sejarah perkembangan nu
TRANSCRIPT
1. Sejarah Perkembangan Nu
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan
tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan
organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
"Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar
ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah
berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme,
merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal
juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ
kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil
sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal
yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini
membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang
berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al
Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren
juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami
(Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim
Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk
out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan
kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri
yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
2. K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite
Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja
Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah
bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-
masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat
berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk
organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi
dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16
Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H.
Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim
Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab
tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan
sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.
3. Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan
kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan
akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih
lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga
madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah.
Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali
dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan
momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal
jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan
negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah
pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
4. Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi)
Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie 1926 1947
2 KH Abdul Wahab Chasbullah 1947 1971
3 KH Bisri Syansuri 1972 1980
4 KH Muhammad Ali Maksum 1980 1984
5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq 1984 1991
KH Ali Yafie (pjs) 1991 1992
6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 1999
7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz 1999 sekarang
5. Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa
istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan,
serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga
disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu
dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai
saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk
mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara
melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara
partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU,
PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi
paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung
dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk
hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim
santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari
Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut
paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut
sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham
keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu
mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU
terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada
perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi
beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas
yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama,
serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal
jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan
dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar
budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran.
Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka
penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor
industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di
pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan.
Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual
dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial
yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah
doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-
Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara
Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara
maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan
NU.
6. Organisasi
a. Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah
di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b. Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan
meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat
persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang
bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti
dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa
NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau
Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat
serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan
kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan
untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan
lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah
terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat
luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi
masyrakat.
c. Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus
Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap
kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
d. Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33 Wilayah
439 Cabang
15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
47.125 Ranting
7. NU dan politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan
memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian
mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR
dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal
sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU
tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama
lewat sayap pemudanya GP Ansor.
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan
Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde
baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU
di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu
untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang
mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan
Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu
1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB
memperoleh 52 kursi DPR.
8. Sejarah Perkembangan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di
Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad
Dahlan sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang
dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya,
yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul
Wahab, Sayyid Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
dan sebagainya. Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama
berasal dari Muhammad Abduh melalui tafsirnya, al-Manar, suntingan
dari Rasyid Ridha serta majalah al-Urwatul Wustqa.
9. Tokoh Pendirinya
Pendiri Muhammadiyah adalah K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir di
Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1868 M dengan nama Muhammad
Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abubakar, seorang Khotib masjid Besar
Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada
Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim,
Penghulu kesultanan Yogyakarta. Jadi, kedua orang tua K.H. Ahmad
Dahlan juga merupakan keturunan ulama.
Meskipun Muhammad Darwis berasal dari kalangan keluarga
yang cukup terkemuka, tetapi ia tidak sekolah di Gubernemen (waktu
itu), melainkan diasuh dan dididik mengaji Alquran dan dasar-dasar ilmu
agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Hal itu karena pada waktu
itu ada suatu pendapat umum bahwa barangsiapa memasuki sekolah
Gubernemen, maka dianggap kafir atau Kristen.
Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca Alquran hingga
khatam. Kemudian ia belajar fikih kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan
nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad
Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H.
Abdul Hamid dalam berbagai ilmu.
Pada tahun 1889 M ia dinikahkan dengan saudara sepupunya,
Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadil, Kepala Penghulu Kesultanan
Yogyakarta. Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah
bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Mekah
pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah, Ia
bersilaturahmi dengan para ulama, baik dari Indonesia maupun Arab. Di
antaranya, ia mendatangi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan
mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Ia telah berganti nama, dan
juga bertamabah ilmunya. Sepulang dari ibadahnya itu, ia membantu
ayahnya mengajar santri-santri remaja. Sehingga, ia mendapat sebutan
K.H. Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1896 M ia diangkat menjadi khotib di masjid Besar
oleh kesultanan Yogyakarta dengan gelar “khotib amin”. Ia juga
berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Ia pernah diberi modal oleh orang
tuanya sebanyak F. 500,- pada tahun 1892, tetapi sebagian besar
digunakan untuk membeli kitab-kitab Islam. Dalam perjalanan dagang
itu, ia selalu bersilaturahmi kepada para ulama setempat dan
membicarakan perihal agama Islam dan masyarakatnya. Perjalanan
demikian bertujuan untuk mempelajari sebab-sebab kemunduran kaum
muslimin dan mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
Tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan bertemu dengan Dr. Wahidin
Sudirohusodo di Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal
tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya. Setelah mendengarkan
penjelasan darinya, ia ingin bergabung dengan organisasi tersebut. Ia
mulai belajar berorganisasi. Pada tahun 1910, ia pun menjadi anggota ke-
770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta. Ia tertarik kepada organisasi ini
karena organisasi ini telah lebih awal membangun sekolah-sekolah
agama dan bahasa Arab, disamping bergerak dalam bidang sosial dan
giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara
Islam yang telah maju. Dari pengalamannnya yang ia dapatkan, ia
menyadari bahwa usaha perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika
dilaksanakan sendirian, melainkan dengan berorganisasi bekerja sama
dengan banyak orang.
10. Berdirinya Muhammadiyah
Suatu ketia Ia menyampaikan usaha pendidikan setalah selesai
menyampaikan santapan rohani pada rapat pengurus Budi Utomo
cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama
Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai
oleh R. Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui,
dengan syarat di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak,
hingga kemudian mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa
Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan susunan bangku, meja, dan
papan tulis. Lalu, mereka menanyakan untuk apa, dijawab untuk sekolah
anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan
sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan agar
penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan
sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.
Sebenarnya, mengenai pendirian sekolah itu telah dibicarakan dan
dibantu oleh pengurus Budi Utomo. Setelah pelaksanaan
penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian dipikirkan
tentang organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu.
Dipilihlah nama “Muhammadiyah” sebagai nama organisasi itu dengan
harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat
sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan
dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis.
Rumusannya dibuat dalam bahasa melayu dan Belanda. Kesepakatan
bulat pendirian Muhamadiyah terjadi pada tanggal 18 November 1912 M
atau 8 Dzulhijjah 1330 H. Tgl 20 Desember 1912 diajukanlah surat
permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar
perserikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum.
Setelah memakan waktu sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia
Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertung dalam
Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, No. 81, beserta
alamporan statuennya.
11. Arti Muhammadiyah
1. Arti Bahasa (Etimologis)
Muhamadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhamadiyah”, yaitu
nama nabi dan rasul Allah yang terkhir. Kemudian mendapatkan “ya”
nisbiyah, yang artinya menjeniskan. Jadi, Muhamadiyah berarti “umat
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” atau “pengikut Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, yaitu semua orang Islam yang mengakui
dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
2. Arti Istilah (Terminologi)
Secara istilah, Muhamadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah
amar makruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada
Alquran dan as-Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H, bertepatan 18 November 1912 Miladiyah di kota
Yogyakarta.
Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan
maksud untuk berpengharapan baik, dapat mencontoh dan meneladani
jejak perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, semata-mata demi
terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realita
dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.
12. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sejak berdiri hingga
sekarang ini telah mengalami beberapa kali perubahan redaksional,
perubahan susunan bahasa dan istilah. Tetapi, dari segi isi, maksud dan
tujuan Muhammadiyah tidak berubah dari semula.
Pada waktu pertama berdirinya Muhamadiyah memiliki maksud
dan tujuan sebagi berikut:
1. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada penduduk bumi-putra, di dalam residensi
Yogyakarta.
2. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Hingga tahun 2000, terjadi tujuh kali perubahan redaksional
maksud dan tujuan Muhamadiyah. Dalam muktamarnya yang ke-44 yang
diselenggarakan di Jakarta bulan Juli 2000 telah ditetapkan maksud dan
tujuan Muhamadiyah, yaitu Menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
13. Amal Usaha Muhammadiyah
Usaha yang pertama melalui pendidikan, yaitu dengan mendirikan
sekolah Muhammadiyah. Selain itu juga menekankan pentingnya
pemurnian tauhid dan ibadah, seperti:
1. Meniadakan kebiasaan menujuhbulani (Jawa: tingkeban), yaitu
selamatan bagi orang yang hamil pertama kali memasuki bulan ke
tujuh. Kebiasaan ini merupakan peninggalan dari adat-istiadat Jawa
kuno, biasanya diadakan dengan membuat rujak dari kelapa muda
yang belum berdaging yang dikenal dengan nama cengkir dicampur
dengan berbagai bahan lain, seperti buah delima, buah jeruk, dan lain-
lain. Masing-masing daerah berbeda-beda cara dan macam upacara
tujuh bulanan ini, tetapi pada dasarnya berjiwa sama, yaitu dengan
maksud mendoakan bagi keselamatan calon bayi yang masih berada
dalam kandungan itu.
2. Menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan
Islam sendiri, seperti selamatan untuk menghormati Syekh Abdul
Qadir Jaelani, Syekh Saman, dll yang dikenal dengan manakiban. Selain
itu, terdapat pula kebiasaan membaca barzanji, yaitu suatu karya puisi
serta syair-syair yang mengandung banyak pujaan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disalahartikan. Dalam
acara-acara semacam ini, Muhammadiyah menilai, ada
kecenderungan yang kuat untuk mengultusindividukan seornag wali
atau nabi, sehingga hal itu dikhawatirkan dapat merusak kemurnian
tauhid. Selain itu, ada juga acara yang disebut “khaul”, atau yang lebih
populer disebut khal, yaitu memperingati hari dan tanggal kematian
seseorang setiap tahun sekali, dengan melakukan ziarah dan
penghormatan secara besar-besaran terhadap arwah orang-orang
alim dengan upacara yang berlebih-lebihan. Acara seperti ini oleh
Muhammadiyah juga dipandang dapat mengeruhkan tauhid.
3. Bacaan surat Yasin dan bermacam-macam zikir yang hanya khusus
dibaca pada malam Jumat dan hari-hari tertentu adalah suatu bid’ah.
Begia ziarah hanya pada waktu-waktu tertentu dan pada kuburan
tertentu, ibadah yang tidak ada dasarnya dalam agama, juga harus
ditinggalkan. Yang boleh adalah ziarah kubur dengan tujuan untuk
mengingat adanya kematian pada setiap makhluk Allah.
Mendoakan kepada orang yang masih hidup atau yang sudah mati
dalam Islam sangat dianjurkan. demikian juga berzikir dan membaca
Alquran juga sangat dianjurkan dalam Islam. Akan tetapi, jika di dalam
berzikir dan membaca Alquran itu diniatkan untuk mengirim pahala
kepada orang yang sudah mati, hal itu tidak berdasa pada ajaran agama,
oleh karena itu harus ditinggalkan. Demikian juga tahlilan dan selawatan
pada hari kematian ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 hari, hal itu
merupakan bid’ah yang mesti ditinggalkan dari perbuatan Islam. Selain
itu, masih banyak lagi hal-hal yang ingin diusahakan oleh
Muhammadiyah dalam memurnikan tauhid.
14. Perkembangan Muhammadiyah
1. Perkembanngan secara Vertikal
Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah
berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan
dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah sedikit
ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan
jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha
Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging
di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari
masyarakat.
2. Perkembangan secara Horizontal
Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha
Muhamadiyah telah banyak berkembang, yang meliputi berbagai
bidang kehidupan.
Perkembangan Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam
upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu
lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang
secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa
dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai hukum.
Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan
usaha-usahanya yang telah dilakukan:
Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai
dengan contoh yang telah diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya
dengan jalan perhitungan “hisab” atau “astronomi” sesuai dengan
jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat
yang ada pada amasjid-masjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan
arah yang benar menurut perhitungan garis lintang.
Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian,
perikanan, peternakan, dan hasil perkebunan, serta amengatur
pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.
Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan
keluarga berencana.
Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk
peran dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah.
Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup
Muhammadiyah”, yaitu suatu rumusan pokok-pokok agama Islam
secara sederhana, tetapi menyeluruh.
Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah
meliputi:
mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya
ilmu-ilmu keagamaan, dan
mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan
pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu
agama dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan
agama.
Dalam bidang kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan
Muhammadiyah meliputi:
Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala
peralatan, membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin,
apotek, dan sebagainya.
Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri
untuk menyantuni mereka.
Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang
banyak memublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang
sangat membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu,
dan kebudayaan Islam.
Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada
saat seseorang tidak lagi bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat
jasmani.
Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup
sepanjang tuntunan Ilahi.
Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi:
Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas
ibadah kurban. Hal ini berhasil dibebaskan.
Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan
penjajah yang tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di
Indonesia, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, juga
dipegang oleh orang Islam, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita
itu.
Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945
termasuk menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi
dengan gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta
sebagai tempat kelahirannya.
Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di
kalangan umat Islam Indonesia dengan menggunakan bahasa
Indonesia dalam tabligh-tablighnya, dalam khotbah ataupun tulisan-
tulisannya.
Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa
Indonesia diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan
bangsa Jepang. Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-
kerei, membungkuk sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika, tiap-
tiap pagi sesaat matahari sedang terbit. Muhammadiyah menolak
perintah itu.
Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan
menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
agar Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan. Begitu
juga pada kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi
Islam Asia Afrika, Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya,
Muhammadiyah ikut aktif di dalamnya.
Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan
Muhammadiyah tidak ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan
dakwah Islam yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil. Pada saat
itu, tahun 1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol,
yaitu organisasi kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai
politik.
Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh
Muhammadiyah, dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang
berkedudukan sebagai badan pembantu pemimpin persyarikatan.
Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan
badan. Selain majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu
organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan amasih
tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Dalam persyarikatan Muhammadiyah, organisasi otonom (Ortom) ini ada
beberapa buah, yaitu:
‘Aisyiyah
Nasyiatul ‘Aisyiyah
Pemuda Muhammadiyah
Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM)
Tapak Suci Putra Muhamadiyah
Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan
Organisasi-organisasi otonom tersebut termasuk kelompok Angkatan
Muda Muhammadiyah (AMM). Keenam organisasi otonom ini
berkewajiban mengemban fungsi sebagai pelopor, pelangsung, dan
penyempurna amal usaha Muhammadiyah.
15. Periode Kepemimpinan Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan (1912 — 1923)
K.H. Ibrahim (1923 — 1932)
K.H. Hisyam (1932 — 1936)
K.H. Mas Mansur (1936 — 1942)
Ki Bagus Hadikusumo (1942 — 1953)
A.R. Sutan Mansyur (1952 — 1959)
H.M. Yunus Anis (1959 — 1968)
K.H. Ahmad Badawi (1962 — 1968)
K.H. Fakih Usman/H.A.R. Fakhrudin (1968 — 1971)
K.H. Abdur Razak Fakhruddin (1971 — 1990)
K.H. A. Azhar Basyir, M.A. (1990 — 1995)
Prof. Dr. H.M. Amien Rais/Prof. Dr. H.A. Syafi’i Maarif (1995 — 2000)
Prof. Dr. H.A. Syafi’i Maarif (2000 — 2005)
16. Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
(Keputusan Tanwir tahun 1969 di Ponorogo)
1. Muhammadiyah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan
bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,
untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang
diwahyukan kepada rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa
dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan
spirituil, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Alquran: kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Alquran
yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran
Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk teraksananya ajaran-ajaran Islam yang
meliuti bidang-bidang:
a. Akidah
b. Akhlak
c. Ibadah
d. Muamalah Duniawiyah
5. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
6. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia
dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul,
tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
7. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa tambahan dan
perubahan dari manusia.
8. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya muamalat duniawiyat
(pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan
ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini
sebagai ibadah kepada Allah SWT.
9. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang
telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik
Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama
menjadikan suatu negara yang adil, makmur dan diridhai Allah SWT.
Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
(Catatan: Rumusan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah
tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh PP
Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta).
17. Tentang Muhammadiyah dan NU
Tujuan tulisan ringkas adalah memahamai masing-masing
kelompok, bukan untuk memperuncing..
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi, bukan masalah fiqh.
Hanya dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dan NU adalah
mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh juga. Muhammadiyah
mewakili kelompok "modernis" (begitu ilmuwan menyebut), yang
sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip
seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU
(Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul
Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll.
Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam
masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai masalah furu'
(cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid'ahkan)
bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk
dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi,
dan berbagai masalah lain. (kunjungi masalah khilafiah)
Alhamdulillah, perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan
pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari
keduanya.
Pandangan antara keduanya memang berasal dari "madrasah"
(school of thought) berbeda, yang sesungguhnya sudah terjadi sangat
lama. Muhammadiyah (lahir 1914, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan)
adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat
rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperti Ibn Taymiah,
Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnya
membuka pintu ijtihad, kembali kepada Quran dan Sunah, tidak boleh
taqlid, menghidupkan kembali pemikiran Islam. Sedang wacana salaf
adalah bebaskan takhayul, bid'ah dan khurafat (TBC). Tetapi dalam
perkembangan yang dominan --terutama di grass rootnya-- adalah
wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan
tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak dari kategori TBC tersebut
justru diamalkan di kalangan NU, bahkan dianggap sebagai sunah.
Karena sifatnya yang dinamis, praktis dan rasional, Muhammadiyah
banyak diikuti oleh kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Di sisi lain NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH
Hasyim Asy'ari, 1926), lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab,
mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang
memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU
sangat nampak di kalangan pedesaan.
Sebenarnya KH A Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari sama-sama
pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar
madzhab Syafi'i di Makkah. Ketika bergaung pemikiran Abduh dan
muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH A Dahlan sangat tertarik dan
mengembangkannya di Indonesia. Sedang KH Hasyim Asy'ari justru
kritis terhadap pemikiran mereka...
Berikut secara ringkas perbedaan pandangan di antara keduanya:
Masalah NU Muhammadiyah
Aqidah (Keduanya
masih dalam bingkai
Mengikuti paham Mengikuti paham
salaf/Wahabi* (Ibn
Ahlu Sunah) Asy'ariah/Maturidiah
Taymiah, Muhammad bin
Abdul Wahab, Ibn
Qayyim)
Fiqh
Keharusan mengikuti
salah satu madzhab
(terutama Syafi'i)
Langsung kepada Al-
Quran dan Sunah, dan
tarjih (memilih pendapat
yang terkuat)
Tasauf/tarikat
Menerima tasauf, dan
tariqah yang mu'tabar
(diakui)
Menolak tasauf dan
tariqah
(tetapi banyak yang
apresitif secara
individual dan selektif,
misal HAMKA dengan
tasauf modern-nya)
Pemikiran yang
dominan
Pemikir klasik :
Asy'ari, Al-Ghazali,
Nawawi, dll
Ibn Taymiah,
Muhammad bin Abdul
Wahab, Ibn Qayyim,
Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha
* Istilah Wahabi diberikan oleh kelompok lain, mereka sendiri lebih
menyukai disebut muwahidin (orang yang mengesakan)