bab-ii-tanggungjawab-sosial-perusahaan.pdf

Upload: dr-mukti-fajar-ndshmhum

Post on 31-Oct-2015

572 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 53

    BAB II

    TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN :

    WAJIB ATAU SUKARELA ?

    Tanggung jawab Sosial Perusahaan tersebut apakah wajib atau

    sukarela telah menjadi perdebatan sejak konsep ini lahir. BAB berikut ini

    akan menguraikan perdebatan tersebut. Bagian terakhir dari bab ini akan

    menerangkan bagaimana pandangan masyarakat dan perusahaan di

    Indonesia mengenai CSR tersebut, wajib atau sukarela.

    A. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Adalah Sukarela

    Tanggung jawab sosial perusahaan adalah bersifat sukarela,

    setidak-tidaknya karena empat alasan : tujuan perusahaan mencari

    keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral, pelaksanaan CSR

    bertentangan dengan hak kepemilikan privat dan tidak sesuai dengan

    prinsip efisiensi dalam bisnis.

    1. Tujuan Perusahaan Adalah Mencari Keuntungan

    Korporasi didirikan oleh para pemegang saham untuk mencari

    keuntungan.127 Memberikan kewajiban kepada korporasi untuk

    melaksanakan CSR dianggap bertentangan dengan tujuan utama

    korporasi, yaitu mencari keuntungan. Walaupun pada awal

    kelahirannya, aktifitas korporasi adalah untuk melayani kepentingan

    127 Ian B. Lee, Corporate Law, Profit Maximization, And The "Responsible"

    Shareholder, Stanford Journal of Law, Business and Finance, 10 (Spring, 2005) : 35

  • 54

    negara dan agama,128 tetapi pada perkembangannya korporasi

    modern didirikan oleh para pemegang saham sebagai institusi untuk

    menjalankan aktifitas bisnis. Sementara, bisnis identik dengan

    kegiatan yang bertujuan mencari keuntungan. Bisnis adalah to

    provide product or services for a profit.129

    Secara konseptual, mencari keuntungan sebagai tujuan

    korporasi muncul bersamaan dengan lahirnya sistem ekonomi

    kapitalisme dalam masa industrialisasi. Pada saat mengerjakan

    proyek-proyek komersial pada awal industrialisasi di Inggris,130 dan di

    Amerika,131 korporasi bermetamorfosis menjadi lembaga privat yang

    128 Beberapa catatan mengatakan bahwa awal kelahiran korporasi terkait erat

    dengan kepentingan kekuasaaan dan agama. Bruce Brown, 2003, History of Corporation; God, Demon, Servant, Master, Parasite, Provider What is the corporation? .,Diunduh dari http://www.astonisher.com/archives/ corporation_intro.html, hal. 2-3, Abdullah Alwi Haji Hassan menceritakan di Jazirah Arab, pada abad ke 5 - 6 Masehi, pada masa pra Islam maupun pada jaman kenabian Muhammad SAW, telah ada korporasi dalam bentuknya yang sederhana, yang disebut Al Shirkah. Tujuan dari Al Sharikah selain untuk perdagangan juga untuk meyebarluaskan agama Islam ke benua Asia dan kawasan Mediterania.. Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales and Contracts in Early Islamic Commercial Law (New Delhi: Kitab Bhavan, 1997), hal. 86., Frank Ren Lpez menjelaskan : the first corporations were created to serve the public. Corporations were created as an extension of either the church or the state. "Ecclesiastical" corporations, for example, were created as a device for the church to hold property. Most early corporations, however, were created to serve the sovereignty of kings and queens. Frank Ren Lpez, Corporate Social Responsibility In A Global Economy After September 11: Profits, Freedom, And Human Rights, Mercer Law Review 55 (Winter 2004) : 743

    129 K. Bertens, op. cit., hal. 147 130 Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap dan ditenagai oleh

    mesin . Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Di unduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi Industri/

    131 Pada akhir masa kolonialisme Inggris di koloni Amerika dan masuk era revolusi Amerika 1776, British East India Company menggarap berbagai proyek perkebunan seperti perkebunan teh , kapas, proyek pertambangan dan perkeretaapian, Lee Drutman, The History of The Corporation, Citizen Work Corporate Power Discussion Group (Tanpa tahun),diunduh dari http://www.citizenworks.org/corp/dg/s2r1.pdf, hal. 1

  • 55

    mencari keuntungan semata. Segala gerak-geriknya hanya untuk

    mengumpulkan kekayaan.132

    Terkait dengan tujuan perusahaan, pendapat Adolf Berle pada

    tahun 1930an di Amerika Serikat, mengatakan bahwa, tujuan utama

    korporasi adalah mencari keuntungan untuk kepentingan pemegang

    saham bukan untuk pihak lainnya. Adolf Berle menekankan

    perlindungan hak pemegang saham dari kecurangan para direksi

    (machinations).133 Pandangan Berle ini kemudian melahirkan doktrin

    shareholder primacy dan fiduciary duty.134 Berle membangun

    shareholder primacy theory berdasarkan teori hukum hak kepemilikan

    pribadi (private property right) yang diinspirasi pemikiran John Locke.

    Inti ajaran Locke bahwa hak kepemilikan pribadi harus dipertahankan

    secara ekslusif dan tidak siapapun berhak mengambilnya tanpa hak.135

    Shareholder primacy doktrin ini mendapatkan dukungan dari

    para ahli hukum, yang mengatakan bahwa hak pemegang saham

    132 A corporation with thousands of employees and millions of customers, a

    corporation that was receiving public subsidies and encroaching on communities, a more extensive reporting system that measured the impact of the corporation on peoples lives might have made sense. This never developed, however, and the profit-generating mentality remained the dominant driving force behind corporations, Ibid., hal. 2

    133 Marjorie Kelly Citizen, The Divine Right of Capital, Works Corporate Power Discussion Groups, hal. 1 di unduh dari http://www.citizenworks.org/corp/dg/s2r1.pdf

    134 Wells menjelaskan yang dimaksud doktrin Shareholder primacy bahwa direksi bekerja untuk kepentingan pemegang saham dan doktrin fiduciary duty yaitu ajaran tentang tanggung jawab direksi sebagai pengemban amanah dari pemegang saham. C.A. Harwell Wells, The Cycles Of Corporate Social Responsibility: An Historical Retrospective For The Twenty-First Century, University of Kansas Law Review 51 (November, 2002) : 95

    135 Benedict Sheehy, Scrooge -The Reluctant Stakeholders: Theoretical Problems In The Shareholder-Stakeholders Debate, University of Miami Business Law Review 14 (Fall/Winter, 2005): 209-210

  • 56

    harus mendapatkan perlindungan hukum secara mutlak, sebagai

    konsekuensi atas empat alasan,yaitu : (1) hold the residual claims; (2)

    have the greatest risk; (3) have the greatest incentive to maximize

    firm value; and (4) have the least protection.136

    Selanjutnya, Julian Velasco dan J.A.C. Hetherington

    menjelaskan secara lebih rinci dari perspektif hukum, tentang hak-hak

    fundamental dari pemegang saham, yaitu137:

    1. Economic Rights

    Shareholders invest in corporations primarily for economic gain. There are two main ways in which shareholders can profit from a corporation: by receiving distributions of the company's profits and by selling all or part of their interest in the corporation

    2. Control Rights

    Shareholders have the right to vote on important matters relating to the business, which gives them some control over the corporation. Chief among their voting rights is the right to elect directors, who in turn manage the business. In theory, this should give shareholders ultimate control over the business.

    3. Information Rights

    Shareholders also have the right to at least some information about the corporation's affairs. For example, shareholders generally do have the right to inspect the corporation's books and records

    4. Litigation Rights

    136 Ibid., hal. 215 137 Julian Velasco, The Fundamental Rights Of The Shareholder, U.C. Davis Law

    Review 40 (December, 2006) : 413-421. Hetherington mengatakan bahwa Shareholder primacy theory juga didukung oleh teori ekonomi mengenai hak kontrol, dari pemilik modal terhadap direksi sebagai pengelola perusahaan. Sebagai pemilik modal shareholder dapat merumuskan hak kontrol tersebut . J. A. C. Hetherington, Fact And Legal Theory: Shareholders, Managers, and Corporate Social Responsibility, Stanford Law Review 21 (January, 1969) : 251

  • 57

    Shareholders also have the ability to seek judicial enforcement of their other rights under certain circumstances. Most significantly, they have the right to seek enforcement of, and redress for breach of, management's fiduciary duties to "the corporation and its shareholders" by means of derivative litigation

    Tujuan perusahaan mencari keuntungan juga telah mendapat

    penguatan secara legal pada kasus Dodge v Ford Motor Company

    ditahun 1919. Pada kasus ini Ford dikalahkan karena menjual mobil

    dengan harga murah demi memenuhi kepentingan dan kemanfaatan

    masyarakat umum (sosial).138

    Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Milton Friedman,

    bahwa satu satunya tanggung jawab sosial korporasi adalah

    meningkatkan keuntungan untuk pemegang saham sebagai tugas

    perintah moral.139 Selanjutnya Friedman mengatakan : In a free-

    enterprise, private-property system, a corporate executive is an

    employee of the owners of the business. He has direct responsibility to

    his employers.140

    Dalam menerapkan CSR, persoalan moralitas bisnis justru

    harus diredefinisikan dengan lebih jelas. Jika para pengelola atau

    direksi perusahaan melakukan CSR, dengan memberi sumbangan

    138 Dalam kasus ini Henry Ford digugat oleh rekanannya Dodge atas tindakan menjual harga mobil dengan murah. Alasan Ford adalah ; general purpose of corporation is plan benefit mankind by lowering prices and making cars available to the masses. Tetapi pada akhir persidangan, putusan hakim di Michigan Supreme Court dalam kasus ini menyatakan : A business corporation is organized and carried on primarily for the profit of the stockholders. The powers of the directors are to be employed for that end. Lihat kembali Ian B. Lee, Corporate Law ... , op cit, hal. 34

    139 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to , loc. Cit. 140 Ibid.

  • 58

    pada masyarakat atas nama perusahaan, sesungguhnya dia telah

    melakukan tindakan pribadi. Sebab direksi adalah agent dari para

    pemegang saham (fiduciary duty doctrine).141 Seperti yang dikatakan

    Friedman:

    in his capacity as a corporate executive, the manager is the agent of the individuals who own the corporation or establish the eleemosynary institution, and his primary responsibility is to them. 142

    Seperti juga yang dikatakan oleh Joel Bakan sebagai berikut:

    The "best interests of the corporation" principle, now a fixture in the corporate laws of most countries, ... [compels] corporate decision makers always to act in the best interests of the corporation, and hence its owners. The law forbids any other motivation for their actions, whether to assist workers, improve the environment, or help consumers save money ... As corporate officials, however, stewards of other people's money, they have no legal authority to pursue such goals as ends in themselves--only as means to serve the corporation's own interests, which generally means to maximize the wealth of its shareholders our legal model in corporate law has historically been premised on what is called the shareholder primacy norm. This is the idea that the directors owe their fiduciary duty to the shareholders of the corporation. The shareholders' interests are prime and directors must make their decisions with the aim of benefiting shareholders.143

    Philip R. P. Coelho dan James E. McClure memberikan

    dukungan pada pendapat Friedman. Mereka menyampaikan dengan

    141 Philip R. P. Coelho dan James E. McClure , The Social Responsibility of

    Corporate Management: A Classical Critique, Ball State University Muncie, IN, tanpa tahun, hal. 6

    142 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to , loc. cit 143Joel Bakan dalam Anita Anand dan Jessica Penley, Review Joel Bakans The

    Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and Power, Queen's Law Journal 40 (Spring, 2005) : 943

  • 59

    tegas bahwa penerapan CSR adalah awal kerusakan dari hukum

    perusahaan, yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan aturan.

    Kerusakan itu dapat mengakibatkan144:

    a. Managerial Corruption

    Dengan dalih melakukan CSR, manager perusahaan dapat

    melakukan penyalahgunaan tanggung jawabnya kepada pemegang

    saham. Mereka tidak lagi bertanggung jawab secara mutlak untuk

    meningkatkan keuntungan . Bahkan , dapat saja CSR digunakan

    untuk melayani kepentingan pribadi para manager dengan

    dukungan dan penilaian baik dari masyarakat. Setidaknya mereka

    akan mendapat kehormatan dan nama baik serta fasilitas lebih,

    hanya karena mereka menyalurkan dana perusahaan kepada

    masyarakat, yang sesungguhnya bukan kekayaan mereka pribadi.

    b. Managerial Chaos.

    CSR mengajarkan bahwa manager harus mengutamakan

    tanggungjawabnya kepada stakeholder (konsumen,rekanan,

    pemerintah,pekerja, dan masyarakat umum) akan memberikan

    efek berbahaya. Setiap orang akan merasa punya hak untuk

    menuntut korporasi memberikan sumbangan. Manager akan

    disibukkan melayani tuntutan stakeholder dan urusan perusahaan

    akan kacau balau.

    144 Philip R. P. Coelho dan James E. McClure , The Social ...,op. cit. , hal. 12- 16

  • 60

    Menggunakan kekayaan korporasi untuk tujuan sosial pada

    dasarnya adalah tindakan amoral karena menghianati kepentingan dan

    mencuri hak pemegang saham. Direksi tidak punya hak selain

    berupaya dengan maksimal untuk mencarikan keuntungan dan tidak

    ada kewajiban bagi dia untuk melakukan tindakan amal dengan harta

    korporasi.145 CSR dengan menggunakan harta kekayaan korporasi

    untuk kepentingan sosial dianggap benar-benar adil dan

    diperkenankan secara moral apabila memberikan keuntungan bagi

    korporasi.146

    Menurut filsafat deontologi, tindakan itu benar secara moral

    karena dilandasi atas hak dan kewajiban, dan bukan karena hasil atau

    manfaat yang didapat seperti yang diajarkan oleh filsafat

    utilitarianisme. Pencarian keuntungan oleh korporasi menjadi sebuah

    tindakan yang benar secara moral, karena pemegang saham

    mempunyai hak, dan direksi mempunyai kewajiban untuk

    melakukannya sesuai amanat (fiduciary duty). 147

    Jadi, tujuan utama korporsi adalah untuk memaksimalkan

    kepentingan pemegang saham, bukan memperhatikan kepentingan

    145 Joel Bakan, The Corporation, Pengejaan Patologis Terhadap Harta dan Tahta,

    diterjemahkan oleh Sri Isnani Husnayati (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hal. 5. Lihat Mukti Fajar, CSR: Tindakan Amoral Korporasi?, Kompas, 15 Agustus 2007

    146 Joel Bakan, op. cit., hal. 31 147 K Bertens, op. cit., hal. 66-70

  • 61

    masyarakat umum.148 Oleh sebab itu, konstruksi hukum yang ada

    sekarang, telah memberikan mandat bagi korporasi, untuk mencari

    keuntungan bagi pemiliknya (maximizing returns to shareholders),

    sebagai nilai universal yang diterima oleh seluruh hukum bangsa-

    bangsa di dunia.149

    Misalnya, dalam Uniform Partnership Act 1969, Pasal 6 ayat 1

    disebutkan, as an association of two or more owners to carry on a

    business for profit.150 Dalam Revised Model Business Corporation Act

    1984 (RMBCA 1984) ada berbagai bentuk perusahan. Salah satunya

    adalah perusahaan yang mencari untung (profit corporation) , yaitu a

    corporation created to conduct a business for profit that can distribute

    profits to shareholder in the form of devidends.151

    148 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju

    Dunia Yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), loc. cit.

    149 Marjorie Kelly Citizen, op. cit. 150 Uniform Partnership Act 1969 dalam Robert Charles Clark, Corporate Law,

    (New York:Aspen Law Publisher , 1986), hal. 5. Lihat dalam Modern Business Corporation Act 1950 pasal 2 ayat 1-3

    151 Sebagai pembanding berbagai penggolongan bentuk perusahaan di Amerika lebih beragam. Ada yang profit oriented dan adapula yang non profit oriented. Revised Model Business Corporation Act 1984 (RMBCA 1984) menyebutkan:

    1. Profit and Non Profit Corporation a. Profit corporation: A corporation created to conduct a business for profit

    that can distribute profits to shareholder and the form of devidends b. Non Profit Corporation: A corporation that is formed to operte charitable

    institutions, college, universities, and other non profit entities. 2. Public and Private Corporation a. Public Corporation: A corporation that is formed to meet spesific

    govermental or political purpose b. Private Corporation: A corporation that is formed to conduct privately

    owned business 3. Publicly Held and Closely Held Corporation a. Publicly Held Corporation: A corporation that has many shareholders and

    whose securities are often traded on national stock exchange

  • 62

    Tujuan korporasi mencari keuntungan menurut Kent Greenfield

    dan Peter C. Kostant sudah menjadi pandangan para ekonom klasik,152

    yang dikonsepsikan secara mendalam oleh Adam Smith dalam buku

    An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation yang

    legendaris. Bahkan Adam Smith menekankan bahwa mencari

    keuntungan merupakan cerminan watak dari para pelaku bisnis yang

    menjalankannya. Sifat ramah dan memberikan pelayanan dari para

    pebisnis selalu disertai niatan pamrih atas keuntungan yang mereka

    harapkan dari para pelanggan.153

    Menurut Teori Keuntungan (Profit Theory), setidaknya ada tiga

    elemen yang harus diperhatikan para pelaku bisnis tentang perlunya

    korporasi mencari keuntungan yaitu : (1) a payment for the use of

    capital, (2) a payment to the entrepreneur for management service

    b. Closely Held Corporation: A corporation owned by one or few shareholders 4. Professional corporation : A corporation formed by lawyers, doctors, or

    other professionals 5. Domestic , Foreign, and Alien Corporation a. Domestic Corporation: a corporation in the state in which it was formed b. Foreign Corporation: a corporation in any state or jurisdiction other than

    the one in which it was formed c. Alien Corporation : a corporation that is incorporated in another country Henry R Cheeseman, Business Law, (New Jersey : Prentice Hall, 2004), hal. 676-

    679 152 Kent Greenfield dan Peter C. KostantGeorge, An Experimental Test Of Fairness

    Under Agency And Profit-maximization Constraints (With Notes On Implications For Corporate Governance), Washington Law Review 41 (November, 2003) : 984

    153 Adam Smith mengatakan It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities but of their advantages Edwin Cannan, Adam Smith : An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation, (New York: The Modern Library, 1965), hal. 14, selanjutnya Adam Smith mengatakan : People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices ,Ibid, hal. 110

  • 63

    rendered, and (3) a payment that compensated for the risks of

    business activity.154

    Menurut Frank Knight, pencarian keuntungan oleh korporasi

    merupakan konsekuensi logis dari bisnis yang selalu berhadapan

    dengan kondisi ketidakpastian (uncertainty business environment)

    dan ancaman keniscayaan kerugian.155 Konsep ini merupakan salah

    satu penjelasan bahwa mencari keuntungan adalah hak normarif yang

    muncul karena adanya kewajiban menanggung (kemungkinan)

    kerugian (risk) dari ketidakpastian (Uncertainty ) bisnis itu sendiri.

    Profit is the reward for risk taking, profit is is due to the assumption of

    risk. 156

    Frank Knight menambahkan, bahwa mencari keuntungan

    sangat terkait dengan dinamika pasar sebagai berikut :

    Profits exist because there are uncertainties in the market that are not insurable. These arise from dynamic changes in the market. However, if we drop the assumption of perfect competition, profits may arise for a number the most important of reasons.157

    154 Landreth and Colander, Profit Theory in Neoclassical Economics, (tanpa

    tahun), hal. 3 diunduh dari http://economistsview.typepad.com/ economistsview/ 2007/06/profit_theory_i.html

    155 There problem of profit in distributive theory: The primary attribute of competition, universally recognized and evident at a glance, is the "tendency" to eliminate profit or loss, Frank Knight, Risk, Uncertainty, and Profit Hart, ( New York: Houghton Mifflin Company, 1964), hal 11

    156 Ibid., hal. 16 157 Frank Knight dalam Landreth and Colander, Profit Theory in , loc.cit

  • 64

    Bramantyo menegaskan bahwa resiko sama dengan

    ketidakpastian itu sendiri. Dia memberikan penjelasan hubungan

    antara resiko dan ketidakpastian dalam bisnis sebagai berikut 158:

    (1) Ketidakpastian adalah resiko yang tidak dapat diperkirakan

    (unexpected),

    (2) Ketidakpastian diartikan dengan keadaan dimana ada beberapa

    kemungkinan, dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang

    berbeda. Sedangkan resiko muncul karena ketidakpastian informasi

    yang didapat.

    Tetapi, inti dari semua uraian tersebut menjelaskan bahwa

    bisnis selalu berhadapan dengan berbagai peluang. Baik untuk

    mendapatkan keuntungan dan kemungkinan kerugian karena resiko

    atas ketidakpastian yang muncul. Untuk itu, keuntungan merupakan

    hasil dari kemampuan mengatasi resiko bisnis.

    Frank H Knight menguraikan secara lebih rinci pengertian dan

    kegunaan business profit sebagai berikut159:

    (1) payment for certain risks, especially changes in values and

    the chance of failure of the whole enterprise, which cannot

    be insured against, and

    158 Bramantyo Djohanputro, Menejemen Resiko Korporat Terintegrasi :

    Memastikan Keamanan dan Kelanggengan Perusahaan (Jakarta : Penerbit PPM, 2006), hal. 14-17

    159 Frank Knight, , Risk, Uncertainty, and Profit, op. cit. hal. 17

  • 65

    (2) the extra productivity of the manager's labor due to the fact

    that he is working for himself, his "sleepless nights" when he

    is planning for the business.

    Selain itu H v Mongoldt menjelaskan profit sebagai berikut 160:

    (1) a premium on those risks which are of such a nature that he

    cannot shift them by insurance;

    (2) entrepreneur interest and wages, including only payments

    for special forms of capital or productive effort which do not

    admit of exploitation by any other than their owner;

    (3) entrepreneur rents. These last again fall into four

    subdivisions: (a) capital rents,(b) wage rents,(c)large

    enterprise rent, and (d)"entrepreneur rent in the narrower

    sense".

    Dari relativitas makna keuntungan, menempatkan berbagai

    bagian yang penting dan saling terkait dengan aspek-aspek

    operasional korporasi. Tetapi, yang pasti, mencari keuntungan tidak

    bisa dimaknai hanya untuk menumpukkan keuntungan semata.

    Keuntungan harus dimaknai sebagai upaya mengatasi berbagai

    masalah dari kelangsungan bisnis (corporate sustainability).

    Uraian-uraian diatas menunjukkan konsep korporasi mencari

    keuntungan ini semakin menguat, hingga menjadi norma hukum yang

    160 Ibid.,22

  • 66

    harus ditaati. Henry Hansmann and Reinier Kraakman memberikan

    argumen dalam artikel "the end of history for corporate law" yaitu :

    it is settled that the main purpose of corporate law is to maximize "long-term shareholder value," It is claim that legal systems in other nations are converging towards this position, or will slowly but surely be drawn to it, in large part because of its inherent superiority.161

    Sesungguhnya ada berbagai model teori yang ditawarkan yaitu

    oleh Henry Hansmann and Reinier Kraakman mengenai tujuan

    perusahaan, yaitu : (1) The Manager Oriented Model (2)The Labor

    Oriented Model (3) The State Oriented Model (4) Stakeholder Oriented

    Model dan (5) Shareholder Oriented Model. Tetapi dari berbagai

    alternatif model tersebut Henry Hansmann dan Reinier Kraakman

    menyimpulkan bahwa Share holder oriented model akan menjadi

    model standard untuk hukum perusahaan yang diacu oleh semua

    sistem hukum di dunia.162

    Menurut mereka, model standard ini memiliki 5 karakter

    utama yaitu: (1) Kontrol utama dalam perusahaan harus dilimpahkan

    pada pemodal; (2) Manajemen perusahaan harus dibebani dengan

    kewajiban untuk mengatur kepentingan pemodal; (3) Kepentingan

    stakeholder seperti kreditor, pekerja, konsumen, supplier dan

    masyarakat umum dilindungi lewat mekanisme kontraktual dan

    161 Ian B. Lee, Corporate Law, Profit Maximization...,op cit, hal. 33 162 Hansmann and Reinier Kraakman, The End Of History For Corporate Law,

    Business Discussion Paper Series No 280 (Boston: Harvard Law School, 2000) hal. 3-11 dinduh dari http://lsr.nellco.org/harvard/olin/papers/280

  • 67

    regulasi diluar wilayah corporate governace; (4) Pemilik modal kecil

    harus mendapat perlindungan dari eksploitasi pemodal besar dan ; (5)

    Nilai jual saham (dipasar modal) harus menjadi tolok ukur

    kepentingan pemodal di perusahaan publik.163

    Dalam diskursus yang lain, pencarian keuntungan sebagai

    tujuan utama korporasi disebabkan karena konsekuensi atas

    penggunaan modal (capital) yang di investasikan oleh para pendiri

    (pemegang saham). Sebab kekayaan yang dikapitalisasikan, secara

    normatif menuntut adanya pertambahan nilai.164

    Simonde de Simondi, seorang ekonom Swiss abad 19

    mengatakan bahwa kapital adalah sebuah nilai tetap yang berbiak

    dan tidak akan binasa.165 Jean Baptise Say, seorang ekonom besar

    Perancis mengatakan bahwa :

    Kapital pada hakekatnya tidak bersifat material, karena bukan masalah hal apa yang menciptakan kapital itu, tetapi nilai yang terkandung dalam hal itu sendiri.166

    Hernando de Soto memberikan definisi kapital yang lebih

    sederhana yaitu, kekuatan yang mendorong produktivitas kerja dan

    menciptakan kekayaan bangsa.167 Para pendiri atau pemegang saham

    memasukkan uang atau barang kedalam korporasi untuk dikapitalisasi

    163 Ibid., hal. 9 164 Hernando de Soto, The Mistery of Capital: Rahasia Kejayaan Kapitalisme Barat

    diterjemahkan oleh Pandu Aditya (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004), hal. 8-10 165 Ibid., hal. 52 166 Ibid., hal. 53 167 Ibid., hal. 54

  • 68

    (capitalization). Capitalization adalah the total amount of long term

    financing used by a business.168 Proses kapitalisasi inilah menurut

    William Cook yang membuat pencarian keuntungan sebagai

    konsekuensi logis dari bisnis.169

    Karena tujuan utama dari korporasi adalah mencari keuntungan

    maka banyak pihak yang berpendapat bahwa pelaksanaan CSR

    sebaiknya dengan prinsip sukarela (voluntary). Seperti Uni Eropa

    dalam Kebijakan Green Paper on Promoting a European Framework for

    Corporate Social Responsibility menyatakan, CSR adalah tanggung

    jawab yang didasarkan pada prinsip sukarela (voluntary basic).170

    Begitu pula dengan International Labour Organization yang

    memberikan definisi bagi CSR sebagai inisiatif dalam ranah sukarela

    (voluntary initiative).171

    Niamh Garvey dan Peter Newel mengutip pendapat World

    Bank mengatakan bahwa CSR lebih baik selalu dalam bentuk

    kesukarelaan melalui pendekatan pasar dari pada diatur oleh

    168 Ibid., hal. 223 169 William Cook dalam Adam Winkler, Corporate Law Or The Law Of Business?:

    Stakeholders And Corporate Governance At The End Of History, Law and Contemporary Problems, Case Studies in Conservative and Progressive Legal Orders 67 (2004) : 112-113

    170 Menurut Green Paper on Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility disebutkan CSR is concept whereby companies integrated social and enviromental concerns in their business operations and their interaction with their stakeholder on a voluntary basis, Saleem Sheikh, Promoting Corporate Social Responsibilities Within The European Union, International Company and Commercial Law Review 13 (2002) : 143

    171 CSR is an area of voluntary initiative ini which enterprises develop their own approaches that go beyond legally required action to consider the impact of their activities on their workers, communities of operation and stakeholders, Janelle Diller, United Nation Reseach Institute for Social Development, International Labour Office, Switzerland.. (Switzerland: 2004), Diunduh dari www.ilo.org/public/english/ revue/articles/ind99.htm

  • 69

    peraturan perundangan secara formal.172 Pernyataan sejenis juga

    disampaikan oleh Elkington dan Gills yang mengajukan pendekatan

    liberalisme (laissez faire) pada konsep CSR ,yaitu:

    Corporate voluntarism and strategies of partnership, which are at the heart of mainstream CSR approaches, are regarded as win-win, whereby the social and environmental performance of the firm is increased and corporations benefit from increased efficiency, productivity and enhanced reputation . This will be termed the liberal CSR approach as it relies on a laissez-faire approach to the question of business regulation. 173

    Bahkan World Trade Organization (WTO) dalam beberapa

    kebijakannya justru tidak mendukung adanya CSR walau tidak secara

    langsung. Joris Oldenzield dan Myriam Vender Stichele dalam kertas

    kerja SOMO Discussion memaparkan sebagai berikut174:

    1). Regulasi WTO mengatur pemerintah bukan mengatur korporasi

    2). Aturan-aturan WTO seperti GATTS Rules mengatur standar batas

    perijinan dan kewenangan bagi pemerintah untuk mengatur

    perilaku korporasi. Jika ini dilanggar maka akan mendapat

    tantangan dari anggota lainnya.

    172 Menurut World Bank, CRS lebih baik dilakukan dengan market-based

    approaches are regarded as more effective solutions to environmental problems than formal command and control mechanisms , Niamh Garvey and Peter Newell, op. cit., hal. 2

    173 Elkington, J., Cannibals with Folks: The Triple Bottom Line of the Twenty-first Century (Oxford : Capstone, 1998). Lihat Gill, S., Globalisation, market civilization and disciplinary neo-liberalism, Millennium Journal of International Relations, Vol 24 No 3 (1995) : 413.

    174 Joris Oldenzield dan Myriam Vender Stichele, Trade and The Need to Apply Corporate Social Responsibility Standard, SOMO Discussion Paper 2 (2005) hal. 1 - 2

  • 70

    3). Prinsip non diskriminasi WTO bertentangan dengan mekanisme

    CSR yang harus membedakan bagi perusahaan yang menerapkan

    dan tidak menerapkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup.

    Kalaupun dilakukan maka standarisasi tersebut harus diberlakukan

    bagi semua korporasi, lokal maupun asing.

    4). Aturan WTO tidak begitu jelas. Pertama, dengan jalan apa label

    kewajiban sosial dan lingkungan digunakan dalam perjanjian

    teknik pembatasan perdagangan, khususnya kapan ketentuan

    tersebut dapat membatasi perdagangan?. Kedua, sejauh mana

    pemerintah dapat menggunakan klausula pengecualian dari Article

    XX of GATT untuk membatasi perdagangan. Ketiga, dapatkah

    pemerintah menggunakan konfensi ILO atau lingkungan hidup

    dalam praktek pengadaan barang jasa ?

    5). WTO membuat sulit bagi pemerintah untuk menentang

    perusahaan atau negara lain yang tidak menerapkan Prinsip

    Tindakan Pencegahan ( precautionary principle). Ini bisa dilihat

    dari kasus Amerika Serikat melawan Uni Eropa yang tidak

    memperhatikan perijinan bagi import organisme rekayasa genetik

    ( genetic modified organism).

  • 71

    Anne T Lawrence dan James Weber memberikan penjelasan

    tentang argumentasi yang mendukung CSR berdasarkan prinsip

    voluntary, yaitu 175:

    1). Lowers Economic Efficiency and Profit

    Kewajiaban CSR akan menurunkan tingkat pendapatan dan

    efisiensi. Setidaknya ada pengeluaran tambahan untuk

    melakukan CSR

    2). Imposes unequal costs among competitors

    Dengan mengeluarkan biaya tambahan, korporasi akan berat

    dalam menghadapi kompetitornya. Sebab pengaturan CSR belum

    berlaku secara global sehingga menimbulkan perlakuan yang

    tidak sama (unequal).

    3). Imposes hidden cost passed on to stakeholders

    Banyak proposal program sosial yang diajukan kepada korporasi

    tidak sejalan dengan aktifitas bisnisnya. Pada akhirnya ada dana

    yang harus dikeluarkan dengan mengurangi hak pemegang

    saham, menaikkan harga jual pada konsumen atau menekan

    upah buruh.

    4). Requires Skills Business May Lack

    Pada umumnya pelaku bisnis tidak dididik untuk mengatasi

    persoalan sosial. Mereka menguasai tentang produksi, keuangan

    175 Anne T. Lawrence, and James Weber. Business and Society: Corporate

    Strategy, Public Policy, Ethics. ( New York: Irwin McGraw-Hill, 2008) hal. 53-55

  • 72

    atau pemasaran. Hal ini menimbulkan persoalan mengenai

    efektifitas dan efisiensi pelaku bisnis dalam bekerja.

    5). Places responsibility on Business Rather than Individual

    Beberapa gagasan mengatakan bahwa tanggung jawab sosial

    adalah tanggung jawab individual dan bukan tanggung jawab

    badan (korporasi). Apabila ada manager secara pribadi

    menyalurkan uangnya pada masyarakat itu adalah betul, tapi

    tidak dapat dibenarkan apabila menggunakan uang korporasi.

    Di beberapa negara Uni Eropa banyak yang menentang CSR

    diatur dalam Legally Binding Standards. Argumentasinya didasarkan

    pada beberapa hal berikut ini176:

    a). Voluntary nature of CSR

    Dari awal kelahiran istilah CSR, secara fundamental di definiskan untuk tindakan sukarela . Terminolgi "social responsibility" tidak bisa diartikan kedalam "legal obligations.". Sehingga , dari prespektif ini menjadi tidak logis untuk membicarakan CSR dalam bingkai peraturan (regulation). CSR mencerminkan tindakan cultural korporasi yang akan mengarahkan korporasi untuk bertanggung jawab pada persoalan sosial. Argumen ini menghadapi tantangan bahwa tidak adanya definisi tungal secara universal dari CSR itu sendiri. Secara praktis Negara negara Uni Eropa telah mewajibkan melalui Peraturan tentang Ketenagakerjaan, Lingkungan Hidup, dan kewajiban memberikan laporan tahunan atas kegiatan korporasi dalam keterlibatannya dengan lingkungan sosial.

    b). Reluctance to interfere with the private sector

    176 Pall A. Davidsson, Legal Enforcement Of Corporate Social Responsibility Within

    The EU, Columbia Journal of European Law 8 (Summer, 2002), hal. 541-547

  • 73

    Salah satu alasan dari Komisi Eropa untuk mengatur penerapan CSR adalah rasa skeptis terhadap persoalan yang masuk wilayah privat. Hal ini dikhawatirkan akan menganggu prinsip kebebasan dalam dunia bisnis. Sesungguhnya sudah banyak kesepakatan diantara anggota komisi dalam mengatur akuntabilitas korporasi secara hukum seperti perlindungan lingkungan hidup dan anti monopoli. Tetapi disisi lain Hukum di Uni Eropa sangat menghargai hak hak sipil seperti kebebasan untuk melakukan perdagangan dan kompetisi, juga hak hak sosial (seperti persamaan upah untuk pekerjaan yang sama). Sehingga pengaturan secara tegas terhadap CSR akan melanggar hak-hak dan kebebasan individu.

    c). Equivalent to a European version of the Helms-Burton Act.177

    Dalam hubungan eksternal , Uni Eropa ingin menerapkan mekanisme dan sanksi seperti yang diatur dalam Helms-Burton Act. Bagi perusahaan-perusahaan eropa yang melakukan transaksi dengan Negara negara yang dianggap musuh seperti Negara Kuba. Persoalan extra teritorial dikedepankan dengan argumentasi politik Internasonal Uni Eropa yang anti komunis. Persoalannya dalam kontek CSR , anggota Uni Eropa belum sepakat untuk menyepadankannya dengan The Helms-Burton Act. Hal ini disebabkan karena alasan, pertama : Sistem peradilan di Uni Eropa tidak akan memberikan keputusan terhadap persoalan yang berada diluar jurisdiksi hukum , dimana negara-negara Uni Eropa mengatur. Kedua tujuan dari Helms-Burton Act dan Pengaturan CSR secara fundamental berbeda. Helms-Burton Act memberikan sanksi kepada korporasi yang bertransaksi dengan pihak yang merusak (violator), sementara CSR akan memberikan sanksi bagi Korporasi yang melakukan pengerusakan (violation).

    2. CSR Adalah Kewajiban Moral dalam Etika Bisnis.

    177 Helms-Burton Act Adalah Undang-undang yang diajukan oleh Senator Jesse

    Helms dari negara bagian North Carolina dan Dan Burton dari negara bagian Indiana yang disahkan Konggres Amerika pada 12 Maret 1996. Undang-undang ini pada prinsipnya akan memberikan sanksi bagi perusahaan perusahaan yang melakukan perdagangan dengan Negara Kuba yang menganut politik komunis. Sanksi yang diberikan dalam bentuk embargo ekonomi, Jeffrey Dunning, The Helms-Burton Act: A Step In The Wrong Direction For United States Policy Toward Cuba, Journal Of Urban And Contemporary Law, Vol 54 (1998), hal. 213

  • 74

    CSR seringkali dikaitkan dengan persoalan etika dalam bisnis.

    Kajian etika dalam bisnis akan memberikan fokus pada perilaku

    korporasi dalam beroperasi, yang diukur dengan aspek moralitas.

    Etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam

    ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji

    atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak dari perilaku

    manusia. Sementara kegiatan ekonomi merupakan suatu bidang

    perilaku manusia yang penting.178 Berkaitan dengan CSR adalah

    bentuk dari etika bisnis yang didasarkan pada moralitas, maka

    sifatnya adalah voluntary.

    Secara universal ada hubungan antara etika dalam arti hukum

    dan etika dalam arti moral bisnis. Keduanya dibangun dengan

    menggunakan common ethical traditions. Tradisi ini menggunakan

    teori-teori etika klasik (kuno/accient).179 Selain itu etika dalam bisnis

    juga dibangun berdasarkan ajaran dari berbagai agama.180

    Secara umum, etika adalah ilmu normatif penuntun

    manusia, yang memberi perintah apa yang mesti kita kerjakan dalam

    178 K Bartens, op. cit., hal. 33 179 Rob Atkinson, Connecting Business Ethics And Legal Ethics For The Common

    Good: Come, Let Us Reason Together, Journal of Corporation Law 29 (Spring 2004) : 476 180 An Interfaith Declaration menyampaikan beberapa prinsip agama yang

    dikaitkan dengan etika bisnis yaitu : (1). Justice ;(2). Mutual Respect; (3). Stewardship; (4) . Honesty . Simon Webley, "Values Inherent An Interfaith Declaration. A Code of Ethics on International Business for Christians, Muslims and Jews , (Amman, Jordan. 1993), Lihat John Hick, Towards A Universal Declaration Of A Global Ethic A Christian Comment, diunduh dari http://astro.temple.edu/~dialogue/Center/hick.htm. Lihat Khalid Duran, Leonard Swidler's Draft Of A Global Ethic: A Muslim Perspective di unduh dari http://astro.temple.edu/~dialogue /Center/duran.htm

  • 75

    batas-batas kita sebagai manusia, dengan segala

    tanggungjawabnya. Etika menunjukkan kita dengan siapa dan apa

    yang sebaiknya dilakukan. Maka, etika diarahkan menuju

    perkembangan aktualisasi kapasitas terbaik manusia.181 Henry

    Cheeseman memberikan definisi yang singkat mengenai etika yaitu :

    a set of moral principles or value that governs the conduct of an

    individual or a group .182 Secara lebih rinci Rafik Issa Beekun

    menjelaskan:

    Ethics may be defined as the set of moral principles that distinguish what is right from what is wrong. It is a normative field because it prescribes what one should do or abstain from doing. 183

    Sementara itu, moralitas didefinisikan oleh ensiklopedia

    sebagai berikut:

    morality means a code of conduct held to be authoritative in matters of right and wrong, whether by society, philosophy, religion, or individual conscience. In its second normative and universal sense, morality refers to an ideal code of conduct, one which would be espoused in preference to alternatives by all rational people, under specified conditions.184

    181 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Etika Moral

    (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hal. 13-19 182 Henry R Cheeseman, Business Law, op cit , hal. 149 183 Rafik Issa Beekun, Islamic Business Ethics, University of Nevada And Islamic

    Training Foundation, International Institute of Islamic Though (1996), hal. 2, diunduh dari www.muslimtents.com/aminahsworld/ethicshm.pdf

    184 Morality, Wikipedia, Encyclopedia. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Morality

  • 76

    Caroll dan Buchholtz memberi definisi untuk etika bisnis

    yang dikaitkan dengan persoalan efisiensi, keadilan dan

    persamaan, sebagai berikut:

    Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.185

    Dalam perekonomian yang berjalan berdasarkan prinsip

    pasar yaitu bisnis adalah bisnis, kebebasan berusaha adalah yang

    utama. Namun kebebasan tersebut mengandung kewajiban untuk

    memastikan bahwa, kebebasan itu digunakan secara

    bertanggungjawab untuk memberikan nilai tambah bagi

    perusahaan.186

    Persoalan etika bisnis pada umumnya muncul karena adanya

    tanggungjawab korporasi kepada pihak-pihak diluar perusahaan

    (nonshareholder constituencies), seperti tenagakerja, konsumen,

    suppliers dan kelompok masyarakat lainnya. Perihal inilah yang

    185 Caroll & Buchholtz, Business & Society - Ethics and Stakeholder Management,

    di uduh dari http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/ 0324225814/nofieiman-off20/ 186 F. Antonius Alijoyo, Corporate Code of Conduct, Forum for Corporate

    Governance in Indonesia, diunduh dari http://www.fcgi.or.id

  • 77

    membuat persoalan menjadi komplek jika dilihat dari The contractual

    theory of the firm .187

    Nilai-nilai dasar yang menjadi tolok ukur etika bisnis adalah

    tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan bisnis. Apakah

    dalam usahanya mengambil keuntungan dari konsumen dilakukan

    dengan melalui persaingan usaha yang fair, transparan, dan etis.

    Perbuatan yang termasuk dalam unethical conduct misalnya,

    memberikan informasi yang tidak jujur mengenai bahan mentah, ciri

    produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan untuk

    menghindari pajak, membayar upah karyawan dibawah UMR atau

    melakukan persekongkolan dan persaingan tidak sehat.188

    Secara umum, kebanyakan pelaku bisnis berpendapat ada

    hubungan secara khusus antara keuntungan finansial dengan

    melakukan bisnis secara etis, Namun beberapa diantaranya

    berpendapat bahwa tidak ada hubungan langsung antara etika dan

    187 Secara normatif korporasi hanya bertanggungjawab terhadap kepentingan

    shareholder, disatu sisi ada kepentingan shareholder yang harus dilindungi disisi lain adanya kepentingan stakeholder yang juga perlu diperhatikan, John R. Boatright, Business Ethics And The Theory Of The Firm, American Business Law Journal 34 (Winter, 1996) : 223

    188 Ridwan Khairandy, Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder ke Stakeholder,dan Dari Etika Bisnis Ke Norma Hukum, Makalah Seminar, Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan, PUSHAM UII dan Norwegian Centre for Human Right, Yogyakarta 6-8 Mei 2008.hal. 2

  • 78

    keuntungan, Thomas I. White mencatat beberapa perbedaan

    pendapat para senior manager sebagai berikut189:

    Andrew Sigler, Chairman dan CEO Champion International

    menegaskan,

    "I don't believe that ethical behavior is an impairment to profitability. I cannot remember situations where if I do the bad thing we'll make a lot of money, but if I do the right thing we'll suffer." "Lots of responsible decisions, aren't just ethically sound. They're damn smart and very smart business".

    Selain itu, menurut Jerry R. Junkins, President dan CEO of

    Texas Instruments, pimpinan korporasi akan dengan cepat menolak

    biaya jangka panjang akibat melakukan bisnis secara tidak etis:

    "If I do something unethical for some short term gain," "somebody else is going to get hurt, and they're not going to forget it. You're clearly trading a short term gain for something that's inevitably going to be worse down the road--you'll eventually lose business" "Texas Instruments' reputation for integrity," ..."dates back to the founders of the company. And we consider that reputation to be a priceless asset. Walter Klein, CEO dari The Bunge Corporation menjelaskan

    hubungan etika dengan karyawan:

    "The company gains if it's ethical because that will preserve its reputation. Yet another issue cited is the effect of unethical conduct by the corporation on its employees. Bunge's Walter Klein claims, "If the company is unethical, that company is going to be cheated by its own employees."

    189 Thomas I. White, Ethics Incorporated: How America's Corporations Are

    Institutionalizing Moral Values, Center for Ethics and Business, Loyola Marymount University, Los Angeles, CA diunduh dari http://www.lmu.edu/Asset9444.aspx?method=1

  • 79

    David Clare, President Johnson & Johnson, menjelaskan,

    bahwa melakukan kebohongan sebagai sesuatu yang berbahaya

    terhadap korporasi. Cepat atau lambat akan menjadi bumerang yang

    balik menyerang:

    What you may perceive as a simple lie or a simple misstatement that doesn't hurt anybody and protects the company, sooner or later will come back to bite you. It'll bite you with people in your organization who know it's a lie. If you can't be open and honest at all times, you're sending a signal to the organization that you will let them get away with lying occasionally. And that includes lying to you.

    Karena sifatnya yang voluntary dan ada di wilayah etika

    maka beberapa negara dan organisasi internasional mengatur CSR

    dalam code of conduct, (yang kemudian dikenal dengan istilah

    softlaw).190

    OECD memberikan definisi Code of Conduct yang

    dirumuskan dari kajian secara komprehensif yaitu : commitments

    voluntary made by companies, association or other entities, which

    190 Ran Goel memberikan catatan berbagai softlaw yang dapat dijadikan panduan

    untuk melaksanakan CSR , diantaranya Account Ability 1000 Assurance Standard (AA1000), Ceres Principles Equator Principles, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), Global Reporting Initiative Sustainability Reporting Guidelines (GRI), Global Sullivan Principles, Greenhouse Gas Protocol (GHG Protocol), International Labour Organization Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work (ILO Declaration), ISO 14000, MacBride Principles, Organisation for Economic Co-operation and Development Guidelines for Multinational Enterprises (OECD Guidelines), Social Accountability 8000 (SA8000), United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights (UN Norms) dan lain lain, Ran Goel, Guide to Instruments of Corporate Responsibility: An overview of 16 key Tools For Labour Fund Trustees, Schulich, Canadas Global Business School, University of Toronto Canada, (October 2005)

  • 80

    put forward standards and principles for the conduct of business

    activities in the marketplace.191

    Definisi OECD ini menunjukan bahwa Code of Conduct adalah

    kewajiban yang harus ditegakkan sendiri (self imposed obligation),

    tetapi bukan bagian dari peraturan perundang-undangan (rules)

    tentang tatakelola perusahaan (corporate governance).192

    Sejarah munculnya code of conduct dimulai sejak jaman

    hukum romawi dan abad pertengahan di Eropa. Romawi mengatur

    Korporasi sejak cara pembentukan hingga pembubaran perusahaan.

    Code of conduct tesebut menjadi dasar pembentukan code of

    conduct perusahaan modern. Di abad modern code of conduct mulai

    diperkenalkan pada pertengahan tahun 1890an. Catatan ini ditandai

    dengan dikeluarkannya the Code of Standards of Advertising Practice

    pada tahun 1937 oleh International Chamber of Commerce (ICC).

    Beberapa tahun kemudian setelah perang dunia kedua mulai banyak

    code of conduct yang dibuat institusi Internasional. Kemudian

    menyeruak secara signifikan pada tahun 1970an, 1980an dan

    1990an.193

    191 Definisi ini dikutip Lundbland dari OECD in 2001: Corporate Responsibilities :

    Private Initiatives and Public Goals, Claes Lundblad, Some Legal Dimension of Corporate Code of Conduct (Deventer : Kluwer Law International, 2005), hal. 387

    192 Ibid. 193 Mark B. Baker, Promises And Platitudes: Toward A New 21st Century

    Paradigm For Corporate Codes Of Conduct?, Connecticut Journal of International Law 23 (Winter 2007) : 126

  • 81

    Saat ini ada ratusan code of conduct yang telah dibuat oleh

    lembaga privat, institusi publik, lembaga pemerintah maupun antar

    pemerintah (intergovernmental). Hal ini mencerminkan pentingnya

    code of conduct untuk dirujuk oleh para pelaku bisnis dan

    korporasi.194

    Frederik Philips, President of Philips Electronics, Olivier

    Giscard d'Estaing, Vice-Chairman of INSEAD dan Ryuzaburo Kaku,

    Chairman of Canon Inc, pada tahun 1986 membahas pentingnya

    penggunaan code of conduct, dalam melakukan pembangunan

    ekonomi yang konstruktif, antara korporasi dan masyarakat. Hasil

    pembahasan ini menghasilkan business code of conduct yang

    dikenal Caux Round Table Principles. Prinsip-prinsip Caux Round

    Table Principles tersebut adalah195:

    a. The responsibilities of business: beyond shareholders toward stakeholders.

    Bisnis punya peranan untuk memperbaiki hubungan dengan semua pelanggan, karyawan, dan pemegang saham, yaitu dengan berbagi atas kekayaan yang didapat mereka. Mereka harus melakukan bisnis dengan semangat kejujuran dan fairnes, dan berlaku sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dimana mereka beroperasi . Bisnis harus menjadi bagian dalam membentuk masa depan semua komunitas

    194 Philip H Rudolph, The History, Variations, Impact, and Future of Self

    Regulation, dalam Ramon Mullerat (ed), Corporate Social Responsibility: The Corporate Governance of The 21st Century ( Deventer :Kluwer Law International, 2005), hal. 369

    195 Caux Round Table: Principles for Business, Human Right Library, University of Minessota, di unduh dari http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cauxrndtbl.htm

  • 82

    b. The economic and social impact of business: towards innovation, justice and world community.

    Bisnis harus ikut mengembangkan dan berperan untuk kemajuan sosial negara dimana mereka bekerja, dengan membuat produktif tenaga kerja dan membantu menaikkan daya beli dari warga negara. Bisnis juga harus berperan untuk hak azasi manusia, pendidikan dan kesejahteraan. Bisnis harus ikut berperan dalam pembangunan sosial dengan dan berhati-hati gunakan sumber daya secara efektif, hati-hati dan kompetisi yang adil.

    c. Business behaviour: beyond the letter of law, towards a spirit of

    trust

    Dengan hak-hak pengelolaan yang dimiliki, bisnis harus dilakukan secara transparan dan menjaga kestabilan setiap urusan dengan menjaga kepercayaan.

    d. Respect for rules

    Bisnis harus menghormati aturan domestik dan menjaga untuk tidak melakukan aktivitas yang merugikan masyarakat walaupun itu sah dihadapan hukum

    e. Support for multilateral trade

    Bisnis harus menghormati kesepakatan internasional dan organisasi perdagangan dunia dengan menyesuaikan kebijakan nasional dinegara tempat mereka beroperasi

    f. Respect for the environment

    Bisnis harus melindungi dan majukan lingkungan dengan mencegah pemborosan penggunaan sumber alam.

    g. Avoidance of illicit operations

    Bisnis harus dijalankan dengan menghindari segala macam uang sogokan atau tindakan korup, dengan cara menjalin kerjasama yang baik. Bisnis tidak boleh mendukung dan mendanai aktifitas teroris, lalu lintas narkoba atau mengorganisir kejahatan lain.

  • 83

    Kisah tentang Pendeta Leon H Sullivan , seorang

    Pembaptis Gereja dari Philadhelphia, yang juga anggota dari

    jajaran direksi General Motors Corporation, mengusulkan

    seperangkat ketentuan yang dapat dijadikan pedoman bagi

    operasional perusahaan America di Afrika Selatan. Gagasan ini

    pada awal mulanya adalah sebagai upaya untuk mendukung

    penghapusan diskriminasi politik Aparteid di Afrika Selatan,

    dengan cara ikut membantu pembangunan sosial ekonomi dan

    kesetaraan politik.196

    Hari ini catatan Pak Pendeta Leon tersebut dikenal dengan

    The Global Sullivan Principles of Corporate Social Responsibility dan

    digunakan sebagai pedoman untuk Multi National Corporation

    dalam melakukan CSR di negara tempat beroperasi. Prinsip

    Sullivan ini adalah mengajak para pemilik korporasi untuk : provide

    196 The Sullivan Principles lebih lengkapnya ditulis (1) Express our support for

    universal human rights and, particularly, those of our employees, the communities within which we operate, and parties with whom we do business. (2) Promote equal opportunity for our employees at all levels of the company with respect to issues such as color, race, gender, age, ethnicity or religious beliefs, and operate without unacceptable worker treatment such as the exploitation of children, physical punishment, female abuse, in voluntary servitude, or other forms of abuse.(3) Respect our employees voluntary freedom of association.(4) Compensate our employees to enable them to meet at least their basic needs and provide opportunity to improve their skill and capability to raise their social and economic opportunities.(5) Provide a safe and healthy workplace; protect human health and the environment; and promote sustainable development. (6) Promote fair competition including respect for intellectual and other property rights, and not offer, pay or accept bribes. (7) Work with governments and communities in which we do business to improve the quality of life in those communitiestheir educational, cultural, economic and social well-beingand seek to provide training and opportunities for workers from disadvantaged backgrounds.(8) Promote the application of these principles by those with whom we do business, Richard E. Gardiner dan David B. Kopel, The Sullivan Principles: Protecting The Second Amendment From Civil Abuse (Colorado: Independence Institute, 1985), hal. 1

  • 84

    equal and fair employment practices for all employees and improve

    the quality of employees lives outside the work environment in

    such areas as housing, schooling, transportations, recreation, and

    health facilities.197

    Selain itu inisiasi code of conduct juga dibahas oleh

    organisasi ekonomi. Salah satu yang sering dijadikan rujukan

    dalam penerapan CSR bagi Perusahaan Multi Nasional adalah The

    OECD Guidelines for Multinational Enterprises yang dibuat oleh

    Organization Economic For Cooperation and Development.198

    The OECD Guidelines for Multinational Enterprises digunakan

    dibanyak negara sebagai rujukan untuk mengatur operasional

    197 Henry Cheseeman, Business Law ...,op cit. hal. 163 198 The OECD Guidelines for Multinational Enterprises Revision 2000 berisi

    prinsip-prinsip umum sebagai berikut; (1)Contribute to economic, social and environmental progress with a view to achieving sustainable development.; (2)Respect the human rights of those affected by their activities consistent with the host governments international obligations and commitments; (3)Encourage local capacity building through close co-operation with the local community, including business interests, as well as developing the enterprises activities in domestic and foreign markets, consistent with the need for sound commercial practice; (4) Encourage human capital formation, in particular by creating employment opportunities and facilitating training opportunities for employees;(5)Refrain from seeking or accepting exemptions not contemplated in the statutory or regulatory framework related to environmental, health, safety, labour, taxation, financial incentives, or other issues; (6) Support and uphold good corporate governance principles and develop and apply good corporate governance practices; (7)Develop and apply effective self-regulatory practices and management systems that foster a relationship of confidence and mutual trust between enterprises and the societies in which they operate; (8)Promote employee awareness of, and compliance with, company policies through appropriate dissemination of these policies, including through training programmes; (9)Refrain from discriminatory or disciplinary action against employees who make bonafide reports to management or, as appropriate, to the competent public authorities, on practices that contravene the law, the Guidelines or the enterprises policies; (10)Encourage, where practicable, business partners, including suppliers and subcontractors, to apply principles of corporate conduct compatible with the Guidelines; (11)Abstain from any improper involvement in local political activities.

  • 85

    investasi asing oleh Perusahaan Multi Nasional. Seperti yang

    dikatakan oleh Kathryn Gordon:

    The OECD Guidelines are recommendations by governments to multinational enterprises (MNEs) operating in or from the 33 countries that adhere to the Guidelines. The Guidelines help ensure that MNE sactin harmony with the policies of countries in which they operate and with societal expectations. They are the only comprehensive, multilaterally endorsed code of conduct for MNEs. They establish nonbinding principles and standards covering abroad range of issues in business ethics. The basic premise of the Guidelines is that internationally agreed principles can help to prevent misunderstandings and build an atmosphere of confidence and predictability among business, labour, governments and society as a whole.199

    Sampai saat ini telah banyak code of conduct yang dibuat

    oleh berbagai pihak. Jennifer A. Zerk memberikan beberapa

    daftar code of conduct yang terkait dengan Multi National dan CSR

    berdasarkan tahun publikasinya yaitu200:

    1) Tahun 1948 Universal Declaration of HumanRights, UNGA res.217A(III), UN Doc.A/810,71

    2) Tahun 1970 Declaration on the Principles of International Law

    Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in accordance with the Charter of the United Nations, UNGA res.2625, Annex, 25 UN GAOR, Supp.(No.28),UN Doc.A/5217at121

    199 Kathryn Gordon, The OECD Guidelines and Other Corporate Responsibility

    Instruments: A Comparison, Organization Economic For Cooperation and Development, Directorate For Financial, Fisca Land Enterprise Affairs Working Papers On International Investment, Number 2001/5 (December 2001), hal. 1

    200 Jennifer A. Zerk, Multinationals and Corporate Social Responsibility :Limitations and Opportunities in International Law (New York: Cambridge University Press), hal. xiii - xv

  • 86

    3) Tahun 1976 OECD Declarationon International Investment and Multinational Enterprises, Paris, 21June 1976;(1976)15 ILM 967

    4) Tahun 1976 OECD Guidelines for Multinational Enterprises

    (annexed toThe 1976 OECD Declarationon Investment and Multinational Enterprises, above);(1976)15 ILM 969

    5) Tahun 1977 ILO Tripartite Declaration Concerning

    Multinational Enterprises and Social Policy, November 1977, Geneva;(1978) 17I LM 422

    6) Tahun 1981 WHO International Code on Marketing of Breast

    Milk Substitutes, adopted by the WHA, Res. WHA 34.2,21 May 1981

    7) Tahun 1985 FAO Code of Conduct on the Distribution and Use

    of Pesticides, adopted at the 25th session of the FAO Conference, Rome, 19 November 1985

    8) Tahun 1985 UN Guidelines for Consumer Protection,UNDoc.

    A/RES /39/ 248 (disahkan 1986) 9) Tahun 1990 Draft UN Code of Conducton Transnational

    Corporations, UNDoc. E/1990/ 94, 12 June 1990 10) Tahun 1992 Declaration of the UN Conference on Environment

    and Development,Rio de Janeiro,13 June 1992,UN Doc.A/ CONF.151/ 26/ Rev.1, Vol.1,AnnexI;(1992) 31 ILM 874

    11) Tahun 1992 Agenda21: Programme of Action for Sustainable

    Development, adopted by the UNGA atits 46 th session, UN Doc.A/ CONF. 151/26

    12) Tahun 1996 OECD Recommendation on the Tax Deductibility

    of Bribesto Foreign Public Officials, adopted by the Council, 11 April 1996, C (96) 27 (FINAL); (1996) 35 ILM 760

    13) Tahun 1998 ILO Declaration on Fundamental Principles and

    Rights at Work, adopted at the 86th session of the International Labour Conference , Geneva, 18 June 1998

  • 87

    14) Tahun 2000 OECD Declarationon International Investment and Multinational Enterprises, Paris, 27 June 2000, DAFFE/ IME 2000)/ 20

    15) Tahun 2000 OECD Guidelines for Multinational Enterprises

    (annexed to 2000 OECD Declarationon International Investment and Multinational Enterprises, above);(2001)40 ILM 237

    16) Tahun 2002 Declarationon Sustainable Development of the

    World Summit on Sustainable Development, UN, Report of the World Summit on Sustainable Development, UN Doc. A/CONF. 199/20, Sales No.E.03.II. A.1

    17) Tahun 2002 Plan of Implementati on of the World Summit on

    Sustainable Development,UN,Report of the World Summit On Sustainable Development, UNDoc.A/CONF.199/20,Sales No.E.03.II.A.1

    18) Tahun 2003 UN Norms on the Responsibilities of

    Transnational Corporations and other Business Enterprises with Regard to Human Rights, adopted by the UN Sub-Commission on the Protection and Promotion of Human Rights, 13 August 2003, UN Doc.E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2

    Surya Deva menambahkan beberapa daftar code of conduct

    lainnya yaitu201: (1) Voluntary Corporate Codes of Conduct;

    (2) Principles, Labels, and standards; (3) EU's Green Paper and

    the Eco management and Audit Scheme; (4) U.N. Global

    Compact ; (5) ILO Declaration ; (6) The MacBride Principles ; (7)

    The Slepak Principles

    201 Surya Deva, Sustainable Good Governance And Corporations: An Analysis Of

    Asymmetries, Georgetown International Environmental Law Review 18 (Summer, 2006) : 728-739

  • 88

    Tetapi, dari sekian banyak code of conduct, dapat

    diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu 202:

    a.) Company Codes

    Adalah code of conduct yang dibuat oleh perusahaan sendiri

    secara sukarela. Code of conduct ini dibuat oleh Perusahaan

    induk untuk dirujuk bagi seluruh jaringan perusahaan dan

    rekanannya. Salah satu contohnya adalah Shell Revised

    Statement of General Business Principles, atau Levi Strauss

    Business Partners Terms of Engagement .

    b.) Trade Association Codes

    Adalah code of conduct yang dibuat oleh asosiasi Industri

    untuk menjadi rujukan bagi para anggotanya.Contohya adalah

    The British Toy and Hobby Association Code of Conduct atau

    The Bangladesh Garment Manufacturers and Exporters

    Association Code dan The Kenya Flower Council Code .

    c.) Multi-Stakeholder Code

    Adalah code of conduct yang dibuat dari hasil negosiasi dari

    beberapa stakeholders, termasuk wakil dari perusahaan atau

    industrinya, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs) dan

    Trade Unions. Dalam tipe ini seringkali melibatkan pemerintah.

    202 Brian W. Burkett, Mathias Link dan John D.R. Craig, Corporate Social Responsibility and Codes of Conduct: The Privatization of International Labour Law, Canadian Council On International Law Conference (October 2004).diunduh dari www.lexpert.ca/labour/files/CSR%20Final%20Paper-CCIL.pdf

  • 89

    Beberapa contohnya adalah : The UK s Ethical Trade Initiative

    [ETI] Base Code , The Fair Labour Association [FLA] ,

    Worldwide Responsible Apparel Production Principles [WRAP],

    Accountability 1000, Global Reporting Initiative [GRI] dan The

    European based Clean Clothes Campaign [CCC].

    d.) Model Codes

    Adalah code of conduct yang dibuat untuk meningkatkan

    capaian yang diharapkan oleh perusahaan berdasarkan fakta-

    fakta atas praktek yang baik . Tipe ini tidak secara langsung

    dapat diterapkan, tetapi setidaknya menjadi petunjuk bagi

    korporasi atau asosiasi bisnis dalam beroperasi . Tipe ini

    biasanya dibuat bersama antara korporasi dengan organisasi

    buruh seperti The ICFTUs Basic Code of Labour Practice atau

    dengan NGO seperti Amnesty Internationals Human Rights

    Guidelines for Companies dan juga The ICCs Guidebook for

    Responsible Business Conduct.

    e.) Intergovernmental Codes

    Adalah code of conduct yang dibuat atas dasar negosiasi pada

    level internasional antar pemerintah. Seperti pada tahun

    1970an antara Negara-negara anggota OECD membuat The

    OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Kasus yang

    sama seperti yang dilakukan oleh anggota Internatioal Labour

  • 90

    Organization merumuskan The ILOs Tripartite Declaration of

    Principles concerning Multinational Enterprises. Contoh lainnya

    adalah The European Union Code of Conduct, The UN Norms of

    Responsibilities of Transnational Corporations,The Global

    Sullivan Principles, dan The Global Compact .

    Dari sekian tipe code of conduct sebagai usaha berbagai

    pihak untuk mempromosikan CSR agar dapat diterapkan secara

    efektif pada operasional korporasi. Tetapi perihal tersebut masih

    menyisakan persoalan yaitu : apakah code of conduct mempunyai

    dimensi hukum, sehingga dapat diterapkan dengan standar yang

    pasti ?.203

    Sampai saat ini banyak ahli yang memegang pendapat

    bahwa code of conduct merupakan bagian dari ranah etika dan

    bukannya masuk dalam lapangan hukum. Corporate Code of

    Conduct, pada dasarnya memuat nilai-nilai etika, harus

    dinyatakan dengan singkat dan jelas tetapi cukup rinci, guna

    memberikan arahan yang jelas perihal perilaku etika berusaha

    kepada siapa pedoman itu ditujukan.204

    Menurut Jeffrey Nesteruk, setiap keputusan korporasi

    adalah mencerminkan dari keputusan managemen dan atau

    203 Claes Lundblad, op. cit., hal. 389 204 F. Antonius Alijoyo, Corporate Code of Conduct, Forum for Corporate

    Governance in Indonesia (FCGI), diunduh dari http://www.fcgi.or.id , hal. 2

  • 91

    keputusan pemegang saham. Nilainilai moral dapat dilihat dari

    keputusan-keputusan tersebut. Pada umumnya keputusan

    managemen adalah mengemban keinginan pemegang saham,

    untuk berorientasi pada pencarian keuntungan.205 Tetapi keputusan

    tersebut mengandung pertimbangan moral yang lebih luas, yaitu

    aspek pasar, seperti keamanan produk dan kelestarian lingkungan.

    Sehingga banyak pertimbangan moral yang digunakan dalam

    pengambilan keputusan.206

    William Safire seorang new socialist menyatakan dengan

    tegas kepada para eksekutif korporasi untuk mengadopsi moralitas

    sebagai tanggungjawab sosial untuk pertimbangan keputusan

    bisnis diluar kepentingan pribadi. Dia memberikan kritik kepada

    para kapitalis dari cara pandang para sosialis bahwa :

    Capitalism's defenders know that only stupidly shortsighted executives overlook the need for a loyal, motivated work force; we also know that good community relations help attract the best managers and innovators to a company. And easing the shock of necessary belt-tightening on workers who are not producing is "good public relation," which makes business sense provided it does not squander assets on ego-

    205Shareholders are the desiring element. They are primarily investors wanting

    only a return on their investment. Beyond the desire for financial gain, they are for the most part removed and unconnected with the day-to-day activities and decisions of the corporation. In contrast, management is the reasoning element. The essence of its job is evaluating the different business options available to the corporation on a daily basis, Jeffrey Nesteruk, Corporations, Shareholders, And Moral Choice: A New Perspective On Corporate Social Responsibility, University of Cincinnati Law Review 58 (1989) : 470

    206A core aspect of political decision-making is the evaluation of the relative worthiness of competing social goals. In this broadened context, the end of corporate profit must compete with other goals important to the shareholder-citizen such as product safety and environmental preservation, Ibid.,hal. 474-475

  • 92

    satisfying do-gooding or becoming the new delivery system for politicians' largesse. 207

    Untuk lebih memfokuskan pembahasan, persoalan etika

    bisnis dan kewajiban moral korporasi akan dibahas lebih luas dan

    komprehensif dalam sub bab selanjutnya.

    Secara pragmatis, korporasi harus mematuhi code of

    conduct, dikarena adanya maksud mendapatkan nilai tambah.

    Antonius Alijoyo menjelaskan sebagai berikut:208

    Dalam perekonomian yang berjalan berdasarkan prinsip pasar dimana bisnis adalah bisnis, kebebasan berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan untuk mengejar tujuan dan sasaran bisnis juga mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa kebebasan itu diperoleh secara bertanggungjawab. Adanya praktek etika dan kejujuran dalam berusaha akan menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan nilai perusahaan

    Tetapi keberadaan Corporate Code of Conduct tidak cukup

    mampu untuk mengikat korporasi. Sebab, selain sifatnya softlaw,

    sebagian besar code of conduct di inisiasi pada level internasional,

    sedangkan ranah hukum mempunyai wilayah jurisdiksi. Artinya

    code of conduct akan menjadi hukum apabila hukum nasional suatu

    Negara telah mengaturnya dalam produk legislasi.209

    207 William Safire dalam Beth Stephens, The Amorality Of Profit: Transnational

    Corporations And Human Rights, Berkeley Journal of International Law 20 (2002) : 62-63 208 F. Antonius Alijoyo, op. cit., hal. 2 209 Veronica Besmer, The Legal Character of Private Codes of Conduct: More

    Than Just A Pseudo-Formal Gloss on CSR, Hasting Business Law Journal 2 (Winter 2006): 286

  • 93

    Upaya untuk menjadikan code of conduct sebagai

    ketentuan perilaku yang mengikat telah dilakukan dengan

    mengangkat isu-isu keadilan dan perlindungan hak, seperti

    keadilan social, keadilan lingkungan, perlindungan hak buruh,

    perlindungan hak konsumen, perlindungan hak stakeholder dan

    sebagainya. Di beberapa Negara, juga di Indonesia upaya tersebut

    mendapat legitimasi dengan dibuatnya peraturan perundangan

    mengenai lingkungan hidup, ketenagakerjaan atau perlindungan

    konsumen.

    Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai sebuah

    upaya untuk melegitimasi code of conduct menjadi peraturan yang

    mengikat. Sean D. Murphy menyarankan agar pemerintah

    menyeimbangkan antara prinsip carrots dan sticks . Lebih

    lengkapnya Murphy mengatakan :

    To be effective (adopted code of conduct), government policy should balance the use of "carrots" and "sticks." If only carrots are created, more corporations may be pulled into the adoption of corporate codes, but with spotty adherence. If only sticks are created, corporations may view the adoption of codes as undesirable burdens. Among the "carrots" that governments might pursue that reinforce the value and benefits of the voluntary codes to corporations are the following. 210

    210 Sean D. Murphy, Taking Multinational Corporate Codes Of Conduct To The

    Next Level, Columbia Journal of Transnational Law 43 (2005): 424

  • 94

    Alternatif lainnya, menurut Jonathan E. Hendrix, code of

    conduct akan efektif diterapkan dengan syarat adanya tekanan

    politis dari berbagai pihak, seperti opini publik dari para akademisi,

    demonstrasi dan aksi boikot atau kampaye dari LSM dan organisasi

    internasional, khususnya di Negara berkembang yang lemah dalam

    penegakan hokum.211

    Jadi code of conduct adalah salah satu alternatif untuk

    mewajibkan korporasi menerapkan CSR. Bahwa code of conduct

    masih mempunyai kelemahan dalam persoalan daya

    mengikatnya, dapat didukung dengan bentuk tekanan politis

    seperti kampanye, boikot maupun aksi-aksi lainnya. Tetapi harus

    diperhatikan bahwa aksi aksi tersebut akan bekerja jika dilakukan

    oleh institusi yang mempunyai reputasi yang dihormati.

    Selain diatur dalam code of conduct , banyak perusahaan

    yang membuat komitmen untuk melaksanakan CSR dalam

    peraturan perusahaan yang sering disebut dengan istilah self

    regulation (self governance).

    Self regulation ini mulai dibuat oleh korporasi , khususnya

    multi national corporation (MNCs) pada tahun 1970 an sebagai

    respon atas kritik tajam dari berbagai unsur masyarakat (NGO)

    211 Hendrix mencontohkan tekanan politik dapat dilakukan oleh NGOs, United

    Nation atau Regional Bodies, Jonathan E. Hendrix, Law Without State: The Collapsed State Challenge To Traditional International Enforcement, Wisconsin International Law Journal 24 (Spring 2006) : 596-607

  • 95

    atas perilaku korporasi yang dianggap keterlaluan terhadap hak

    buruh, hingga isu diskriminasi.212

    Beberapa contoh dan kisah kelahiran self regulation dapat

    dicatat berikut ini 213:

    a). General Motors code of conduct (The Sullivan Statement)

    The Sullivan Statement, adalah prinsip-prinsip anjuran

    yang dibuat oleh Pastur Leon H. Sullivan pada tahun 1976

    mengenai panduan bisnis MNCs amerika di Afrika Selatan pada

    masa Politik Aphartaed. Dia adalah anggota dari direksi General

    Motor. Oleh karena it sering pula disebut General Motors Code

    of conduct atau Sullivan Principles . The Sullivan Statement

    tersebut memuat 6 (enam) prinsip, yaitu: (1) anti-

    discrimination;(2) fair employment;(3) equal wages; (4) job

    training; (5) promotion of non-white management, and; (6)

    improvement of the quality of life outside the workplace . The

    Sullivan Statement menuai sukses karena diikuti oleh banyak

    perusahaan sebagai acuan etik dalam bisnis.

    b). Levi-Strauss's Terms of Engagement and Guidelines

    Levi-Strauss's Business Partner Terms of Engagement

    and Guidelines ("Levi-Strauss Code") dibuat tahun 1991. The

    212 Koji Ishikawa, The Rise Of The Code Of Conduct In Japan: Legal Analysis And

    Prospect, Loyola of Los Angeles International and Comparative Law Review 27 (Winter 2005) : 101

    213 Ibid.,107-108

  • 96

    Levi-Strauss Code mengadung 5 major areas, yaitu : (1) ethical

    standards; (2) legal requirements; (3) environmental

    requirements; (4) community involvement, and; (5)

    employment standards. Ada yang menarik dari The

    employment standards yaitu mengenai kebebasan berserikat

    (freedom of association) bagi karyawan.

    c). Nike's Code of Conduct

    Nike's Code of Conduct atau ("Nike Code") dibentuk

    pada tahun 1992 sebagai respon dari kritik atas praktek

    ketenagakerjaan yang tidak fair , termasuk penggunaan tenaga

    kerja anak yang terjadi di Indonesia. The Nike Code dibuat

    dalam format Preambul dan berisi 6 bagian yaitu ;(1) covering

    forced labor;(2) child labor, compensation and benefits; (3),

    work and overtime hours;(4) environment ; (5) health and

    safety;(6) and documentation and inspection.

    d). Reebok's Human Rights Production Standards

    Formulasi dari The Reebok Human Rights Production

    diawali dari statemen perusahaan untuk komitmen terhadap

    hak asasi manusia. The Reebok code terdiri dari 7 area tentang

    hak-hak buruh yaitu: (1) non-discrimination; (2) working

    hours/overtime; (3) forced or compulsory labor; (4) fair wages;

  • 97

    (5) child labor; (6) freedom of association; and (7) and safe and

    healthy work environment.214

    Koji Ishikawa menjelaskan bahwa motivasi dari korporasi

    membuat self regulation sangat beragam. Beberapa diantaranya

    tidak dilakukan secara ikhlas (from a purity of heart), untuk

    memperhatikan pekerja dan rekanan asing . Namun demikian, tak

    dapat disangkal, bahwa keberadaan self regulation tersebut

    meningkatkan standar dan mengarahkan bertambahnya perhatian

    korporasi terhadap upaya memperbaiki kondisi pekerja dan kontrak

    rekanan asing.215

    Efektifitas bekerjanya self regulation ini lebih baik

    dibandingkan dengan code of conduct, karena disesuaikan dengan

    visi dan kondisi perusahaan masing-masing. Selain itu korporasi

    juga dapat mengikat perusahaan rekanannya melalui kontrak

    kerjasama untuk menerapkan self regulation.216

    Michael E. Murphy menjelaskan self regulation theory

    dalam dua hal. Pertama, self-regulation dasar yang paling penting

    214 Elisa Westfield, Globalization, Governance, And Multinational Enterprise

    Responsibility: Corporate Codes Of Conduct In The 21st Century, Virginia Journal of International Law 42 (Summer 2002) : 1099.

    215 Koji Ishikawa, op. cit., hal.108 216 Beberapa korporasi tersebut mengatakan: "We specifically require our

    suppliers to extend the same principle of fair and honest dealings to all others with whom they do business including employees, sub-contractors and other third parties. For example, this principle also means that gifts or favours cannot be offered nor accepted at any time, Elisa Westfield, op. cit., hal. 1098. Lihat Ans Kolk dan Rob van Tulder, The Effectiveness of Self-regulation: Corporate Codes of Conduct and Child Labour, European Management Journa, Volume 20, Issue 3 (7 April 2002) : 291301 dinduh dari http://www.sciencedirect.com/science

  • 98

    dari kebutuhan untuk memisah kekuasaan antara komponen

    organisasi dalam korporasi yang saling terkait. Kedua, self-

    regulation tergantung pada beragam informasi yang cukup dan

    tersedia untuk megendalikan pusat-pusat dalam korporasi.217

    Hilton dan Gibbons menegaskan bahwa perusahaan melalui

    self regulation, harus secara serius menekankan keberpihakan

    kepada masyarakat. Ini penting karena perusahaan juga akan

    memperoleh keuntungan dari situasi win-win ini. Karena itu, self

    regulation sebagai bentuk penerapan kewajiban CSR harus

    memenuhi syarat keberlanjutan (sustainable), dan harus berada di

    bidang yang beriringan dengan bidang usaha perusahaan yang

    bersangkutan. Pengerahan sumber daya untuk CSR melalui self

    regulation tidak perlu secara khusus dialokasikan terpisah.

    Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan berkaitan

    dengan bidang usaha merupakan konsekuensi dari mekanisme

    pasar itu sendiri.218

    Namun pendapat Hilton dan Gibbons tersebut memperkuat

    pendapat bahwa penerapan CSR melalui self-regulation dipandang

    217 Michael E. Murphy, Pension Plans And The Prospects Of Corporate Self-

    Regulation, DePaul Business & Commercial Law Journal 5 (Spring 2007) : 565-566 218 Ari Margiono, Menakar Keterlibatan Pemerintah dalam CSR, Bisnis Indonesia,

    22 April 2006.

  • 99

    cukup efektif, sehingga regulasi negara sesungguhnya tidak

    diperlukan lagi.219

    Disisi lain, masih banyak pihak yang pesimis. Sebuah

    penelitian yang dilakukan Vogel, menunjukkan CSR ternyata tidak

    memiliki korelasi positif terhadap kontribusi finansial jangka

    panjang perusahaan. Perusahaan yang melakukan CSR tidak

    berarti kemudian lebih menguntungkan, atau sebaliknya. Vogel

    juga menyatakan banyak perusahaan yang menghadapi dilema

    ketika prinsip CSR yang dianutnya bertentangan dengan faktor

    yang mendorong pendapatan. Sebagai ilustrasi, perusahaan baterai

    akan sulit menganut CSR dalam bentuk pelestarian lingkungan

    karena produk yang mereka hasilkan dapat memberikan dampak

    buruk kepada lingkungan.220

    Artinya, jika penerapan CSR melalui self regulation tidak

    memberikan keuntungan perusahaan atau tidak sejalan dengan

    bidang usahanya, maka korporasi akan meninjau kembali atau

    bahkan meniadakan kewajiban CSR dalam self regulation yang

    mereka buat. Jika tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari

    peraturan perusahaan, seperti halnya peraturan perundangan yang

    mandatory, maka penerapan self regulation menjadi tidak efektif .

    219 Ibid. 220 Ibid.

  • 100

    Self regulation akan menjadi effektif dan mempunyai daya

    ikat yang kuat apabila dirumuskan oleh berbagai organ yang

    terdapat dalam korporasi seperti pemegang saham, direksi dan

    komisaris. Argumen ini menjelaskan beberapa hal:

    1). Self Regulation harus mencerminkan moralitas dari organ-

    organ korporasi. Untuk itu keterlibatan organ-organ dalam

    korporasi dalam merumuskan Self regulation menjadi penting,

    sehingga tidak menimbulkan conflict of interest di kemudian

    hari. Bahkan, jika perlu mengundang stakeholder untuk

    mengakomodasi kepentingan mereka.

    2). Self regulation yang telah dirumuskan disahkan melalui

    kekuasaan tertinggi dalam korporasi (misalnya RUPS dalam

    Perseroan Terbatas) dan dimasukkan dalam Anggaran Dasar dan

    Anggaran Rumah Tangga sebagai konstitusi korporasi.Hal ini

    untuk dijadikan dasar bagi semua pihak, baik internal maupun

    pihak eksternal yang menjalin hubungan dengan korporasi.

    3. Kewajiban CSR bertentangan dengan Hak Kepemilikan Privat

    Pelaksanaan CSR yang menggunakan harta kekayaan

    korporasi, dengan alasan untuk kepentingan masyarakat umum

    sekalipun, dapat dianggap telah melanggar dan tidak menghormati

    prinsip-prinsip hak milik privat. Korporasi merasa dirampas haknya

    dengan diwajibkannya menyalurkan sebagian kekayaan untuk

  • 101

    masyarakat. Oleh karena itu perlu dipahami dan dikaji awal mula

    munculnya hak kepemilikan pribadi serta kemanfaatannya untuk umat

    manusia dari berbagai perspektif.

    Konsep hak milik adalah hak mutlak individualistik, dimana

    hukum harus memberikan perlindungan. Hak milik pribadi (private

    property right) harus dijamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai

    sesuatu yang sakral (the sacred rights of private property).221

    Menurut ideologi liberal yang kapitalistik, kebebasan atas hak

    kepemilikan, menempatkan hak individu diatas masyarakat.222 Hak

    kepemilikan pribadi tidak jatuh dari langit (taken for granted). Hak

    atas kepemilikan pribadi harus dihormati dan dilindungi dalam

    komunitas sosial. Hak kepemilikan adalah prinsip sosial politik yang

    menyatakan bahwa seseorang tidak bisa dilarang atau dicegah oleh

    siapapun untuk memperoleh, menyimpan, memperdagangkannya, dan

    ketika hak kepemilikan pribadi tidak dihormati dan tidak mendapatkan

    perlindungan dalam sebuah komunitas, maka pasti ada sesuatu yang

    salah dalam masyarakat tersebut.223

    Konsepsi liberalisme ini sangat bertentangan dengan ideologi

    sosialisme yang digagas oleh Karl Mark. Marxisme menolak pemilikan

    pribadi atas kapital atau modal, baik yang dimiliki perseorangan

    221 Edwin Cannan, Adam Smith : An Inquiry Into ..., op. cit., hal. 149 222 K Bertens, op. cit., hal. 120-121 223 Randy Barnett, Right to Private Property in The Structure of Liberty, (London:

    Oxford University Press, 1998), hal.7 diunduh dari www.iep.utm.edu,p,property.htm

  • 102

    maupun korporasi, sebab yang memiliki kapital dengan sendirinya

    adalah pemilik alat-alat produksi. Pandangan Karl Mark dalam

    Manifesto Komunis ditegaskan bahwa capital is not a personal, its a

    social power. Kapital dihasilkan karena pekerjaan banyak orang dalam

    masyarakat dan serentak juga memungkinkan semua orang untuk

    bekerja. Karena itu timbul kontradiksi apabila dijadikan milik pribadi

    sehingga harus dirubah menjadi kepemilikan umum. Ciri kapitalisme

    yang paling jel