengintimidasi atau mengganggu seseorang secara individu maupun

secara berkelompok, jika bullying ini terjadi dalam dunia internet maka

disebut dengan cyberbullying (Adilla, 2009).

13

2.2 Konsep Cyberbullying

2.2.1 Definisi Cyberbullying

Cyberbullying adalah kejadian ketika seorang anak atau remaja

diejek, dihina, diintimidasi atau dipermalukan oleh anak atau remaja lain

melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler. Cyberbullying

dianggap valid bila pelaku berusia dibawah usia dewasa atau berada di usia

remaja. Apabila salah satu pihak yang terlibat atau keduanya sudah

berusia dewasa, maka kasus yang terjadi akan dikategorikan sebagai

cybercrime atau cyberstalking atau disebut juga cyberharassment (Utami, 2013).

Bullying merupakan pelaku agresif, intens dan berulang yang

dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan lebih

besar daripada orang yang menjadi korbannya. Cyberbullying adalah

perilaku agresif, intens, berulang yang dilakukan oleh individu dan

perorangan dengan menggunakan bentuk-bentuk pemanfaatan teknologi

dan elektronik sebagai media untuk menyerang orang tertentu.

Cyberbullying biasanya dilakukan oleh orang yang sudah dikenal korban di

dunia nyata (Nurjanah, 2014).

Pelaku cyberbullying tentu menjadi ketakutan tersendiri bagi

korbannya. Korban cyberbullying cenderung merasa tidak berdaya dan

pasrah ketika mengalami bullying. Penelitian Davis menyatakan bahwa

dampak cyberbullying bagi korban antara lain, harga diri rendah, penurunan

nilai, depresi kegelisahan, tidak tertarik pada aktivitas yang dahulunya

dapat dinikmati, ketidakbermaknaan, penarikan diri dari teman,

14

menghindari sekolah atau kelompok bermain, bahkan perubahan suasana

hati, perilaku, pola tidur dan nafsu makan (Sulistyawati, 2011). Dampak

yang ditimbulkan dari cyberbullying tidak dapat disamakan dengan bullying

secara fisik karena cyberbullying sendiri menyerang keadaan psikis

seseorang.Seseorang yang mengalami cyberbullying berani untuk berbuat

nekat bahkan sampai bunuh diri agar terlepas dari segala macam bentuk

cyberbullying yang dialaminya (Wahyuningtyas, 2013).

Faktor “fun” dan “prestige” menjadi faktor utama pemicu

cyberbullying selain faktor balas dendam, atu bisa jadi seseorang yang

pernah menjadi korban dan ingin membalas dendam dan merasa puas jika

melihat orang lain dipermalukan dengan atau tanpa kehadiran penonton.

Hinduja dan Patchin melakukan penelitian yang berusaha mencari kaitan

antara faktor ketegangan atau stres dan hubungannya dengan cyberbullying.

Hasil penelitian yang melibatkan 2000 siswa sekolah menengah di

Amerika Serikat terungkap fakta bahwa remaja yang merasa marah atau

frustasi dan remaja yang mengalami ketegangan atau stres lebih

cenderung untuk melakukan bullying atau cyberbullying kepada orang lain.

Remaja yang mengalami stres yang berasal dari konflik dengan sesame

teman perlu mengatasi stres tersebut dengan cara yang sehat dan positif

(Rahayu, 2012).

2.2.2 Bentuk-bentukCyberbullying

Bentuk dan metode dari cyberbullying sangat beragam. Bentuk

tersebut dapat berupa ancaman melalui pesan e-mail, mengunggah foto

15

yang bertujuan mempermalukan seseorang, membuat situs web dengan

tujuan untuk menyebarkan fitnah dan mengolok-olok seseorang serta

memberikan ancaman kepada orang lain menggunakan akun jejaring

sosial (Emilia dan Leonardi, 2013).

Wahyuningtyas (2014) menyatakan bahwa bentuk cyberbullying

yang banyak terjadi yaitu called name (pemberian nama negatif), abusive

comment (pemberian komentar kasar), rumour spread (penyebaran rumor),

threatened physical harm (ancaman yang membahayakan fisik), ignore atau

exclude (pengabaikan dan pengucilan), opinion slammed (pendapat yang

merendahkan), online impersonation (peniruan atau penyamaran secara

online), sent upsetting image (mengirim gambar yang mengganggu) dan image

of victim spread (penyebaran foto).

Menurut Willard (2007), cyberbullying yang dapat menyebabkan

tekanan pada korbannya, dibagi ke dalam beberapa bentuk :

Flaming

Perkelahian online menggunakan pesan elektronik dengan bahasa

amarah dan vulgar.

Harassment (Pelecehan)

Berulang kali mengirimkan pesan jahat, kejam dan menghina.

Denigration (Pencemaran nama baik)

Mengirim atau memposting gosip atau rumor tentang orang untuk

merusak reputasinya atau persahabatan.

16

Impersonation (Penyamaran)

Berpura-pura menjadi orang lain dengan mengirim atau memposting

pesan untuk merusak reputasi atau persahabatan

Outing (Penyebaran)

Memposting informasi memalukan seperti foto ataupun video secara

online.

Trickery (Tipu daya)

Berbicara kepada seseorang dengan tujuan memperoleh informasi

untuk mengungkapkan informasi yang memalukan kemudian

disebarkan secara online.

Exclusion (Pengucilan)

Perilaku sengaja berbuat jahat kepada seseorang dengan

mengeluarkan atau mengucilkan salah satu anggota dari sebuah

kelompok online.

Cyberstalking (Merendahkan)

Perilaku merendahkan orang lain dengan media elektronik agar

korbannya merasa tidak berdaya dan mengalami ketakutan yang

signifikan.

2.2.3 Bullying dan Cyberbullying

Bebrapa hal yang membedakan antara tradisional bullying dengan

cyberbullying. Tradisional bullying merupakan tindakan yang dilakukan secara

langsung bertatap muka, namun cyberbullying tidak. Pelaku menggunakan

internet dan teknologi sebagai media, sehingga pelaku tidak harus

17

bertatap muka dengan korban dan pelaku juga tidak dapat melihat reaksi

emosi korban. Pelaku tidak dapat menyerang secara fisik, namun lebih

kepada psikis korban.Cyberbullying dapat muncul kapan saja dan secara

cepat dapat menyebarkan berita buruk mengenai korbannya dengan

bantuan teknologi internet (Kowalski dan Limber, 2007).

Penellitian yang dilakukan oleh National Institutes of Health

Amerika Serikat ditemukan adanya kkorban dari cyberbullyinglebih

cenderung merasa terisolasi, tidak berdaya dan kurang peka.Korban dari

cyberbullying merasa ketakutan dan semakin rentan dikarenakan para

korban tidak mengetahui siapa pelakunya.Korban cyberbullying memiliki

ingkat depresi paling tinggi daripada korban yang hanya dipukuli atau

diejek.

2.2.4 DampakCyberbullying

Price dan Dalgeish (2010), mengungkapkan dampak negatif

jangka pendek dari cyberbullying yaitu perasaan takut, loneliness, cemas, tidak

aman, depresi dan kelemahan akademik.Cyberbullying berdampak pada

perkembangan psikologis dan emosional siswa.Siswa yang mengalami

cyberbullying cenderung melaporkan perasaan kesedihan, kecemasan dan

perasaan takut dan tidak dapat konsentrasi sehingga berdampak pada

prestasinya.

Siswa yang mengalami cyberbullying merasakan mual bahkan

muntah.Selain itu, cyberbullying juga berakibat pada penurunan prestasi

akademik dan non akademik. Hal ini terjadi karena korban mengalami

18

ketakutan, rendah diri dan terbayang akan tindakan cyberbullying tersebut

(Kartika, 2014).

National Crime Prevention Council (2007) juga melakukan penelitian

terkait dampak dari cyberbullying.Dari penelitian ini, dilaporkan bahwa

korban dari cyberbullying cenderung merasa marah, sakit hati, malu dan

merasa takut.Dampak negatifcyberbullying sama besar dengan tradisional

bullying dan bersifat permanen.

Salah satu dampak yang paling mengkhawatirkan dari cyberbullying

adalah kecenderungan untuk bunuh diri pada korban cyberbullying.semua

bentuk bullying secara signifikan berkaitan dengan meningkatnya

keinginan untuk bunuh diri. Jumlah percobaan bunuh diri yang dilakukan

oleh korban cyberbullying hamper dua kali lebih banyak daripada remaja

yang tidak mengalami cyberbullying (Hinduja dn Patchiin, 2010).

2.2.5 Karakteristik KorbanCyberbullying

Karakteristik yang membuat seseorang menjadi korban

cyberbullying adalah (Pratiwi, 2011):

1. Remaja yang rapuh dan secara sosial kemampuan dan

pengetahuannya masih belum cukup untuk membuat keputusan

secara efektif.

2. Remaja yang memiliki orang tua over protective.

3. Remaja yang hubungan dengan orang tuanya atau teman sebayanya

sedang melemah dan sedang dalam emosi yang labil.

19

Adapun beberapa tanda-tanda remaja yang menjadi korban

cyberbullying, yaitu (Priyatna, 2010):

1. Tampak enggan saat harus menggunakan komputer atau alat

teknologi yang lain.

2. Menarik diri dari keluarga atau teman-temannya.

3. Tidak ingin pergi ke sekolah atau kegiatan sosial lainnya.

4. Segera menghindar apabila membahas tentang penggunaan alat

teknologi.

5. Menunjukkan emosi negatif (sedih, marah, frustasi dan khawatir).

6. Prestasi belajar menurun.

7. Kurang tidur serta nafsu makan berkurang.

Berdasarkan karakteristik korban cyberbullying, diperlukan adanya

konselor untuk membantu korban dalam cara berperilaku dan menerima

kenyataan dengan sikap yang positif. Korban cyberbullying cenderung

pasrah ketika mendapat gangguan dari pelaku.Mereka menahan perasaan

yang muncul yang menyebabkan harga diri rendah.Gangguan perasaan

seperti takut, cemas, sedih dan marah muncul dan mengganggu aktivitas

mereka.Gangguan-gangguan tersebut merupakan bentuk-bentuk

ketidaktegasan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap perilaku

(Kartika, 2014).

Korban cyberbullying cenderung memiliki harga diri yang lebih

rendah diantara teman sebayanya.Hal ini menjadikan dirinya mengalami

kecemasan sosial dan cenderung menghindari kontak sosial sehingga

20

mempengaruhi kemampuan mereka untuk membentuk suatu

hubungan.Namun, meskipun remaja yang menjadi target terbukti

memiliki tingkat kecemasan sosial yang tinggi, ternyata pelaku cyberbullying-

lah yang memiliki tingkat kecemasan sosial paling tinggi (Campfield,

2006).

2.2.6 Karakteristik Pelaku Cyberbullying

Penelitian yang dilakukan oleh Li (2007) terkait karakteristik

psikososial pada pelaku cyberbullying menunjukkan bahwa pelaku

cyberbullying memiliki prestasi sekolah di bawah rata-rata. Karakteristik

yang menjadi pelaku cyberbullying adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kepribadian yang dominan dan senang melakukan

kekerasan.

2. Cenderung temperamental, impulsiv dan mudah frustasi.

3. Memiliki sikap positif terhadap kekerasan dibandingkan anak lainnya.

4. Kesulitan mengikuti peraturan.

5. Terlihat kuat dan menunjukkan sedikit rasa empati atau belas kasihan

kepada mereka yang di-cyberbullying.

6. Sering bersikap secra agresif ke orang dewasa.

7. Pandai berkelit pada situasi sulit.

8. Terlibat dalam agresi proaktif (seperti agresi yang sengaja untuk

meraih tujuan tertentu) dan agresi reaktif (seperti reaksi defensive

ketika diprovokasi).

21

Karakteristik kepribadian cukup memainkan peran dalam

kecenderungan seseorang dalam melakukan tindakan cyberbullying.

Seseorang dengan harga diri yang tinggi cenderung sering berperilaku

agresif untuk membuktikan dirinya lebih berkuasa daripada yang lain.

Salah satu cara mempertahankan kondisi tersebut adalah dengan

melakukan tindakan cyberbullying (Pratiwi, 2011).

2.2.7 Faktor Penyebab Cyberbullying

Perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang

kompleks. Tidak ada faktor tunggal yang menjadi penyebab munculnya

suatu bullying. Faktor yang menjadi penyebab antara lain: faktor keluarga,

faktor sekolah dan faktor kelompok sebaya. Selain itu, faktor yang

mendorong remaja melakukan cyberbullying antara lain (Gonel, 2014):

1. Perasaan mendapat popularitas ketika melakukan cyberbullying. Para

pelaku cyberbullying ingin menunjukkan kekuatan yang mereka miliki

lebih dari teman-temannya, tentunya tidak ada keraguan untuk

menyakiti orang lain.

2. Pelaku cyberbullying memiliki keinginan untuk membalas kejahatan-

kejahatan yang dilakukan oleh teman lama mereka melalui media

sosial.

3. Remaja yang kecanduan terhadap internet memiliki peluang lebih

besar untuk melakukan cyberbullying.

4. Memiliki sarana penggunaan internet secara personal juga

menimbulkan peluang yang besar untuk melakukan cyberbullying.

22

Menurut Sanjaya (2014), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

cyberbullying pada remaja, antara lain :

1. Bullying Tradisional, peristiwa bullying dalam dunia nyata memiliki

pengaruh besar pada seseorang untuk menjadi pelaku cyberbullying.

2. Karakteristik kepribadian.

3. Persepsi terhadap korban, biasanya seseorang memiliki alasan untuk

melakukan cyberbullying adalah karena sifat atau karakteristik

seseorang yang dapat mengundang pelaku untuk melakukan

cyberbullying.

4. Strain, merupakan suatu kondisi ketegangan psikis yang ditimbulkan

dari adanya huungan negatif dengan orang lain dan menghasilkan

afek negative yang mengarah pada kenakalan.

Peran interaksi orang tua dan anak, orang tua berperan dalam mengawasi

aktivitas anak dalam berinteraksi di internet.Hal ini merupakan faktor

yang cukup berpengaruh pada kecenderungan anak untuk terlibat dalam

aksi cyberbullying.

2.3 Karakteristik Demografi

Demografi merupakan istilah yang berasal dari Yunani, yaitu demosyang

berarti rakyat atau penduduk dan graphein yang berarti menggambar dan menulis.

Demografi dapat diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk

tentang kelahiran, perkawinan, kematian dan migrasi.Secara umum demografi

23

merupakan ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang berhubungan dengan

komponen-komponen perubah seperti kelahiran, kematian dan migrasi sehingga

menghasilkan suatu keadaan (Erwin, 2013).

Demografi secara umum meliputi usia, jenis kelamin, agama, status

perkawinan, suku, ekonomi (lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, tingkat

pendapatan), tingkat pendidikan (prestasi akademik dan tingkat pendidikan yang

ditamatkan), letak geografis (Yoga dan Warmika,2013).Karakterisik demografi

yang terdapat pada kejadian cyberbullyingmeliputi :

2.3.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menurut Normadewi (2012), merupakan suatu konsep

analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki

dan perempuan dari sudut non-biologis, yaitu dari aspek sosial, budaya

maupun psikologis pengaruh dari perbedaan jenis kelamin terhadap

penilaian etis dapat dikatakan sangat kompleks dan tidak pasti. Beberapa

penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara

perempuan maupun laki-laki dalam menyikapi perilaku.

Penelitian yang dilakukan oleh Cyberbullying Research Center menyatakan

bahwa perempuan yang dipengaruhi oleh cyberbullying biasanya lebih

emosional daripada laki-laki. Para perempuan mengekspresikan frustasi dan

kemarahan lebih sering daripada laki-laki. Hal ini disebabkan bahwa laki-laki

memiliki keengganan untuk mengakui kelemahan terutama dari sudut

pandang emosional. Pada kenyataannya, laki-laki mengharap suntuk menjadi

24

sama setidaknya jika tidak lebih tinggi dalam respon emosional tentang

kemarahan dan frustasi (Li, 2006).

Menurut Kowalski (2008), laki-laki biasanya lebih terlihat dalam aksi

bullying secara keseluruhan. Sedangkan perempuan lebih sering mengalami

bullying yang bersifat tidak langsung dan psikologis seperti gosip-gosip yang

menyebar dan pengucilan dari pergaulan sosial.Laki-laki lebih menggunakan

dan mengalami bullying dalam bentuk fisik, sedangkan perempuan lebih

mengalami bullying dalam bentuk psikologis.

2.3.2 Kelas

Kelas dalam arti sempit yaitu ruangan yang digunakan siswa

berkumpul dalam proses belajar-mengajar. Kelas dalam pengertian ini

memiliki sifat statis karena hanya menunjuk pengelompokan siswa menurut

perkembangannya berdasarkan pada batas usia kronologis. Sedangkan kelas

dalam arti luas yaitu kegiatan belajar-mengajar secara kreatif untuk mencapai

suatu tujuan yang diselenggarakan oleh masyarakat kecil. Kelas juga dapat

diartikan sekelompok murid di tingkatan yang sama dalam sebuah intitusi

(Taher, 2014).

Perbedaan kelas dengan adanya anggapan senior dan junior dapat

menjadi faktor penyebab terjadinya bullying. Munculnya perasaan memiliki

kekuasaan pada senior dapat dimanfaatkan untuk mem-bully junior.

Kesempatan serta alasan perilaku bullying dari senioritas terkadang dijadikan

sebagai tradisi yang tidak berhenti hanya dalam satu periode saja. Perilaku

tersebut seringkalai diperluas oleh peserta didik yang memiliki keinginan

25

untuk melanjutkannya trades sebagai hiburan, penyaluran dendam, adanya

rasa iri hati dan untuk mencari popularitas (Usman, 2013).

2.3.3 Prestasi Akademik

Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk melakukan proses

belajar. Tujuan proses belajar tersebut agar peserta didik dapat

mengembangkan potensi secara aktif yang ada pada dirinya. Potensi tersebut

diantaranya memiliki pengendalian diri, kepribadian baik, kecerdasan, akhlak

mulia dan keterampilan yang berguna untuk dirinya dan masyarakat. Tingkat

pendidikan dibedakan menjadi dua bagian yaitu kepandaian baca tulis dan

tingkat pendidikan yang ditamatkan (Pinoza, 2011).

Prestasi akademik juga merupakan salah satu faktor terjadinya bullying.

Adanya rasa kurang keterikatan dan bertanggung jawab terhadap sekolah

pada pelaku bullying, mengakibatkan pencapaian nilai akademik yang rendah.

Siswa dengan tekanan akademik yang lebih rendah lebih mungkin untuk

melakukan bullying dibandingkan dengan siswa yang memiliki tekanan

akademik yang tinggi (Latifah,2012).