bab ii sejarah perkembangan madrasah di...
TRANSCRIPT
9
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA
Sebelum membahas sejarah perkembangan madrasah bagian ini akan
diawali dengan pembicaraan mengenai sumber informasi pembentuk persepsi
termasuk di dalamnya definisi persepsi dari berbagai ahli dan bagaimana proses
pembentukan persepsi itu.
A. Pengertian, Proses dan Sumber Informasi Pembentuk Persepsi
Kata persepsi berasal dari bahasa Inggris “perception” yang berarti
tanggapan. Para ahli mendefinisikannya sebagai berikut :
1. Slameto
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi
ke dalam otak manusia.1
2. Jalaluddin Rahmat
Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan.2
3. Irwanto
Persepsi adalah proses diterimanya rangsang (obyek, identitas, hubungan
antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan
dimengerti.3
Dari ketiga definisi tersebut, dapat ditarik intisari kesimpulan bahwa :
1. Persepsi adalah proses mental
2. Persepsi didahului dengan pengamatan atau sensasi
3. Terdapat obyek atau stimulus yang diambil
1 Slameto, Belajar dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1991), hlm. 102. 2 Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991)
hlm. 51. 3 Irwanto, Psikologi Umum, (Gramedia Pustaka Utama, 1989) hlm. 71.
10
Persepsi seorang terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Sondang P. Siagian faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi terdiri dari : 4
1. Faktor dari yang bersangkutan sendiri
Faktor ini timbul dalam diri orang yang berpersepsi, yang
berbentuk ; sikap, motif, kepentingan, minat pengalaman dan harapan.
2. Faktor Sasaran Persepsi
Yang dimaksud dengan faktor sasaran persepsi di sini adalah faktor
yang muncul dari apa yang akan dipersepsi, misalnya hal-hal yang baru
seperti gerakan, ukuran tindak tanduk dan ciri-ciri yang tidak bisa akan
turut juga dalam menentukan persepsi orang yang melihatnya.
3. Faktor situasi.
Yang dimaksud adalah faktor yang sehubungan karena situasi pada
waktu mempersepsi, contohnya, kehadiran orang dengan pakaian renang
di tepi pantai tidak akan mengherankan karena persepsi orang tentang
orang yang berada di tepi pantai adalah untuk berenang. Akan tetapi jika
orang yang mengenakan pakaian renang itu di tempat yang tidak ada
hubungan dengan olah raga renang, tentunya akan menarik perhatian yang
luar biasa karena kehadirannya dengan cara demikian bukanlah hal yang
lumrah.
Dari beberapa faktor di atas yang mempengaruhi persepsi, dapat
disimpulkan bahwa faktor situasi dan sasaran sifatnya lebih obyektif, artinya;
masing-masing individu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap
obyek yang dipersepsi,. Sedangkan faktor pelaku tersebut bersifat subyektif
artinya individu lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan psikis masing-masing.
Sedangkan dalam terminologi buku ilmu jiwa lama, persepsi disebut
sebagai tanggapan. Tanggapan ialah kenangan kepada pengamatan. Yang
sifatnya tidak terikat kepada waktu, tanpa rangsangan dan biasanya lebih
4 Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Implikasinya, Jakarta; Bina Aksara, 1989),
hlm. 101-105.
11
kabur daripada pengamatan. Tanggapan itu bersifat perseorangan dan
berlangsung selama seseorang perhatiannya tertuju kepada suatu benda.5
B. Latar Belakang Kelahiran Madrasah 6
Sejarah madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di
Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 Masehi. Keberadaannya tergolong
sebagai fenomena modern yang dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, ialah
adanya gerakan pembaharuan Islam, kedua merupakan respon pendidikan
Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Pendidikan oleh kalangan pergerakan pembaharuan Islam dipandang
sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat.
Oleh karena itu agar cita-cita pembangunan dapat diwujudkan, maka harus
ditempuh langkah untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam.
Usaha-usaha pembaharuan Islam yang pada dasarnya ingin
mengembalikan pemahaman dan praktek pengamalan ajaran Islam ke sumber
aslinya yaitu al-Qur'an dan al-Hadist dalam kenyataannya menimbulkan
ketegangan dan bahkan gejolak sosial. Konflik itu terjadi antara kalangan
pembaharu dan golongan konservatif yang tetap mempertahankan status quo.
Selanjutnya untuk kepentingan mempertahankan pendirian masing-
masing kelompok, mereka menjadikan lembaga-lembaga pendidikan sebagai
sarana sosialisasi ide dan bahkan mobilisasi masa. Kalangan pembaharu yang
nota bene golongan muda menjadikan madrasah sebagai pusat konsolidasi ide
dan mobilisasi masa, sedangkan kalangan konservatif (golongan tua)
menjadikan surau sebagai pusat yang sama.
Pilihan pembenahan lembaga pendidikan sebagai sarana mewujudkan
cita-cita pembaharuan Islam juga dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan
usaha tokoh-tokoh pembaharu timur tengah pada akhir abad ke-19. Diantara
mereka dapat disebut dua yang sangat berpengaruh yaitu Jamal al-Din al-
5 A. Gazali, Ilmu Jiwa, (Bandung : Ganaco NV, 1981), hlm. 36. 6 Bahan-bahan kajian ini sebagian besar disadur dari sumber rujukan utama, Maksum,
Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos, 2001) hlm. 81-87, kecuali disebutkan lain.
12
Afghani dan Muhammad Abduh. Hal ini sesuai yang ditulis Adams “The
Indonesian Muslim organizations known as the Muhammadiyah and al Irsyad
were also both heavily influenced by the thought of Abduh7 (Organisasi-
organisasi muslim Indonesia yang dikenal sebagai Muhammadiyah dan Al
Irsyad keduanya sangat kuat dipengaruhi oleh Abduh). Mereka berdua
mendukung umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas
sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar negara barat. Untuk itu, perlu
dilakukan penataan kelembagaan sosial, politik, ekonomi termasuk pendidikan
yang memungkinkan berkembangnya semangat umat Islam yang lebih
progresif.
Pengaruh para pemikir pembaharu Islam di Timur Tengah terhadap
gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dimungkinkan karena pada masa itu
sudah cukup banyak mahasiswa Indonesia yang memperdalam Islam di
beberapa pusat pendidikan Arab, khususnya Kairo, Madinah dan Makkah.
Pada tahun 1920-an di Universitas al-Azhar saja tercatat ada 200 mahasiswa
Indonesia. Disamping itu penerbitan juga ikut memainkan peranan, misalnya
majalah al-Manar. Gagasan-gagasan dalam al-Manar dapat dijadikan pusat
untuk mencontoh pembaharuan pendidikan Islam dalam bentuk madrasah
modern.
Dalam sebuah tulisan tentang murid Abduh yaitu Rasyid Rida
dinyatakan:
Like his master, Abduh, Rida exhorts Muslims to devote themselves financially to the establishment of schools, he called this the most excellent all good works. He considered the founding of schools to be better than the founding of mosques, for the prayer of ignorant man in a mosque has no value, while education in schools can eradicate ignorance. He criticized the prevalent governmental system of education for failing to provide adequate religious training.
7 Sri Mulyati, The Concept Of Good And Evil In The Risalat Al-Tawhid Of Muhammad
Abduh, Dalam Indonesian Of Academic Society XXI, The Qur'an And Philosophical Reflections (Yogyakarta : Titian Ilahi, 1997), hlm. 82.
Muhammadiyah dan al-Irsyad adalah organisasi yang didirikan oleh kalangan pembaharuan Islam.
13
Like Abduh, Rida believed that education was amongst the most important tools for social change.8
“Seperti gurunya, Abduh, Rida mendesak orang-orang Islam untuk mencurahkan uang mereka sendiri untuk mendirikan sekolah-sekolah, beliau menyebut hal ini sesuatu yang terbaik dari semua pekerjaan-pekerjaan(amal-amal) yang baik. Beliau menganggap bahwa mendirikan madrasah lebih baik daripada mendirikan masjid, karena shalatnya orang yang lalai di suatu masjid tidak mempunyai nilai, sedang pendidikan dapat membasmi kelalaian. Beliau mengkritik sistem pendidikan pemerintah yang sudah umum, karena gagal memberikan latihan keagamaan yang memadai.
Seperti Abduh, Rida mempercayai pendidikan termasuk diantara alat-
alat penting untuk perubahan sosial”.
Kemudian tentang faktor respon pendidikan Islam terhadap kebijakan
pendidikan Hindia Belanda dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada masa
pemerintahan Gubernur Jendral Van Heustz, sistem pendidikan sekolah mulai
diselenggarakan untuk masyarakat luas. Pada mulanya sistem persekolahan
hanya untuk kalangan bangsawan. Sekolah yang mempunyai tingkatan
sebagai sekolah kelas satu (HIS) dan dua (Standard School) bertujuan
mencetak pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan. Perkembangan
lebih lanjut sekolah-sekolah desa makin terbuka untuk masyarakat atau rakyat
luas. Kehadiran sekolah-sekolah desa ini yang menawarkan biaya-biaya
murah, pelajaran-pelajaran praktis dan juga menjanjikan pekerjaan, menjadi
saingan langsung lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren dan surau.
Sehingga upaya adaptasi dipandang perlu agar pendidikan Islam mampu tetap
bertahan dalam persaingan.
Proses adaptasi seperti ini memang sudah sering terjadi dalam sejarah
pendidikan Islam. Ruswan menulis:
The history of Islamic civilization illustrates the variety of educational models employed from time to time and also from region to region. The muslim landscape proffers for the observer a variety of centers of
8 Iftitah JA’far, Muhammad Rasyid Ridho The Political Thought, dalam Islam dan
Development, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2001), hlm. 82.
14
learning, such as kuttab, mosques, hospitals ,observatories, libraries, madrasa, khanqa, pesantren, ‘modern’ schools and universities.9
“Sejarah pendidikan Islam melukiskan variasi model-model
pendidikan Islam yang digunakan dari waktu ke waktu dan juga dari
suatu kawasan ke kawasan lain. Lanskap muslim menunjukkan kepada
pengamat suatu variasi pusat-pusat belajar, semacam kuttab, masjid,
rumah sakit, observatorium, perpustakaan, madrasah, khanqa,
pesantren, sekolah-sekolah ‘modern’ dan universitas-universitas.”
Selanjutnya, meskipun sekolah-sekolah dengan berbagai tingkat dan
jenis mulai dari HIS, MULO dan AMS, AMS bagian ilmu kealaman dan ilmu
kebudayaan telah semakin merakyat, namun dipandang diskriminasi untuk
mendapatkan pendidikan seluas-luasnya masih tampak dalam politik dan
kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kondisi demikian itu mendorong
didirikannya lembaga pendidikan sekolah ala Belanda yang dikombinasikan
dengan pendidikan keagamaan. Lembaga ini kemudian lebih dikenal dengan
nama madrasah.
C. Madrasah Pada Masa Awal Pertumbuhan10
Kata madrasah sebagai istilah untuk menyebut nama lembaga
pendidikan Islam di Indonesia, tidak diketahui pasti sejak kapan digunakan.
Sedangkan madrasah sebagai sebutan sistem pendidikan Islam ber-kelas dan
mengajarkan baik ilmu keagamaan maupun non keagamaan sudah dijumpai
pada permulaan abad ke-20 Masehi.
Kemudian penetapan madrasah yang pertama berdiri juga merupakan
suatu yang masih didiskusikan. Departemen Agama RI menetapkan bahwa
madrasah yang pertama didirikan adalah Madrasah Adabiyah di Padang
(Sumatra Barat). Nama resminya adalah Madrasah Adabiyah School yang
9 Ruswan Thoyib, “Development of Muslim Educational System in the Classical Period
(600-1000AD) an Overview; dalam The Dynamics of Islamic Civilization, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 53.
10 Ibid., hlm. 97-111.
15
didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Pada tahun 1915,
nama itu berubah menjadi HIS Adabiyah.11
Terlepas dari diskusi tentang madrasah yang pertama berdiri pada
masa-masa pertumbuhan ini dapat disebutkan beberapa nama madrasah baik
yang ada di Minangkabau maupun Jawa. Di Minangkabau selain Madrasah
Adabiyah, terdapat Madrasah Diniyah Labai Al-Yunusiah dan Madrasah
Diniyah Putri yang didirikan oleh Rangkayo Rahmah al-Yunusiah. Dia adalah
saudara putri Zainuddin Labay. Di Jawa Timur ada Madrasah Nahdlatul
Ulama, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Taswiq Thullab
di Jawa Tengah, madrasah persatuan umat Islam di Jawa Barat dan Madrasah
Jam’iyat Khair di Jakarta. Adapun di Sulawesi dapat disebutkan madrasah
Amiriyah Islamiyah dan Madrasah Ash-Shultoniyah di Kalimantan.
Pada periode pertumbuhan, keberadaan madrasah satu sama lain saling
lepas. Tidak ada hubungan langsung antara madrasah yang ada di Sumatra,
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Tidak ada aturan umum yang mengikat
semua madrasah di semua daerah di atas sehingga ada kesamaan kurikulum,
bentuk kelembagaan dan struktur manajemennya. Kesamaan diantara mereka
terletak pada sistem pengajarannya yang ber-kelas dan muatan kurikulum
yang memperhatikan ilmu-ilmu agama.
Akhirnya, perlu disampaikan bahwa madrasah-madrasah yang berdiri
pada masa awal pertumbuhan itu jika dilihat muatan kurikulumnya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Madrasah yang mirip dengan sekolah Belanda.
2. Madrasah yang muatan kurikulum keagamaan dan non keagamaannya
seimbang. Dengan kata lain ada kombinasi antara materi pelajaran agama
dan umum.
3. Madrasah diniyah yang tekanan utamanya pada bidang studi agama
dengan sedikit tambahan muatan bidang studi umum tetapi sangat
terbatas.
11 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 2001), hlm. 193.
16
Ketiga jenis madrasah itu sampai hari ini masih tetap eksis di
Indonesia tentu dengan dinamika yang berbeda-beda.
D. Madrasah Pada Masa Penjajahan Belanda
Seperti sudah diketahui bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam di Indonesia lahir pada awal abad ke-20 M. Dengan kata lain, lembaga
ini muncul ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Konsekuensinya
keberadaan madrasah tidak dapat lepas dan luput sama sekali dari pengaruh
kebijakan pendidikan pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan
yang tujuan utamanya adalah memenuhi kepentingan mereka. Sistem dan
metode pendidikan baru mereka perkenalkan. Tetapi, pendidikan ditujukan
untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan
upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan
tenaga dari Barat.12 Dalam konteks ini, pendidikan madrasah tidak
sepenuhnya, kalau tidak sama sekali, sejalan dengan kebijakan penjajah. Pada
gilirannya hal ini akan mengurangi perhatian mereka terhadap madrasah.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah perhatian yang bersifat positif.
Kenyataan yang terjadi justru kebijakan pemerintah Hindia Belanda
terhadap pendidikan Islam bersifat menekan. Kekhawatiran akan timbulnya
militansi kaum muslimin terpelajar menjadi alasan mereka. Penjajah
melakukan pengawasan berlebihan terhadap lembaga pendidikan Islam,
seperti madrasah. Bentuk peraturan yang mencerminkan kekhawatiran mereka
adalah ordonansi guru. Peraturan ini bersifat politis untuk menekan
sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi pemicu
perlawanan rakyat terhadap pemerintah. Ordonansi ini mengharuskan seorang
guru agama untuk mempunyai surat izin. Dalam perkembangannya, aturan
melunak menjadi keharusan bagi seorang guru agama untuk melapor atau
memberitahu saja.13
12 Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hlm. 146. 13 Maksum, op.cit., hlm. 115.
17
Disamping itu pemerintah kolonial Belanda juga membentuk suatu
badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
Islam yang disebut priesterranden. Keluarnya aturan mengenai keharusan
memiliki izin, bagi guru mengaji merupakan nasehat dari badan ini.14
Peraturan yang lebih ketat dikeluarkan lagi oleh pemerintah kolonial
pada tahun 1925. Isinya tentang tidak semua orang (kyai) itu boleh
memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932 dikeluarkan peraturan lagi
yang memungkinkan diberantas dan ditutupnya madrasah dan sekolah yang
tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai pemerintah
kolonial. Peraturan ini disebut ordonansi sekolah liar (wilde school
ordonantie). Peraturan-peraturan di atas menggambarkan demikian ketat dan
kerasnya pengawasan dan tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan
pondok pesantren di Indonesia. Diharapkan dalam waktu yang tidak lama
pendidikan Islam akan menjadi lumpuh dan porak poranda, walaupun
kenyataan yang ada justru menunjukkan sebaliknya.15
Ulama yang bersikap non kooperatif dengan Belanda menyingkir dari
tempat yang dekat dengan Belanda. Kebudayaan Belanda diharamkan. Di
tempat yang jauh dari pantauan Belanda inilah para ulama mengembangkan
pendidikan Islam sambil tetap bertahan pada kebudayaan yang Islami.
E. Madrasah Pada Masa Penjajahan Jepang
Di awal kehadirannya pada tahun 1942, Jepang bersikap seolah-olah
membela kepentingan Islam. Kebijakan yang ditempuh adalah :
1. Menempatkan umat Islam sendiri sebagai pemimpin Kantor Urusan Agama. Pada masa Belanda, kantor ini dipimpin oleh orientalisten Belanda.
2. Melakukan kunjungan ke pondok pesantren yang besar-besar dan memberikan bantuan kepadanya.
3. Pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama diberikan di sekolah negeri.
14 Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 149. 15 Ibid., hlm. 151.
18
4. Mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakar dan Bung Hatta. 16
Kebijakan yang tampaknya memihak umat Islam itu, sesungguhnya
demi kepentingan Jepang sendiri dalam rangka perang Asia Timur Raya.
Kekuatan Islam dan nasionalis harus dibina untuk mendukung suksesnya
prang itu.
Ketika perang telah berkobar dan berkembang menjadi perang dunia
ke II, secara umum urusan pendidikan menjadi terbengkalai. Beruntunglah
madrasah-madrasah di lingkungan pesantren yang bebas dari pengawasan
langsung pemerintah Jepang masih dapat berjalan dengan agak wajar.
F. Masa Pemerintahan Orde Lama
Dalam perjalanan sejarahnya, madrasah banyak melakukan peran
penting dalam kehidupan berbangsa. Disamping sebagai lembaga pendidikan,
madrasah juga merupakan basis perjuangan menentang penjajah yang secara
langsung telah ikut mencerdaskan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ketika
bangsa ini telah merdeka menjadi wajar jika pemerintah menunjukkan
perhatian yang besar terhadap kehidupan madrasah. Secara eksplisit
dinyatakan dalam pengumuman BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat) tanggal 22 Desember 1945. badan itu menganjurkan agar
dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya pengajaran
di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat. Kemudian
pada tanggal 2 Juli 1946, komisi yang dikenal sebagai Panitia Penyelidik
Pengajaran RI dan diketuai oleh Ki Hajar Dewantara membuat beberapa
usulan antara lain : Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan
umum, diadakan latihan bagi para guru agama, kualitas pesantren dan
madrasah harus diperbaiki. Tampaknya usulan ini merupakan saran bagi
perbaikan pendidikan di madrasah dan pesantren.17
16 Ibid., hlm. 152. 17 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos, 2001), hlm.
52.
19
Disamping perhatian, pada tanggal 27 Desember 1946, BP KNIP juga
menyarankan pemerintah agar memberikan bantuan materiil kepada pesantren
dan madrasah. Kedua lembaga pendidikan itu pada hakekatnya merupakan
alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan bagi rakyat jelata.18
Demikian besar perhatian pemerintah terhadap agama dan pendidikan
agama, sehingga dipandang perlu mendirikan Kementerian Agama pada
tanggal 3 Januari 1946. Tanggal ini sekarang ditetapkan sebagai hari jadi
Departemen Agama Republik Indonesia. Dalam struktur organisasi
Kementerian tersebut terdapat bagian pendidikan yang mempunyai tugas
pokok mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan
pendidikan di sekolah agama yang dalam hal ini adalah madrasah dan
pesantren. Bagian ini disebut bagian C.
Secara terinci tugas bagian C adalah:
1. Memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikelir. 2. Memberi pengetahuan umum di madrasah, dan 3. Mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim
Islam Negeri(PHIN).19
Keberadaan Kementerian Agama dengan peran-peran di atas dapat
dikatakan mewakili umat Islam Indonesia dalam menyelenggarakan
pendidikan Islam dalam cakupan yang lebih luas di Indonesia. Kementerian
ini yang di kemudian hari berubah menjadi Departemen Agama merupakan
sandaran politis bagi umat Islam dalam rangka agar pendidikan madrasah dan
pesantren mendapat perhatian yang terus-menerus dari pengambil
kebijakan.20
Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka memperkuat
keberadaan madrasah sebagai komponen pendidikan nasional yang diakui
sebagai penyelenggara kewajiban belajar adalah pencatumannya dalam
Undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang Pokok Pendidikan dan
Pengajaran. Pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut menyatakan bahwa
18 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama Dan Keagamaan (Jakarta : Gema Windu
Panca Perkasa, 2000, Cet. 1, hlm. 112. 19 Maksum, op.cit., hlm. 123. 20 Ibid
20
belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Madrasah yang
berhak menyelenggarakan kewajiban belajar harus memenuhi syarat yaitu
terdaftar pada Kementerian Agama dan memberikan pelajaran agama sebagai
materi pelajaran pokok, minimal 6 jam seminggu secara teratur disamping
mata pelajaran umum. Sebagai realisasi dari amanat Undang-undang itu pada
tahun 1958 berdiri Madrasah Wajib Belajar(MWB) di beberapa tempat.21
MWB adalah madrasah yang mempunyai lama belajar 8 tahun, usia
muridnya antara 6 sampai dengan 14 tahun. Madrasah ini memberikan
pelajaran agama, pengetahuan umum, ketrampilan dan kerajinan tangan
dengan alokasi waktu 25% pelajaran agama dan 75% pengetahuan umum.
Guru-guru, alat-alat maupun buku-buku pelajaran menjadi tanggungjawab
pemerintah.22
Gambaran yang menonjol dalam sejarah perkembangan madrasah pada
masa Orde Lama adalah pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) dan
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Kedua madrasah ini dimaksudkan
untuk mencetak tenaga-tenaga profesional keagamaan, disamping
mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Kehadiran PGA adalah jaminan strategis bagi kelangsungan hidup madrasah,
mengingat dari PGA diharapkan lahir motor-motor penggerak
penyelenggaraan madrasah sekaligus pemasok tenaga-tenaga guru bagi
madrasah.23
Jumlah madrasah sampai dengan pertengahan dasawarsa 60-an yang
menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia tercatat : madrasah tingkat
rendah sebanyak 13.057 buah, dengan jumlah murid 1. 927. 777 murid,
madrasah tingkat pertama(tsanawiyah) sebanyak 776 buah dengan jumlah
murid sebanyak 87.932. Sementara itu diperkirakan ada 16 buah madrasah
tingkat atas (aliyah) dengan murid sebanyak 1.881, sehingga secara
21 Asrohah Hanun, op.cit., hlm. 195. 22 Ibid., hlm. 196. 23 Maksum, op.cit., hlm. 124.
21
keseluruhan jumlah madrasah tersebut ada 13.849 dengan total murid
sebanyak 2.017.590 orang.24
G. Masa Pemerintahan Orde Baru sampai dengan 1989
Kebijakan orde baru yang menyangkut madrasah antara lain ditandai
dengan melanjutkan penegerian madrasah-madrasah ibtidiyah. Kesempatan
penegerian yang berdasarkan penetapan Menteri Agama Nomor 80 tahun
1967 dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan keputusan Menteri Agama
nomor 813/1970. Pada saat itu madrasah ibtidaiyah negeri sudah berjumlah
358 buah.
Pada tahun 1967, pemerintah juga mulai mendirikan madrasah
tsanawiyah negeri. Madrasah yang mempunyai nama resmi Madrasah
Tsanawiyah Agama Islam Negeri, pada tahun 1970 jumlahnya sudah
mencapai 182 buah tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Demikian juga
untuk madrasah aliyah, pada tahun yang sama dilakukan penegerian terhadap
sejumlah madrasah aliyah seperti Madrasah Aliyah Al Islam Surakarta,
Madrasah Aliyah di Magetan Jawa Timur dan Madrasah Aliyah Palangkin
Sumatera Barat. Proses Penegerian terus berlangsung hingga terbitnya
keputusan Menteri Agama nomor 213 yang dikeluarkan pada tahun 1970
tentang penghentian penegerian madrasah.25
Lima tahun berikutnya, tepatnya tahun 1975 tercatat peristiwa penting
dalam perjalanan sejarah madrasah. Surat Keputusan Bersama 3 Menteri
dikeluarkan yang isinya antara lain: komposisi pelajaran madrasah terdiri 30%
agama dan 70% umum, status madrasah diakui sama sederajat dengan sekolah
umum setingkat, dan ijazah madrasah diakui sama dengan sekolah umum
setingkat. SKB itu juga menyatakan bahwa lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah yang setingkat lebih atas dan murid madrasah boleh
pindah ke sekolah yang setingkat.
24 Ibid., hlm. 126. 25 Husni Rahim, op.cit., hlm. 55.
22
Konsekuensi diterbitkannya SKB itu, madrasah harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan sekolah umum dalam berbagai hal. Oleh
karena itu Departemen Agama yang bertanggungjawab atas pembinaan dan
pengembangan madrasah pada tahun 1976 menyusun kurikulum madrasah
yang diberlakukan secara intensif pada tahun 1978. Pada tahun 1984
dilakukan lagi penyempurnaan kurikulum madrasah seiring dengan perubahan
kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.26
SKB 3 Menteri yang tidak lain adalah upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan madrasah dan salah satu langkah dalam rangka mengintegrasikan
pendidikan madrasah dalam sistem pendidikan nasional mempunyai dampak
positif, yaitu menjadikan gengsi madrasah naik dan perkembangan madrasah
makin menggembirakan.27
Disamping dampak positif, keluarnya SKB itu menurut KH Sahal
Mahfudh sebagaimana dikutip Fatah Syukur telah mempengaruhi wawasan
madrasah. Nilai-nilai belajar li wajhillah lama-lama meredup digantikan oleh
nilai lil ijazah.28 Kondisi demikian tentu sangat berlawanan dengan nilai-nilai
belajar sebagian madrasah yang bersumber pada kitab Ta’lim al Muta’allim.
Dalam kitab itu dinyatakan:
ان ينوي المتعلم بطلب العلم رضا اهللا تعالى والداراالخرة وينبغى وازالة الجها لة عن نفسه وعن سائر الجهال واحياءالدين وبقاء
29 االسالم فان بقاء االسالم با لعلم
“Selayaknya agar seorang pelajar berniat dalam mencari ilmu(untuk
mendapatkan) keridoan Allah dan negeri akhirat, menghilangkan kebodohan
dari dirinya sendiri dan orang-orang lain yang bodoh, menghidupkan agama
dan melanggengkan Islam. Karena sesungguhnya kelanggengan Islam
bergantung pada ilmu”.
26 Fatah Syukur, Dinamika Madrasah Dalam Masyarakat Industri, (Semarang : PKPI2 –
PMDC, 2004), hlm. 41-45. 27 Ibid., hlm. 46. 28 Ibid 29 Azzarnuzi, Ta’limul Muta’allim, (Semarang : Pustaka Alawiyah, t.th), hlm. 13.
23
H. Madrasah Pada Era UU Nomor 2/1989
Catatan penting dalam sejarah pendidikan nasional Indonesia pada
tahun 1989 adalah lahirnya undang-undang nomor 2 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Undang-undang itu dalam pasal-pasal tertentu
membicarakan madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang hidup
di negeri ini. Madrasah dalam undang-undang ini terdiri dari dua macam yaitu
madrasah yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan formal dan
madrasah yang digolongkan sebagai lembaga pendidikan luar sekolah.
Termasuk jenis pertama adalah Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah
sedangkan Madrasah Diniyah termasuk kategori kedua.30
Dalam konteks undang-undang ini MI, MTs dan MA diperlakukan
sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan
oleh Departemen Agama dengan kewajiban memberikan kajian sekurang-
kurangnya sama dengan sekolah umum setingkat. Madrasah Ibtidaiyah
(selanjutnya disingkat dengan MI) itu setingkat SD, Madrasah Tsanawiyah itu
setingkat SLTP, Madrasah Aliyah setingkat SMU. Dengan kondisi demikian
maka madrasah tidak terlalu jauh berbeda dengan sekolah umum dilihat dari
segi muatan pelajaran (kurikulum)nya.31
Menghadapi kenyataan diatas, undang-undang tersebut juga memberi
ruang bagi Departemen Agama maupun masyarakat luas untuk mendirikan
lembaga pendidikan keagamaan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
29/1990 Pasal 3 (3) Pendidikan Keagamaan mengutamakan penyiapan siswa
dalam pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
Selanjutnya pasal 4 memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk
memberi nama Sekolah Menengah Keagamaan setelah mendengar
pertimbangan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Maka dalam rangka
menyikapi PP ini Departemen Agama mendirikan Madrasah Aliyah Program
Khusus(MAPK) yang jam pelajarannya terdiri dari 65% bidang studi umum,
30 M. Chabib Toha dan Abdul Mu’ti, PBM PAI, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 18-19.
31 Ibid
24
sisanya 35% adalah bidang studi agama. Ditinjau dari penguasaan pelajaran
agama ternyata memang lulusan MAPK lebih baik daripada MA biasa.32
Alasan lain didirikannya MAPK yang di kemudian hari berubah
menjadi MAK(Madrasah Aliyah Keagamaan) adalah sebagai respon terhadap
ketidakpuasan masyarakat kepada MA biasa yang tidak lagi mempunyai bobot
pelajaran agama seperti pada masa-masa sebelumnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa tamatan madrasah menjadi serba tanggung, tidak matang
dalam bidang studi umum, masih mengambang dalam penguasaan bidang
studi agama.
MAK yang secara kurikuler pada hakekatnya dimaksudkan untuk
program pembibitan ulama, pada masa Menteri Agama dijabat oleh Prof. Dr.
Munawir Syadzali dilaksanakan sebagai program intensifikasi pendidikan
melalui sistem asrama (program tutorial) dan pengembangan kemahiran
berbahasa Arab dan Inggris. Komposisi kurikulumnya dari waktu ke waktu
selalu memberikan porsi pelajaran agama yang lebih besar. Tabel di bawah ini
menunjukkan kenyataan di atas. 33
Tabel 1
Komposisi kurikulum MAK
Porsi mata pelajaran (%)
Kurikulum Agama Umum
1968
1973
1975
MAPK
1994
80
68
68
70
70
20
32
32
30
30
Untuk pelajaran agama kurikulum 1994 mengalokasikan waktu untuk
MI adalah 4 sampai dengan 7 jam, M Ts dan MA masing-masing 9 jam.
32 Ibid., hlm. 20. 33 Abdurrahman Saleh, op.cit., hlm. 120.
25
Alokasi waktu sebanyak itu dirasakan kurang sehingga menimbulkan suara
bahwa kurikulum 1994 dipandang mendangkalkan agama. Maka dilakukan
berbagai upaya untuk mempertahankan citra madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam yang ciri khas Islamnya kuat. Upaya-upaya tersebut berupa
program MAFIKIBB (matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Inggris) yang
‘bernuansa agama” dan “IPTEK”. Upaya lain adalah penciptaan suasana
keagamaan di lingkungan madrasah baik yang meliputi fisik dan sarana
maupun suasana pergaulan dan pakaian.34
I. Madrasah Pasca UU SISDIKNAS 2003
Pada tahun 2003 lahir undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang baru. Dalam undang-undang bernomor 20 itu, kedudukan
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam formal diakui sama dengan
lembaga sekolah. Berikut ini dipetik beberapa pasal yang menyebut madrasah. Pasal 17(2) : Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar(SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah(M Ts) atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 18(3) : Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas(SMA), Madrasah Aliyah(MA), Sekolah Menengah Kejuruan(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan(MAK) atau bentuk lain yang sederajat.
Dari kutipan pasal tersebut, tampak jelas bahwa kedudukan madrasah
sama dengan sekolah. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut dipandang sebagai
jaminan kelangsungan keberadaan madrasah sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional. Pengakuan akan eksistensi madrasah makin kukuh
secara legal formal.
Dengan jaminan undang-undang itu, seharusnya seluruh pihak yang
terkait dengan kehadiran madrasah terus berupaya melakukan pembenahan
terhadap madrasah sehingga dari waktu ke waktu madrasah dapat terus
tumbuh dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Apalagi, di
era reformasi ini telah dianjurkan menerapkan konsep Manajemen Berbasis
Sekolah/Madrasah yang memberikan kelonggaran bagi pengelola lembaga
34 Husni Rahim, op.cit., hlm. 96.
26
pendidikan formal untuk berimprovisasi secara manajerial tanpa terlalu
terkungkung dengan regulasi birokrasi pemerintah.
Secara kuantitatif pertumbuhan madrasah memang selalu meningkat.
Hasil pendataan tahun pelajaran 2004/2005 menunjukkan bahwa jumlah Mts
secara nasional mencapai 12.054 yang terdiri dari 1.260 M Ts negeri dan
10.794 swasta. Untuk tingkat madrasah aliyah tercatat seluruhnya ada 4.687
MA, negeri sebanyak 634 dan swasta sebanyak 4.033.
J. Peran dan Pembinaan Madrasah
Secara historis dapat ditarik kesimpulan bahwa madrasah bersama
lembaga pendidikan Islam yang lain telah memainkan peranan penting sebagai
benteng untuk mempertahankan pendidikan Islam dari segi-segi negatif
pendidikan sekuler yang diselenggarakan oleh penjajah Belanda. Dengan
demikian madrasah telah ikut berjasa dalam melestarikan ajaran-ajaran Islam
di bumi Indonesia. Pada masa yang sama, bahkan sesudah Indonesia merdeka
madrasah juga telah secara aktif turut serta dalam upaya pemerataan
memperoleh kesempatan belajar bagi banyak lapisan masyarakat atau rakyat
Indonesia.
Sesudah kemerdekaan Indonesia madrasah tetap diberi ruang untuk
tetap eksis dan berpartisipasi aktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di
awal masa kemerdekaan madrasah mengambil bagian dalam pelaksanaan
wajib belajar, demikian pula ketika di atas tahun 1960-an dicanangkan wajib
belajar 9 tahun madrasah tidak ketinggalan untuk ikut mensukseskannya.
Adapun peran madrasah sebagai lembaga yang berfungsi tafaqquh
fiddin sampai saat ini masih tetap dijalankan. Dilihat dari bobot kajian
teoritiknya peran ini banyak atau secara intensif dimainkan oleh Madrasah
Aliyah Keagamaan dan Diniyyah. Sedangkan MA Umum telah diarahkan
untuk mendalami bidang-bidang studi yang selama ini dikenal sebagai mata
pelajaran umum. Dengan kata lain lebih ditujukan ke arah ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan sedapat-dapatnya tetap diwarnai oleh nilai-nilai agama
Islam.
27
Dapat dikatakan bahwa berdasarkan peran-peran di atas, madrasah
mengemban tugas yang sangat mulia dalam rangka membentuk peserta didik
menjadi manusia seutuhnya, manusia yang sejahtera lahir batin. Manusia yang
demikian itu tentu manusia yang bercitra Islami sebagaimana digambarkan
oleh Sayyid Quthub:
بخالفته , هو سيد هذه االرض– فى التصوراالسالمى –فاالنسان وقد أو تى , بقدرة اهللا تعالى, وآل ما فيها مسخر له, فيها عن اهللا
واالستمتاع بطيبتها , امكان العلم بشؤونها هبة من اهللا سبحانهوليست االرض وحدها وآل مافيها , وجمالها نعمة من اهللا خالصة
ولكن آذالك السموات مهيائة لمساعدة االنسان ...من احياء واشياء فى خالفته فى االرض ومراعى فى بنائها دوراالنسان فى هذه
35ولكنه آذالك ... الخالفة انه امر عظيم هائل
“Maka manusia – dalam gambaran yang Islami adalah tuan bagi bumi sebab kekhilafahannya di bumi dari Allah, dan segala apa yang ada di bumi tunduk kepada manusia dengan kekuasaanNya, dan manusia telah sungguh-sungguh diberi kemungkinan ilmu mengenai urusan bumi sebagai pemberian Allah SWT, dan bersenang-senang dengan hal-hal yang baik dan indah di bumi, sebagai kenikmatan yang murni dariNya. Tidak hanya bumi dan segala apa yang terdapat di dalamnya baik berupa benda hidup atau apapun. Tetapi begitu juga langit disediakan bagi manusia untuk membantu kekhilafahannya di bumi. Dalam “pembinaan langit” tetap dipelihara peranan manusia dalam kekhilafahannya. Sesungguhnya ini adalah perkara besar yang menakutkan … tetapi memang demikianlah”.
Peran lain madrasah yang tidak dapat dianggap remeh adalah sebagai
pemompa dan pengobar semangat generasi muda dalam menjalani kehidupan.
Salah satu indikatornya adalah dijadikannya kitab Idhatun Nasyiin sebagai
buku pelajaran untuk mata pelajaran akhlaq di Madrasah Aliyah Tambakberas
Jombang Jawa Timur dan madrasah-madrasah yang didirikan para alumninya.
Kitab yang terdiri dari 46 bab termasuk pendahuluan dan penutupnya,
memang sangat provokatif dan mempunyai daya sentuh yang mampu
35 Sayid Quthub, Al Islam wa al Musykilaat Alhadloroh, (Cairo : Dar al Syuruq, 1992),
hlm. 24.
28
membangkitkan gairah generasi muda untuk menapaki kehidupan berdasarkan
keluhuran budi pekerti dan kecerdasan berpikir.
Alinea pertama bab Tarbiyah pada kitab itu berbunyi:
ان هؤالء األ طفال سيكون فى المستقبل رجاال فاذا تعودوا اال وحصلوا فى العلوم ما ينفعون , خالق الصالحة التى تعلى شأنهم
آانوا اساسا مكينا لنهضة االمة وهذا امر ال يختلف فيه , به وطنهماثنان وان ستعادوا سافل االخالق وهجروا العلم الذى هو سبب
وشرا على البال د التى يقطنو , على االمةلحيا ة األمم آانوا ويال 36نها
“Sesungguhnya anak–anak itu akan menjadi tokoh di masa mendatang. Apabila mereka dibiasakan dengan akhlak yang baik yang akan mempertinggi derajat mereka, dan menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi tanah air mereka. Mereka adalah modal yang kuat bagi kebangkitan bangsa. Dan ini bukan perkara yang diperselisihkan. Dan apabila mereka dibiasakan dengan akhlak yang rendah dan menjauh dari ilmu – yang menjadi sebab kebangkitan bangsa – maka mereka akan menjadi bencana bagi bangsa, dan keburukan bagi negara yang ditinggali”
Dengan memperhatikan peran historis dan ideal di atas maka
selayaknya perlu terus dilakukan pembinaan terhadap madrasah yang
mengacu ke beberapa hal yang menjadi dasar strategi pengembangan
madrasah, yaitu :37
Pertama, menjadikan ajaran agama Islam sebagai basic reference seluruh kegiatan pengembangan pendidikan di madrasah. Kedua, madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang berciri khas agama Islam, berfungsi sebagai pengembang dasar-dasar ketrampilan multi dimensi. Ketiga, pengembangan secara bertahap. Keempat, tahapan-tahapan pengembangan madrasah.
36 Mushthafa al Ghalayaini, Idhatun Nasyiin, (Berrut : Maktabah Al Ahliah,m 1953),
hlm. 186. 37 Husni Rahim, op.cit., hlm. 128-131.
29
K. Pandangan Masyarakat Tentang Madrasah
Berbagai pandangan tentang madrasah dapat dipaparkan alam uraian di
bawah ini.
Madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang peserta didik
atau lulusannya berkualitas rendah. Hal ini terjadi akibat kualitas gurunya
yang rendah pula. Tercatat 60 % guru madrasah tergolong pada kriteria tidak
layak. Selain itu, minat murid madrasah terhadap bidang studi umum,
khususnya matematika, fisika, kimia, biologi dan bahasa inggris, kecil sekali.
Kelima bidang studi ini “belum menarik” perhatian serta dianggap “berat”
oleh para siswa.38
Anggapan lain mengenai madrasah adalah tekanan atau titik beratnya
pada soal kepribadian. Ini berarti bahwa madrasah lebih memfokuskan diri
pada pendidikan yang diarahkan untuk membentuk kepribadian siswa
sehingga siswa memiliki religiositas dan moral (akhlaq) yang baik. Madrasah
adalah lembaga yang berfungsi sebagai “benteng moral”, namun kurang
berhasil dalam meningkatkan kecerdasan, ketrampilan dan profesionalisme.39
Akibat selanjutnya dari anggapan di atas, madrasah dipandang tidak
menjanjikan. Artinya madrasah tidak dapat menjadikan andalan bagi
lulusannya untuk dapat bersaing memperoleh pekerjaan. Dengan kata lain
lulusan madrasah tidak memiliki masa depan yang jelas karena kurangnya
bekal ilmu pengetahuan, ketrampilan dan penggunaan terhadap teknologi.
Kepedulian madrasah terhadap lingkungan fisik juga dipandang
rendah. Misalnya soal kebersihan hanya berhenti pada sekedar slogan yang
terpampang dengan tulisan kaligrafi indah pada dinding-dinding kelas. Slogan
kebersihan adalah setengah dari iman bertolak dengan kenyataan lingkungan
madrasah yang “yang terkesan kumuh, jorok, bangku tidak terawat, banyak
peralatan sekolah yang rusak dan sebagainya”. 40
38 Ibid., hlm. 129-135. 39 Ibid., 40 Departemen Agama RI, Profil Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta : Depag RI, 2005),
hlm. 24.
30
Madrasah dalam pandangan sementara mempunyai “kebiasaan-
kebiasaan kurang baik yang memprihatinkan seperti kurang disiplin, etos kerja
(belajar) agak lemah, persaingan tidak tumbuh secara baik, budaya patriarki
seperti di pesantren masih terlihat dan lain sebagainya”.41
Madrasah dipandang pula sebagai sekolah kelas dua atau bahkan
sekolah buangan yang dipilih oleh masyarakat setelah tidak dapat diterima di
sekolah-sekolah umum. Dengan demikian dapat dimaklumi kalau kualitas
masukan murid madrasah dari segi inteligensi itu rendah.42
Demikian beberapa pandangan masyarakat terhadap madrasah. Jika
diragukan pandangan-pandangan itu terkait dengan kualitas, orientasi lebih
berat ke bidang pembinaan moral religius, tidak menjamin masa depan
duniawi, rendah kepeduliannya terhadap lingkungan fisik, kinerja yang rendah
dan derajatnya dibawah sekolah umum.
L. Perkembangan dan Pertumbuhan Madrasah Diniyah di Indonesia
Dalam UU Sisdiknas yang terbaru, keberadaan madrasah diniyah
bersama-sama dengan pesantren tetap diakui sebagai salah satu jalur
pendidikan di Indonesia. Madrasah diniyah termasuk dalam jalur pendidikan
luar sekolah atau non formal.
Sampai dengan tahun 2003 di Indonesia sudah terdapat madrasah
diniyah sebanyak 1.9014 yang tersebar di 30 propinsi mulai dari Nangroe
Aceh Darussalam sampai Papua. Guru yang terlibat sebanyak 71714 orang
sedangkan murid yang diserap sebanyak 2.376.910, terdiri dari 1.183.952
siswa laki-lai dan 1.102.230 siswa perempuan.
Data di atas menunjukkan bahwa madrasah diniyah tetap tumbuh
berkembang di bumi Indonesia sejak awal sejarahnya hingga sekarang ini.43
41 Ibid, hlm. 125. 42 Mulyasa dkk, Manajemen Berbasis Madrasah, (Jakarta : Depag Ri, 2001), hlm. 91. 43 Depag RI, Pedoman Administrasi Madrasah Diniyah, (Jakarta : Depag Ri, 2003), hlm.
50.