bab ii tinjauan pustaka-1

7
3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Teh Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) merupakan tanaman perdu berdaun hijau (evergreen shrub) yang dapat tumbuh dengan tinggi 6 – 9 m. Tanaman teh dipertahankan dengan ketinggian hingga 1 m dengan pemangkasan secara berkala pada perkebunan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemetikan daun agar diperoleh tunas-tunas daun teh yang cukup banyak (Ghani, 2002). Klasifikasi tanaman teh adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophytae Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferae Famili : Theaceae Genus : Camellia Spesies : Camellia sinensis (L.) O. Kuntze Menurut Iskandar (1988) pada saat ini ada dua varietas teh yang terkenal yaitu Camellia sinensis var sinensis (jat China) dan Camellia sinensis var assamica (jat Assam). C. sinensis var sinensis memiliki ciri daun kecil, tegak, kaku, keras, hijau gelap, permukaan daun tidak mengkilap, dan panjangnya 0.03 – 0.06 m, sedangkan C. sinensis var assamica daunnya lebih lemas, hijau muda, agak terkulai, permukaan daun mengkilap, dan panjangnya 0.15 – 0.20 m. Teh memiliki bunga yang muncul di ketiak daun pada cabang-cabang dan ujung daun, bunganya tunggal dan ada yang tersusun dari rangkaian terkecil. Bunga teh memiliki kelopak yang terdiri dari 5 – 6 daun kelopak. Namun pada perkebunan teh jarang sekali terlihat bunga teh karena tanaman teh sering dipangkas. Buah teh berwarna hijau kecoklatan dengan biji berwarna cokelat. Tanaman teh mengalami pertumbuhan tunas yang silih berganti. Tunas tumbuh pada ketiak daun atau pada bekas ketiak daun. Tunas yang tumbuh kemudiaan diikuti dengan pembentukan daun (Adisewojo, 1982).

Upload: lanny-permata-sari

Post on 29-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka-1

3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Teh

Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) merupakan tanaman

perdu berdaun hijau (evergreen shrub) yang dapat tumbuh dengan tinggi 6 – 9 m.

Tanaman teh dipertahankan dengan ketinggian hingga 1 m dengan pemangkasan

secara berkala pada perkebunan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemetikan

daun agar diperoleh tunas-tunas daun teh yang cukup banyak (Ghani, 2002).

Klasifikasi tanaman teh adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophytae

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Guttiferae

Famili : Theaceae

Genus : Camellia

Spesies : Camellia sinensis (L.) O. Kuntze

Menurut Iskandar (1988) pada saat ini ada dua varietas teh yang terkenal

yaitu Camellia sinensis var sinensis (jat China) dan Camellia sinensis var

assamica (jat Assam). C. sinensis var sinensis memiliki ciri daun kecil, tegak,

kaku, keras, hijau gelap, permukaan daun tidak mengkilap, dan panjangnya

0.03 – 0.06 m, sedangkan C. sinensis var assamica daunnya lebih lemas, hijau

muda, agak terkulai, permukaan daun mengkilap, dan panjangnya 0.15 – 0.20 m.

Teh memiliki bunga yang muncul di ketiak daun pada cabang-cabang dan

ujung daun, bunganya tunggal dan ada yang tersusun dari rangkaian terkecil.

Bunga teh memiliki kelopak yang terdiri dari 5 – 6 daun kelopak. Namun pada

perkebunan teh jarang sekali terlihat bunga teh karena tanaman teh sering

dipangkas. Buah teh berwarna hijau kecoklatan dengan biji berwarna cokelat.

Tanaman teh mengalami pertumbuhan tunas yang silih berganti. Tunas tumbuh

pada ketiak daun atau pada bekas ketiak daun. Tunas yang tumbuh kemudiaan

diikuti dengan pembentukan daun (Adisewojo, 1982).

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka-1

4

Pemetikan Tanaman Teh

Pemetikan teh adalah pekerjaan memungut sebagian dari tunas-tunas teh

beserta daunnya yang masih muda, untuk kemudian diolah menjadi produk teh

kering yang merupakan komoditas perdagangan. Pemetikan harus dilaksanakan

menurut syarat-syarat pengolahan dan ketentuan-ketentuan sistem petikan yang

berlaku. Pemetikan juga berfungsi sebagai usaha untuk membentuk kondisi

tanaman agar tanaman mampu berproduksi tinggi secara berkesinambungan

Pemetikan teh dibagi menjadi tiga jenis yaitu pemetikan jendangan, pemetikan

produksi, dan pemetikan gendesan (Setyamidjaja, 2000).

Pemetikan jendangan merupakan pemetikan yang dilakukan pada tahap

awal setelah tanaman dipangkas dan bertujuan untuk membentuk bidang petik

yang lebar dan rata dengan ketebalan lapisan daun pemeliharaan yang cukup, agar

tanaman mempunyai potensi produksi yang tinggi. Pemetikan jendangan

dilaksanakan 2 – 3 bulan setelah pemangkasan produksi dan apabila 60 % area

yang dipangkas memenuhi syarat untuk dijendang. Pemetikan jendangan dianggap

cukup bila tunas sekunder telah dipetik dan bidang petik telah melebar dengan

ketebalan daun pemeliharaan yang cukup. Pemetikan produksi atau disebut juga

pemetikan biasa adalah pemetikan yang dilaksanakan setelah pemetikan

jendangan selesai dilakukan dan terus berlangsung secara rutin hingga tiba giliran

pemangkasan produksi berikutnya (Setyamidjaja, 2000). Nazaruddin dan Paimin

(1993) menyatakan bahwa hasil yang dapat dipetik bukan hanya sembarang petik,

tetapi perlu menggunakan rumusan petikan yang sudah ditentukan. Hal ini

dilakukan agar produksi teh tetap bermutu tinggi dan tanaman tidak rusak

karenanya. Sistem pemetikan tanaman teh dapat dibedakan menjadi tiga kategori

yaitu petikan halus, petikan medium, dan petikan kasar.

Pemetikan gendesan adalah pemetikan yang dilakukan pada kebun yang

akan dipangkas produksi dimana semua pucuk yang memenuhi syarat untuk

diolah akan dipetik. Tujuan pemetikan gendesan adalah memanfaatkan tunas-

tunas dan daun-daun muda yang ada pada perdu, karena apabila tidak dipetik akan

terbuang dengan dilaksanakannya pemangkasan. Pelaksanaan pemetikan gendesan

dimulai satu minggu sebelum pemangkasan dilaksanakan (Setyamidjaja, 2000).

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka-1

5

Gilir dan Hanca Petikan

Pusat Penelitian Teh dan Kina (1997) menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan gilir petik adalah jangka waktu antara satu pemetikan dengan pemetikan

berikutnya yang pada area yang sama, dihitung dengan hari. Panjang pendeknya

gilir petik bergantung pada kecepatan pertumbuhan pucuk. Kecepatan

pertumbuhan pucuk sangat dipengaruhi oleh umur pangkas tanaman, ketinggian

tempat, iklim, dan kesehatan tanaman. Semakin tua umur pangkas maka

pertumbuhan akan semakin lambat, sehingga mengakibatkan semakin panjang

gilir petik.

Menurut Iskandar (1988) letak perkebunan yang semakin tinggi dari

permukaan laut, maka tanaman akan semakin lambat pertumbuhannya. Tanaman

teh akan mengalami pertumbuhan yang semakin melambat pada saat musim

kemarau jika dibandingkan dengan musim hujan. Tanaman teh yang semakin

sehat, maka semakin cepat pertumbuhan pucuk, sehingga semakin pendek gilir

petik bila dibandingkan dengan tanaman yang kurang sehat. Gilir petik di daerah

dataran tinggi lebih panjang daripada di dataran rendah, demikian pula semakin

halus sistem petikan maka semakin pendek interval petik, apalagi bila jumlah

daun yang ditinggalkan lebih sedikit.

Hanca petikan adalah luas area yang harus selesai dipetik pada satu hari.

Hanca petik diatur berdasarkan gilir petik, kapasitas rata-rata pemetik, dan blok

kebun. Semakin pendek gilir petik, maka luas hanca petikan akan semakin besar,

demikian pula sebaliknya. Pengaturan hanca petik harus mempertimbangkan

keseragaman pucuk yang dihasilkan setiap hari dengan komposisi pucuk dari

umur pangkas yang seimbang, baik umur pangkas tahun pertama, kedua, ketiga,

maupun keempat. Kestabilan komposisi pucuk sangat diharapkan dalam

pengolahan agar mutu teh menjadi stabil setiap harinya (Pusat Penelitian Teh dan

Kina, 1997).

Gustiya (2005) menyatakan bahwa pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di

Pekalongan rata-rata hanca petik sebesar 2.26 patok/hari orang kerja (HOK)

dengan gilir petik yang ditetapkan yaitu 7 hari. Menurut Martlin (2005) pada

Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal, besarnya hanca petikan masing-

masing jenis petikan berbeda-beda. Rata-rata hanca petikan jendangan sebesar

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka-1

6

2.80 patok/HOK, rata-rata hanca petikan produksi sebesar 1.51 patok/HOK, dan

rata-rata hanca petikan gendesan sebesar 1.78 patok/HOK dengan gilir petik yang

dilaksanakan berkisar antara 10 – 14 hari.

Menurut Anggorowati (2008) pada Perkebunan Rumpun Sari Kemuning

di Karanganyar rata-rata hanca petikan untuk petikan jendangan dan petikan

produksi berbeda. Rata-rata hanca petikan jendangan sebesar 1.50 patok/HOK,

sedangkan rata-rata hanca petikan produksi sebesar 0.75 patok/HOK. Perbedaan

ini disebabkan oleh pucuk yang dipanen jumlahnya lebih sedikit pada blok yang

dilakukan pemetikan jendangan dibandingkan blok yang dilakukan pemetikan

produksi, sedangkan gilir petik yang diterapkan sudah sesuai dengan standar yaitu

10 – 12 hari.

Kapasitas dan Kebutuhan Tenaga Pemetik

Menurut Nazaruddin dan Paimin (1993) kapasitas pemetik adalah jumlah

pucuk yang dipetik seorang pemetik dalam satu hari kerja. Kapasitas pemetik

antar pemetik bervariasi bergantung pada cara pemetikannya. Setiap pemetik

kapasitas petiknya juga dapat berubah-ubah setiap harinya karena dipengaruhi

oleh populasi tanaman, cuaca, dan banyaknya pucuk yang dapat dipetik.

Gustiya (2005) menyatakan bahwa pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di

Pekalongan rata-rata kapasitas pemetik mencapai 16.62 kg/hari. Menurut Martlin

(2005) pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal rata-rata kapasitas

pemetik sebesar 26.87 kg/hari, sedangkan menurut Anggorowati (2008) pada

Perkebunan Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar rata-rata kapasitas pemetik

sebesar 22 kg/hari.

Pusat Penelitian Teh dan Kina (1997) mengemukakan bahwa agar

diperoleh hasil petikan yang maksimal maka salah satu faktor yang harus

diperhatikan adalah pengaturan tenaga pemetik. Selanjutnya (Setyamidjaja, 2000)

menambahkan bahwa tenaga pemetik memegang peranan penting dalam

mencapai hasil petikan secara optimal. Jumlah tenaga pemetik yang tersedia serta

keterampilan dari tenaga pemetik dalam melaksanakan pemetikan perlu

diperhitungkan dalam melaksanakan pemetikan. Kebutuhan tenaga pemetik dapat

dihitung dengan mengetahui terlebih dahulu rata-rata produksi pucuk/ha/tahun,

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka-1

7

persentase absensi pemetik dalam satu tahun (A), rata-rata kapasitas petik setiap

hari kerja (HK), serta jumlah hari kerja efektif (HKE) dalam satu tahun.

Gustiya (2005) menyatakan bahwa rasio tenaga kerja pemetik pada

Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di Pekalongan sudah ditetapkan yaitu 1.00,

sehingga kebutuhan tenaga pemetik yang dibutuhkan untuk luas area produktif

sebesar 174.9 ha adalah 175 orang/hari. Menurut Martlin (2005) rasio tenaga kerja

pemetik pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal sebesar 1.25. Hal ini

menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga pemetik di Perkebunan Rumpun Sari

Medini dengan luas area produktif sebesar 284.71 ha adalah 356 orang/hari.

Jumlah tenaga pemetik di Perkebunan Rumpun Sari Medini adalah 318 orang/hari

untuk luasan tersebut, dengan demikian berarti kebutuhan tenaga pemetik yang

diperlukan masih kurang mencukupi.

Menurut Putri (2008) rasio tenaga kerja pemetik pada Perkebunan

Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar sebesar 1.34. Hal ini menunjukkan

bahwa kebutuhan tenaga pemetik teh di Perkebunan Rumpun Sari Kemuning

dengan luas area produktif sebesar 391.97 ha adalah 525 orang/hari. Jumlah

tenaga pemetik di Perkebunan Rumpun Sari Kemuning adalah 520 orang/hari dan

telah sesuai dengan kebutuhan tenaga pemetik.

Produksi dan Mutu Teh

Nazaruddin dan Paimin (1993) mengemukakan bahwa kerapatan tanaman

teh dapat berpengaruh terhadap produksi pada saat tajuk-tajuk perdu belum saling

menutupi. Hal ini juga berarti bahwa area tanaman dengan jarak tanam yang lebih

rapat pada awal produksi akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi

dibandingkan area tanaman yang jarang, akan tetapi setelah tajuknya saling

menutup maka produksinya akan sama. Usaha memperoleh hasil pucuk yang

sebanyak-banyaknya dengan kualitas pucuk yang dikehendaki perlu

memperhatikan banyak faktor, salah satunya pemetikan. Segala tindakan teknis

terhadap tanaman hanya akan memberikan hasil yang maksimal apabila

pemetikan dilaksanakan dengan baik dan tepat.

Menurut Adisewojo (1982) produksi yang tinggi akan dicapai dengan

pemetikan kasar dan gilir petik yang pendek (6 – 7 hari), sedangkan produksi

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka-1

8

yang rendah terjadi pada pemetikan halus dengan gilir petik panjang (14 – 15

hari). Semakin kasar pemetikan maka semakin tinggi pula produksinya,

sedangkan semakin halus pemetikan maka produksinya akan semakin rendah.

Petikan kasar akan memberikan produksi lebih tinggi dengan mutu pucuk rendah,

sedangkan petikan halus memberikan produksi lebih rendah dengan mutu pucuk

yang tinggi. Oleh karena itu, petikan halus, medium, maupun kasar akan

memberikan pengaruh terhadap mutu pucuk.

Analisis Mutu Pucuk Teh

Menurut Nazaruddin dan Paimin (1993) analisis mutu pucuk teh

merupakan alat kontrol yang efektif bagi kesehatan tanaman, pekerjaan pemetikan

dan penanganan pucuk teh jadi, sejak di kebun, sampai datang ke pabrik. Selain

itu juga dapat menjadi dasar kontrol mutu hasil olahan.

Pemeriksaan pucuk yang dihasilkan pada suatu waktu tertentu perlu

dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pemetikan, baik cara maupun hasilnya

melalui analisis hasil petikan yang dilakukan setiap hari. Analisis hasil petikan ada

dua jenis, yaitu analisis petik dan analisis pucuk. Analisis petik adalah pemisahan

pucuk yang didasarkan pada jenis pucuk atau rumus petik yang dihasilkan dari

pemetikan yang telah dilakukan dan dinyatakan dalam persen. Analisis petik

ditujukan untuk mengetahui sistem pemetikan yang dilakukan serta mengetahui

kondisi pucuk di lapang. Analisis pucuk adalah pemisahan pucuk yang didasarkan

pada pucuk memenuhi syarat olah (MS) dan pucuk yang tidak memenuhi syarat

olah (TMS) yang dinyatakan dalam persen untuk mengetahui mutu pucuk yang

dihasilkan apakah sudah sesuai dengan syarat-syarat yang dibutukan untuk tujuan

pengolahan (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 1997).

Menurut Gustiya (2005) pada Perkebunan Jolotigo, PTPN IX di

Pekalongan tidak dilakukan analisis petik karena kurangnya tenaga ahli dan hanya

dilakukan analisis pucuk. Berdasarkan analisis pucuk yang dilakukan

menghasilkan 56.47 % pucuk memenuhi syarat olah (MS). Martlin (2005)

menyatakan bahwa pada Perkebunan Rumpun Sari Medini di Kendal setelah

dilakukan analisis petik dapat diketahui bahwa petikan yang dilakukan rata-rata

menghasilkan 67.8 % petikan kasar sedangkan untuk analisis pucuk dihasilkan

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka-1

9

rata-rata 34 % pucuk memenuhi syarat olah (MS). Menurut Anggorowati (2008)

pada Perkebunan Rumpun Sari Kemuning di Karanganyar setelah dilakukan

analisis petik dapat diketahui bahwa petikan yang dilakukan rata-rata

menghasilkan 52 % petikan medium dan untuk analisis pucuk dihasilkan rata-rata

66.66 % pucuk memenuhi syarat olah (MS).