bab ii studi literatur - rayvel wakulu | personal blog · keakuratan penelitian data, sehingga...
TRANSCRIPT
II-1
BAB II
STUDI LITERATUR
2.1. Distribusi Frekuensi
Distribusi frekuensi adalah pengelompokan data kedalam beberapa
kategori yang menunjukkan banyak data dalam setiap kategori dan setiap
data tidak dapat dimasukkan dua atau lebih kategori (Supranto, 1977).
Bagian-bagian dalam distribusi frekuensi adalah sebagai berikut:
1. Kelas
Kelompok nilai data atau variabel dari hasil pengukuran dan perhitungan
yang dibatasi dengan nilai terendah dan nilai tertinggi, kualitatif ataupun
kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan
yang lengkap.
2. Batas Kelas
Nilai-nilai yang membatasi kelas yang satu dengan kelas yang lainnya,
sehingga kelas tersebut dipisahkan oleh batasnya masing-masing yang
tertera dalam distribusi frekuensi. Batas kelas terdiri atas dua bagian, antara
lain:
a. Batas kelas bawah yaitu terdapat di deretan sebelah kiri setiap kelas
atau nilai yang berada di posisi awal kelas.
b. Batas kelas atas yaitu terdapat di deretan sebelah kanan setiap kelas
atau nilai yang berada di posisi akhir kelas.
II-2
3. Tepi Kelas
Batas kelas yang tidak memiliki lubang untuk angka tertentu antara kelas
yang satu dengan kelas yang lain, sehingga kelas tersebut akan memiliki
batas yang saling berhubungan. Tepi kelas terdiri dari dua bagian, antara
lain:
a. Tepi kelas bawah yaitu batas kelas bawah yang sebenarnya yang
berada di posisi awal kelas.
b. Tepi kelas atas yaitu batas kelas atas yang sebenarnya yang berada di
posisi akhir kelas.
Tepi kelas bergantung pada keakuratan pencatatan data, sehingga rumus
tepi kelas adalah sebagai berikut:
Tepi Bawah Kelas = Batas bawah kelas – 0,5
Tepi Atas Kelas = Batas atas kelas – 0,5
4. Titik Tengah Kelas
Angka atau nilai data yang tepat terletak ditengah suatu kelas yang
tertera dalam distribusi frekuensi. Titik tengah kelas bergantung pada
keakuratan penelitian data, sehingga rumus titik tengah adalah sebagai
berikut:
Titik Tengah Kelas = 21 (batas atas + batas bawah) kelas
5. Interval Kelas
Selang yang memisahkan kelas yang satu dengan kelas yang lain dengan
kelas adalah intervalnya.
II-3
6. Panjang Interval Kelas
Merupakan jarak dari sebuah kelas yang terletak antara tepi atas kelas
dan tepi bawah kelas.
7. Frekuensi Kelas
Banyaknya data yang termasuk kedalam kelas tertentu.
2.1.1 Penyusunan Distribusi Frekuensi
Data kuantitatif yang dikumpulkan dari lapangan (data mentah),
nilainya tidak selalu sama atau seragam tetapi bervariasi dari satu
pengamatan ke pengamatan yang lain, misalnya data hasil produksi, data
hasil penjualan, data tingkat konsumsi, dan lain-lain. Data hasil pengamatan
di lapangan mempunyai jumlah yang besar maka data mentah tersebut perlu
diolah dengan cara meringkas data tersebut dan didistribusikan ke dalam
kelas atau kategori (Supranto, 1977).
Tabel yang berisi susunan data yang terbagi ke dalam beberapa
frekuensi kelas disebut distribusi frekuensi atau tabel frekuensi. Penyajian
data dalam bentuk distribusi frekuensi maka akan memudahkan bagi pihak
yang berkepentingan terhadap data tersebut untuk melakukan analisis data,
dibandingkan jika data yang disajikan masih berupa data mentah dan dalam
jumlah yang banyak. Penyusunan suatu tabel adalah sebagai berikut:
1. Mengurutkan Data dari yang Terkecil Sampai yang Terbesar
Data yang diteliti dalam sebuah penelitian biasanya data mentah dan data
yang diberikan masih tidak teratur. Data yang tidak teratur tersebut sangat
menyulitkan untuk membuat sebuah distribusi frekuensinya, sehingga agar
memudahkan pembuatan data tersebut digunakan cara mengurutkan data
dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar.
II-4
2. Menentukan Jangkauan dari Data (R)
Data yang ada memiliki nilai yang bermacam-macam data tersebut
setelah diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar maka memiliki
nilai tersendiri. Nilai tersebut dari data yang telah tersusun hanya
menggunakan dua nilai yaitu data yang terkecil dan data yang terbesar,
sehingga rumus jangkauan adalah sebagai berikut:
Jangkauan = Data terbesar – data terkecil
3. Menentukan Banyaknya Kelas (k)
Banyaknya kelas sebaiknya paling banyak adalah 5 sampai dengan 20
kelas. Semakin besar jumlah data yang tersedia, semakin banyak kelas yang
harus digunakan. Jumlah kelas terlalu sedikit, maka mungkin akan
menyembunyikan ciri-ciri yang paling penting dari data karena adanya
pengelompokkan. Memiliki terlalu banyak kelas, maka akan timbul kelas
yang kosong dan distribusi itu tidak akan ada artinya. Jumlah kelas harus
ditetapkan dari banyaknya data yang tersedia dan keseragaman data. Sampel
yang terkecil memerlukan lebih sedikit kelas, sehingga mencari banyaknya
kelas digunakan rumus sebagai berikut:
3,31k + log n
Keterangan:
k : Banyaknya kelas.
n : Banyaknya data.
II-5
4. Menentukan Panjang Interval Kelas (i)
Interval kelas memiliki aturan umum untuk menetapkan panjang kelas
atau lebar kelas, bagilah selisih-selisih antara pengukuran terbesar dan
pengukuran terkecil dengan jumlah kelas yang diinginkan dan tambahkan
secukupnya pada hasil bagi sehingga mencapai angka yang cocok untuk
panjang kelas. Semua kelas, mungkin dengan pengecualian untuk kelas yang
terkecil dan yang terbesar, harus mempunyai lebar yang sama.
Memungkinkan untuk mengadakan perbandingan yang seragam terhadap
frekuensi kelas. Mencari panjang interval kelas digunakan rumus adalah
sebagai berikut:
kRi
Keterangan:
i : Panjang Interval Kelas.
R : Jangkauan.
k : Banyaknya kelas.
Menentukan interval kelas memiliki beberapa aturan. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam interval, antara lain:
a. Banyaknya kelas sebaiknya antara 7 dan 15, paling banyak 20 (tidak
ada aturan umum yang menentukan jumlah kelas). Seorang bernama
H.A. Strugess pada tahum 1926 memiliki artikel dengan judul “the
choice of a class interval” dalam journal of the american statistical asosiation
mengemukanan suatu rumus untuk menentukan banyaknya kelas
adalah sebagai berikut:
k = 1 + 3,322 log n
Keterangan:
k : Banyaknya kelas.
II-6
n : Banyaknya nilai observasi.
b. Kelas Interval tidak Perlu Sama
Pembuatan kelas interval sangat tergantung kepada tujuan. Misalnya
kalau hanya tertarik kepada rincian perusahaan yang mempunyai
modal antara 50–70 dan dibawah 50 serta 70 atau lebih, maka bentuk
tabel frekuensinya adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Kurang dari atau Lebih Besar dari
Batas Kelas Modal F
< 50 5
50 – 59 11
60 – 69 20
≥ 70 64
(Sumber : Statistik teori dan aplikasi, 1977)
Keterangan:
< : Kurang dari atau lebih kecil dari.
≥ : Sama atau lebih besar dari.
c. Datanya diskrit (= hasil pengumpulan data dari variabel diskrit), maka
pembuatan kelas intervalnya seperti terlihat dalam tabel berikut: Tabel 2.2. Karyawan Suatu Perusahaan menurut
Tingkat Upah Mingguan
Upah Mingguan (Rp) Banyaknya karyawan (F)
< 1.000 2.918
1.000 – 1.999 5.327
2.000 – 2.999 6.272
3.000 – 3.999 7.275
4.000 – 4.999 7.117
5.000 – 5.999 6.363
II-7
Tabel 2.2. Karyawan Suatu Perusahaan menurut
Tingkat Upah Mingguan (lanjutan)
Upah Mingguan (Rp) Banyaknya karyawan (F)
6.000 – 7.499 6.940
7.500 – 9.999 5.186
10.000 – 14.999 3.107
≥ 15.000
(Sumber : Statistik teori dan aplikasi, 1977)
5. Menentukan Batas Kelas
Mulailah dengan kelas yang terendah sehingga pengukuran terendah
tercukup. Menambahkan kelas-kelas yang masih tinggal batas-batas kelas
harus dipilih sehingga suatu pengukuran tidak mungkin jatuh pada suatu
batas.
2.1.2 Frekuensi Relatif, Kumulatif, dan Grafik
Sering kali untuk keperluan analisis, selain dibuat tabel frekuensi juga
dibuat tabel frekuensi relatif dan kumulatif (untuk analisis tabel), kemudian
dibuat grafiknya (untuk analisis grafik). Grafik yang berupa gambar pada
umumnya lebih mudah diambil kesimpulannya secara cepat dari pada tabel.
Sebuah data dalam bentuk grafik itulah yang menyebabnya maka sering kali
data disajikan dalam bentuk grafik (Supranto, 1977). Dasarnya, bentuk tabel
frekuensi relatif dan kumulatif adalah sebagai berikut:
II-8
Tabel 2.3. Frekuensi Relatif dan Kumulatif
X f rf kf kf
1x 1f nf1 1f ki ffff ......21
2x 2f nf 2 21 ff ki fff ......2
. . . . .
. . . . .
ix if nf i ifff ...21 ki ff ...
. . . . .
. . . . .
kx kf nf k ki ffff ......21 kf
Jml
k
ii nf
1 1
nf i
(Sumber : Statistik teori dan aplikasi, 1977)
Jumlah pengukuran yang masuk dalam suatu kelas tertentu, dengan
kelas i, disebut frekuensi kelas dan ditentukan oleh simbol if . Frekuensi
kelas diberikan dalam kolom kelima dari tabel 2.3. Kolom terakhir dari tabel
menyajikan dari jumlah keseluruhan pengukuran yang masuk dalam setiap
kelas. Data ini disebut frekuensi relatif kelas. Data di atas n menunjukkan
jumlah seluruh pengukuran, misalnya dengan n=25 maka frekuensi relatif
untuk kelas ke-i adalah if dibagi dengan n, dengan rumus sebagai berikut:
II-9
Frekuensi Relatif = nf i
Penyusunan tabel yang disajikan dapat dinyatakan secara grafik
dalam bentuk suatu histogram frekuensi, seperti dalam gambar 2.1. Grafik
dalam suatu histogram frekuensi, persegi panjang didirikan diatas setiap
interval kelas, tingginya sebanding dengan pengukuran (frekuensi kelas)
yang masuk dalam setiap interval kelas pada histogram frekuensi.
Histogram frekuensi adalah himpunan batang persegi panjang yang
alasnya disumbu datar, lebarnya sama dengan panjang selang kelas, dan
luasnya sebanding dengan frekuensi kelas (Sumartojo, 1993).
0
2
4
6
8
10
12
14
68,5 79,5 90,5 101,5 112,5 123,5Lingkar Pinggang
Frek
uens
i
Gambar 2.1 Grafik Histogram
(Sumber: Statistik Teori dan Aplikasi, 1977)
Seiring lebih mudah untuk untuk mengubah histogram frekuensi
dengan menggambarkan frekuensi relatif kelas daripada frekuensi kelas.
Sebuah histogram frekuensi relatif disajukan dalam gambar 2.2. Para ahli
II-10
statistik jarang membuat pembedaan antara histogram frekuensi dan
histogram frekuensi relatif dan mengacu kedua-duanya sebagai suatu
histogram frekuensi atau hanya sebagai histogram. Nilai-nilai frekuensi dan
frekuensi relatif bersangkutan ditandai sepanjang sumbu-sumbu vertikal dari
grafik, maka histogram frekuensi dan frekuensi relatif adalah sama
(bandingkan gambar 2.1 dan gambar 2.2).
0,25
2,254,25
6,258,25
10,2512,25
14,25
68,5 79,5 90,5 102 113 124Lingkar Pinggang
Frek
uens
i
Gambar 2.2 Grafik Histogram Frekuensi Relatif
(Sumber: Statistik Teori dan Aplikasi, 1977)
Grafik poligon atau poligon frekuensi adalah himpunan ruas garis
yang menghubungkan titik tengah ujung batang histogram dan dihubungkan
dengan ruas garis dari titik tengah dan berujung ke sumbu datar (Sumartojo,
1993).
II-11
0
2
4
6
8
10
12
14
74 85 96 107 118 129
Lingkar Pinggang
Gambar 2.3 Grafik Poligon
(Sumber: Statistik Teori dan Aplikasi, 1977)
Grafik dapat dibuat analisis, khususnya dalam masalah pemerataan
pendapat, dikenakan suatu kurva yang disebut kurva lorenz (lorenz curve).
Kurva lorenz ini pada dasarnya juga merupakan kurva dari frekuensi
kumulatif. Data yang kemudian apabila sumbu tegak (vertical axis)
menunjukkan angka-angka kumulatif mengenai frekuensi, maka sumbu
mendatar (horizontal axis) menunjukkan kumulatif lingkar pinggang.
II-12
05
101520253035
74 85 96 107 118 129Lingkar Pinggang
Frek
uens
i
F.KumKurang Dari(<)F.Kum LebihDari (>)
Gambar 2.4 Grafik Ogif
(Sumber: Statistik Teori dan Aplikasi, 1977)
2.2. Ukuran Pemusatan
Definisi ukuran pemusatan adalah nilai tunggal yang mewakili suatu
kumpulan data dan menunjukan karakteristik dari data. Ukuran pemusatan
menunjukan pusat dari nilai data sembarang ukuran yang menunjukkan
pusat segugus data yang telah diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar
atau sebaliknya dari terbesar sampai terkecil, serta data yang belum
diurutkan disebut ukuran lokasi pusat atau ukuran pemusatan (Yohana,
2007).
Memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang sekumpulan data, baik
sampel maupun populasi, diperlukan ukuran-ukuran yang merupakan wakil
dari kumpulan data tersebut. Terdapat 3 macam ukuran yang biasa
digunakan orang dalam perhitungan. Pertama adalah ukuran pemusatan
(gejala pusat), kedua adalah ukuran letak dan yang ketiga adalah ukuran
II-13
simpangan (dispersi). Pembahasan ukuran pemusatan dapat dikelompokan
dalam dua bagian, yaitu:
1. Rata–rata (hitung, ukur, dan harmonik), median, modus data yang belum
berkelompok dan data yang sudah berkelompok.
2. Ukuran peletakan harus memiliki kuartil, desil, dan persentil untuk data
yang belum berkelompok dan sudah berkelompok.
1.2.1 Rata-rata Hitung
Rata–rata hitung adalah nilai yang di peroleh dengan menjumlahkan
semua nilai data dan membaginya dengan jumlah data, dengan demikian
rata–rata hitung menunjukan pusat nilai data dan merupakan nilai yang
dapat mewakili dari keterputusan data (Supranto, 1977). Memudahkan
pembahasan mengenai rata–rata hitung ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
1. Rata–Rata Hitung Data yang Belum Berkelompok
Rata–rata hitung data yang belum berkelompok adalah nilai rata–rata
dari sekumpulan data yang di peroleh dengan cara menjumlahkan semua
nilai data dan membaginya dengan jumlah data (Walpole, 1995). Rumus
rata–rata hitung data belum berkelompok adalah sebagai berikut:
nX
X
Keterangan:
X : Nilai rata–rata hitung dari seluruh nilai pengamatan.
∑ X : jumlah nilai setiap data pengamatan.
n : Jumlah data pengamatan dalam sempel atau populasi.
II-14
2. Rata–Rata Hitung Data Berkelompok
Rata–rata hitung data berkelompok adalah nilai rata–rata dari data yang
berkelompok. Pengertian berkelompok disini adalah data dikelompokan
dalam bentuk distribusi frekuensi (Yohana, 2007).
Pengelompokan data dalam distribusi frekuensi akan mempermudah
pemahaman karena data yang berbeda dalam suatu kelas akan memiliki
karakteristik yang sama yang dicerminkan oleh nilai tengah kelasnya. Data di
dapat dengan cara menjumlahkan dahulu nilai dari titik tengah kelas dan
dikalikan dengan frekuensi kelas lalu dibagi dengan jumlah frekuensi data.
Rumus rata–rata hitung dengan data berkelompok adalah sebagai berikut:
nXf
X i .
Keterangan:
X : Nilai rata-rata dari data kelompok.
F : Frekuensi dari tiap kelas.
Xi : Nilai tengah dari tiap kelas.
∑ FXi : Jumlah dari seluruh hasil perkalian antara frekuensi dan nilai
tengah dari tiap kelas.
n : Jumlah data pengamatan dalam sampel atau populasi.
Metode Pengkodean didapat dengan cara mengambil titik tengah kelas
yang bernilai nol ditambah dengan interval kelas lalu dikalikan dengan
jumlah kode titik tengah kelas dikali dengan frekuensi kelas lalu dibagi
dengan jumlah frekuensi data. Metode tersebut apabila dituliskan kedalam
bentuk rumus adalah sebagai berikut:
II-15
inF
XX a .
Keterangan:
X : Rata-rata sampel.
aX : Frekuensi yang paling besar.
F : Frekuensi.
µ : Kode frekuensi pada kelas besar.
n : Jumlah frekuensi data sample atau populasi.
i : Panjang interval kelas.
3. Rata–Rata Hitung Tertimbang
Rata–rata hitung yang telah dijelaskan di atas, data yang dianggap
memiliki bobot yang sama, pada kenyataan cukup banyak data yang
memiliki bobot yang berbeda walaupun nilainya sama. Rumus rata–rata
hitung bertimbang adalah sebagai berikut:
wX.w)(
Xw
keterangan:
X w : Rata rata hitung tertimbang.
X : Nilai data pengamatan.
W : Nilai bobot atau timbangan dari suatu data.
2.2.2 Rata-Rata Ukur (Geometrik Mean)
Rata-rata ukur digunakan untuk menggambarkan keseluruhan data,
khususnya bila data tersebut mempunyai ciri tertentu, yaitu banyak nilai
data yang satu sama lain saling berkelipatan sehingga perbandingan tiap dua
II-16
data yang berurutan tetap atau hampir tetap. Kegunaan rata-rata ukur antara
lain menghitung rata-rata terhadap persentase atau rasio perubahan suatu
gejala pada data tertentu (Walpole, 1995).
Rata-rata ukur mempunyai beberapa cara untuk melakukan
perhitungan sehingga akan memperoleh hasil yang baik. Perhitungan rata-
rata ukur dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Rata-rata ukur untuk data tidak berdistribusi, digunakan untuk
menentukan tiap gejala yang terjadi dalam bentuk persentase dan
banyaknya data atau dengan kata lain masih dalam data yang mentah
dan baru akan diolah. Rumus untuk rata-rata untuk data tidak
terdistribusi adalah sebagai berikut:
100..... 21 nnXXXRU
Keterangan:
X : Titik tengah tiap kelas.
2. Rata-rata ukur untuk data berdistribusi, diperoleh dengan cara
menentukan rata-rata dengan titik tengah dan frekuensinya telah
diketahui, sehingga mempermudah untuk proses pengolahan data. Rata-
rata ukur distribusi apabila dituliskan dalam bentuk rumus adalah
sebagai berikut:
nxF
LogRUlog.
Keterangan:
F : Frekuensi data.
X : Titik tengah tiap kelas.
n : Jumlah frekuensi data.
II-17
3. Rata-rata ukur sebagai pengukuran tingkat pertumbuhan, digunakan
untuk menghitung tingkat pertumbuhan manusia mulai dari kelahiran
hingga kematian, dapat menggunakan penghitungan rata-rata ukur. Data
yang diukur dalam pengukuran tersebut digunakan untuk menentukan
pertumbuhan dan kematian yang terjadi sehingga dapat diteliti sensus
penduduknya.
2.2.3 Rata-Rata Harmonik (Harmonik Mean)
Cara lain yang dipakai untuk menentukan ukuran pemusatan data
adalah dengan rata-rata harmonik, khususnya bila suatu kelompok data
mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan bilangan pecahan atau
bilangan dalam harmonik. Rata-rata harmonik ialah proses mencari nilai
rata-rata dengan cara menjumlahkan data dibagi dengan jumlah satu
persetiap data (Walpole, 1995). Rata-rata harmonik data tunggal ialah proses
perhitungan untuk mencari rata-rata dengan cara banyaknya data dibagi
dengan 1 per nilai tiap data atau harga tiap data. Perhitungan rata-rata
harmonik dengan data tunggal adalah sebagai berikut:
nXn
XX111
21
Keterangan:
X : Harga atau nilai tiap data.
n : Banyaknya data.
2.2.4 Median
Median termasuk dengan nilai median adalah nilai yang berada
ditengah–tengah data setelah data di urutkan. Kegunaan median adalah
II-18
untuk menutupi kelemahan rata–rata hitung dimana rata–rata hitung sering
memiliki data-data yang berbeda secara ekstrem. Pengertian median secara
lengkap adalah median adalah titik tengah dari semua nilai yang telah
diurutkan dari nilai terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya dari yang
besar sampai yang terkecil (Supranto, 1977). Median ini dibagi menjadi dua
data, yaitu:
1. Data Belum Berkelompok
Median dengan data belum berkelompok dapat di bagi menjadi dua
yaitu jumlah datanya (n) ganjil dan jumlah datanya genap. Langkah untuk
mencari median adalah sebagai berikut:
a. Tentukan letak median dengan cara jumlah n di tambah 1 lalu di
bagi 2 dengan cara ( n + 1 ) / 2.
b. Urutkan data dari yang terkecil sampai terbesar atau sebaliknya.
c. Tentukan nilai median, untuk data n yang ganjil nilai median adalah
data yang terletak ditengah sedangkan untuk jumlah data yang
genap nilai median adalah dua data yang terletak di tengah di
jumlahkan lalu di bagi 2.
2. Data Sudah Berkelompok
Pengertian median dengan data sudah berkelompok adalah sama dengan
median data belum berkelompok yaitu nilai yang letaknya ada di tengah data
sehingga data berada setengahnya diatas dan setengahnya di bawah.
Membedakan median dengan data berkelompok median data tidak
berkelompok adalah karakteristik masing-masing data tidak dapat di
identifikasi lagi yang dapat di ketahui hanya karakter dari kelas atau
intervalnya. Langkah untuk menentukan median dengan data berkelompok
adalah sebagai berikut:
II-19
a. Tentukan letak kelas dimana nilai, median berada letakan median
adalah n /2 dimana n adalah jumlah frekuensi.
b. Lakukan interpolasi di kelas median berada untuk mendapatkan
nilai median rumus interpolasi adalah sebagai berikut:
i.f
FK -n 21
L Md
Keterangan:
Md : Nilai median.
L : Batas bawah atau tepi kelas dimana median berada.
FK : Frekuensi komulatif sebelum kelas median berada.
f : Frekuensi dimana kelas median berada.
i : Besarnya interval kelas (jarak antara batas atas kelas dengan
batas bawah kelas).
2.2.5 Modus
Modus dari suatu kelompok nilai adalah nilai dari kelompok tersebut
yang mempunyai frekuensi tertinggi. Nilai yang paling banyak terjadi di
dalam suatu kelompok nilai untuk lebih mudah disingkat dengan mod
(Supranto, 1977).
Suatu distribusi tidak mempunyai mod, mungkin mempunyai dua
mod atau lebih. Distribusi disebut unimodal, kalau mempunyai satu mod,
sedangkan bimodal mempunyai dua mod atau multimodal apabila mempunyai
lebih dari dua mod.
Terdapat dua cara mencari dan menghitung modus baik untuk data
yang belum berkelompok maupun untuk data yang sudah berkelompok,
yaitu:
II-20
1. Data yang belum berkelompok maka modus adalah nilai yang paling
sering muncul atau frekuensi yang paling banyak .
2. Data yang sudah berkelompok maka modus di cari dan di tentukan
dengan rumus sebagai berikut:
i.d d
d L Mo21
1
Keterangan:
Mo : Nilai Modus.
L : Batas bawah atau kelas dimana modus berada.
1d : Selisih frekuensi kelas modus dengan kelas sebelumnya
2d : Selisih frekuensi kelas modus dengan kelas sesudahnya.
i : Besarnya interval kelas.
2.2.6 Kuartil
Kuartil adalah ukuran letak yang membagi data yang telah di urutkan
atau data yang berkelompok menjadi 4 bagian yang sama besar masing
masing 25% (Supranto, 1977). Kuartil dibagi menjadi 3 buah kuartil yaitu
kuartil 1, kuartil 2, dan kuartik 3. Kuartil 1 membagi data atas dua bagian
dengan 25% dibawahnya. Kuartil 2 menbagi data atas dua bagian dengan
50% dibawahnya. Kuartil 3 membagi data atas dua bagian dengan 75%
dibawahnya. Letak bagian pertama dari kuartil pada suatu data disebut
kuartil 1 atau 1K bagian kedua di sebut:
II-21
Tabel 2.4. Kuartil Ukuran Letak
Ukuran Letak
Rumus Ukuran Letak
Data Tidak
Berkelompok Data Berkelompok
Kuartil ( 1K ) (1 ( n + 1 ) /4) 1 n / 4
Kuartil ( 2K ) (2 ( n + 1 ) /4) 2 n / 4
Kuartil ( 3K ) (3 ( n + 1 ) /4) 3 n / 4
(Sumber: Statistik teori dan aplikasi, 1977)
Menghitung Kuartil untuk data berkelompok pada dasarnya sama
dengan menghitung data tidak berkelompok, Perbedaanya hanya pada
mencari nilai Kuartil yang menggunakan Rumus interpolasi. Langkah
mencari kuartil untuk data berkelompok adalah sebagai berikut:
a. Tentukan letak data kuartil dengan rumus yang telah dijelaskan di atas.
b. Hitung nilai kuartil dengan menggunakan rumus interpolasi sebagai
berikut.
Kuartil untuk data berkelompok adalah sebagai berikut:
CiF
FKni
LNK .)
4(
Keterangan:
NK : Nilai kuartil ke–i dimana i = 1,2,3.
L : Tepi kelas dimana kuartil berada.
n : Jumlah data atau frekuensi total.
ni4 : Rumus mencari letak kuartil.
II-22
FK : Frekuensi komulatif sebelum kelas kuartil.
F : Frekuensi pada kelas kuartil.
Ci : Interval kelas kuartil.
2.2.7 Desil
Kelompok data dimana n ≥ 10 tentukan 9 nilai yang membagi
kelompok data tersebut menjadi 10 bagian yang sama misalnya 1D , 2D , .....
9D , artinya setiap bagian mempunyai jumlah observasi yang sama,
sedemikian rupa sehingga 10% observasi nilainya sama atau lebih kecil dari
1D , 20% nilainya sama dengan atau lebih kecil dari 2D dan seterusnya. Nilai
tersebut dinamakan desil pertama, desil ke dua dan seterusnya sampai desil
ke sembilan. Kelompok data tersebut nilainya sudah diurutkan nilai dari
yang terkecil (= 1X ) sampai yang terbesar (= nX ).
Rumus–rumus yang di pakai dalam desil pada dasarnya juga sama
dengan rumus dalam mencari kuartil yang berbeda hanya pembagiannya
yaitu desil dibagi 10. Rumus–rumus untuk desil adalah sebagai berikut: Tabel 2.5. Desil Ukuran Letak
Ukuran Letak
Rumus Ukuran Letak
Data Tidak
Berkelompok Data Berkelompok
Desil 1 ( 1D ) ( 1 ( N + 1 ) / 10 ) 1 N / 10
Desil 2 ( 2D ) ( 2 ( N + 1 ) / 10 ) 2 N / 10
II-23
Tabel 2.5. Desil Ukuran Letak (Lanjutan)
Ukuran Letak
Rumus Ukuran Letak
Data Tidak
Berkelompok Data Berkelompok
Desil 3 ( 3D ) ( 3 ( N + 1 ) / 10 ) 3 N / 10
. . .
Desil 9 ( 9D ) ( 9 ( N + 1 ) / 10 ) 9 N / 10
(Sumber: Statistik teori dan aplikasi, 1977)
Desil untuk data berkelompok adalah sebagai berikut:
CiF
FKniLND .)10/.(
Keterangan:
ND : Nilai desil ke–i dimana i = 1, 2, 3, ....., 9.
L : Tepi kelas dimana letak desil berada.
n : Jumlah data atau frekuensi total.
(i.n / 10 ) : Rumus mencari data desil.
FK : Frekuensi komulatif sebelum kelas desil.
F : Frekuensi pada kelas desil.
Ci : Interval kelas desil.
2.2.8 Persentil
Persentil adalah kelompok data dimana n ≥ 100, tentukan 99 nilai, 1P ,
2P , ...., 99P yang disebut persentil pertama, kedua dan ke-99, yang membagi
kelompok data tersebut menjadi 100 bagian masing–masing bagian dengan
II-24
jumlah observasi yang sama, sedemikian rupa, sehingga 1% dari observasi
mempunyai nilai yang sama atau lebih kecil dari 1P 2% observasi
mempunyai nilai yang sama atau lebih kecil dari 2P dan seterusnya. Rumus-
rumus untuk persentil adalah sebagai berikut:
Tabel 2.6. Persentil Ukuran Letak
Ukuran Letak
Rumus Ukuran Letak
Data Tidak
Berkelompok Data Berkelompok
Persentil 1 ( 1P ) ( 1 ( N+1) /100) 1 N / 100
Persentil 2 ( 2P ) ( 2 ( N+1) /100) 2 N / 100
Persentil 3 ( 3P ) ( 3 ( N+1) /100) 3 N / 100
. . .
Persentil 99 ( 99P ) ( 99 ( N+1) /100) 99 N / 100
(Sumber: Statistik teori dan aplikasi, 1977)
persentil data yang tidak berkelompok:
NP = NPB + { (LP – LPB) / ( LPA- LPB) x (NPA - NPB) }
Keterangan:
NP : Nilai persentil.
NPB : Nilai persentil yang berada dibawah letak persentil.
LP : Letak persentil.
LPB : Letak data persentil yang berada dibawah letak persentil.
LPA : Letak data persentil yang berada diatas letak persentil.
NPA : Nilai persentil yang berada diatas letak persentil.
II-25
Persentil untuk data berkelompok:
CiF
FKniLNP .)100/.(
Keterangan:
NP : Nilai persentil ke–i dimana i = 1,2,3.....9.
L : Tepi kelas dimana letak persentil berada.
n : Jumlah data atau frekuensi total.
(i.n / 10 ) : Rumus mencari data persentil.
FK : Frekuensi komulatif sebelum kelas persentil.
F : Frekuensi pada kelas persentil.
Ci : Interval kelas persentil.
2.3. Ukuran Penyebaran
Ukuran penyebaran digunakan untuk memberikan kejelasan
informasi karena terjadinya nilai dari rata-rata mempunyai perbedaan nilai
rata-rata yang ekstrim antara nilai tertinggi dengan nilai terendah (Yohana,
2007).
Ukuran penyebaran digunakan untuk menunjukan seberapa besar
persebaran data yang terjadi pada data dengan melihat selisih dari data
terbesar dan data terkecil.
Ukuran penyebaran terdapat kuartil, simpangan rata-rata, varians dan
ukuran-ukuran yang lain. Ukuran penyebaran terdiri dari ukuran
penempatan. Ukuran penempatan merupakan ukuran letak sebagai
pengembangan dari beberapa penyajian data yang berbentuk tabel, grafis,
dan diagram. Analisa dalam memutuskan ukuran apa yang tepat digunakan
untuk sekelompok data tertentu, dimana sebuah ukuran saja tidak mampu
menjelaskan sekelompok data maupun distribusi frekuensinya. Salah satu
II-26
contoh dari ukuran penyebaran adalah pemakaian ukuran penyebaran pada
kegiatan di bidang ekonomi.
Ukuran Penyebaran Untuk Data Tunggal
Pencarian ukuran penyebaran pada data tunggal maka dilakukan
dengan mencari nilai range, deviasi, rata–rata dan varians serta deviasi
standar (Yohana, 2007).
1. Range (Jarak)
Ukuran paling sederhana dari ukuran penyebaran adalah nilai range atau
jarak yang dirumuskan dengan selisih atau perbedaan dari nilai terbesar dan
nilai terkecil dari suatu kelompok data, baik populasi maupun sampelnya.
Rumus dari range atau jarak adalah sebagai berikut:
Terkecil Nilai -Terbesar Nilai )Jarak ( Range
Catatan:
Semakin kecil nilai range maka semakin baik karena data mendekati pada
nilai pusatnya (nilai rata–ratanya), demikian sebaliknya.
2. Deviasi Rata–Rata
Ukuran pada range atau jarak, kesimpulan ditarik dari nilai tertinggi
terendah saja, dengan kata lain data lainnya baik populasi maupun sampel
terabaikan. Deviasi agar dapat melihat pengaruh data lainnya maka
diperlukan deviasi rata-rata yang mengukur besarnya variasi atau selisih dari
setiap nilai pada populasi atau sampel dari rata rata–rata hitungnya. Deviasi
rata-rata dapat didefinisikan rata–rata hitung dari nilai mutlak deviasi antara
data pengamatan dengan rata-rata hitungnya. Rumus deviasi rata-rata data
tunggal adalah sebagai berikut:
II-27
n
X - X MD
Keterangan:
MD : Deviasi rata-rata.
X : Nilai setiap data pengamatan.
X : Nilai rata-rata hitung dari seluruh nilai pengamatan.
N : Jumlah data dalam sampel atau populasi.
: Lambang nilai mutlak.
Catatan:
Nilai atau angka mutlak dipakai karena jumlah dari selisih nilai data
dengan nilai hitung rata-rata adalah sama dengan nol, oleh karenanya
digunakan angka mutlak.
3. Varians dan Standar Deviasi Populasi
Varians dan standar deviasi merupakan dua buah ukuran yang paling
sering digunakan untuk mengetahui ukuran penyebaran seperangkat data.
Varians adalah kuadrat dari standar deviasi sebaliknya standar deviasi
adalah akar (pangkat dua) dari varians. Varians dapat dibedakan menjadi
varians sampel dan varians populasi. Rumus varians populasi data tunggal
adalah sebagai berikut:
nx
dimana n
-x 2
Rumus standar deviasi populasi data tunggal adalah sebagai berikut:
2
Keterangan : 2 : Varians populasi (dibaca tho).
X : Nilai setiap data atau pengamatan dalam populasi.
II-28
µ : Nilai rata-rata hitung dalam populasi.
n : Jumlah total data dalam populasi.
2 : Standar deviasi populasi.
4. Varians dan Standar Deviasi Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang digunakan jika perangkat
datanya besar. Jumlah data atau populasi kecil ( ≤ 30) maka usahakan semua
data masuk dalam perhitungan dengan kata lain digunakan varians dan
standar deviasi populasi dan jika datanya besar ( ≥ 30) maka digunakan
varians dan standar deviasi sampel. Rumus varians sampel data tunggal
adalah sebagai berikut:
1-n
)X - (X2 S
Rumus standar deviasi sampel data tunggal adalah sebagai berikut:
2SS
Keterangan : 2S : Variasi sampel.
X : Nilai setiap data atau pengamatan dalam populasi.
µ : Nilai rata-rata hitung dalam populasi.
n : Jumlah total data dalam populasi.
2S : Standar deviasi sampel.
2.3.2 Ukuran Penyebaran untuk Data Berkelompok
Pencarian ukuran penyebaran pada data berkelompok maka
dilakukan dengan mencari nilai range, deviasi, rata–rata dan varians serta
deviasi standar.
II-29
1. Range (Jarak)
Ukuran paling sederhana dari ukuran penyebaran adalah nilai range atau
jarak yang dirumuskan dengan selisih atau perbedaan dari nilai terbesar dan
nilai terkecil dari suatu kelompok data, baik populasi maupun sampelnya.
Rumus dari range atau jarak untuk data berkelompok adalah sebagai berikut:
terbawahkelasbawah Batas - tertinggikelas atas Batas )Jarak ( Range
2. Deviasi Rata–Rata
Ukuran pada range atau jarak, kesimpulan ditarik dari nilai tertinggi atau
terendah saja, dengan kata lain data lainnya baik populasi maupun sampel
terabaikan. Data agar dapat melihat pengaruh data lainnya maka diperlukan
deviasi rata–rata yang mengukur besarnya variasi atau selisih dari setiap
nilai pada populasi atau sampel dari rata rata–rata hitungnya. Deviasi rata-
rata dapat didefinisikan rata–rata hitung dari nilai mutlak deviasi antara data
pengamatan dengan rata-rata hitungnya. Rumus deviasi rata–rata data
berkelompok adalah sebagai berikut:
nX f
X dimana n
X - Xf MD
Keterangan:
MD : Deviasi rata-rata.
f : Jumlah frekuensi setiap kelas.
X : Nilai setiap data pengamatan.
X : Nilai rata-rata hitung dari seluruh nilai pengamatan.
N : Jumlah data dalam sampel atau populasi.
: Lambang nilai mutlak.
II-30
Catatan:
Nilai atau angka mutlak dipakai karena jumlah dari selisih nilai data
dengan nilai hitung rata-rata adalah sama dengan nol, oleh karenanya
digunakan angka mutlak.
3. Varians dan Standar Deviasi Data Berkelompok
Varians dan deviasi standar untuk data berkelompok pada dasarnya sama
dengan varians dan deviasi pada data tunggal, perbedaan hanya pada
perkalian yang dilakukan dengan frekuensi kelas. Rumus varians sampel data
berkelompok adalah sebagai berikut:
1-n
)X - (X f 22 S
Rumus standar deviasi sampel data berkelompok adalah sebagai berikut:
2SS
Keterangan: 2S : Variasi sampel.
X : Nilai setiap data atau pengamatan dalam populasi.
µ : Nilai rata-rata hitung dalam populasi.
n : Jumlah total data dalam populasi.
2S : Standar deviasi sampel.
2.3.3 Ukuran Penyebaran Lainnya
Ukuran untuk pencarian ukuran penyebaran lainnya maka dilakukan
dengan mencari nilai range inter kuartil dan deviasi kuartil (Supranto, 1977).
II-31
1. Range Inter Kuartil
Kuartil dinyatakan sebagai ukuran letak yang membagi data yang telah
diurutkan atau data berkelompok menjadi 4 bagian sama rata dengan
masing-masing 25%.
Kuartil 1 (K1) membatasi daerah data dibawahnya sebesar 25% dan
daerah diatasnya sebesar 75% sedangkan kuartil 3 (K3) sebaliknya membatasi
data diatasnya 25% dan membatasi data dibawahnya 75%. Ukuran range
inter kuartilnya ialah K3 dikurangi K1 adalah sebagai berikut:
13 K K ilInterkuart Range
2. Deviasi Kuartil
Deviasi kuartil dirumuskan sebagai setengah dari selisih range inter
kuartil sehingga rumus deviasi kuartil adalah sebagai berikut :
2K K
(DK) kuartil Deviasi 13
2.3.4 Ukuran Kemencengan, Keruncingan, dan Angka Baku
Ukuran untuk melihat seberapa nilai kemencengan dan keruncingan
dari data perhitungan ukuran penyebaran maka digunakan ukuran
kemencengan dan ukuran keruncingan (Yohana,2007).
1. Ukuran Kecondongan (Skewness)
Ukuran kecondongan atau skewness untuk melihat seberapa
kecondongan data jika dibuat dalam bentuk kurva. Kecondongan terjadi jika
Mo. Md X Jenis kecondongan ada dua, pertama condong positif dimana
kurva condong ke kiri dengan nilai Mo Md X . Kecondongan yang kedua
adalah condong negatif dimana kurva condong kekanan dengan nilai
Mo Md X . Rumus kecondongan adalah sebagai berikut:
II-32
Mo - Sk
Keterangan:
Sk : Koefisien kecondongan.
: Nilai rata–rata hitung.
Md : Nilai median.
Mo : Nilai modus.
: Standar deviasi.
2. Ukuran Keruncingan (Kurtosis)
Ukuran keruncingan atau kurtosis untuk melihat berapa runcingnya data
jika dibuat dalam kurva. Kurtosis adalah derajat keruncingan suatu distribusi
(biasanya diukur relatif terhadap distribusi normal). Kurva yang lebih
runcing dari distribusi normal dinamakan leptokurtik, yang lebih datar
platikurtik dan distribusi normal disebut mesokurtik. Kurtosis dihitung dari
momen keempat terhadap mean. Distribusi normal memiliki kurtosis = 3,
sementara distribusi yang leptokurtik biasanya kurtosisnya > 3 dan
platikurtik <>. Rumus keruncingan adalah sebagai berikut:
x
ix
NK
1
44 )(1)(
Keterangan:
K : Keruncingan atau kurtosis.
N : Jumlah data.
σ : Standar deviasi.
x : Nilai data.
µ : Rata-rata hitung.
II-33
3. Angka Baku (Z-Score)
Angka baku adalah ukuran penyimpangan data dari rata-rata populasi. z
dapat bernilai nol (0), positif (+), atau negatif (-). Angka baku memiliki
beberapa nilai, yaitu:
a. z nol (0) adalah data bernilai sama dengan rata-rata populasi.
b. z positif (+) adalah data bernilai di atas rata-rata populasi.
c. z negative(-) adalah data bernilai di bawah rata-rata populasi.
Rumus angka baku adalah sebagai berikut:
Sxz
Keterangan:
z : Angka baku.
x : Nilai data.
: Rata-rata populasi.
S : Simpangan baku populasi.
2.4. Probabillitas
Dalam teori peluang mempelajari gejala acak yang sebagian awal dari
gejala tertentu atau deterministic dengan cara memperhatikan hasil suatu
percobaan. Hasil percobaan ini tidak selalu memberikan hasil yang sama,
dengan mengumpulkan semua hasil yang mungkin dari percobaan itu. Hasil
tersebut berfungsi sebagai himpunan semesta (S). Himpunan bagian dari S
akan menyatakan hasil yang mungkin muncul dan dapat ingin tahu
kemungkinan dan peluang kejadian.
Probabilitas, peluang atau kebolehjadian adalah cara untuk
mengungkapkan pengetahuan atau kepercayaan bahwa suatu kejadian akan
II-34
berlaku atau telah terjadi. Konsep ini telah dirumuskan dengan lebih ketat
dalam matematika, dan kemudian digunakan secara lebih luas dalam tidak
hanya dalam matematika atau statistika, tapi juga keuangan, sains dan
filsafat.
Probabilitas suatu kejadian adalah angka yang menunjukkan
kemungkinan terjadinya suatu kejadian, nilainya di antara 0 dan 1. Kejadian
yang mempunyai nilai probabilitas 1 adalah kejadian yang pasti terjadi, dan
tentu tidak akan mengejutkan sama sekali. Misalnya matahari yang masih
terbit di timur sampai sekarang, sedangkan suatu kejadian yang mempunyai
nilai probabilitas 0 adalah kejadian yang mustahil atau tidak mungkin terjadi.
Misalnya seekor kambing melahirkan seekor sapi.
Probabilitas suatu kejadian A terjadi dilambangkan dengan notasi
P(A), p(A), atau Pr(A). Probabilitas sebaliknya, probabilitas [bukan A] atau
komplemen A, atau probabilitas suatu kejadian A tidak akan terjadi, adalah
1-P(A).
2.4.1 Definisi Istilah
Probabilitas adalah suatu ukuran kuantitatif dari suatu ketidak
pastian, merupakan suatu angka yang membawa kekuatan keyakinan atas
suatu kejadian dari suatu peristiwa yang tidak pasti. Dibawah ini beberapa
istilah dalam probabilitas, yaitu:
a. Himpunan (set) adalah suatu kumpulan elemen.
b. Himpunan semesta (universal set) adalah suatu himpunan yang berisi apa
saja dalam suatu konteks tertentu.
c. Himpunan kosong (empty set) adalah suatu himpunan yang tidak
memiliki elemen.
II-35
d. Komplemen A ( A ) adalah suatu himpunan yang berisi semua elemen di
dalam himpunan semesta yang bukan anggota himpunan A.
e. Irisan (intersection) A dan B, (A∩B) adalah suatu himpunan yang berisi
semua elemen yang menjadi anggota himpunan A dan B.
f. Gabungan (union) A dan B, (A U B) adalah suatu himpunan yang berisi
semua elemen yang menjadi anggota A atau B.
g. Eksperimen (experiment) adalah suatu proses yang menyebabkan satu dari
beberapa kemugkinan berhasil.
h. Outcome adalah hasil dari sebuah eksperimen.
i. Ruang sampel (sample space) adalah seluruh kemungkinan outcome dari
suatu eksperimen.
j. Peristiwa (event) adalah bagian atau kumpulan outcome dari sebuah
eksperimen.
Kemungkinan peristiwa A adalah ukuran relatif A dihubungkan
dengan ukuran ruang ssampel, S. Kemungkinan peristiwa A adalah sebagai
berikut:
||||)(
SAAP
Ruang sampel yang jumlahnya terbatas atau finite adalah sebagai
berikut:
)()()(
snAnAP
2.4.2 Peran Probabilitas
Ketidakpastian (uncertainty) meliputi seluruh aspek-aspek kegiatan
manusia. Probabilitas adalah salah satu alat yang sangat penting karena
II-36
probabilitas banyak digunakan untuk menaksir derajat ketidakpastian dan
oleh karenanya mengurangi risiko (Yohana, 2007).
Orang yang belum pernah mendapatkan pengajaran secara formal
tentang topik ini tentu sudah mengenal probabilitas ini karena konsep ini
meliputi hampir semua aspek kehidupan. Tanpa disadari baik secara
langsung ataupun tidak langsung selalu berhadapan dengan probabilitas.
Banyak keputusan yang dihasilkan untuk mengetahui sebuah peluang
dalam pekerjaan berdasarkan perhitungan probabilitas. Misalnya, Ketika
ingin menghadapi ujian. Mengetahui topik yang akan keluar dalam sebuah
ujian yang ingin dikerjakan, sehingga dapat lebih mudah memfokuskan
sistem belajar dan kemudian dapat lebih mengonsentrasikan belajar pada
topik-topik tersebut.
Dunia usaha, probabilitas berperan penting dalam pengambilan
keputusan, sebagai contoh, pemilik toko sepatu tentu akan memesan sepatu
dengan ukuran tertentu yang ia yakini akan dapat terjual dengan cepat.
Pemimpin usaha penerbit buku pun akan menentukan judul-judul dan hasil
karya pengarang tertentu yang dia yakin akan disukai oleh konsumen.
2.4.3 Konsep Dasar Probabilitas
Probabilitas atau dalam bahasa Indonesia sering diartikan
kemungkinan adalah konsep dasar yang biasanya dipelajari pada awal-awal
perkualiahan statistik, dalam postingan kali ini, penulis akan menggunakan
kata probabilitas.
Probabilitas adalah peluang terjadinya sebuah peristiwa. Biasanya
probabilitas dinyatakan dalam pecahan seperti ½, ¾, ¼ ataupun dalam
bentuk decimal seperti 0,50, 0,75, ataupun 0,25. Rentangan probabilitas antara
II-37
0 sampai dengan 1. Mengatakan probabilitas sebuah peristiwa adalah 0,
maka peristiwa tersebut tidak mungkin terjadi. Mengatakan bahwa
probabilitas sebuah peristiwa adalah 1 maka peristiwa tersebut pasti terjadi.
Dua hal yang harus dipahami dalam konsep probabilitas adalah
mutually exclusive dan collectively exhaustive. Mutually exclusive adalah
peristiwa yang terjadi terpisah satu sama lain. Ketika melempar uang logam,
maka hanya ada satu sisi yang memiliki kemungkinan untuk muncul.
Kemungkinan munculnya sisi belakang atau sisi depan disebut mutually
exclusive. Perbedaan tersebut akan tetapi jika ada lebih dari satu
kemungkinan untuk munculnya sebuah peristiwa maka hal itu disebut
collectively exhaustic (Supranto, 1977).
Probabilitas setidaknya sering kali menggunakan sampel daripada
menggunakan populasi biaya mahal kalau harus seluruh populasi, tidak
mungkin mengamati semua populasi, menguji semua populasi cenderung
mempebesar kesalahan dan pengujian atau eksperimen kadangkala destruktif.
Dalam probabilitas terdapat pula penyimpangan antara lain:
1. Kekeliruan atau Gross Error atau Blunder
Terjadi karena kebingungan atau kekurang telitian pengamat. Kesalahan
jenis ini tidak bisa dimasukkan dalam hitung perataan dan harus dibuang.
2. Kesalahan Sistematis
Kesalahan akibat perbedaan standar peralatan. Disebabkan mengikuti
hukum hukum fisika, kesalahan semacam ini dapat dimodelkan, diprediksi,
atau dieliminir dengan metoda pengukuran tertentu.
II-38
3. Kesalahan Acak (Random Errors)
Kesalahan yang masih tersisa setelah kesalahan sistematik dihilangkan.
Biasanya muncul karena ketidaksempurnaan alat sempurna atau indera
manusia.
2.4.4 Aturan-Aturan Pokok Probabilitas
Probabilitas atau peluang dasarnya sebuah cara untuk
mengungkapkan pengetahuan atau kepercayaan bahwa suatu kejadian akan
berlaku atau telah terjadi. Aturan-aturan dalam probabilitas, yaitu:
Aturan satu 1:
Untuk setiap peristiwa,probabilitas P(A) adalah
0 ≤ P (A) ≤ 1
Nilai 0 dan 1, semakin besar probabilitas, semakin besar keyakinan
akan terjadinya suatu peristiwa yang dipertanyakan. Probabilitas 0,95
menyatakan keyakinan yang sangat tinggi karena peristiwa itu akan terjadi.
Probabilitas 0,80 menyatakan keyakinan yang tinggi bahwa peristiwa itu
akan terjadi. Probabilitas 0,50 menyatakan kemungkinan itu akan terjadi
sama dengan kemungkinan peristiwa itu terjadi. Suatu probabilitas apabila
angka itu 0,20 menunjukan itu peristiwa sangat mungkin terjadi, sedangkan
jika itu menetapkan probabilitas 0,05 maka peristiwa itu akan terjadi, dan
seterusnya.
Aturan 2:
P(A) = 1 – p (A)
II-39
Contoh 1:
Probabilitas mengambil kartu As dari sebuah bungkus kartu bridge
adalah 4/52, maka probabilitas kartu yang terambil bukan kartu As
adalah 48/52.
Contoh 2:
Anggaplah pak Suto seorang petani buah semangka (S) dan melon (M)
sedangkan memperkirakan bahwa hasil panen semangka tahun ini
akan berhasil dengan baik adalah 0,65. Tentu saja pak Suto menyadari
bahwa hasil panen yang jelek tahun ini adalah 0,35 (1 – 0,65).
Contoh 1:
Menghitung probabilitas pristiwa bahwa kartu yang ditarik As atau
Spade AG. Menghitung bahwa probabilitas peristiwa terambilnya
sebuah kartu As adalah 4/52, probabilitas terambilnya sebuah kartu
Spade adalah 13/52 dan Spade adalah 1/52, maka probabilitas
terambilnya sebuah kartu adala As atau Spade sesuai dengan aturan
2.5 adalah:
P(As B Spade) = P(As)+P(Spade)-P(As Spade)
= 4/52 + 13/52 – 1/52 = 16/52
Probabilitas memiliki beberapa kriteria yang menunjukkan suatu
peristiwa sebuah data. Probabilitas juga dapat dibuat data dengan sampel
atau populasi, sehingga di bawah ini langkah-langkah agar probabilitas
dapat sukses, yaitu:
Aturan 3:
)()()(( BAPBPAPBAP
II-40
1. Rata–Rata Hitung Probabilitas
Rata–rata hitung, merupakan nilai yang dianggap mewakili nilai-nilai
dalam probabilitas dan juga merupakan juga nilai harapan (expected value)
yang dilambangkan dengan notasi E (x). Nilai rata–rata hitung dalm
probabilitas juaga nerupakan nilai rata-rata tertimbang karena seluruh
kemungkinan diberi bobot berupa probabilitasnya masing–masing. Rumus
dari rata–rata hitung adalah sebagai berikut:
µ= E (x) = ∑ (x) . P (x)
Keterangan:
µ : Nilai rata–rata hitung distribusi probabilitas.
E(X) : Nilai harapan (expected value).
X : Aktifitas atau kejadian.
P(x) : Probabilitas suatu aktifitas atau kejadian.
2. Varians dan Standar Deviasi Probabilitas
Rumus untuk varians dan standar deviasi dalam probabilitas adalah
sebagai berikut:
Varians : σ² = ∑( X – µ) ². P ( x)
Standar deviasi : σ = 2
Keterangan:
σ² : Varians.
σ : Standar deviasi.
x : Nilai aktifitas kejadian.
µ : Nilai rata rata hitung distribusi probabilitas.
P (x) : Probabilitas aktifitas atau kejadian x.
II-41
3. Distribusi Probabilitas Binomial
Distribusi probabilitas adalah salah satu jenis distribusi probabilitas
diskret yang sederhana dan cukup banyak digunakan. Distribusi binomial
adalah distribusi untuk proses bernoulli (penemu binomial). Proses bernoulli
sendiri adalah suatu proses atau kegiatan yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Aktifitas atau percobaan berlangsung n kali, tiap aktivitas atau
eksperimen berlangsung dalam cara dan kondisi yang sama.
b. Aktivitas atau eksperimen hanya ada dua peristiwa yang mungkin
terjadi. Dua peristiwa tersebut adalah saling lepas dan independen
satu sama lain, misalnya dalam percobaan melempar mata uang
maka hasilnya akan adalah jika tidak keluar gambar (G) maka akan
keluar Angka (A). Kedua peristiwa tersebut biasa disebut sebagai
peristiwa sukses dan peristiwa gagal. Probabilitas peristiwa sukses
dinotasikan dengan P dan probabilitas peristiwa gagal dinotasikan
dengan q.
c. Probabilitas sukses dan probabilitas gagal dari suatu percobaan atau
aktivitas ke percobaan lain adalah konstan sehingga P + q = n!.
Rumus untuk ditribusi binomial adalah sebagai berikut:
)!(!)(rn
nrP
Keterangan:
P(r): Nilai probabilitas binomial.
P : Pobabilitas sukses dalam suatu aktifitas atau percobaan.
II-42
r : Banyaknya sukses untuk keseluruhan percobaan.
n : Jumlah total aktifitas atau percobaan.
q : Probabilitas gagal yang diperoleh dengan q = 1-p.
! : Notasi faktorial.
Data di atas dapat disebut juga sebagai permutasi. Kombinasi adalah
pengaturan sejumlah berhingga objek yang dipilih tanpa
memperhatikan urutannya. Rumus kombinasi adalah sebagai
berikut:
)!(!!
rnrnCrn
Keterangan:
C : Kombinasi
n : Jumlah total aktifitas atau pecobaan.
r : Banyaknya sukses untuk keseluruhan percobaan.
2.5. Distribusi Hipergeometrik
Distribusi Hipergeometrik adalah salah satu jenis distribusi variabel
random diskrit yang digunakan untuk mencari probabilitas sukses pada
situasi-situasi adalah sebagai berikut (Yohana, 2007):
1. Terdapat n penyempelan dari N populasi.
2. Hanya tedapat dua peristiwa yaitu peristiwa sukses atau peristiwa gagal.
3. Jumlah sukses total adalah S.
4. Sampel yang telah diambil tidak dikembalikan (dengan kata lain
penyampelan satu dengan yang lain adalah dependen atau saling
bergantung).
Distribusi Hipergeometrik timbul bila contoh-contoh dari suatu
populasi berhingga (yang terdiri atas dua jenis elemen, misalnya, baik dan
II-43
buruk) sedang diperiksa. Distribusi ini merupakan distribusi yang mendasari
banyak cara pengambilan sample yang digunakan sehubungan dengan
diterimanya sampling dan pengendalian mutu (Alfredo, 1987).
Misalkan dalam sebuah populasi berukuran N terdapat D buah
termasuk kategori A. Sebuah sampel acak berukuran n diambil dari populasi
itu. Berapa peluang terdapat x buah termasuk kategori A dari sampel
tersebut?
Pernyataan diatas dijawab dengan distribusi hypergeometrik, dan
rumus dari distribusi hipergeometrik adalah sebagai berikut:
N
n
DNxn
DxxP
)(
Keterangan:
x : 1, 2, …, n
Definisi dari distribusi hipergeometrik adalah bila dalam populasi N
benda, k benda diantaranya diberi label berhasil dan N-k benda lainnya
diberi label gagal. Nilai sebaran peluang bagi peubah acak hipergeometrik X,
yang menyatakan banyaknya keberhasilan dalam contoh acak berukuran n,
adalah sebagai berikut:
N
n
kNxn
kxknNxh
),,;(
II-44
Keterangan:
x : Peubah acak dimana, x : 0, 1, 2, ..., k
N : Populasi.
n : Sampel.
k : Nilai keberhasilan.
Bila ada populasi berukuran N, diambil sampel sebanyak n, dalam
populasi tersebut ada sejumlah a komponen yang rusak. Mula–mula diambil
satu sampel, maka kemungkinan mendapat komponen yang rusak adalah
na . Komponen itu tidak dikembalikan ke populasi, maka kemungkinan
untuk mendapat komponen yang rusak adalah sebagai berikut:
11
Na
jika komponen yang terambil pertama rusak.
11
Na
jika komponen yang terambil pertama tidak rusak.
Terlihat bahwa pengambilan ke-2 bergantung pada hasil pengamatan
ke-1. Komponen oleh karenanya dikatakan bahwa pengambilan sampel tidak
independent atau dependent. Keadaan ini tidak memenuhi asumsi distribusi
binomial yang mengharuskan pengambilan sampel yang independent,
keadaan diatas tidak dapat diperhitungkan sebagai distribusi binomial, maka
digunakan distribusi hipergeometrik. Percobaan hipergeometrik bercirikan
tiga sifat adalah sebagai berikut:
1. Suatu contoh acak berukuran n diambil dari populasi yang berukuran N.
2. K dari N benda diklasifikasikan sebagai berhasil dan N-k benda
diklasifikasikan sebagai gagal.
3. Memecahkan masalah penarikan contoh tanpa pemulihan.
II-45
Banyaknya keberhasilan x dalam suatu percobaan hipergeometrik
disebut peubah acak hipergeometrik. Distribusi peluang bagi peubah acak
hipergeometrik disebut distribusi hipergeometrik.
2.5.1 Nilai Tengah dan Ragam Distribusi Hipergeometrik
Menentukan nilai tengah (µ) dan ragam (σ²) bagi distribusi
hipergeometrik, dituliskan:
Nkn.
Nk
Nkn
NnN 1...1
2
Nilai n relatif lebih kecil dibandingkan N, maka peluang pada setiap
pengambilan akan berubah kecil sekali. Nilai n sehingga praktis dapat
dikatakan bahwa dihadapkan dengan percobaan binomial, maka dapat
menghampiri distribusi hipergeometrik dengan menggunakan distribusi
binomial dengan NkP . Nilai tengah dan ragamnya dapat dihampiri
dengan melalui rumus nilai tengah dan ragam diatas (Supranto, 1977).
2.5.2 Perbedaan Distribusi Hipergeometrik dengan Distribusi Binomial
Distribusi hipergeometrik dan distribusi binomial merupakan
distribusi peluang diskret yang digunakan untuk mencari peluang suatu
kejadian yang jumlah datanya diketahui. Perbedaan antara keduanya antara
lain:
II-46
1. Perbedaan Pertama dengan Sebuah Pengambilan, yaitu:
a. Perbedaan pada distribusi binomial misalkan pada percobaan
pengambilan kartu dilakukan pemulihan.
b. Perbedaan pada distribusi hipergeometrik misalkan pada percobaan
pengambilan kartu dilakukan tanpa pemulihan.
2. Perbedaan Kedua dengan Ulangan dan Pengulangan, yaitu:
a. Perbedaan pada distribusi binomial ulangan-ulangannya bersifat
bebas antara satu sama lain.
b. Perbedaan pada distribusi hipergeometrik setiap ulangan
bergantung dari hasil ulangan sebelumnya (bersifat peluang
bersyarat).
3. Perbedaan Ketiga dengan Menggunakan Rumus, yaitu:
a. Perbedaan untuk distribusi binomial rumus yang digunakan:
b (x ; n , p) = nx .p x .q xn
x : 0,1,2,…,n.
b. Perbedaan untuk distribusi hipergeometrik rumus yang digunakan:
N
n
kNxn
kxknNxh
),,;(
x : 0,1,2,…,k
4. Perbedaan Keempat dengan Nilai Tengah dan Variasinya, yaitu:
a. Perbedaan untuk distribusi binomial nilai tengah dan variansnya
adalah:
µ = n p s σ² = n p q
b. Perbedaan untuk distribusi hipergeometrik nilai tengah dan
variansnya adalah:
II-47
Nkn.
Nk
Nkn
NnN 1...1
2
2.6. Distribusi Normal
Distribusi normal disebut pula distribusi Gauss, adalah distribusi
probabilitas yang paling banyak digunakan dalam berbagai analisis statistika.
Distribusi normal baku adalah distribusi normal yang memiliki rata-rata nol
dan simpangan baku satu. Distribusi ini juga dijuluki kurva lonceng (bell curve)
karena grafik fungsi kepekatan probabilitasnya mirip dengan bentuk
lonceng.
Distribusi normal memodelkan fenomena kuantitatif pada ilmu alam
maupun ilmu sosial. Beragam skor pengujian psikologi dan fenomena fisika
seperti jumlah foton dapat dihitung melalui pendekatan dengan mengikuti
distribusi normal. Distribusi normal banyak digunakan dalam berbagai
bidang statistika, misalnya distribusi sampling rata-rata akan mendekati
normal, meski distribusi populasi yang diambil tidak berdistribusi normal.
Distribusi normal juga banyak digunakan dalam berbagai distribusi dalam
statistika, dan kebanyakan pengujian hipotesis mengasumsikan normalitas
suatu data.
Distribusi normal pertama kali diperkenalkan oleh Abraham de
Moivre dalam artikelnya pada tahun 1733 sebagai pendekatan distribusi
binomial untuk n besar. Karya tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Pierre
Simon de Laplace, dan dikenal sebagai teorema Moivre-Laplace. Laplace
menggunakan distribusi normal untuk analisis galat suatu eksperimen.
Metode kuadrat terkecil diperkenalkan oleh Legendre pada tahun 1805.
II-48
Gauss mengklaim telah menggunakan metode tersebut sejak tahun 1794
dengan mengasumsikan galatnya memiliki distribusi normal.
Istilah kurva lonceng diperkenalkan oleh Jouffret pada tahun 1872
untuk distribusi normal bivariat. Sementara itu istilah distribusi normal secara
terpisah diperkenalkan oleh Charles S. Peirce, Francis Galton, dan Wilhelm
Lexis sepenulisr tahun 1875. Terminologi ini secara tidak sengaja memiki
nama yang sama (http://id.wikipedia.org/wiki/Distribusi_normal).
Tahun tersebut juga 1733, De Moivre menemukan persamaan
matematika untuk kurva normal yang menjadi dasar dalam banyak teori
statistika induktif. Yaitu, sebuah perubah acak X dengan rata–rata µ dan
varians 2 mempunyai fungsi densitas sebagai berikut:
Rumus tersebut sehingga, dengan demikian µ dan 2 yang di ketahui,
maka seluruh kurva normal dapat di ketahui sebagai berikut:
Gambar 2.5 Kurva Normal
(Sumber: Statistika Industri 1, 1997)
II-49
Kurva normal mempunyai bentuk seperti lonceng dan simetris
terhadap rata–rata (µ). Untuk keperluan probabilitas, luas kurva normal
disamakan dengan satu satuan (100%). Mencari luas daerah pada suatu
kurva normal dengan menggunakan tabel:
P (0 ≤ z ≤a) : nilai tabel a
Gambar 2.6 Kurva Normal Nilai A
P (z ≥ a) : 0.5 – nilai tabel a
Gambar 2.7 Kurva Normal Dibawah Nilai A
II-50
P (z ≥ -a) : 0.5 + nilai tabel –a
Gambar 2.8 Kurva Normal Nilai Di atas A
P (z ≤ a) : nilai tabel a + 0.5
Gambar 2.9 Kurva Normal Di atas A
P (a1 ≤ z ≤ a2) : nilai tabel a2 – nilai tabel a1
Gambar 2.10 Kurva Normal Antara A2 dan A1
II-51
P (a1 ≤ z ≤ a2) : nilai tabel a2 + nilai tabel a1 )
Gambar 2.11 Kurva Normal Antara A2 dan A1
(Sumber: www.snapdrive.net/files/622773/Modul%20Dist.%20Normal.pdf)
Terdapat pula beberapa bentuk kurva normal, dibandingkan dalam 2
kurva yang berbeda. Bentuk kurva yang berbeda adalah sebagai berikut:
1. Dua kurva berbeda dalam rata–rata dan simpangan baku.
2. Dua kurva dengan simpangan baku berbeda tapi rata–rata sama.
3. Dua kurva normal baik rata–rata maupun simpangan baku berbeda.
Kurva Normal dengan µ1 ≤ µ2 dan 1 ≤ 2
Gambar 2.12 Kurva Normal Nilai yang Berdekatan
II-52
Kurva Normal dengan µ1 ≤ µ2 dan 1 ≤ 2
Gambar 2.13 Kurva Normal Nilai yang Berdempetan
(Sumber: Statistika Industri 1, 1997)
Pengolahan data agar mempermudah pencarian suatu distribusi
normal dibunakan rumus untuk dua kurva. Rumus dua kurva dibagi
menjadi 3, yaitu:
1. Rumus untuk data lebih dari menggunakan rumus, yaitu:
))((1)(
)(
ZxZPxaP
XZxxaP i
2. Rumus untuk data kurang dari menggunakan rumus, yaitu:
)(()(
)(
ZxZPxaP
XZxxaP i
3. Rumus untuk data antara menggunakan rumus, yaitu:
P (Za < x < Zb) = P (Za < - < Zb)
II-53
2.6.1 Ciri-Ciri Distribusi Normal
Abad ke-18 Karl Gauss mengemukakan bahwa variabel-variabel
dalam ilmu sosial maupun ilmu pengetahuan alam banyak yang memiliki
distribusi dengan ciri-ciri adalah sebagai berikut:
1. Kurvanya mempunyai puncak tunggal.
2. Kurvanya berbentuk seperti lonceng.
3. Rata-rata terletak ditengah distribusi dan distribusinya simetris di
sepenulisr garis tegak lurus yang ditarik melalui rata-rata.
4. Kedua ekor kurva memanjang tak terbatas dan tak pernah memotong
sumbu horizontal.
Distribusi normal karena begitu banyaknya variabel yang memiliki
distribusi dengan ciri-ciri seperti di atas maka distribusi yang demikian itu
dinamakan distribusi normal (Sri Mulyono, 1990). Berkaitan dengan sifat
yang berlaku untuk sebuah fungsi densitas, dalam Distribusi Normal berlaku
pula rumus sebagai berikut:
.
II-54
2.6.2 Luas Dibawah Kurva Normal
Sebuah kurva normal, sangat penting artinya dalam menghitung
peluang, sebab luas daerah yang ada dalam kurva tersebut menunjukkan
besarnya peluang.
Misalnya, suatu peubah acak X, mempunyai harga masing – masing X
= a, dan X = b, ingin di cari P (a < X < b). Rumus luas dibawah kurva normal
adalah sebagai berikut:
Dinyatakan oleh luas daerah yang diarsir:
P(a < X < b) : luas daerah yang diarsir
Gambar 2.14 Kurva Perubahan Acak
(Sumber: Statistika Industri 1, 1997)
Kepentingan praktis, rumus di atas sudah disusun dalam sebuah
daftar, sehingga memudahkan para praktisi. Daftar yang di maksud adalah
daftar distribusi normal standar (baku). Distribusi normal standar adalah
II-55
distribusi normal dengan rata–rata µ dan simpangan baku , ini diperoleh
dari transformasi adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Z : Standar Normal.
µ : Rata–rata Populasi.
X : Rata–rata Sampel.
: Standar Deviasi.
Sehingga fungsi densitasnya berbentuk:
Catatan:
Untuk z dalam daerah - < z < .
Setelah diperoleh distribusi normal baku maka di cari luas daerah
dibawah kurva normal baku tersebut. Caranya adalah Hitung z hingga 2
desimal adalah sebagai berikut:
1. Gambarkan kurvanya, sebuah kurva harus mengikuti data yang telah
didapat dan hasil perhitungannya.
2. Letakkan harga z pada gambar datar, lalu tarik garis vertikal hingga
memotong kurva.
II-56
3. Luas daerah yang tertera dalam daftar, adalah luas daerah antara garis ini
dengan garis tegak di titik nol.
4 Daftar distribusi normal baku, cari harga z pada kolom paling kiri hanya
1 desimal, dan desimal keduanya di cari pada baris paling atas.
a. Daftar dari z di kolom kiri, maju kekanan dan dari z baris atas turun
ke bawah, maka di dapat bilangan yang merupakan luas daerah
yang di cari. Bilangan yang di dapat, di tulis dalam bentuk 0,.... (4
angka di belakang 0).
b. Daftar dari z ke kolom kanan, maju kekiri dan dari z baris atas turun
ke bawah, maka di dapat bilangan yang merupakan luas daerah
yang di cari. Bilangan yang di dapat, di tulis dalam bentuk -0,.... (4
angka di belakang 0).
Luas seluruh kurva adalah 1, dan kurva simetris di m = 0, maka luas
garis tegak pada titik nol ke kiri ataupun kekanan adalah 0.5.
Luas untuk mencari kembali z, jika luasnya di ketahui, maka
dilakukan langkah sebaliknya. Misalnya, jika luas = 0.4931, maka dalam
badan daftar di cari 4931, lalu menuju ke pinggir sampai pada kolom z, di
dapat 2.4 dan menuju ke atas samapai batas z, dan di dapat 6. Jadi harga z =
2.46 (Mutaqim, 1997).
2.6.3 Pendekatan Distibusi Binomial ke Distribusi Normal
Antara distribusi binomial dan distribusi normal terdapat hubungan
tertentu. Jika untuk fenomena yang terdistribusi binomial berlaku kondisi
sebagai berikut:
1. Ukuran N cukup besar.
2. Jumlah suatu distribusi mempunyai n ≥ 30 dan n,p ≥ 5 atau n ( 1 – p ) ≥ 5
maka penyelesaian probabilitas dapat menggunakan pendekatan
II-57
distribusi binomial ke distribusi normal dengan terlebih dahulu mencari
nilai µ dan , yaitu:
Keterangan:
p : Probabilitas sukses.
q : Probabilitas gagal.
Jika x merupakan variabel diskrit sekaligus variabel kontinyu maka
perlu di adakan koreksi dengan menambah atau menguarangi dengan 0.5.
Pendekatan normal terhadap binomial sangat memudahkan dalam
perhitungan (Mutaqim, 1997).
2.6.4 Uji Distribusi Normal
Keperluan analisis selanjutnya, dalam statistika, ternyata model
distribusi harus di ketahui bentuknya terlebih dahulu. Teori menaksir dan uji
hipotesis misalnya, perhitungan dilakukan berdasarkan asumsi bahwa
populasi berdistribusi normal. Asumsi ini tidak dipenuhi, artinya ternyata
populasi berdistribusi normal, maka kesimpulan berdasarkan teori itu tidak
berlaku. Karenanya, sebelum teori itu berlanjut lebih jauh di gunakan dan
kesimpulan di ambil, terlebih dahulu di selidiki apakah asumsi normal itu di
penuhi atau tidak (Mutaqim, 1997). Distribusi normal ada beberapa cara
pengujiannya adalah sebagai berikut:
II-58
1. Uji Secara Parametrik
Keperluan pengujian, harus di lakukan perhitungan frekuensi teoritik Ei
dan frekuensi hasil pengamatan Oi, selanjutnya statistik 2x di hitung
berdasarkan rumus:
Keterangan:
H0 : Populasi berasal dari distribusi normal.
H1 : Populasi bukan berasal dari distribusi normal.
Kriteria uji:
Tolak Ho jika 2 hit ≥ 2 (1–α) (k–3).
dk = k–3.
Dengan taraf kepercayaan α.
2. Uji Liliefors (Non Parametrik)
Uji Liliefors adalah uji normalitas secara non parametrik. Misalkan ada
suatu sampel acak dengan hasil pengamatan 1X , 2X , ..., nX . Prosedur
pengujiannya adalah sebagai berikut:
a. Pengamatan 1X , 2X , ..., nX di jadikan bilangan baku 1Z , 2Z , ..., nZ
dengan rumus S
XXZ i 1 .
c. Bilangan baku ini, di hitung frekuensi kumulatif F (zi)= P (Z ≤ Zi).
d. Ho sampel berasal dari populasi berdistribusi normal. Hi sampel
bukan berasal dari populasi berdistribusi normal.
II-59
e. Hitung proporsi 1Z , 2Z , … nZ yang lebih kecil atau sama dengan Zi.
Jika proporsi ini dinyatakan oleh S (Zi), maka
Zin
ZZbanyaknyaZZS n
i
,...,,
)( 21 .
f. Hitung selisih F (zi)–S (zi) kemudian tentukan harga mutlaknya.
g. Ambil harga mutlak terbesar di antara harga–harga mutlak lainnya.
Sebutlah harga terbesar ini sebagai Lo.
Menerima atau menolak hipotesis, bandingkan Lo dengan nilai kritis L
dalam daftar uji Lilliefors untuk taraf nyata L yang di pilih (Mutaqim, 1997).
Kriteria uji:
Tolak Ho jika Lo > L daftar untuk hal lain, Ho di terima.