bab ii tinjauan pustaka · 2018. 4. 26. · bab ii . tinjauan pustaka . bab ini berisi tentang...

38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian hukum ini. Uraian menyangkut hakekat Perjanjian tertulis dan tidak tertulis sebagai suatu kontrak. Selanjutnya akan dikemukakan pula tinjauan mengenai sejarah Hukum Perburuhan dan juga pengertian Pemandu Karaoke. Sedikit mengenai hakekat suatu perseroan sebagai pengusaha. Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di Bab III. A. Hakekat Kontrak Pengertian Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum adalah: “It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from doing something to or for another, or with legal duties imposed by law to give or do something to or for another where justice requires is though there is no promise.” (Artinya: Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain, apabila keadilan menghendaki, meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya.) 1 1 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 2, dalam Thesis berjudul: A Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to the Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its Indonesian Counterparts, June 2005, Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland.

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian

    hukum ini. Uraian menyangkut hakekat Perjanjian tertulis dan tidak tertulis sebagai suatu

    kontrak. Selanjutnya akan dikemukakan pula tinjauan mengenai sejarah Hukum Perburuhan

    dan juga pengertian Pemandu Karaoke. Sedikit mengenai hakekat suatu perseroan sebagai

    pengusaha.

    Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi

    ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di Bab III.

    A. Hakekat Kontrak

    Pengertian Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum adalah:

    “It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by

    persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from

    doing something to or for another, or with legal duties imposed by law to give or do

    something to or for another where justice requires is though there is no promise.”

    (Artinya: Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan

    orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau

    untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut

    oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat

    sesuatu terhadap atau untuk orang lain, apabila keadilan menghendaki, meskipun

    tidak diperjanjikan sebelumnya.)1

    1 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 2, dalam Thesis berjudul: A Comparative

    Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to the Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its

    Indonesian Counterparts, June 2005, Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland.

  • Segenap kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam pengertian

    atau definisi Kontrak di atas; baik kewajiban yang lahir karena perjanjian (promise), ataupun

    segenap kewajiban yang lahir karena kesepakatan (agreement), maupun kewajiban yang lahir

    karena hukum (the Law), dan kewajiban karena ada tuntutan keadilan (justice), seringkali

    disederhanakan atau dianalogikan sebagai suatu sistem kewajiban (obligations) atau

    perikatan yang harus dilakukan oleh setiap orang.2

    Beberapa peristilahan sering digunakan secara paralel dengan istilah kontrak dengan

    pengertian yang relatif sama. Istilah kontrak sering disamakan pengertiannya dengan konsep

    “obligation” atau kewajiban. Dalam literatur, para penulis hukum di Indonesia3 kadangkala

    menyamakan kontrak atau perjanjian dengan kata perikatan. Sedangkan dalam literatur di

    negara-negara common law, perkataan obligation dapat samakan artinya dengan hubungan

    hukum, atau kewajiban, dan perikatan itu digunakan pula konsep4 debt atau hutang, duty on a

    debtor atau kewajiban seorang debitur atau obligor. Konsep terakhir ini berhubungan dengan

    hak perorangan atau klaim (claim) yang bersifat personal (in personam).

    2 Ibid., hlm. 3.

    3 Ibid., hlm. 5. Tidak banyak penulis hukum Indonesia yang Jeferson Kameo kategorikan sebagai penulis hukum

    pionir. Subekti, satu dari si pionir yang dimaksudkan itu, dalam buku berjudul Hukum Perjanjian, Cetakan ke

    IX (cetakan pertama buku itu diterbitkan tahun 1963), Penerbit Intermasa, 1984, hlm. 1., mengatakan:

    “Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan pada perjanjian atau persetujuan tertulis.” Dalam buku itu,

    Subekti berusaha membedakan kontrak dengan konsep-konsep seperti: perikatan, perjanjian, dan persetujuan.

    Sedangkan Koesoemadi Poedjosewodjo, dalam buku berjudul Sistematik Kuliah Asas-Asas Hukum Perdata,

    Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1960, memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari istilah bahasa

    Belanda untuk perikatan (verbintenis). Dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, diminta perhatian

    pembaca untuk tidak kemudian menjadi berasumsi bahwa Kontrak yang dimaksudkan sebagai nama Ilmu

    Hukum itu adalah KUHPerdata, buku hukum yang isinya ditulis kembali dalam berbagai buku penulis-penulis

    pionir itu. Tidak! Tetapi, bahwa faktanya, tak terhindarkan (niscaya) isi dari KUHPerdata dan istilah yang

    dipergunakan di sana hampir jatuh sama dengan isi Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum. Hanya saja, kontrak

    atau perikatan atau apapun istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan isi dan ruh KUHPerdata, dan berbagai

    peraturan perundang-undangan lainnya, hanya mengenai satu buku atau satu undang-undang saja. Kontrak

    sebagai nama Ilmu Hukum lebih dahsyat dari KUHPerdata, sudah ada jauh sebelum KUHPerdata, memerintah

    KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang datang setelah KUHPerdata. 4 Kembali Jeferson Kameo meminta perhatian pembaca untuk melihat Keputusan Mahkamah Agung RI No.

    536K/Pid/2005. Menurut Keputusan tersebut, suatu konsep tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

    Jika konsep saja tidak mengikat, maka teori hukum pun berarti tidak mengikat. Sementara itu, kalau melanggar

    konsep bukan melanggar hukum, namun melanggar asas adalah melanggar hukum. Mahkamah Agung RI dalam

    putusan perkara Tata Usaha Negara No. 213K/TUN/2007, mengatakan bahwa Pejabat TUN melanggar asas-

    asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan dan asas kehati-hatian.

  • Sering pula ditemui istilah seperti dokumen atau surat untuk kontrak. Masih berkaitan

    dengan hal itu, orang juga menggunakan istilah bond atau surat pertanggungan atau surat

    perikatan, atau suatu deed atau surat akta yang mencantumkan, atau berisi (constituting) atau

    untuk membuktikan (evidencing)5 adanya suatu kewajiban kontraktual.

    Secara populer (colloquial) perikatan atau perjanjian berarti suatu kewajiban dalam

    pengertian kewajiban untuk membayar, atau suatu hutang yang harus ditunaikan oleh obligor.

    Dalam kaitan dengan itu, kewajiban adalah merupakan counterpart atau sisi lain dari suatu

    hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum yang bersifat personal.6

    1. Definisi Kontrak

    Istilah kontrak selain memiliki makna yang sama dengan nama ilmu hokum, sering

    atau umum dipahami berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa

    Perancis “contrat”, dan dalam bahasa Belanda “overeenkomst”, sekalipun kadang-kadang

    juga digunakan istilah “contract”.7

    Dalam bahasa Indonesia istilah kontrak sama

    pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah ini merupakan terjemahan dari

    “contract”,”overeenkomst”, atau “contrat”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa

    bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk,8 sedangkan istilah perjanjian

    cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya.

    5 Ibid., hlm. 6. Mengenai hal ini, belakangan, dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

    tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ditegaskan bahwa selama ini bentuk tertulis identik dengan

    informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata. Padahal, hakikatnya informasi dan/atau

    dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem

    Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab Sistem Elektronik

    pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat

    dibedakan lagi dari salinannya. Kecuali, seperti yang diatur oleh Pasal 5 ayat (4) dan Penjelasannya, bahwa:

    “Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik atau hasil cetakannya merupakan alat

    bukti hukum yang sah, itu tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk

    tertulis, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang

    digunakan dalam proses penegakan aturan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.” Ditambah

    dengan surat beserta dokumen lainnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil

    atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Suatu requirement of writing. 6 Ibid.

    7 Misalnya dalam istilah “contractsoverneming” yang terdapat dalam Bagian 3 Bab 2 Buku 6 NBW.

    8 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Loc. Cit.

  • Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab

    kontrak pun dapat dibuat secara lisan.9

    Terdapat dua fungsi penting dalam kontrak, yaitu: pertama, untuk menjamin

    terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan; dan kedua, mempunyai fungsi

    konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan bagi

    kelanjutannya ke depan.10

    Semakin kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan

    mengenai perencanaan dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam kontrak) yang

    dibuat. Dalam kaitan dengan fungsi kontrak bagi perencanaan transaksi, perlu diperhatikan

    pada empat hal, yaitu:

    a. Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran (the value of exchange);

    b. Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban;

    c. Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang resiko ekonomi (economic risk)

    bagi para pihak; dan

    d. Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan konsekusensi hukumnya.11

    2. Status Subjek Hukum dalam Kontrak

    Menurut Mochtar Kusumaatmaja yang dikutip dalam Chaidir Ali, hukum itu tidak

    saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia

    dalam masyarakat. Hukum meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) demi proses-proses

    (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat

    lagi oleh Cicero yang mengatakan: “dimana ada masyarakat, disana ada hukum.”12

    Hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hukum bukan hanya seperangkat

    aturan, namun termasuk juga di dalamnya lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses

    yang menyebabkan terjadinya kaidah-kaidah tersebut.

    9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. Cit.

    10 J. Beatson, Op. Cit., p. 3.

    11 Ibid.

    12 Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hlm. 1.

  • Sebagai bagian dari masyarakat, tiap-tiap orang adalah pembawa hak. Dalam artian,

    tiap orang memiliki hak dan kewajiban. Sehingga, tiap-tiap orang disebut sebagai subyek

    hukum (subjetcum juris).

    Menurut C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, subjek hukum ialah: “Siapa yang dapat

    mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang

    cakap menurut hukum untuk bertindak.”13

    Adalah merupakan suatu yang sangat mendasar, dan oleh sebab itu harus ada dalam

    suatu perikatan konvensional, perjanjian atau suatu kontrak, apa yang disebut dalam Kontrak

    sebagai nama Ilmu Hukum sebagai pihak atau para pihak. Dalam setiap perikatan

    konvensional, selalu ada dua atau lebih pihak (legal persons), atau apa yang di dalam sistem

    hukum di Indonesia disebut dengan subyek hukum. Pihak itu berdiri sendiri-sendiri, tertentu,

    dan nyata. Paling sedikit harus ada satu pihak dalam tiap sisi dari perikatan itu, baik satu

    pihak di sisi kreditur, maupun satu pihak lagi di sisi debitur.14

    Jeferson Kameo mengemukakan suatu maxim Latin yang telah sering dikutip berbagai

    jurists untuk menunjuk kepada prinsip hukum, yaitu: “Pactum, atau suatu pakta di dalam

    hukum, telah diartikan sebagai duorum pluriumve in idem placitum consensus atque

    convention… atau sepakat dari dua atau lebih pihak (orang) mengenai beberapa hal untuk

    dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Baik hal itu dilaksanakan oleh satu pihak di satu

    sisi, maupun hal itu dilaksanakan oleh pihak lainnya di sisi yang lain.”15

    Apabila maxim tersebut di atas diperhatikan secara selintas, maka orang mungkin saja

    bakal terjatuh dalam suatu pandangan bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu perikatan

    atau suatu kontrak oleh dirinya sendiri.16

    Demikian pula, satu orang atau satu pihak tidak

    13

    C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta, Harapan, 2002), hlm. 1. 14

    Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 179, 15

    Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…. 16

    Subekti, menerjemahkan Pasal 1315 KUHPerdata bahwa pada umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan

    diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri; yang disebut

  • dapat memasuki suatu perikatan, atau mengikatkan diri (dalam pengertian) memikul

    kewajiban-kewajiban atau menyanggupi memberikan sesuatu, atau menyanggupi melakukan

    sesuatu, atau sepakat untuk tidak melakukan sesuatu dengan dirinya sendiri.17

    Demikian pula

    satu orang saja tidak dapat menggunakan akta apapun untuk membuat suatu hutang kepada

    dirinya sendiri, dengan atau tanpa jaminan.18

    Lebih jauh, di dalam sistem hukum Inggris,

    telah diatur suatu ketentuan yang tidak benar, bahwa suatu perjanjian yang diadakan oleh

    seorang bernama (B) dengan (B) yang bersekutu dengan orang lain adalah batal.19

    B. Jenis-Jenis Kontrak

    Para ahli dibidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak.

    Ada ahli yang mengkaji dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya,

    maupun aspek larangnnya. Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit

    berbeda dibandingkan dengan para sarjana. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa

    jenis kontrak atau perjanjian adalah:20

    Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.

    Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang

    didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi

    lima macam, yaitu:

    Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;

    Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan

    hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

    Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

    dengan privity of contract dalam sistem hukum Inggris, atau oleh sejumlah penerjemah KUHPerdata dinamakan

    asas kepribadian. Ibid., hlm. 180. 17

    Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 18

    Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…. 19

    Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 20 Salim H.S,Hukum Kontrak, Sinar Grafika. Jakarta. 2005 hal 27-32

  • Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut

    dengan bewijsovereenkomst;

    Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut

    dengan publieckrechtelijke overeenkomst;

    Kontrak menurut namanya.

    Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal

    1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya

    disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan

    kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam

    BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa

    menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam,

    pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah

    kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum

    dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli

    sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing,

    dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan

    tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang

    tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam

    title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal

    1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian

    menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah

    penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan

    makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).

    Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan

    yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR

  • 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya

    diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi

    merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam Tahun 1947 Hoge Raad

    menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.

    1. Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara

    sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan

    yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi

    menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak

    atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para

    pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.

    Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini

    diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan

    adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus

    didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah

    suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil

    adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis

    merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat

    kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682

    BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah

    tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.

    Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara

    Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di

    hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di

    samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian

  • standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk

    formulir.

    2. Kontrak timbal balik. Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak.

    Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan

    hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa.

    Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak

    sempurna dan yang sepihak.

    Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak,

    sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi

    seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk

    melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan.

    Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah

    mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan

    harus menggantinya.

    Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-

    kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam

    mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran

    perjanjian.

    1. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini

    didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya.

    Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah

    menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai.

    Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian,

    disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain,

  • yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu

    jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.

    2. Perjanjian berdasarkan sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan

    dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut

    sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke

    overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu

    perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian

    untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan

    jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan

    perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga

    jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.

    Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam

    meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan

    perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan

    hak tanggungan atau fidusia.

    3. Perjanjian dari aspek larangannya. Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya

    merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak

    untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan

    ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan

    atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang

    Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang

    dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.

    Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

    usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau

  • pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik

    monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

    Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan

    pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa

    yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan

    sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah; Suatu perjanjian yang dibuat usaha

    patungan, dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.

    Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku

    usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda

    dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.

    Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara

    pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada

    di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

    tidak sehat.

    Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

    dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan

    atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang

    diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga

    yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

    tidak sehat.

    Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

    dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran

    atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan

    terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

  • Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku

    usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk

    melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

    Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

    usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur

    produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan

    terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

    Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha

    lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau

    perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan

    hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk

    mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat

    mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

    Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

    usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau

    penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam

    pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik

    monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

    Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan

    pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang

    termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu. Setiap rangkaian

    produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu

    rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya

    persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup,

    yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang

  • memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan

    memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat

    tertentu.

    Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

    dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat

    mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

    Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S., jenis atau

    pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak

    nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-

    perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak

    dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual,

    obligator dan lain-lain.

    C. Hakekat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai suatu kontrak dan

    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

    Pada dasarnya, PKWT itu adalah salah satu jenis kontrak. Kontrak yang dimaksud di

    dalam penelitian ini adalah kontrak sebagai nama dari Ilmu Hukum, yang mana telah Penulis

    pinjam untuk memberikan gambaran dalam penelitian ini dari Jeferson Kameo. Adapun

    definisi kontrak adalah:21

    “Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain

    untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk

    orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh

    hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat

    21 Lihat Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, tanpa tahun, hlmn., 2.

  • sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun

    tidak diperjanjikan sebelumnya.”

    Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan

    kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Adanya

    perjanjian demikian sangatlah esensial.22

    Pemahaman di atas pada prinsipnya serupa dengan apa yang ada di Eropa. Di

    kebanyakan negara di Eropa, dasar atau landasan hukum perburuhan dapat ditemukan di

    dalam „perjanjian kerja‟. Di negara-negara di Eropa (baik di dalam peraturan perundang-

    undangan maupun dalam yurisprudensi), perjanjian kerja dipahami mencakup tiga elemen

    inti: pekerjaan, upah, dan otoritas/kewenangan. Ini berarti bahwa perjanjian kerja adalah

    suatu kesepakatan dengan mana buruh/pekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di

    bawah otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah.23

    Hukum Indonesia tidak mendefinisikan perjanjian kerja dengan cara serupa. Namun,

    Undang-Undang Ketenagakerjaan mendefinisikan „pekerja‟ dan „majikan‟ sebagai berikut:

    “(3) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

    imbalan dalam bentuk lain.

    (4) Pemberi kerja (majikan) adalah orang perseorangan, persekutuan, badan

    hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan

    membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”24

    Bila kita bandingkan pengertian kontrak kerja Eropa dengan versi Indonesia di atas,

    maka dapat dikatakan keduanya identik berkenaan dengan dua elemen esensial, yaitu „kerja‟

    dan „upah/imbalan‟. Tetapi elemen ketiga, otoritas tidak secara eksplisit merupakan bagian

    22 Agusmidah dkk., Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Edisi 1, Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Editor: Guus Heerma van Voss dan Surya Tjandra, 2012, hlmn., 13-15. 23 Ibid. 24 Pasal 1 UU Ketenagakerjaan.

  • dari definisi kontrak kerja versi Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan menyatakan

    bahwa pembuat undang-undang Indonesia kiranya hendak memberikan definisi dengan

    cakupan yang luas, sedemikian sehingga dapat mencakup segala bentuk kerja paruh waktu

    atau sementara sekalipun otoritas pemberi kerja tidak tampak serta-merta di dalamnya.25

    Penggunaan istilah „imbalan‟ daripada sekadar „upah‟ dan „pekerja‟ bukan „buruh‟

    juga mengindikasikan bahwa pembuat undang-undang hendak menghindari penggunaan

    definisi atau pengertian yang terlalu sempit. Dari sudut pandang kepentingan melindungi

    buruh yang berada dalam situasi ketergantungan ekonomi, hal di atas kiranya sangat

    menguntungkan.26

    Pada lain pihak, salah satu kerugian ialah bahwa kemudian definisi yang diberikan

    menjadi terlalu kabur dan luas. Dalam banyak kasus di mana seseorang sebenarnya kurang

    lebih mempekerjakan diri sendiri, namun melakukan pekerjaan tersebut untuk orang lain,

    maka muncul persoalan apakah mereka juga dapat dianggap tercakup ke dalam pengertian

    pekerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan?

    Ketiadaan definisi Perjanjian Kerja di dalam undang-undang sama turut memperparah

    ambiguitas tersebut. Patut dicermati bahwa KUHPerdata, sebaliknya, memberikan definisi

    yang lebih tegas. Perjanjian tersebut dalam KUPerdata disebut sebagai „perjanjian

    perburuhan‟ (labour agreement). Tampaknya tidak ada kehendak untuk membedakan antara

    „perjanjian kerja‟ dari UU Ketenagakerjaan dengan „perjanjian perburuhan‟ di dalam

    KUHPerdata.27

    Perjanjian perburuhan didefinisikan sebagai: “suatu persetujuan bahwa pihak kesatu,

    yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu

    majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.” (an agreement in which one party, the

    25

    Agusmidah, Loc. Cit. 26 Ibid. 27 Ibid.

  • labourer, agrees to render his services to the other party, the employer, for a specific term in

    return for remuneration).28

    Berbeda dengan bunyi naskah asli dalam bahasa Belanda,

    KUHPerdata sebagaimana diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tidak mensyaratkan bahwa

    buruh berada „dalam ikatan kerja/mengabdi (in dienst), yang berarti bahwa buruh bekerja di

    bawah otoritas majikan. Dalam hal ini, naskah berbahasa Inggris dari KUHPerdata sama

    tidak kaburnya dengan Undang-undang Ketenagakerjaan.29

    Persoalan lain berkenaan dengan frasa for a specific term dalam naskah berbahasa

    Inggris. Dalam naskah asli berbahasa Belanda, frasa yang sama berbunyi gedurende een

    zekere tijd yang dapat diterjemahkan sebagai “untuk atau selama (jangka) waktu yang

    tertentu”. Frasa “untuk jangka waktu tertentu” (for a certain period of time) mengesankan

    bahwa kontrak atau perjanjian kerja itu memiliki batas waktu tertentu. Ini kiranya merupakan

    terjemahan yang keliru, karena definisi di atas sesungguhnya hendak juga mencakup

    perjanjian atau kesepakatan tanpa batas waktu tertentu, dinamakan juga “kontrak terbuka”

    (openended contract). Di samping itu, KUHPerdata nyata membedakan perjanjian

    kerja/perburuhan dengan kontrak (pemborongan) kerja (contract for work): “perjanjian

    pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikat

    diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga

    yang telah ditentukan.” (the contract for work is the agreement by which one party, the

    contractor, binds himself to the other party, the client, to carry out specific tasks for a

    specific price).30

    Berkaitan dengan ini tampak bahwa KUHPerdata mengindikasikan adanya perbedaan

    antara perjanjian kerja/perburuhan dengan perjanjian pemborongan kerja. Perjanjian

    pemborongan kerja berkenaan dengan pekerjaan yang digambarkan dengan lebih rinci, dan

    28

    Pasal 1601a KUHPerdata. 29 Agusmidah, Loc. Cit. 30 Pasal 1601b KUHPerdata.

  • sebab itu pula berjangka waktu tertentu. Sebaliknya untuk perjanjian kerja/perburuhan,

    pekerjaan apa yang dilakukan tidak dirinci dan perjanjian bisa jadi dimaksudkan untuk jangka

    waktu tidak terbatas. Di dalam teori (hukum) Belanda, perbedaan dibuat antara kewajiban

    untuk menyerahkan tenaga (make effort) (perjanjian kerja/perburuhan) dengan kewajiban

    untuk menuntaskan atau mencapai target tertentu (reach a specific result; perjanjian

    pemborongan kerja/contract for work). Perjanjian pemborongan kerja digunakan oleh

    seseorang yang mempekerjakan diri sendiri (self-employed persons) yang umumnya

    menerima atau mengikatkan diri untuk melakukan sejumlah penugasan dari mitra kontrak

    yang berbeda-beda. Sedangkan perjanjian kerja/perburuhan dipergunakan oleh buruh/pekerja

    yang mengabdikan diri bekerja di suatu perusahaan tertentu selama beberapa jam (dalam

    sehari).31

    Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah

    perjanjian kerja waktu tertentu (agreements for a specified time), disingkat PKWT,

    sedangkan negara-negara lain lebih kerap menggunakan istilah fixed-term contracts (kontrak

    dengan jangka waktu tetap). Di dalam hukum perburuhan, jenis kontrak seperti ini seringkali

    dibatasi, yakni untuk mendorong penggunaan kontrak dengan waktu tidak tertentu. Kontrak

    kerja waktu tidak tertentu kiranya dalam jangka panjang memberikan jaminan perlindungan

    yang jauh lebih baik bagi pekerja/buruh. Pembatasan demikian dapat berbentuk pembatasan

    alasan untuk mana perjanjian untuk waktu tertentu dapat dibuat, jangka waktu yang

    diperkenankan bagi kontrak seperti ini ataupun jumlah perjanjian untuk waktu tertentu yang

    dibuat berturut-turut yang dapat ditutup. Hukum perburuhan Indonesia menggunakan ketiga

    macam pembatasan di atas.32

    Berdasarkan ketentuan Pasal 59 UUKetenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu

    hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

    31 Agusmidah, Loc. Cit. 32 Agusmidah, Op. Cit., hlmn., 17-20.

  • pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Selanjutnya ketentuan tersebut menjelaskan

    bahwa pekerjaan demikian mencakup:

    a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

    b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan

    paling lama 3 (tiga) tahun;

    c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

    d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan

    yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

    Ketentuan penjelasan dari Pasal ini menetapkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu

    tertentu harus didaftarkan di instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas urusan

    ketenagakerjaan.

    Ketentuan ayat (2) dari Pasal 59 UU Ketenagakerjaan di atas secara tegas menyatakan

    bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat

    tetap. Hal ini kiranya sudah dapat disimpulkan dari ketentuan ayat terdahulu pasal ini.

    Penjelasan dari ketentuan di atas menerangkan bahwa pekerjaan yang bersifat tetap merujuk

    pada pekerjaan yang bersifat berlanjut, terus menerus atau tanpa jeda, yang terikat pada

    jangka waktu tertentu, dan merupakan bagian dari proses produksi dalam kegiatan atau

    pekerjaan yang tidak bersifat musiman. Pekerjaan tidak musiman adalah pekerjaan yang tidak

    tergantung pada cuaca/iklim atau situasi-kondisi tertentu. Jika suatu pekerjaan bersifat terus

    menerus serta berlanjut, namun tidak terikat jangka/kerangka waktu (timeframe) dan

    merupakan bagian dari proses produksi, tetapi terikat/tergantung pada cuaca/iklim ataupun

    pekerjaan diadakan karena adanya situasi-kondisi tertentu, maka dikatakan bahwa pekerjaan

    demikian adalah pekerjaan musiman. Pekerjaan demikian tidak termasuk pekerjaan tetap dan

    sebab itu dapat ditundukkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perjanjian kerja

    untuk waktu tertentu.

  • Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan di atas, perjanjian kerja

    waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perbedaan antara keduanya harus

    dikaitkan dengan upaya-upaya lain untuk membatasi penggunaan kontrak-kontrak kerja

    seperti ini. Kiranya dengan perpanjangan (extension) dimaksudkan bahwa perjanjian lama

    langsung diteruskan seketika berakhir. Pembaharuan (renewal) sebaliknya merujuk pada

    pengertian bahwa setelah lewat jangka waktu tertentu setelah perjanjian berakhir, dibuat

    perjanjian baru.33

    Ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perjanjian kerja

    waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama

    2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1

    (satu) tahun. Satu syarat tambahan ialah bahwa pengusaha yang bermaksud memperpanjang

    perjanjian kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu

    tertentu tersebut berakhir, harus telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

    pekerja/buruh yang bersangkutan.34

    Ketentuan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan berkenaan dengan pembaharuan

    perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaharuan hanya dapat diadakan setelah melebihi masa

    tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari (sejak) berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang

    lama. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan

    paling lama 2 (dua) tahun.

    Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan empat ketentuan

    tambahan berkenaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pertama, hubungan kerja

    berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam

    peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan.35

    33

    Ibid. 34 Lihat Pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan. 35 Lihat Pasal 1603e KUHPerdata.

  • Sebagai akibatnya, KUHPerdata secara tegas menetapkan bahwa jika lamanya hubungan

    kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau reglemen, maupun dalam peraturan

    perundang-undangan atau menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan

    untuk waktu tidak tentu.36

    Ketentuan kedua yang dapat kita temukan dalam KUHPerdata

    berkenaan dengan kapan pemberitahuan perihal pemutusan hubungan kerja disyaratkan

    dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu.

    Menurut ketentuan Pasal 1603e KUHPerdata yang sudah disebut di atas,

    pemberitahuan tentang pemutusan hubungan hanya akan disyarakatkan dalam hal-hal berikut

    ini:

    1. Jika hal itu dijanjikan dalam surat perjanjian atau dalam reglemen;

    2. Jika menurut peraturan perundang-undangan atau menurut hukum kebiasaan, juga dalam

    hal lamanya hubungan kerja ditetapkan sebelumnya, diharuskan adanya pemberitahuan

    tentang pemutusan itu dari kedua belah pihak, dalam hal yang diperbolehkan, tidak

    mengadakan penyimpangan dengan perjanjian tertulis atau dengan reglemen.

    Ketentuan ketiga berkenaan dengan situasi pekerja/buruh terus melanjutkan pekerjaan

    padahal jangka waktu telah lampau dan belum ada kesepakatan baru dibuat berkenaan dengan

    pelanjutan pekerjaan tersebut. Ketentuan Pasal 1603f KUHPerdata menetapkan bahwa jika

    hubungan kerja, setelah waktunya habis sebagaimana diuraikan pada alinea pertama Pasal

    1603e diteruskan oleh kedua belah pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu dianggap

    diadakan lagi untuk waktu yang sama. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu akan

    berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan maka hubungan kerja tersebut dianggap

    diadakan untuk waktu tidak tentu, hanya dengan syarat-syarat yang sama.

    Ketentuan di atas berlaku pula jika dalam hal-hal tersebut pada alinea kedua Pasal

    1603e KUHPerdata, pemberitahuan pemutusan hubungan kerja tidak dilakukan pada waktu

    36 Lihat Pasal 1603g KUHPerdata.

  • yang tepat. Dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, akibat-akibat dari pemberitahuan

    pemutusan hubungan kerja yang tidak dilakukan tepat pada waktunya dapat diatur dengan

    cara lain, asal hubungan kerja diperpanjang untuk waktu sedikit-dikitnya enam bulan.

    Terakhir, dapat kita temukan aturan yang berlaku bagi kontrak waktu tertentu yang

    dibuat berkelanjutan (consecutive fixedterm contracts). Suatu perjanjian kerja baru yang

    diadakan seorang buruh dalam waktu empat minggu setelah berakhirnya hubungan kerja

    sebelumnya, tidak peduli apakah hubungan kerja yang lalu itu diadakan untuk waktu tertentu

    atau waktu tidak tentu, dengan majikan yang sama dan untuk waktu tertentu yang kurang dari

    enam bulan, dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu.37

    Ketentuan terakhir ini tampaknya

    bertentangan dengan sistem perpanjangan maupun pembaharuan dalam Pasal 59 UU

    Ketenagakerjaan.

    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

    Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian

    Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh

    dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

    PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib

    mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara

    lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja)

    adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.

    PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama

    masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih

    rendah dari upah minimum yang berlaku.

    37 Lihat Pasal 1603i bis KUHPerdata.

  • Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT,

    apabila:

    1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi

    PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

    2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

    jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak

    adanya hubungan kerja;

    3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru

    menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah

    menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;

    4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)

    hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka

    PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;

    5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan

    kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka

    (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan

    peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

    Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis

    sekurang kurangnya harus memuat:

    a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha

    b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh

    c. jabatan atau jenis pekerjaan

    d. tempat pekerjaan

    e. besarnya upah dan cara pembayarannya

    f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh

  • g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

    h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam

    perjanjian kerja.

    Perbedaan antara Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu

    Tidak Tertentu(PKWT) paling terlihat :

    1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) tidak boleh mensyaratkan masa Percobaan

    kerja sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang

    ketenagakerjaan.

    2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWTT) boleh mensyaratkan masa

    Percobaan kerja Paling lama 3(tiga) bulan, sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang

    No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.

    D. Perjanjian Tidak Tertulis atau Lisan

    Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    menentukan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

    1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

    2. Cakap untuk membuat perikatan.

    3. Sesuatu hal tertentu.

    4. Suatu sebab atau causa yang halal.

    Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek perjanjian, sedangkan syarat

    ketiga dan keempat mengenai obyek perjanjian.

  • Sehubungan bahwa pernyataan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian

    itu tidak selalu sesuai dengan kehendak, maka timbullah persoalan bagaimanakah

    caranya untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat.

    Ada beberapa teori yang digunakan untuk menentukan terjadinya kata sepakat,

    yaitu :

    a. Teori Penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)

    Yang merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori

    “penawaran dan penerimaan”. Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya

    suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah

    satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh pihak lain dalam

    kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, sungguhpun

    pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut

    sistem hukum common law.

    b. Teori Kehendak (Wilstheorie).

    Teori kehendak adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak.

    Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa

    yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

    Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak

    sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari

    seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain.38

    c. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie).

    Menurut teori ini, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan

    seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya

    terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat

    38 Herlien Budiono, Ajaran umum hukum perjanjian dan penerapannya di bidang kenotariatan, Bandung: Citra Aditya. 2010. Hal 79.

  • dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu dasar

    dari terbentuknya suatu perjanjian.39

    Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus

    dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu

    perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori

    ini, jika terdapat ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak

    akan menghalangi terbentuknya perjanjian.40

    Teori pernytaan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak.

    Namun teori ini juga mempunyai kelemahan. Karena teori pernyataan hanya focus

    pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat

    potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan

    pernyataan.41

    Contoh : Jika A menawarkan sesuatu barang kepada B dan diterima

    oleh B, maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah

    yang dinyatakan A atau B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau

    tidak.

    d. Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie).

    Teori yang sekarang dianut juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan,

    di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi, jika ada pernyataan yang secara

    obyektif dapat dipercaya.

    Teori kepercayaan berusaha mengatasi kelemahan dari teori pernyataan.

    Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu penyataan

    akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang

    39

    Ibid, hal 79. 40 Ibid, hal 77. 41 Ibid hal. 78.

  • berlaku didalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan

    memang benar dikehendaki.42

    Tidak dapat dipungkiri bahwa semua aspek dalam kehidupan kita erat

    kaitannya dengan perjanjian. Demikian pula dalam kegiatan sehari-hari selalu

    berhubungan dengan perjanjian, kontrak, kesepakatan dan kesepahaman baik yang

    berbentuk lisan maupun tertulis.

    Konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat berdasarkan pasal 1320 KUH

    Perdata. Maka ketentuan pasal 1338 (1) berlaku yaitu “perjanjian yang dibuat secara

    sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.43

    Guna memberi landasan bagi pelaksanaan pembuatan suatu perjanjian,

    maka ada beberapa asas/perinsip di bidang hukum perjanjian. Asas/perinisp itu

    merupakan pondasi, tiang atau pilar dari pembuatan perjanjian, yaitu :

    1. Asas Kebebasan berkontrak (Sistem terbuka)

    Artinya para pihak dalam perjajian bebas mengemukakan kehednak, mengatur

    hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pasal

    1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah

    berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua”

    menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan

    siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum.

    2. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)

    Artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak.

    Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak

    tercapainya kata sepakat meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang

    42 Ibid. hal 80 43 BN.Marbun ,Membuat Perjanjian Yang Aman & Sesuai Hukum,Puspa Swara. Jakarta. 2009. hal 3

  • dibuat itu dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan yang

    disebut akte.

    3. Asas Kekuatan Mengikat

    Artinya perjanjian yang dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya

    perjanjian) mengikat para pihak untuk ditaati ( Pasal 1338 ayat (1). Perjanjian tersebut

    hanya dapat dicabut atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal

    1338 ayat 2).

    Namun perlu dipertimbangkan bahwa sebagain masyarakat kurang menghormati

    moral/norma hukum yang ada. Artinya perjnjian yang dilakukan secara

    lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Disamping itu dari segi pembuktian perjanjian

    lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis,

    terinci, tegas dan mudah dipahami.

    Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus

    merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah :

    1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian

    Kebebasan mengadakan perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum

    yang berlaku di dunia. Asas ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk

    mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan

    perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.

    Pasal 133 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat

    secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

    Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang memberi kebebasan

    kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :

    a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

  • b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

    c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;

    d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis;

    e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat

    rasional.

    Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi

    syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti undang-undang.

    Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di

    dalam sebuah perjanjian dengan memeperhatikan batasan-batasan hukum yang

    berlaku.

    2. Asas konsensualisme

    Dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini

    ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan

    kedua belah pihak. Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-

    hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan undang-

    undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis

    atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

    (misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensulisme yang dikenal

    dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.

    3. Asas pacta sunt servanda

    Asas ini diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan

    Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

    sebagai undang-undang”. Asas pacta sunt servanda menyatakan hakim atau pihak

  • ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak,

    sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan

    intervensi atau campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para

    pihak.

    4. Asas itikad baik

    Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus

    dilaksanakan dengan itikad baik‟. Asas ini menyatakan bahwa para pihak yaitu pihak

    kresitur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan

    atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.

    5. Asas kepribadian

    Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau

    membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat

    dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 dirumuskan, “Pada

    umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

    ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri “. Pasal 1315 ini berkaitan

    dengan rumusan Pasal 1340 KUHPerdata, “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku

    diantara pihak-pihak yang membuatnya”.

    Selain lima asas diatas, masih ada beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan

    pedoman dalam pembuatan perjanjian. Ketentuan ini berlaku universal dan dapat

    dipertanggung jawabkan secara moral. Beberapa dari perinsip dasar tersebut adalah :

    - Asas kepercayaan

    - Asas persamaan hukum

    - Asas keseimbangan

  • - Asas kepastian hukum

    - Asas moral

    - Asas kepatutan

    - Asas kebiasaan

    - Asas perlindungan

    KUHPerdata tidak menyebutkan secara eksplisit kapan suatu perjanjian mulai

    berlaku dan baaimana tahap-tahap terjadinya perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata

    hanya menyatakan perjanjian eksis berdasarkan consensus para pihak dan tidak

    memberi penjelasan rinci kapan suatu perjanjian mulai eksis setelah melalui tahapan-

    tahapan pembentukannya. Lahirnya suatu perjanjian menimbulkan hubungan hukumn

    perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dankewajiban inilah yang

    merupakan akibat hukum suatu perjanjian.

    Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas44

    :

    1. Perjanjian lisan.

    Yaitu perjanjian yang kesepakatan/kalusul yang diperjanjikan disepakati secara lisan.

    Perjanjian lisn seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa

    yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan

    pembuktian.

    2. Perjanjian tertulis.

    Bentuk perjanjian ini ada 2 yaitu perjanjian tertulis dengan kata dibawah

    tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik.

    Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat

    oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak

    disertai dengan materai? Apakah perjanjian itu sah, yang menjadi masalah adalah

    44 Salim H.S,Hukum Kontrak, Sinar Grafika. Jakarta. 2003 hal 9.

  • bukti tertulis dari perjanjian itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena hakim akan

    menolaknya menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai

    kita mengatur tentang itu.

    Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi

    salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian. Perjanjian dengan akta otentik

    adalah perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang. Siapa

    pejabat yang berwenang membuat perjanjian otentik ? Terdapat 2 pejabat yang

    berwenng yaitu notaries (untuk objek selain tanah) dan pejabat pembuat akta

    tanah/PPAT (untuk objek tanah). Konsekuensi dari perjanjian dengan akta otentik ini

    adalah tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi

    perjanjian.

    Sangat jelas bahwa perjanjian lisan merupakan kesepakatan tidak tertulis antara para

    pihak yang berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya.

    Perjanjian lisan hanya membutuhkan kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian, dalam

    asas kebebasan berkontrak kata sepakat dalam perjanjian lisan sering kali menjadi masalah

    seperti ada pihak dengan bargainin position yang lemah dipaksa atau diintimidasi oleh pihak

    lainnya dengan bargaining position yang lebih kuat untuk mencapai kata sepakat dengan apa

    yang dijanjikan dalam perjanjian lisan.

    Pada umumnya perjanjian dibuat tertulis antara para pihak yang terlibat dalam

    perjanjian namun ada pula perjanjian dibuat secara lisan dimana subjek dan objek perjanjian

    hanya dapat diyakini oleh para pihak yang membuat perjanjian perikatan. Dalam perjanjian

    yang dibuat secara lisan tidak diatur secara spesifik dalam KUHPerdata maupun dalam

    peraturan perundang-undangan lainnya sehinga pengaturan perjanjian lisan hanya mengikuti

    pengaturan perjanjian pada umumnya yang terdapat dalam KUHPerdata.

  • Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan

    belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuataan mengikat bagi para pihak yang

    membuat sehinga tidak mempunyai akibat hukum.

    Perjanjian secara lisan sebaiknya tidak dipergunakan karena dalam hal

    pembuktiannya sulit karena beban pembuktian dalam hukum perdata dibebankan pada

    kebenaran formil. Dan sangat jelas bahwa perjanjian secara lisan menimbulkan tidak adanya

    kepastian hukum dan menjadi sulit ketika timbul sengketa atau ketidaksesuaian pendapat.

    Sebagian masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya

    perjanjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Perjanjian lisan ini dari

    segi pembuktian sulit untuk dibuktikan oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara

    tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.

    E. Konsep Pengurangan Hak

    Hak-hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan kerja) yang diatur

    dan dituangkan dalam UU mengenai Ketenagakerjaan, relatif sangat banyak. Dapat saya

    contohkan (hak-hak langsung) secara berurut, antara lain misalnya:

    - hak non-diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Dalam arti, pekerja/buruh tidak

    boleh dibedakan dalam proses recruit (khususnya dalam hubungan kerja) atas

    dasar suku, agama, ras, atau etnis tertentu, dan menolak bagi yang berbeda.45

    - hak memperoleh perlakukan dan hak-hak yang sama di tempat kerja (tanpa

    diskriminasi).46

    - hak memperoleh peningkatan dan pengembangan serta pengakuan kompetensi

    kerja.47

    45

    Pasal 5 UU Ketenagakerjaan. 46

    Pasal 6 jo Pasal 65 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya. 47

    Pasal 11 dan Pasal 18 jo Pasal 23 UU Ketenagakerjaan.

  • - hak memperoleh kesempatan yang sama dalam memilih/mendapatkan pekerjaan,

    pindah kerja, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar

    negeri.48

    - hak memperoleh upah dan/atau upah kerja lembur apabila dipekerjakan melebihi

    waktu kerja normal, atau bekerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari

    libur resmi.49

    Hak inilah yang menjadi fokus penelitian saya. Manakala hak ini

    dikurangi ataupun tidak diberikan sama sekali, maka telah terjadi suatu

    pengurangan hak terhadap buruh oleh pengusaha.

    - hak menunaikan ibadah (termasuk ibadah dalam jangka waktu yang lama) dengan

    hak upah.50

    - hak untuk tidak bekerja pada saat (sakit) haid (khusus bagi wanita), walaupun no

    work no pay.51

    - hak cuti hamil dan melahirkan (termasuk gugur kandung) dengan hak upah.52

    - hak dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan

    moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat

    manusia serta nilai-nilai agama.53

    - hak jaminan sosial tenaga kerja.54

    - hak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja sesuai ketentuan.55

    - hak mogok kerja sesuai prosedur.56

    Dan,

    48

    Pasal 31 jo Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. 49

    Pasal 1 angka 30 dan Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. 50

    Pasal 81 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 51

    Pasal 81 UU Ketenagakerjaan. 52

    Pasal 82 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 53

    Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan

    Kesehatan Kerja. 54

    Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

    Sosial Tenaga Kerja. 55

    Pasal 104 UU Ketenagakerjaan jo Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. 56

    Pasal 137 dan Pasal 138 UU Ketenagakerjaan.

    http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/715/node/183/uu-no-1-tahun-1970-keselamatan-kerjahttp://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/715/node/183/uu-no-1-tahun-1970-keselamatan-kerjahttp://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/720/node/187/uu-no-3-tahun-1992-jaminan-sosial-tenaga-kerjahttp://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/720/node/187/uu-no-3-tahun-1992-jaminan-sosial-tenaga-kerjahttp://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/732/node/167/uu-no-21-tahun-2000-serikat-pekerja_serikat-buruh

  • - hak memperoleh “pesangon” bila hubungan kerjanya PKWTT atau dianggap (dan

    memenuhi syarat) PKWTT.57

    Mengenai hak atas bantuan hukum bagi tenaga kerja, perlu dipahami, bahwa saat ini

    telah ada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bankum”) yang

    memberikan jaminan hak konstitusional kepada setiap orang untuk mendapatkan pengakuan,

    jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dengan UU Bankum tersebut,

    Negara bertanggung-jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin yang

    menghadapi masalah hukum untuk mendapatkan akses keadilan.

    Bantuan hukum kepada masyarakat (orang miskin atau kelompok orang miskin)

    selaku penerima bantuan hukum dimaksud, diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak

    Asasi Manusia (Menkum HAM) yang secara operasional dilakukan oleh Pemberi Bantuan

    Hukum, yakni Lembaga Bantuan Uukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang

    memberi layanan bantuan hukum (Layanan BH) secara percuma (gratis), dengan syarat:

    a. Mengajukan permohonan secara tertulis (kecuali bagi yang tidak mampu menyusun

    permohonan secara tertulis);

    b. Menyerahkan dokumen yang terkait dengan pokok perkara; dan

    c. Melampirkan surat keterangan miskin.58

    F. Para Pihak dalam Perjanjian Kerja

    a. Buruh atau Pekerja

    Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah

    ini sudah dipergunakan sejak lama mulai dari zaman penjajahan Belanda, juga karena

    peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum UU Ketenagakerjaan) menggunakan

    istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksudkan dengan buruh adalah

    57

    Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. 58

    Pasal 14 ayat (1) UU Bankum.

    http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ed719a7bf5cb/node/29/uu-no-16-tahun-2011-bantuan-hukum

  • pekerja keras seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini

    disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor

    pemerintah maupun swasta disebut sebagai “karyawan/pegawai” (White Collar). Pembedaan

    yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah

    Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi.

    Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh

    kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang maupun badan

    hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

    Perselisihan Perburuhan, yakni buruh adalah “barang siapa yang bekerja pada majikan

    dengan menerima upah”.59

    Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan

    untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah

    (Depnaker) pada waktu kongres FBSI 11 Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah

    buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada

    golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain, yakni majikan.

    Pada masa Orde Baru, istilah pekerja khususnya Serikat Pekerja yang banyak

    diintervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan

    istilah tersebut, sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah, maka

    istilah tersebut disandingkan.

    Dalam RUU Ketenagakerjaan ini, sebelumnya hanya menggunakan istilah pekerja

    saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya, yakni UU No. 21

    Tahun 2000 yang menggunakan istilah Serikat Buruh/Pekerja. UU No.13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjan, Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang

    yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.

    59

    Pasal 1 ayat (1a).

  • Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan

    Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1992, pengertian

    “pekerja” diperluas, yakni termasuk:

    1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun

    tidak;

    2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;

    dan

    3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

    b. Pengusaha atau Majikan

    Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer

    karena perundang-undangan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan.

    UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaiaan Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa

    Majikan adalah ”orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.”

    Sehubungan dengan hal tersebut, perundang-undangan yang lahir kemudian seperti

    UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan

    menggunakan istilah Pengusaha. Dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 13 tahun 2003, menjelaskan

    pengertian pengusaha yakni:

    1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan sutu

    perusahaan milik sendiri;

    2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri

    menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan

    3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia

    mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 yang berkedudukan di luar

    wilayah Indonesia.

  • Selain pengertian pengusaha, UU No. 13 Tahun 2003 juga memberikan pengertian

    pemberi kerja, yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya

    yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.60

    Sedangkan pengertian perusahaan dalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah:

    a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, yang mempekerjakan pekerja

    dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau

    badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan buruh/pekerja

    dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun; dan

    b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

    memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.61

    G. Pengaturan Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja Shift Malam

    Menurut Pasal 76 UU Ketenagakerjaan, pekerja perempuan yang berumur kurang dari

    18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul

    07.00, yang artinya pekerja perempuan di atas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan

    bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja

    perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan

    kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul

    07.00.

    Menurut UU Ketenagakerjaan, perlu saya tekankan bahwa jam kerja yang berlaku

    adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk karyawan dengan 6 hari kerja.

    Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8

    jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja di atas

    tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, contohnya: pekerjaan di sektor

    60

    Pasal 1 angka 4. 61

    Pasal 1 angka 6.

  • pertambangan, layanan jasa 24 jam seperti Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, Call Center,

    dsb. Jam kerja pada pekerjaan ini mencapai 8 sampai 12 jam kerja dalam 1 hari.

    Untuk jam kerja shift malam, pada prakteknya karyawan shift malam bekerja selama

    7 jam dalam 1 hari selama 5 hari kerja dengan total 35 jam dalam 1 minggu, berbeda 5 jam

    dalam seminggu dibanding jam kerja shift pagi/siang. Akan tetapi ada juga perusahaan yang

    tetap mempekerjakan karyawan shift malam sama seperti karyawan shift pagi/siang yaitu 8

    jam/hari atau 40 jam seminggu dengan memberikan tunjangan shift.