bab ii perspektif tentang komunitas -...
TRANSCRIPT
13
BAB II
PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS
Hakikat Komunitas
Dari sudut sosiologis, kata community berasal dari bahasa Latin
“Munus”, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan together (kebersamaan) antara satu sama lain. Dapat diartikan, komunitas
adalah sekelompok orang yang saling berbagi dan saling mendukung
satu sama lain. Syarat pokok agar mereka dapat saling berbagi adalah
adanya interaksi sosal sehari-hari yang intensif.
Secara umum, komunitas adalah sekelompok orang yang hidup
bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang
menjadi sebuah kelompok hidup (group lives) yang diikat oleh
kesamaan kepentingan. Dalam sosiologi, secara harfiah makna
komunitas adalah “masyarakat setempat” (Soekanto, 1999). Komunitas
juga dapat diartikan sebagai sekumpulan anggota masyarakat yang
hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka dapat merasakan
dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama.
Artinya, ada social relationship yang kuat diantar mereka, pada satu
batasan geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk sebuah
komunitas adalah adanya interaksi yang intensif diantara anggotanya,
dibandingkan dengan orang-orang di luar batas wilayah. Ukuran
derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah
pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk
kelompok dalam masyarakat.
Pada sebuah komunitas ditemukan dua hal utama, yakni
kesamaan dan identitas. Selain itu, juga selalu terdapat sikap saling
berbagi, partisipasi, fellowship. Komunitas terbentuk karena memiliki
kepentingan yang sama atau disebut community of interest. Dapat
dikatakan bahwa makna komunitas adalah sekelompok orang yang
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
14
didalamnya terdapat elemen berbagi diantara mereka. Substansi dari
elemen berbagi tersebut sangat luas, yaitu dari berbentuk situasi sampai
ke kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan bahkan nilai-
nilai. Hal ini diwakili oleh konsep kolektivitas.
Komunitas memiliki banyak makna. Ia dapat dimaknai sebagai
sebuah kelompok dari suatu masyarakat, atau sebagai sebuah kelompok
yang hidup di area yang khusus yang memiliki karakteristik etnik
dan kultural yang sama. Salah satu ciri khasnya adalah mereka
memiliki sesuatu secara bersama-sama. Jika bertolak dari pengertian
ekologi, maka komunitas adalah sekelompok organisme yang saling
tergantung pada satu wilayah, dan mereka saling berinteraksi.
Pentingnya interaksi dilihat pada intensitasnya yang dengan
pasti mendorong terbentuknya solidaritas sosial. Menurut Durkheim
(1964), solidaritas sosial adalah :
“Kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”.
Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah
diungkapkan, dibagi menjadi dua yaitu: pertama, mekanik adalah
solidaritas organik yang didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif”
(collective consciousness) bersama yang menunjuk pada totalitas
kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-
rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Yang ikatan utamanya
adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral.
Kemudian dalam pandangan Durkheim (1964) melihat bahwa
setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan
antara dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Solidaritas mekanik merupakan suatu tipe solidaritas yang
didasarkan atas persamaan. Solidaritas mekanik dijumpai pada
masyarakat yang masih sederhana yang dinamakan masyarakat
segmental. Pada masyarakat seperti ini belum terdapat pembagian kerja
yang berarti: apa yang dapat dilakukan oleh seorang anggota
Perspektif tentang Komunitas
15
masyarakat biasaya dapat dilakukan pula oleh orang lain. Dengan
demikian tidak terdapat saling ketergantungan antara kelompok
berbeda, karena masing-masing kelompok dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok pun terpisah
satu dengan yang lain. Tipe solidaritas yang didasarkan atas
kepercayaan dan setiakawan ini diikat oleh apa yang oleh Durkheim
(1964) dinamakan conscience collective yaitu suatu sistem kepercayaan
dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang
sehingga solidaritas mekanik berubah menjadi solidaritas organik. Pada
masyarakat dengan solidaritas organik masing-masing anggota
masyarakat tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhanya sendiri
melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan
orang atau kelompok lain. Solidaritas organik merupakan suatu
sistem terpadu yang terdiri atas bagian yang saling tergantung
laksana bagian suatu organisme biologi. Berbeda dengan solidaritas
mekanik yang didasarkan pada hati nurani kolektif maka solidaritas
organik didasarkan pada hukum dan akal.
Dinamika solidaritas organik dan mekanik dalam pandangan
Durkheim (1964) di atas merupakan esensi yang menjelaskan tentang
dinamika hubungan antar individu dalam masyarakat. Terkait
dengan hal ini, Tonnies (1957), dalam pendangannya tentang
masyarakat, menegaskan bahwa masyarakat itu sendiri merupakan
usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-relasi timbal
balik yang mantap. Kemauan manusia yang mendasari masyarakat.
Berkenaan dengan kemauan itu, Tonnies membedakan antara
Zweckwille, yaitu kemauan rasional yang hendak mencapai suatu
tujuan dan Triebwille, yaitu dorongan batin berupa perasaan.
Zweckwille, apabila orang hendak mencapai suatu tujuan tertentu
dan mengambil tujuan rasional kearah itu.
Pembedaan antara Zweckwille dan Triebwille, melahirkan
konsep Tonnies (1957) tentang tipologi masyarakat, yakni
gemeinschaft dan gesselschaft. Menurut Selo Soemarjan dan Solaeman
Soemardi (1974), gemeinschaft atau paguyuban merupakan bentuk
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
16
kehidupan bersama yang sesuai dengan triebwille. Kebersamaan dan
kerja sama tidak diadakan untuk mencapai tujuan dari luar, melainkan
lebih dihayati sebagai tujuan dalam dirinya. Sehingga orang lebih
merasa dekat satu sama lain dan memperoleh kepuasan tersendiri
karenanya. Sedangkan gesselschaft lebih menggambarkan suatu
kehidupan bersama yang sesuai dengan zweckwille.
Gesellschaft atau petembayan ini lebih mengasosiasikan
dimana suatu relasi kebersamaan dan kesatuan timbul dari faktor-
faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang, dan
sebagainya. Unsur-unsur individu beserta masing-masing kepentingan
dalam pencapaian suatu tujuan lebih ditonjolkan.
Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di
bukunya (1887) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi Community and Society pada tahun 1957, sebagai salah satu
teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai
situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan
terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial.
Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam
individu dan adanya keinginan untuk memiliki hubungan atau
relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan.
Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan
pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan
kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun
hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang
lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan
mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya
di masyarakat.
Sedang Gesellschaft merupakan sesuatu yang kontras,
menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku
rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan
individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak
menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak
mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian
dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran
Perspektif tentang Komunitas
17
pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan
bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.
Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu
bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang
berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan,
yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan
naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang
timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang
mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan
tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari
unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan
dan pertolongan.
Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang
mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Di dalam
pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama
makin menipis
2) Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang
mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan
sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong.
3) Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang
mendasarkan diri pada ideologi atau pikiran yang sama.
Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat,
baik di kota maupun di desa. Oleh Tonnies (1957) juga dikatakan
bahwa suatu paguyuban (gemeinschaft) mempunyai beberapa ciri
pokok, yaitu sebagai berikut.
1. Intimate, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra
2. Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus
untuk beberapa orang saja
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
18
3. Exclusive, yaitu hubungan itu hanyalah untuk “kita” saja dan
tidak untuk orang-orang diluar”kita”
Di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu
kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian
(understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan
sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara
anggota suatu paguyuban, pertentangan tersebut tidak akan dapat
diatasi dalam suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya
hubungan yang menyeluruh antara anggota-anggotanya. Tak
mungkin suatu pertentangan yang kecil diatasi karena pertentangan
tersebut akan menjalar kebidang-bidang lainnya. Keadaan yang agak
berbeda akan dijumpai pada petembayan atau gesselschaft, dimana
terdapat aktivitas publik yang artinya bahwa hubunganya bersifat
untuk semua orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan
kami” menjadi kabur. Pertentangan- pertentangan yang terjadi antara
anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu sehingga suatu
persoalan dapat dialokasikan.
Apapun definisinya, komunitas harus memiliki sifat interaksi,
yaitu interaksi yang informal dan spontan harus lebih banyak
inteaksi yang sifatnya formal. Harus juga memiliki orientasi yang
jelas. Keanggotaan dalam komunitas terbentuk lebih karena adanya
struktur yang alamiah; lebih dari struktur yang hirarkis. Ciri utama
sebuah komunitas adalah adanya keharmonisan egalitarian, serta sikap
saling berbagi nilai dan kehidupan.
Komunitas dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar
ukuran (besar dan kecil), atas dasar level (lokal, nasional dan
internasional), riel atau tidak riel (virtual), bersifat kooperatif atau
kompetitif, formal atau tidak formal. Pada perkembangannya, konsep
komunitas dapat dipakai secara lebih luas. Untuk kesatuan hidup yang
berada pada satu wilayah tertentu disebut sebagai “community of places”, sedangkan hubungan yang diikat arena kesamaan kepentingan
namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu
disebut dengan “community of interests”.
Perspektif tentang Komunitas
19
Eksistensi sebuah komunitas dalam kerangka kehidupan
bermasyarakat sangat penting perannya. Sebagaimana pendapat PBB
(dalam Syahyuti, 2005) :
“...community provides human beings with the unifying means of elevating the dignity of each person, providing the needs and aspirations of all in a group, doing this in harmony with the natural environment and making possible the communications and interaction between other social and political groups”.
Begitu besarnya peran komunitas karena dapat menjadi
representatif kebutuhan-kebutuhan individu di dalamnya, dapat
menciptakan keselarasan dengan alam dan memungkinkan untuk
dapat berinteraksi dengan lembaga- lembaga di luarnya. Suatu
komunitas tidak akan dapat menutup dirinya sendiri. Ia harus
berinteraksi dan berkomunikasi dengan komunitas lain.
Komunitas merupakan unit-unit sosial yang memiliki otoritas
sendiri dengan nilai-nilai bersama dan rasa memiliki satu sama lain.
Suatu komunitas terjaga karena adanya kohesi sosial sesama mereka,
dalam situasi di mana individu- individu diikat oleh orang lain oleh
komitmen sosial dan kultural. Kohesi sosial selalu terdapat dalam
komunitas jenis apa pun itu. Menurut Mitchell (1994), ada 3
karakteristik kohesi sosial, yaitu 1). Komitmen individu untuk norma
dan nilai umum; 2). Kesaling-tergantungan yang muncul karena
adanya niat untuk berbagi; dan 3). Individu yang mengidentifikasi
dirinya dengan grup tertentu.
Trust dalam Komunitas
Sebelum membahas tentang trust, alangkah baiknya didahului
oleh pengantar tentang modal sosial. Hal ini karena perhatian pada
kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir
sebagai wacana akademik pemerhati sosiologi. Modal sosial itu sendiri
bukanlah konsep yang baru dalam dunia sosiologi (Portres, 1998),
dalam arti bahwa konsep modal sosial yang dikembangkan oleh
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
20
Putman (2000) dan Woolcook (1998) merupakan konsep yang telah
lama diterbitkan sebelumnya.
Modal sendiri berarti kapasitas, kemampuan, pasokan,
ketersediaan yang dimiliki. Sosial, dapat berarti kelompok, komunitas,
masyarakat; atau dalam skala yang besar itu negara, bahkan yang lebih
luas lagi yaitu penduduk dunia. Pada definisi kedua kata itu, kita dapat
mengatakan bahwa yang disebut modal sosial adalah kapasitas atau
kemampuan atau pasokan atau ketersediaan yang dimiliki oleh
kelompok, komunitas, masyarakat atau negara dalam melakukan
aktivitas-aktivitas yang bersifat sosial. Istilah modal sosial yang
diajukan Putnam (2001) merujuk pada hubungan antar individu-
individu—jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya
yang tumbuh di antara mereka. Definisi yang dikemukakan oleh
Putman memiliki kemiripan dengan penekanan yang dikemukakan
oleh Woolcock (1998), yang mana menegaskan bahwa modal sosial
merupakan informasi, trust, dan norma timbal balik dalam suatu
kesatuan jaringan sosial.
Dari kedua definisi di atas (dari sekian definisi) yang begitu
banyak, sebagai bagian dari konsekuensi keragaman level pendekatan
terhadap konsep modal sosial, pendapat Putman (2001) dan Woolcock
(1998) mewakili pendapat bahwa trust merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari modal sosial. Karena trust pada prinsipnya dapat
mendorong unsur utama dari modal sosial, seperti bonding, bridging
dan linking.12
Dalam kaitannya dengan trust, Fukuyama (1995) menegaskan
bahwa trust adalah salah satu hal penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini kemudian ditekankan oleh Sztompka (1999)
yang menegaskan bahwa trust menjadi modal penting yang
mengkondisikan masyarakat dapat berfungsi. Dalam kaitannya dengan 12 Sangat disadari bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada masalah terkait dengan unsur modal sosial ini. Seperti yang dilakukan oleh Leonard dan Onyx (2003) menunjukkan bahwa bonding tidak terlalu kuat dalam ikatan antar komunitas, sedangkan bridging memiliki daya yang kuat pada komunitas atau organisasi skala kecil. Penelitian mereka menegaskan bahwa daya ikatan yang menguat dan melemah tidak bisa dinamakan bonding dan briedging,
Perspektif tentang Komunitas
21
kehidupan bermasyarakat, dilihat bahwa masing-masing individu
dalam relasi sosialnya memiliki ekspektasi tertentu di antara mereka.
Hal ini membuat ekspektasi individu yang kemudian bergulir menjadi
ekspektasi sosial tersebut menjadi semacam trust yang terbentuk untuk
mengukuhkan relasi antar individu. Dalam kaitannya dengan ini,
Dasgupta (dalam Seok-Eon Kim, 2005) menegaskan bahwa trust sangat
berkaitan dengan ekspektasi antar individu dalam membangun
kontrol terhadap setiap tindakan dan perilaku sosial. Kontrol sosial
semacam itu, dalam penekanan Fukuyama (1998) dinamakan sebagai
kesatuan tanggung jawab personal terhadap tujuan bersama.
Möllering (2001) yang berusaha mengelaborasi pemikiran
Simmel tentang trust, mengkoseptualisasikan gagasan trust itu sebagai:
“a state of favorable expectation regarding other people‟s actions and intentions. As such it is seen as the basis for individual risk-taking behavior, cooperation, reduced social complexity, order, and social capital”
Dari rumusan tersebut di atas, trust membawa konotasi
aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh
tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan
kemasyarakatan. Ketepatan antara harapan dan realisasi tindakan yang
ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan
amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan.
Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara
harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat
kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan
tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial. Rumusan dari
Möllering (2001) tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi
penting kepercayaan (trust) dalam hubungan- hubungan sosial-
kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah:
1. Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah
psikologis-individual. Sikap ini akan mendorong orang
berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah
memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang
sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
22
sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi
kolektif.
2. Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif
dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan
antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga.
Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi
sosial yang tinggi.
3. Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu
meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-
kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu
dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan
sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas
dasar moralitas ketidakpercayaan.
4. Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap
individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan
meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan
demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang
teratur, tertib dan beradab.
5. Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan
setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas
menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.
6. Dalam modal sosial. Trust adalah asset penting dalam
kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur- struktur
sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta
efisien.
Dalam kaitannya dengan komunitas, trust memiliki kontribusi
yang sangat besar dalam memelihara komitmen bersama. Ketika
memakai dasar kepemilikan bersama sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari komunitas, maka trust menjadi modal dasar dalam
mengembangkan jaringan di dalam komunitas.
Dalam kaitan dengan komitmen, disadari bahwa trust menjadi
perangsang dalam mengoperasionalkan komitmen bersama, yang
Perspektif tentang Komunitas
23
kemudian bermuara pada kepemilikan dan tujuan secama bersama.
Komitmen bersama semacam itu menjadi penting karena pada
prinsipnya bahwa akan terjadi pertukaran aksi antar actor dalam
komunitas. Pertukaran aksi akan berlangsung dengan baik jika
didasarkan pada komitmen yang kuat pula. Hubungan antara
komitmen dengan pertukaran aksi antar aktor tersebut telah
mengalami pergeseran yang signifikan. Menurut Molm (2001) bahwa
pergeseran tersebut lebih mengarah pada minat terhadap resiko yang
menimbulkan perhatian khusus pada trust dalam relasi pertukaran.
Akibatnya, ada aktor yang mulai mereduksi resiko dan meningkatkan
kepercayaan dengan mengembangkan seperangkat komitmen bersama
(Molm, 1997).
Budaya Komunitas
Dalam makna yang lebih filsafatis, Parekh (2008) menegaskan
bahwa kebudayaan mempunyai keterkaitan dengan pertanyaan-
pertanyaan manusia tentang makna dan keyakinan serta praktek
kehidupan. Pertanyaan tentang makna dikaitkan dengan kelayakan
atau nilai, macam dan tingkat kepentingan yang harus diberikan pada
aktivitas manusia; sedangkan pertanyaan tentang aktivitas atau
praktek diarahkan pada upaya untuk memahami maksud dan tujuan
serta titik penting sebuah aktivitas. Pertanyaan- pertanyaan di atas
kemudian dikonstruksikan secara pribadi maupun bersama menjadi
praktek-praktek secara kolektif. Dengan demikian, kebudayaan adalah
apresiasi individu atau kolektif terhadap keyakinan dan praktek-
praktek untuk memahami, mengatur dan menstrukturkan kehidupan
bersama. Akhirnya, Parekh (2008) menegaskan bahwa kebudayaan
adalah totalitas aktivitas kehidupan manusia.
Kebudayaan juga menunjukkan suatu pengertian yang luas dan
kompleks, di dalamnya tercakup baik segala sesuatu yang terjadi dan
dialami oleh manusia secara personal dan kolektif, maupun bentuk-
bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang
dapat disaksikan dalam sejarah kebudayaan, baik hasil-hasil pencapaian
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
24
yang pernah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara
turun-temurun maupun proses perubahan serta perkembangan yang
sedang dilalui dari masa ke masa (Poespowardojo, 1993).
Secara lebih khusus, kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem gagasan, rasa dan tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan cara
belajar, dipakai sebagai pedoman dan pola perilaku manusia serta
terwujud dalam sistem-sistem sosial tertentu. Kebudayaan sebagai
suatu pola yang dimiliki dan diwujudkan oleh manusia - sebagai satu
kesatuan - mempunyai beberapa unsur-unsur universal yang dapat
ditemukan pada semua bangsa didunia, salah satu unsurnya adalah
sistem mata pencaharian hidup (Koentjaraningrat, 1996).
Sistem mata pencaharian hidup terdiri dari berburu dan
meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan
bercocok tanam menetap dengan irigasi. Setiap suku bangsa yang
sederhana maupun kompleks memiliki sistem mata pencaharian
hidup, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu menggunakan dan
mengembangkan cara-cara produksi, distribusi dan konsumsi
(Koentjaraningrat, 1996). Sistem ekonomi merupakan keseluruhan
perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur
penggunaan sumber-sumber terbatas guna memenuhi kebutuhan
hidup suatu masyarakat tertentu. Sistem ekonomi berkaitan erat
dengan perilaku manusia, lingkungan dan kebudayaan, sehingga sangat
erat kaitannya dengan sistem produksi, distribusi dan konsumsi
(Koentjaraningrat, 1990).
Ketika dipergunakan, kebudayaan tanpa frasa mencakup lebih
kurang, keseluruhan kehidupan manusia. Ketika dijadikan sebagai kata
sifat, kebudayaan mengacu pada bidang atau aspek kehidupan manusia
yang disoroti oleh kata sifatnya. Istilah budaya bisnis, obat, dan moral,
politik mengacu pada lembaga kepercayaan dan praktek yang
mengatur bidang kehidupan manusia yang relevan termasuk cara
bagaimana budaya-budaya ini dikonseptualisasikan, dibatasi,
distrukturkan dan diatur. Berbagai istilah seperti budaya gay, budaya
kaum muda, budaya massa dan budaya komunitas, mengacu pada cara
Perspektif tentang Komunitas
25
kelompok ini memahami tempat mereka dalam masyarakat dan
mengatur hubungan internal dan eksternalnya (Parekh, 2008).
Sebagai ekspresi atas keberadaan mereka di tengah-tengah
masyarakat, budaya komunitas diartikulasikan dengan menggunakan
keberadaan mereka dalam berinteraksi dengan sesama anggota
kelompok maupun anggota kelompok dengan orang di luar komunitas.
Tatanan nilai, aturan, jaringan, komunikasi (bahasa), simbol
dikonstruksikan dengan mempertimbangkan aktivitas mereka sehari-
hari dalam komunitas. Selain itu pula, unsur-unsur tersebut juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mereka untuk
memahami keberadaan mereka dalam membangun relasi dengan orang
lain (konteks eksternal).
Komunikasi dan Jaringan dalam Komunitas
Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis
yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan
antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata
dalam bahasa latin communico yang artinya membagi (Cangara,2006).
Menurut Sugiyo, komunikasi merupakan kegiatan manusia menjalin
hubungan satu sama lain yang demikian otomatis keadaannya,
sehingga sering tidak disadari bahwa ketrampilan berkomunikasi
merupakan hasil belajar (Sugiyo, 2005). Dalam kaitanya dengan proses
belajar, Steven (dalam Cangara, 2006) berasumsi bahwa komunikasi
terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu
objek stimuli, apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan
sekitarnya.
Sebuah definisi yang disampaikan oleh kelompok sarjana
komunikasi yang mengkhususkan diri kepada studi komunikasi antar
manusia (human communication) bahwa: Komunikasi adalah suatu
transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur
lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia
melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah
laku orang lain serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
26
Everrett Rogers (dalam Effendy, 1999) seorang pakar sosiologi
pedesaan, Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi
riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat
definisi bahwa: “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan
dari sumber kepada penerima atau lebih dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka”.
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid
(1981) yang melahirkan definisi baru bahwa komunikasi adalah suatu
proses dimana dua orang atau lebih melakukan pertukaran informasi
dengan satu sama lain, yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang paling dalam. Rogers dan Kincaid (1981) mencoba
mendefinisikan hakikat suatu hubungan dengan suatu pertukaran
informasi dengan adanya suatu perubahan sikap dan tingkah laku serta
kebersamaan dalam menciptakan saling pengrtian dan orang-
orang yang ikut serta dalam proses komunikasi.
Proses komunikasi hakekatnya adalah proses penyampaian
pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain
(komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini,
kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian,
kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy,
1999).
Berangkat dari definisi di atas, terlihat bahwa komunikasi
merupakan salah satu unsur terpenting dalam membangun relasi dalam
lingkungan sosial. Dalam kaitannya dengan komunitas, Dewey (1916)
melihat komunitas terbangun dari ikatan-ikatan (commonalities) yang
secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Dewey mengamati
bahwa “masyarakat tidak terus ada karena penyebaran, karena
komunikasi, tetapi cukup layak jika dikatakan bahwa masyarakat
terwujud dalam komunikasi”. Ikatan-ikatan, dalam bentuk seperi
„tujuan, kepercayaan, dan pengetahuan‟, adalah keharusan bagi
terbentuknya komunitas, dan terbangun melalui komunikasi.
Dalam konsepsi Dewey (1916), komunikasi dan cara-cara di mana
komunikasi dilakukan adalah krusial bagi pembentukan komunitas,
Perspektif tentang Komunitas
27
dan bisa disimpulkan juga bahwa „kualitas‟ komunikasi menyatu
dengan kualitas komunitas tersebut.
Wujud nyata dari peran aktif komunikasi dalam interaksi tatap
muka adalah partisipasi. Tatkala individu-individu berkerja sama,
memasuki “aktifitas orang lain” dan “[mengambil] peran dalam upaya
bersama dan kerja sama” maka mereka sedang berpartisipasi dalam
pengembangan komunitas. Dewey (1916) melihat komponen
partisipatif dalam komunitas sebagai hal yang esensial, “kalau tidak, hal
seperti komunitas menjadi tidak mungkin ada”.
Dewey (1927) berpendapat bahwa peran interaksi tatap
muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan. Ia
mengamati bahwa komunitas,
“Dalam pengertian yang paling mendalam dan kaya… harus selalu menyangkut hubungan tatap muka”, dan ia menemukan bahwa komunitas lokal adalah yang paling signifikan di antara komunitas-komunitas lain.
Meski karya ini ditulis tatkala bentuk-bentuk komunikasi
berperantara via media (mediated communications) baru mulai
menampakkan pengaruhnya pada masyarakat Amerika, namun
dapat dipahami bahwa saat ini mulai dibahas dengan lebih mendalam.
Di tengah perkembangan teknologi dan komunikasi berperantara,
Dewey (1927) membayangkan bahwa “akibat yang mereka [teknologi
dan komunikasi berperantara] timbulkan terhadap hubungan tatap
muka sungguh besar dan terus-menerus, sehingga tidak berlebihan
untuk menyebut adanya „zaman baru hubungan manusia.‟ Masyarakat
Agung (Great Society) yang ditimbulkan oleh mesin uap dan listrik
mungkin membentuk masyarakat, tetapi bukanlah membentuk
komunitas”. Terlihat bahwa Dewey (1927) menganggap bahwa
kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada
hubungan interpersonal.
Ketika hubungan interpersonal dikaitkan dengan perspektif
Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) tentang komunikasi dalam
sistem, dapat dilihat bahwa pola jaringan sosial, yang dianalogikan
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
28
dengan autopoetic13, memiliki kemampuan untuk membangun dirinya
sendiri. Dalam kemampuannya untuk membentuk dirinya sendiri,
Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007) membedakan sistem sosial dari
keberadaan individu, yang mana individu bukan menjadi bagian dari
sistem sosial yang sifatnya tertutup. Individu akan menjadi bagian
dengan masyarakat ketika mengambil bagian dari elemen dasar dari
masyarakat itu sendiri, yakni komunikasi. Menjadi pribadi yang
komunikatif merupakan ciri atau hakikat dasar sebagai individu,
namun bukan menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat itu
sendiri.
Peran utama komunikasi dalam pandangan Luhman (dalam
Ritzer-Goodman, 2007) adalan bahwa komunikasi merupakan hakikat
utama dari reproduksi jaringan sosial. Mengingat unsur-unsur dalam
komunikasi akan dilakukan secara terus-menerus atau dalam arti
bahwa akan terjadi reproduksi secara terus-menerus di dalam jaringan
itu sendiri. Di sinilah menurut Luhman (dalam Ritzer-Goodman, 2007)
komunikasi sebagai elemen dasar jaringan sosial, akan mengalami
pembentukan dirinya sendiri, menuju pola yang semakin kompleks,
akan terjadi pada dirinya sendiri.
Indikator dari pembentukan diri sendiri tersebut adalah
pemaknaan terhadap batas-batas yang dibangunnya sendiri, yang
dalam hal ini bukan batas-batas secara fisik, melainkan batas-batas
berupa harapan, kesetiaan, yang secara terus- menerus dipelihara
dalam sistem jaringan tersebut. Dengan asumsi seperti inilah, menurut
Luhman (dalam Ritzer- Goodman, 2007) bahwa jaringan atau sistem
sosial itu sifatnya tertutup.
13 Istilah ini merupakan istilah biologis yang mengacu pada dinamika pembuatan diri sendiri. Konsep ini dikembangkan oleh ahli biologi yang kemudian dipakai oleh Luhman dalam menterjemahkan teori sistemnya. Namun begitu konsep ini kemudian dipakai juga oleh Humberto Maturana dan Francisco Varella. Konsep ini lebih didekatkan dengan upaya pembuatan diri sendiri yang dilahirkan sebagai bagian dari adaptasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. Kemudian, dalam perkembangannya, konsep ini dikaitkan dengan sistem kehidupan sebagai suatu jaringan sistem secara keseluruhan (Lihat Capra, 2009).
Perspektif tentang Komunitas
29
Bentuk
Materi
Proses
Dalam kaitannya dengan autopeotic, menurut Maturana dan
Varella (1996) bahwa konsep ini tidak tepat untuk dipakai dalam
ranah sosial yang lebih luas, karena ketertutupan jaringan sosial
tersebut tidak selamanya berlaku secara universal. Oleh karena itu,
menurut Capra (2008), konsep autopoetic, yang mengacu pada jaringan
komunikasi organisme yang hidup, maka sudah tentunya sistemnya
merupakan sistem yang hidup.
Sebagai sistem yang hidup, menurut Capra (1996), bahwa pola
kehidupan sosial dibangun atas dasar bentuk, materi dan proses14.
Konektivitas dari ketiga perspektif di atas digambarkan dalam diagram
segitiga yang pada dasarnya saling berhubungan. Bentuk pola
organisasi hanya bisa dikenali bila berwujud materi dan dalam sistem
hidup dan perwujudan ini merupakan suatu proses yang
berkesinambungan. Hubungan ketiga perspektif tersebut dapat
dilihat pada diagram berikut :
Gambar 2.1 : Hubungan Organisasi Sosial
14 Ketiga istilah tersebut merupakan sintesis Capra yang mewakili perbedaan perspektif hakikat sistem kehidupan yang terangkum dalam perspektif pola, struktur dan proses.
Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat)
30
Namun begitu, menurut Capra (2008) bahwa ketiga perspektif
tersebut di atas belum menjawab persoalan-persoalan mendalam dalam
kehidupan sosial sebagai suatu sistem yang hidup. Mengingat ada
aturan perilaku, nilai, maksud, cita-cita, strategi, desain-desain, serta
relasi kekuasaan, maka realitas sosial juga memiliki dimensi kesadaran
individu akan dirinya sendiri dalam lingkaran kehidupan sosial.
Dalam perspektif ini, Capra (2008) menolak pandangan
Luhman, yang menegaskan bahwa individu bukan bagian yang
menyatu dengan masyarakat. Independensi individu dalam lingkungan
sosial ditolak oleh Capra (2008) dengan menegaskan bahwa individu,
yang di dalamnya memiliki gagasan, cita-cita, ide, merupakan ciri
mental dari fenomena sosial, yang kemudian bermuara pada dimensi
hermenutik untuk menyatakan pandangan bahwa bahasa manusia
melibatkan komunikasi makna sebagai sebagai pusatnya karena
memiliki hakikat simbolis, dan bahwa tindakan-tindakan manusia
mengalir dari makna yang lahir dari lingkungan sekitar. Dengan
begitu, perspektif makna diletakkan pada upaya untuk memposisikan
individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan proses pemaknaan.
Oleh karena itu, Gambar 2.1. di atas perlu untuk dikembangkan
menjadi perspektif segitiga yang saling berhadapan, karena memiliki
empat dimensi yang saling berhubungan. Adapun diagramnya dapat
dilihat sebagai berikut :
Gambar 2.2. : Hubungan Organisasi Sosial dalam Empat Perspektif
Perspektif tentang Komunitas
31
Pada Gambar 2.2., terlihat integrasi keempat perspektif dengan
mengakui bahwa tiap perspektif memberikan sumbangan penting bagi
pemahaman mengenai suatu fenomena sosial. Sebagai contoh bahwa
kebudayaan diciptakan dan dipelihara melalui sebuah jaringan
(bentuk) komunikasi (proses), dimana makna dihasilkan. Sedangkan
perwujudan material dari kebudayaan (materi) adalah mencakup dari
benda-benda dan teks-teks tertulis yang menjadi sarana pewarisan
makna antar generasi.
Dengan model di atas, dapat dilihat bahwa jaringan sosial
sebagai sebuah sistem yang hidup akan ditandai dengan kesadaran
individu terhadap cita-cita, motivasi, ide atau gagasan, bahasa yang
merupakan produk dari sistem kognitif. Karena keterlibatan sistem
kognitif semacam itu, maka jaringan sosial akan mengartikulasikan
komunikasi sebagai bagian yang inheren, yang dipelihara secara terus-
menerus. Dalam konteks ini, perspektif makna adalah ciri yang
saling berkaitan untuk memahami realitas sosial. Websters Dictionary
mendefinisikan makna (meaning) sebagai „suatu gagasan yang
disampaikan kepada pikiran yang memerlukan atau memperkenankan
penafsiran‟, dan penafsiran (interpretation) sebagai „memahami dengan
suatu pengetahuan dari kepercayaan atau nilai yang dianut, atau
keadaan individual itu sendiri‟. Batasan tersebut memposisikan
individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan
sosialnya, karena ada proses pemaknaan dirinya sendiri dalam
kaitannya dengan adaptasi terhadap lingkungan.
Pemahaman semacam di atas akan menggiring individu
untuk membangun rasa kepemilikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari lingkungan sosialnya. Artinya bahwa rasa
kepemilikan tersebut terlahir dari akumulasi tatap muka (atau dalam
bahasa Dewey sebagai hubungan interpersonal) dalam sebuah jaringan
sosial atau komunitas. Dari titik inilah, Capra (2008) menegaskan
bahwa kepemilikan adalah ciri utama yang mendefinisikan
komunitas.