bab ii purworejo pada pertengahan abad xix sampai …bagelen seperti yang dijabarkan oleh sartono...
TRANSCRIPT
-
22
BAB II
PURWOREJO PADA PERTENGAHAN ABAD XIX SAMPAI
AWAL ABAD XX (TAHUN 1830-1920AN)
Protes buruh yang terjadi pada awal abad XX dilatarbelakangi oleh keadaan di
mana berkurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan memburuknya keadaan
ekonomi masyarakat Purworejo yang pada saat itu sebagian besar bekerja sebagai
buruh. Ketersediaan lapangan pekerjaan tentu saja di pengaruhi oleh pekerja dan
daerah penyedia lapangan kerja. Oleh karena itu untuk melihat latar belakang
terjadinya protes buruh, perlu untuk mengetahui bagaimana kondisi geografis,
kondisi demografis hingga perubahan sistem ekonomi yang menciptakan perburuhan,
yang akan dijelaskan sebagai berikut:
A. Kondisi Geografis dan Demografis Kota Purworejo
1. Potret Kota Purworejo
Purworejo merupakan wilayah di bawah kepemimpinan Kasunanan Surakarta,
hingga kemudian dilepaskan paksa dan dimasukkan dalam wilayah administrasi
pemerintah Belanda setelah terjadinya perang Jawa. Pelepasan paksa daerah Bagelen
dan Banyumas dari Surakarta membuat Kasunanan Surakarta seperti kehilangan
tangan dan kaki. Alasan dari pelepasan daerah itu sendiri dikarenakan Sunan
dianggap melanggar kontrak dan akan merencanakan perlawanan terhadap Belanda
-
23
setelah terjadinya perang Jawa.17 Menurut catatan resmi yang dibuat oleh pemerintah
Belanda perang Jawa menimbulkan setidaknya 8000 korban prajurit Belanda dan
7000 orang Indonesia yang bekerja di pihak Belanda dengan total kerugian sebesar 20
juta gulden, sedangkan rakyat Jawa yang terbunuh dalam perang Jawa sekitar
200.000 orang.18
Perang yang berlangsung tahun 1825-1830 itu membuahkan kekalahan di
pihak Pangeran Diponegoro, kekalahan di pihak pangeran Diponegoro kemudian juga
mempengaruhi kedudukan Karesidenan Bagelen. Daerah yang termasuk dalam
wilayah Bagelen kemudian dipecah karena dianggap terlalu besar. Tanah Bagelen
pada waktu itu meliputi Kebumen, Purworejo dan Wonosobo.19 Sejak saat itulah ada
daerah yang bernama Purworejo dengan arti (daerah yang subur), nama yang
diberikan atas usulan Bupati Resodiwiryo ( masa jabatan 1838-1856), atau menurut
buku memori DPRD Tingkat II adalah (masa jabatan1831-1836).
Setelah pemecahan wilayah Karesidenan Bagelen maka masing-masing daerah
yang dahulu di bawah Karesidenan Bagelen, sekarang bernaung di bawah
kepemimpinan Bupati daerah masing-masing, begitu pula dengan Purworejo
(Brengkelan) yang dahulunya merupakan ibukota Karesidenan Bagelen.
17 Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di TanahBagelen Abad XIX, (Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan Sosial Budaya,2000), hlm.66.
18 Ibid., hlm.12.
19 Ibid.
-
24
Pembangunan kota Purworejo disesuaikan dengan perkembangan yang
direncanakan dalam bidang ekonomi, mengingat pada waktu itu kondisi kas
pemerintah Belanda dan Hindia Belanda sedang mengalami kekosongan akibat
Perang Jawa. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis keuangan maka ditetapkan
Cultuurstelsel atau politik tanam paksa yang konsepnya berasal dari Letnan Jendral
Van den Bosch yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda.20
Demi melaksanakan rencana pemulihan kas pemerintahan yang terkuras habis
karena perang, maka dilaksanakanlah Cultuurstelsel (tanam paksa). Perkebunan
merupakan satu aspek yang berperan penting dalam memulihkan kas negara. Tujuan
utamanya adalah untuk kepentingan negeri Belanda. Cara pemeliharaan kepentingan
tersebut dengan mempertahankan surplus ekspor. Produksi hasil tanaman yang
berorientasi ekspor secara besar-besaran menjadi pokok perhatian utama
pemerintah.21
2. Kondisi Geografis Kota Purworejo
Bagelen merupakan wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang
lebih dikenal sebagai Purworejo. Nama Purworejo sendiri merupakan nama pengganti
dari Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Karesidenan Bagelen terletak diantara
109o 21’-110o 11’ Bujur Timur dan di 7o - 7o 57’ Lintang Selatan. Karesiden Bagelen
utara berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan
20 Ibid., hlm.90.
21 Ibid., hlm.101-103.
-
25
Karesidenan Banyumas dam Tegal, sebelah timur berbatasan dengan Karesidenan
Kedu dan Yogyakarta. Luas wilayahnya 3831 km2 dan jumlah penduduk 238.764
jiwa, Bagelen pada tahun 1830 termasuk dalam wilayah yang tingkat penduduknya
sedang.
Bagelen memiliki dataran tinggi yang terdiri dari pegunungan Kendeng yang
memanjang dari timur ke barat pada perbatasan utara Karesidenan Bagelen. Dataran
rendahnya terdiri atas rawa-rawa dan deretan desa di sepanjang pantai. Deretan desa
dimulai dari Kadilangu di tepi sungai Bogowonto memanjang ke barat sampai sungai
Cincingguling di Perbukitan Karangbolong yang dikenal dengan nama Urut Sewu.22
Letak Bagelen yang merupakan pintu gerbang sebelum memasuki Kasultanan
Yogyakarta dari arah barat menjadikan wilayah ini sangat strategis. Letak daerah
Purworejo sangat menguntungkan terutama di bidang ekonomi, yaitu sebagai lalu
lintas perdagangan. Daerah pegunungan di sebelah utara dan dataran rendah di
sebelah selatan menjadikan wilayah Purworejo sebagai daerah agraris. Produksi di
bidang pertanian masih menjadi komoditas utama. Kondisi agraris ini didukung
dengan adanya 4 sungai besar di daerah Bagelen yaitu sungai Jali, Bendono, Lebang
dan yang paling terkenal adalah sungai Bogowonto.23
22 P.M. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan danPedesaan: Alih –Ubah Model Berpikir Jawa, (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 1985), hlm.64.
23 http: //eprints.uny.ac.id/8646/3/bab%202%20-20%2008406241020.pdf//(diakses tanggal 21 Juni 2016).
-
26
Terdorong oleh kepentingan ekonomi dan perdagangan diperlukan berbagai
sarana, maka di daerah Karesidenan Bagelen pun dibangun pasar-pasar, toko, gudang,
tempat penjualan garam, jalan-jalan umum dan saluran irigasi. Pembangunan sarana
angkutan kereta api dilakukan pada tahun 1885 ketika jalur kereta api Yogyakarta
Purwokerto dikerjakan. Pembangunan itu dilanjutkan tahun 1890 antara Kutoarjo dan
Purworejo.24
Gambar.1. Stasiun Purworejo Tahun 1910
Sumber: Tropenmuseum
Pembangunan sarana transportasi menjadi hal yang sangat penting untuk
memudahkan pengangkutan dan pengiriman hasil tanaman komoditas ekspor, yang
kemudian akan diekspor melalui jalur laut. Hasil tanaman ekspor sebagian besar
masih berupa bahan mentah, oleh karena itu untuk menjaga kualitas dan harganya,
24 Radix Penadi., loc.cit.
26
Terdorong oleh kepentingan ekonomi dan perdagangan diperlukan berbagai
sarana, maka di daerah Karesidenan Bagelen pun dibangun pasar-pasar, toko, gudang,
tempat penjualan garam, jalan-jalan umum dan saluran irigasi. Pembangunan sarana
angkutan kereta api dilakukan pada tahun 1885 ketika jalur kereta api Yogyakarta
Purwokerto dikerjakan. Pembangunan itu dilanjutkan tahun 1890 antara Kutoarjo dan
Purworejo.24
Gambar.1. Stasiun Purworejo Tahun 1910
Sumber: Tropenmuseum
Pembangunan sarana transportasi menjadi hal yang sangat penting untuk
memudahkan pengangkutan dan pengiriman hasil tanaman komoditas ekspor, yang
kemudian akan diekspor melalui jalur laut. Hasil tanaman ekspor sebagian besar
masih berupa bahan mentah, oleh karena itu untuk menjaga kualitas dan harganya,
24 Radix Penadi., loc.cit.
26
Terdorong oleh kepentingan ekonomi dan perdagangan diperlukan berbagai
sarana, maka di daerah Karesidenan Bagelen pun dibangun pasar-pasar, toko, gudang,
tempat penjualan garam, jalan-jalan umum dan saluran irigasi. Pembangunan sarana
angkutan kereta api dilakukan pada tahun 1885 ketika jalur kereta api Yogyakarta
Purwokerto dikerjakan. Pembangunan itu dilanjutkan tahun 1890 antara Kutoarjo dan
Purworejo.24
Gambar.1. Stasiun Purworejo Tahun 1910
Sumber: Tropenmuseum
Pembangunan sarana transportasi menjadi hal yang sangat penting untuk
memudahkan pengangkutan dan pengiriman hasil tanaman komoditas ekspor, yang
kemudian akan diekspor melalui jalur laut. Hasil tanaman ekspor sebagian besar
masih berupa bahan mentah, oleh karena itu untuk menjaga kualitas dan harganya,
24 Radix Penadi., loc.cit.
-
27
pengiriman harus dilakukan dengan cepat supaya dapat segera diolah. Maka
tersedianya sarana transportasi seperti kereta api sangatlah penting.
Gambar.2. Stasiun Jenar
Sumber: Tropenmuseum
Stasiun Jenar merupakan stasiun penghubung antara Purworejo dan
Yogyakarta. Wilayah Jenar yang berada di antara Purworejo dan Yogyakarta
membuat wilayah ini menjadi wilayah yang cukup strategis, bukan hanya di bidang
ekonomi namun juga di bidang transportasi.
3. Kondisi Demografis Kota Purworejo Awal Abad XX
a. Kondisi Kependudukan
Kondisi kependudukan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat
Purworejo pada saat itu. Kepadatan penduduk akan sangat mempengaruhi pendapatan
masyarakatnya. Meskipun di Purworejo termasuk dalam daerah yang kepadatan
-
28
penduduknya sedang akibat dari pelaksanaan kebijakan emigrasi dan transmigrasi.
Namun persaingan berat dalam mendapatkan pekerjaan ditambah dengan datangnya
pekerja dari luar daerah menyebabkan munculnya permasalahan tentang
pengangguran.25 Setelah dikeluarkannya UU 1870, kehidupan masyarakat menjadi
bertambah sulit, petani kehilangan lahan sebagai sektor pendapatan dan penghidupan
masyarakat Purworejo yang utama akibat disewakan kepada pemodal Eropa.
Kemudian sebagian besar masyarakat Purworejo menggantungkan hidupnya dari
upah menjadi buruh, baik itu sebagai buruh upahan maupun buruh harian.
Sebuah wilayah dengan penduduk yang padat akan meyebabkan terjadinya
persaingan ketat untuk mendapatkan pekerjaan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan
menyebabkan tingginya angka pengangguran. Kondisi ini menyebabkan
bertambahnya keresahan di kalangan masyarakat maupun buruh di Purworejo.
Jumlah Penduduk daerah Purworejo tahun 1920 akan ditunjukkan melalui tabel.1
sebagai berikut:
25 Sartono Kartodirdjo, Memori Serah Jabatan tahun 1921-1930 (JawaTengah), (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977), hlm.CXVI.
-
29
Tabel. 1
Jumlah Penduduk Purworejo Tahun 1920
ADMINISTRA-TIVE
INDEELING
Europa-Nen Inlanders Arabieren
ChineeZen
AndereVreemde
Ooterlingen
DE DRIEBEVOLKINGSGROEPENTEZAM
ENPurworedjo 707 27.654 14 1.401 1 29.777Bajan - 27.859 - 5 - 27.864Banjoeoerip - 22.470 - - - 22.470Kledoeng 9 25.579 - 3 - 25.591Loano 2 19.564 - 11 - 19.577Bener - 30.383 - - - 30.383Banjoeasin - 19.958 - - - 19.958Gebang - 21.722 - - - 21.722Tjangkrep - 17.242 - - - 17.242Koewadja - 16.887 - 3 - 16.890Kaligesing - 18.283 - - - 18.283Soko - 19.271 - - - 19.271Koetoardjo 94 26.994 29 1.806 3 28.206Doekoehdoengoes
- 17.480 - 4 - 17.484
Grabag - 22.767 - 1 - 22.768Ketawang - 21.576 - - - 21.576
Sumber: Uitkomsten Der In de Maand November 1920 Gehounden Volksteeling deelI, Koleksi Perpustakaan Pusat Kependudukan UGM.
Tabel.1. menunjukkan penduduk di afdeeling Purworejo memiliki jumlah
penduduk yang cukup padat. Jumlah pendatang yang tinggal di Purworejo cukup
banyak, misalnya pendatang dari bangsa Eropa dan Cina, ada pula orang-orang
Jepang meskipun jumlahnya tidak sebanyak orang-orang dari bangsa Eropa maupun
Cina, serta ada pula bangsa lainnya. Orang Cina menjadi penyumbang sebagian besar
pendatang yang tinggal di Purworejo.
-
30
Penduduk Purworejo sebagian besar menggantungkan hidupnya terhadap
tanah sawah. Dataran rendah Bagelen tanahnya subur, salah satunya adalah daerah
Purworejo. Purworejo memiliki persediaan air yang melimpah dan penduduk yang
padat, oleh karena itu tanah pertanian di Purworejo kemudian diusahakan secara
intensif. Pengairan untuk persawahan di daerah ini memang tidak teratur, pembagian
air dari sungai induk ke saluran-saluran selanjutnya diatur oleh petugas dari Dinas
Pengairan, dan pembagian hanya berdasarkan kebijakan yang dirundingkan dengan
pangrehpraja setempat. Pertentangan akan terjadi antara petani dengan perusahaan
perkebunan (pabrik gula) pada musim kemarau yang sangat panjang.26 Penghasilan
penduduk pribumi Bagelen sebagian besar diperoleh dari usaha pertanian di sawah,
di kebun kelapa dan pabrik gula dan sebagainya. Karesidenan Bagelen tanahnya
produktif dan dapat diusahan secara intensif dan dapat membuka lapangan kerja
sebagai buruh harian.
Purworejo, Kutoarjo dan Kebumen terkenal akan kebun kelapanya. Pada
tahun 1917 afdeeling Purworejo jumlah pohon kelapa tiap kilometernya tergolong
yang paling banyak di Jawa. Kemudian menyusul daerah Kebumen. Pendapatan
lainnya berasal dari sewa tanah, upah dari pekerjaannya di pabrik-pabrik gula di
Bagelen ± f 3.961.000,- setiap tahun. Pabrik gula Purworejo pada musim tanam dan
panen tebu biasanya kekurangan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pekerja di daerah
Bagelen seringkali merantau ke Karesidenan di sekitar Bagelen dan menjadi buruh
26 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXIII.
-
31
harian. Kemudian untuk menutup kekurangan didatangkanlah pekerja dari daerah
Wates.27 Pekerjaan para buruh dan petani yang menggarap sawah sehari-hari tidak
dapat mencukupi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan merupakan fakor pendorong
yang paling dominan bagi petani atau buruh untuk mencari pekerjaan lain hingga
kemudian bersedia menjadi buruh upahan.
b. Pemerintahan Desa
Desa-desa mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Pemeliharaan dan pembangunan jembatan, saluran dan sarana pengairan, gardu dan
sebagainya dibiayai terutama oleh kas desa. Hanya pada keadaan luar biasa penduduk
dimintai sumbangan berupa tenaga, uang ataupun bahan bangunan. Kas desa berasal
dari pungutan masyarakat, sumbangan pemerintah atau berasal dari hasil sewa tanah-
tanah milik desa yang tidak digunakan.
Hasil dari sewa tanah juga menjadi sumber untuk menambah kas desa.
Beberapa desa di tanah Bagelen mempunyai tanah yang tidak dipergunakan untuk
tanah jabatan. Tanah ini dinamakan tanah gantungan. Tanah gantungan ini disewakan
tahunan dan hasil sewanya dimasukkan ke kas desa. Nama jabatan dalam
pemerintahan desa di Bagelen adalah sebagai berikut: lurah atau bekel, carik,
bekelburi, kamituwo, kebayan, kepetengan atau tamping, kaum dan ili-ili.
27 Ibid., hlm.CXVIII.
-
32
Gaji untuk pejabat daerah berupa tanah untuk digarap, hasil dari penanaman
itu yang kemudian menjadi gaji atau biasa disebut dengan tanah bengkok.28 Ili-ili
merupakan lembaga baru bentukan pemerintah desa. Daerah Purworejo dan Kebumen
jabatan ili-ili sedang dalam tahap perkembangan sedangkan di Kutoarjo baru dimulai
± 4 tahun. Semula urusan pengairan desa tidak ada yang menangani secara khusus.
Urusan pengairan desa diserahkan kepada anggota pemerintahan yang ada atau
kepada pekerja wajib.29 Kas desa menjadi bagian penting dalam operasional desa.
Berikut merupakan kas desa di Karesidenan Bagelen awal abad XX yang akan
dijelaskan dalam tabel. 2.
28 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXIX.
29 Ibid., hlm.CXX.
-
33
Tabel. 2
Kas desa di Karesidenan Bagelen per distrik
Distrik Jumlah Kas
Purworedjo f 33.300
Tjangkrep f 4.400
Loano f 6.600
f 44.300
Koetoardjo f 17.200
Kemiri f 10.200
Pitoeroeh f 17.500
Poerwodadi f 41.900
f 86.800
Keboemen f 19.500
Alian f 5.000
Koetowinangoen f 8.000
Premboen f 27.300
f 59.800
Sumber: M.v.O Residen Bagelen tahun 1921-1930, Koleksi Perpustakaan NasionalRepublik Indonesia.
Selain kas desa, pungutan juga berlaku di dearah-daerah Karesidenan
Bagelen. Beban dan pungutan desa yang biasanya berlaku di desa-desa Karesidenan
Bagelen seperti yang dijabarkan oleh Sartono Kartodirdjo dalam buku Memori Serah
Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah) adalah sebagai berikut:30
1. Pancen: kerja wajib pada kepala desa. Kerja wajib ini dijalankan tiap 6
atau 100 hari sekali. Lamanya bekerja satu hari atau sebagai gantinya
membayar antara f 1,- sampai f 2,- setahun atau 2 gedeng.
30 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXX-CXXII.
-
34
2. Gondal: kerja wajib pada lurah dan carik pada waktu pejabat
pemerintahan desa itu berkeliling (tourne) atau menghadap pembesar.
3. Gamel: kerja wajib pada lurah itu mempunyai kuda. Tiap hari tersisa
pekerja wajib yang mengurusi kuda.
4. Pologoro atau Totodeso: pungutan pada waktu ada perkawinan salah
seorang penduduk desa. Pungutan ini diberikan kepada lurah, berupa uang
sebesar f 1,-, seekor ayam jantan (bopongan) atau diganti uang sebanyak
50 sen dan 2 beruk (takaran beras). Selain kepada lurah, pungutan itu juga
diberikan kepada carik berupa uang sebanyak 50 sen, bekelburi,
kamituwo, kebayan dan kepeteng, berupa uang masing-masing 0,165.
5. Pekiyek: ayam atau uang f 0,25 yang harus diberikan pengantin laki-laki
kepada kepala dukuh.
6. Berkat Suci: seperangkat nasi beserta lauk pauknya (ambeng) yang harus
diberikan kepada lurah dan pejabat-pejabat pemerintahan desa lainnya
pada hari raya Maulud, Ruwah, Selikuran dan Rejepan.
7. Punjungan: seperangkat nasi beserta lauk-pauknya (ambeng) yang harus
diberikan kepada lurah dan anggota pemerintahan lainnya pada waktu
adanya pesta (harga tiap ambeng sampai f 1,50).
8. Kuduran: kewajiban kerja pada lurah sebanyak-banyaknya 4 kali setahun.
Mereka dipekerjakan di sawah jabatan lurah tanpa dibayar tetapi mendapat
makan pagi dan siang. Pekerja yang memiliki lembu diharuskan membawa
lembu, dengan membawa lembu mereka mendapatkan tambahan upah
-
35
sebanyak f 0,25. Selain bekerja kepada lurah, dibeberapa desa pekerja
wajib juga bekerja di tempat prabot desa.
9. Prepot: pungutan untuk lurah, terkadang juga carik untuk mendapatkan
ijin mengadakan pesta. Pungutannya sebesar f 0,50.
10. Rapak: pungutan untuk seorang istri yang meminta cerai, untuk kaum
sebesar f 0,25 dan untuk kaum sebesar f 0,50.
Pungutan-pungutan tersebut dapat memberatkan rakyat dengan upah yang
tidak banyak yang diterimanya dari pekerjaan sebagai buruh, maupun untuk yang
menggarap lahan sawah karena juga memiliki beban membayar pajak. Besarnya
pungutan dan jenisnya ditentukan melalui rapat desa yang diadakan setaip 35 hari
sekali.
c. Kesehatan
Masih penjelasan Sartono Kartodirdjo dalam Memori Serah Jabatan 1921-
1930 (Jawa Tengah) mengenai daerah Bagelen, sebagian besar wilayah di daerah
Bagelen memiliki iklim yang cukup baik dan kondisi lingkungan yang sehat, hanya
saja di daerah Bagelen Selatan yaitu daerah dekat pantai keadannya masih kurang
baik untuk kesehatan karena masih berupa rawa-rawa. Keberadaan rawa-rawa ini
yang menimbulkan permasalahan kesehatan yaitu penyakit Malaria yang disebabkan
oleh nyamuk.
Pemerintah mengatasi permasalahan kesehatan ini dengan menempatkan
beberapa dokter dan menyediakan beberapa rumah sakit. Terdapat Rumah Sakit yang
tersedia di setiap distrik. Purworejo memiliki 2 Rumah Sakit yaitu Rumah Sakit
-
36
Militer dengan seorang dokter dan milik Zending yang memiliki 2 dokter.31 Setiap
Ibukota Kabupaten ditempatkan seorang dokter pemerintah.Poliklinik terdapat di
berbagai tempat dan dipegang oleh dokter Zending. Gedung poliklinik di daerah
Bagelen banyak yang sudah baik tetapi beberapa ada yang masih berupa gedung semi
permanen. Daerah Bruno memiliki gedung poliklinik bekas gudang garam. Berikut
merupakan tabel.3 yaitu Poliklinik yang berada di daerah Purworejo:
Tabel. 3
Poliklinik yang ditempatkan di Purworejo
Dokter Zending Balai PengobatanPemerintah Hindia
Mantri PemerintahDaerah
Purworejo 1 1 1Kaligesing 1Koetoardjo 1 1 1Ketawang 1Pitoeroeh 1 1Broeno 1Boeboetan 1Poerwodadi 1 1
Sumber: M.v.O Residen Bagelen tahun 1921-1930, Koleksi Arsip Nasional RepublikIndonesia.
B. Industri Perkebunan dan Pabrik di Purworejo
1. Perekonomian Masa Cultuurstelsel
Sistem tanam paksa yang diterapkan di Indonesia oleh pemerintah Kolonial
berupa penanaman komoditas ekspor. Usaha dilakukan oleh pemerintah Belanda
untuk menjamin kerja sama yang baik antara Belanda dan Penguasa Jawa yaitu
31 Sartono Kartodirdjo., Ibid., hlm.CXXV.
-
37
dengan cara memberikan cultuur procenten, yang merupakan prosentase hasil-hasil
ekspor tadi kepada Bupati dan Lurah.32 Usaha penanaman komoditas ekspor
ditunjang dengan membangun dan memperkeras jalan-jalan, serta membuka jalan-
jalan baru, mula-mula dari Kedung Kebo ke Gombong untuk sampai ke Cilacap, kota
pelabuhan untuk mengekspor komoditi pertanian dan perkebunan untuk pasar Eropa.
Tabel. 4
Hasil Tanaman Wajib (per-pikul/ 1 pikul = 61,76kg) antara tahun 1839-184233
HASIL 1839 1840 1841 1842
Teh 800 330 281 656
Kopi 46.812 24.188 48.045 47.664
Indigo 3.536 5.661 8.420 4.800
Kayumanis 40 120 140 240
Sumber: Radix Penadi (2000) Riawayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha diTanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan SosialBudaya.
Pertengahan abad XIX, Purworejo pernah menjadi salah satu daerah yang
menghasilkan tanaman komoditas ekspor terbesar di Indonesia. Keadaan geografis
Purworejo sangat strategis untuk dijadikan lahan penanaman komoditas ekspor, teh
dapat ditanam di daerah dataran tinggi seperti daerah Bener dan Loano, sedangkan
32 Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,(Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm.87.
33 Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di TanahBagelen Abad XIX, (Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembagan Sosial Budaya,2000), hlm.112.
-
38
untuk kopi, nila dan kayumanis dapat ditanam di daerah dataran rendah. Wilayah
Purworejo yang luas dan subur sangat potensial untuk dijadikan lahan penanaman
komoditas ekspor. Hasil dari penanaman kopi merupakan yang terbanyak
dibandingkan komoditas lainnya, seperti: nila, teh dan kayumanis, kemudian mulai
diperkenalkan penanaman gula sebagai salah satu komoditas ekspor. Hasil panen
tanaman teh dari tahun 1839-1842 kurang stabil namun pada tahun 1842 mengalami
kenaikan, untuk tanaman kopi cukup mengalami peningkatan, tanaman indigo pada
awalnya mengalami peningkatan namun pada tahun 1842 mengalami penurunan
cukup drastis, hasil panen kayu manis dari tahun 1839-1842 selalu mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Masa tanam paksa ini berakhir setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang mengatur tentang politik
ekonomi liberal.
Sejak penerapan Agrarische Wet tahun 1870, Undang-undang Gula (21 Juli, S
136) menyatakan pula berakhirnya politik tanam paksa (Cultuurstelsel), sedangkan
Undang-undang Agraria (9 April 1870, S 55) dan Dekrit Agraria (KB 20 Juli 1870, S
118) memudahkan hibah tanah jangka panjang bagi perusahaan Eropa yang akan
menanamkan modal di Indonesia, dan isinya merupakan sebuah ketentuan tentang
kepemilikan tanah pribumi yang lebih sesuai dengan hak atas tanah pra-1800.34
Undang-undang baru ini kemudian mengubah wajah baru perekonomian masa
kolonial di Indonesia. Masuknya modal asing dan penyewaan tanah milik penduduk
34 Peter Boomgard, Anak Jajahan Belanda Sejarah Sosial Ekonomi JawaTahun 1795-1880, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm.61.
-
39
ini kemudian memunculkan banyak perkebunan dan pabrik di Jawa. Di Purworejo
misalnya, didirikan Suikerfabriken atau pabrik gula. Suikerfabriken sendiri dibangun
pada tahun 1909 oleh N.V. Suikeronderneming “Purworedjo” yaitu sebuah PT
(Perusahaan Terbuka) yang dibentuk di Ansterdam pada tahun 1908. Berdirinya
pabrik gula tersebut menghabiskan dana sebanyak 5 juta gulden. Pertumbuhan pabrik
gula di Jawa berkembang pesat hingga mencapai jumlah 180 pabrik pada akhir tahun
1920. Saat itu Indonesia menjadi salah satu pengekspor gula terbesar di dunia
bersanding dengan Kuba.35
Perusahaan dan pabrik-pabrik yang telah berdiri ini tentu saja membutuhkan
tenaga kerja, dan untuk mendapatkannya peran pemimpin-pemimpin lokal sangat
dibutuhkan. Tenaga kerja sendiri terdiri dari dua jenis yaitu tenaga kerja wajib dan
tenaga kerja lepas. Pada tahun 1880, tenaga kerja wajib perlahan-lahan dihapuskan
dan bersamaan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan
meningkatnya persediaan tenaga kerja upahan “lepas”.36 Tenaga kerja lepas ini yang
kemudian memunculkan istilah buruh. Namun sejak digunakannya mesin uap dalam
produksi, menyebabkan pengurangan terhadap tenaga kerja, yang artinya jumlah
pengangguran juga meningkat. Jumlah pengangguran yang meningkat, itu berarti
menciptakan masalah perekonomian baru di Jawa pada awal abad XX.
35 http://belovedhometown.wordpress.com/2011/07/09/pabrik-gula-jenar-era-kolonial-belanda.html (diakses tanggal 4 Maret 2016 ).
36 Peter Boogard., op.cit., hlm.67.
-
40
2. Perekonomian di Masa Liberal
Di Kedu Selatan (Bagelen) ada dua pabrik gula besar yaitu pabrik gula
“Purworedjo” dan pabrik gula “Rembun”. Luas areal tebunya hampir 2.500 bau.
Kedua pabrik tersebut tidak dapat bekerja dengan kapasitas penuh karena tidak
mampu meluaskan areal perkebunan tebunya sampai 4.000 bau seperti yang telah
ditetapkan oleh Departemen Urusan Negara, karena hal-hal sebagai berikut37:
a. Harga sewa tanah yang tinggi. Harga sewa yang tinggi ini dikarenakan
tanahnya yang subur yang dan produktivitasnya tinggi. Selain tanah yang
subur, sawah di daerah ini juga mendapat pengairan yang cukup.
b. Kekurangan tenaga kerja. Kekurangan ini dikarenakan tenaga di pabrik
gula itu 60% berasal dari daerah Yogyakarta.
Semula harga sewa tanah ditetapkan atas dasar harga minimum padi yaitu f 4,-
harga itu kemudian ditetapkan menurut harga padi seperti yang ditetapkan oleh pajak
tanah. Upah tenaga kerja kebun dan pegawai pabrik-pabrik gula dinaikkan ketika
terjadi kemahalan umum namun terjadi keresahan setelah masa malaise. Harga-harga
barang yang semakin menurun, upah pun ikut diturunkan.38
Pabrik gula Purworejo berada di daerah Jenar. Pada awal berdiri luas pabrik
gula di Purworejo dan Rembun di Prembun mencapai 2.500 bau. Pada tahun 1926
pabrik gula Purworejo luas areal kebun tebunya 4.049 bau, luas maksimum adalah
37 Sartono Kartodirdjo, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah),(Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977), hlm. CXLIV.
38 Ibid., hlm.CXLV.
-
41
4.700 bau sesuai dengan ijin peraturan Departemen Urusan Negara tertanggal 23
Maret 1912 no.36. Pabrik gula di Karesidenan Kedu sudah menggarap sawah dengan
menggunakan traktor sehingga dapat mengatasi masalah tenaga kerja.39
Pabrik gula Purworejo terdapat di Jenar, distrik Purwodadi. Distrik Purwodadi
memiliki areal tanah seluas 476 bau (1 bau = 0,7096 Ha) hanya boleh dipakai apabila
pabrik bersedia untuk memompa air sendiri dari kali Bogowonto. Areal tanah yang
dapat disewa oleh pabrik untuk dijadikan lahan penanaman tebu telah diatur dan
dijelaskan dalam tabel. 5 sebagai berikut:
Tabel. 5
Ketentuan Maksimum Tanah Sewa Perdistrik
Jumlah Maksimal Tanah Wilayah
1.800 bau di distrik Poerworedjo Regentschap Poerworedjo
600 bau di distrik Tjangkrep Regentschap Poerworedjo
500 bau di distrik Loano Regentschap Poerworedjo
1.400 bau di distrik Poerwodadi Regentschap Koetoardjo
400 bau di distrik Koetoardjo Regentschap Koetoardjo
Sumber: M.v.O Afdeeling Purworejo Tahun 1921-1930, Koleksi Arsip NasionalRepublik Indonesia.
39 Ibid., hlm. CLIII.
-
42
a. Profil Pabrik Gula Purworejo (N.V. Suikeronderneming “Purworedjo”)
Pabrik gula “Purworedjo” dibangun pada tahun 1909 oleh N.V.
Suikeronderneming “Purworedjo” yaitu sebuah PT (Perusahaan Terbuka) yang
dibentuk di Amsterdam pada tahun 1908. Berdirinya pabrik gula tersebut
menghabiskan dana sebanyak 5 juta gulden. Pabrik gula Purworejo terdapat di halte
Jenar, distrik Purwodadi. Distrik Purwodadi memiliki areal tanah seluas 476 bau
(1 bau = 0,7096 Ha) hanya boleh dipakai kalau pabrik bersedia untuk memompa air
sendiri dari kali Bogowonto. Areal bruto tanaman tebu yang dimiliki seluruhnya
adalah 4.700 bau, sesuai ijin yang diberikan oleh Departemen Urusan Negara pada
tanggal 23 Maret 1912 No. 336.
Gambar.3. Pabrik Gula “Purworedjo”
Sumber: Tropenmuseum
Berdirinya pabrik gula tentu saja didukung dengan jalur pengangkutan dari
perkebunan yang memadai. Menurut ketentuan Residen, tebu dari kebun ke pabrik
harus diangkut dengan menggunakan lori. Jalan beserta bangunan-bangunan yang
-
43
dipergunakan untuk rel lori harus dilebarkan agar tidak mengganggu lalulintas dan
biaya pelebaran ditanggung oleh pabrik. Ketentuan ini juga berlaku rel lori yang
bersifat sementara (hanya dipasang pada saat panen tebu). Pabrik gula Purworejo dan
Purwodadi areal tanaman tebunya luasnya ± ¼ dari seluruh areal tanaman tebunya.40
Berikut ini merupakan gambar lori yang berada pada jalur pengangkutan tebu ke
pabrik gula Purworejo.
Gambar.4. Gambar Lori di Jalur Pengangkutan Tebu
Sumber: Tropenmuseum
Pada tahun 1922 pabrik gula Purworejo mengikuti cara pabrik gula rembun
yang mengadakan perjanjian sewa-menyewa tanah berjangka panjang. Harga sewa
tanah ditentukan oleh harga padi, seperti yang ditentukan oleh pajak tanah terakhir
dan disesuaikan dengan harga tanah yang sebenarnya. Pabrik gula Purworejo
berencana untuk melakukan penggarapan tanah secara mekanis, hal ini bertujuan
untuk mengatasi permasalahan kekurangan pekerja saat musim panen sekaligus
40 Ibid., hlm.CXXVIII.
-
44
menghemat pengeluaran untuk upah buruh. Selain itu perusahaan juga menyediakan
laboratorium untuk meneliti serta menjaga kualitas bahan yang akan diolah menjadi
gula.
Gambar.5. Laboratorium Penelitian milik Pabrik Gula Purworejo
Sumber: Tropenmuseum
Laboratorium milik pabrik gula Purworejo berguna untuk meneliti kualitas
bahan yang akan diolah menjadi gula. Hal ini menjadi penting karena sasaran dari
pemasaran gula hasil produksi adalah pasar dunia. Persaingan ketat di bidang industri
dan perdagangan mengharuskan para pengusaha memastikan kualitas barang yang
dijual agar tidak jatuh di pasaran dunia. Namun akibat memburuknya harga gula di
pasaran dunia, maka perusahaan gula “Purworejo” mengalami kerugian.41
41 Ibid., hlm.CXLIV
-
45
C. Terbentuknya Kelas Buruh dan Latar Belakang Terjadinya Protes
Semenjak Undang-undang Agraria 1870 dan Undang-undang gula
diberlakukan maka politik tanam paksa diberhentikan dan digantikan dengan politik
pasar terbuka. Politik liberal ini menarik banyak investor asing menanam modal di
Indonesia. Penyewaan lahan/tanah oleh pribumi kepada investor mulai gencar
dilakukan, lahan yang disewa akan dijadikan sebagai pabrik dan perkebunan.
Industri-industri baru bermunculan di dunia Barat yang didukung oleh
mekanisme pengangkutan, baik itu melalui jalur darat, laut maupun udara.
Industrialisasi ini merupakan salah satu penyebab timbulnya imperialisme modern.
Negara-negara Barat itu membutuhkan daerah-daerah yang dapat menjual bahan
mentah dan membeli barang-barang jadi. Politik liberal kemudian dijadikan sebagai
cara untuk memperlancar pemasaran sekaligus membuka peluang yang menghasilkan
banyak keuntungan bagi pemerintah Kolonial. Pemerintah Belanda kemudian
memberi kesempatan bagi orang-orang asing untuk menyewa tanah di Indonesia.
Kesempatan yang baik itu kemudian diambil oleh perusahaan-perusahaan Belanda
untuk mengambil lahan dan dijadikan areal penanaman tebu dan usaha lainnya.42
Ekspansi besar-besaran dari perusahaan-perusahaan perkebunan dan
pengusaha tanaman perdagangan antara 1870-1920, terutama gula dan tembakau di
Jawa (juga teh dan kopi dan sedikit untuk karet) dan kemudian karet dan kelapa sawit
42 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan TerhadapImperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Tumaritis,1990), hlm.118-119.
-
46
di Sumatera. Dalam kurun waktu itu, industri petanian/perkebunan mengalami
perkembangan pesat. Perkembangan tersebut terus belangsung sampai dengan
pecahnya Perang Dunia Pertama, tetapi sejak 1915-1919, produksi tembakau
menurun karena kesulitan dalam pengapalan komoditas ke pasar dunia.43
Penyediaan modal perkebunan oleh Bank Perkebunan (cultuur banken) serta
permintaan akan komoditas di pasar dunia menyebabkan semakin banyaknya
perusahaan menanamkan modal di berbagai industri di Indonesia pada waktu itu.
Kurun waktu 1890-1910 membawa dampak ketatnya persaingan antar perusahaan.
Suasana di pasar Intenasional diwarnai dengan persaingan yang ketat, semua
perusahaan swasta di Belanda memerlukan suatu sistem ekonomi murah dan buruh
dengan upah yang rendah, hingga pada akhirnya pemerintah Kolonial mengeluarkan
kebijakan yang mengatur mengenai hal ini.44
Uang yang berasal dari sewa tanah dan upah dari pabrik-pabrik gula di
Bagelen ± 3.961.000,- setiap tahun. Banyak penduduk di Karesidenan Bagelen yang
merantau ke Karesidenan sekitar Bagelen untuk menjadi buruh harian, misalnya
buruh di daerah Alian yang bekerja di Semarang, Yogyakarta dan Solo. Penduduk
Kutowinangun yang bekerja di daerah Kutoarjo dan Purworejo menjadi buruh harian
di kebun-kebun tebu pada musim tanam dan musim panen. Pabrik gula Purworejo
43 Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,(Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm.87.
44 Ibid.
-
47
biasanya seringkali mendatangkan pekerja dari daerah lain seperti daerah Wates atau
Banyumas pada saat panen tiba. Penduduk Purworejo sendiri sebagian besar lebih
memilih untuk menjadi buruh di daerah lain, buruh penggarap sawah dan ada pula
yang menjadi buruh di perkebunan. Apabila kurang mencukupi maka penduduk lebih
memilih beremigrasi dan menjadi buruh di Deli.45 Buruh harian merupakan jalan
keluar untuk mendapatkan buruh murah.
Sistem tanam paksa gula sebenarnya telah menandai awal perkembangan pola
baru perusahaan perkebunan dengan skala besar, karena perusahaan tersebut
merupakan skala produksi yang luas, dengan mesin besar dan mahal dengan
melibatkan penguasaan tanah dan tenaga kerja yang besar oleh pabrik gula. Setelah
tahun 1870, ciri serupa bisa dijumpai pada perusahaan swasta Belanda dan
perusahaan yang menghasilnya karet tembakau dan teh, dan dalam derajat tertentu
kopi.46
Sehubungan dengan membesarnya jumlah pemilik perkebunan dan
perusahaan maka terciptalah pula sebuah undang-undang yang mengatur mengenai
tenaga kerja atau buruh. Mekanisme agar buruh murah tersedia dalam jangka panjang
juga diciptakan, antara lain undang-undang oleh pemerintah yang berupa ancaman
45 Sartono Kartodirdjo, Memori Serah Jabatan tahun 1921-1930 (JawaTengah), (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977), hlm.CXIII-CXIX.
46 Soegijanto Padmo., op.cit., hlm.107.
-
48
bagi kuli atau kerja yang melarikan diri dari perkebunan. Kondisi perkebunan
terkendali dengan sistem kontrak dan pengawasan yang ketat.47
Pemanfaatan priyayi seperti demang atau lurah dilakukan oleh pemerintah
Belanda untuk bertanggung jawab dalam menyediakan tenaga kerja bagi perkebunan
maupun pabrik-pabrik yang mulai banyak dibangun di Indonesia setelah munculnya
sistem ekonomi liberal. Hal tersebut dikarenakan mereka yang dianggap sebagai
pemimpin tradisional lebih mudah mengkoordinasi pekerja. Semua urusan mengenai
tenaga kerja, mencari bahan bakar untuk produksi di pabrik, pengangkutan tebu dari
ladang ke pabrik dan penanaman tebu, perusahaan tidak ikut campur karena semua
itu adalah tanggung jawab pejabat pemerintah dari tingkat atas ke tingkat yang paling
bawah yaitu dari bupati sampai ke kepala desa.48
Pendirian pabrik-pabrik gula di Jawa sebenarnya memberikan peluang ekonomi
kepada masyarakat pada saat itu, namun karena peraturan-peraturan yang ada tidak
sesuai dengan kenyataan dalam praktek dan di sana-sini terdapat penyalahgunaan
serta kecurangan-kecurangan dalam memberikan apa yang menjadi hak dan
wewenang masyarakat, khususnya para buruh tani dan pekerja pabrik, maka yang
terjadi adalah semakin rendahnya ekonomi petani dan buruh. Rakyat tetap menderita
47 Ibid., hlm.112.
48 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Perlawanan TerhadapImperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Tumaritis,1990), hlm.119.
-
49
karena tekanan dan paksaan dari aparat, baik itu dari pemerintah Kolonial maupun
para priyayi.49
Seiring berkembangnya Purworejo menjadi afdeeling yang diperhitungkan
karena letaknya yang strategis, perburuhan bukan hanya berkembang di perkebunan
maupun pabrik gula. Perkembangan masa dan kemajuan di bidang transportasi kereta
api, muncullah buruh perkereta apian dan buruh pegadaian.
49 Ibid., hlm.124.