bab ii tinjauan teoritisrepository.sari-mutiara.ac.id/370/4/chapter ii.pdf · juga menyebabkan...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Stroke
1. Pengertian Stroke
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagian sel-sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya
pembuluh darah di otak. Aliran darah yang terhenti membuat suplai
oksigen dan zat makanan ke otak juga terhenti, sehingga sebagian otak
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Utami P, 2011).
2. Klasifikasi Dan Etiologi
Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke,
disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak
akibat bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh
terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan
stroke hemoragik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et al., 2012). Stroke secara luas
diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik
merupakan 80% kasus stroke dan dibagi menjadi aterotrombosis arteri,
emboli otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Perdarahan otak
merupakan 20% sisa penyebab stroke dan dibagi menjadi perdarahan
intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma subdural/
ekstradural (Goldszmidt, 2011).
a. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak
terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh
sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2012).
Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh
darah otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
2
intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry
aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi
arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan
kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan
subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh
arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach dkk, 2012).
b. Stroke Iskemik
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood
flow (CBF). Nilai normal CBF adalah 50–60 ml/100 mg/menit. Iskemik
terjadi jika CBF < 30 ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10
ml/mg/menit akan terjadi kegagalan homeostasis, yang akan
menyebabkan influks kalsium secara cepat, aktivitas protease, yakni
suatu cascade atau proses berantai eksitotoksik dan pada akhirnya
kematian neuron. Reperfusi yang terjadi kemudian dapat menyebabkan
pelepasan radikal bebas yang akan menambah kematian sel. Reperfusi
juga menyebabkan transformasi perdarahan dari jaringan infark yang
mati. Jika gangguan CBF masih antara 15–30 ml/100mg/menit,
keadaan iskemik dapat dipulihkan jika terapi dilakukan sejak awal
(Wibowo, 2011).
Stroke iskemik akut adalah gejala klinis defisit serebri fokal dengan
onset yang cepat dan berlangsung lebih dari 24 jam dan cenderung
menyebabkan kematian. Oklusi pembuluh darah disebabkan oleh proses
trombosis atau emboli yang menyebabkan iskemia fokal atau global.
Oklusi ini mencetuskan serangkaian kaskade iskemik yang
menyebabkan kematian sel neuron atau infark serebri (Adam et al.,
2011; Becker et al., 2013). Aliran darah ke otak akan menurun sampai
mencapai titik tertentu yang seiring dengan gejala kelainan fungsional,
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
3
biokimia dan struktural dapat menyebabkan kematian sel neuron yang
irreversible (WHO, 1989; Adam et al., 2011; Bandera et al., 2010).
3. Patofisiologi Dengan Motorik
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran
darah ke otak berkurang atau terhenti sama sekali kedaerah distal otak
yang mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber
kalori berupa glukosa dan mineral lain serta oksigen. Iskemia terjadi ketika
aliran darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya
neuron tidak bisa mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya.
Mitokondria berubah menjadi respirasi anaerob sehingga menghasilkan
asam laktat dan perubahan pH. Perubahan bentuk metabolism ini juga
mengakibatkan penurunan jumlah neuron dalam memproduksi adenosin
triphospate (ATP) yang akan dijadikan sumber energi dalam aktivitas sel
neuron berupa proses depolarisasi (Junaidi, 2011).
Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya daerah penumbra
dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu daerah
otak yang iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengelilingi
daerah infark. Daerah ini dapat segera mengalami infark jika tidak
dilakukan tindakan penyelamatan. Daerah ini dapat diselamatkan dengan
meningkatkan aliran darah serebral menuju ke daerah tersebut dalam
waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan bertambahnya
kerusakan pada selaput sel. Akibat yang timbul adalah kalsium dan
glutamat banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan menghasilkan radikal
bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra dan
memperberat gangguan neurologis terutama stroke iskemik (Bruner dan
Suddart, 2011).
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-
fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik,
sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik,
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
4
sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area
visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta
batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target
organ. Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan
kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam
pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena
adanya serangan stroke (Junaidi, 2011).
4. Manifestasi Klinik
Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada saat ini
pasien membutuhkan pertolongan dan sesegera mungkin dibawa ke
pelayanan kesehatan. Pada saat terjadi serangan stroke, pasien akan
memperlihatkan gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda yang sering
dijumpai pada penderita dengan stroke akut adalah (Junaidi, 2011) :
a. Adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, seperti :
hemiparesis (lumpuh sebelah badan yang kanan atau yang kiri saja)
b. Mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, atau terbakar
c. Mulut atau lidah mencong jika diluruskan
d. Sukar bicara atau bicara tidak lancar dan tidak jelas
e. Tidak memahami pembicaraan orang lain
f. Kesulitan mendengar, melihat, menelan, berjalan, menulis, membaca,
serta tidak memahami tulisan
g. Kecerdasan menurun dan sering mengalami vertigo (pusing atau sakit
kepala)
h. Menjadi pelupa atau demensia
i. Penglihatan terganggu, sebagian lapanagan pandangan tidak terlihat,
gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda
sesaat (hemianopsia)
j. Tuli satu telinga atau pendengaran berkurang
k. Emosi tidak stabil, seperti mudah menangis dan tertawa
l. Kelopak mata sulit dibuka dan selalu ingin tertidur
m. Gerakan tidak terkoordinasi, seperti : kehilangan keseimbangan
n. Biasanya diawali dengan Transient Ischemic Attack (TIA) atau
serangan stroke sementara
o. Gangguan kesadaran, seperti pingsan bahkan sampai koma.
5. Faktor Risiko
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
5
Stroke disebabkan oleh banyak faktor, yang sebagian besar sesungguhnya
bisa dikendalikan. Virgil Brown, MD, dari Emory University, Atlanta,
menyatakan bahwa stroke merupakan akibat dari life style (gaya hidup)
manusia modern yang tidak sehat. Hal ini tampak pada perilaku
mengonsumsi makanan yang tinggi kolesterol dan rendah serat, kurang
dalam aktivitas fisik serta berolahraga, akibat stress/ kelelahan, konsumsi
alkohol berlebihan, kebiasaan merokok. Berbagai faktor risiko itu
selanjutnya akan berakibat pada pengerasan pembuluh arteri
(arteriosklerosis), sebagai pemicu stroke (Diwanto, 2012).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis kelamin,
dan hereditas. Walaupun faktor ini tidak dapat diubah, namun tetap
berperan sebagai pengidentifikasi yang penting pada pasien yang berisiko
terjadinya stroke, di mana pencarian yang agresif untuk kemungkinan
faktor risiko yang lain sangat penting (Gofir, 2012).
a. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1) Usia
Umur merupakan faktor risiko stroke, dimana semakin
meningkatnyaumur seseorang, maka risiko untuk terkena stroke juga
semakin meningkat. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda
atau produktif akan terbebas dari serangan stroke (Wiwit S, 2011).
2) Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke
daripada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi.
Namun anehnya, justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia
karena stroke. Hal ini disebabkan pria umumnya terkena serangan
stroke pada usia muda. Sedangkan, para wanita justru sebaliknya,
yaitu saat usianya sudah tinggi (tua) (Wiwit S., 2011).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
6
3) Garis Keturunan
Riwayat pada keluarga yang pernah mengalami serangan stroke atau
penyakit yang berhubungan dengan kejadian stroke dapat menjadi
faktor risiko untuk terserang stroke juga. Hal ini disebabkan oleh
banyak faktor, diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya, dan
gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara genetik dan pengaruh
lingkungan (Wahjoepramono, 2013)
4) Ras
Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki
insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit
putih (Wahjoepramono, 2013). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan
Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku
Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih
banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2011).
b. Faktor yang Dapat Dimodifikasi
1) Hipertensi
Tekanan darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering
dikenal dengan istilah hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik
pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Hal ini disebabkan
oleh hipertensi memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan
yang tinggi dapat mendorong Low Density Lipoprotein (LDL)
kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima lumen
pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah
tersebut (Lumongga, 2011).
2) Diabetes Melitus
Kadar gula darah yang normal adalah di bawah 200 mg/dl. Jika
kadar gula darah melebihi dari itu disebut hiperglikemia, maka orang
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
7
tersebut dicurigai memiliki penyakit diabetes melitus. Kadar gula
darah dapat dengan cepat berubah-ubah, tergantung pada makanan
yang kita makan dan seberapa banyak makanan itu mengandung
pemanis sintetis. Kadar gula darah yang tadinya normal cenderung
meningkat setelah usia 50 tahun secara perlahan tetapi pasti,
terutama pada orang-orang yang tidak aktif (Depkes, 2011).
Keadaan hiperglikemi atau kadar gula dalam darah yang tinggi dan
berlangsung kronis memberikan dampak yang tidak baik pada
jaringan tubuh, salah satunya adalah dapat mempercepat terjadinya
aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil maupun besar
termasuk pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak. Keadaan
pembuluh darah otak yang sudah mengalami aterosklerosis sangat
berisiko untuk mengalami sumbatan maupun pecahnya pembuluh
darah yang mengakibatkan timbulnya serangan stroke (Hull, 2011).
3) Dislipidemia
Kolesterol merupakan senyawa lemak kompleks yang dihasilkan
oleh hati untuk bermacam-macam fungsi, seperti membuat hormon
seks, adrenalin, membentuk dinding sel, dan lainnya (Soeharto,
2011). Hal ini mencerminkan betapa pentingnya kolesterol bagi
tubuh, akan tetapi apabila asupan kolesterol dalam makanan yang
masuk ke tubuh terlalu tinggi jumlahnya, maka kadar kolesterol
dalam darah akan meningkat. Kelebihan kadar kolesterol dalam
darah akan beraksi dengan zat lain sehingga dapat mengendap pada
pembuluh darah arteri yang menyebabkan penyempitan dan
pengerasan yang disebut sebagai plak aterosklerosis (Soeharto,
2011).
4) Merokok
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
8
Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk
meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki
kebiasaan merokok cenderung lebih berisiko untuk terkena penyakit
jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak merokok (Stroke
Association, 2010). Hal ini disebabkan oleh zat-zat kimia beracun
dalam rokok, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dapat
merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, meningkatkan
tekanan darah, dan menyebabkan kerusakan pada sistem
kardiovaskuler melalui berbagai macam mekanisme tubuh.
5) Pemakaian Alkohol
Peran alkohol dalam sumbangannya sebagai faktor risiko stroke
memang masih kontroversial dan diduga tergantung pada dosis yang
dikonsumsi. Alkohol dapat meningkatkan risiko terserang stroke jika
diminum dalam jumlah banyak, sedangkan dalam jumlah sedikit
dapat mengurangi risiko astroke (Pearson, 1994). Akan tetapi,
kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat
menjadi salah satu pemicu untuk terjadinya hipertensi, yang
memberikan sumbangan faktor risiko untuk terjadinya penyakit
stroke. Dalam sebuah pengamatan, diperoleh data bahwa konsumsi 3
gelas alkohol per hari akan meningkatkan risiko stroke hemoragik,
yaitu perdarahan intraserebral hingga 7 kali lipat (Wahjoepramono,
2011).
6) Stres
Stress mungkin bukan sebagai faktor risiko langsung pada serangan
stroke. Akan tetapi, stress dapat mengakibatkan hati memproduksi
lebih banyak radikal bebas, menurunkan imunitas tubuh, dan
mengganggu fungsi hormonal (Junaidi, 2011). Stress dibagi menjadi
tiga bentuk, yaitu : stres biologis (berupa infeksi oleh bakteri dan
virus pada sel-sel tubuh), stress psikis (mental atau emosional), dan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
9
stress fisik (aktivitas fisik yang berlebihan). Dari ketiga bentuk stress
tadi, stress psikis merupakan stress yang paling banyak dialami oleh
manusia baik disadari maupun tidak. Apabila stress psikis ini tidak
dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan kesan bahaya pada
tubuh yang mengakibatkan tubuh merespon secara berlebihan
dengan menghasilkan hormon-hormon yang membuat tubuh
waspada, seperti kortisol, katekolamin, epinefrin, dan adrenalin.
Semua hormon yang dihasilkan oleh tubuh tadi semakin banyak
ketika tubuh terus merespon stres tersebut sebagai bahaya, sehingga
dapat berdampak buruk pada tubuh (Junaidi, 2011).
7) Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol
Peran alkohol dalam sumbangannya sebagai faktor risiko stroke
memang masih kontroversial dan diduga tergantung pada dosis yang
dikonsumsi. Alkohol dapat meningkatkan risiko terserang stroke jika
diminum dalam jumlah banyak, sedangkan dalam jumlah sedikit
dapat mengurangi risiko astroke (Pearson, 1994). Akan tetapi,
kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat
menjadi salah satu pemicu untuk terjadinya hipertensi, yang
memberikan sumbangan faktor risiko untuk terjadinya penyakit
stroke. Dalam sebuah pengamatan, diperoleh data bahwa konsumsi 3
gelas alkohol per hari akan meningkatkan risiko stroke hemoragik,
yaitu perdarahan intraserebral hingga 7 kali lipat (Wahjoepramono,
2011).
8) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau olahraga merupakan bentuk pemberian
rangsangan berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi
rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat.
Aktivitas fisik sangat berhubungan dengan faktor risiko stroke, yaitu
hipertensi dan aterosklerosis. Seseorang yang sering melakukan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
10
aktivitas fisik, minimal 3 – 5 kali dalam seminggu dengan lama
waktu minimal 30-60 menit dapat menurunkan risiko untuk terkena
penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah, seperti stroke,
hal ini disebabkan oleh aktivitas fisik yang dapat membuat lumen
pembuluh darah menjadi lebih lebar. Oleh karena itu, darah dapat
melalui pembuluh darah dengan lebih lancar tanpa jantung harus
memompa darah lebih kuat (Depkes, 2011).
6. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI
atau CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik
dan hemoragik serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa
(kecurigaan stroke luas). Stroke iskemik adalah diagnosis yang paling
mungkin bila CT scan tidak menunjukkan perdarahan, tumor, atau
infeksi fokal, dan bila temuan klinis tidak menunjukkan migren,
hipoglikemia, ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et
al., 2012).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang
sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
stroke yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui
terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau
antiagregasi platelet. CT scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan
non kontras yang digunakan untuk membedakan antara stroke
hemoragik dengan stroke iskemik yang harus dilakukan untuk
mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang memberikan
gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak,
misalnya adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan kontras
yang digunakan untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme
(Lumbantobing., 2014).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
11
7. Rehabilitasi Stroke
Rehabilitasi pasca stroke merupakan suautu upaya rehabilitasi stroke
terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran dan
merupakan kumpulan program yang meliputi pelatihan, penggunaan
modalitas, alat-alat, dan juga obat-obatan. Makin dini rehabilitasi
dimulai, maka dampaknya akan semakin baik. Manfaat yang bisa
diperoleh antara lain mengoptimalkan pemulihan, menghindari
kontraktur (kekakuan) sendi, mencegah pengecilan otot, dan mencegah
komplikasi akibat tirah baring terlalu lama (seperti luka pada punggung
dan area yang mengalami tekanan terus menerus ditempat tidur)
(Andriyani, 2013).
Menurut Andriyani (2013) ada enam terapi dasar pasca stroke yaitu :
1) Terapi Fisik
Enam bulan pasca stroke merupakan gold periode (masa
keemasan/terbaik) dalam melakukan rehabilitas pasca stroke. Oleh
karena itu tidak ada alasan untuk menunda-nunda dalam memulai
latihan.
Latihan fisik yang akan diterapkan oleh seorang penderita stroke
haruslah mengikuti beberapa aturan dasar supaya hasilnya optimal.
Beberapa yang hal yang harus diperhatikan ketika melakukan latihan
fisik sebagai berikut:
a) Menitikberatkan pada latihan kekuatan, koordinasi,
keseimbangan, dan kestabilan
b) Memulai latihan dengan pemanasan terlebih dahulu supaya otot
dan sendi tidak kaku
c) Tidak memaksakan kemampuan diri
d) Memakai alat bantu dan secara perlahan berlatih untuk melepas
alat bantu tersebut.
Latihan fisik secara bertahap bisa dimulai ketika penderita pasca
stroke masih terbaring ditempat tidur namun kondisinya sudah
dinyatakan stabil oleh dokter. Diawali dengan gerakan berbaring
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
12
miring dengan dibantu oranglain (keluarga, perawat, ahli fisioterapi)
dalam posisi lurus kemudian menekuk. Jika su8dah memungkinkan,
latih penderita untuk duduk secara mandiri, tentunya dengan dibantu
terlebih dahulu kemudian lama kelamaan bisa dilepas. Disela-sela
istirahat bisa dilakukan latihan pada jari tangan seperti berlatih
menekuk jari, menjepit, dan memegang. Semakin sering dilatih maka
hasilnya akan semakin optimal. Diusahakan untuk memaksimalkan
peran aktif dari penderita, sedangkan keluarga/perawat/ahli
fisioterapi hanya berperan membantu dan memberikan dukungan
saja.
2) Terapi Okupasi
Terapi okupasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan rawat diri
penderita dan mengupayakan penderita mampu melakukan aktivitas
harian secara mandiri. Tahap ini bisa dimulai jika penderita sudah
mampu melakukan beberapa gerakan-gerakan aktif seperti berjalan
perlahan (meski masih memakai alat bantu), memegang, dan lain-
lain.
Hendaknya keluarga penderita senantiasa menyiapkan berbagai
keperluan penderita pada tempat-tempat yang terjangkau oleh
penderita. Seperti tempat air minum, peralatan makan, pakaian, dan
lain sebagainya. Untuk keperluan mandi, maka hendaknya keluarga
mengkondisikan kamar mandi yang ramah terhadap penderita pasca
stroke, seperti memasang alat yang berfungsi sebagai pegangan,
tidak membiarkan lantai dalam keadaan licin, dan menempatkan
peralatan mandi pada tempat yang mudah dijangkau. Dengan
dukungan kasih sayang keluarga, maka penderita stroke akan mampu
menjalankan aktivitas hariannya dengan baik meski dengan segala
keterbatasan.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
13
3) Terapi Wicara
Terapi wicara biasanya melibatkan ahli atau terapis wicara. Namun
demikian, dukungan keluarga tetap memegang peranan penting.
Misalnya dengan tetap melakukan komunikasi (berbicara) meski
penderita belum mampu meresponnya. Ajarkan kepada seluruh
penghuni rumah unutk menghargai penderita dan menginformasikan
apapun yang dikerjakan, misalnya meminta izin ketika akan
mengganti sprei, memakaikan baju, dan sebagainya.
4) Terapi Psikologis
Terapi psikologis bisa mellibatkan tenaga ahli (psikologi) atau bisa
juga dengan dukungan dari keluarga saja. Berikan motivasi yang
terus menerus pada penderita. Jika memungkinkan, jangan biarkan
penderita stroke merasa sendirian. Luangkan waktu untuk
menemaninya dan mengajaknya bicara meski belum bisa merespon.
Hendaknya keluarga tidak meremehkan dan selalu merespon positif
setiap keluh kesah penderita.
Seseorang yang mengalami stroke sangat rentan terhadap depresi.
Mereka mudah bersedih dan stres karena memikirkan kondisi
kesehatannya. Dibutuhkan suasana yang hangat dan kekeluargaan
supaya mereka bahagia dan merasa diperhatikan. Hendaknya kita
mendekat ketika berbicara pada mereka, dan bukan dengan berteriak
atau bersuara keras. Jangan sesekali membentak mereka, karena hal
tersebut akan sangat melukai hatinya.
5) Terapi Hobi
Terapi hobi menjadi salah satu penunjang dalam keberhasilan
pemulihan penderita pasca stroke. Dukung dan temani mereka untuk
melakukan hobinya, seperti misalnya berkebun, menyulam, atau
membuat kue. Dengan demikian, penderita akan terhindar dari stres
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
14
dan bisa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang bermanfaat.
Selama hobi tersebut tidak membahayakan, maka berikan dukungan
dan tentunya bantuan karena ada kalanya kemampuan fisik penderita
pasca stroke berkurang atau mengalami penurunan.
6) Terapi Spiritual
Kebutuhan spiritual seseorang yang mengalami stroke sangat penting
untuk diperhatikan. Ingatkan mereka untuk selalu berdoa dan
beribadah meski tidak dalam posisi normal dan ajak mereka
melakukan pengajian apabila kondisinya memungkinkan. Jika kita
hendak mengingatkan atau menyampaikan nasehat, maka hendaknya
dengan cara yang sopan dan halus. Jangan sampai penderita berputus
asa dengan kondisi kesehatannya. Pompakan semangat dan ingatkan
agar selalu bersabar supaya mendapat pahala dari Tuhan.
8. Pencegahan Stroke
Tujuan umum pencegahan stroke adalah untuk menurunkan kecacatan
dini, kematian, serta memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik.
Dikenal dua macam pencegahan pada penyakit stroke, pencegahan
yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer
dilakukan bagi mereka yang belum pernah mengalami stroke,
sedangkan pencegahan sekunder adalah pencegahan yang ditujukan
bagi mereka yang pernah atau sudah mengalami stroke (Junaidi, 2010).
a. Pencegahan Primer
Dalam pencegahan primer, dimana pasien belum pernah mengalami
stroke dianjurkan untuk melakukan 3M (Junaidi, 2010), yaitu :
1) Menghindari : rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol,
kegemukan, dan golongan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi serebrovaskuler (amfetamin, kokain, dan
sejenisnya)
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
15
2) Mengurangi : asupan lemak, kalori, garam, dan kolesterol yang
berelebih
3) Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah,
konsumsi makanan seimbang, serta olah raga teratur 3-4 kali
seminggu.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan pada mereka yang pernah memiliki
riwayat stroke sebelumnya, yaitu dengan cara :
1) Mengontrol faktor risiko stroke atau aterosklerosis, melalui
modifikasi gaya hidup, seperti mengobati hipertensi, diabetes
melitus dan penyakit jantung dengan obat dan diit, stop
merokok dan minum alkohol, turunkan berat badan dan rajin
olahraga, serta menghindari stress.
2) Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat
mengatasi krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan
cara memahami kondisi baru bagi pasien pasca stroke yang
bergantung pada orang lain.
3) Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan
stroke, seperti anti-agregasi trombosit dan anti-koagulan.
c. Pencegahan Tersier
Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan tersier
ini dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu
gaya hidup, lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan (Bustan,
2011). Pencegahan tersier ini merupakan rehabilitasi yang dilakukan
pada penderita stroke yang telah mengalami kelumpuhan pada
tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat mengalihkan fungsi
anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih normal,
yaitu dengan cara :
1) Gaya hidup: reduksi stres, exercise sedang, dan berhenti
merokok
2) Lingkungan: menjaga keamanan dan keselamatan dan dukungan
penuh dari keluarga
3) Biologi: kepatuhan berobat, terapi fisik dan bicara
4) Pelayanan kesehatan: emergency medical technic dan asuransi
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
16
B. Konsep Kekuatan Otot
1. Pengertian Kekuatan Otot
Otot adalah jaringan yang terbesar dalam tubuh (Irfan, 2010). Jaringan otot
yang mencapai 40% sampai 50% berat tubuh, pada umumnya tersusun dari
sel- sel kontraktil yang di sebut serabut otot. Melalui kontraksi, sel-sel otot
menghasilkan pergerakan dan melakukan pekerjaan (Sloane, 2006) otot
secara umum dibagi atas tiga jenis yaitu, otot rangka, otot jantung, dan otot
polos.
Kekuatan otot merupakan kemampuan otot menahan beban baik berupa
beban eksternal maupun beban internal. Kekuatan otot sangat berhubungan
dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan system
saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Dengan demikian
semakin banyak serabut otot teraktivasi, maka semakin besar pula
kekuatan yang dihasilkan oleh otot tersebut (Irfan, 2010).
Kekuatan kontraksi otot dipengaruhi oleh ukuran otot dan susunan otot.
Ukuran unit motorik dan perekruitan unit motorik, dan panjang otot saat
awal kontraksi. Latihan beban atau hambatan/tahanan (angkat beban), akan
merangsang pembesaran sel akibat sintesis miofilamen yang banyak.
Latihan daya tahan menghasilkan peningkatan mitokondria, glikogen dan
densitas kapiler. Otot yang tidak digunakan dapat mengalami atropi. Hal
ini akibat serabut otot secara progresif memendek (Saryono, 2011).
2. Fungsi Sistem Otot
Fungsi otot menurut Sloane (2006) adalah :
a. Pergerakan. Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot
tersebut melekat dan bergerak dalam bagian-bagian organ internal
tubuh
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
17
b. Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka
dan mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat
duduk terhadap gaya gravitasi
c. Produksi Panas. Kontraksi otot secara metabolis menghasilkan panas
untuk mempertahankan suhu normal tubuh.
3. Mekanisme Umum Kontraksi Otot
Impuls saraf berasal dari otak, merambat ke neuron motorik dan
merangsang serabut otot pada neuromuscular junction (tempat hubungan
sel saraf dengan otot). Ketika serabut otot dirangsang untuk berkontraksi,
miofilamen bergeser (overlap) satu dengan yang lain menyebabkan
sarkomer memendek. (Saryono, 2011).
Menurut Guyton dan Hall (2007) mekanisme kontraksi otot timbul dan
berakhirnya terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut :
a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai
ke ujungnya pada serabut otot.
b. Disetiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu
asetilkolin dalam jumlah sedikit.
c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot
untuk membuka banyak kanal melalui molekul-molekul protein yang
terapung pada membran.
d. Terbukanya kanal yang memiliki asetilkolin memungkinkan sejumlah
besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut
otot. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada
membran.
e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot dengan
cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran
serabut saraf.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
18
f. Potensial aksi ini akan menimbulkan depolarisasi membran otot dan
banyak aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot.
Potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan
sejumlah besar ion kalsium yang telah tersimpan di dalam retikulum ini.
g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin
dan miosin yang menyebabkan kedua filamen tersebut bergeser satu
sama lain dan menghasilkan proses kontraksi. Selama proses kontraksi
sejumlah ATP dipecah membentuk ADP.
h. Setelah kurang dari satu detik ion kalsium dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca dan ion-ion ini tetap
disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru datang
lagi. Pengeluaran ion kalsium dari myofibril akan menyebabkan
kontraksi otot terhenti.
4. Karakteristik Fungsional Otot
Saryono (2011) menyatakan, karakteristik fungsional otot terdiri dari :
a. Eksitabilitas atau iritabilitas; kemampuan otot untuk berespon terhadap
stimulus
b. Kontraktilitas; kemampuan otot unuk memendek secara paksa
c. Ekstensibilitas; serabut otot dapat direganggangkan
d. Elastisitas; kembalinya otot ke panjang normal setelah memendek.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Otot
Baik tidaknya kekuatan otot seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
penentu, faktor penentu tersebut antara lain :
a. Besar kecilnya potongan melintang otot (potongan morfologis yang
tergantung dari proses hipertrofi otot).
b. Jumlah fibril otot yang turut bekerja dalam melawan beban, makin
banyak fibril otot yang bekerja berarti kekuatan bertambah besar.
c. Tergantung besar kecilnya rangka tubuh, makin besar skelet makin
besar kekuatan.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
19
d. Inervasi otot baik pusat maupun perifer.
e. Keadaan zat kimia dalam otot (glikogen, ATP).
f. Keadaan tonus otot saat istirahat. Tonus makin rendah (rileks) berarti
kekuatan otot tersebut pada saat bekerja semakin besar.
g. Umur, Sampai usia pubertas, kecepatan perkembangan kekuatan otot
pria sama dengan wanita. Baik pria maupun wanita mencapai puncak
pada usia kurang 25 tahun, kemudian menurun 65% - 70% pada usia 65
tahun.
h. Jenis kelamin juga menentukan baik dan tidaknya kekuatan otot.
i. Perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata- rata kekuatan
wanita ⅔ dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam tubuh.
Faktor penting yang dapat meningkatkan kekuatan otot adalah dengan
pelatihan. Dengan pelatihan secara teratur akan menimbulkan pembesaran
(hipertrofi) fibril otot. Semakin banyak pelatihan yang dilakukan maka
semakin baik pula pembesaran fibril otot itulah yang menyebabkan adanya
peningkatan kekuatan otot. Untuk mencapai peningkatan kekuatan otot
dengan baik, diperlukan pelatihan yang disusun dan dilaksanakan dengan
program pelatihan yang tepat. Agar pelatihan yang dilakukan dapat
mencapai hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, program pelatihan
yang disusun untuk meningkatkan kekuatan otot harus memperhatikan
faktor-faktor tersebut (Sudarsono, 2011).
6. Rangsangan Saraf Terhadap Otot
Otot skelet harus dirangsang oleh sel syaraf untuk berkontraksi. Satu unit
motor diinervasi oleh satu neuron. Jika sel otot tidak dirangsang, sel akan
mengecil (atrofi) dan mati, bahkan kadang kadang diganti dengan jaringan
konektif yang irreversible ketika rusak. Gunakanlah otot atau otot akan
kehilangan fungsinya kalau tidak digunakan. Masalah akan timbul bagi
pasien yang menetap tanpa aktifitas (bedrest), dan immobilisasi anggota
tubuh (Saryono, 2011).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
20
C. Konsep Range Of Motion (ROM)
1. Pengertian Range Of Motion (ROM)
Adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi
dan peregangan otot, dimana klien menggerakkan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
Range Of Motion adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan
atau memperbaiki tingkat kesempyurnaan kemampuan menggerakkan
persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan
tonus otot (Potter & Perry, 2011).
2. Tujuan
Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot,
mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kontraktur dan
kekakuan pada sendi.
3. Manfaat
Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan
pergerakan, memperbaiki tonus otot, memperbaiki tolernsi otot untuk
latihan, mencegah terjadinya kekakuan sendi, memperlancar sirkulasi
darah.
4. Jenis Range of Motion (ROM)
a. ROM pasif
Latihan ROM yang dilakukan pasien dengan bantuan perawat di setiap
gerakan. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan
rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50% Indikasi
latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan
keterbatasan mobilisasi, pasien dengan tirah baring total. Pada ROM
pasif sendi yang digerakan yaitu seluruh persendian tubuh atau hanya
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
21
pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri.
b. ROM aktif
ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien)
dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi,
dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara
mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif).
Kekuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan
otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif.
Sendi yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh
dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.
D. Konsep Latihan ROM Dengan Bola Keret Bergerigi
1. Pengertian Bola Karet Bergerigi
Penelitian menggunakan instrument bola karet bergerigi. Bola yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bola karet berbentuk bulat,
bergerigi dengan kekuatan minimal. Untuk variable dependen
penelitian menggunakan instrument nilai kekuatan otot berdasarkan
peneliti yang telah digunakan penelitian yang telah dilakukan oleh
canning et al. (2004). Kekuatan otot pasien akan dinilai menurut
Schwenker, dalam Canning el al, (2004) dan Rasyid 2007, dalam Judi
Nurbaini (2009).
2. Tujuan
Pasien Stroke yang mengalami paresis sisi tubuhnya harus dilakukan
latihan untuk memfasilitasi proses perbaikan. Perbaikan stroke harus
dilakukan sedini mungkin, Faktor yang paling dominal mengalami
penurunan fungsi pada ekstremitas pasien stroke adalah kekuatan
ototnya dibandingkan kemampuan keterampilan gerak otot. Dengan
demikian pada latihan ROM standar maupun latihan ROM dengan bola
karet secara tidak lansung akan merangsang otak untuk terjadinya
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
22
plastisitas. Efek latihan ini Nampak pada hari ke enam setelah latihan
dimana nilai rata-rata kekuatan otot meningkat.
3. Manfaat
Untuk mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesempurnan
kemampuan mengerakan persendian secara normal dan lengkap unuk
meningkatkan massa otot dan tonus otot sehingga semakin banyak
motorik unit yang terlibat, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot.
Memberikan fasilitas pada system neouromuskuler dengan merangsang
propioseptif dan dapat merangsang reseptor sensorik dan motorik pada
jari tangan pasien stroke.
4. Handgrip Dynamometer
Handgrip Dynamometer ini digunakan untuk mengukur kekuatan otot
jari tangan pada pasien stroke.
Penilaian Laki-laki Perempuan
Ibs (kg) Ibs (kg)
Sempurna >141 >64 >84 >38
Amat Baik 123-141 56-64 75-84 34-38
Diatas Rata-rata 141-122 52-55 66-74 30-33
Rata-rata 105-111 48-51 57-65 26-29
Dibawah Rata-rata 96-104 44-47 49-56 23-25
Rendah 88-95 40-43 44-48 20-22
Sangat Rendah <88 <40 <44 <20
E. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut :
Skema 2.1
Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Kekuatan otot jari-jari tangan Latihan ROM dengan bola
karet bergerigi
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
23
F. Hipotesa Penelitian
Ho : Tidak ada perbedaan kekuatan otot jari-jari tangan pasien stroke
sebelum dan sesudah diberikan latihan ROM dengan bola karet
bergerigi di RSU. Sari Mutiara Medan 2016.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA