bab ii perspektif tentang komunitas -...

19
13 BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS Hakikat Komunitas Dari sudut sosiologis, kata community berasal dari bahasa Latin Munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan together (kebersamaan) antara satu sama lain. Dapat diartikan, komunitas adalah sekelompok orang yang saling berbagi dan saling mendukung satu sama lain. Syarat pokok agar mereka dapat saling berbagi adalah adanya interaksi sosal sehari-hari yang intensif. Secara umum, komunitas adalah sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah kelompok hidup (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan. Dalam sosiologi, secara harfiah makna komunitas adalah “masyarakat setempat” (Soekanto, 1999). Komunitas juga dapat diartikan sebagai sekumpulan anggota masyarakat yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka dapat merasakan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Artinya, ada social relationship yang kuat diantar mereka, pada satu batasan geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk sebuah komunitas adalah adanya interaksi yang intensif diantara anggotanya, dibandingkan dengan orang-orang di luar batas wilayah. Ukuran derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk kelompok dalam masyarakat. Pada sebuah komunitas ditemukan dua hal utama, yakni kesamaan dan identitas. Selain itu, juga selalu terdapat sikap saling berbagi, partisipasi, fellowship. Komunitas terbentuk karena memiliki kepentingan yang sama atau disebut community of interest. Dapat dikatakan bahwa makna komunitas adalah sekelompok orang yang

Upload: dinhmien

Post on 09-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS

Hakikat Komunitas

Dari sudut sosiologis, kata community berasal dari bahasa Latin

“Munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan together (kebersamaan) antara satu sama lain. Dapat diartikan, komunitas

adalah sekelompok orang yang saling berbagi dan saling mendukung

satu sama lain. Syarat pokok agar mereka dapat saling berbagi adalah

adanya interaksi sosal sehari-hari yang intensif.

Secara umum, komunitas adalah sekelompok orang yang hidup

bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang

menjadi sebuah kelompok hidup (group lives) yang diikat oleh

kesamaan kepentingan. Dalam sosiologi, secara harfiah makna

komunitas adalah “masyarakat setempat” (Soekanto, 1999). Komunitas

juga dapat diartikan sebagai sekumpulan anggota masyarakat yang

hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka dapat merasakan

dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama.

Artinya, ada social relationship yang kuat diantar mereka, pada satu

batasan geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk sebuah

komunitas adalah adanya interaksi yang intensif diantara anggotanya,

dibandingkan dengan orang-orang di luar batas wilayah. Ukuran

derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah

pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk

kelompok dalam masyarakat.

Pada sebuah komunitas ditemukan dua hal utama, yakni

kesamaan dan identitas. Selain itu, juga selalu terdapat sikap saling

berbagi, partisipasi, fellowship. Komunitas terbentuk karena memiliki

kepentingan yang sama atau disebut community of interest. Dapat

dikatakan bahwa makna komunitas adalah sekelompok orang yang

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

14

didalamnya terdapat elemen berbagi diantara mereka. Substansi dari

elemen berbagi tersebut sangat luas, yaitu dari berbentuk situasi sampai

ke kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan bahkan nilai-

nilai. Hal ini diwakili oleh konsep kolektivitas.

Komunitas memiliki banyak makna. Ia dapat dimaknai sebagai

sebuah kelompok dari suatu masyarakat, atau sebagai sebuah kelompok

yang hidup di area yang khusus yang memiliki karakteristik etnik

dan kultural yang sama. Salah satu ciri khasnya adalah mereka

memiliki sesuatu secara bersama-sama. Jika bertolak dari pengertian

ekologi, maka komunitas adalah sekelompok organisme yang saling

tergantung pada satu wilayah, dan mereka saling berinteraksi.

Pentingnya interaksi dilihat pada intensitasnya yang dengan

pasti mendorong terbentuknya solidaritas sosial. Menurut Durkheim

(1964), solidaritas sosial adalah :

“Kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”.

Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah

diungkapkan, dibagi menjadi dua yaitu: pertama, mekanik adalah

solidaritas organik yang didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif”

(collective consciousness) bersama yang menunjuk pada totalitas

kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-

rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Yang ikatan utamanya

adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral.

Kemudian dalam pandangan Durkheim (1964) melihat bahwa

setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan

antara dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas

organik. Solidaritas mekanik merupakan suatu tipe solidaritas yang

didasarkan atas persamaan. Solidaritas mekanik dijumpai pada

masyarakat yang masih sederhana yang dinamakan masyarakat

segmental. Pada masyarakat seperti ini belum terdapat pembagian kerja

yang berarti: apa yang dapat dilakukan oleh seorang anggota

Perspektif tentang Komunitas

15

masyarakat biasaya dapat dilakukan pula oleh orang lain. Dengan

demikian tidak terdapat saling ketergantungan antara kelompok

berbeda, karena masing-masing kelompok dapat memenuhi

kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok pun terpisah

satu dengan yang lain. Tipe solidaritas yang didasarkan atas

kepercayaan dan setiakawan ini diikat oleh apa yang oleh Durkheim

(1964) dinamakan conscience collective yaitu suatu sistem kepercayaan

dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.

Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang

sehingga solidaritas mekanik berubah menjadi solidaritas organik. Pada

masyarakat dengan solidaritas organik masing-masing anggota

masyarakat tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhanya sendiri

melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan

orang atau kelompok lain. Solidaritas organik merupakan suatu

sistem terpadu yang terdiri atas bagian yang saling tergantung

laksana bagian suatu organisme biologi. Berbeda dengan solidaritas

mekanik yang didasarkan pada hati nurani kolektif maka solidaritas

organik didasarkan pada hukum dan akal.

Dinamika solidaritas organik dan mekanik dalam pandangan

Durkheim (1964) di atas merupakan esensi yang menjelaskan tentang

dinamika hubungan antar individu dalam masyarakat. Terkait

dengan hal ini, Tonnies (1957), dalam pendangannya tentang

masyarakat, menegaskan bahwa masyarakat itu sendiri merupakan

usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-relasi timbal

balik yang mantap. Kemauan manusia yang mendasari masyarakat.

Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara

Zweckwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai suatu

tujuan dan Triebwille, yaitu dorongan batin berupa perasaan.

Zweckwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu

dan mengambil tujuan rasional kearah itu.

Pembedaan antara Zweckwille dan Triebwille, melahirkan

konsep Tonnies (1957) tentang tipologi masyarakat, yakni

gemeinschaft dan gesselschaft. Menurut Selo Soemarjan dan Solaeman

Soemardi (1974), gemeinschaft atau paguyuban merupakan bentuk

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

16

kehidupan bersama yang sesuai dengan triebwille. Kebersamaan dan

kerja sama tidak diadakan untuk mencapai tujuan dari luar, melainkan

lebih dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Sehingga orang lebih

merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan tersendiri

karenanya. Sedangkan gesselschaft lebih menggambarkan suatu

kehidupan bersama yang sesuai dengan zweckwille.

Gesellschaft atau petembayan ini lebih mengasosiasikan

dimana suatu relasi kebersamaan dan kesatuan timbul dari faktor-

faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dan

sebagainya. Unsur-unsur individu beserta masing-masing kepentingan

dalam pencapaian suatu tujuan lebih ditonjolkan.

Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di

bukunya (1887) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

menjadi Community and Society pada tahun 1957, sebagai salah satu

teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai

situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan

terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial.

Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam

individu dan adanya keinginan untuk memiliki hubungan atau

relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan.

Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan

pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan

kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun

hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang

lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan

mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya

di masyarakat.

Sedang Gesellschaft merupakan sesuatu yang kontras,

menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku

rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan

individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak

menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak

mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian

dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran

Perspektif tentang Komunitas

17

pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan

bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.

Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu

bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang

berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan,

yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan

naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang

timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang

mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan

tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari

unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan

dan pertolongan.

Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :

1) Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang

mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Di dalam

pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama

makin menipis

2) Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang

mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan

sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong.

3) Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang

mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama.

Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat,

baik di kota maupun di desa. Oleh Tonnies (1957) juga dikatakan

bahwa suatu paguyuban (gemeinschaft) mempunyai beberapa ciri

pokok, yaitu sebagai berikut.

1. Intimate, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra

2. Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus

untuk beberapa orang saja

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

18

3. Exclusive, yaitu hubungan itu hanyalah untuk “kita” saja dan

tidak untuk orang-orang diluar”kita”

Di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu

kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian

(understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan

sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara

anggota suatu paguyuban, pertentangan tersebut tidak akan dapat

diatasi dalam suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya

hubungan yang menyeluruh antara anggota-anggotanya. Tak

mungkin suatu pertentangan yang kecil diatasi karena pertentangan

tersebut akan menjalar kebidang-bidang lainnya. Keadaan yang agak

berbeda akan dijumpai pada petembayan atau gesselschaft, dimana

terdapat aktivitas publik yang artinya bahwa hubunganya bersifat

untuk semua orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan

kami” menjadi kabur. Pertentangan- pertentangan yang terjadi antara

anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu sehingga suatu

persoalan dapat dialokasikan.

Apapun definisinya, komunitas harus memiliki sifat interaksi,

yaitu interaksi yang informal dan spontan harus lebih banyak

inteaksi yang sifatnya formal. Harus juga memiliki orientasi yang

jelas. Keanggotaan dalam komunitas terbentuk lebih karena adanya

struktur yang alamiah; lebih dari struktur yang hirarkis. Ciri utama

sebuah komunitas adalah adanya keharmonisan egalitarian, serta sikap

saling berbagi nilai dan kehidupan.

Komunitas dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar

ukuran (besar dan kecil), atas dasar level (lokal, nasional dan

internasional), riel atau tidak riel (virtual), bersifat kooperatif atau

kompetitif, formal atau tidak formal. Pada perkembangannya, konsep

komunitas dapat dipakai secara lebih luas. Untuk kesatuan hidup yang

berada pada satu wilayah tertentu disebut sebagai “community of places”, sedangkan hubungan yang diikat arena kesamaan kepentingan

namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu

disebut dengan “community of interests”.

Perspektif tentang Komunitas

19

Eksistensi sebuah komunitas dalam kerangka kehidupan

bermasyarakat sangat penting perannya. Sebagaimana pendapat PBB

(dalam Syahyuti, 2005) :

“...community provides human beings with the unifying means of elevating the dignity of each person, providing the needs and aspirations of all in a group, doing this in harmony with the natural environment and making possible the communications and interaction between other social and political groups”.

Begitu besarnya peran komunitas karena dapat menjadi

representatif kebutuhan-kebutuhan individu di dalamnya, dapat

menciptakan keselarasan dengan alam dan memungkinkan untuk

dapat berinteraksi dengan lembaga- lembaga di luarnya. Suatu

komunitas tidak akan dapat menutup dirinya sendiri. Ia harus

berinteraksi dan berkomunikasi dengan komunitas lain.

Komunitas merupakan unit-unit sosial yang memiliki otoritas

sendiri dengan nilai-nilai bersama dan rasa memiliki satu sama lain.

Suatu komunitas terjaga karena adanya kohesi sosial sesama mereka,

dalam situasi di mana individu- individu diikat oleh orang lain oleh

komitmen sosial dan kultural. Kohesi sosial selalu terdapat dalam

komunitas jenis apa pun itu. Menurut Mitchell (1994), ada 3

karakteristik kohesi sosial, yaitu 1). Komitmen individu untuk norma

dan nilai umum; 2). Kesaling-tergantungan yang muncul karena

adanya niat untuk berbagi; dan 3). Individu yang mengidentifikasi

dirinya dengan grup tertentu.

Trust dalam Komunitas

Sebelum membahas tentang trust, alangkah baiknya didahului

oleh pengantar tentang modal sosial. Hal ini karena perhatian pada

kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir

sebagai wacana akademik pemerhati sosiologi. Modal sosial itu sendiri

bukanlah konsep yang baru dalam dunia sosiologi (Portres, 1998),

dalam arti bahwa konsep modal sosial yang dikembangkan oleh

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

20

Putman (2000) dan Woolcook (1998) merupakan konsep yang telah

lama diterbitkan sebelumnya.

Modal sendiri berarti kapasitas, kemampuan, pasokan,

ketersediaan yang dimiliki. Sosial, dapat berarti kelompok, komunitas,

masyarakat; atau dalam skala yang besar itu negara, bahkan yang lebih

luas lagi yaitu penduduk dunia. Pada definisi kedua kata itu, kita dapat

mengatakan bahwa yang disebut modal sosial adalah kapasitas atau

kemampuan atau pasokan atau ketersediaan yang dimiliki oleh

kelompok, komunitas, masyarakat atau negara dalam melakukan

aktivitas-aktivitas yang bersifat sosial. Istilah modal sosial yang

diajukan Putnam (2001) merujuk pada hubungan antar individu-

individu—jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya

yang tumbuh di antara mereka. Definisi yang dikemukakan oleh

Putman memiliki kemiripan dengan penekanan yang dikemukakan

oleh Woolcock (1998), yang mana menegaskan bahwa modal sosial

merupakan informasi, trust, dan norma timbal balik dalam suatu

kesatuan jaringan sosial.

Dari kedua definisi di atas (dari sekian definisi) yang begitu

banyak, sebagai bagian dari konsekuensi keragaman level pendekatan

terhadap konsep modal sosial, pendapat Putman (2001) dan Woolcock

(1998) mewakili pendapat bahwa trust merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari modal sosial. Karena trust pada prinsipnya dapat

mendorong unsur utama dari modal sosial, seperti bonding, bridging

dan linking.12

Dalam kaitannya dengan trust, Fukuyama (1995) menegaskan

bahwa trust adalah salah satu hal penting dalam kehidupan

bermasyarakat. Hal ini kemudian ditekankan oleh Sztompka (1999)

yang menegaskan bahwa trust menjadi modal penting yang

mengkondisikan masyarakat dapat berfungsi. Dalam kaitannya dengan 12 Sangat disadari bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada masalah terkait dengan unsur modal sosial ini. Seperti yang dilakukan oleh Leonard dan Onyx (2003) menunjukkan bahwa bonding tidak terlalu kuat dalam ikatan antar komunitas, sedangkan bridging memiliki daya yang kuat pada komunitas atau organisasi skala kecil. Penelitian mereka menegaskan bahwa daya ikatan yang menguat dan melemah tidak bisa dinamakan bonding dan briedging,

Perspektif tentang Komunitas

21

kehidupan bermasyarakat, dilihat bahwa masing-masing individu

dalam relasi sosialnya memiliki ekspektasi tertentu di antara mereka.

Hal ini membuat ekspektasi individu yang kemudian bergulir menjadi

ekspektasi sosial tersebut menjadi semacam trust yang terbentuk untuk

mengukuhkan relasi antar individu. Dalam kaitannya dengan ini,

Dasgupta (dalam Seok-Eon Kim, 2005) menegaskan bahwa trust sangat

berkaitan dengan ekspektasi antar individu dalam membangun

kontrol terhadap setiap tindakan dan perilaku sosial. Kontrol sosial

semacam itu, dalam penekanan Fukuyama (1998) dinamakan sebagai

kesatuan tanggung jawab personal terhadap tujuan bersama.

Möllering (2001) yang berusaha mengelaborasi pemikiran

Simmel tentang trust, mengkoseptualisasikan gagasan trust itu sebagai:

“a state of favorable expectation regarding other people‟s actions and intentions. As such it is seen as the basis for individual risk-taking behavior, cooperation, reduced social complexity, order, and social capital”

Dari rumusan tersebut di atas, trust membawa konotasi

aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh

tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan

kemasyarakatan. Ketepatan antara harapan dan realisasi tindakan yang

ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan

amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan.

Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara

harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat

kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan

tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial. Rumusan dari

Möllering (2001) tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi

penting kepercayaan (trust) dalam hubungan- hubungan sosial-

kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah:

1. Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah

psikologis-individual. Sikap ini akan mendorong orang

berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah

memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang

sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

22

sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi

kolektif.

2. Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif

dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan

antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga.

Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi

sosial yang tinggi.

3. Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu

meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-

kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu

dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan

sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas

dasar moralitas ketidakpercayaan.

4. Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap

individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan

meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan

demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang

teratur, tertib dan beradab.

5. Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan

setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas

menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.

6. Dalam modal sosial. Trust adalah asset penting dalam

kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur- struktur

sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta

efisien.

Dalam kaitannya dengan komunitas, trust memiliki kontribusi

yang sangat besar dalam memelihara komitmen bersama. Ketika

memakai dasar kepemilikan bersama sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari komunitas, maka trust menjadi modal dasar dalam

mengembangkan jaringan di dalam komunitas.

Dalam kaitan dengan komitmen, disadari bahwa trust menjadi

perangsang dalam mengoperasionalkan komitmen bersama, yang

Perspektif tentang Komunitas

23

kemudian bermuara pada kepemilikan dan tujuan secama bersama.

Komitmen bersama semacam itu menjadi penting karena pada

prinsipnya bahwa akan terjadi pertukaran aksi antar actor dalam

komunitas. Pertukaran aksi akan berlangsung dengan baik jika

didasarkan pada komitmen yang kuat pula. Hubungan antara

komitmen dengan pertukaran aksi antar aktor tersebut telah

mengalami pergeseran yang signifikan. Menurut Molm (2001) bahwa

pergeseran tersebut lebih mengarah pada minat terhadap resiko yang

menimbulkan perhatian khusus pada trust dalam relasi pertukaran.

Akibatnya, ada aktor yang mulai mereduksi resiko dan meningkatkan

kepercayaan dengan mengembangkan seperangkat komitmen bersama

(Molm, 1997).

Budaya Komunitas

Dalam makna yang lebih filsafatis, Parekh (2008) menegaskan

bahwa kebudayaan mempunyai keterkaitan dengan pertanyaan-

pertanyaan manusia tentang makna dan keyakinan serta praktek

kehidupan. Pertanyaan tentang makna dikaitkan dengan kelayakan

atau nilai, macam dan tingkat kepentingan yang harus diberikan pada

aktivitas manusia; sedangkan pertanyaan tentang aktivitas atau

praktek diarahkan pada upaya untuk memahami maksud dan tujuan

serta titik penting sebuah aktivitas. Pertanyaan- pertanyaan di atas

kemudian dikonstruksikan secara pribadi maupun bersama menjadi

praktek-praktek secara kolektif. Dengan demikian, kebudayaan adalah

apresiasi individu atau kolektif terhadap keyakinan dan praktek-

praktek untuk memahami, mengatur dan menstrukturkan kehidupan

bersama. Akhirnya, Parekh (2008) menegaskan bahwa kebudayaan

adalah totalitas aktivitas kehidupan manusia.

Kebudayaan juga menunjukkan suatu pengertian yang luas dan

kompleks, di dalamnya tercakup baik segala sesuatu yang terjadi dan

dialami oleh manusia secara personal dan kolektif, maupun bentuk-

bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang

dapat disaksikan dalam sejarah kebudayaan, baik hasil-hasil pencapaian

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

24

yang pernah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara

turun-temurun maupun proses perubahan serta perkembangan yang

sedang dilalui dari masa ke masa (Poespowardojo, 1993).

Secara lebih khusus, kebudayaan merupakan keseluruhan

sistem gagasan, rasa dan tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia

dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan cara

belajar, dipakai sebagai pedoman dan pola perilaku manusia serta

terwujud dalam sistem-sistem sosial tertentu. Kebudayaan sebagai

suatu pola yang dimiliki dan diwujudkan oleh manusia - sebagai satu

kesatuan - mempunyai beberapa unsur-unsur universal yang dapat

ditemukan pada semua bangsa didunia, salah satu unsurnya adalah

sistem mata pencaharian hidup (Koentjaraningrat, 1996).

Sistem mata pencaharian hidup terdiri dari berburu dan

meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan

bercocok tanam menetap dengan irigasi. Setiap suku bangsa yang

sederhana maupun kompleks memiliki sistem mata pencaharian

hidup, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu menggunakan dan

mengembangkan cara-cara produksi, distribusi dan konsumsi

(Koentjaraningrat, 1996). Sistem ekonomi merupakan keseluruhan

perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur

penggunaan sumber-sumber terbatas guna memenuhi kebutuhan

hidup suatu masyarakat tertentu. Sistem ekonomi berkaitan erat

dengan perilaku manusia, lingkungan dan kebudayaan, sehingga sangat

erat kaitannya dengan sistem produksi, distribusi dan konsumsi

(Koentjaraningrat, 1990).

Ketika dipergunakan, kebudayaan tanpa frasa mencakup lebih

kurang, keseluruhan kehidupan manusia. Ketika dijadikan sebagai kata

sifat, kebudayaan mengacu pada bidang atau aspek kehidupan manusia

yang disoroti oleh kata sifatnya. Istilah budaya bisnis, obat, dan moral,

politik mengacu pada lembaga kepercayaan dan praktek yang

mengatur bidang kehidupan manusia yang relevan termasuk cara

bagaimana budaya-budaya ini dikonseptualisasikan, dibatasi,

distrukturkan dan diatur. Berbagai istilah seperti budaya gay, budaya

kaum muda, budaya massa dan budaya komunitas, mengacu pada cara

Perspektif tentang Komunitas

25

kelompok ini memahami tempat mereka dalam masyarakat dan

mengatur hubungan internal dan eksternalnya (Parekh, 2008).

Sebagai ekspresi atas keberadaan mereka di tengah-tengah

masyarakat, budaya komunitas diartikulasikan dengan menggunakan

keberadaan mereka dalam berinteraksi dengan sesama anggota

kelompok maupun anggota kelompok dengan orang di luar komunitas.

Tatanan nilai, aturan, jaringan, komunikasi (bahasa), simbol

dikonstruksikan dengan mempertimbangkan aktivitas mereka sehari-

hari dalam komunitas. Selain itu pula, unsur-unsur tersebut juga

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mereka untuk

memahami keberadaan mereka dalam membangun relasi dengan orang

lain (konteks eksternal).

Komunikasi dan Jaringan dalam Komunitas

Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis

yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan

antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata

dalam bahasa latin communico yang artinya membagi (Cangara,2006).

Menurut Sugiyo, komunikasi merupakan kegiatan manusia menjalin

hubungan satu sama lain yang demikian otomatis keadaannya,

sehingga sering tidak disadari bahwa ketrampilan berkomunikasi

merupakan hasil belajar (Sugiyo, 2005). Dalam kaitanya dengan proses

belajar, Steven (dalam Cangara, 2006) berasumsi bahwa komunikasi

terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu

objek stimuli, apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan

sekitarnya.

Sebuah definisi yang disampaikan oleh kelompok sarjana

komunikasi yang mengkhususkan diri kepada studi komunikasi antar

manusia (human communication) bahwa: Komunikasi adalah suatu

transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur

lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia

melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah

laku orang lain serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

26

Everrett Rogers (dalam Effendy, 1999) seorang pakar sosiologi

pedesaan, Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi

riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat

definisi bahwa: “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan

dari sumber kepada penerima atau lebih dengan maksud untuk

mengubah tingkah laku mereka”.

Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid

(1981) yang melahirkan definisi baru bahwa komunikasi adalah suatu

proses dimana dua orang atau lebih melakukan pertukaran informasi

dengan satu sama lain, yang pada gilirannya akan tiba pada saling

pengertian yang paling dalam. Rogers dan Kincaid (1981) mencoba

mendefinisikan hakikat suatu hubungan dengan suatu pertukaran

informasi dengan adanya suatu perubahan sikap dan tingkah laku serta

kebersamaan dalam menciptakan saling pengrtian dan orang-

orang yang ikut serta dalam proses komunikasi.

Proses komunikasi hakekatnya adalah proses penyampaian

pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain

(komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini,

kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian,

kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy,

1999).

Berangkat dari definisi di atas, terlihat bahwa komunikasi

merupakan salah satu unsur terpenting dalam membangun relasi dalam

lingkungan sosial. Dalam kaitannya dengan komunitas, Dewey (1916)

melihat komunitas terbangun dari ikatan-ikatan (commonalities) yang

secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Dewey mengamati

bahwa “masyarakat tidak terus ada karena penyebaran, karena

komunikasi, tetapi cukup layak jika dikatakan bahwa masyarakat

terwujud dalam komunikasi”. Ikatan-ikatan, dalam bentuk seperi

„tujuan, kepercayaan, dan pengetahuan‟, adalah keharusan bagi

terbentuknya komunitas, dan terbangun melalui komunikasi.

Dalam konsepsi Dewey (1916), komunikasi dan cara-cara di mana

komunikasi dilakukan adalah krusial bagi pembentukan komunitas,

Perspektif tentang Komunitas

27

dan bisa disimpulkan juga bahwa „kualitas‟ komunikasi menyatu

dengan kualitas komunitas tersebut.

Wujud nyata dari peran aktif komunikasi dalam interaksi tatap

muka adalah partisipasi. Tatkala individu-individu berkerja sama,

memasuki “aktifitas orang lain” dan “[mengambil] peran dalam upaya

bersama dan kerja sama” maka mereka sedang berpartisipasi dalam

pengembangan komunitas. Dewey (1916) melihat komponen

partisipatif dalam komunitas sebagai hal yang esensial, “kalau tidak, hal

seperti komunitas menjadi tidak mungkin ada”.

Dewey (1927) berpendapat bahwa peran interaksi tatap

muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan. Ia

mengamati bahwa komunitas,

“Dalam pengertian yang paling mendalam dan kaya… harus selalu menyangkut hubungan tatap muka”, dan ia menemukan bahwa komunitas lokal adalah yang paling signifikan di antara komunitas-komunitas lain.

Meski karya ini ditulis tatkala bentuk-bentuk komunikasi

berperantara via media (mediated communications) baru mulai

menampakkan pengaruhnya pada masyarakat Amerika, namun

dapat dipahami bahwa saat ini mulai dibahas dengan lebih mendalam.

Di tengah perkembangan teknologi dan komunikasi berperantara,

Dewey (1927) membayangkan bahwa “akibat yang mereka [teknologi

dan komunikasi berperantara] timbulkan terhadap hubungan tatap

muka sungguh besar dan terus-menerus, sehingga tidak berlebihan

untuk menyebut adanya „zaman baru hubungan manusia.‟ Masyarakat

Agung (Great Society) yang ditimbulkan oleh mesin uap dan listrik

mungkin membentuk masyarakat, tetapi bukanlah membentuk

komunitas”. Terlihat bahwa Dewey (1927) menganggap bahwa

kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada

hubungan interpersonal.

Ketika hubungan interpersonal dikaitkan dengan perspektif

Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) tentang komunikasi dalam

sistem, dapat dilihat bahwa pola jaringan sosial, yang dianalogikan

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

28

dengan autopoetic13, memiliki kemampuan untuk membangun dirinya

sendiri. Dalam kemampuannya untuk membentuk dirinya sendiri,

Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) membedakan sistem sosial dari

keberadaan individu, yang mana individu bukan menjadi bagian dari

sistem sosial yang sifatnya tertutup. Individu akan menjadi bagian

dengan masyarakat ketika mengambil bagian dari elemen dasar dari

masyarakat itu sendiri, yakni komunikasi. Menjadi pribadi yang

komunikatif merupakan ciri atau hakikat dasar sebagai individu,

namun bukan menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat itu

sendiri.

Peran utama komunikasi dalam pandangan Luhman (dalam

Ritzer-Goodman, 2007) adalan bahwa komunikasi merupakan hakikat

utama dari reproduksi jaringan sosial. Mengingat unsur-unsur dalam

komunikasi akan dilakukan secara terus-menerus atau dalam arti

bahwa akan terjadi reproduksi secara terus-menerus di dalam jaringan

itu sendiri. Di sinilah menurut Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007)

komunikasi sebagai elemen dasar jaringan sosial, akan mengalami

pembentukan dirinya sendiri, menuju pola yang semakin kompleks,

akan terjadi pada dirinya sendiri.

Indikator dari pembentukan diri sendiri tersebut adalah

pemaknaan terhadap batas-batas yang dibangunnya sendiri, yang

dalam hal ini bukan batas-batas secara fisik, melainkan batas-batas

berupa harapan, kesetiaan, yang secara terus- menerus dipelihara

dalam sistem jaringan tersebut. Dengan asumsi seperti inilah, menurut

Luhman (dalam Ritzer- Goodman, 2007) bahwa jaringan atau sistem

sosial itu sifatnya tertutup.

13 Istilah ini merupakan istilah biologis yang mengacu pada dinamika pembuatan diri sendiri. Konsep ini dikembangkan oleh ahli biologi yang kemudian dipakai oleh Luhman dalam menterjemahkan teori sistemnya. Namun begitu konsep ini kemudian dipakai juga oleh Humberto Maturana dan Francisco Varella. Konsep ini lebih didekatkan dengan upaya pembuatan diri sendiri yang dilahirkan sebagai bagian dari adaptasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. Kemudian, dalam perkembangannya, konsep ini dikaitkan dengan sistem kehidupan sebagai suatu jaringan sistem secara keseluruhan (Lihat Capra, 2009).

Perspektif tentang Komunitas

29

Bentuk

Materi

Proses

Dalam kaitannya dengan autopeotic, menurut Maturana dan

Varella (1996) bahwa konsep ini tidak tepat untuk dipakai dalam

ranah sosial yang lebih luas, karena ketertutupan jaringan sosial

tersebut tidak selamanya berlaku secara universal. Oleh karena itu,

menurut Capra (2008), konsep autopoetic, yang mengacu pada jaringan

komunikasi organisme yang hidup, maka sudah tentunya sistemnya

merupakan sistem yang hidup.

Sebagai sistem yang hidup, menurut Capra (1996), bahwa pola

kehidupan sosial dibangun atas dasar bentuk, materi dan proses14.

Konektivitas dari ketiga perspektif di atas digambarkan dalam diagram

segitiga yang pada dasarnya saling berhubungan. Bentuk pola

organisasi hanya bisa dikenali bila berwujud materi dan dalam sistem

hidup dan perwujudan ini merupakan suatu proses yang

berkesinambungan. Hubungan ketiga perspektif tersebut dapat

dilihat pada diagram berikut :

Gambar 2.1 : Hubungan Organisasi Sosial

14 Ketiga istilah tersebut merupakan sintesis Capra yang mewakili perbedaan perspektif hakikat sistem kehidupan yang terangkum dalam perspektif pola, struktur dan proses.

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)

30

Namun begitu, menurut Capra (2008) bahwa ketiga perspektif

tersebut di atas belum menjawab persoalan-persoalan mendalam dalam

kehidupan sosial sebagai suatu sistem yang hidup. Mengingat ada

aturan perilaku, nilai, maksud, cita-cita, strategi, desain-desain, serta

relasi kekuasaan, maka realitas sosial juga memiliki dimensi kesadaran

individu akan dirinya sendiri dalam lingkaran kehidupan sosial.

Dalam perspektif ini, Capra (2008) menolak pandangan

Luhman, yang menegaskan bahwa individu bukan bagian yang

menyatu dengan masyarakat. Independensi individu dalam lingkungan

sosial ditolak oleh Capra (2008) dengan menegaskan bahwa individu,

yang di dalamnya memiliki gagasan, cita-cita, ide, merupakan ciri

mental dari fenomena sosial, yang kemudian bermuara pada dimensi

hermenutik untuk menyatakan pandangan bahwa bahasa manusia

melibatkan komunikasi makna sebagai sebagai pusatnya karena

memiliki hakikat simbolis, dan bahwa tindakan-tindakan manusia

mengalir dari makna yang lahir dari lingkungan sekitar. Dengan

begitu, perspektif makna diletakkan pada upaya untuk memposisikan

individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan proses pemaknaan.

Oleh karena itu, Gambar 2.1. di atas perlu untuk dikembangkan

menjadi perspektif segitiga yang saling berhadapan, karena memiliki

empat dimensi yang saling berhubungan. Adapun diagramnya dapat

dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.2. : Hubungan Organisasi Sosial dalam Empat Perspektif

Perspektif tentang Komunitas

31

Pada Gambar 2.2., terlihat integrasi keempat perspektif dengan

mengakui bahwa tiap perspektif memberikan sumbangan penting bagi

pemahaman mengenai suatu fenomena sosial. Sebagai contoh bahwa

kebudayaan diciptakan dan dipelihara melalui sebuah jaringan

(bentuk) komunikasi (proses), dimana makna dihasilkan. Sedangkan

perwujudan material dari kebudayaan (materi) adalah mencakup dari

benda-benda dan teks-teks tertulis yang menjadi sarana pewarisan

makna antar generasi.

Dengan model di atas, dapat dilihat bahwa jaringan sosial

sebagai sebuah sistem yang hidup akan ditandai dengan kesadaran

individu terhadap cita-cita, motivasi, ide atau gagasan, bahasa yang

merupakan produk dari sistem kognitif. Karena keterlibatan sistem

kognitif semacam itu, maka jaringan sosial akan mengartikulasikan

komunikasi sebagai bagian yang inheren, yang dipelihara secara terus-

menerus. Dalam konteks ini, perspektif makna adalah ciri yang

saling berkaitan untuk memahami realitas sosial. Websters Dictionary

mendefinisikan makna (meaning) sebagai „suatu gagasan yang

disampaikan kepada pikiran yang memerlukan atau memperkenankan

penafsiran‟, dan penafsiran (interpretation) sebagai „memahami dengan

suatu pengetahuan dari kepercayaan atau nilai yang dianut, atau

keadaan individual itu sendiri‟. Batasan tersebut memposisikan

individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan

sosialnya, karena ada proses pemaknaan dirinya sendiri dalam

kaitannya dengan adaptasi terhadap lingkungan.

Pemahaman semacam di atas akan menggiring individu

untuk membangun rasa kepemilikan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari lingkungan sosialnya. Artinya bahwa rasa

kepemilikan tersebut terlahir dari akumulasi tatap muka (atau dalam

bahasa Dewey sebagai hubungan interpersonal) dalam sebuah jaringan

sosial atau komunitas. Dari titik inilah, Capra (2008) menegaskan

bahwa kepemilikan adalah ciri utama yang mendefinisikan

komunitas.