bab ii tinjauan pustaka · 2018. 7. 24. · yang biasa digunakan untuk mengacu aspek-aspek...
TRANSCRIPT
-
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepemimpinan Partisipatif di Sekolah
Kepemimpinan yang efektif akan terwujud
apabila pemimpin mampu menjalankan fungsinya
dengan tepat. Menurut Nawawi (1993: 74) ada lima
fungsi kepemimpinan yaitu fungsi instruktif, fungsi
konsultatif, fungsi partisipasi, fungsi delegasi dan
fungsi pengendalian. Kelima fungsi tersebut saling
terkait satu sama lain, namun peneliti hanya akan
menfokuskan pada salah satu fungsi kepemimpinan,
yaitu fungsi partisipasi.
Kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa
teori kepemimpinan, diantaranya adalah teori Path-
Goal. Teori ini menganalisa dampak kepemimpinan
(terutama perilaku pemimpin) terhadap motivasi
bawahan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja. Teori
path-goal memasukkan empat gaya pokok perilaku
pemimpin (Lunenburg & Ornstein, 1991:143-144 dalam
Reksohadiprojo dan Handoko, 2001:289-290), yaitu
kepemimpinan direktif, kepemimpinan suportif,
kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan orientasi
prestasi. Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif
adalah meminta dan menggunakan saran saran
bawahan, tetapi masih membuat keputusan. Sebagian
-
11
besar penelitian dalam organisasi menyimpulkan
bahwa dalam tugas tugas yang tidak rutin karyawan
lebih puas dibawah pimpinan yang partisipatif daripada
pemimpin yang non partisipatif.
Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan partisipatif menitik beratkan pada
persamaan kekuatan dan sharing dalam pemecahan
masalah bersama dengan bawahan, dengan cara
melakukan konsultasi dengan bawahan sebelum
membuat keputusan.
Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha
oleh seorang manajer untuk mendorong dan
memudahkan partisipasi orang lain dalam pengambilan
keputusan yang jika tidak akan dibuat tersendiri oleh
manajer tersebut (Yukl,1998:132)
Kepemimpinan partisipatif berkaitan erat
dengan penggunaan berbagai macam prosedur
pengambilan keputusan, yang memberikan kepada
orang lain suatu pengaruh tertentu terhadap
keputusan-keputusan pemimpin tersebut. Istilah lain
yang biasa digunakan untuk mengacu aspek-aspek
kepemimpinan partisipatif termasuk konsultasi,
pembuatan keputusan bersama, pembagian
kekuasaan, desentralisasi, dan manajemen demokratis.
Pada dasarnya kepemimpinan pertisipatif adalah
kepemimpinan yang selalu melibatkan seluruh elemen
organisasi dalam mengambil kebijakan organisasi. Titik
-
12
beratnya hanya kepada penggunaan partisipasi mereka,
pemimpin hanya akan menjadi seseorang yang
melegalkan apa yang menjadi keputusan semua pihak.
Hal itu didukung oleh Nawawi (1993:77) yang
menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi
partisipasi, pemimpin berusaha mengaktifkan orang
orang orang yang dipimpinnya baik dalam
keikutsertaan pengambilan keputusan maupun dalam
melaksanakannya. (1) kualitas keputusan yang diambil,
biasanya lebih baik, bila para peserta mempunyai
informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai sang
pemimpin, (2) bersedia untuk kerjasama dalam mencari
suatu pemecahan yang baik, untuk suatu masalah
keputusan, (3) keputusan yang diambil, biasanya lebih
dapat diterima oleh para partisipan, (4) peluang untuk
memperoleh suatu pengaruh terhadap sebuah
keputusan, biasanya akan meningkatkan komitmen
dalam hal tersebut, (5) kepuasan terhadap proses
pengambilan keputusan, biasanya juga lebih tinggi, (6)
menumbuhkan dan mengembangan keahlian dalam
pengambilan keputusan.
2.1.1 Aktivitas Kepemimpinan Partisipatif
Kepala sekolah selalu berupaya mencurahkan
kemampuannya dalam menjalankan tugasnya untuk
mencapai tujuan. Nawawi (1991:74-79) menjelaskan
bahwa secara operasional dapat dibedakan lima fungsi
-
13
pokok kepemimpinan, yaitu fungsi instruktif, fungsi
konsultatif, fungsi partisipasi, fungsi delegasi dan
fungsi pengendalian. Sedangkan Purwanto (2012:67-71)
menyatakan bahwa pengambilan keputusan
merupakan kegiatan yang selalu dijumpai dalam setiap
kegiatan kepemimpinan. Bagaimana cara pengambilan
putusan yang dilakukan pemimpin menentukan gaya
kepemimpinannya. Dari pendapat para pakar di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa pengambilan putusan
merupakan fungsi kepemimpinan yang turut
menentukan proses dan tingkat keberhasilan
kepemimpinan itu sendiri.
Selain itu, fungsi konsultasi dan fungsi delegasi
juga memegang peranan yang penting. Seorang
pemimpin harus menjalankan fungsi konsultasi.
Bawahan yang dipimpin dalam menjalankan tugasnya
sering menemui kesulitan atau hal-hal yang tidak
dapat diputuskan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu,
konsultasi dengan pimpinan diperlukan guna
menyelesaikan masalah tersebut. Demikian juga
dengan fungsi delegasi. Pemimpin tidak mungkin
melaksanakan tugas sendiri. Ada berbagai tugas yang
wewenangnya harus didelegasikan pada anak buahnya
sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Oleh karena
itu, penelitian ini mengamati gaya kepemimpinan yang
digunakan pemimpin untuk mencapai tujuan, yaitu ke
-
14
dalam kegiatan: (1) pengambilan keputusan, (2)
konsultasi, dan (3) pendelegasian wewenang.
2.1.1.1 Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan menurut Stoner dan
Freeman (1994) yang dikutip oleh Wahyudi (2009:43)
merupakan proses mengidentifikasi dan memilih cara
bertindak menghadapi suatu masalah atau
memanfaatkan suatu peluang. Siagian (2008) dalam
Wahyudi (2009:43) menjelaskan bahwa pengambilan
keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis
terhadap suatu masalah yang dihadapi. Berdasarkan
uraian diatas, dapat diketahui bahwa pengambilan
keputusan adalah pemilihan suatu tindakan di antara
bebrapa alternatif skenario untuk menyelesaikan
permasalahan.
Langkah-langkah pengambilan keputusan
menurut Purwanto (2012:67) terdiri dari langkah-
langkah: (1) mendefinisikan masalah masalah, (2)
menentukan pedoman pemecahan masalah, (3)
mengidentifikasi alternatif, (4) mengadakan penilaian
terhadap alternatif yang telah didapat, (5) memilih
alternatif yang baik, dan (6) implementasi alternatif
yang dipilih. Sedangkan menurut Wahyudi (2009:44-
45), pengambilan keputusan terdiri dari langkah-
langkah: (1) identifikasi dan perumusan hakikat
masalah yang dihadapi, (2) analisis situasi pemecahan
-
15
masalah, (3) pencarian dan penemuan alternatif, (4)
implementasi dan evaluasi keputusan, serta (5)
penilaian hasil yang dicapai.
Wahyudi (2009: 44-45) menjelaskan tahapan
pengambilan keputusan sebagai berikut. Identifikasi
masalah didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
mengandung ketidakpastian, keraguan, kesulitan atau
sesuatu pertanyaan yang menuntut solusi
pembahasan. Analisis situasi pemecahan masalah
meliputi usaha yang sistematis menyajikan fakta, opini
dan ide tentang situasi yang ada. Pencarian dan
penemuan alternatif yaitu mengembangkan alternatif
yang mungkin dapat memecahkan masalah.
Implementasi dan evaluasi keputusan artinya
implementasi keputusan bukan hanya sekedar
memberikan perintah yang tepat, akan tetapi harus
memperkirakan alokasi sumber daya sesuai yang
diperlukan.
Purwanto (2012:67-68) menjelaskan tahapan
pengambilan keputusan sebagai berikut : (1)
Mendefinisikan dan menetapkan masalah. (2)
Menentukan pedoman pemecahan masalah. (3)
Mengidentifikasi alternative.(4) Mengadakan penilaian
terhadap alternatif yang didapat. (5) Memilih alternatif.
(6) Implementasi alternatif.
Wahyosumiodjo (2011:92) menjelaskan ada empat
aktivitas kepala sekolah sebagai pengambil keputusan
-
16
yaitu: entrepeneur, disturbance handler (pemerhati
gangguan), resource allocater (penyedia segala sumber),
dan negotiator roles. Entrepeneur artinya kepala sekolah
selalu berusaha untuk memperbaiki penampilan
sekolah melalui berbagai macam pemikiran program-
program baru. Distributor handler artinya
memperhatikan gangguan yang timbul di sekolah.
Resource roles artinya menyediakan segala sumber
daya sekolah. Negotiator roles artinya kepala sekolah
harus mampu untuk mengadakan pembicaraan dan
musyawarah dengan pihak luar.
Kepemimpinan partisipatif menyangkut baik
pendekatan kekuasaan maupun perilaku
kepemimpinan. Kepemimpinan, menyangkut aspek-
aspek kekuasaan seperti:(1) bersama-sama
menanggung kekuasaan (power sharing), (2) pemberian
kekuasaan (empowering) ,(3) proses-proses yang saling
mempengaruhi secara timbal balik ,(4)prosedur-
prosedur spesifik yang digunakan untuk berkonsultasi
dengan orang lain, untuk memperoleh gagasan dan
saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan
untuk pendelegasian kekuasaan.
Perilaku partisipatif memiliki kualitas yang
sangat dinamis dan dapat berubah seiring waktu.
Sebagai contoh, perilaku yang sebelumnya merupakan
konsultasi, dapat berubah menjadi keputusan bersama
ketika bawahan menyetujui pilihan atasannya.
-
17
Kepemimpinan partisipatif, potensial memberikan
beberapa manfaat, di antaranya adalah:
2.1.1.2 Konsultasi
Hubungan kerja sama antara kepala sekolah
dengan guru, karyawan, siswa, wali murid dan
stakeholder lainnya sangat penting dalam mewujudkan
tujuan sekolah yang akan dicapai. Salah satu bentuk
hubungan interpersonal tersebut adalah dalam
aktivitas konsultasi (Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan, 2007:44). Konsultasi
(counseling) merupakan upaya bantuan yang diberikan
seseorang dalam upaya memecahkan persoalan-
persoalan yang dialaminya (Purwanto, 2012:169:170).
Demikian juga Minor (2010:7) mendefinisikan
konsultasi sebagai sebuah proses yang mendukung
yang dilakukan oleh seorang manajer untuk membantu
karyawan menentukan dan bekerja melalui masalah-
masalah pribadi atau perubahan organisasi yang
mempengaruhi kinerja.
Menurut Purwanto (2012:169-170), aktivitas
konsultasi (counseling) berbeda dengan pembinaan
(coaching). Pembinaan lebih memfokuskan pada
kinerja, sedangkan konsultasi lebih pada pemahaman
persoalannya, kemudian seseorang dapat memecahkan
masalahnya sendiri. Termasuk di dalam pengertian
konseling adalah membantu seseorang bagaimana
memutuskan sesuatu perkara, bukan pula sekedar
-
18
berbicara tentang apa yang harus dikerjakan, tetapi
lebih dari itu adalah memberikan asumsi-asumsi
berkaitan persoalan yang sedang dihadapi beserta
alternatif jalan keluar yang lebih sesuai.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui
terdapat beragam definisi aktivitas konsultasi dari
pakar namun pada dasarnya mempunyai kesamaan.
Aktivitas konsultasi secara umum dapat didefinisikan
sebagai upaya untuk membantu seseorang untuk
memahami dan memecahkan masalahnya sendiri.
Tujuan konsultasi menurut Dale (Sudarmanto,
2009:239) adalah untuk: (1) mendapatkan pemahaman
yang lebih baik dari seseorang membuat keputusan
pribadi yang penting, (2) menetapkan tujuan pribadi
yang dapat dicapai, (3) menyusun solusi yang efektif
untuk masalah pribadi atau antarpribadi, (4)
menghadapi lingkungan yang sulit, dan (5) menghadapi
emosi pribadi yang negatif. Untuk dapat menjadi
konselor yang baik, seorang pemimpin organisasi harus
memiliki kompetensi meliputi: (1) mendengarkan yang
baik, (2) memahami masalah yang disampaikan oleh
bawahan, (3) mencari tahu inti permasalahan, (4)
bersikap empatis terhadap seseorang yang mempunyai
permasalahan, dan (5) memberikan arah jalan keluar
(Sudarmanto, 2009:239).
-
19
2.1.1.3 Pendelegasian Wewenang
Menurut Hasibuan (2000:73), pendelegasian
adalah tindakan mempercayakan tugas (yang pasti dan
jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban
dan pertanggung jawaban kepada bawahan secara
individu dalam setiap posisi tugas. Pendelegasian
dilakukan dengan cara membagi tugas, hal, tanggung
jawab, kewajiban dan pertanggung-jawaban yang
ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi formal
dalam organisasi. Pendelegasian wewenang adalah
tindakan mempercayakan tugas, kewenangan, hak,
tanggung jawab, kewajiban dan pertanggungjawaban
kepada bawahan atau orang lain. Atasan perlu
melakukan pendelegasian wewenang agar mereka bisa
menjalankan operasi manajemen dengan baik.
Wahyosumidjo (2002:94) menjelaskan tujuan
pendelegasian wewenang, yaitu bahwa: (1)
pendelegasian memungkinkan manajer mencapai hasil
yang lebih baik dari pada semua kegiatan ditangani
sendiri, (2) agar organisasi berjalan lebih efisien, (3)
pendelegasian memungkinkan manajer dapat
memusatkan perhatian terhadap tugas-tugas prioritas
yang lebih penting, (4) dengan pendelegasian,
memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan
berkembang, bahkan dapat dipergunakan sebagai
bahan informasi untuk belajar dari kesalahan atau
keberhasilan.
-
20
Delegasi wewenang yang efektif (Hasibuan, 2000:
84) dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Memutuskan
pekerjaan mana yang akan didelegasikan, akrena tidak
semua pekerjaan dapat didelegasikan; (2) Memutuskan
siapa yang akan memperoleh penugasan, dengan
beberapa pertimbangan: waktu yang dipunyai
karyawan, kemampuan yang dimiliki karyawan dan
kesempatan yang akan dimanfaatkan oleh karyawan;
(3) Mendelgasikan tugas, disertai dengan informasi dan
pemberian wewenang ysng cukup dan bentuk hasil
yang diharapkan; (4) Menetapkan feedback, untuk
memonitor kemajuan yang dicapai oleh bawahan.
Yukl (2007:124) menjelaskan beberapa aspek yang
perlu dipertimbangkan dalam pendelegasian tugas dan
wewenang yang meliputi aspek karakteristik personal
dan tugas serta kontrol delegasi. Karakteristik personal
dan tugas adalah berkaitan dengan pentingnya delegasi
serta siapa yang didelegasikan. Kontrol delegasi adalah
berkaitan dengan seberapa besar wewenang
didelegasikan, komunikasi wewenang, delegasi
wewenang dan pengawasan, bagaimana
meminimumkan konflik-konflik dari dampak wewenang
serta apa yang harus dikerjakan bla seseorang
menyalahi wewenang.
Kepemimpinan situasional memandang
kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang-
orang atau kelompok untuk memikul tanggung jawab
-
21
mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi
tertentu. Maka, perlu ditekankan kembali bahwa
kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan
tugas tertentu dan bergantung pada hal yang ingin
dicapai pemimpin.
Dengan mengenal tipe bawahan (kematangan dan
kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat
memakai gaya kepemimpinan yang sesuai dalam
mendelegasikan tugas dan tanggungjawab. Sedang bagi
para anggota kesempatan berpartisipasi dilaksanakan
dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan di
lingkungan unit masing-masing dengan mendorong
terwujudnya kerja sama, baik antara anggota dalam
satu maupun unit yang berbeda.
2.2 Kompetensi Pedagogis
Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi
kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak. Kompetensi guru merupakan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan
diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap
guru akan menunjukkan kualitas guru dalam
mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam
-
22
bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional
dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.
Ini berarti bahwa guru yang professional harus
menguasai dan menerapkan pengetahuan, ketrampilan
dan perilaku untuk keberhasilan peserta didik.
Sebagai standar kompetensi yang harus dimiliki
oleh guru dalam melaksanakan profesinya, pemerintah
mengeluarkan Permendiknas nomor 16 tahun 2007
tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru
meliputi (1)kompetensi pedagogik, (2) kompetensi
kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4)kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi guru tersebut bersifat menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling
berhubungan dan saling mendukung.
Kompetensi pedagogis merupakan salah satu
jenis kompetensi yang mutlak perlu dikuasai guru.
Kompetensi pedagogis pada dasarnya adalah
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
peserta didik. Kompetensi pedagogis merupakan
kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan
profesi lainnya dan akan menentukan tingkat
keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta
didiknya (Kemendiknas, 2010).
Ini berarti bahwa setiap guru harus menguasai
kompetensi pedagogis dengan baik agar menghasilkan
-
23
output yang bermutu. Kompetensi ini tidak diperoleh
secara tiba-tiba tetapi melalui upaya belajar secara
terus menerus dan sistematis, baik pada masa pra
jabatan (pendidikan calon guru) maupun selama dalam
jabatan, yang didukung oleh bakat, minat dan potensi
keguruan lainnya dari masing-masing individu yang
bersangkutan.
Berkaitan dengan kegiatan Penilaian Kinerja
Guru terdapat 7 (tujuh) aspek dan 45 (empat puluh
lima) indikator yang berkenaan penguasaan
kompetensi pedagogis yang meliputi (1)Menguasai
karakteristik peserta didik, (2) Menguasasi teori belajar
dan prinsip‐prinsip pembelajaran yang mendidik, (3)
Pengembangan kurikulum, (4) Kegiatan pembelajaran
yang mendidik, (5) Pengembangan potensi peserta
didik, (6) Komunikasi dengan peserta didik, (7)
Penilaian dan Evaluasi.
Ini berarti bahwa guru harus memiliki dan
menggunakan informasi tentang karakteristik peserta
didik untuk membantu proses pembelajaran. Guru
harus mampu menetapkan berbagai metode dan teknik
pembelajaran yang kreatif dan mendidik. Guru harus
menyusun silabus danrancangan pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru harus
mampu menganalisis potensi pembelajaran setiap
peserta didik, serta memotivasi agar mereka
berparisipasi aktif. Guru harus melakukan evaluasi
-
24
pembelajaran sebagai umpan balik untuk menentukan
kegiatan selanjutnya.
2.3 Model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan yang
lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi
maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan
kegiatanpengumpulan data atau informasi yang berke-
naan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya
informasi yang terkumpul dapat diberikan kepada
pengambil keputusan agar dapat dengan tepat
menentukan tindak lanjut tentang program yang sudah
dievaluasi. Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutip
oleh Arikunto dan Jabar (2014:40), membedakan model
evaluasi menjadi delapan, yaitu:1)Goal Oriented
Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler; 2)Goal Free
Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven;
3)Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan
oleh Michael Scriven; 4)Countenance Evaluation Model,
dikembangkan oleh Stake; 5)Responsive Evaluation
Model, dikembangkan oleh Stake; 6)CSE-UCLA
Evaluation Model, menekankan pada “kapan”
evaluasidilakukan; 7)CIPP Evaluation Model,
dikembangkan oleh Stufflebeam; 8)Discrepancy Model,
dikembangkan oleh Provus.
-
25
2.3.1 Evaluasi Program CIPP
Model evaluasi CIPP mulai dikembangkan oleh
Daniel Stufflebeam pada tahun 1966. Stufflebeam
dalam Wirawan (2011:91) mendefinisikan evaluasi
sebagai proses melukiskan, memperoleh, dan menye-
diakan informasi yang berguna untuk menilai
alternatif-alternatif pengambilan keputusan.
Melukiskan artinya menspesifikasi, mendefinisikan,
dan menjelaskan untuk memfokuskan informasi yang
diperlukan oleh para pengambil keputusan. Memeroleh
artinya dengan memakai pengukuran dan statistik
untuk mengum-pulkan, mengorganisasi dan menga-
nalisis informasi. Menyediakan artinya mensintesiskan
informasi sehing-ga akan melayani dengan baik
kebutuhan evaluasi para pemangku kepentingan
evaluasi.
Model CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi,
yaitu: Evaluasi konteks (Context Evaluation), Evaluasi
Masukan (Input Evaluation), Evaluasi Proses (Process
evaluation), dan Evaluasi Hasil (Product Evaluation).
Keempat kata yang disebutkan dalam singkat CIPP
tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain
adalah komponen dari proses sebuah program
kegiatan, dengan kata lain model CIPP adalah model
evaluasi yang memandang program yang dievaluasi
sebuah sistem.
-
26
a. Evaluasi konteks. Menurut Stuffflebeam dalam
Wirawan (2011:92) mengungkapkan konteks untuk
men-jawab pertanyaan apa yang perlu dilakukan?
(What needs to be done). Evaluasi konteks
merupakan evaluasi yang paling mendasar dan
memiliki misi untuk menyediakan suatu rasional
atau landasan atau sebagai latar belakang suatu
program. Arikunto dan Jabar (2014:46),
menambahkan bahwa evaluasi konteks
mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi
sehingga dapat memperkecil kesenjangan antara
kondisi faktual dan kondisi yang diharapkan.
Evaluasi konteks dilak-sanakan sebagai suatu
kebutuhan serta memberikan informasi bagi
pengambilan keputusan dalam perencanaan suatu
program yang akan dilak-sanakan.
b. Evaluasi masukan atau input ialah untuk
membantu mengatur keputusan, menentukan
sumber-sumber yang dimiliki, alternatif-alternatif
apa saja yang diambil serta rencana yang dibuat
untuk mencapai tujuan. Menurut Sudjana
(2008:55), evaluasi masukan (input) program
menyediakan data untuk menentukan bagaimana
penggunaan sumber-sumber yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan program. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Arikunto dan Jabar (2014:47),
menyatakan bahwa evaluasi input adalah 1)
-
27
kemampuan awal warga belajar; 2) kemampuan
sekolah menyediakan petugas yang tepat; 3) bahan
ajar; 4) kurikulum; 5) sarana belajar; 6)
pembiayaan.
c. Evaluasi proses dalam model CIPP menunjukkan
pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam
program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai
penanggung jawab program, “kapan” (when)
kegiatan akan selesai. Model CIPP pada evaluasi
proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan di dalam program sudah terlaksanaan
sesuai dengan rencana. Menurut Arikunto dan
Jabar (2014:47), menyatakan bahwa evaluasi proses
diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana
sesuai dengan rencana.
d. Evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal
yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada
masukan mentah. Evaluasi hasil merupakan tahap
akhir dan berfungsi untuk membantu penanggung-
jawab program dalam mengambil keputusan.
Menurut Sudjana (2008:56), evaluasi program
mengukur dan menginterpretasi pencapaian
program selama pelaksanaan program.
-
28
2.4 Penelitian yang Relevan
Penelitian Maday (2013) fokus pada konsep
kepemimpinan kepala sekolah yang visoner dan
dampaknya terhadap kinerja guru SMA Lab Satya
Wacana Salatiga. Kepala sekolah menggunakan visi dan
misi untuk mempersatukan warga sekolah menuju
tujuan yang sama dengan melakukan pengawasan,
memenuhi kebutuhan guru, komunikasi terbuka, dan
mengelola keuangan secara transparan. Visi dan misi
selalu disosialisasikan kepada warga sekolah untuk
memotivasi dan melibatkan warga sekolah demi
pencapaian tujuan bersama.
Penelitian Desiyanti (2014) yang berjudul Strategi
Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja Guru Di
SMA Bina Nusantara Semarang mengemukakan bahwa
strategi peningkatan kinerja guru merupakan langkah
nyata mewujudkan sekolah yang sukses. Dalam
analisisnya disebutkan bahwa strategi yang digunakan
kepala sekolah adalah dengan memberdayakan sumber
daya lingkungan sekolah, memberdayakan sumber
daya guru, memperbaiki pembelajaran, dan
meningkatkan komitmen guru. Artinya, guru dilibatkan
dalam strategi peningkatan kinerja mereka.
Penelitian Suherman (2010), yang berjudul
Kontribusi Implementasi Manajemen Partisipatif
terhadap Kinerja Guru dan dan terhadap Kegiatan
Belajar Mengajar di SMA 4 Bogor, menyimpulkan
-
29
bahwa manajemen partisipatif yang diterapkandi SMA 4
Bogor telah berdampak positif pada kinerja guru. Selain
itu, proses belajar mengajar juga berjalan dengan lebih
efektif. Hal-hal yang membuat kinerja guru dan proses
belajar mengajar berjalan efektif adalah bahwa visi dan
misi sekolah disusun bersama, kepala sekolah selalu
melibatkan guru dalam pengambilan keputusan,
penilaian kinerja dilakukan secara terbuka, tugas
didelegasikan sesuai dengan keahlian, dan kepala
sekolah melakukan back up terhadap kinerja
bawahannya.
Penelitian Hasanuddin (2010) berjudul
Kompetensi Pedagogis Guru yang telah Tersertifikasi di
SMA Negeri Kota Banda Aceh. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa kompetensi pedagogis meliputi
pemahaman terhadap peserta didik, penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan
penilaian hasil belajar, dan pengembangan peserta
didik. Semua komponen tersebut menunjukkan
kategori baik
Penelitian Rabiyah (2012) Hubungan
Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi
terhadap Kinerja Guru SMP. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan
kinerja guru, artinya, kepemimpinan sekolah yang baik
akan memajukan kinerja guru.
-
30
Penelitian Helen M. Marks and Susan M. Printy
(2003) berjudul Principal Leadership and School
Performance: An Integration of Transformational and
Instructional Leadership, menfokuskan pada hubungan
kepemimpinan sekolah antar kepala sekolah dan guru.
Studi ini menguji potensi kerja sama aktif mereka
tentang masalah pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dan prestasi atau perfoma siswa.
Analisis ini didasarkan pada dua konsep kepemimpinan
– Transformasional dan instruksional. Sampelnya
terdiri dari 24 sekolah yang diseleksi secara nasional- 8
Sekolah Dasar, 8 Sekolah Menengah Pertama, 8
Sekolah Menengah Atas. Dalam mengolah struktur
data yang multi level, teknis analisi primernya adalah
HLM (Hierarchical Linear Modeling). Studi ini
menemukan bahwa kepemimpinan transformasional
adalah penting tetapi kondisinya tidak cukup untuk
kepemimpinan instruksional. Bila kepemimpinan
transformasional digabung dengan instruksional dalam
satu bentuk kepemimpinan yang terintegrasi
pengaruhnya pada kinerja sekolah, yang diukur dengan
kualitas pedagogis dan prestasi siswanya menjadi
sangat bagus.
-
31
2.5 Kerangka Berpikir
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga
perlu dikelola dengan kepemimpinan yang kuat,
tangguh dan punya visi yang jelas dalam meningkatkan
mutu pendidikan. Kepala sekolah merupakan salah
satu komponen pendidikan yang memiliki peran yang
sangat strategis untuk mengelola sumber daya yang
ada di sekolah. Dalam hal ini, kepemimpinan kepala
sekolah sangat menentukan kemajuan atau prestasi
yang dapat dicapai oleh sekolah. Kepemimpinan
menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan
melalui gaya kepemimpinan. Baik buruknya proses
pendidikan di suatu sekolah banyak ditentukan oleh
gaya kepemimpinan kepala sekolah, sebab kepala
sekolah adalah orang yang paling bertanggung jawab
atas segala sesuatunya yang diterapkan kepala sekolah
melalui gaya kepemimpinannya.
SMAN 1 Boja merupakan salah satu sekolah
menengah atas negeri di lingkungan Kabupaten Kendal.
Berdasarkan observasi awal dan wawancara terbatas
dengan beberapa orang guru, diperoleh informasi
bahwa penguasaan kompetensi pedagogis guru masih
lemah karena guru cenderung hanya mengejar materi
yang harus disampaikan kepada siswa. Guru belum
mampu menerapkan cara mengajar yang efektif serta
belum menerapkan pembelajaran yang inovatif. Guru
-
32
hanya memperdalam materi dengan membaca materi
pelajaran, tidak membaca dan memperdalam cara
mengajar yang baik. Hal ini merupakan tantangan bagi
kepala sekolah untuk melakukan perbaikan dan
peningkatan kompetensi pedagogis guru.
Kepala sekolah yang menerapkan model
partisipatif harus mengetahui kebutuhan dan
kelemahan guru. Dalam merespon fenomena lemahnya
kompetensi pedagogis guru, kepala sekolah harus
mengarahkan guru untuk kompetensi pedagogisnya.
Pengamatan peneliti menunjukkan bahwa kepala
sekolah yang sedang menjabat selalu turun ke bawah
untk meninjau siswa, guru-guru dan sekaligus
menjalin hubungan sosial dan emosional. Konsultasi
dilakukan dengan siswa, guru dan karyawan juga rutin
dilakukan baik jika terdapat permasalahan maupun
tidak. Ketika kepala sekolah jarang turun ke bawah
untuk mengetahui keluhan keluhan serta masukan
dari siswa dan guru, kompetensi pedagogis guru tidak
dapat dikontrol dengan baik.
Model kepemimpinan partisipatif sangat
berkaitan dengan performa kompetensi pedagogis yang
dimiliki guru. Guru yang terbiasa dengan model
kepemimpinan partisipatif diduga memiliki kompetensi
pedagogis yang lebih baik. Hal ini dapat ditinjau secara
teroretis bahwa guru yang banyak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan akan terbiasa dengan
-
33
suasana demokratis. Guru tersebut akan membawa
budaya tersebut ke dalam kelas sehingga siswa juga
akan dilibatkan dalam proses-proses pembelajaran.
Model kepemimpinan kepala sekolah dapat
diidentifikasi dengan aktivitas kepemimpinan kepala
sekolah. Aktivitas-aktivitas kepemimpinan tersebut
dapat tercermin dalam aspek pengambilan keputusan,
konsultasi dan pendelegasian kewenangan. Model
kepemimpinan kepala sekolah tercermin pada peran
kepala sekolah dalam memobilisasi faktor lingkungan
serta karakteristik personal karyawan seperti dalam:
pengelolaan keputusan, pengelolaan interpersonal
(konsultasi) dan delegasi wewenang. Hal ini dapat
dilihat dari bagan sebagai berikut.
-
34
Gambar 2.1 Bagan kerangka pikir penelitian
Globalisasi Tuntutan Mutu
Lulusan
Profesionalisme
Pendidik
Manajemen
Kepemimpinan
Sekolah yang Kuat
Model
Kepemimpinan
Partisipatif
CIPP
Pengambilan
Keputusan Konsultasi
Pendelegasian
Wewenang
Kompetensi pedagogis guru
-
35
Penelitian ini mengevaluasi gaya kepemimpinan
partisipatif yang dilakukan oleh kepala SMAN 1 Boja.
Model evaluasi yang digunakan adalah Context, Input,
Process, dan Product (CIPP). Konteks yang digunakan
adalah kepemimpinan partisipatif kepala SMAN 1 Boja.
Input yang ada adalah seluruh guru SMAN 1 Boja.
Proses yang diamati adalah aktivitas-aktivitas
pengambilan keputusan, konsultasi, dan pendelegasian
wewenang. Produk yang diamati adalah kompetensi
pedagogis guru. Keempat ranah tersebut diamati untuk
dievaluasi satu per satu sehingga dilahirkan
rekomendasi yang layak untuk perbaikan gaya
kepemimpinan partisipatif di SMAN 1 Boja.