bab ii penelusuran teori dan konsep terkait

54
29 BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT Pada bab ini, penulis memaparkan suatu penelusuran terhadap beberapa teori dan konsep yang memiliki keterkaitan dengan topik studi, yakni tentang (1) Agama; (2) Religiositas; (3) Identitas dan Ritual; (4) Diferensiasi (Agama); serta (5) Hybrid Religiosity dan Politics of Piety sebagai suatu Strategi Survival. 1 II.1. Agama Menurut Marx, Weber dan Durkheim 2 Penelusuran teori agama merujuk pada pandangan Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim, yang menurut penulis merupakan tiga orang pemikir klasik, yang telah meletakkan pemikiran dasar sosiologis, terkait dengan pemahaman tentang agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemikiran mereka tersebut, laksana tiga pancaran dari hulu utama pemikiran basis agama secara sosiologis, yang untuk selanjutnya melahirkan hilir- hilir pemikiran yang terus berkembang dalam khasanah ilmu-ilmu sosiologi agama, dengan para pakar dan konsepsinya. II.1.1. Karl Marx Tentang Agama: 3 Pandangan Marx tentang agama, dilandasi oleh salah satu premisnya yang terkenal bahwa “manusia mesti berada dalam posisi untuk hidup, supaya sanggup untuk membuat sejarah.” 4 1 Disadari bahwa dalam penelitian kualitatif, bila ada teori-teori yang digunakan, maka sifat teori-teori tersebut hanyalah sebagai “a tentative conceptual framework,” Lihat ulasan John W. Creswell, Research Design Qualitative & Quantitave Approaches (London: Sage Publications, Inc.,2003), 93-97. Sehingga teori yang digunakan sesungguhnya lebih dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan teori-teori tersebut dalam perjumpaannya dengan realita induktif. 2 Paparan ketiga pemikir sosiologi klasik tentang agama ini, merupakan kompilasi dari Materi Ujian Komprehensif yang telah penulis presentasikan pada tanggal 9 Oktober 2017. 3 Dirangkum dari karya Marx atau tentang Marx, antara lain: (1) Economic and Philosophic Manuscripts of 1844; (2) German Ideology; (3) Karl Marx dalam Robert Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London: W. W. Norton & Company, 1978; 4 Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology, Including Thesis on Feuerbach, USA: Prometheus Books, 1998),149.

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

29

BAB II

PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Pada bab ini, penulis memaparkan suatu penelusuran

terhadap beberapa teori dan konsep yang memiliki keterkaitan

dengan topik studi, yakni tentang (1) Agama; (2) Religiositas; (3)

Identitas dan Ritual; (4) Diferensiasi (Agama); serta (5) Hybrid

Religiosity dan Politics of Piety sebagai suatu Strategi Survival.1

II.1. Agama Menurut Marx, Weber dan Durkheim2

Penelusuran teori agama merujuk pada pandangan Karl

Marx, Max Weber dan Emile Durkheim, yang menurut penulis

merupakan tiga orang pemikir klasik, yang telah meletakkan

pemikiran dasar sosiologis, terkait dengan pemahaman tentang

agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemikiran mereka

tersebut, laksana tiga pancaran dari hulu utama pemikiran basis

agama secara sosiologis, yang untuk selanjutnya melahirkan hilir-

hilir pemikiran yang terus berkembang dalam khasanah ilmu-ilmu

sosiologi agama, dengan para pakar dan konsepsinya.

II.1.1. Karl Marx Tentang Agama:3

Pandangan Marx tentang agama, dilandasi oleh salah satu

premisnya yang terkenal bahwa “manusia mesti berada dalam

posisi untuk hidup, supaya sanggup untuk membuat sejarah.”4

1 Disadari bahwa dalam penelitian kualitatif, bila ada teori-teori yang digunakan,

maka sifat teori-teori tersebut hanyalah sebagai “a tentative conceptual framework,” Lihat ulasan John W. Creswell, Research Design Qualitative & Quantitave Approaches (London: Sage Publications, Inc.,2003), 93-97. Sehingga teori yang digunakan sesungguhnya lebih dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan teori-teori tersebut dalam perjumpaannya dengan realita induktif.

2 Paparan ketiga pemikir sosiologi klasik tentang agama ini, merupakan kompilasi dari Materi Ujian Komprehensif yang telah penulis presentasikan pada tanggal 9 Oktober 2017.

3 Dirangkum dari karya Marx atau tentang Marx, antara lain: (1) Economic and Philosophic Manuscripts of 1844; (2) German Ideology; (3) Karl Marx dalam Robert Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London: W. W. Norton & Company, 1978;

4Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology, Including Thesis on Feuerbach, USA: Prometheus Books, 1998),149.

Page 2: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

30 Religiositas Ambon-Kristen …

Dalam kaitan itulah, maka Marx mengisyaratkan 3 (tiga) point

penting, yakni: Pertama, Tindakan sejarah mesti dilakukan dengan

berproduksi sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan (hal-hal

materi hidup); Kedua, Pemuasan kebutuhan yang pertama, baik

aksi maupun instrumennya, memimpin kepada kebutuhan yang

baru; Ketiga, Manusia mulai membuat manusia yang lain (contoh:

keluarga, pria-wanita, dan seterusnya), yang tersubordinasi

karena perluasan relasi sosial dan kebutuhan produksi yang lain.

Semua hal yang diproduksikan tersebut merupakan actual

material life. Produksi ide, konsep, dan kesadaran pada awalnya

adalah jalinan aktivitas material, dan kelanjutannya adalah

perubahan dari perilaku material. Hal itu berlaku bagi semua

turunannya, yakni bahasa, agama, politik, hukum, moralitas,

metafisik, dan lain-lain. Dengan demikian, kesadaran

(consciousness), yang menjadi titik utama filsafat Jerman, bagi

Marx, tidak lain adalah eksistensi kesadaran manusia dalam proses

hidupnya yang aktual (bukan yang kaku dan berada dalam isolasi

yang fantastis). Kesadaran, tidak punya sejarahnya sendiri yang

independen, tetapi manusia-lah yang mempunyai sejarah. Hidup

(dan realita) itu yang menentukan kesadaran, bukan kesadaran

yang menentukan (realita) hidup.5 Dengan demikian, sejarah tidak

akan lagi menjadi koleksi dari fakta-fakta yang mati; seperti yang

dapati oleh kaum empirisme (di mana mereka sendiri tetap

abstrak) atau diimajinasikan oleh kaum idealis.

Sehubungan dengan itu, patut dikonstatir bahwa konsepsi

Marx tentang agama sesungguhnya memiliki latar korelasi dengan

pemikirannya mengenai alienasi. Menurut Marx, sebagai akibat

dari 4 (empat) alineasi6 yang dialami oleh manusia (pekerja), maka

5 Bandingkan pandangannya ini ketika diimplementasikan dalam agama, saat Marx

menyatakan bahwa manusialah yang menciptakan agama. Lihat, Karl Marx dalam Robert Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London: W.W.Norton & Company, 1978), 54-55.

6 Keempat alienasi tersebut adalah (1) teralienasi dari hasil pekerjaannya, (2) teralineasi dari aksi atau tindakannya, (3) teralienasi dari keberadaannya sendiri sebagai (spesies) manusia, dan (4) teralienasi secara sosial (dari lingkungan sosialnya). Tentunya dalam hal ini, Marx tidak menuduh bahwa agama sebagai faktor tunggal penyebab alienasi, melainkan baginya, faktor ekonomi kapitalisme-lah yang menjadi penyebab utamanya. Selain tentunya ada faktor-faktor politik, kekuasaan dan negara.

Page 3: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 31

manusia mengalami kehilangan identitas dan eksistensinya. Dalam

konteks yang sedemikian, manusia pun lalu berpaling kepada

agama sebagai sarana untuk ia dapat memahami dunianya dan

sekaligus memperoleh pengharapan di tengah kondisi

keteralienasiannya.

Bagi Marx, sekaligus sebagai kritiknya terhadap Feurbach,

agama merupakan khayalan (fantasi atau ilusi) yang belum

memiliki realitas nyata, yang hanya menyenangkan sesaat jiwa

manusia dari pelbagai kesengsaraan, sama seperti sebuah “opium”

(candu).7 Namun sekaligus dengan metafora “opium” tersebut,

Marx justru hendak menandaskan agama tersebut sebagai suatu

ekspresi dan sikap protes. Dengan begitu, berbeda dari perspektif

Feurbach yang melihat agama dari sisi abstraknya, maka Marx

justru melihat pentingnya memahami dimensi sosial dalam rangka

mencermati makna ekspresif dari agama itu sendiri. Dari sudut

demikian, Marx lebih memberikan pendasaran agama itu lebih

konkret pada persoalan ekonomi dan politik, sebagai suatu realita

material, yang pada gilirannya pula, bagi Marx, turut berkorelasi

dengan agama sebagai dimensi spiritual. Artinya, realita

pergumulan di konteks ekonomi misalnya, akan turut berpengaruh

terhadap kehidupan spiritual manusia, demikian pun sebaliknya.

II.1.2. Max Weber Tentang Agama:8

Weber mengawali ulasannya tentang agama dengan

merujuk pada dua praanggapan utama: (1) Bentuk-bentuk yang

paling mendasar dari perilaku manusia, dimotivasikan oleh faktor-

faktor religius atau magis, yang diorientasikan kepada dunia ini;

(2) Perilaku yang dimotivasi secara religius atau magis tersebut

merupakan perilaku yang relatif rasional, terlebih khusus pada

manifestasinya yang paling mula-mula (primitif).

7 Sebagaimana Andrew McKinnon mengulas konstatasi Marx ini dalam,”Opium as

Dialectics of Religion: Metaphor, Expression and Protest”, dalam Waren S. Goldstein (ed), Marx, Critical Theory and Religion: A Critique of Rational Choice (Boston: BRILL, 2006),20.

8 Dirangkum dari karya Weber, antara lain: (1) The Sociology of Religion; The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism; (2) Economy and Society – Vol.2; (3) Sociology – From Max Weber: Essays in Sociology.

Page 4: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

32 Religiositas Ambon-Kristen …

Dari dua praanggapan tersebut, tercetuslah

praanggapannya yang ketiga: bahwa perilaku atau pemikiran

religius atau magis, tidak pernah terpisah jauh dari jangkauan

“tingkah laku berarah-tujuan” (purposive conduct) sehari-hari,

khususnya jika tujuan dari tindakan keagamaan dan magis itu

didorong oleh faktor-faktor ekonomi.

Di atas ketiga praanggapan inilah Weber membangun teori

agamanya, yang pada intinya menandaskan bahwa agama

merupakan bagian dari evolusi kebudayaan dan sistem sosial, yang

berakar pada abstraksi dan rasionalisasi pengalaman-pengalaman

alamiah manusia. Bagi Weber, proses abstraksi tersebut telah

terjadi di dalam instansi-instansi perilaku keagamaan yang paling

primitif, yaitu ketika mulai terbentuk pemahaman bahwa, “di

belakang” aktivitas objek-objek natural, artifak-artifak, binatang-

binatang, dan orang-orang, terdapat “sesuatu” yang tidak dapat

ditentukan, tidak dapat dilihat, bersifat non-personal, tetapi

memiliki pengaruh yang kuat terhadap kenyataan. “Sesuatu” ini,

dapat masuk ke dalam sebuah objek yang konkret, sehingga objek

tersebut memiliki “kualitas” tertentu. “Sesuatu” itu disebutnya

“spirit”, dan “kualitas” tertentu itu disebutnya “kharisma”.

Tegasnya menurut Weber, agama muncul sebagai hasil abstraksi

dan rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman

hidupnya.

Weber pun melihat adanya dinamika yang kuat di dalam

pemikiran agama. Hal ini terjadi seiring dengan dinamika

masyarakat. Oleh sebab itu menurutnya, proses evolusi pemikiran

keagamaan berjalan searah dengan proses perubahan sosial.

Sebagai contoh, ketika Weber menjelaskan transformasi

naturalisme menjadi simbolisme, ia berpendapat bahwa hal-ihwal

penyingkiran naturalisme, bergantung pada tekanan yang

diletakkan di belakang kepercayaan-kepercayaan terhadap roh-

roh oleh guru-guru simbolisme yang profesional. Artinya, evolusi

pemikiran agama terjadi, ketika sekelompok orang mulai memiliki

dan memanfaatkan kekuasaan di dalam kehidupan sosial.

Selanjutnya, Weber berpendapat bahwa, transisi naturalisme pra-

Page 5: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 33

animistik menuju simbolisme memiliki konsekuensi lebih jauh,

yaitu ketika hal-hal dan peristiwa-peristiwa mulai mengambil

makna melampaui potensi-potensi yang secara aktual melekat

padanya dan mulai ada upaya-upaya yang dibuat, untuk meraih

efek-efek riil berdasarkan tindakan-tindakan yang secara simbolis

signifikan berpengaruh. Pada saat itulah, semua ranah aktifitas

manusia terdorong ke dalam lingkaran simbolisme magis. Oleh

sebab itu, bagi Weber, evolusi keagamaan adalah bagian penting

~bahkan esensial~ dari evolusi kebudayaan.

Terkait dengan proses evolutif tersebut, maka gagasan

tentang tuhan pun mengalami evolusi, yang pada awalnya

sering merupakan sebuah entitas “bunga rampai” yang tidak

teratur, yang diyakini bersama sebagai “yang berkuasa” dan yang

dikultuskan.9Bahkan pandangan tentang proses evolusi agama dan

9 Weber mengulas tentang fenomena gagasan tentang tuhan yang mengalami evolusi

ini ketika ia mengelaborasikan gagasan-gagasan tuhan yang berkembang di suku-suku Israel Alkitab, di kalangan Romawi, fenomena tuhan-tuhan marga/klan, hingga tuhan konfederasi, antara lain sebagai berikut: Ketika muncul pemikiran sistematik yang berkenaan dengan praktek keagamaan dan rasionalisasi kehidupan yang mencapai tingkat tertentu, maka berkembanglah gagasan tentang “pantheon.” Kemunculan sebuah pantheon disusul oleh adanya spesialisasi dan karakterisasi ragam ilahi, alokasi atribut-atributnya, dan diferensiasi wilayah kekuasaan mereka, seiring dengan karakteristik tuntutan yang unik terkait tanggung jawab beragam dari tuhan-tuhan yang diyakini. Dengan ini dapat dipahami fakta bahwa misalnya orang Romawi cenderung tetap menyimpan pola agama nasional yang cocok bagi petani sementara pada sisi lain, agama Yunani merefleksikan budaya kesatriaan dengan ilah-ilah heroiknya. Artinya, ragam jenis tuhan telah dipengaruhi secara langsung oleh keadaan-keadaan ekonomi dan nasib-nasib historis orang-orang yang berbeda. Oleh karena itu, Weber berpendapat bahwa meningkatnya signifikansi objektif dari komponen-komponen tipikal dan tipe-tipe tingkah laku serta refleksi subjektif tentang tuhan memunculkan spesialisasi fungsional di dalam pantheon atau spesialisasi kualitatif menurut garis-garis aktivitas khusus, misalnya dalam hal: berdoa, memancing ikan, atau membajak. Dalam hal inilah Weber menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang dilaksanakan dengan tujuan bersama tanpa adanya sebuah tuhan khusus. Dengan kata lain, jika sebuah asosiasi perlu dijamin secara permanen maka ia harus mempuyai tuhan sendiri. Itu sebabnya Weber menegaskan bahwa: “Whenever an organization is not the personal power base of an individual ruler, but genuinely an association of men, it has need of a god of its own” [Max Weber, The Sociology of Religion, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1963),14].

Inilah “pintu masuk” ke dalam percakapan tentang perlunya gagasan tentang tuhan di dalam kelompok-kelompok marga dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang lebih besar. Dalam lingkungan kelompok marga kultus nenek moyang yang berjalan sejajar dengan struktur patriakal, keluarga berhasil membentuk ikatan personal yang kuat dan menyatukan anggota-anggota marga ke dalam sebuah kelompok kohesif yang rapat dan sangat berpengaruh terhadap relasi-relasi ekonomi rumah tangga. Bila ini yang terjadi maka dua tipe asosiasi sosial dapat berkembang, yaitu tipe konfederasi, yaitu persekutuan klan-

Page 6: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

34 Religiositas Ambon-Kristen …

tuhan tersebut, berjalan bersama dengan perkembangan

organisasi sosial politik. Itulah sebabnya, organisasi-organisasi

sosial politik selalu mempunyai akar-akar keagamaan, dan

sebaliknya kepercayaan-kepercayaan terhadap tuhan, selalu

berimplikasi dalam kehidupan sosial. Jadi, kesimpulannya adalah

bahwa,konsepsi tentang tuhan selalu mempunyai implikasi

sosiologis. Sebaliknya, organisasi dan proses sosial mempunyai

akar-akar keagamaan.

Terkait dengan fenomena pemanggilan roh-roh atau

kekuatan-kekuatan supranatural, menurut Weber, perilaku

keagamaan tersebut sebetulnya bukanlah peribadatan kepada

tuhan tetapi “paksaan” kepada ilah. Dengan begitu maka doa

permohonan (invocation) berubah menjadi formula magis. Dalam

hubungan dengan ini, ada dua elemen karakteristik penyembahan

tuhan, yaitu doa dan kurban. Keduanya mempunyai akar-akar di

magi. Di dalam doa, batas antara formula magi dan suplikasi

tetaplah cair. Doa individual sebagai permohonan yang riil,

ditemukan di dalam agama-agama yang tidak terdiferensiasi,

klan secara aktual atau imajiner yang dibentuk lewat semangat keagamaan. Yang kedua adalah tipe penguasa patrimonial, yakni aturan patrimoni persatuan rumah tangga bangsawan yang berbeda ketimbang persatuan rumah tangga orang-orang biasa, dikonstruksi di atas pola ekonomi domestik patrimoni yang diperluas. Apabila perkembangan penguasa patrimonial mengarah pada konfederasi keagamaan, maka akan berkembang sebuah tuhan khusus dari organisasi politik, sebagaimana di kasus Israel dengan Yahweh. Artinya, secara sosiologis Yahweh tidak lain adalah tuhan federasi – yang menurut tradisi berupa aliansi orang Yahudi dan Midian – mengarah pada konsekuensi yang lebih fatalistik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa formasi dari sebuah asosiasi politik yang memerlukan subordinasi bagi tuhannya adalah merupakan sebuah fenomena universal. Atau dengan kata lain sudah menjadi sebuah gejala umum bahwa setiap asosiasi politik memiliki tuhan khusus yang menjamin keberhasilan tindakan politiknya. Dalam perkembangan selanjutnya, tuhan ini menjadi eksklusif dalam hubungan dengan orang luar dan pada prinsipnya ia menerima persembahan-persembahan dan doa-doa hanya dari anggota-anggota kelompoknya (Ibid,17). Inilah akar eksklusifisme dan partikularisme agama. Namun demikian, Weber juga berpendapat bahwa penaklukkan politik dan militer jugamembutuhkan kemenangan sosok tuhan yang lebih kuat atas tuhan yang lebih lemah dari kelompok yang ditaklukkan. Dalam hal ini, tidak setiap tuhan dari sebuah kelompok politik adalah sebuah tuhan lokal. Yahweh misalnya, digambarkan sebagai tuhan yang berjalan dengan dan menjadi pemimpin umatnya. Tetapi Yahweh juga digambarkan sebagai tuhan yang datang dari jauh, yaitu tuhan dari bangsa-bangsa yang tinggal di Sinai dan yang akan datang mendekat hanya ketika kebutuhan militer dari umatnya membutuhkan kehadiran dan partisipasinya. Menurut Weber, inilah akar evolusi konsep Yahweh sebagai tuhan yang omnipotent dan universal.

Page 7: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 35

tetapi dalam banyak kasus, doa seperti itu bersifat rasional dan

“tawar-menawar bisnis”. Sementara kurban adalah instrument

magis yang “memaksa” ilah-ilah. Salah satu pandangan tentang

kurban, khususnya kurban hewan adalah bahwa kurban itu

menandakan persekutuan antara manusia dengan ilah

(communion). Dengan merayakan acara makan bersama maka

tercipta komunitas persaudaraan antara yang memberi kurban

dengan yang menerima kurban. Hal ini merupakan transformasi

pemahaman bahwa dengan mengkonsumsi sebuah hewan, yang

dianggap punya kekuatan istimewa, maka kekuatan itu akan

berpindah kepada orang-orang yang makan hewan kurban itu.

Di sisi lain, terjadi peningkatan dominasi motif-motif non

magis yang ditimbulkan oleh pengakuan yang berkembang tentang

kekuasaan tuhan dan karakternya sebagai maharaja personal

(personal overlord). Tuhan menjadi tuhan yang hebat, yang tidak

dapat didekati lagi dengan cara-cara pemaksaaan magis, kecuali

dengan covenant dan hadiah. Sebetulnya hal ini tidak jauh berbeda

dengan cara magi itu sendiri. Sebab tema sentralnya sama, yaitu:

“do ut des” (memberi supaya diberi). Aspek ini melekat pada

perilaku religius yang rutin dan massif dari semua orang di

sepanjang zaman dan di semua agama. Kepentingan doa sangat

standar: mengatasi kejahatan eksternal di dunia dan menarik

keuntungan eksternal dari dunia ini. Karena itu menurut Weber,

setiap aspek dari fenomena religius, yang menunjuk pada yang

melampaui kejahatan dan keuntungan dalam dunia ini adalah,

hasil karya dari proses evolusi khusus, yang dicirikan oleh dua

aspek: Pertama, adanya sistematisasi rasional konsep tuhan dan

pemikiran yang berkenaan dengan hubungan-hubungan antara

manusia dengan tuhan;Kedua, terjadinya penyusutan karakteristik

rasionalisme kepada orisionalitas, kepraktisan, dan kalkulasi.

Penyusutan tersebut sangat dilatari dengan pencarian keuntungan

bagi kesuksesan ekonomi sehari-hari.

Selanjutnya, Weber pun mengulas aspek sosiologis dari

kemunculan keimaman (priestshood), sebagai sosok yang berbeda

dengan praktisi magis. Menurutnya, munculnya “imam”

Page 8: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

36 Religiositas Ambon-Kristen …

merupakan implikasi sosiologis dari adanya perbedaan antara

kultus dengan sihir. Namun bila diterapkan dalam realitas,

perbedaan ini menjadi cair, walaupun kultus dan sihir dapat

dibedakan dalam pengertian fungsi-fungsi profesional, di mana

kultus memengaruhi ilah melalui ibadah, dan sihir mendesak jin

dengan cara-cara magis. Hanya saja di dalam agama-agama besar,

termasuk Kristen, menurut Weber, konsep imam mencakup

kualifikasi magis. Selain itu, perbedaan antara imam dan magician

adalah, bahwa imam bertugas di dalam sebuah organisasi sosial,

sementara magician bekerja secara individual. Perbedaan lain

antara imam dengan magician adalah, bahwa imam membutuhkan

pengetahuan khusus, doktrin yang lengkap, dan kualifikasi

vokasional, sedangkan magician cukup dengan memiliki karisma.

Weber berpendapat bahwa, “There can be no priesthood without a

cult, although there may well be a cult without a special

priesthood”10.

Sejauh ini, Weber mencatat tiga cara memengaruhi

kekuasaan supernatural: (1) cara magis, (2) cara gratifikasi, dan

(3) cara kepatuhan pada hukum keagamaan. Memang, menurut

Weber, etika keagamaan tidak berangkat dari perspektif ini.

Namun tak dapat dipungkiri, ada sebuah sistem etika keagamaan

10 Ibid, 30. Bagi Weber, perkembangan penuh dari rasionalisasi metafisik dan etika

keagamaan membutuhkan imam yang independent dan terlatih secara professional, secara permanen dipenuhi dengan kultus dan dengan problem-problem praktis penyembuhan jiwa. Akibatnya etika berkembang menjadi sesuatu yang berbeda dengan agama yang terasionalisasi secara metafisik. Dampaknya – seperti yang terjadi di dalam pemikiran Cina klasik – agama kehilangan imam yang indipenden, demikian juga di dalam Buddhisme kuno yang kehilangan kultus dan imam. Akibatnya rasionalisasi kehidupan keagamaan mengalami fragmenter, atau hilang total, bila keimaman gagal meraih status kelas yang independen. Selanjutnya, ketika tuhan tampaknya seperti sudah tidak berkuasa, maka imam mempunyai cara tersendiri untuk menafsirkan mengapa hal tersebut bisa terjadi, terutama pada pihak perilaku para penyembah tuhan tersebut. Salah satu interpretasi imam adalah bahwa tuhan tidak dapat dipengaruhi karena para penyembahnya kurang menghormati dia. Di sini tentu saja yang berlaku adalah penyembahan bukan pemaksaan secara magis. Dalam hal inilah perbedaan antara gagasan tentang tuhan (god) dengan gagasan tentang jin (demon). Tuhan hanya dapat dipengaruhi melalui doa permohonan, sedangkan jin dipaksa melalui magis. Perbedaan lain adalah tuhan selalu dipahami sebagai yang memiliki kekuasaan yang berguna bagi manusia sedangkan jin memiliki kekuasaan yang membahayakan manusia. Dari sini kemudian muncul gagasan tentang karakter yang baik dan yang kejam di dalam pantheon. Gagasan tersebut kemudian berkembang menjadi gagasan tentang karakter etis tuhan, terutama di dalam agama monoteisme.

Page 9: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 37

yang sangat berpengaruh, yang secara tidak langsung datang dari

norma-norma tingkah laku magis. Weber berpendapat bahwa, di

manapun ada sebuah kepercayaan yang berkembang terhadap

roh-roh, maka ketika ada kejadian luar biasa di dalam kehidupan

seseorang, maka hal itu (dipandang) disebabkan oleh masuknya

sebuah roh tertentu ke dalam dirinya. Hal itu terjadi misalnya,

ketika orang mengalami sakit, kehamilan, menstruasi, dan lainnya.

Roh ini, dapat dianggap suci atau kotor. Dalam hal ini, orang tidak

boleh mengganggu roh itu agar roh itu tidak membahayakan

dirinya. Bagi Weber, inilah akar gagasan tentang tabu. Proses

lahirnya etika agama, terjadi seiring dengan rasionalisasi tabu

yang melahirkan sebuah sistem norma. Lewat proses rasionalisasi

tersebut, muncullah juga sebuah institusi sosial yang disebut

totemisme, sebagai simbol ikatan suatu kelompok sosial tertentu

dengan suatu objek (biasanya, benda alamiah dan manifestasi

paling murni dari totemisme adalah seekor hewan).11

Khususnya berkaitan dengan proses pembentukan sebuah

kongregasi (gereja atau jemaat), menurut Weber, hal itu

dipengaruhi oleh: Pertama, berawal dari masuknya doktrin-

doktrin nabi ke dalam kehidupan sehari-hari. Para murid nabi

kemudian menjadi guru-guru etis, imam-imam, dan pastor-pastor

yang melayani atau mengatur organisasi yang didedikasikan untuk

maksud-maksud keagamaan. Kedua, kongregasi muncul sebagai

konsekuensi dari pengrusakan sebuah asosiasi politik. Di dalam

nuansa tersebut, Weber melihat ada aspek politik dan ekonomi, di

balik berdirinya suatu kongregasi keagamaan. Salah satu

alasannya adalah, kongregasi keagamaan dianggap sebagai suatu

instrumen penting untuk memenangkan suatu penaklukkan. Bagi

Weber, hubungan antara otoritas politik dan komunitas religius,

yang darinya konsep denominasi religius berasal (konfession),

hanya bisa dipahami lewat penganalisisan dominasi. Selanjutnya,

perkembangan komunitas kongregasi keagamaan, akan

11 Implikasi sosiologis dari totemisme adalah pengaruhnya dalam menghasilkan

pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang dijamin dan diperkuat oleh motivasi-motivasi magis.

Page 10: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

38 Religiositas Ambon-Kristen …

menstimulus perkembangan doktrin iman. Akan tetapi,

perkembangan teologi juga ditentukan oleh situasi politik. Bahkan

bagi Weber, faktor-faktor pelayanan gereja seperti khotbah dan

pastoralia, turut kontributif membentuk suatu agama menjadi

agama profetik dan etik.12

Sementara itu, dalam hubungannya dengan seni, Weber

menyatakan bahwa Agama dan Seni memiliki keterkaitan yang

erat sejak awal. Sebab agama sudah menjadi sumber yang tak

pernah habis bagi ekspresi artistik dari eksistensi idol (berhala)

dan ikon; sementara musik,merupakan alat pembangkit ekstasis

yang menyertai tindakan pemujaan atau perlindungan dari roh

jahat. Lebih jauh, Weber mengidentifikasikan 3 ciri agama dan

seni, yaitu: (1) agama orgiastik, yang banyak mengakomodasi lagu

dan tarian; (2) agama ritual, yang cenderung mengarah ke seni

gambar; sedangkan (3) agama kasih, yang mendukung

pengembangan puisi dan musik.

Berkaitan dengan korelasi agama, etika dan politik, Weber

menegaskan bahwa, semakin agama berupaya untuk

mengorganisir dirinya sebagai sebuah kekuasaan yang independen

terhadap otoritas politik, maka semakin rasional etikanya. Bagi

Weber, hubungan agama dengan politik, pertama-tama ditentukan

oleh elit agama, dalam hal ini para imam. Melalui proses

rasionalisasi, maka agama terus mengalami evolusi, termasuk

dalam korelasinya dengan politik. Pada umumnya agama

berevolusi dari agama magis menjadi agama etis. Dalam hubungan

dengan proses ini, agama mengalami ketegangan dengan ruang

12 Tentang khotbah, Weber melihat hubungannya dengan agama profetik. Dalam hal

ini khotbah adalah instruksi kolektif yang berkenaan dengan hal-hal keagamaan dan etika yang terkait dengan kenabian. Selanjutnya khotbah akan merosot bila agama berubah dari agama profetik menjadi agama imamat. Demikian juga sebaliknya, khotbah akan berkembang ketika agama imamat berubah menjadi agama profetik. Sementara pelayanan pastoral ~ sebagai bagian dari kultivasi keagamaan, di dalam rasionalisasinya dan sistematisasinya adalah hasil dari agama yang dinyatakan secara profetik. Pelayanan pastoral dapat menjadi instrument kekuasaan imam karena dengannya imam dapat memengaruhi tingkah laku kehidupan. Bila ini terus berkembang maka agama akan mencapai karakter etisnya. Jadi, bagi Weber, semakin agama menjadi agama etis, semakin pelayanan pastoral dibutuhkan. Semakin pelayanan pastoral memengaruhi tingkah laku kehidupan, semakin agama menjadi agama etis.

Page 11: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 39

perilaku politik. Ketegangan ini, muncul setelah agama mencapai

status kesetaraan dengan asosiasi-asosiasi politik. Contohnya,

tuhan politik dari sebuah lokalitas, muncul dalam rangka proteksi

terhadap kepentingan politik asosiasi-asosiasi pengikutnya.

Demikian halnya dalam Kekristenan dan Islam, tuhan kadang

dijadikan sebagai ilah, sama seperti bagaimana tuhan-tuhan local

pun terlibat di dalam politik-politik perkotaan. Oleh sebab itu

sering tidak terhindarkan bahwa, keimaman bergantung pada

asosiasi politik, secara langsung maupun tidak langsung.

Ketergantungan ini cukup kuat terasa dalam kehidupan gereja

kontemporer, yang mendapat dukungan tunjangan dari

pemerintah.13

II.1.3. Emile Durkheim Tentang Agama:14

Untuk menjawab apa yang dimaksudnya dengan agama,

Durkheim memberikan catatan awal terhadap beberapa hal

substansial, yaitu:15 Pertama, upaya mendefinisikan agama harus

dimulai dengan membebaskan pikiran kita dari ide-ide pra-

pemahaman. Artinya, kita perlu memandang agama-agama dalam

kenyataan konkretnya. Kedua, pentingnya melihat ciri-ciri umum

yang mungkin dimiliki dari agama itu sendiri.

Dalam upaya untuk mengelaborasi lebih jauh

pengertiannya mengenai agama, Durkheim lalu melakukan riset

dengan memilih agama primitif sebagai subjek penelitiannya.

Karena menurutnya, agama primitif memperlihatkan aspek

kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen, dan oleh

sebab itu ia dapat menjelaskan hakikat religiositas manusia.

Baginya pula, di dasar semua sistem kepercayaan dan pemujaan,

ada sejumlah representasi fundamental dan pola perilaku ritual

13 Ibid,223. 14 Dirangkum dari beberapa karyanya, antara lain: (1) The Division of Labor in Society,

Second edtion (1902);(2) The Elementary Forms of The Religious Life(1965); dan (3) Suicide: AStudy in Sociology(1952).

15 E. Durkheim, The Elementary Forms of the Religious. Translated by Joseph Ward

Swain (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954),48.

Page 12: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

40 Religiositas Ambon-Kristen …

yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan

kapanpun, terlepas dari keragaman bentuknya masing-masing.

Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan manusiawi

dalam agama. Persoalan bagaimana cara mengungkapkan elemen-

elemen ini, membawa kita pada soal metodologi yang dipakai oleh

Durkheim, yaitu melihat bagaimana fenomena religius masih

membawa bekas-bekas yang jelas dari asal-muasalnya.16

Sehubungan dengan itu, Durkheim melihat bahwa, semua

kepercayaan religius memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu

klasifikasi tentang yang profan dengan yang sakral. Ia

memasukkan pada yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos,

dogma, legenda. Lalu, apa yang menjadi karakteristik yang sakral

itu sehingga bisa dibedakan dengan yang profan? Durkheim

menjawab: (1) Yang sakral cenderung memiliki martabat dan

kekuatan yang superior ketimbang yang profan, dan(2) Yang

sakral itu memiliki sifat absolut.17

Menurut Durkheim, antara yang sakral dengan yang

profan, ada perbedaan genus. Walaupun orang dapat beralih dari

dunia profan ke dunia sakral, tetapi kedua dunia itu berbeda

bahkan beroposisi satu dengan lainnya. Bahkan dalam pemikiran

manusia, konsep tentang yang sakral “selalu terpisah” dari konsep

tentang yang profan. Namun demikian,bukan berarti tidak ada

komunikasi atau tidak mungkin ada hubungan di antara keduanya.

Durkheim lalu mendefinisikan yang sakral itu sebagai: “hal-hal

yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan.” Sedangkan

yang profan itu merupakan: “hal-hal, tempat larangan-larangan itu

diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari hal-hal yang

sakral.” Dan bagi Durkheim, kepercayaan religius pada hakikatnya

adalah representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan

hal-hal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal yang sakral

lainnya, atau dengan hal-hal yang profan. Sementara ritus-ritus,

merupakan aturan tentang kelakuan yang menentukan bagaimana

16 Ibid,26. 17 Ibid,66-68.

Page 13: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 41

manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang

sakral.Dari sini kemudian, Durkheim berkesimpulan bahwa, agama

terbentuk ketika sejumlah hal yang sakral memiliki relasi

pengawasan dan subordinasi satu dengan yang lainnya dan

terbentuk semacam sistem koherensi yang tidak dimiliki oleh

sistem lain.18

Pada bagian lainnya, Durkheim menyinggung tentang

konsep magi. Menurutnya, magi mempunyai kesamaan dengan

agama. Misalnya, magi juga berisi kepercayaan, ritus, dogma, dan

mitos. Akan tetapi Durkheim juga mengingatkan bahwa seringkali

agama bermusuhan dengan magi. Bagaimana Durkheim

membedakan secara tegas antara agama dengan magi? Jawabnya

adalah, bagi Durkheim, agama memiliki kelompok sosial dan

komunitas moral tertentu, sedangkan magi tidak; ia lebih bersifat

individual. Dengan ini, maka secara implisit Durkheim tidak

menerima adanya agama personal yang bersifat individual.19

Pada akhirnya, Durkheim mendefinisikan agama

sebagai“kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang

berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan

terlarang; kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan

seluruh orang yang menganut dan yang meyakini hal-hal tersebut

ke dalam satu komunitas moral, yang misalnya disebut gereja,

khususnya all those who adhere to them.20

Menurut Durkheim, walaupun ada dua jenis agama

elementer yaitu naturisme dan animisme, namun bentuk agama

yang paling primer dan elementer adalah animisme.Bentuk agama

ini dimengerti sebagai yang primer dan elementer karena

animisme itu berkaitan dengan jiwa, roh dan alam. Sehubungan

dengan itu, ia pun lalu mengulas tentang asal-muasal pemujaan

terhadap jiwa, yang menurutnya di sekeliling kehidupan manusia

terdapat jiwa orang-orang yang telah meninggal. Jiwa-jiwa

tersebut melayang-layang bebas di dalam ruang, tetapi tidak

18 Ibid,70-72. 19 Ibid,76-78. 20 Ibid,80.

Page 14: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

42 Religiositas Ambon-Kristen …

mempunyai bentuk. Jiwa-jiwa ini tetap dapat memengaruhi

kehidupan manusia, baik secara positif maupun negatif. Manusia

pun, sesungguhnya ingin mengendalikan pengaruh jiwa-jiwa

tersebut terhadap kehidupannya sendiri. Di sinilah kemudian,lahir

praktik sesembahan, kurban, doa dan piranti-piranti peribadatan

religius lainnya. Pada saat inilah ~kata Durkheim~ jiwa-jiwa itu

mengalami transformasi, dari semata-mata inti kehidupan,

menjadi roh atau jin yang dapat memengaruhi kehidupan manusia,

bahkan menjadi dewa. Dan ini semua bisa terjadi, karena manusia

mengalami kematian. Jadi, menurut Durkheim pemujaan yang

paling awal dalam sejarah agama manusia adalah pemujaan

jiwa-jiwa nenek moyang. Dan ritus pertama adalah ritus

kematian, sesaji pertama adalah untuk roh-roh nenek moyang, dan

altar pertama adalah kuburan.

Kalau demikian, Durkheim mengajukan satu persoalan:

bagaimana pemujaan roh nenek moyang ini kemudian

dihubungkan dengan pemujaan terhadap alam? Untuk menjawab

persoalan ini, Durkheim mengikuti pemikiran Taylor yang

mengingatkan bahwa, cara berpikir orang primitif sama dengan

cara berpikir anak-anak, yang membayangkan segala sesuatu

berdasarkan alam manusia. Jadi, segala sesuatu memiliki jiwa

seperti diri manusia. Artinya, pandangan tentang manusia menjadi

pandangan tentang dunia. Dengan demikian, singkatnya, animisme

melahirkan naturisme. Demikian pemikiran Taylor yang dirujuk

oleh Durkheim.21

Dalam membahas naturisme, Durkheim merujuk pada

pemikiran Max Müller: “Nihil est intellectu quod non ante fuerit in

21 Akan tetapi, pemikiran Taylor tersebut dibantah oleh pemikiran Spencer. Bagi

Spencer, seprimitifnya manusia, ia masih bisa membedakan antara yang hidup dengan benda mati. Oleh sebab itu alasan yang membuat manusia primitif mengembangkan pemujaan leluhur menjadi pemujaan benda atau alam, dapat ditemukan dengan cara lain. Spencer kemudian mengajukan teorinya bahwa, bagi sebagian masyarakat terbelakang ada kebiasaan umum untuk menamakan seseorang dengan nama binatang, tanaman, bintang, atau lainnya ketika ia lahir. Pemujaan binatang atau benda-benda alam ada kaitannya dengan hal ini. Jadi, animisme berkembang menjadi naturisme karena manusia primitif melakukan penafsiran harafiah terhadap nama-nama metaforis yang dikenakan pada diri seseorang, ketika ia lahir (Ibid,89-90).

Page 15: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 43

sensu.” Artinya, tidak ada keimanan yang bukan pertama-tama

berasal dari indra. Prinsip ini, kemudian diaplikasikan dalam dunia

agama. Tetapi, selanjutnya pertanyaan Durkheim adalah,

pengalaman-pengalaman indrawi manakah yang telah melahirkan

pemikiran religius? Pertanyaan ini kemudian dijawab Durkheim

dengan melakukan kajian terhadap Veda. Dalam pengkajiannya

ditemukan bahwa, nama dewa (Agni) sebenarnya adalah nama

fenomena alam, yaitu api. Bagi Durkheim, ini menunjukkan bahwa

kekuatan alam merupakan objek pertama yang menjadi tujuan

perasaan religius. Objek-objek ini kemudian didewakan. Jadi, alam

merupakan sesuatu yang mengejutkan dan menakutkan oleh

kekuatan dan kedahsyatannya. Ketika manusia menemukan

kekuatan dan kedahsyatan itu konstan, maka terbukalah sebuah

wilayah bagi perasaan kagum yang bercampur takut.22 Inilah yang

kemudian memicu perasaan religius manusia. Demikianlah yang

terjadi dengan fenomena “api” yang kemudian berevolusi menjadi

sesosok dewa.

Jadi, kesimpulan Müller, seperti yang digarisbawahi oleh

Durkheim, tidak ada aspek alam yang tidak menciptakan rasa

lemah dalam diri manusia.Sebab manusia menyadari dirinya

terkurung di dalam dan terkuasai oleh ketidakterbatasan alam

dengan sensasinya. Dari kesadaran (sensasi) inilah, agama

berasal.23 Apa yang terjadi kemudian adalah, kekuatan-kekuatan

alam tersebut dirubah menjadi agen-agen personal. Jadi kekuatan

alam dipersonifikasikan. Inilah yang oleh Durkheim disebut

sebagai metamorfosis objek-objek pemujaan agama. Dalam

konteks inilah, bahasa menjadi penting. Dan bagi Durkheim, ada

22 Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Rüdolf Otto, sebagai ahli sejarah agama

berkebangsaan Jerman, yang menulis buku The Idea of the Holy (1917). Bagi Otto, rasa gaib itu (numinous) adalah dasar dari agama yang memiliki nuansa kemisteriusan yang dialektis: sebagaimysterium tremendum(yang mempesona) dan mysterium fascinans (menakutkan). Paradigma ini sempat mendapat banyak san antara sekitar 1950 dan 1990, tetapi sejak itu, telah kembali mendapatkan tempatnya lagi. Teolog Jerman-Amerika Paul Tillich mengakui pengaruh perspektif Otto pada dirinya, seperti halnya juga antropolog Rumania-Amerika:Mircea Eliade. Bahkan Eliade menggunakan konsep-konsep dari The Idea of the Holy sebagai titik tolak bagi bukunya sendiri yang terbit pada tahun1957, The Sacred and the Profane. Lihat, Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan ...,294-296.

23 Durkheim, The Elementary Forms...,93.

Page 16: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

44 Religiositas Ambon-Kristen …

dua hal yang dilakukan bahasa dalam hal ini: (1) Bahasa tidak

mengekpresikan hal atau individu tertentu, melainkan tipe-tipe

yang menjadi representasi tema-tema pikiran yang paling umum;

(2) Tipe-tipe yang dimaksudkan di sini adalah tipe-tipe tindakan.24

Selanjutnya, tentang Animisme dan Naturisme, Durkheim

berpendapat bahwa keduanya membangun konsep tentang tuhan,

yang berpijak pada pencerapan indrawi bahwa, fenomena alam

tertentu, baik fisikal maupun biologis, terdapat di dalam diri

manusia. Perbedaannya, menurut animisme, titik awal evolusi

agama ada pada mimpi-mimpi, sedangkan menurut naturisme,

pada gejala-gejala alam. Namun keduanya punya pendapat yang

sama yaitu, bahwa benih pertentangan antara yang sakral dengan

yang profan harus ditemukan di dalam alam itu sendiri. Bagi

Durkheim, baik manusia maupun alam,tidak bersifat sakral pada

dirinya sendiri. Kesakralan itu mesti datang dari luar. Menurut

Durkheim, di luar manusia individual dan dunia alamiah, terdapat

realitas lain yang ada hubungannya dengan makhluk khayali.

Artinya, di luar animisme dan naturisme, Durkheim yakin ada

pemujaan lain yang lebih primitif dan fundamental, yang menjadi

asal dari animisme dan naturisme itu. Pemujaan ini ~meminjam

istilah para etnografer~ Durkheim menyebutnya totemisme.25

Dalam pembahasannya tentang totem, Durkheim mulai

dengan mengamati kelompok yang punya tempat istimewa dalam

kehidupan kolektif, yang disebutnya “marga”, dengan karakter

utama: Individu-individu yang menjadi anggota marga, merasa

terikat satu sama lain oleh hubungan kekeluargaan. Hubungan ini

bukanlah sekadar hubungan darah oleh kelahiran. Tetapi, kata

Durkheim, mereka menjadi keluarga karena memakai nama yang

sama. Nama yang dimaksud dalam hal ini bukanlah nama

berdasarkan “gen” yang sama, tetapi nama dari benda-benda

24 Ibid,116-120. Demikian misalnya “guntur” disebut sebagai sesuatu “yang

menyambar” tanah, “angin” sebagai sesuatu “yang berhembus”, dan lain-lain. Semua gambaran ini seakan-akan menjadikan fenomena alam itu sebagai sesuatu yang personal dan dijadikan rujukan pemujaan (termasuk dari tumbuhan atau hewan tertentu).

25 Ibid,135-136.

Page 17: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 45

tertentu yang dianggap memiliki hubungan khusus kekeluargaan.

Nama dari benda-benda yang dipakai sebagai nama marga secara

kolektif itulah yang dimaksud oleh Durkheim sebagai totem.

Jadi,totem marga adalah totem anggota-anggotanya. Dalam hal ini,

setiap marga punya totem yang khusus baginya, yang tidak boleh

sama dengan marga lainnya, walaupun mereka satu suku. Dan

kebanyakan nama-nama totem diambil dari nama binatang atau

tetumbuhan. Jarang totem diambil dari nama benda mati, walau

ada juga sedikit.26

Pada sisi lainnya, Durkheim mengingatkan bahwa marga

hanya bisa hidup dalam dan oleh karena kesadaran-kesadaran

individual yang membentuknya. Itu berarti sejauh kekuatan

religius dianggap sebagai sesuatu yang mewujud di dalam

lambang-lambang totemik, maka kekuatan tersebut bersifat

eksternal bagi individu dan bergabung dengan sesuatu yang

transenden. Di pihak lain, kekuatan tersebut hanya bisa nyata di

dalam dan oleh individu-individu, tepat seperti marga yang dia

simbolkan. Artinya, kekuatan itu imanen di dalam individu-

individu anggota kelompok, dan mereka harus membayangkannya

seperti itu.

Dari banyak contoh yang ada, Durkheim berpendapat

bahwa posisi totem sangat penting dalam kehidupan sosial

masyarakat primitif. Ia digunakan juga dalam upacara-upacara

religius dan menjadi bagian dari ritus. Karena itu, menurut

Durkheim,saat totem memiliki label kolektif, maka dia sekaligus

memiliki karakter religius. Totem menjadi dasar rujukan untuk

menggolongkan mana yang sakral dan mana yang profan.27

26 Durkheim menyebut tiga persyaratan totem di dalam suku-suku:

a. Anak-anak memiliki totem yang sama dengan ibunya. Karena itu totem tidak mempunyai basis teritorial, apalagi dalam konteks perkawinan eksogami. Seorang istri punya totem yang beda dengan suaminya. Dan anak biasanya mengikuti totem ibunya.

b. Namun di tempat lain, totem terbawa lewat garis paternal. Jadi, semua orang di suatu tempat memiliki totem yang sama, kecuali para istri.

c. Totem anak bisa juga beda dengan ayah dan ibunya, tetapi mengikuti totem leluhur mistis. (Ibid,160-161)

27 Ibid,178.

Page 18: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

46 Religiositas Ambon-Kristen …

Pertanyaan signifikan selanjutnya adalah, di manakah

tempat manusia dalam sistem benda-benda religius (totem) ini?

Menurut Durkheim, berdasarkan kepercayaan pada totem, maka

setiap individu memiliki hakikat ganda: ada dua macam makhluk

dalam dirinya, yakni manusia dan sekaligus binatang yang menjadi

totemnya. Sebab baginya, totem mengekspresikan dan

menyimbolkan dua hal berbeda, yakni: (1) Totem merupakan

bentuk luar dan kasat mata dari apa yang disebutnya prinsip

totemik atau tuhan; (2)Totem juga merupakan simbol dari sebuah

masyarakat yang disebut marga. Namun,Durkheim menandaskan,

jika totem merupakan simbol dari tuhan dan masyarakat, itu

berarti tuhan dan masyarakat adalah satu dan sama. Kendati

demikian, bila setiap individu anggota masyarakat tergantung dan

patut untuk menaati tuntutan-tuntutan masyarakat, maka dengan

begitu individu laksana hamba yang melayani kepentingan

masyarakat. Dalam konstelasi demikian, sesungguhnya

masyarakat pun tidak berbeda dengan konsepsi tuhan dalam

agama.28

Lebih jauh, menurut Durkheim, apa yang disebut tuhan

yang sama dengan masyarakat, sesungguhnya ia bukan hanya

sebuah otoritas yang menjadikan manusia atau individu sebagai

sasarannya, tetapi juga sebuah kekuatan yang menekan manusia

atau individu. Manusia yang taat pada tuhannya, dan dengan itu ia

merasa tuhan beserta dengan dia, akan masuk ke dalam dunia

dengan kepercayaan diri dan punya kekuatan.29.

28Ibid,305-306. 29Hal yang sama –menurut Durkheim– terjadi juga dalam hubungan antara

masyarakat dengan individu yang menjadi anggotanya. Artinya, kekuatan yang dimiliki masyarakat tidak hanya bersifat eksternal bagi seorang individu, tetapi kekuatan itu kemudian menjadi kekuatan internal juga dalam individu. Menurut Durkheim, daya dorong masyarakat terhadap individu di atas akan muncul dalam keadaan-keadaan tertentu, yakni: (1) Dalam sebuah pertemuan untuk kegiatan bersama, individu akan merasakan adanya

desakan untuk berperilaku sama sekali bukan berdasarkan kemauan individualnya. Ketika pertemuan itu selesai maka individu bisa kembali pada kemauannya sendiri.

(2) Ketika seseorang berbicara di depan khalayak ramai, seseorang dapat mencapai “rasa kebersamaan” dengan khalayak ramai tersebut dan ia mulai menampilkan postur-postur yang ganjil, bahasayang bersemangat, yang kesemuanya akan terasa ganjil bila ditunjukkan di luar khalayak ramai tersebut. Keberanian dan semangat untuk menampilkan postur dan kata-kata yang penuh semangat itu –kata Durkheim– tidak

Page 19: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 47

Dalam hal inilah, bagi Durkheim masyarakat itu adalah

sebuah kesatuan moral, karena ia memiliki kekuatan dan energi

untuk mengatur tindakan seorang individu. Hal ini, menurut

Durkheim, sama dengan apa yang dilakukan tuhan terhadap

umatnya.30 Bagi Durkheim, masyarakat tidak pernah berhenti

menciptakan hal-hal sakral baru. Di dalam masyarakat, seringkali

terjadi ada seseorang yang dianggap sebagai representasi energi

dan pengaruh masyarakat terhadap individu. Seseorang itu akan

ditempatkan pada posisi istimewa dan kemudian didewakan.

Terhadap orang-orang tersebut, ada keharusan untuk menjaga

jarak bagi anggota-anggota lainnya, harus menggunakan bahasa

yang khusus bila berkomunikasi dengan mereka, harus bertindak-

tanduk khusus bila bergaul dengan mereka. Dan bagi Durkheim,

semua tindakan ini melibatkan perasaan religius karena

kesakralannya. Itulah yang terjadi misalnya, dengan sikap dan

tindakan yang diberikan kepada para raja dan bangsawan.

Durkheim pun menyatakan ketidaksetujuannya dengan

pendapat yang mengatakan bahwa, ide-ide religius itu dikaitkan

pertama-tama dengan perasaan lemah dan tertindas. Yakni pada

saat manusia merasa dikelilingi oleh daya-daya yang jahat dan

menakutkan, ritus-ritus dilakukan untuk membujuk daya-daya itu,

dan sekaligus menjadi tujuan utama dari ritus keagamaan

tersebut. Pemahaman ini ditolak oleh Durkheim, sebab baginya

kemunculan agama pada titik awal evolusi adalah bahwa, orang-

orang primitif memandang daya-daya itu sebagai sesuatu yang

baik dan bersahabat. Dan itu ada pada totem mereka. Oleh sebab

datang dari individu sang pembicara, tetapi datang dari kelompok atau khalayak yang sedang mendengar pidatonya. Jadi kata Durkheim: “yang berbicara bukan lagi individu, tetapi sebuah kelompok yang telah berinkarnasi dan memiliki sosok seorang manusia.”

(3) Selain kedua keadaan tersebut di atas, keadaan di mana pengaruh peristiwa-peristiwa keterkejutan kolektif dalam perjalanan sejarah membuat interaksi sosial semakin intensif dan aktif sehingga individu-individu tergerak untuk saling mencari dan membuat ikatan bersama. Ini misalnya terjadi dalam epos revolusi. (Lihat, Ibid,310-311)

30Ibid,312.

Page 20: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

48 Religiositas Ambon-Kristen …

itu, ritual totemic, selalu dipenuhi dengan tarian dan

kegembiraan.31

Terkait dengan korelasi totem, jiwa dan penyembahan atau

pemujaan terhadap leluhur, serta larangan,Durkheim memberikan

beberapa catatan mendasar, yang dapat dikemukakan antara lain

sebagai berikut:32

Pertama, Tidak ada masyarakat tanpa agama, dan tidak ada

tidak ada agama yang tidak memiliki representasi-representasi

kolektif yang berkaitan dengan jiwa;

Kedua, Jiwa dapat dipahami dan dibedakan dengan tubuh,

namun tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, bila tubuh mengalami

kehancuran, maka jiwa bisa tetap bertahan di dalam dunia jiwa itu

sendiri. Demikianlah pada orang-orang yang telah mati.Secara

jasmani mereka telah tiada, tetapi jiwa mereka tetap ada, dan

tinggal di “negeri jiwa-jiwa”.33

Ketiga, Leluhur adalah (a) individu-individu yang superior

dan dihormati serta memiliki kemampuan magis dan melawan

hukum-hukum alam yang normal; (b) Para leluhur mempunyai

multi-wujud.34

Keempat, Bagi Durkheim, pemujaan (terhadap leluhur)

mempunyai dua sisi: negatif dan positif. Dan berdasarkan

pembagian yang sakral dengan profan maka menurutnya, seluruh

ritus bermaksud untuk mewujudkan pemisahan itu. Pemujaan

negatif adalah pemujaan atau ritus yang berisi pantangan atau

larangan (tabu) untuk mengalami suatu “kontak” dengan yang

sakral tersebut.35

31Ibid,329. 32 Ibid,354. 33 Dengan mengacu pada teori Spencer dan Gillen, Durkheim menekankan sifat

reinkarnasi jiwa. Itu berarti, seorang individu adalah reinkarnasi jiwa leluhurnya (Ibid,277.)

34 Ibid,364 – 365. 35 Ibid,440-444. Yang dimaksud dengan “kontak” di sini, bukan hanya bersentuhan

secara fisik, tetapi juga melihathal-hal yang dianggap sakral tidak boleh dilihat oleh kebanyakan orang atau orang-orang yang profan. Selain melihat, juga larangan untuk berbicara. Yang profan tidak boleh berbicara dengan yang sakral. Ada juga kata-kata atau suara yang sakral, yang tidak boleh dikeluarkan oleh yang profan. Kata-kata itu misalnya, nama totem atau leluhur atau nama orang yang dianggap sakral. Demikian sebaliknya, hal

Page 21: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 49

Kelima, Khususnya perihal “larangan”, Durkheim membagi

dua bentuk larangan fundamental:

(a) Kehidupan religius dan kehidupan profan, tidak bisa berada

dalam satu ruang yang sama.

(b) Kehidupan religius dan kehidupan profan tidak boleh berada

di dalam waktu yang sama.

Keenam, Catatan yang dapat dikemukakan terkait dengan

pandangannya tentang pemujaan positif dan negatif, antara lain

sebagai berikut:

(a) Pemujaan negatif merupakan prakondisi untuk bisa

berhubungan dengan pemujaan positif. Pemujaan positif tidak

berfungsi melindungi hal yang sakral dari yang profan. Ia

berfungsi merubah kesadaran pemuja secara positif. Setelah

pemuja melewati pemujaan negatif maka selanjutnya ia

masuk dalam pemujaan positif. Jadi, pemujaan negatif menjadi

semacam inisiasi bagi pemuja, untuk menyeberangi batas

antara dunia profan dengan sakral. Karena praktik inisiasi

selalu menjadi waktu yang kritis,oleh sebab menjadi puncak

pemujaan negatif di mana ritual-ritual asketik terjadi, maka

orang yang diinisiasi harus “dikucilkan” dari masyarakat,

dengan tujuan untuk merubah secara radikal status orang

yang diinisiasi. Dengan konsepsi dan praktik ini, maka –

menurut Durkheim– apa yang disebut asketisme, posisinya

dalam kehidupan religius, asalnya, dan fungsinya, dapat kita

pahami. Asketisisme, dengan demikian tidak lain adalah

pemujaan negatif atau sebuah proses inisiasi.36

(b) Pemujaan negatif melahirkan kesalehan negatif, dan

pemujaan positif melahirkan kesalehan positif. Kesalehan

negatif adalah pengekangan diri dan kesalehan positif adalah

pemberian persembahan. Dengan demikian, kesalehan negatif

–kata Durkheim– adalah bagian kehidupan religius yang

yang profan tidak boleh dicampurkan dengan kehidupan religius. Lebih jauh lagi, tindakan dan aktivitas sehari-hari dilarang untuk dilakukan selama kehidupan religius berjalan, misalnya makan. Di sinilah kita bisa memahami puasa sebagai sebuah praktik religius, atau menguduskan hari Sabat dengan tidak boleh bekerja.

36Ibid 457.

Page 22: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

50 Religiositas Ambon-Kristen …

paling esensial. Dan karena itu, tidak ada agama yang tidak

memiliki benih asketisisme, karena tidak ada agama yang

tidak memiliki “larangan”. Tetapi menurut Durkheim,

asketisisme tidak hanya mempunyai tujuan religius seperti

yang digambarkan di atas. Di dalamnya juga, ada kepentingan

sosial dan moral dalam bentuk simbolik.37

II.2. Religiositas

Religiositas memang berbeda dengan agama (religion),

namun dalam asas-asas fundamentalnya, keduanya memiliki

korelasi yang tak dapat dipisahkan.38 Bagi penulis, korelasi ini

dapatlah diungkapkan dengan konstatasi: “Semua agama

memiliki religiositas, kendati tidak semua religiositas harus

merujuk pada (suatu) agama.”39 Dalam rangka menyelami

konstatasi penulis ini, maka setelah dilakukan penelusuran

terhadap beberapa teori agama, maka pada bagian ini, akan

dilakukan penelusuran terhadap etimologi, multi-perspektif

teoritis dari beberapa pakar tentang religiositas beserta

perbandingannya dengan spiritualitas.

II.2.1. Pengertian Etimologi-Leksikal dan Pemaknaannya

Penelusuran etimologi-leksikal tentang religiosity, merujuk

pada beberapa sumber utama ensiklopedia maupun kamus,40 yang

hasilnya dapat dikompilasikan sebagai berikut:

37Ibid. 38 Bandingkan ulasan Maarten ter Borg tentang “Fundamentals and Civil Religiosity”,

sebagaimana dirujuk dalam Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiostias Sipil di Indonesia,Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama, Fakultas Teologi UKSW, 2015),66. Lihat pula pandangan Huber yang mensyaratkan afiliasi agama sebagai variabel yang berpengaruh dalam pembentukan religiositas seseorang atau suatu komunitas; namun pada sisi lainnya Riesebrodt tidak mensyaratkan koherensi sistimatis antara religiositas dan agama (Dalam, Sandra Hubert, The Impact of Religiosity.., 43,48).

39 Bandingkan Barbara B. Holdcroft, “What is Religiosity” Article 8, July 2013 in Catholic Education: A Journal of Inquiry and Practice,Volume 10 | Issue 1, 89.

40Antara lain yang penulis gunakan: (1) James Hastings, ed. Encyclopaedia of Religion and Ethich, Vol.X, Edinburgh: T. & T. Clark; New York: Charles Scribner’s Sons, 1980; (2) J.A.Simpson & E.S.C. Weiner, The Oxford English Dictionary, 2nd Edition, Vol.XIII, Oxford: Clarendon Press, 1989; (3)Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Springfield, MA-USA: Merriam-Webster, Inc.,2006; (4) Webster’s New World College Dictionary, Revised

Page 23: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 51

Pertama, Menurut kamus Oxford41, religiosity berasal dari

bahasa Latin kemudian (Late Latin):religiõsitȇ. Kata inipun

diperbandingkan dengan kata Perancis: religiositȇ yang digunakan

pada abad ke-15. Sedangkan untuk kata religiousness,diartikan

sebagai religious feeling atau sentiment, yakni the state of character

of being religious.42

Kedua, Eksplorasi lebih mendalam diperoleh dari Webster’s

New Explorer Encyclopedic Dictionary (halaman 1550c), yang

antara lain mencatat bahwa, kata religous merupakan bentuk

adjective [berasal dari era Inggris pertengahan, yang diderivasikan

dari Perancis tua religieus, dan juga dari Latin religiosus, dan kata

religion], yang mulai digunakan pada abad ke-13, untuk menunjuk

pada “A member of a religious order under monastic vows.”

Ketiga, James Gardner, dalam Encyclopaedia of Faiths and

Religions of The World, (halaman 1749a), mengulas lebih jauh

bahwa, pada abad ke-13 tersebut telah mulai berkembang 4 ordo,

yakni: dominicans, fransiscans, Carmelites, dan Augustinian.

Keempat kelompok ini berkembang pesat di seluruh Eropa,

melalui pengudusan dan penyangkalan diri, sehingga mereka

dikenal luas. Dengan demikian, sebutan religious menunjuk pada

mereka yang terlibat di bawah sumpah, untuk menjadi anggota

dari suatu tatanan monastic tersebut, ketika mereka mulai

dianggap sebagai suatu kelas spiritual secara khusus.

Selanjutnya, kata religious tersebut, yang kemudian

menjadi noun dalam bentuk religiosity, mengandung arti, a.l.: (a)

Suatu sikap religius yang berhubungan dengan penghayatan imani

terhadap suatu ultimate reality or deity (a religious person) yang

diakui;(b) sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan religius

& Updated Third Edition, USA: Macmillan, 1996.; dan (5) James Gardner, Encyclopaedia of Faiths and Religions of The World, Vol.V,New Delhi: Aryan Books International, 1999.

41Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Springfield, MA-USA: Merriam-Webster, Inc.,2006, 570a–570b. Rujukan etimologi yang sama juga digunakan di Webster’s New World College Dictionary,1134a.

42 Tambahan pula dengan mengutip Z.A. Ragozin, dalam Chaldea, iii, 149, dikonstatir bahwa “Man has all that animals have, and two things which they have not: speech and religiosity.”

Page 24: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

52 Religiositas Ambon-Kristen …

atau pengalaman religius; dan (c) suatu kesetiaan yang sungguh

dan bersifat hati-hati serta penuh semangat.

II.2.2. Religiositas dalam Perspektif Sosiologi Agama

II.2.2.1. Akar Religiositas

Secara teoritis, dalam perspektif studi agama-agama, akar

religiositas ini patut diakui merujuk pada perspektif Rüdolf Otto.

Sebagai seorang teolog Protestan dan ahli sejarah agama

berkebangsaan Jerman, yang menulis buku khusus bertajuk The

Idea of the Holy (1917), Otto meyakini bahwa rasa gaib (numinous)

adalah dasar dari agama.43 Perasaan itu mendahului setiap hasrat

untuk menjelaskan asal-usul dunia atau menemukan landasan

untuk berperilaku, beretika. Kekuatan gaib dirasakan manusia

dengan cara yang berbeda-beda ~terkadang ia menginspirasikan

kegirangan liar dan memabukkan, terkadang ketenteraman

mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum dan hina di

hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap

aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan

menyembah dewa-dewi, mereka tidak sedang mencari penafsiran

harafiah atas fenomena alam. Kisah-kisah simbolik, lukisan, dan

ukiran di Goa misalnya, adalah usaha untuk mengungkapkan

kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas

ini dengan kehidupan mereka sendiri.Bahkan, sebenarnya para

seniman, sastrawan, dan pemusik pada masa sekarang juga, sering

dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Neolitik

misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus dewi Ibu

mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang

mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya adalah sakral.44

Lebih jauh, Otto mendefinisikan konsep tentang yang

kudus sebagai apa yang dianggap numinus. Otto menjelaskan

43 Rüdolf Otto, The Idea of The Holy, An Inquiry Into The Non-Rational Factor in The

Idea of The Divine and Its Relation to The Rational. London-Oxford-New York: Oxford University Press, 1977,5 ff.

44Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun (Bandung: Mizan, 2002),294-296.

Page 25: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 53

bahwa, yang numinus itu sebagai "pengalaman yang non-rasional

dan tidak terindrawikan, atau perasaan yang objek utamanya yang

langsung berada di luar diri pribadi". Ia menciptakan istilah ini

berdasarkan kata bahasa Latin, numen (Tuhan). Ungkapan ini,

secara etimologis tidak berkaitan dengan gagasanImmanuel Kant

tentang noumenon, yaitu sebuah istilah bahasa Yunani yang

merujuk kepada suatu realitas yang tidak dapat diketahui, yang

ada di balik segala sesuatu. Yang numinus bagi Otto adalah, sebuah

misteri [bahasa Latin]: yang mempesona (mysterium fascinans)

dan sekaligus juga menakutkan (mysterium tremendum).

II.2.2.2. Lima Parameter Dimensi Religiositas

Dari banyaknya pemikiran tentang religiositas dengan

pelbagai variabelnya,45 penulis cenderung untuk merujuk pada

pandangan Glock dan Stark yang lebih sosiologis dan

fenomenologis, yang mengintrodusir 5 (lima) dimensi religiositas

dalam diri manusia yang dapat diperikan sebagai berikut:46

(1) Dimensi keyakinan (The Belief Dimension).

Dimensi ini dibentuk oleh ekspektasi bahwa, religiositas itu

memiliki sandaran dimensional pada suatu keyakinan

tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.

Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan, di

mana para penganutnya diharapkan akan taat. Walaupun

demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi, tidak

hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di antara

tradisi-tradisi.

45 Antara lain yang dapat disebut: (1) Kelly (1955); (2) Allport (1961); (3) Lenski

(1963); (4) Cardwell (1980); (5) Ellison, et.al. (1989); (6) Kecskes & Wolf (1993); (7) Bergan & McConatha (2000); (8) Huber (2003); (9) Riesebrodt (2010). Lihat, Barbara B. Holdcroft, “What is Religiosity” Article 8, July 2013 in Catholic Education: A Journal of Inquiry and Practice,Volume 10 | Issue 1, dan Sandra Hubert, “The Impact of Religiosity on Fertility - A Comparative Analysis of France, Hungary, Norway, and Germany”. Dissertation at Ruhr-University Bochum (Bochum, Germany: Springer VS, 2014.

46 Charles Y. Glock and Rodney Stark. Religion and Society in Tension (Chicago: Rand McNally & Company, 1965), 20-31.

Page 26: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

54 Religiositas Ambon-Kristen …

(2) Dimensi Praktik agama (The religious practice dimension).

Religiositas itu pun memiliki keterkaitan dengan dimensi

ritual atau praktik agama, yang terdiri dari dua varian

penting:

2.1. Ritual yang mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan

keagamaan formal dan praktik-praktik suci, yang mana

semua agama mengharapkan hal-hal tersebut

dijalankan oleh para penganutnya;

2.2. Ketaatan (Komitmen) dan ritual bagaikan ikan dengan

air, meskipun ada perbedaan penting. Apabila aspek

ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik,

semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat

tindakan persembahan dan doa (devosi) pribadi.

(3) Dimensi Pengalaman (The experience dimension)

Dimensi ini mengisyaratkan bahwa semua agama

mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Walau

tidak tepat pula jika dikatakan bahwa, seorang yang beragama

dengan baik, pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan

subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (yakni

kenyataan bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak

dengan perantara supernatural). Dimensi ini, berkaitan

dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan

sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau

didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu

masyarakat), yang melihat komunikasi, walaupun kecil

dengan suatu esensi ketuhanan, sebagai kenyataan terakhir,

yang memiliki otoritas transendental. Tegasnya, ada kontras-

kontras yang nyata dalam berbagai pengalaman tersebut,

yang dianggap layak oleh berbagai tradisi dan lembaga

keagamaan.Dalam hal dekatnya jarak dan dan praktiknya,

agama-agama juga bervariasi. Namun, setiap agama memiliki

paling tidak nilai minimal terhadap sejumlah pengalaman

subjektif keagamaan sebagai tanda religiositas personal

maupun komunal.

Page 27: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 55

(4) Dimensi Pengetahuan (The Knowledge Dimension)

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa, orang yang

beragama, paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan

minimal mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus kitab

suci, dan tradisi-tradisi.Walau demikian, dimensi ini tidak

menjadi suatu prasyarat yang mengikuti adanya suatu

keyakinan. Sebab, bisa juga ada orang yang sangat kuat dalam

berkeyakinan namun kurang dari aspek pengetahuannya ia.

(5) Dimensi Konsekuensi (The consequences dimension)

Dimensi ini mengisyaratkan identifikasi akibat-akibat dari

keyakinan keagamaan, praktik,pengalaman dan pengetahuan

terhadap seseorang atau suatu komunitasyang (akan) terjadi

kemudian, sebagai konsekuensi dari ketaatan ataupun

ketidaktaatannya.

II.2.2.3. Religiositas dan Simbol

Bagi Eliade, manusia adalah homo symbolicus,47 dan semua

aktivitasnya, termasuk religiositasnya, memiliki korelasi

simbolisme. Hal ini sepenuhnya benar, jika kita mengetahui bahwa

setiap perilaku keagamaan dan objek kultus, ditujukan kepada

realitas meta-empiris. Ketika sebuah pohon menjadi objek kultus,

ia dipuja bukan sebagai sebatang pohon melainkan sebagai sebuah

hierofani,48 manifestasi dari yang sakral. Dan setiap perilaku

keagamaan, dengan fakta sederhana bahwa ia religius, dilengkapi

dengan sebuah makna yang, dalam contoh terakhir, bersifat

“simbolik”yang adikodrati, karena ia merujuk kepada nilai-nilai

atau wujud-wujud.

Sehubungan dengan simbol, Clifford Geertz pun

memberikan (semacam) definisi kerja tentang agama, sebagai

sebuah definisi yang dapat diimplementasikan dalam melihat

korelasi simbol dengan religiositas (keberagamaan), yaitu sebagai:

(1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2)

47 Ulasan dalam, Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000), 182. 48 Tentang hierofani, Lihat Eliade, Patterns in Comparative Religion(New York,1958),3.

Page 28: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

56 Religiositas Ambon-Kristen …

menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang

meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan (3)

merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum

eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan

semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan

motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.49 Dengan mengikuti

Langer, Geertz pun merumuskan definisi simbol sebagai “setiap

objek, tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat

berperan sebagai wahana suatu konsepsi; dan konsepsi ini adalah

‘makna’ simbol tersebut.”50 Simbol-simbol keagamaan merupakan

simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia

sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan”, dan

simbol-simbol tersebut berguna untuk menghasilkan dan

memperkuat keyakinan keagamaan.51

II.2.2.4. George Simmel Tentang Religiosity52

Laermans mengulas pemikiran tentang George Simmel

mengenai religiositas, antara lain:

Simmel memberi perhatian khusus yang ditujukan pada

dua bentuk basis sosial dari religiositas, yakni belief atau trust, dan

the experience of social unity. Menurut Simmel, agama merupakan

suatu eksternalisasi dan sekaligus pula purifikasi terhadap

religiositas, yang berakibat pada penciptaan suatu suasana otonom

dari sesuatu yang transendensial.

Bagi Simmel, religiositas sesungguhnya merupakan suatu

istilah primer, karena tidak ada agama tertentu tanpa wujud yang

khas dari suatu religiositas yang bersentuhan dengan kehidupan

pada umumnya. Semula, Simmel menunjuk kata “religoid” sebagai

suatu kata yang mungkin ekuivalen dengan kata religiosity.Namun

kemudian, ia mengabaikannya, karena baginya, kata tersebut

49 Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5. 50 Dalam F.W. Dillistone, The Power of Symbols- Daya Kekuatan Simbol (Yogyakarta:

Kanisius,2002),116. 51Ibid. 52Merujuk pada artikel Rudi Laermans, “The Ambivalence of Religiosity and Religion:

A Reading of George Simmel”. Dalam Jurnal Sosial Kompas, Vol. 53, No.4, 2006:479-489.

Page 29: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 57

cukup “mengerikan”. Bagi Simmel, sebagaimana bukan

pengetahuan yang melahirkan kausalitas melainkan kausalitaslah

yang melahirkan pengetahuan, maka demikian pula, bukan

religion yang melahirkan religiosity melainkan sebaliknya,

religiosity-lahyang melahirkan religion.

Dalam pandangan Simmel, religiosity merupakan bentuk

dasar dimana “the entire exixtence” (das sein), mengekspresikan

dirinya sendiri dalam suatu nada suara tertentu (particular

tonality). Dalam konteks ini, pandangan Simmel cukup

dipengaruhi oleh paham historisme-nya neo-Kantian. Bahwa

bukan hanya setiap jenis pengetahuan dari kehidupan sosial atau

individu ~termasuk pengetahuan yang digunakan dalam

kehidupan sesehari~, melainkan juga kehidupan itu sendiri

terkritalisasi dalam suatu ruang terbatas,dari suatu bentuk apriori

dimana hal tersebut dapat menjangkau suatu kondisi

tertentu.Karena itu bagi Simmel, religiosity merupakan suatu

bentuk eksistensial dan sosial.

II.2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Religiositas

Pada galibnya, ada faktor internal dan eksternal yang turut

memengaruhi religiositas.

Pertama, Faktor Internal:

Patut diakui bahwa, paling kurang ada lima kemampuan atau daya

pada internal manusia yang turut memengaruhi religiositasnya,

yakni:53

(1) Daya vegetatif, yakni kemampuan untuk bertumbuh yang

memungkinkan manusia berkembang dan menjadi dewasa;

(2) Daya mengindra, yang memungkinkan manusia dapat

menerima rangsangan seperti panas, dingin dan sebagainya.

Begitupun melalui daya ini, manusia mampu untuk mengecap,

mencium, mendengar, melihat pelbagai objek religus yang

mengitarinya;

53 Al-Farabi, Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah (The Perfect State). Ed. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 164-170.

Page 30: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

58 Religiositas Ambon-Kristen …

(3) Daya imajinatif, yang memungkinkan manusia masih tetap

mempunyai kesan atas apa yang dirasakan, kendati di luar

jangkauan indrawinya.

(4) Daya kognitif, yang memungkinkan manusia dapat memahami

sesuatu dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri;

(5) Daya rasa, yang membuat manusia memiliki kesan dari apa

yang dirasakan: suka atau tidak suka.

Kedua, Faktor Eksternal:

Tak dapat dipungkiri, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang

tidak hidup di ruang hampa bebas interaksi. Sebagai makhluk

sosial, tentunya manusia mengalami perjumpaan, persinggungan,

pengadaptasian, dalam suatu proses dialektika yang tak

berkesudahan. Sejumlah faktor eksternal, seperti lingkungan alam

(geografis), budaya, politik, ideologi, agama-agama (termasuk

agama suku), dan realita sosio-historisnya, secara langsung

maupun tidak langsung sangat memengaruhi religiositas umat

manusia itu sendiri. Pengaruh tersebut bukan tidak mungkin dapat

melahirkan suatu sintesis religiositas yang baru, dinamis dan

hibrid sifatnya, sebagai resiko dari perjumpaan religiositas

tertentu dengan pelbagai variabel lainnya, di konteks ruang dan

waktunya.

II.2.4. Perbandingan antara Spiritualitas dan Religiositas

Untuk menghindari kerancuan terhadap persepsi dan

penerapan istilah spiritualitas dan religiositas, tampaknya perlu

untuk mengikuti paparan Ratnakar dan Nair yang membedakan

spiritualitas dan religiositas, sebagaimana pada tabel berikut:

Tabel II.1. Perbedaan antara Religiositas dan Spiritualitas

NO KETERANGAN SPIRITUALITAS RELIGIOSITAS

1 Pengertian Keinginan batin akan

makna

dan komunitas

Sistem kepercayaan

terorganisir

Page 31: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 59

NO KETERANGAN SPIRITUALITAS RELIGIOSITAS

2 Keterkaitan Tidak tergantung

pada

kepercayaan tertentu

Dapat berfungsi sebagai

jalan untuk memelihara,

memahami dan

ekspresikan

spiritualitas

3 Cakupan

Konsep

Konsep yang lebih

luas

mewakili

kepercayaan dan

nilai

Konsep yang lebih kecil

mengacu pada perilaku,

memiliki prinsip,dogma,

dan doktrin yang telah

ditentukan

4 Cara Pandang Melihat ke dalam diri

individu,

lebih inklusif, berlaku

universal &

mencakup beragam

ekspresi keterikatan

Sering melihatnya dari

luar, upacara dan ritual

tertentu terkadang

cenderung dogmatis dan

ekslusif

Sumber: Ratnakar dan Nair (2012).54

Dari penelusuran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

spektrum pengertian tentang religiositas yang terangkum dalam

beberapa simpul, antara lain sebagai berikut:

Simpul Pertama: Secara denotatif, istilah religiositas

menunjuk pada ikatan pengetahuan, sikap dan perilaku manusia,

baik secara personal maupun komunal terhadap “Yang Ilahi”, yang

dialami secara konkret dalam realitas konteksnya (sosial, budaya,

agama, dan sebagainya).55 Ikatan tersebut melahirkan suatu

kesadaran yang disebut religiositas, yang berakar pada sesuatu

yang disegani dan disenangi sebagai “Tuhan” (mysterium

tremendum et fascinans).

54 Dalam Artikel Daru Asih, Dimensi-Dimensi Spiritualitas dan ReligiositasDalam Intensi

Keperilakuan Konsumen, Yogyakarta: Program Doktoral Managemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, 2015. Diunduh dari: https://www.researchgate.net/ publication/282854302_Dimensi-dimensi_Spiritualitas_dan_Religiositas_dalam_intensi_ keperilakuan_konsumen, pada tanggal 5 Nopember 2017.

55 Penggunaan kata “Ikatan”, sengaja dipilih untuk menarik korelasi etimologisnya dengan kata religiositas. Bandingkan makna konotatif dari akar kata religio; religare sebagaimana yang telah diulas pada bagian tentang etimologi religiositas dalam II.2.1.

Page 32: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

60 Religiositas Ambon-Kristen …

Simpul Kedua: Tak dapat dipungkiri, bahwa berbicara

tentang religiositas, maka sesungguhnya kita sementara

mempercakapkan manusia (baik secara individual maupun

komunal) dalam keutuhannya, yakni aspek kognitifnya, afektifnya,

dan psikomotoriknya. Dengan kata lain, religiositas

mengisyaratkan pemahaman, penghayatan dan perilaku/tindakan

seseorang yang berkaitan dengan keberagamaan atau

kebertuhanannya secara utuh, Tegasnya, religiositas tidaklah

dimaknai sebagai sebuah pengertian yang tunggal dan berdiri

sendiri tentang dimensi keyakinan dan pengetahuan tentang

adanya “tuhan” atau “yang ilahi”, melainkan berkaitan pula dengan

kultus-ritualnya, umat yang memangku dan mengalami atau

menghidupinya,serta tentunya tatanan norma dengan pelbagai

konsekuensi yang memandunya.

Simpul Ketiga: Religiositas memiliki korelasi dengan

keberadaan manusia, baik secara individual maupun komunal

(masyarakat), di tengah konteks sejarah, alam dan budayanya yang

dinamis dan dialektis. Realisme sedemikian, turut ditentukan oleh

adanya sejumlah faktor eksternal maupun internal yang turut

memengaruhi dan dipengaruhi oleh corak dan bentuk suatu

religiositas masyarakat, yang pada satu pihak bersifat unik,

identity, namun di pihak lain pun bersifat terbuka, dialektis dan

hibrid, baik dalam penghayatannya maupun dalam ekspresi

simbolik religiositasnya.

II.3. Identitas dan Ritual

Mengingat ada banyak teori dan perspektif tentang

identitas, maka dalam konteks ini, penelusuran tentang identitas

ditempatkan dalam korelasinya dengan ritual, sebagaimana

identitas itu turut memberi corak terhadap suatu ritual, demikian

pun sebaliknya, sebuah ritual itu merupakan penanda dari

identitas seseorang atau suatu komunitas.

Page 33: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 61

II.3.1. Identitas

II.3.1.1. Perspektif Erik H. Erikson

Salah satu teori tentang identitas yang dapat menjelaskan

tentang proses pembentukan suatu identitas sosial, khususnya

dalam relevansinya dengan fenomena identitas religius Ambon-

Kristen yang tercermin melalui ritual CN Soya adalah, teori

identitas psikososial, sebagaimana yang digagas oleh Erik H.

Erikson (selanjutnya disingkat EHE), yang diulasnya dalam

beberapa buku, antara lain: (1) Childhood and Society (1950), (2)

Identity and the Life Cycle. Selected Papers (1959), dan (3) Identity:

Youth and Crisis (1968).

Bagi EHE, proses pembentukan identitas sosial, tidak dapat

dilepaspisahkan dengan pembentukan identitas personal. Sebab

bagi EHE, ada korelasi yang kuat dan multidimensional sifatnya,

antara individu dan masyarakat itu sendiri. Menurut EHE, pada

suatu identitas sosial, sesungguhnya kita menghadapi suatu proses

yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa

perorangan, tetapi sekaligus hal itu merupakan pula inti pusat

kebudayaan dari suatu masyarakat.

EHE tegaskan bahwa, identitas bukanlah sekadar

penjumlahan dari segala pengalaman atau identifikasi masa kanak-

kanak, tetapi semacam proses sintesis terhadap segala sesuatu

yang merupakan kekhasan pribadi seseorang di dalam konteks

masyarakatnya. Oleh karena bagi EHE, suatu identitasitu

merupakan konfigurasi integratif dari masa lampau dengan masa

sekarang, dan dari yang di dalam dengan yang di luar, ke dalam

suatu keseluruhan yang baru.

EHE melihat pula bahwa, persoalan pembentukan identitas

itu, terletak pada dinamika kesinambungan antara masa lalu dan

masa mendatang, baik dari individu itu sendiri maupun dari

masyarakatnya. Dalam konteks ini, maka pribadi adolesen (akil-

balik) dalam segala daya kekuatan dan kelemahan jiwanya, akan

menjadi tempat terjadinya transformasi kritis dinamika tersebut.

Melalui dinamika identitastersebut, orang mudah merasakan

kesadaran subjektif akan terjadinya kesinambungan dan kesamaan

Page 34: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

62 Religiositas Ambon-Kristen …

pribadi batiniah, yang semakin meningkat di dalam karakternya.

Akibatnya, menurut EHE, di satu pihak ia secara intens merasa

dirinya sebagai aku yang hidup dan giat, selalu sebagai insan yang

unik, dan di lain pihak, ia berupaya mengidentifikasikan dan

memantapkan koherensi identitas dirinya, sesuai dengan harapan

dan penilaian orang lain serta lingkungan masyarakat.

Dengan begitu, maka akan bangkitlah rasa percaya dirinya,

bahwa ia sanggup memainkan peranan yang berarti dalam

masyarakat, entah secara adaptif dengan keadaan status quo

ataukah secara inovatif, kreatif dan transformatif. Secara optimal,

akan bangkit pula cita rasa yang sehat dan baik dalam diri si

adolesen. Kendatipun identitas diri terbentuk selama tahap

adolesensi, namun menurut EHE, pembentukan itu sebenarnya

merupakan sebuah proses progresif diferensiasi, yangterus

meningkat sepanjang hidup kita. Bahkan, EHE dalam ulasannya

tentang masa awal proses pembentukan identitas, mengkonstatir

bahwa hal itu sudah berproses semenjak si bayi mulai belajar

berjalan dan mulai merambah lingkungan sekitarnya dan menyatu

dengan pihak lain, keluarga dan sesama, melalui pengalaman

penguasaan fisik dan makna kultural serta pengalaman

kesenangan fungsional dan kehormatan sosial yang diperolehnya,

melalui permainan dan penghargaan dirinya secara realistis.

Dengan demikian, identitas dirikita makin inklusif dan mendalam,

dan lingkup orang-orang penting bagi kita pun semakin luas.

Singkatnya, pembentukan suatu identitasadalah semacam proses

pensintesisan pribadi supraordinatif, yang merangkum dan

menyatupadukan segala integrasi, terutama integrasi yang pernah

dilakukan oleh ego selama hidupnya. Dengan kata lain, setiap

pribadi dipandang EHE sebagai penyusun yang aktif dan kreatif

terhadap identitas dirinya.Menurut EHE, relasi ego dengan

lingkungan sosio-budaya dan historis sangatlah penting, karena

selain faktor-faktor biogenetik, fisiologis dan anatomis, bagi EHE,

seluruh faktor sosial, alam, budaya dan historis,sangat

menentukan pembentukan ego seorang individu. Mengikuti

(namun sekaligus mengembangkan) pemikiran Freud, yang

Page 35: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 63

menekankan pentingnya bentuk susunan batiniah dalam jiwa

manusia, EHE melengkapinya dengan menegaskan tentang

pentingnya pengaruh dan dimensi luar, yang disajikan oleh

pelbagai tatanan lembaga kemasyarakatan, kebudayaan dan

sejarah. Dan menurut EHE, semua dimensi “luar” tersebut,sangat

formatif terhadap proses terjadinya identitas ego setiap individu!

Dengan demikian, bagi EHE, berkembangnya ego anak

secara intrinsik, terikat dan bergantung pada masing-masing sifat

dasar lembaga sosial budaya dan tatanan nilai yang ada pada

kebudayaan dan periode sejarah tertentu. Berhasil tidaknya

sintesisego pada anak-anak, remaja dan orang dewasa, sangat

bergantung pada kesepadanan dengan lembaga sosial tempat

mereka hidup.

Melalui studi-studi budaya, EHE ingin menjelaskan betapa

kuatnya identitaspribadi seseorang berakar di dalam kebudayaan.

EHE yakin bahwa identitas sejati tergantung pada penyokongan

yang diterima individu dari rasa identitas bersama yang menjadi

ciri khas seluruh kelompok sosial, seperti golongan sosial,

kebudayaan, bangsa dan negara. Terkait dengan proses sosial

budaya yang membentuk identitas,maka menurut EHE, beberapa

faktor yang turut memengaruhi perkembangan psikososial

kepribadian, antara lain:

(a) Pola Pengasuhan;

(b) Rekayasa atau Penciptaan legenda atau mitos yang

memengaruhi dan membentuk

identitas kolektif;

(c) Proses pembudayaan tradisional melalui pendisiplinan hidup;

(d) Perumusan identitas impian atau yang diidamkan (sosio-

imajiner), demi mewujudkan kesinambungan cita-cita masa

lampau dengan masa mendatang.

Terkait dengan korelasi antara identitas personal dan

sosial, EHE melakukan pula telaah psikohistoris terhadap tokoh-

tokoh tertentu yang telah meninggal namun dipandang berjasa

dan menjadi role model serta berpengaruh dalam sejarah

kehidupan manusia, termasuk suatu komunitas. Melalui

Page 36: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

64 Religiositas Ambon-Kristen …

penelaahan life history dari sang tokoh, menurut EHE, hal tersebut

akan sangat berpengaruh dan turut membentuk identitas sosial

suatu komunitas. Oleh karena bagaimanapun, bagi EHE, manusia

merupakan makhluk sosial-budaya yang secara intrinsik

merupakan insan historis yang pasif tetapi sekaligus juga aktif,

untuk dapat belajar, meniru dan menghormati seseorang yang

berpengaruh dan dikagumi (diidolakan). Dengan begitu, maka

seseorang dan masyarakat pun memiliki kemampuan untuk

mengalami suatu daya pembaruan diri dan pembentukan identitas

personal maupun sosialnya.

II.3.1.2. Perspektif Erving Goffman

Perspektif Erving Goffman(selanjutnya disingkat EG),

merujuk pada empat gagasan utamanya tentang diri, identitas, dan

performansi, yang antara lain sebagai berikut:56

(1) Gagasan pertama dan yang paling sentral adalah, bahwa diri

merupakan sebuah produk sosial. Dalam gagasan ini, ada dua

makna yang dipikirkan EG. Pertama, diri adalah produk dari

performa demi performa, yang individu peragakan di dalam

situasi-situasi sosial. Dengan ini maka, bagi EG, sama sekali

tidak ada sesuatu yang tinggal di dalam diri seseorang, yang

menanti untuk diekspresikan dalam situasi-situasi sosial.

Kedua, meskipun individu berperan aktif dalam merancang

performa-performa yang menunjukkan diri (self-indicating

performances), namun individu juga terbatasi untuk

mempresentasikan gambaran-gambaran diri yang bisa

didukung secara sosial dalam konteks suatu hierarkhi sosial

yang terberikan. Jadi, diri adalah sebuah produk sosial dalam

artian, ia bergantung pada validasi yang diberikan atau

ditahan, sesuai dengan norma-norma dari suatu masyarakat

yang terstratifikasi.

56Bagian ini diringkas dari pembacaan Ann Branaman atas tulisan-tulisan Goffman

yang tertuang dalam artikel “Goffman’s Social Theory” dalam Charles Lemert & Ann Branaman, eds. The Goffman Reader (Oxford: Blackwell, 1997), xlv-lxxxii, 2.

Page 37: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 65

(2) Gagasan utama kedua adalah, soal sampai sejauhmanakah

individu mampu mempertahankan suatu gambar diri yang

dapat dihormati orang lain. Menurut EG, derajat kemampuan

seseorang tergantung kepada akses kepada sumber-sumber

daya struktural dan kepemilikan atas sifat-sifat serta atribut-

atribut yang dipandang diinginkan sekali oleh kultur dominan.

Beberapa sumber yang ditemukannya menunjang suatu

gambaran diri yang terhormat adalah harta, privasi dan

otonomi.57 Sementara soal sifat-sifat dan atribut-atribut, bagi

EG, yang dicari untuk dipertahankan dalam diri adalah “traits

and attributes deemed by the dominant society to be requisite of

full-fledged humanity.”58

(3) Gagasan selanjutnya adalah, pandangannya tentang hakikat

kehidupan sosial. Di sini, ia memakai metafora-metafora

drama, ritual dan permainan, sebagai alat untuk menunjukkan

baik aspek manipulatif maupun moral dari kehidupan sosial.

Moralitas, menurut EG, tidak berdiam di dalam diri orang

atau di atasnya,melainkan dibuat (manufactured) melalui

performa dan ritual-ritual interaksi yang didisain untuk

meneguhkan martabat manusia. Di pihak lain, apa yang

tampak manipulatif dan melayani diri sendiri dalam

memperbesar gambar diri di hadapan orang lain adalah, cara

yang paling hakiki dalam mana orang berkomitmen kepada

tatanan moral masyarakat.

(4) Gagasan terakhirnya adalah, bahwa pengalaman sosial diatur

oleh “kerangka” atau prinsip organisasi yang mendefinisikan

makna dan arti dari peristiwa-peristiwa sosial.59 Dengan ini,

57 Menurut Branaman ini tampak jelas dalam buku Goffman yang berjudul Asylum:

Essaya on the Social Situations of Mental Patients and Other Inmates (New York, NY.: Anchor Books, 1961).

58 Branaman dalam The Goffman Readers, xlvi. 59 Menurut Brown dengan konsep ini Goffman hendak tekankan keutamaan situasi-

situasi dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka atau frame adalah hal yang mengorientasikan orang kepada suatu pengertian kolektif atas ”apa yang sedang terjadi.” Lihat Robert K. Brown, ”Goffman’s Dramaturgical Sociology: Developing a Meaningful Theoretical Context and Exercise Involving ‘Embarrassment and Social Organization’” dalam Teaching Sociology Vol. 31, No. 3 (July 2003): 293.

Page 38: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

66 Religiositas Ambon-Kristen …

EG, menurut Branaman, berpendapat bahwa kejadian-

kejadian, tindakan-tindakan, performa-performa dan diri-diri

tidak selalu berbicara untuk dirinya sendiri melainkan

tergantung pada kerangka yang memberinya suatu makna.

Meski begitu, individu tetap tidak bebas untuk

mengkerangkakan pengalaman sesukanya. EG menekankan

bahwa kerangka dipaksa atau diharuskan (constrained) oleh

struktur sosial dan organisasi sosial.

Terkait dengan percakapan tentang identitas, gagasanEG

yang pertama dan ketiga menarik untuk dikaji lebih dalam.

Gagasan pertama terkait dengan soal memproduksi diri dan diri

macam apa yang kemudian dihasilkan; sementara gagasan ketiga

berhubungan dengan karakter hakikat kehidupan sosial.

Tentang memproduksi diri, berdasarkan analisisnya atas

tulisan-tulisan EG, Branaman berpendapat bahwa EG tampaknya

memberi dua kelompok definisi, atau gambaran tentang diri. Yang

pertama, pada satu sisi EG berpendapat bahwa diri seutuhnya

adalah sebuah produk sosial, dengan tanpa inti pribadi sama

sekali. Namun di sisi lain, EG juga menyajikan sebuah gambaran

diri yang bersifat dualistik, sewaktu ia berargumentasi soal

komponen diri yang tidak disosialisasikan, yang menggerakkan

individu ke dalam atau keluar dari hubungan sosial, dan terkadang

memaksa individu untuk berperilaku di luar norma-norma sosial.

Gambaran dualitas diri ini, misalnya dapat ditemukan dalam

pemisahan yang dibuatnya atas “all-too-human self” dan “socialized

self”60 atau diri sebagai “performer” dan diri sebagai “character.”61

60 ‘All-too-human self’ dalam pemahaman Goffman adalah diri yang dalam ungkapan

bahasa sehari-hari disebut diri yang manusiawi. Kemanusiawiannya terletak pada hakekat manusia sebagai “creatures of variable impulse with moods and energies that change from one moment to the next.” Sementara untuk ‘socialized self’ Goffman berikan padanannya dengan “characters” yang dimainkan dalam sebuah panggung kehidupan sosial. Di tempat ini, di hadapan penonton, diri, menurut Goffman, “must not be subject to ups and downs.” Lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books, 1959), 56.

61 Sebagai performer diri, menurut Goffman, adalah “a harried fabricator of impressions involved in the all-too-human task of staging a performance.” Sementara diri sebagai character adalah “a figure, typically a fine one, whose spirit, strength, and other

Page 39: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 67

Yang kedua, di satu pihak, EG berpendapat bahwa individu-

individu tidak seluruhnya ditentukan oleh masyarakat sejauh

mereka mampu memanipulasi secara strategis situasi sosial dan

kesan-kesan orang lain tentang diri mereka, menghiasi diri mereka

dalam cara yang semirip yang mereka kehendaki dengan seorang

karakter dalam sebuah pementasan teater. Namun di pihak lain,EG

juga menekankan bahwa individu-individu tidak mampu memilih

secara bebas diri yang mereka inginkan orang lain akan terima,

melainkan dipaksa (constrained) untuk mendefinisikan diri

mereka sebangun dengan status-status, peran-peran dan relasi-

yang mereka pilih menurut tatanan sosial.

Walaupun penjelasannya tentang diri sebagai performer

bisa menimbulkan kesan bahwa ada diriyang bisa disebut sebagai

inti pribadi yang telah ada sebelumnya, yang mengekspresikan diri

dalam berbagai character, namun Branaman membantah bahwa

EG memberikan kesan semacam itu. Kalaupun orang bisa

menangkap kesan semacam itu, diri sebagai performer,sebenarnya

lebih tepat dipahami sebagai “the basic motivational core which

motivates us to engage in the performances with which we achieve

selfhood.”62

Sebagai kekuatan motivasional yang mendorong orang

untuk terlibat dalam suatu “pertunjukan” hidup sosial, diri sebagai

performer bukanlah diri yang dikenal orang atau dikenal oleh

seseorang itu sendiri sebagai dirinya yang sebenarnya. Diri yang

sebenarnya adalah “the self performed outwardly in social life”63,

atau memakai istilah EG sendiri, diri yang dianggap orang sebagai

dirinya sebenarnya adalah:

sterling qualities the performance was designed to evoke.” Lihat Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 252. Dalam pemahaman Branaman, diri sebagai performer adalah diri yang berpikir, berfantasi, bermimpi, dan merindu yang kapasitasnya untuk mengalami kebanggaan dan malu memotivasi dia bukan saja untuk berperforma bagi orang lain dan juga untuk berhati-hati terhadap dipermalukan. Sementara diri sebagai character adalah kemanusiaan unik seseorang, dan inilah diri yang disamakan dengan diri seseorang di dalam masyarakat. Lihat Branaman dalam The Goffman Reader, xliv.

62 Branaman dalam The Goffman Reader, xlix. 63Ibid. Ini dikatakan Branaman sebagai sebuah paradoks.

Page 40: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

68 Religiositas Ambon-Kristen …

“...a performed character. A correctly staged and performed scene leads the audience to impute a self to a performed character, but this imputation—this self—is a product of a scene that comes off, and is not a cause of it. The self, then, as a performed character, is not an organic thing that has a specific location, whose fundamental fate is to be born, to mature, and to die; it is a dramatic effect arising diffusely from a scene that is presented, and the characteristic issue, the crucial concern, is whether it will be credited or discredited.”64

Dalam cara yang lain, performed character dipahami EG

sebagai “the real self” – diri yang sebenarnya. Artinya, diri inilah

yang dipahami oleh individu sebagai dirinya yang sebenarnya.

Sebagaimana performed character, diri yang sebenarnya ini juga

dikonstruksi secara sosial dan bukan sudah sejak dahulu begitu.65

Pertanyaan yang muncul adalah di mana isu identitas seseorang

harus diletakkan dalam seluruh gagasanEG ini? Dalam Stigma66, EG

mencurahkan perhatiannya membahas sejumlah identitas orang-

orang yang sudah distigma oleh masyarakat. Identitas-identitas

itu,mencakup identitas sosial dan personal, identitas virtual dan

aktual, yang terungkapkan atau yang disembunyikan, orang yang

didiskredit dan orang yang dapat didiskreditkan, dan lain-lain.

Seluruh identitas ini disebutnya sebagai diri (self) yang orang

pahami tentang dirinya.67 Dengan demikian, identitas menjadi diri

yang dipahami oleh individu dan diperagakannya dalam suatu

interaksi sosial tertentu. Dalam pengertian yang semacam ini,

yakni diri yang diperagakan, menjadi dapat diterima bila dalam

64 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 252-253. 65 Frances Chaput Waksler, “Erving Goffman’s Sociology: An Introductory Essay,”

Human Studies Vol. 12, No. 1/2 (June 1969): 4. 66 Erving Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity (New York: A

Touchstone Book, 1986). 67 Waksler dalam Human Studies Vol. 12, No. 1/2 (June 1969): 4.

Page 41: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 69

interpretasinya atas EG ,Waksler berpendapat bahwa diri “emerges

... not as a state but as a constellation of ongoing actions.”68

Dengan pemikiran semacam itu, EG hendak menegaskan

bahwa,diri selalu terlibat dalam suatu usaha untuk menyusun

identitas yang memberinya suatu posisi tertentu dalam sebuah

hirarkhi sosial di lokasi dan waktu tertentu. Di sini, individu

terlibat dalam dua aktivitas penting: [1] memelihara suatu

tindakan yang diekspektasi orang dalam suatu masyarakat, dan [2]

mengeksploitasi suatu tindakan demi menciptakan pada diri orang

lain kesan yang diinginkan tentang diri. Aktivitas pertama

dipahami EG sebagai aktivitas memelihara “the ritual order of

social life”, sementara aktivitas kedua dipahaminya sebagai

aktivitas “game-like calculations.”69

Kemunculan diri dan identitas individu sebagai suatu

konstelasi tindakan yang sedang berlangsung dimungkinkan,

karena EG memahami kehidupan sosial sebagai rangkaian

pertunjukan atau performa (termasuk suatu ritual dalam hal ini).

Metafora khas yang dipakai EG untuk melukiskan hakikat hidup

sosial yang semacam itu adalah drama. Dalam kehidupan sosial

yang bersifat dramaturgikal ini, prinsip-prinsip penting yang

mengaturnya adalah performa, tim, region, peran-peran yang tidak

bersesuaian, komunikasi yang keluar dari karakter, dan

manajemen impresi.70

Performa didefinisikan EG sebagai aktivitas individu yang

terjadi selama suatu periode, yang ditandai oleh kehadirannya

yang terus-menerus di hadapan sejumlah penonton dan yang

memiliki suatu pengaruh pada para penonton.71 Tim adalah bagian

yang tidak terpisahkan dari suatu performa. Bagi EG, performa

seorang individu tidak pernah merupakan suatu presentasi dari

satu karakter individual melainkan melibatkan sekumpulan

karakter individual lain dalam suatu tim yang bekerja sama

68Ibid. 69 Branaman dalam The Goffman Reader, lxiii. 70 Keseluruhan prinsip ini dibahas secara luas oleh Goffman dalam The Presentation of

Self in Everyday Life. 71 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 22.

Page 42: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

70 Religiositas Ambon-Kristen …

untuk mengekspresikan suatu situasi sosial tertentu.72 Lebih

jauh lagi, suatu performa amat bergantung pada pemisahan ruang

sosial menjadi “front regions” atau di atas panggung dan “back

regions” atau di belakang panggung. Di atas panggung adalah

tempat di mana performa dilakukan dan standar-standar sosial

dipertahankan. Sementara di belakang panggung adalah tempat di

mana “the impression fostered by the performance is knowingly

contradicted as a matter of course.”73 Di tempat ini, individu dapat

rileks, melupakan kalimat-kalimat yang harus diucapkannya dan

“step out of character”74—keluar atau berhenti dari karakter yang

coba ditampilkannya di depan orang lain.

Selanjutnya, isu peran-peran yang tidak bersesuaian

dibicarakan EG, yaitu soal menjaga kredibilitas performa atau

penampilan dalam suatu “pertunjukan” sosial, yang harus dihadapi

dan diselesaikan oleh individu yang sama, yang memainkan peran-

peran di hadapan penonton di atas panggung dan di luar

pengamatan penonton di belakang panggung.75 Di belakang

panggung, di antara sesama timnya, Goffman mendapati bahwa

individu bisa memakai komunikasi yang tidak cocok dengan

karakter yang dimainkannya di depan panggung.76 Sebab bagi EG ,

suatu pertunjukan bukanlah performa yang tanpa gangguan. Hal-

hal semacam itu dapat hadir kapan saja. Dalam interaksi sosial,

gangguan-gangguan ~yang dipikirkan EG~ yang akan mengganggu

adalah “unmeant gestures, inopportune intrusions and faux pas.”77

Demi mencegah dipermalukan dan terganggu, individu-individu

yang terlibat dalam suatu interaksi sosial di sebuah panggung

pertunjukan hidup, harus memiliki dan menguasai apa yang

disebut EG sebagai “arts of impression management”78—seni

72 Branaman dalam The Goffman Reader, lxv. 73 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 112. 74 Ibid, 112. 75 Branaman, The Goffman... lxv. 76 Ibid. 77 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 212. 78 Ibid, 212.

Page 43: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 71

menampilkan kesan, bahwa semuanya beres-beres saja.79

Dikaitkan dengan soal identitas, maka semakin jelas di sini bahwa

identitas tidak bisa lagi tunggal. Bila panggung dijadikan batas

pemisah di antara penonton dan individu yang memperagakan

identitas tertentu, konsep EG tentang di atas panggung dan di

belakang panggung, sudah memberi ruang kepada munculnya dua

macam identitas yang berbeda. Multiplisitas identitas ini, semakin

kokoh lagi bila bentuk dan macam identitas yang dimasuki

individu turut diperhatikan pula.

Lepas dari semua itu, pertanyaan menarik yang perlu

untuk diajukan kepada EG adalah,apakah sifat dari dua macam

identitas ~atau memakai istilahnya: “karakter”~ yang ditampilkan

di atas panggung dan di belakang panggung? Pembacaan yang

dilakukan Branaman atas EG tidak menemukan adanya sifat lain

selain daripada sifat untuk memperoleh keuntungan sosial dari

suatu identitas, di dalam suatu hirarkhi status sosial tertentu.

Meski individu dengan performanya bisa memainkan peran-peran

yang agresif, namun ujung dari semua itu adalah demi“being a

viable member of a morally cohensive social order.” (menjadi

anggota yang layak dari tatanan sosial yang kompak atau kohesif

secara moral).80 Meski dalam performa, mereka bisa memainkan

peran-peran agresif yang terkesan melawan, bagi Branaman,

individu menurut EG, tetap merasa bahwa “the more is to be lost

than to be gained by challenging the social status quo” (semakin

banyak yang hilang daripada melawan status quo),81 sehingga

sebagian besar individu lebih memilih tidak menantang atau

79 Menurut Brown, Goffman mengasumsikan dua macam impresi yang biasanya

ditampilkan individu kepada individu lain tentang dirinya. Impresi pertama adalah impresi-impresi yang dengan sengaja mereka berikan kepada orang lain dalam rangka tampil “competent and sound character (moral) in particular social situations.” Impresi lainnya adalah “unintentional impressions”, impresi-impresi yang tidak disengaja, yang “given-off”, yang terberikan begitu saja tanpa direncanakan. Untuk mencegah orang mendapatkan impresi yang tak diinginkan, Goffman menurut Brown, berpendapat bahwa diri melancarkan apa yang dinamakan preventative practices, yang bertujuan melindungi kompetensi dan karakter dalam kondisi-kondisi di bawah tekanan. Sementara untuk memulihkan impresi-impresi positif tentang dirinya diri melakukan corrective practices. Brown dalam Teaching Sociology Vol. 31, No. 3 (July 2003): 292.

80 Branaman, The Goffman reader, lxxiii. 81Ibid, lxx.

Page 44: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

72 Religiositas Ambon-Kristen …

mentransformasi hirarkhi sosial dengan membentuk identitas

yang bisa merugikannya.

II.3.2. Ritual

Victor Turner mendefinisikan ritual sebagai perilaku

tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu

secara berkala, bukan sekadar sebagai rutinitas yang bersifat

teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh

keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan

mistis.Menurutnya, ritual berhubungan erat dengan crisis of life.82

Ia pun mendeskripsikan bahwa, ritual merupakan kesatuan di

dalam masyarakat yang kontras dengan friksi, daya saing dunia

sosial, dan keadaan liminal kehidupan. Oleh karena itu, bagi

Turner, ekspresi sebuah ritual tidak sekadar menggambarkan

relasi ekonomi, politik dan sosial, beserta alam lingkungan di mana

masyarakat itu berada, melainkan ritual pun merupakan ekspresi

komunitas mengenai apa yang mereka alami, rasakan dan

harapkan.83

Dalam penelitiannya pada masyarakat Ndembu Afrika

Selatan, ia menyimpulkan bahwa, dalam masyarakat, suatu ritual

mempunyai nilai tinggi karena: (1) ritual mempunyai fungsi

mendamaikan dua prinsip yang saling bertentangan dari hidup

sosial masyarakat, yang dalam konteks orang Ndembu adalah

pertentangan antara sistem matrilineal dan virilokal; (2) ritual

menyatukan kelompok-kelompok masyarakat; (3) melalui

pelaksanaan ritual dan simbolnya, terbangun solidaritas antar

kelompok masyarakat yang memaknainya.84

Sedangkan Catherine Bell mengisyaratkan bahwa, ritual

yang terjadi di masyarakat selalu dinamis mengikuti pergerakan

konteksnya. Dan karena itu, konteks itu sendiri merupakan

82 V. Turner, The Forest of Symbol, Aspect of Ndembu Ritual, (London: Corner

University Press, 1977). 83 Victor Turner, The Ritual Process – Structure and Anti-Structure (Ithaca, New York:

Cornell University Press, 1966), 6,10. 84 Ibid, 18,99-100.

Page 45: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 73

bangunan kehidupan suatu ritual. Bagi Bell pun, ritual dapat

dipakai sebagai sarana untuk bertahan hidup, di

dalamkompleksitas perubahan hidup masyarakat di tengah

konteksnya.85

Lebih jauh, Bell menginstrodusir 6 karakteristik dari

aktifitas suatu ritual, yaitu: (1) aktifitas yang bersifat formal atau

yang diformalisasi; (2) bersifat tradisional, karena berkaitan

dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat; (3) tidak

mengalami banyak varian dan cenderung merupakan suatu

repetisi dari format sebelumnya; (4) sangat merujuk pada aturan,

tradisi dan hal-hal tabu yang diritualasikan; (5) adanya sakralisasi

simbol yang dikorelasikan dengan realitas supranatural; (6)

bercirikan adanya performansi (pertunjukerangkan).86

Sementara itu, dari perspektif fenomenologi agama,

beberapa catatan yang dapat dikemukakan tentang “ritual”, antara

lain sebagai berikut:87

Satu, Bagi Dhavamony, ritual merupakan agama dalam

tindakan. Dan tindakan-tindakan tersebut diwujudkan secara

simbolis, bersifat empirik dan berulang. Pengertian ini merujuk

pada premis dasariahnya bahwa, fenomena pertama dari agama

adalah sikap, tindakan, dan kata-kata.

Dua, Ada 4 (empat) macam ritual, yakni: (a) Ritual magis,

dengan penggunaan bahan-bahan yang diyakini memiliki daya

mistis; (b) Ritual religius, yang berkaitan pula dengan kultus para

leluhur; (c) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan hubungan

sosial yang mistis melalui tahapan upacara yang khas; dan (d)

Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan,

atau pemurnian dan perlindungan, dalam rangka peningkatan

kesejahteraan ekonomi kelompok.

Tiga, Ritual yang dilakukan, memiliki maksud dan tujuan

yang disesuaikan pula dengan bentuk atau jenis dari ritual

85 Catharine Bell, Ritual Perspective Dimensions (New York: Oxford University

Press,1997),2-3. 86Ibid, 139-162. 87 Bagian ini merangkum ulasan Mariasuai Dhavamony dalam Fenomenologi

Agama,174-201.

Page 46: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

74 Religiositas Ambon-Kristen …

tersebut, serta alasan atau kepentingan di balik suatu ritual.

Misalnya, berkaitan dengan fase peralihan status: ada ritual

penerimaan, ritual inisiasi (ada yang berkaitan dengan perubahan

peran, ada pula yang berkaitan dengan perpindahan geografis),

ritual pernikahan, dan lainnya. Berkaitan dengan fase peralihan

musim (alam): ada ritual perburuan, pertanian, intensifikasi, dan

lainnya. Berkaitan dengan ikatan warga dan sejarahnya: ada ritual

peringatan.

Empat, Antara ritual dan mitos memiliki keterkaitan.

Bahkan ~sebagaimana yang diisyaratkan oleh Boas~, ritual itu

sendiri justru merupakan rangsangan bagi lahirnya suatu mitos.

Sementara pada sisi lainnya, mitos memerlukan ritual demi

pemahaman yang lebih penuh dari maknanya.

II.4. Diferensiasi Religius

Ketika menelusuri secara leksikal tentang kata

“diferensiasi”, ditemukan penjelasan sebagai berikut. Dari Kamus

Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, pemerian kata “diferensiasi”

itu menunjuk pada pengertian, antara lain:88 1) proses, cara,

perbuatan membedakan; pembedaan; 2) perkembangan tunggal,

kebanyakan dari sederhana ke rumit, dari yang homogen ke

heterogen; dan 3) proses pembedaan hak dan kewajiban warga

masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan

pekerjaan. Sementara dari kamus Merriam-Webster, ditemukan

petunjuk antara lain bahwa, kata ini mulai digunakan pada tahun

1776, dalam pengertian: the act or process of differentiating.

Sementara secara etimologis, kata diferensiasi ini berasal dari New

Latin = differentiātiōn-, differentiātiō, yang berakar dari Latin

Medieval: = differentiāre "to distinguish, differentiate" + Latin -

tiōn-, -tiō,suffix of verbal action. Dari kata itu pula, muncul kata

88 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pusat Bahasa, Edisi IV (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2011),327b..

Page 47: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 75

differentiator: one that differentiates = Sesuatu atau seseorang

yang membedakan (yang membuat perbedaan).89

Selanjutnya, berkaitan dengan diferensiasi religius,90

penting untuk menempatkan teori Evolusi Agama-nya Bellah

sebagai rujukannya, sebagaimana yang diulasnya dalam

bukuBeyond Belief- Essays on Religion in a Post-Traditionalist

World91 dan The Good Society.92 Pada ulasannya, bagi Bellah,

evolusi pada semua tingkatan sistem (termasuk agama),

didefinsikan sebagai proses meningkatnya diferensiasi dan

kompleksitas organisasi yang menyebabkan organisme, sistem

sosial atau satuan apa pun yang ada di dalamnya memiliki

kemampuan yang lebih besar untuk beradaptasi dengan

lingkungannya, dibanding dengan organisasi-organisasi

sebelumnya yang kurang kompleks.

Sehubungan dengan itu, ia pun merumuskan agama

sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang

menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi eksistensinya

yang tertinggi. Terkait dengan evolusi keagamaan, Bellah

mengisyaratkan bahwa, yang dimaksudkannya bukanlah tentang

manusia religius atau pun struktur situasi religius tertinggi

(seperti yang disebut dengan Tuhan) yang berkembang, melainkan

agama sebagai sistem simbol. Sebab, Bellah pun sependapat

dengan Mircea Eliade yang menyatakan bahwa, sesungguhnya

manusia purba pun sepenuhnya religius, sebagaimana manusia

pada semua tahap eksistensinya.

Dengan demikian, bagi Bellah, simbolisasi religius yang

kompleks dan terdiferensiasi, tidaklah berarti lebih baik, lebih

benar atau lebih indah daripada simbolisasi yang sederhana.

89 Sumber: https://www.merriam-webster.com/dictionary/differentiation, diunduh

pada tanggal 29 November 2018. 90 Sebetulnya apa yang digagas oleh Bellah dengan teorinya tentang Diferensiasi

Agama ini telah dicetuskan oleh Weber yang mengisyaratkan bahwa gagasan tentang Tuhan pun mengalami proses evolusi.

91 Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan: Beyond Belief – Menemukan Kembali Agama – Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000).

92 Bellah et.al, The Good Society (New York: Alfred A. Knopf,1991).

Page 48: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

76 Religiositas Ambon-Kristen …

Lebih jauh tentang evolusi agama tersebut, Bellah

mengemukakan tiga skema asumsinya, antara lain:

Pertama, Merujuk pada perspektif Geertz tentang

simbolisasi keagamaan sebagai tatanan umum eksistensi, Bellah

mengkonstatir bahwa simbolisasi keagamaan tersebut cenderung

berubah sepanjang masa, ke arah yang lebih terdiferensiasi, lebih

komprehensif dan ~dalam istilah Weber~ lebih rasional.

Kedua, Bahwa konsepsi-konsepsi tentang tindakan

keagamaan, watak aktor-aktor keagamaan, organisasi keagamaan,

dan tempat agama dalam masyarakat, cenderung berubah dalam

cara yang secara sistimatis terkait dengan perubahan-perubahan

dalam simbolisasi.

Ketiga, Bahwa perubahan-perubahan dalam lingkup agama

tersebut, yang mengkonstitusi apa yang dimaksudkannya dengan

evolusi agama, sesungguhnya terkait dengan varietas dimensi-

dimensi perubahan lain dalam lingkup-lingkup sosial lainnya, yang

menentukan proses umum evolusi sosial-budaya.

Sehubungan dengan skema asumsi tersebut di atas, maka

Bellah mengintrodusir lima tahapan evolusi agama tersebut, yakni:

(a) purba/primitif, (b) arkais, (c) historis, (d) modern awal, dan (e)

modern. Baginya, tahapan-tahapan tersebut merupakan tipe-tipe

ideal yang diturunkan dari regularitas historis yang paling umum

dapat diamati dan memiliki rujukan temporal (waktu). Kendati

Bellah pun mengakui bahwa, kelima tahapan tersebut tidaklah

harus dibaca sebagai suatu formasi yang kaku-ketat, sebab bisa

saja terdapat formasi yang kompromis, yang melibatkan unsur

dari dua tahap, atau pada sisi lainnya bisa saja tahapan yang lebih

awal justru membayangi perkembangan yang kemudian; dan

begitu pula tahapan yang lebih maju bisa saja mundur ke tahap

yang kurang berkembang. Bahkan, Bellah menegaskan bahwa

tentu saja tidak ada tahapan yang sepenuhnya pudar. Oleh karena

semua tahapan yang lebih dulu, akan terus ada bersamaan

dengan tahapan berikutnya dan seringkali juga ada dalam

tahapan yang lebih belakangan.

Page 49: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 77

Hampir dapat dipastikan, menurut Bellah, berdasarkan

definisinya, tindakan manusia merupakan tindakan simbolik, atau

dengan kata lain, tindakan manusia selalu melibatkan budaya.

Salah satu prasyarat berfungsinya setiap sistem tindakan ialah,

bahwa tindakan itu harus mempunyai makna. Ketika tindakan

mendekati situasi ketakbermaknaan, maka organisasi sistem

tindakan ~apakah itu kepribadian atau sistem sosial~ menghadapi

ancaman yang serius. Oleh karena itu, menurut Bellah, logika

pencarian makna cenderung terus berada dalam lingkup

keagamaan. Tegasnya bagi Bellah, setiap agama harus

menggunakan simbolisme; dan tugas utama dalam mengkaji suatu

fenomena dalam simbolisme keagamaan adalah, menentukan

benang merah yang mengorganisasikan simbol-simbol itu dan

maknanya, dan dengan demikian bisa menghasilkan suatu tipologi

tentang simbol-simbol keagamaan dan religiositasnya.

II.5. Hybrid Religiosity dan The Politics of Piety Sebagai

Strategi Survival

Bagi penulis, beberapa konsep berikut memiliki

keterkaitan dengan topik studi, yang penulis rumuskan dalam

tesis: Hybrid Religiosity dan The Politics of Piety sebagai suatu

Strategi Survival dari sebuah komunitas di tengah konteks

kehidupannya yang dinamis, kompleks, kompetitif, dan rentan

terhadap konflik atau perbenturan dan tekanan.

II.5.1. Strategi Survival

Istilah ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh

Talcott Parsons. Parsons menandaskan bahwa, ada empat

keharusan fungsional yang diperlukan untuk diterapkan pada

sistem apa pun agar dapat bertahan hidup, yaitu (yang dikenal

dengan skema AGIL):

(1) Adaptasi (A);

(2) Pencapaian tujuan (G);

(3) Integrasi (I); dan

(4) Latency atau pemeliharaan pola (L).

Page 50: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

78 Religiositas Ambon-Kristen …

Menurut Parsons, keempat skema tersebut terjadi sebagai

berikut: Pertama, adaptasi dilakukan oleh organisme dengan

menjalankan fungsi adaptif, dengan mengadaptasi dan mengubah

lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau

pencapaian sasaran fungsional diwujudkan oleh sistem

kepribadian dengan menetapkan tujuan dari sistem dan

memobilisasi sumber daya untuk mencapainya. Selanjutnya, fungsi

integrasi dilakukan oleh sistem sosial, sedangkan fungsi latensi

dijalankan oleh sistem budaya. Sistem budaya menyediakan

seperangkat norma dan nilai, yang memotivasi para aktor untuk

bertindak.

Komponen utama dari pemikiran Parsons adalah proses

diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat terdiri

dari satu set subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya

serta makna fungsionalnya. Maka ketika masyarakat berubah,

pada umumnya masyarakat itu akan bertumbuh dengan

kemampuan yang lebih baik, ketika ia mampu mengalami suatu

proses survival yang strategis: kemampuannya untuk beradaptasi,

mencapai tujuannya, berintegrasi, dan melakukan pola-pola

pemeliharaan.

Dalam kaitannya dengan strategi survival ini, penting

untuk menyimak pula gagasan proses sivilisasi (civilizing process),

sebagai akibat dari perjumpaan antara “orang dalam” (the

established) dengan “orang luar” atau pendatang (the outsiders),

sebagaimana yang dikemukakan oleh Nobert Elias.93 Menurut

Elias, dalam proses sivilisasi tersebut ada 2 (dua) bentuk proses

yang berlangsung, yakni diferensiasi yang berkembang dan

93 Pemikiran Elias telah penulis rangkum dalam Ferry Nahusona, “Norbert Elias:

Hidup, Karya dan Pemikirannya”, Makalah Magister Sosiologi Agama UKSW (Salatiga: PPSAM-UKSW, 2002), yang merujuk pada beberapa referensi, antara lain: (1) Elias Norbert, The Civilizing Process – The Development of Manners, Changes in The Code of Conduct and Feeling in Early Modern Times,Trans. By Edmund Jephcott, New York: Urizen Books, 1978; (2) Rundell, John and Stephen Mennell, ed. Classical Readings in Culture and Civilization, London-New York: 1998, hal. 225 – 240; (3) Olofsson Gunnar, Norbert Elias, Artikel dalam Classical and Modern Social Theory, Edited by Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, USA : Blackwell Publ.Inc., 2000, hal. 362 – 374. (4) Hardiyanto S. & Lumbanggaol E. (Ed.), On Norbert Elias and Civilizing Process – A Reader in Social Theory, Salatiga : Program Pascasarjana UKSW (Tidak Diterbitkan), 2001.

Page 51: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 79

berkurang serta integrasi. Selanjutnya Elias menjelaskan bahwa,

regulasi dari emosi dan sistem kontrol sosial berkembang dalam

arah yang sama, seperti suatu proses evolusi yang panjang sebagai

suatu civilizing process. Proses tersebut dapat berlangsung sebagai

suatu hasil dari ketegangan antara kelompok-kelompok yang

berbeda dalam suatu lingkungan sosial dan antara kelompok-

kelompok yang menyempurnakan di dalam lingkungan

sedemikian.94Bagi Elias, inti dari proses peradaban adalah bahwa

ketegangan dari rantai-rantai interdependensi mengakibatkan

suatu transformasi masyarakat yang memengaruhi bentuk-bentuk,

baik sebuah institusi maupun individu. Ketika “kontrol kekuasaan”

dilakukan ke dalam kehidupan sosial, maka melalui proses yang

panjang dari suatu perkembangan historis, akan menyebabkan

lahirnya proses kontrol mental, sehingga dorongan-dorongan

psikologis, emosi-emosi, dan disiplin diri sendiri menerima suatu

bentuk yang diregulasikan. Walaupun demikian, menurut Elias,

masyarakat itu memiliki logika pengembangan mereka sendiri yang

disebut sebagai, “sifat-sifat yang baru dan tetap berkembang.”95

Oleh karena itu, perjumpaan dan interaksi antara “orang dalam

dengan orang luar” ~dalam pandangan Nobert Ellias~ memainkan

peranan menentukan dalam perubahan sosial dan peradaban

suatu masyarakat. Dalam suatu formasi karakter peradaban, Elias

menyatakan bahwa kelompok-kelompok tersebut lalu membentuk

unit-unit survival.96

II.5.2. Hybrid Religiosity

Istilah ini penulis adaptasikan dari identitas hibrid (hybrid

identity) yang digagas oleh Homi Bhabha melalui beberapa

tulisan.97 Hibriditas pada dasarnya menggambarkan konflik

budaya dan ideologi yang menimbulkan ketegangan, tetapi pada

94 Ibid, 6. 95 Ibid, 7. 96 Ibid,12. 97 Jonathan Rutherford, ed."Ruang Ketiga" dalam Identitas: Komunitas, Budaya,

Perbedaan (1990), dan Homi Bhabha, The Location of Culture (New York: Routledge Classics,2004).

Page 52: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

80 Religiositas Ambon-Kristen …

akhirnya menghasilkan ruang negosiasi baru dan juga

memanifestasikan dirinya dalam praktik sosial dalam konteks

ruang dan waktu. Bhabha menggunakan budaya sebagai "strategi

bertahan hidup", yang merupakan "produksi makna dan nilai yang

tidak rata dan tidak lengkap, yang sering kali terdiri dari tuntutan

dan praktik yang tak tertandingi". Dalam mendefinisikan konteks

budaya, Bhabha menyoroti posisi 'di antara' (in between), sebagai

yang mencirikan sesuatu yang positif. “Ruang ketiga” pun

menyediakan ruang simbolis bagi yang dijajah, untuk melakukan

manuver budaya, dengan membebaskan diri dari paradigma biner.

Oleh karena itu, berbeda dari anggapan bahwa sikap "perlawanan"

ini hanya sebagai penolakan terhadap identitas yang diberikan

oleh para kolonialis, maka situasi ini sebenarnya menunjukkan

dinamika pembentukan identitas yang selalu berubah, dan

sekaligus sebagai strategi "bertahan hidup" dari pemogokkan

budaya yang dominan.

II.5.3. Politics of Piety

Politics of Piety atau Politik Kesalehan, sesungguhnya

berbeda dengan kesalehan politik (atau politis).Oleh karena

kesalehan politik cenderung menjadi sebuah kemunafikan atau

kamuflase. Terminologi Politics of Piety itu sendiri, baru muncul

pertama kali dalam sebuah buku yang ditulis oleh Saba Mahmood,

Politics of Piety - The Islamic Revival and The Feminist Subject

(2005).98

Mahmood puni tidak memberikan definisi yang spesifik

tentang apa itu Politics of Piety. Tetapi melalui penelitian

etnografisnya yang intens mengenai gerakan perempuan masjid

dengan kegiatan ibadah mereka di Kairo, Mesir, Mahmood

memberikan beberapa catatan tentang Politics of Piety, yang

penulis rangkum sebagai berikut:

98 Saba Mahmood, Politics of Piety - The Islamic Revival and The Feminist Subject

(USA: Princeton University Press, 2005).

Page 53: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 81

Pertama, Politik Kesalehan dalam paradigma Politics of

Piety,tidak berorientasi pada konteks transformasi politik negara,

melainkan sebagai gerakan transformasi moral;

Kedua, Politics of Piety, mengisyaratkan adanya upaya

untuk membangun, mempertahankan, dan mencari kesalehan

(taqwa) dengan menumbuhkan harapan, cinta, dan ketakutan,

sebagai triad dalam religiositas;99

Ketiga, Politics of Piety, memungkinkan adanya keberadaan

etika dan moralitas yang dibangun untuk mewujudkan sebuah

identitas;

Keempat, Politics of Piety, memprasyarati adanya proses

disiplin diri melalui ritual dan kinerja;

Kelima, Politics of Piety, mengandaikan adanya mekanisme

diskursif.

Merujuk pada konsep-konsep tersebut di atas, penulis

berasumsi bahwa, dalam rangka kepentingan survive-nya suatu

komunitas, maka mekanisme hybrid religiosity dan politics of piety

dapat merupakan bagian dari strategi survival dari komunitas

tersebut. Apalagi bila suatu komunitas itu berada dalam lingkup

pengaruh “kekuasaan”, seperti agama, ekonomi, budaya, politik

dan ideologi, maka konsep-konsep post-kolonial seperti Politics of

Pietyini, akan turut membantu dalam “membaca” suatu fenomena

religius-historis-kultural.[]

99Ibid,87. Bandingkan konsep mysterium et tremendum dan mysterium et fascinans

dari Rudolf Otto.

Page 54: BAB II PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

82 Religiositas Ambon-Kristen …