bab ii pengaturan sistem bagi hasil dalam hukum islam

18
BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM A.Pengertian Dan Pengaturan Sistem Bagi Hasil Dalam Hukum Islam. 1.Sejarah Sistem Bagi Hasil Prinsip bagi hasil (Profit-and Loss Sharing) sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraanbisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalanberdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Crone, 1987; Kazarian, 1991; Cizaka,1995). Sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha telah dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. 16 lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal penggarapnya, (Hosen dan Ali, 2007:49). Muzara’ah adalah kerja sama Di Madinah masa itu system bagi hasil banyak diterapkan dalam kerja sama di bidang pertanian dan perdagangan serta pemeliharaan ternak. Kerja sama pertanian yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukhabarah dan muzara’ah, (An-Nadwi, 2006:131). Mukhabarah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan 16 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta : Kencana 2001). Hlm.90. Universitas Sumatera Utara

Upload: lekhanh

Post on 14-Jan-2017

229 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

BAB II

PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

A.Pengertian Dan Pengaturan Sistem Bagi Hasil Dalam Hukum Islam.

1.Sejarah Sistem Bagi Hasil

Prinsip bagi hasil (Profit-and Loss Sharing) sudah ada sebelum datangnya Islam.

Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraanbisnis yang berdasarkan atas

konsep mudharabah berjalanberdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai

cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Crone, 1987; Kazarian, 1991;

Cizaka,1995). Sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha telah

dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh

masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi

Muhammad SAW.16

lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan

imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal

penggarapnya, (Hosen dan Ali, 2007:49). Muzara’ah adalah kerja sama

Di Madinah masa itu system bagi hasil banyak diterapkan dalam kerja

sama di bidang pertanian dan perdagangan serta pemeliharaan ternak. Kerja sama

pertanian yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukhabarah dan

muzara’ah, (An-Nadwi, 2006:131). Mukhabarah adalah kerja sama pengelolaan

pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan

16 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta : Kencana

2001). Hlm.90.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan

memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara

dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal

pemilih lahan, (Hosen dan Ali, 2007:53). Praktek bagi hasil yang dijalankan di

Mekah masa itu adalah kerja sama perdagangan (usaha) dalam bentuk shirkah dan

mudharabah. Afzalurrahman dalam bukunya Muhammad sebagai Seorang

Pedagang, (2000:3) menulis: ”Kaum Qurasy... Mereka mempunyai pengetahuan

dagang yang sangat baik dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Usaha

perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi organisasi

usaha pun telah mereka dirikan. Shirkah (kerjasama) dalam berbagai tipe

dijalankan, di mana para pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam

perdagangan atau hanya sleeping partner, dan dengan cara demikian 134 mereka

ikut menikmati keuntungan dan menderita kerugian (mudlarabah). Lebih lanjut

Afzalurrahman menerangkan bahwa kerjasama dengan sistem bagi hasil ini telah

dipraktekan nabi Muhammad SAW pada masa mudanya antara usia 17 atau 18

tahun. Nabi menjalankan bisnisnya dengan cara menjalankan modal uang orang

lain, baik dengan mendapat upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil

sebagai mitra. Kerjasama bisnis Nabi Muhammad yang banyak diriwayatkan

adalah kerjasama Nabi dengan Siti Khatijah. Sistem bagi hasil banyak ditemui di

Indonesia sejak jaman kuno sampai sekarang, yaitu pada bisnis pertanian,

peternakan dan perdagangan. Mukhabarah dan muzara’ah dengan persentase

50%:50% adalah yang umum dipraktekan. Kerjasama bagi hasil memelihara

ternak dengan cara maro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50% dari anak ternaknya

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak diserhakan kepada

pemeriharannya). Konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam, karena Islam

mengharamkan bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip Syariah,

penghapusan riba (bunga) merupakan isinya yang paling pokok, akan dapat

beroperasi untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada ekonomi dan

membantu negara Islam dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosioekonomi jangka

pendek dan jangka panjang. (Chapra, 1985).Qureshi (1974), Uzair (1978), dan

Siddiqi (1983) menyatakan bahwa bagi hasil-lah yang harus menjadi karakteristik

utama operasional pembiayaan perbankan Islam. Teori perbankan Islam, muncul

setelah Qureshi (1946) mengeluarkan buku Islam and the Theory of Interest.

Qureshi memandang bahwa bank merupakan sebuah pelayanan sosial yang

disponsori oleh pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan publik. Ia

mengambil titik pandang ini semenjak bank tidak akan membayar bunga baik

kepada pemegang rekening maupun tidak memberi beban bunga pada pinjaman.

Qureshi juga membicarakan kemitraan antara bank dan pengusaha sebagai sebuah

alternatif yang memungkinkan, bagi untung dan bagi rugi jika ada kerugian.

Mannan (1970:164) menyatakan bahwa konsep Bank Islam, bersumber pada

konsep Islam tentang uang. Dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan

bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Dengan demikian Bank

Islam atau Bank Syariah adalah sistem perbankan yang beroperasi berdasarkan

pada syari’ah Islam. Pelaksanaan operasional135 bank Islam selalu berprinsipkan

pada keadilan, kasih sayang, kesejahteraan (falah) dan kebijaksanaan atau anti

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

penindasan, anti kekerasan, anti kemiskinan dan anti kebodohan serta menolak

ribadalam segala bentuknya.17

Di Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia (201

juta jiwa, BPS:2006), dikategorikan terlambat mempraktekan sistem bagi hasil

Sistem bagi hasil dalam sektor keuangan (perbankan) pertama digunakan pada

abad XX yaitu berdirinya bank Mit Ghaur tahun 1963 dan Nasir Social Bank di

Mesir pada tahun 1963 (Capra, 2000:266). Pada awalnya bank ini berkembang

pesat tetapi karena alasan politik dibekukan pada tahun 1967. Eksperimen lainnya

adalah Bank Koperasi di Pakistan yang didirikan oleh S.A. Ishad pada bulan Juni

1965, tetapi pada perjalanan mengalami mismanajemen sehingga akhirnya tutup

(Joyosumarto, 2007). Kemudian disusul bank-bank Islam lainnya yaitu: The

Islamic Development Bank (Saudi Arabia, 1975), The Dubai Islamic Bank (1975),

The Faisal Islamic Bank (Mesir, 1976), The Faisal Islamic Bank (Sudan 1977),

The Jordan Islamic Bank (1978), The Jordan Financial and Investment Bank

(1978), The Islamic Investment Company (Uni Emirat Arab, 1978), Kuwait

Finance House (1979). Pada tahun 1983, perbankan di Iran menerapkan bagi hasil

dan melarang bunga. Iran merupakan negara yang paling sukses mendorong

ekonominya dengan sistem perbankan bagi hasil. Sudan menerapkan sistem bagi

hasil mulai tahun 1984 tetapi karena kondisi politik maka tidak sesukses Iran.

Pada bulan Juli 1985 semua bank di Pakistan dirubah dengan sistem profit sharing

dan bunga dilarang. Profit sharing dalam keuangan di Malaysia pertama

dipraktekan dalam pengelolaan dana haji yaitu mulai tahun1963.

17 Ibid, hlm 91.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

khususnya pada perbankan. Bank syari’ah pertama kali berdiri pada tahun 1992

yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada Desember 2006 di Indonesia telah

berdiri 3 Bank Umum Syari’ah (BUS), 20 Unit Usaha Syari’ah (UUS) dan 94

Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS). Perkembankan perbankan syari’ah ini

masih dikategorikan lambat melihat potensi Indonesia sebagai negara

berpenduduk Islam terbesar di dunia.

2. Pengertian Sistem Bagi Hasil

a. Pengertian Akad Bagi Hasil / Mudharabah

Prinsip bagi hasil (Profit-and Loss Sharing) sudah ada sebelum datangnya Islam.

Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas

konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai

cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi. Sistem bagi hasil dalam kerjasama

untuk menjalankan usaha telah dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem

ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam

diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW.18

18 M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit and Loss Sharing System Menurut Empat Mahzab” (Jakarta : Erlangga, 2000), hlm 1-2.

Secara harafiah dalam konsepsi

pandangan hukum Islam, bagi hasil lebih sering dikenal dengan istilah

“Mudharabah”, yang dapat disebutkan dalam sejarah merupakan akad yang telah

dikenal oleh umat muslim sejak jaman nabi. Bahkan telah dipraktikkan oleh

bangsa Arab sebelum turunannya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi

sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Siti Khadijah.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib “Jika

memberikan dan kepada mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang

berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang

bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-

syarat tersebut kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah pun

membolehkannya”(HR.Thabrani)

Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “tiga hal yang di

dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh,

muqaradhah(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk

keperluan rumah, bukan untuk dijual”(HR. Ibnu Majah)

Diriwayatkan dari Hakim bin Nizam, dulu beliau menyerahkan harta

untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya

agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan

jangan dibawa diatas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal

tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila

pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang

mengerjakannya.19 Dengan demikian, apabila ditinjau dari segi hukum Islam,

maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut Alquran, Sunnah, maupun

Ijma.20

Konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam, karena Islam

mengharamkan bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip Syariah,

penghapusan riba (bunga) merupakan isinya yang paling pokok, akan dapat

19 HR Ad-Daruqutni dalam sunnahnya no.3033 dan Al-Baihaqi dalam assunnah Al-Kubra VI/111 no.11944. Syaikh Al-albani menshahihkannya dalam Al Irwa’ no.1472

20 Ibid.hlm 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

beroperasi untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada ekonomi dan

membantu negara Islam dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosio ekonomi jangka

pendek dan jangka panjang. Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan

nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh

nabi ketika itu keluar negeri. Dalam hal ini Khadijah berperan sebagai pemilik

modal sedangkan nabi berperan sebagai pelaksana usaha. Bentuk kontrak antara

dua pihak dimana salah satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan

mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni

pelaksana usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang disebut

dengan akad mudharabah.21 Akad mudharabah adalah persetujuan berbagi antara

harta dari salah satu pihak dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak lain.22

b. Rukun Bagi Hasil / Mudharabah

Faktor-faktor yang harus dimunculkan (ada) dalam sistem akad bagi hasil

adalah:

1) Pelaku (Pemilik modal maupun pelaksana usaha)

Jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam

akad jual-beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor

pertama pelaku kiranya cukup jelas. Dalam hal akad pemilik modal (shahib al-

mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaku usaha (mudharib ‘amil).

Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak akan ada.

2) Objek Mudharabah (Modal dan kerja)

21 Adiwarwan Karim, “Analisis Fiqih dan Keuangan Bank Islam” (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm 204.

22 Ibid, hlm 205.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

Faktor kedua objek bagi hasil merupakan konsekuensi logis dari tindakan

yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai

objek mudharabah sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai

objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bebentuk uang atau barang yang

dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerjayang diserahkan bisa berbentuk

keahlian, keterampilan, selling skill, managemen keahlian, dan lain-lain. Tanpa

dua objek ini maka mudharabah bisa dikatakan tidak ada.

Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk

barang, tetapi ia harus memberikan uang tunai karena barang ridak dapat

dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian besarnya modal

mudharabah. Namun para ulama mahzab hanafi memperbolehkan nilai barang

yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan

shahibul mal.

Hal yang jelas tidak boleh adalah modal mudharabah yang belum disetor.

Para fuqaha tidak sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa

adanya setoran modal, berarti shahibul ‘mal tidak memberikan kontribusi apapun

padahal para mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maiki melarang hal

itu karena merusak sahnya akad.

3) Persetujuan kedua belah pihak / ijab Kabul

Faktor ketiga yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi

dari prinsip sama-sama rela (an-taraddin minkum). Disini kedua belah pihak

harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

Pemilik dana setuju dengan pernannya untuk mengkontribusikan dana, sementara

pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

4) Nisbah keuntungan

Faktor keempat yakni nisbah merupakan rukun khas dalam akad

mudharabah, yang tidakada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan

imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah.

Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al’mal

mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungn inilah yang

akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara

pembagian keuntungan.23

c. Nisbah Keuntungan dalam Sistem Bagi Hasil

Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara

kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal atau harga tertentu. Jadi

nisbah keuntungan itu misalnya itu dalam pembagian setengah-setengah, sepertiga

untuk selebihnya atau seperempat-tigaperempat. Jadi nisbah keuntungan itu

ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi modal setoran;

tentuu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi

modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal harga

mata uang tertentu.

Pada penjelasan tentang bagi untung dan bagi rugi, ketentuan diatas

merupakan konsekueni logi dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang

tergolong kedalam kontrak investasi. Dalam kontrak ini, return dan timing cash

23 Al-Kasani, Ibnu Qudamah, “Jurnal-jurnal Islam tentang Bank Islam vol 1-9 ”.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

flow kita tergantung pada kinerja sector rillnya. Bila laba bisnisnya besar, maka

kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil,

maka mereka psti mendapatkan keuntungan yang kecil pula. Filosofi ini hanya

dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam

bentuk nilai nominal mata uang tertentu. Bagaimana halnya bila terjadi kerugian

dalam pelaksanaan bisnis, dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian

maka bagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan modal

pihak masing-masing.

Terjadinya perbedaan dalam pembagian antara bagi untung dengan bagi

rugi karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara

kedua belah pihak. Apabila terjadi keuntungan maka tidak ada masalah untuk

menikmati keuntungan, karena sebesar apapun yang terjadi kedua belah pihak

akan selalu menikmati keuntungan tersebut. Lain halya bila terjadi bisnis merugi,

kemampuan shahib al’mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama

dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi

berdasarkan proporsi modal, dank arena proporsi modal / financial ditanggung

keseluruhan oleh shahib al’mal. Dilain pihak, karena proporsi modal / financial

mudharib dalam kontrak ini adalah nol persen, maka apabila terjadi kerugian,

mudharib akan menanggung kerugian sebesar nol persen pula.24

24 Wahbah Zuhaili, Jurnal Islam : Al-fiqhu Al-Islamib wa-Adilatuhu, vol 5, hlm 195.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

3. Pengaturan Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Islam

Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat (275) dan

surat An-Nisa ayat (29) yang intinya : Allah SWT telah menghalalkan jual beli

dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan

suka sama suka maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu

dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya

didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang dan/atau jasa. Akad

mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu

antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di

antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan

uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak

memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan

modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara

pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan

memproduktifkan modal itu.25

Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga ekonomi

islam menyediakansarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi

Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang atau jasa

dulu baru ada uang, sehingga akan mendorong produksi barang atau jasa,

mendorong kelacaran arus barang atau jasa, dapat menghindari adanya

penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.

25 Ascarya. Akad&Produk Bank Syariah. (Semarang : Tohaputra,2008). Hal: 50.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

hasil, pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas pembiayaan

investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.

a. Investasi, bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya

pada bank ini (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap

sebagai penyedia dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari

usaha bank sebagai pengelola dana yang sifat tidak tetap dan tidak pasti

sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima

penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut

mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu,

bahkan bisa satu hari.

b. Pembiayaan Investasi, ialah pembiayaan yang baik sepenuhnya (al-

mudharabah) ataupun sebahagian (al-musyarakah) terhadap suatu usaha

yang tidak termasuk dalam bentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang

sepenuhnya maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank sehingga

pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari

usaha itu sesuai dengan kesepakatan.

c. Dari keseluruhan penjelasan diatas, dalam konsepsi pembiayaan yang paling

disukai sebenarnya adalah pembiayaan mudharabah. Karena ketika dala

sejarah perdagangan hukum islam (tarikh) Nabi Muhammad SAW sebagai

contohnya, dengan adanya sistem mudharabah sebagai sistem penitipan

modal yang dikelola Nabi ketika beliau dipercaya membawa sebagian

barang dagangannya Siti Khadijah r.a. dari Mekkah ke negeri Syam. Barang

dagangan itu boleh dikatakan sebagai modal usaha, karena oleh nabi dijual

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

dan hasilnya dibelikan untuk barang dagangan yang lainyya untuk dijual

lagi dipasar Busrha di negeri Syam. Nabi dalam perjalannya (dharb) untuk

mencari sebahagian karunia Allah SWT. Setelah berapa lama nabi

kemudian ke Mekkah membawa hasil usahanya dengan dilaporkan kepada

Siti Khadijah r.a. harta yang telah dikembankannya itu tentunya dihitung

dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan kepada

yang memiliki, sedangkan selisihnya antara harta asal (rabbul maal) dengan

yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula.26 Menurut

buku Riwayat Kehidupan Nabi Besar SAW, sebelum nabi berangkat ke

negeri Syam, Siti Khadijah r.a. menjanjikan bagian keuntungan kepada

beliau dua kali lebih banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Quraisy

lainnya.27

A. Jenis Pola dan Penentuan Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Islam.

1. Jenis dalam Penentuan Bagi Hasil

Sistem bagi hasil dapat diterapkan dalam empat model yaitu pertama, bagi

sistem hasil berdasarkan pendapatan (Revenue Sharing System,RSS), kedua,

sistem bagi hasil berdasarkan laba kotor (Gross Profit Sharing System(GPSS),

ketiga, sistem bagi hasil berdasarkan laba operasi bersih (Operating Profit

Sharing System, OPSS) dan keempat, sistem bagi hasil berdasarkan laba bersih

(Net Profit Sharing System, NPSS). Sistem bagi hasil pendapatan (Revenue

26 Widyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2000), hlm 16-17.

27 M. Al Hamid Husaini, Riwayat Nabi Besar Muhammad SAW, (Jakarta: Yayasan Al-Hamid, 2002), hlm 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

Sharing System,RSS) atau sistem bagi hasil yang berbasiskan pendapatan

(Sharing System for Based of Revenue, SSBR ) adalah sistem bagi hasil yang

didasarkan pada pendapatan (revenue) yang diperoleh sebelum dikurangi dengan

biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model bagi hasil ini

digunakan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

a. Posisi lembaga pembiayaan pada saat negosiasi akad lebih kuat daripada

penerima pembiayaan. Posisi ini berbalik setelah akad terjadi yaitu posisi

penerima pembiayaan lebih kuat dari pemberi pembiayaan, ini terjadi karena

pada saat pembagian hasil usaha penerima pembiayaan berubah menjadi

pemberi hasil usaha dan pemberi pembiayaan berubah menjadi penerima

hasil usaha.

b. Meminalisir moral hazard dari penerima pembiayaan yang akan merugikan

pemberi pembiayaan, misalnya manipulasi laporan keuangan yang cenderung

membesarkan biaya-biaya yang dikeluarakan untuk menghindari pembayaran

bagi hasil.

c. Antara penerima dan pemberi pembiayaan belum terbentuk hubungan yang

saling amanah (percaya).28

Revenue Sharing System dianggap sistem bagi hasil yang paling kecil

moral hazard, sehingga Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dalam fatwanya no:

15/DSN-MUI/IX/2000, menetapakan bahwa bagi hasil boleh dilaksanakan

berdasarkan profit dan pendapatan pengelolaan dana yang diperoleh. Tetapi

karena pertimbangan demi kemaslahatan sebaiknya sistem yang digunakan adalah

28 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Islam Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 187-188.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

revenue sharing. Pada prakteknya bagi hasil yang umum digunakan memang

sistem revenue sharing, karena sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya baik

bagi pemilik dana maupun pengelola dananya. Walaupun dalam sistem ini

kemungkinan terjadinya moral hazard tetaplah ada misalnya merekayasa

pendapatan yang diperolehnya diperkecil dengan tujuan agar membayar bagi hasil

lebih sedikit dari yang sesungguhnya diperoleh. Sistem bagi hasil laba kotor

(Gross Profit Sharing System / GPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba kotor

(Sharing System for Based of Gross Margin, SSBGM) adalah sistem bagi hasil

yang didasarkan pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-

biaya variabel (biaya variabel produksi atau harga pokok produksi atau harga

pokok pembelian) yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model GPSS

digunakan dengan pertimbangannya adalah antara penerima dan pemberi

pembiayaan mulai terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya). Sistem bagi

hasil laba operasi bersih (Operating Profit Sharing System, OPSS) atau bagi hasil

berbasiskan laba operasi kotor (Sharing System for Based of Operating Profit,

SSBOP) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang

diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya variabel (biaya variabel produksi

atau harga pokok produksi atau harga pokok pembelian) dan biaya-biaya tetap

serta biaya lain-lain baik yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model ini

digunakan dengan pertimbangannya adalah antara penerima dan pemberi

pembiayaan telah terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya).29

29 Ibid, hlm 189-190

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

Model ini sangat sesuai pada sistem kerjasama dengan menggunakan

musyarakah. Sistem bagi hasil laba bersih (Net Profit Sharing System, NPSS) atau

bagi hasil berbasiskan laba bersih (Sharing System for Based of Net Profit,

SSBNP) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang

diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya variabel (biaya variabel produksi

atau harga pokok produksi atau harga pokok pembelian) dan biaya-biaya tetap

serta biaya lain-lain baik yang dikeluarkan dalam proses produksi dan telah

dikurangi pajak perusahaan yang harus dibayarkan. Model ini digunakan dengan

pertimbangan antara penerima pembiayaan dan pemberi pembiayaan karena

benar-benar telah saling dapat dipercaya, transparan dan profesional sehingga

kemungkinan moral hazard sangat kecil. Model ini sangat sesuai pada sistem

kerjasama dengan menggunakan musyarakah.

2. Pola dalam Penentuan Bagi Hasil.

Sistem bagi hasil banyak ditemui di Indonesia sejak jaman kuno sampai

sekarang, yaitu pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan. Mukhabarah

dan muzara’ah denga persentase 50% banding 50% adalah yang umum

dipraktekan. Kerjasama bagi hasil memelihara ternak dengan cara bagi hasil

dengan nisbah 50% banding 50% dari anak ternaknya atau dari selisih nilai jual

dengan nilai pada saat ternak diserhakan kepada pemeriharannya. Konsep bagi

hasil diterapkan dalam bank Islam, karena Islam mengharamkan bunga. Dalam

sistem perbankan dengan prinsip Syariah, penghapusan riba (bunga) merupakan

isinya yang paling pokok, akan dapat beroperasi untuk memberikan manfaat yang

lebih besar kepada ekonomi dan membantu negara Islam dalam mewujudkan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

tujuan-tujuan sosial ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Bagi hasil

bentuk tersebut merupakan menjadi bentuk karakteristik utama operasional

pembiayaan perbankan Islam.30

a. Profit Sharing, adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan kepada hasil

bersih dari total pendapatan setalh dikurangni dengan biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Apabila suatu bank

menggunakan sistem ini kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil

yang diterima shahibul maal akan semakin kecil. Kondisi ini akan

mempengaruhi keinginan masyarakat untuk menginvestasikan uang ataupun

dananya kepada Bank Syariah yang berdampak menurunnya jumlah dana

pihak tiga secara kesuluruhan.

Ada dua jenis pola dalam sistem bagi hasil yang terdapar dalam menentukan

beberapa bagian yang diperoleh masisng-masing pihak yang terkait. Sistem bagi

hasil yang pada dasarnya erat kaitannya dengan beberapa marjin yang akan

ditetapkan yaitu dengan:

b. Revenue Sharing, adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan kepada

total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-

biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Bank yang

menggunakan sistem ini kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi

hasil yang diterima oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan dengan

tingkat suku bunga pada pasar yang berlaku saat itu juga. Kondisi ini akan

30 Adiwarman, Op. Cit, hlm 212

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM

mempengaruhi pemilik dana untuk berinvestasi di Bank Syariah dan dana

pihak ketiga akan meningkat.31

Didalam perbankan syariah di Indonesia sistem bagi hasil yang

diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada revenue sharing

system. Bank Syariah dapat berperan sebagai pengelola maupun pemilik dimana

ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh

pihak bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan

membebankan biaya tersebut kepada pihak nasabah pengelola dana.

Penentuan bagi hasil yang berlaku dapat dilakukan dengan langkah-langkah

yaitu penentuan besarnya rasio bagi hasil yang dibuat pada waktu akad dengan

berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi, selanjutnya besar rasio bagi

hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh dan besarnya

penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai dengan

kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (an-taradhin)

dimasing-masing tanpa adanya unsur paksaan.32

31 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing di Bank Syariah, (Bandung: Erlangga, 2001), hlm 97. 32 Muhammad Kasmir, Manajemen Perbankan Syariah Edisi Revisi, Yogyakarta: UII Press, hlm 96-97

Universitas Sumatera Utara