bab ii tinjauan pustaka (2)

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Demam Berdarah Dengue Demam dengue (DD/DF) dan demam berdarah dengue (DBD/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro et al., 2009). B. Etiologi Demam Berdarah Dengue Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. 2

Upload: nimatul-muthmainnah-syarief

Post on 03-Dec-2015

9 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

G

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam Berdarah Dengue

Demam dengue (DD/DF) dan demam berdarah dengue (DBD/DHF) adalah

penyakit infeksi yang disebabkan virus dengue dengan manifestasi klinis demam,

nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro et al., 2009).

B. Etiologi Demam Berdarah Dengue

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus

dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang

sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4

jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe

akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan

antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat

memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.

Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4

serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di

berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang

dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa

keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3

merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan

manifestasi klinik yang berat (Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk., 2004).

2

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

C. Patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.

Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia

sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein.

Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan

baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan

rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat

menimbulkan kematian (Suhendro, 2006).

Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan

masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD

adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau

hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung

bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus

dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita

DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus

lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi

yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama

makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh

tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu

proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok

(Suhendro, 2006).

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous

infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada

seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu

3

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan

menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus

dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat

terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang

selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan

C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding

pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang

ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang

sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma

ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar

natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).

Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan

anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat

penting guna mencegah kematian (Suhendro, 2006).

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang

lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus

mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.

Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan

peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai

potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai

kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut

didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris (Suhendro, 2006).

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody response

4

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

Kompleks virus-antibody

Aktivasi komplemen Komplemen

Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin↑

Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑

> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓kasus syok 24-48 jam

Hipovolemia Cairan dalam ronggaserosa

Syok

Anoksia Asidosis

Meninggal

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi

selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit

dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh

darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada

DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-

antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di

phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan

trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet

faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi

intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen

degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody

5

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman trombosit oleh RES platelet faktor III

AnafilatoksinTrombositopenia Koagulopati Sistem kinin

konsumtifGangguan Kininfungsi trombosit Penurunan faktor PeningkatanPeningkatan Pembekuan permeabilitas

kapiler FDP meningkat

Perdarahan massif Syok

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,

aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat

mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi

trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan

memperberat syok yang terjadi (Hadinegoro, 2004).

E.1Manifestasi Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue

E.2Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue

6

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan

tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian

infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai

dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik

(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat

yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD)

(Hadinegoro, 2004).

Bagan 1Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue

Asimptomatik Simptomatik

Demam tidak spesifik Demam dengue

Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok(+) (SSD)

1. Demam Dengue

Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,

kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang

bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam.

Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2

hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah

halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan

tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah

menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa

penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada

dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang

7

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan

saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai

dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD).

Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan

pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan

adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites (Hadinegoro, 2004).

2. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan

perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya

trombositopenia dan peningkatan hematokrit (Suhendro, 2006).

Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7

hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit

kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan.

Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis

ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya

ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.

Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi

(Suhendro, 2006).

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple

Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan

intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia

halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum

mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan

perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan

dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi

dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun

pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun

8

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok

(Suhendro, 2006).

Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini

terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan

sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan

sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus

berat penderita dapat mengalami syok (Suhendro, 2006).

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua

hal dibawah ini dipenuhi (Suhendro, 2006):

a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik

b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

a) Uji bendung positif

b) Petekie, ekimosis, atau purpura

c) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

d) Hematemesis atau melena

c) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

d) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)

sebagai berikut:

a) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

b) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

c) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau

hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:

9

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak

tampak gelisah.

Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Demam Berdarah Dengue

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu

ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa

ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau

bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang

disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan

peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut

biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu

diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan

atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau

leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada

saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma

biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada

pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin

III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.

Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN

ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi

10

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan

dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi

pleura dapat ditemukan bilateral (Hadinegoro, 2004).

3. Sindrom Syok Dengue (SSD)

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-

3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah

kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab,

sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan

hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati

stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok

biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau

pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai

penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna,

sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya

terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau

aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila

pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan (Hadinegoro, 2004).

Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,

flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi

virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati (Hadinegoro, 2004).

F. Diagnosis

F.1 Secara Klinis

1. Kasus DBD

a) Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.

b) Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:

1) Uji tourniquet positif

2) Petekia, ekimosis, atau purpura

3) Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan

11

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

4) Hematemesis atau melena

c) Trombositopenia <100.00/µl.

d) Kebocoran plasma yang ditandai dengan:

- Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur dan

jenis kelamin.

- Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang

adekuat.

- Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.

- Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

2. SSD

Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :

a) Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer menurun.

b) Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah (Hadinegoro,

2004; WHO, 2009).

F.2 Secara Laboratoris

1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan

demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala,

nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan,

leukopenia, uji HI ≥1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien

berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed

dengue infection.

2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai

berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali pada

pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.

F.3 Diagnosis Serologis

12

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya

infeksi virus dengue, yaitu (Suhendro, 2006):

1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)

Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai

gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang

menginfeksi.

b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk

studi sero-epidemiologi.

c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut

atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap

sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang

baru terjadi (recent dengue infection).

2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)

Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur

pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman.

Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.

3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)

Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.

Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test

(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat

antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan

HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan

lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama

sehingga tidak dipakai secara rutin.

4. IgM Elisa (Mac. Elisa)

13

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac

Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui

kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

a) Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian

diikuti dengan timbulnya IgG.

b) Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat

ditentukan diagnosis yang tepat.

c) Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu

diulang.

d) Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai

negatif.

e) Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3

bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat

pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka

uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk

pengelolaan kasus.

f) Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan

kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan

spesivisitas yang sama dengan uji HI.

5. IgG Elisa

Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang

untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid

IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa (Hadinegoro, 2004).

G. Diagnosis Banding

14

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri,

virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis,

demam chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia

yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan

penyakit lain (Sungkar, 2002).

2. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).

Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya

mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan

serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi,

hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih

sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan

epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan

gastrointestinal dan syok (Sungkar, 2002).

3. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit

infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula

pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda

infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel

polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan LED

dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada

meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan

kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis (Sungkar, 2002).

4. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD

derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit.

Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD,

tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai

demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak

dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan

DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP(Sungkar,

2002).

15

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

5. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada

leukimia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat

anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas

diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit,

hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat,

pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan

diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai

tanda perembesan plasma (Hadinegoro, 2004).

H. Tatalaksana Demam Berdarah

Terapi DBD pada dasarnya bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan

ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan

memberikan terapi substitusi komponen darah jika diperlukan. Pada pemberian

terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara

klinis maupun laboratoris.

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan

diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat

dibagi dalam 3 bagian, yaitu (WHO, 2009):

1. Tatalaksana group A, pasien yang mungkin dapat dirawat di rumah.

2. Tatalaksana group B, pasien yang sebaiknya dirujuk untuk penanganan rumah

sakit.

a. Untuk pasien dengue dengan tanda bahaya (warning sign).

b. Untuk pasien dengue tanpa tanda bahaya (warning sign).

3. Pasien dengan dengue berat yang memerlukan penanganan darurat dan

rujukan darurat.

Tanda bahaya adalah:

1. Nyeri perut atau tenderness

16

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

2. Muntah berkepanjangan

3. Terdapat akumulasi cairan

4. Perdarahan mukosa

5. Letargi, lemah

6. Pembesaran hepar >2 cm

7. Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

H.1 Grup A, pasien yang mungkin dapat dirawat di rumah

1. Anjuran rehidrasi oral dengan larutan rehidrasi oral, jus buah dan minuman

lain yang mengandung eritrolit dan gula untuk menggantikan cairan yang

hilang melalui demam dan muntah.

2. Beri paracetamol untuk demam tinggi jika pasien merasa tidak nyaman.

Interval pemberian paracetamol sebaiknya tidak kurang dari 6 jam. Jangan

berikan aspirin, ibuprofen dan NSAID lainnya karena dapat merangsang

terjadinya gastritis atau perdarahan.

3. Bawa ke rumah sakit apabila: tidak ada perbaikan klinis, nyeri perut hebat,

muntah terus menerus, akral dingin dan lambat, letargi atau gelisah,

perdarahan (contoh: BAB warna merah hitam atau muntah seperti kopi), tidak

BAK selama lebih dari 4-6 jam.

H.2 Grup B, Pasien yang sebaiknya dirujuk untuk penanganan rumah sakit

1. Untuk pasien dengue dengan tanda bahaya (warning sign)

a) Periksa hematokrit sebelum memulai terapi cairan. Berikan cairan isotonis

seperti NaCl 0,9%, RL, atau larutan Hartmann. Mulailah dengan 5-7

ml/KgBB/jam selama 1-2 jam lalu kurangi menjadi 3-5 ml/KgBB/jam

selama 2-4 jam dan lalu kurangi menjadi 2-3 ml/kgBB/jam atau kurang

tergantung pada keadaan klinis.

b) Periksa ulang keadaan klinis dan hematokrit, dan jika hematokrit tetap

sama atau meningkat sedikit, maka lanjutkan pemberian cairan dengan

kecepatan yang sam (2-3 ml/kgBB/jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda

17

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

vital memburuk dan hematokrit meningkat capat maka naikkan menjadi 5-

10 ml/kgBB/jam selama 1-2 jam. Periksa ulang keadaan klinis, hemtokrit

dan kaji ulang pemberian cairan.

c) Berikan cairan intravena minimal yang diperlukan untuk mempertahankan

perfusi adekuat dan urin output sekitar 0,5 ml/kgBB/jam. Cairan IV

biasanya diperlukan hanya 24-48 jam. Menurun ketika mendekati akhir

fase kritis. Hal ini diindikasikan dengan adekuat output dan atau intake

oral adekuat, atau hematokrit menurun dibawah nilai batas pasien stabil.

d) Pasien dengan tanda bahaya (warning sign) harus dipantau oleh tenaga

kesehatan hingga periode resiko berakhir. Belance cairan perlu

dipertahankan. Parameter yang harus dipantau adalah tanda vital dan

perfusi perifer (pantau tiap 1-4 jam hingga pasien meleati fase kritis) urin

output (tiap 4-6 jam), hamatokrit (sebelum dan sesudah terapi cairan, lalu

setiap 5-12 jam), glukosa darah dan fungsi organ lain (seperti ginjal, hepar

dan koagulasi)

2. Untuk pasien dengue tanpa tanda bahaya (warning sign)

a) Berikan cairan peroral. Jika tidak dapat di toleransi berikan cairan IV

dengan NaCl 0,9% atau RL dengan atau tanpa dextrose dengan kecepatan

rumatan. Untuk pasien obesitas, gunakan kalkulasi berdasarkan berat

badan ideal. Pasien dapat diberikan cairan peroral beberapa jam setelah

pemberian cairan IV. Oleh karena itu, pemberian cairan harus terus

direvisi. Berikan volume minimal yang diperlukan untuk mempertahankan

perfusi adekuat dan output cairan. Cairan IV biasanya hanya diperlukan

selama 24-48 jam.

b) Pasien sebaiknya dipantau oleh tenag kesehatan untuk pola suhu, intake

dan kehilangan cairan, urine output (volume dan frekuensi), tanda bahaya,

hematokrit, sel darah putih, serta platelet. Pemeriksaan lab (seperti fungsi

18

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

hepar, ginjal) juga dapat dilakukan, bergantung dari gambaran klinis dan

fasilitas rumah sakit.

H.3 Grup C, Pasien dengan dengue berat yang memerlukan penanganan

darurat dan rujukan darurat.

Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonis secepatnya sangat penting untuk

menjaga volume ekstravaskuler saat periode kebocoran plasma atau larutan

koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantai hematokrit sebelum dan sesudah

resusitasi. Tujuan akhir dari resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi

sentral dan perifer (takikardi berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat,

ekstremitas tidak pucat dan hangat, CRT < 3 detik) dan meningkatkan perfusi

organ (level kesadaran membaik, urin output > 0,5 ml/kgBB/jam, asodosis

metabolik)

19

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

20

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

21

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka (2)

I. Prognosis

Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara

pasif atau didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah

dengue. Pada DBD kematian terjadi pada 40–50% pasien dengan syok, tetapi

dengan perawatan intensif, kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan

bertahan berhubungan dengan terapi suportif awal.Kadang-kadang terdapat sisa

kerusakan otak yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau terjadi

pendarahan intracranial.

22