bab ii studi pustaka a. problem-based...

15
7 BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learning 1. Pengertian Dalam penelitian ini, ada beberapa definisi berikut yang digunakan peneliti untuk memformulasikan problem-based learning pada pembelajaran matematika. Dalam hubungannya dengan definisi dan pemahaman problem-based learning banyak teori yang membicarakan. Definisi berikut ini yang gunakan peneliti dalam memformulasikan problem-based learning pada pembelajaran matematika adalah: “Problem-based learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered inquiry and reflection process” (Teacher & Educational Development, 2002: 2). Artinya: problem-based learning (PBL) adalah suatu metode pembelajaran di mana peserta didik diberadapkan pada suatu masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada peserta didik dan proses refleksi. (Teacher & Educational Development, 2002: 2) Berdasarkan permasalahan yang diberikan, peserta didik mengidentifikasi pokok bahasan (issue) untuk mengembangkan pemahaman tentang berbagai konsep yang mendasari masalah tadi serta prinsip pengetahuan lainnya yang relevan. Fokus bahasan biasanya berupa masalah (tertulis) mencakup beragam fenomena yang membutuhkan penjelasan. Problem-based learning (PBL) bertujuan agar peserta didik memperoleh dan membentuk pengetahuannya secara efisien dan terintegrasi. Kegiatan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru melalui pembahasan masalah tadi dikenal sebagai problem first learning” (Harsono, 2004: 2-3). In problem-based learning students learn to be self-directed, independent and interdependent learners motivated to solve a problem. In a PBL course student meet together in small group with a tutor to discuss a set problem. Initially the student explore the problem and formulate hypotheses that might explain the problem. They use this information to determine the further information they require to understand and solve the problem. Student then independently research and gather information that confirms/disconfirms their hypotheses and generates new understandings. These new understandings are presented to the group, which then considers all the information brought in by its members (Kiley, Mulins, & Peterson, 1969:1)

Upload: truongthien

Post on 17-May-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

7

BAB II

STUDI PUSTAKA

A. Problem-Based Learning

1. Pengertian Dalam penelitian ini, ada beberapa definisi berikut yang digunakan peneliti untuk

memformulasikan problem-based learning pada pembelajaran matematika. Dalam

hubungannya dengan definisi dan pemahaman problem-based learning banyak teori yang

membicarakan. Definisi berikut ini yang gunakan peneliti dalam memformulasikan

problem-based learning pada pembelajaran matematika adalah:

“Problem-based learning (PBL) is a method of learning in which learners first

encounter a problem followed by a systematic, learner-centered inquiry and reflection

process” (Teacher & Educational Development, 2002: 2). Artinya: problem-based learning

(PBL) adalah suatu metode pembelajaran di mana peserta didik diberadapkan pada suatu

masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada peserta didik dan proses refleksi.

(Teacher & Educational Development, 2002: 2)

Berdasarkan permasalahan yang diberikan, peserta didik mengidentifikasi pokok

bahasan (issue) untuk mengembangkan pemahaman tentang berbagai konsep yang

mendasari masalah tadi serta prinsip pengetahuan lainnya yang relevan. Fokus bahasan

biasanya berupa masalah (tertulis) mencakup beragam fenomena yang membutuhkan

penjelasan. Problem-based learning (PBL) bertujuan agar peserta didik memperoleh dan

membentuk pengetahuannya secara efisien dan terintegrasi. Kegiatan untuk memperoleh

pengetahuan dan pemahaman baru melalui pembahasan masalah tadi dikenal sebagai

“problem first learning” (Harsono, 2004: 2-3).

In problem-based learning students learn to be self-directed, independent and

interdependent learners motivated to solve a problem. In a PBL course student meet

together in small group with a tutor to discuss a set problem. Initially the student explore the

problem and formulate hypotheses that might explain the problem. They use this information

to determine the further information they require to understand and solve the problem.

Student then independently research and gather information that confirms/disconfirms their

hypotheses and generates new understandings. These new understandings are presented to

the group, which then considers all the information brought in by its members (Kiley,

Mulins, & Peterson, 1969:1)

Page 2: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

8

Artinya: Dalam problem-based learning (PBL) mahasiswa/siswa belajar dengan

terpusat pada dirinya sendiri, bebas dan para siswa saling tergantung yang termotivasi untuk

menyelesaikan sebuah masalah. Dalam sebuah pembelajaran PBL siswa bekerja sama dalam

kelompok kecil dengan seorang tutor untuk mendiskusikan seperangkat masalah. Pada

awalnya siswa menyelidiki masalah dan merumuskan hipotesis untuk menjelaskan masalah.

Mereka menggunakan informasi ini untuk menentukan informasi lebih lanjut yang mereka

perlukan untuk memahami dan memecahkan masalah. Siswa lalu dengan bebas mengadakan

penyelidikan dan menguji hipotesis mereka dan menghasilkan pemahaman-pemahaman

baru. pemahaman-pemahaman baru ini lalu diutarakan kepada kelompok, yang kemudian

dipertimbangkan dengan semua informasi yang diberikan oleh para anggota nya (Kiley,

Mulins, & Peterson, 1969:1).

Walker & Leary (Purdue University Press: 2009. Vol. 3 pg. 12). The Interdiciplinary

Journal of Problem-based Learning (IJPBL). Diambil tanggal 10 Mei 2009 diungkapkan:

“…asked to work in small groups, and most importantly acquire new knowledge only as a

necessary step in solving authentic, ill-structured, and cross-disciplinary problems

representative of professional practice. Artinya; PBL dilakukan dalam kelompok kecil,

untuk memperoleh pengetahuan baru yang merupakan langkah untuk menyelesaikan

masalah secara sempurna untuk mengatasi masalah dan memperbaiki kebiasaan yang tidak

baik.

Dalam artikel: Wood (Leeds LS2 9JT 30 April 2004). Diambil tanggal 20 oktober 2008,

diungkapkan: “Some of the members of the group may have knowledge that can help in

formulating or partially solving the problem”. Artinya beberapa dari anggota kelompok

mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat membantu merumuskan pemecahan masalah.

Dikatakan pula “PBL embraces the principles of good learning and teaching. It is student-

directed (which encourages selt-sufficiency and is a preparation for life-laong learning),

and promotes active and deep learning. PBL menganut prinsip-prinsip belajar dan mengajar

yang baik . PBL berpusat pada siswa ( mengarahkan/mendorong siswa untuk

mengembangkan diri dan mempersipkan siswa belajar sepanjang hayat), mengembangkan

keaktifan dan belajar yang mendalam.

Strobel & Van Barneveld (Purdue University Press: 2009. Vol. 3 pg. 46). The

Interdiciplinary Journal of Problem-based Learning (IJPBL). Diambil tanggal 10 Mei 2009

diungkapkan: “In contrast to PBL, we considered traditional learning approaches to be

large-class, instructor-driven, lecture-based deliveries within a curriculum, which

compartmentalized the content”. Maksudnya berbeda dengan PBL , kita mempertimbangkan

Page 3: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

9

pembelajaran tradisional dilakukan dalam kelas besar, terpusat pada pengajar, diberikan

dengan cara ceramah dengan sebuah kurikulum yang mengutamakan isi.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, penulis mengambil sebuah pemahaman

bahwa problem-based learning (PBL) dapat diartikan sebagai suatu metode pembelajaran

dimana peserta didik dihadapkan pada suatu masalah sebagai stimulus pembelajaran yang

mendorong siswa menggunakan pengetahuannya untuk merumuskan sebuah hipotesis,

kemudian diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student-centered melalui

diskusi dalam sebuah kelompok kecil untuk mendapatkan solusi masalah yang diberikan.

Atau dengan kata lain problem-based learning metode pembelajaran yang dipusatkan pada

peserta didik dan sebuah masalah mengawali proses pembelajaran (problem first learning).

Masalah pokok dijadikan sebagai stimulus dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan

demikian masalah utama tersebut dapat menggali segenap potensi siswa untuk dapat

mengarahkan kemampuannya dengan memanfaatkan sumber daya belajar yang ada guna

menyelesaikan masalah. Rancangan masalah harus berasal dari permasalahan dilematis dan

kompleks yang lazim dialami mereka di dunia nyata. Sehingga akan memotivasi para siswa

untuk meneliti dan menemukan solusi terbaik.

2. Kelebihan Metode Problem- Based Learning dalam Pembelajaran

Penerapan metode problem based learning tidak hanya meningkatkan hasil belajar tapi

juga membekali peserta didik dengan pengalaman belajar menyelesaikan masalah sesuai

materi pelajaran secara mandiri. Maka peneliti merumuskan tujuan penerapan problem

based learning sebagai berikut:

a. Untuk mendekatkan peserta didik pada pembelajaran matematika dengan perkembangan

situasi dunia nyata.

b. Dapat membantu peserta didik mengembangkan pemikiran dan ketrampilan berpikir

secara kritis agar memperoleh kecakapan hidup (life skill).

c. Menempatkan peserta didik sebagai subjek dan objek pembelajaran.

Selain pertimbangan di atas, Problem based learning dirancang untuk mengembangkan:

a. Kemampuan mengintegrasikan (penyatuan) pengetahuan yang dimiliki, kemudian

mendasarkan pada konteks pengetahuan khusus

b. Kemampuan mengambil keputusan sekaligus mengembangkan sikap dan pemikiran kritis

c. Kemampuan belajar mandiri dan membangkitkan semangat untuk belajar sepanjang hayat

d. Kecakapan interpersonal, kolaborasi, dan komunikasi

e. Konstruksi struktur kognitifnya sendiri dan terampil mengevaluasi

Page 4: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

10

f. Perilaku dan etika yang professional

(Teacher & Educational Development, University of New Mexico School of Medicine,

2002: 2-3).

3. Penerapan Problem-Based Learning Karaktersitik umum dari problem based learning yakni masalah sebagai awal

pembelajaran. Rancangan masalah yang menjadi issue berasal dari masalah dilematis

lingkungan sekitar untuk menarik minat peserta didik. Masalah harus disesuaikan dengan

kompetensi dasar, materi, dan hasil belajar yang ingin dicapai.

Menurut Duch (1997) dan Weiss (2003) permasalahan yang baik dapat mensukseskan

pembelajaran. Rancangan permasalahan yang baik adalah:

a. Beberapa fakta yang terjadi di dunia nyata di kemas dalam bentuk peta masalah yang

dapat menarik minat peserta didik.

b. Memilih salah satu fakta yang banyak dibahas oleh mass media menjadi pokok masalah

pada bahasan suatu pembelajaran.

c. Dapat memotivasi para peserta didik dalam menyusun argumen kuat berdasarkan

beberapa informasi maupun referensi yang mereka peroleh.

d. Dapat memunculkan sikap saling kerjasama antara peserta didik untuk membahas

maupun menyelesaikan masalah tersebut.

e. Pertanyaan awal yang disajikan pada masalah dapat menjadi petunjuk peserta didik untuk

mengambil peran dalam diskusi. Pertanyaan ini harus: (a) bersifat terbuka terhadap

berbagai bidang pengetahuan maupun tanggapan; (b) dapat dihubungkan dengan

pengetahuan dasar sebelumnya maupun semua nilai-nilai berbagai aspek sebagai bentuk

kontribusi pengembangan masalah atau solusi; (c) dipusatkan pada isu-isu yang dapat

mengundang perdebatan atau belum terpecahkan secara tuntas.

f. Dapat memotivasi para peserta didik untuk terlibat dalam proses berpikir yang kritis dan

analitis.

g. Setiap unit-unit spesifik dari pengembangan pokok masalah harus dapat disatukan

kembali menjadi bentuk pemahaman suatu materi pembelajaran.

Peserta didik sebelumnya telah memiliki dasar pengetahuan, kecakapan, kepercayaan, dan

konsep-konsep. Ketika peserta didik dihadapkan pada permasalahan nyata yang dilematis maka

mereka akan memperhatikan, mengorganisir, menginterpretasi, dan mendapatkan informasi

maupun pengetahuan baru. Penerapan problem based learning dalam pendidikan membantu

pembelajar menghubungkan hal-hal apa yang mereka ketahui, mereka perlukan untuk

Page 5: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

11

mencapai tingkat pemikiran yang lebih baik (better thinking). (Teacher & Educational

Development, University of New Mexico School of Medicine, 2002: 3-4).

Awal kegiatan penerapan problem based learning yakni membuat persiapan problem

based learning dalam pembelajaran matematika. Hal-hal yang perlu dipersiapan dalam

penerapan problem based learning adalah:

1. Menentukan topik atau materi pokok pembelajaran.

2. Menentukan isu-isu permasalahan didunia nyata

3. Menyusun daftar keinginan peserta didik agar belajar dengan nyaman

4. Merancang penyajian masalah untuk dapat memandu peserta didik

5. Menentukan alokasi waktu dan jadwal pertemuan pembelajaran

6. Mengorganisir kelompok belajar

7. Merancang sumber daya belajar

8. Merancang lingkungan belajar yang nyaman untuk mengembangkan “Keterampilan

Memproses” peserta didik.

9. Merancang format penilaian proses dan hasil belajar

Peran tutor/pengajar dalam proses problem based learning adalah:

1. Pengendali proses

a. Bertindak selaku penjaga pintu dan penjaga waktu.

b. Sebagai petugas tanpa menjatuhkan sanksi kepada peserta didik (mahasiswa/siswa).

c. Campur tangan apabila ada konflik di kalangan peserta didik (mahasiswa/siswa).

d. Mendorong terjadinya situasi yang nyaman untuk terlaksananya dinamika kelompok.

2. Pengamat perilaku kelompok

a. Mendorong terjadinya interaksi kelompok, keberanian, dan persetujuan.

b. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk mengembangkan kualitas individual.

c. Membantu peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk menghayati kemampuan dan

menyadari kelemahan mereka.

d. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) sebagai agen perubahan di dalam kelompok

e. Bertindak sebagai role model.

3. Pemecah masalah

a. Mendorong terjadinya partisipasi aktif, konsentrasi perhatian, dan diskusi lebih hidup.

b. Memeriksa kembali seluruh hasil diskusi, mengembalikan pertanyaan peserta didik

(mahasiswa/siswa) untuk dijawab sendiri oleh mereka, memberi komentar dan saran,

serta merangsang untuk berpikir misalnya mencoba untuk mengembangkan hipotesis.

Page 6: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

12

c. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk membahas dan mendefinisikan

kembali penjelasan yang ada, membuat hubungan atau kaitan konsep, proses dan

sebagainya.

d. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk menganalisis, membuat sintesis dan

evaluasi tentang masalah atau data, serta meringkas hasil diskusi.

e. Membantu peserta didik (mahasiswa/siswa) dalam hal identifikasi sumber dan materi

belajar. (Harsono, 2004: 31-32)

Aktivitas mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran.

a. Mengidentifikasi pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki.

b. Mengidentifikasi masalah dan menggali sumber informasi yang relevan.

c. Menyelidiki dan menginterpretasi informasi yang terkumpul.

d. Belajar secara mandiri (self-directed learning) (Harsono, 2004: 35-42)

e. Memprioritaskan beberapa alternatif solusi masalah.

f. Mengintegrasikan, pendapat untuk menyeleksi solusi masalah.

g. Refleksi diri (Teacher & Education Development, University of New Mexico School of

Medicine, 2002: 26 & 29).

Aktivitas mahasiswa (a, b, c, e, dan f) mengacu pada “steps for better thinking: a

developmental problem solving process” dari. Lynch, Wolcott, & Huber, 2002:1-4;

Departemen of Educational Development and Reseach, Rijksuniversiteit Limburg ,1984:

22-32; Advisory & Dairy , 2000:1-3).

Berdasarkan definisi, aktifitas pengajar dan perserta didik, maka penerapan pembelajaran

dengan metode problem-based learning dapat dilaksanakan dalam 8 delapan tahap berikut ini.

1. Memberikan masalah utama kepada mahasiswa terkait dengan konsep yang dipelajari

sebagai stimulus

2. Mengorganisasikan mahasiswa dalam kelompok untuk mengidentifikasi masalah dan

menggali informasi yang relevan dengan masalah yang diberikan

3. Memberi kesempatan kepada mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang apa yang

mereka tidak mengerti terkait dengan masalah yang diberikan

4. Mengarahkan mahasiswa dalam kelompok untuk memprioritaskan beberapa alternatif

solusi masalah

5. Mengarahkan mahasiswa dalam kelompok untuk mengintegrasikan pendapat untuk

menyeleksi solusi masalah

6. Mendampingi mahasiswa dalam kelompok Memecahkan masalah dengan solusi masalah

yang sudah dipilih dan disepakati bersama

Page 7: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

13

7. Meminta perwakilan kelompok untuk menyampaikan hasil pemecahan masalah

kelompok lain memberikan tanggapan

8. Membimbing mahasiswa melakukan refleksi diri terkait dengan materi dan

kebermanfaatkan materi pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari

B. Berpikir Kritis

1. Definisi Berpikir

Ada beberapa pendapat ahli yang bisa dijadikan rujukan untuk dapat memahami arti

kata berpikir itu sendiri. Menurut Plato (dalam Suryabrata, 1971: 54), berpikir adalah

berbicara dalam hati. Plato menjelaskan bahwa berpikir merupakan proses ideasional, masih

berupa ide dalam pikiran. Ide ini masih berbentuk pemikiran yang belum diungkapkan.

Suryabrata (1971: 54) menanggapi pernyataan ini, bahwa berpikir merupakan aktivitas yang

sifatnya ideasional, maksudnya bukan merupakan kegiatan sensoris atau motoris, walaupun

dapat pula disertai kedua hal itu namun yang menjadi pokok adalah berfikir lebih

menggunakan abstraksi-abstraksi atau ideas.

Purwanto (1990: 4) berpendapat bahwa berpikir adalah suatu keaktipan pribadi

manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Seoarang

manusia berpikir tentu memiliki tujuan untuk menemukan pemahaman/pengertian yang kita

kehendaki.

Menurut Ruggiero (dalam Johnson, 2006: 187), mengartikan berpikir adalah sebagai

aktifitas mental yang membantu merumuskan dan memecahkan masalah, membuat

keputusan atau memenuhi keinginan untuk memahami. Sementara itu Chaffe (1994),

mendefinisikan berpikir sebagai sebuah proses aktif, teratur dan penuh makna yang kita

gunakan untuk memahami dunia.

Berpikir dilakukan manusia untuk mamahami realitas kehidupan dengan mengambil

keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan

sesuatu yang baru (creativity). Menurut Taylor (1977), hal seperti ini seperti penarikan

kesimpulan dengan melihat berbagai kemungkinan dari realitas internal dan eksternal. Lebih

lanjut, menurut pendapatnya berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Thinking is

infering process (dalam http://www.ummuasiyah.com).

Dari beberapa pendapat ahli yang disampaikan, penulis dapat menarik kesimpulan

bahwa berpikir adalah suatu proses mental yang sifatnya ideasional dengan mememahami

realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan dan menghasilkan yang

baru.

Page 8: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

14

2. Kemampuan Berpikir Kritis

Ada beberapa definisi klasik mengenai berpikir kritis. Pendapat ini dikemukakan

beberapa ahli, yaitu John Dewey, Edward Glaser dan Robert Ennis (dalam Alec Fisher,

2001: 2-4).

Dewey (dalam Fisher, 2001: 2) menyebut berpikir kritis dengan berpikir reflektif,

kemudian mendefinisikannya sebagai active, persistent, and carefull consideration of a

belief or supposed from of knowledge in the light of the grounds which support in the further

conclusions to which it tends. Dewey berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan sebuah

kegiatan aktif, gigih, dan mempertimbangkan dengan hati-hati apa yang dipercayai atau

disangka benar dari pengetahuan dengan menggunakan alasan-alasan yang mendukung

sebuah kesimpulan. Dewey menekankan hal yang terpenting (essentially) dari berpikir kritis

adalah proses yang aktif. Dalam berpikir secara aktif akan memikirkan hal tersebut secara

keseluruhan, menanyakan pertanyaan untuk diri sendiri dan menemukan relevansi informasi

secara keseluruhan.

Glaser (dalam Fisher, 2001: 3) adalah seorang pendukung dari teori Dewey. Glaser

menyatakan bahwa berpikir kritis adalah sikap untuk mempertimbangkan dengan bijaksana

suatu masalah dan subyek.

Ennis (dalam Fisher, 2001: 4) memberikan definisi yang lebih luas. Berpikir kritis

adalah berpikir yang beralasan (reasonable), berpikir reflektif yang difokuskan kepada

keputusan untuk percaya atau tidak.

Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan oleh Scriven, berpikir kritis

yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat

pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan

mengevaluasi. Walker (dala Fisher, 2006: 1) semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil

observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing

dalam menentukan sikap dan tindakan.

Pendapat senada dikemukakan Anggelo (dalam Fisher, 2006: 6), berpikir kritis adalah

mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan

menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan

mengevaluasi.

Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan

dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Merujuk lagi pada pendapat Ennis (dalam

Fisher, 2006: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau

Page 9: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

15

berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan

dilakukan.

Proses berpikir kritis mengharuskan keterbukaan pikiran, kerendahan hati, dan

kesabaran. Kualitas tersebut membantu seseorang dalam mencapai pemahaman yang

mendalam. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran ditengah

banjir informasi dan kejadian yang mengelilingi mereka setiap hari. Johnson (2006: 185)

berpendapat, berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa

untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Berpikir

kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan siswa untuk mengevaluasi

bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pernyataan orang lain.

Dari uraian yang telah disampaikan ahli mengenai definisi bepikir kritis, penulis

menyimpulkan berpikir kritis adalah suatu proses berpikir untuk mampu mengkritisi,

memilih, memecahkan masalah dan membuat keputusan dengan alasan-alasan rasional yang

dapat dipertanggungjawabkan.

C. Pemecahan Masalah Matematika

1. Pengertian Masalah

Sebelum membahas lebih lanjut tentang pemecahan masalah, terlebih dahulu akan

dibahas tentang masalah. Manusia hidup tidak lepas dari masalah, dalam menjalani

hidupnya tentu saja akan banyak masalah yang harus dihadapi. Keberhasilan seseorang

menjalani hidupnya bergantung dari cara mengatasi masalah, dan dengan adanya masalah

manusia lebih banyak belajar. Masalah yang dihadapi seseorang berbeda dengan masalah

yang dihadapi orang lain. Suatu pertanyaan atau soal dapat merupakan masalah bagi

seseorang tetapi mungkin tidak merupakan masalah bagi orang lain. Menurut Polya (1973)

suatu masalah berarti mencari dengan sadar beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai

suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak dapat segera dicapai. Selanjutnya Polya

mengemukakan bahwa di dalam belajar matematika terdapat dua macam masalah yaitu

masalah untuk menemukan dan masalah untuk membuktikan. Ruseffendi ( 1988)

menyatakan bahwa: Suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang. Pertama bila

persoalan itu tidak dikenalnya, maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau

algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua ialah siswa harus mampu

menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya, terlepas dari

pada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga sesuatu itu

merupakan pemacahan masalah baginya, bila ia ada niat menyelesaikannya. Hudoyo (

Page 10: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

16

1979) berpendapat bahwa: Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan

tersebut menantang untuk dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin saja.

Lebih lanjut pertanyaan yang menantang ini menjadi masalah bagi seseorang bila orang itu

menerima tantangan itu. Dengan demikian suatu pertanyaan menjadi masalah bagi siswa,

apabila mereka diberi motivasi untuk menjawab masalah itu.

Pandangan- pandangan tentang pengertian masalah dalam pembelajaran matematika

banyak kesamaannya namun pada prinsipnya sama. Suatu soal atau pertanyaan dikatakan

masalah bagi seseorang apabila soal itu tidak dikenalnya atau belum memiliki prosedur atau

algoritma tertentu untuk menyelesaikannya.

2. Pemecahan Masalah Matematika

Istilah pemecahan masalah ditemui dalam berbagai profesi dan dalam disiplin ilmu yang

berbeda serta mempunyai banyak arti. Aisyah (2007) menjelaskan pemecahan masalah

dalam interprestasi sebagai tujuan adalah bebas dari soal, prosedur, metode dan konten yang

khusus. Yang menjadi pertimbangan khusus disini adalah belajar bagaimana cara

menyelesaikan masalah merupakan alasan mengapa metematika itu diajarkan. Interprestasi

kedua, matematika sebagai proses muncul sebagai suatu kegiatan yang dinamik, misalnya

proses menggunakan suatu pengetahuan kedalam suatu keadaan baru. Hal yang

dipentingkan disini adalah metode, strategi, prosedur, heuristic yang digunakan siswa dalam

menyelesaikan masalah. Interprestasi pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar

berhubungan dengan penentuan keterampilan minimal apa yang harus dicapai dalam

pengajaran matematika, dan keterampilan dasar apa yang diperlukan seseorang agar dapat

menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Hudoyo ( 1979) menyatakan pemecahan masalah

dapat diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun

aplikasi matematika dalam kehidupan sehari- hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara

kreatif untuk menyelesaikan masalah- masalah yang belum diketahui

penyelesaiannya.ataupun masalah- masalah yang belum kita kenal.

3. Tahap- Tahap Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah dalam interprestasi sebagai proses diperlukan startegi atau tahap-

tahap pemecahan masalah. Sejumlah pakar mengemukakan tentang pemecahan masalah.

Misalnya Polya ( 1973 ), mengemukakan bahwa terdapat empat tahap utama dalam proses

pemecahan masalah yaitu (1) memahami masalah ( understanding the problem ), (2)

merencanakan suatu penyelesaian ( devising a plan ), (3) melaksanakan rencana

Page 11: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

17

penyelesaian ( carrying out the plan ), (4) memeriksa kembali hasil penyelesaian ( looking

back ). Beberapa kegiatan- kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah

dalam matematika diantaranya menyelesaikan soal cerita dalam buku teks, menyelesaikan

soal- soal tidak rutin atau memecahkan teka- teki, penerapan matematika pada masalah yang

dihadapi dalam kehidupan nyata, menciptakan dan menguji konjektur.

Gagne ( dalam Ruseffendi, 1988) merinci lima tahap pemecahan yaitu: (1) menyajikan

masalah dalam bentuk yang lebih jelas; (2) menyatakan masalah dalam bentuk yang

operasional ( dapat dipecahkan ); (3) menyusun hipotesis- hipotesis alternative dan prosedur

kerja yang diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah itu; (4)

mengetes hipotesis dan melakukan kerja untukmemperoleh hasilnya ( pengumpulan data,

pengolahan data, dan lain- lain); hasilnya mungkin lebih dari sebuah; (5) memeriksa kembali

( mengecek ) apakah hasil yang diperoleh itu benar, mungkin memilih pada pemecahan yang

paling baik

Dewey ( dalam Sujono, 1998: 215 ) merinci lima tahap pemecahan yaitu: (1) tahu

bahwa ada masalah yakni kesadaran akan adanya kesukaran, rasa, putus asa, keheranan, dan

keragu- raguan, (2) mengenali masalah yakni klasifikasi dan definisi termasuk pemberian

tanda pada tujuan yang dicari, (3) menggunakan pengalaman yang lalu, misalnya informasi

yang relevan, penyelesaian soal yang lalu atau gagasan untuk merumuskan hipotesa dan

proposisi pemecahan masalah, (4) menguji secara berturut- turut hipotesa atau

kemungkinan- kemungkinan penyelesaian, (5) mengevaluasi penyelesaian dan menarik

kesimpulan berdasarkan bukti- bukti yang ada.

Tahap- tahap pemecahan masalah matematika yang dimaksudkan dalam penelitian ini

menggunakan tahapan pemecahan masalah menurut Polya yaitu (1) memahami masalah, (2)

merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan penyelesaian, (4) memeriksa kembali hasil,

dan ditambah dengan (5) secara keseluruhan.

D. Matematika dan Pembelajaran Matematika

Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya

mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha

atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia (Sri Subariah, 2006:1).

Menurut Ruseffendi (1993), matematika adalah terjemahan dari Mathematics. Namun arti

atau definisi yang tepat tidak dapat diterapkan secara eksak (pasti) dan singkat karena

cabang-cabang matematika makin lama makin bertambah dan makin bercampur satu sama

lainnya. Menurut Rusefendi (1993: 27-28) matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur

Page 12: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

18

yang tidak didefinisikan, definesi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan

kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif. Ruseffendi juga mengutip

beberapa definisi matematika menurut pendapat beberapa ahli, yaitu:

Menurut James & James matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,

susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan

jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.

Menurut Johnson & Rising matematika merupakan pola pikir, pola mengorganisasikan

pembuktian logik, pengetahuan struktur yang terorganisasi memuat: sifat-sifat, teori-teori

dibuat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori

yang telah dibuktikan kebenarannya (Reseffendi, 1993: 28).

Menurut Reys matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan

atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat (Reseffendi, 1993: 28)

Menurut Kline matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena

dirinya sendiri, tetapi keberadaanya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan

menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam (Reseffendi, 1993: 28)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan

yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Ini

berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep

dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif

aksiomatis ini harus diketahui oleh pengajar sehingga mereka dapat mempelajari

matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang komplek.

Menurutt Gagne (dalam Nyimas Aisyah, 2007), dalam belajar khususnya metematika

terdapat fase-fase. Fase tersebut adalah; (1) fase motivasi, yaitu fase dimana menunjukkan

harapan akan tujuan yang akan dicapai, (2) fase pemahaman, yaitu fase perhatian terhadap

unsur-unsur tertentu sehingga merupakan tanggapan selektif, (3) fase penguasaan, yaitu fase

pengkodean untuk dimasukkan dalam ingatan, (4) fase ingatan, yaitu fase penyimpanan

dalam ingatan, (5) fase pengungkapan kembali, yaitu fase pengetahuan yang disimpan dalam

ingatan dicari kembali , (6) fase generalisasi, yaitu fase transfer pengetahuan yang dimiliki

ke pengetahuan sejenis, (7) fase perbuatan, yaitu fase yang menyatakan bahwa tujuan belajar

tercapai, (8) fase umpan balik, yaitu fase penguatan terhadap pencapaian tujuan belajar. Fase

ini dalam kenyataannya sulit untuk diamati, dan kebanyakan peserta didik tidak menyadari

telah mengalami fase-fase ini.

Menurut Ruseffendi bahwa agar peserta didik memahami dan mengerti konsep

Matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni, dilanjutkan dengan konsep

Page 13: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

19

notasi, dan diakhiri dengan konsep terapan. Untuk dapat mempelajari struktur matematika

dengan baik maka refresentasinya dimulai dengan benda-benda konkrit yang beraneka

ragam. Misalnya anak akan lebih cepat memahami arti benda-benda bila disajikan berbagai

bentuk dan jenis benda-benda atau dengan kata lain bahwa benda-benda yang akan diamati

harus beragam jenisnya. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pengajar matematika

dalam pembelajaran Matematika adalah sebagai berikut:

a. Mengenalkan dengan konsep Matematika melalui benda-benda konkrit.

b. Menambah dan memperkaya pengalaman peserta didik.

c. Menanamkan konsep melalui jenis permainan.

d. Menelaah sifat bersama atau membeda-bedakan jenis dan macam konsep matematika.

e. Menerapkan dengan bentuk simbol-simbol.

f. Menerapkan konsep-konsep (struktur) Matematika secara formal sehingga sampai pada

aksioma dan dalil berdasarkan pengalaman peserta didik.

Pengajar dalam melaksanakan pembelajaran matematika diharapkan mampu mendasari

dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang tepat, antara lain :

a. Peserta didik harus menggunakan benda-benda konrit dan membuat abstraksinya dari

konsep-konsep.

b. Materi yang akan diajarkan harus ada hubungannya atau berkaitan dengan yang sudah

dipelajari.

c. Mengubah suasana abstrak ke dalam suasana konkrit menggunakan simbol.

d. Matematika adalah ilmu kreatif oleh karena itu harus diajarkan dengan ilmu seni.

Jadi pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang dapat menata kemampuan

berpikir para peserta didik, bernalar, memecahkan masalah, berkomunikasi, mengaitkan

materi matematika dengan keadaan sesungguhnya

E. Hasil Penelitian-penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:

1. Sahat Saragih (2007) dalam penelitian yang berjudul: Menumbuhkembangkan Berpikir

Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik.

Penelitian ini dilatarbelakangan oleh keadaan pembelajaran matematika di kelas yang

masih didominasi oleh paradigma mengajar yang memiliki ciri-ciri antara lain: guru aktif

menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima; pembelajaran berfokus

(berorientasi) pada guru, bukan pada siswa; ketergantungan siswa pada guru cukup besar;

independensi berpikir siswa kurang dikembangkan; pemahaman siswa cenderung pada

Page 14: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

20

pemahaman instrumental, bukan pada pemahaman relasional. Dimana Praktek

pembelajaran ini jelas tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan ide-ide kreatif, kurang melatih daya nalar, dan tidak terbiasa melihat

alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah. Dengan

sistem pembelajaran seperti ini menyebabkan aktifitas untuk mengembangkan

kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika sering terabaikan.

Akibatnya tidak sedikit siswa yang merasa takut terhadap matematika, merasa terbebani

dengan soal-soal matematika, dan bahkan bila mungkin lebih baik menghindari

matematika. Dengan penerapan pembelajaran matematika melalui Pendekatan

Matematika Realistik dapat memperbaikan pembelajaran matematika dari paradigma

mengajar ke paradigma belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke

pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dengan demikian siswa diberikan kesempatan

untuk mengalami proses penemuan terbimbing untuk menemukan sendiri konsep

matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual

mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang

telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku.

Dari hasil ini akhirnya menumbuhkan kemampuan berpikir logis pada siswa yang

akhirnya menghilangkan ketakutan siswa terhadap matematika yang pada akhirnya akan

meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

2. Muchamad Afcariono (2006). dalam penelitian yang berjudul: Penerapan Pembelajaran

Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa pada Mata

Pelajaran Biologi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir

siawa pada mata pelajaran Biologi dengan menerapan pembelajaran berbasis masalah

atau problem-basedlearning. Dari penelitian ini ditemukan bahwa; Pertanyaan dengan

tingkat kognitif rendah (C1, C2, dan C3) mengalami penurunan selama proses

pembelajaran yang telah dilakukan (Siklus I dan Siklus II). Hal serupa juga terjadi pada

jawaban siswa yang mengalami penurunan pada tingkatan kognitif C1 dan C3. Jawaban

siswa dengan tingkatan kognitif C2 tidak mengalami perubahan. Pada siklus I,

pertanyaan siswa masih cenderung pada pola kemampuan berpikir tingkat rendah (C1,

C2, dan C3) dan mengalami perubahan pada siklus II pada pola berpikir tingkat tinggi.

Kemampuan berpikir diperoleh dari kemampuan siswa menyampaikan pertanyaan dan

jawaban pada saat penyajian hasil laporan atau presentasi hasil laporan. Penerapan

pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran Biologi ternyata dapat meningkatkan

kemampuan berpikir siswa kelas X-A SMA Negeri 1 Ngantang. Hal ini dapat dilihat

Page 15: BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learningrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2527/3/LAPPEN...Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat

21

melalui adanya perubahan pada pola pikir siswa berdasarkan tingkatan kognitif.

Kemampuan bertanya dan menjawab siswa meningkat dari kemampuan berpikir tingkat

rendah (pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi) menjadi berpikir tingkat tinggi (analisis,

sintesis, dan evaluasi).

3. Sudarman (2006) dalam penelitian yang berjudul: Problem Based Learning: Suatu

Model Pembelajaran untuk Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan

Memecahkan Masalah.

Hasil penelitian ini mendapatkan satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita

adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa

kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di

kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi. Otak anak dipaksa

untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut memahami informasi

yang diingatnya itu untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya,

ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar teoritis tetapi mereka miskin aplikasi.

Pendidikan di sekolah terlalu menjejali otak anak dengan berbagai bahan ajar yang harus

dihafal. Pendidikan tidak diarahkan untuk mengembangkan dan membangun karakter

serta potensi yang dimiliki. Dengan kata lain, proses pendidikan kita tidak diarahkan

membentuk manusia cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta

tidak diarahkan untuk membentuk manusia kreatif dan inovatif. Permasalahan lain juga

terjadi pada kalangan perguruan tinggi. Belajar di perguruan tinggi yang merupakan

pilihan strategis untuk mencapai tujuan individual yang berkompeten ternyata masih jauh

dari harapan. Belajar di perguruan tinggi tidak hanya dituntut mempunyai keterampilan

teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir serta sikap mental, kepribadian,

kearifan, dan mempunyai wawasan yang luas dan berbeda. Buchori (2000) menyebutkan

bahwa manusia yang arif adalah manusia yang mempunyai: (1) pengetahuan yang luas,

(2) kecerdikan, (3) sikap hati-hati, (4) pemahaman terhadap norma-norma kebenaran, (5)

kemampuan mencerna informasi, dan (6) akal sehat. Selain hal tersebut di atas,

kemampuan penalaran (reasoning) juga merupakan bagian penting dari kearifan. Kondisi

belajar mengajar di perguruan tinggi belum dapat mengubah secara nyata wawasan dan

perilaku akademik. Hal ini dapat dilihat dari kualitas penalaran dan pemahaman

mahasiswa pada saat pendadaran atau ujian komprehensif. Salah satu pendekatan yang

dapat digunakan untuk menentukan kualitas proses pendidikan adalah melalui

pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem pembelajaran, kita bisa melihat berbagai

aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu proses.