bab ii tinjauan pustaka (2)
DESCRIPTION
GTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam dengue (DD/DF) dan demam berdarah dengue (DBD/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro et al., 2009).
B. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa
keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat (Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk., 2004).
2
C. Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia
sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein.
Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan
baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan
rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian (Suhendro, 2006).
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok
(Suhendro, 2006).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
3
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma
ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat
penting guna mencegah kematian (Suhendro, 2006).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris (Suhendro, 2006).
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody response
4
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin↑
Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑
> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairan dalam ronggaserosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
5
Kompleks virus antibody
Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen
Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman trombosit oleh RES platelet faktor III
AnafilatoksinTrombositopenia Koagulopati Sistem kinin
konsumtifGangguan Kininfungsi trombosit Penurunan faktor PeningkatanPeningkatan Pembekuan permeabilitas
kapiler FDP meningkat
Perdarahan massif Syok
Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi (Hadinegoro, 2004).
E.1Manifestasi Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
E.2Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
6
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian
infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai
dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD)
(Hadinegoro, 2004).
Bagan 1Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue
Asimptomatik Simptomatik
Demam tidak spesifik Demam dengue
Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok(+) (SSD)
1. Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang
bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam.
Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2
hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah
halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan
tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa
penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada
dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang
7
disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai
dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan
pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan
adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites (Hadinegoro, 2004).
2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit (Suhendro, 2006).
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit
kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan.
Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis
ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya
ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi
(Suhendro, 2006).
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan
intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia
halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum
mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan
dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi
dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun
pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun
8
pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok
(Suhendro, 2006).
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini
terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan
sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan
sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus
berat penderita dapat mengalami syok (Suhendro, 2006).
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal dibawah ini dipenuhi (Suhendro, 2006):
a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
a) Uji bendung positif
b) Petekie, ekimosis, atau purpura
c) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
d) Hematemesis atau melena
c) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
d) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
a) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
b) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
c) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemi.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
9
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Demam Berdarah Dengue
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan
atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada
saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma
biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin
III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN
ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi
10
pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan
dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi
pleura dapat ditemukan bilateral (Hadinegoro, 2004).
3. Sindrom Syok Dengue (SSD)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-
3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah
kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab,
sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan
hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati
stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok
biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau
pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai
penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna,
sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya
terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau
aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila
pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan (Hadinegoro, 2004).
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,
flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi
virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati (Hadinegoro, 2004).
F. Diagnosis
F.1 Secara Klinis
1. Kasus DBD
a) Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
b) Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, ekimosis, atau purpura
3) Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
11
4) Hematemesis atau melena
c) Trombositopenia <100.00/µl.
d) Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
- Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur dan
jenis kelamin.
- Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang
adekuat.
- Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
- Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
a) Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer menurun.
b) Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah (Hadinegoro,
2004; WHO, 2009).
F.2 Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan
demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala,
nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan,
leukopenia, uji HI ≥1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien
berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai
berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali pada
pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
F.3 Diagnosis Serologis
12
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya
infeksi virus dengue, yaitu (Suhendro, 2006):
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai
gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk
studi sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut
atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap
sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang
baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman.
Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat
antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan
HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan
lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
13
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac
Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui
kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a) Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian
diikuti dengan timbulnya IgG.
b) Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c) Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d) Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai
negatif.
e) Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat
pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka
uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk
pengelolaan kasus.
f) Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesivisitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang
untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid
IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa (Hadinegoro, 2004).
G. Diagnosis Banding
14
1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis,
demam chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia
yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan
penyakit lain (Sungkar, 2002).
2. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).
Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan
serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi,
hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih
sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan
epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok (Sungkar, 2002).
3. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula
pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda
infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel
polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED
dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada
meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan
kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis (Sungkar, 2002).
4. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit.
Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD,
tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai
demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak
dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan
DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP(Sungkar,
2002).
15
5. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada
leukimia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas
diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit,
hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat,
pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan
diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai
tanda perembesan plasma (Hadinegoro, 2004).
H. Tatalaksana Demam Berdarah
Terapi DBD pada dasarnya bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan
memberikan terapi substitusi komponen darah jika diperlukan. Pada pemberian
terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara
klinis maupun laboratoris.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat
dibagi dalam 3 bagian, yaitu (WHO, 2009):
1. Tatalaksana group A, pasien yang mungkin dapat dirawat di rumah.
2. Tatalaksana group B, pasien yang sebaiknya dirujuk untuk penanganan rumah
sakit.
a. Untuk pasien dengue dengan tanda bahaya (warning sign).
b. Untuk pasien dengue tanpa tanda bahaya (warning sign).
3. Pasien dengan dengue berat yang memerlukan penanganan darurat dan
rujukan darurat.
Tanda bahaya adalah:
1. Nyeri perut atau tenderness
16
2. Muntah berkepanjangan
3. Terdapat akumulasi cairan
4. Perdarahan mukosa
5. Letargi, lemah
6. Pembesaran hepar >2 cm
7. Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.
H.1 Grup A, pasien yang mungkin dapat dirawat di rumah
1. Anjuran rehidrasi oral dengan larutan rehidrasi oral, jus buah dan minuman
lain yang mengandung eritrolit dan gula untuk menggantikan cairan yang
hilang melalui demam dan muntah.
2. Beri paracetamol untuk demam tinggi jika pasien merasa tidak nyaman.
Interval pemberian paracetamol sebaiknya tidak kurang dari 6 jam. Jangan
berikan aspirin, ibuprofen dan NSAID lainnya karena dapat merangsang
terjadinya gastritis atau perdarahan.
3. Bawa ke rumah sakit apabila: tidak ada perbaikan klinis, nyeri perut hebat,
muntah terus menerus, akral dingin dan lambat, letargi atau gelisah,
perdarahan (contoh: BAB warna merah hitam atau muntah seperti kopi), tidak
BAK selama lebih dari 4-6 jam.
H.2 Grup B, Pasien yang sebaiknya dirujuk untuk penanganan rumah sakit
1. Untuk pasien dengue dengan tanda bahaya (warning sign)
a) Periksa hematokrit sebelum memulai terapi cairan. Berikan cairan isotonis
seperti NaCl 0,9%, RL, atau larutan Hartmann. Mulailah dengan 5-7
ml/KgBB/jam selama 1-2 jam lalu kurangi menjadi 3-5 ml/KgBB/jam
selama 2-4 jam dan lalu kurangi menjadi 2-3 ml/kgBB/jam atau kurang
tergantung pada keadaan klinis.
b) Periksa ulang keadaan klinis dan hematokrit, dan jika hematokrit tetap
sama atau meningkat sedikit, maka lanjutkan pemberian cairan dengan
kecepatan yang sam (2-3 ml/kgBB/jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda
17
vital memburuk dan hematokrit meningkat capat maka naikkan menjadi 5-
10 ml/kgBB/jam selama 1-2 jam. Periksa ulang keadaan klinis, hemtokrit
dan kaji ulang pemberian cairan.
c) Berikan cairan intravena minimal yang diperlukan untuk mempertahankan
perfusi adekuat dan urin output sekitar 0,5 ml/kgBB/jam. Cairan IV
biasanya diperlukan hanya 24-48 jam. Menurun ketika mendekati akhir
fase kritis. Hal ini diindikasikan dengan adekuat output dan atau intake
oral adekuat, atau hematokrit menurun dibawah nilai batas pasien stabil.
d) Pasien dengan tanda bahaya (warning sign) harus dipantau oleh tenaga
kesehatan hingga periode resiko berakhir. Belance cairan perlu
dipertahankan. Parameter yang harus dipantau adalah tanda vital dan
perfusi perifer (pantau tiap 1-4 jam hingga pasien meleati fase kritis) urin
output (tiap 4-6 jam), hamatokrit (sebelum dan sesudah terapi cairan, lalu
setiap 5-12 jam), glukosa darah dan fungsi organ lain (seperti ginjal, hepar
dan koagulasi)
2. Untuk pasien dengue tanpa tanda bahaya (warning sign)
a) Berikan cairan peroral. Jika tidak dapat di toleransi berikan cairan IV
dengan NaCl 0,9% atau RL dengan atau tanpa dextrose dengan kecepatan
rumatan. Untuk pasien obesitas, gunakan kalkulasi berdasarkan berat
badan ideal. Pasien dapat diberikan cairan peroral beberapa jam setelah
pemberian cairan IV. Oleh karena itu, pemberian cairan harus terus
direvisi. Berikan volume minimal yang diperlukan untuk mempertahankan
perfusi adekuat dan output cairan. Cairan IV biasanya hanya diperlukan
selama 24-48 jam.
b) Pasien sebaiknya dipantau oleh tenag kesehatan untuk pola suhu, intake
dan kehilangan cairan, urine output (volume dan frekuensi), tanda bahaya,
hematokrit, sel darah putih, serta platelet. Pemeriksaan lab (seperti fungsi
18
hepar, ginjal) juga dapat dilakukan, bergantung dari gambaran klinis dan
fasilitas rumah sakit.
H.3 Grup C, Pasien dengan dengue berat yang memerlukan penanganan
darurat dan rujukan darurat.
Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonis secepatnya sangat penting untuk
menjaga volume ekstravaskuler saat periode kebocoran plasma atau larutan
koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantai hematokrit sebelum dan sesudah
resusitasi. Tujuan akhir dari resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi
sentral dan perifer (takikardi berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat,
ekstremitas tidak pucat dan hangat, CRT < 3 detik) dan meningkatkan perfusi
organ (level kesadaran membaik, urin output > 0,5 ml/kgBB/jam, asodosis
metabolik)
19
20
21
I. Prognosis
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara
pasif atau didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah
dengue. Pada DBD kematian terjadi pada 40–50% pasien dengan syok, tetapi
dengan perawatan intensif, kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan
bertahan berhubungan dengan terapi suportif awal.Kadang-kadang terdapat sisa
kerusakan otak yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau terjadi
pendarahan intracranial.
22