bab ii penambahan

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kerangka Teoritis 1.1.1 Pengertian Belajar Banyak defenisi yang diberikan para ahli tentang belajar. Winansih (2009) mendefinisikan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Menurut Purwanto (2004) belajar adalah suatu proses edukatif yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikapnya, yang iteraksinya juga dipengaruhi oleh lingkungan. Suprijono (2010) memaparkan defini belajar menurut beberapa pakar pendidikan yaitu: 1. Gagne Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah. 2. Harold Spears Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. (belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu) 3. Travers Belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku. Secara umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku akibat interaksi individu dengan lingkungan. Belajar menunjuk ke perubahan dalam tingkah laku si subjek dalam situasi tertentu berkat pengalamannya yang berulang-ulang dan perubahan tingkah laku tersebut tidak dapat dijelaskan atas dasar kecendrungan-kecendrungan respon bawaan, kematangan atau keadan temporer dari subjek. 2.1.2 Pengertian Pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan Wager dalam Rusmono (2012) pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Menurut Sanjaya (2008) pembelajaran diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Pembelajaran adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio dan lainsebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Menurut Suprijono (2010) pembelajaran berdasarkan makna lesikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Perbedaan esensial istilah ini dengan pengajaran adalah pada tindakan ajar.

Upload: kazouki-ryusa

Post on 26-Sep-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kontekstual

TRANSCRIPT

  • BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    1.1 Kerangka Teoritis 1.1.1 Pengertian Belajar

    Banyak defenisi yang diberikan para ahli tentang belajar. Winansih (2009) mendefinisikan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Menurut Purwanto (2004) belajar adalah suatu proses edukatif yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikapnya, yang iteraksinya juga dipengaruhi oleh lingkungan. Suprijono (2010) memaparkan defini belajar menurut beberapa pakar pendidikan yaitu: 1. Gagne

    Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah.

    2. Harold Spears Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. (belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu)

    3. Travers Belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku.

    Secara umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku akibat interaksi individu dengan lingkungan. Belajar menunjuk ke perubahan dalam tingkah laku si subjek dalam situasi tertentu berkat pengalamannya yang berulang-ulang dan perubahan tingkah laku tersebut tidak dapat dijelaskan atas dasar kecendrungan-kecendrungan respon bawaan, kematangan atau keadan temporer dari subjek.

    2.1.2 Pengertian Pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan Wager dalam Rusmono (2012) pembelajaran adalah serangkaian

    kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Menurut Sanjaya (2008) pembelajaran diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.

    Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio dan lainsebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Menurut Suprijono (2010) pembelajaran berdasarkan makna lesikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Perbedaan esensial istilah ini dengan pengajaran adalah pada tindakan ajar.

  • Pada pengajaran guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan terjadinya pembelajaran, guru menyediakan fasilitas bagi peserta didiknya untuk mempelajarinya. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yang merupakan dialog interaktif, sebuah proses organik dan konstruktif, bukan mekanis seperti halnya pengajaran. 2.1.3 Pengertian Hasil Belajar

    Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. Hasil belajar mempunyai peran penting dalam proses pembelajaran.proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya malalui kegiatan belajar.

    Menurut bloom dikutip dari Rusmono (2012) hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang meliputi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif meliputi tujuan-tujuan belajar yang berhubungan dengan memanggil kembali pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan. Ranah afektif meliputi tujuan-tujuan belajar yang menjelaskan perubahan sikap, minat, nilai-nilai, dan pengembangan apresiasi yang menunjukkan bahwa siswa telah mempelajari keterampilan manipulatif fisik tertentu.

    Merujuk pemikiran Gagne yang diuraikan dalam Suprijono (2010), hasil belajar berupa: 1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa baik

    lisan maupun tertulis 2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang 3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. 4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan

    dan koordinasi. 5. Sikap adalah kemapuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek

    tersebut. Anderson dan Krathwohl (dalam Rusmono, 2012) menyebut ranah kognitif dari taksonomi

    bloom merevisi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Dimensi proses kognitif terdiri atas enam tingkatan: (1) ingatan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) evaluasi, dan (6) menciptakan. Sedangkan dimensi pengetahuan terdiri atas empat tingkatan, yaitu: (1) pengetahuan faktual, (2) pengetahuan konseptual, (3) pengetahuan prosedural dan (4) pengetahuan meta-kognitif

    Berdasarkan hasil uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku individu yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Yang harus diingat hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil belajar yang dikategorisasikan oleh pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komperhensif. 2.1.4 Kemampuan Berpikir Kritis

    Berpikir kritis telah menjadi suatu istilah yang sangat populer dalam dunia pendidikan. Karena banyak alasan para pendidik menjadi lebih tertarik mengajarkan keterampilan-keterampilan berpikir dengan berbagai corak daripada hanya sekedar mengajarkan informasi dan isi.

    Sejumlah ahli menyimpulakan bahwa manusia tidak memiliki kecenderungan alami untuk berpikir kritis. Orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi pun sering berpikir sama tidak kritisnya ketimbang mereka yang memiliki motivasi berprestasi rendah.

    Menurut Paul, Fisher dan Nosich (dalam Fisher, 2009) berpikir kritis adalah mode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kualitas

  • pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menetapkan standar-standar intelektual padanya. Sedangkan menurut Kauchak dan Eggen (2012) berpikir kritis adalah kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk membuat dan melakukan asesmen terhadap kesimpulan berdasarkan bukti.

    Glaser dalam Fisher (2009) mendifinisikan berpikir kritis sebagai : 1. Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada

    dalam jangkauan pengalaman seseorang, 2. Pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran logis, 3. Semacam suatu keterampilan untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif

    berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Menurut Tan (2004) keterampilan berpikir kritis bukanlah kejadian alami, yang datang secara otomatis, keterampilan berfikir kritis membutuhkan proses, intruksi yang terus menerus dan praktik dalam mengembangkannya secara maksimal. Kemampuan berpikir kritis tidak akan terjadi jika tujuan siswa hanya mendapatkan nilai untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Ada empat komponen dasar dari definisi berpikir kritis yaitu: keterampilan dasar, basis pengetahuan, kemauan untuk bertanya dan refleksi diri. Hal yang berbeda dinyatakan Kurfiss (1988) bahwa berpikir kritis merupakan respon rasional untuk pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara definitif dan yang semua informasi yang relevan mungkin tidak tersedia. Hal ini didefinisikan sebagai penyelidikan yang tujuannya adalah untuk mengeksplorasi situasi, fenomena, pertanyaan, atau masalah untuk sampai pada hipotesis atau kesimpulan tentang hal yang mengintegrasikan semua informasi yang tersedia dan karena itu dapat meyakinkan dibenarkan. Dalam berpikir kritis, semua asumsi terbuka untuk pertanyaan, pandangan berbeda secara agresif dicari, dan penyelidikan tidak bias mendukung hasil tertentu. Elder dan Paul (2010) menegaskan bahwa dalam konsep berpikir kritis dapat dinyatakan dalam berbagai hal tergantung pada tujuan seseorang. Sebuah definisi paling berguna dalam menilai kemampuan berpikir kritis adalah sebagai berikut: Berpikir kritis adalah proses menganalisis dan menilai pemikiran dengan maksud untuk meningkatkan itu. Berpikir kritis mengandaikan pengetahuan tentang struktur paling dasar dalam berpikir (unsur pemikiran) dan standar intelektual paling dasar untuk berpikir (standar intelektual universal). Elder dan Paul (2006) menyatakan bahwa hal ini membutuhkan standar yang ketat dari keunggulan dan perintah sadar penggunaannya. Ini memerlukan komunikasi yang efektif dan pemecahan masalah kemampuan dan komitmen untuk mengatasi egosentris dan sosiosentris. Oleh karena itu, unsur pemikiran dalam berpikir kritis adalah: Sudut pandang, Tujuan, Pertanyaan yang dipermasalahkan, Informasi, Interpretasi dan kesimpulan, Konsep, Asumsi, Implikasi dan Konsekuensi.

    Pada dasarnya keterampilan berpikir kritis dikembangkan menjadi indikator-indikator keterampilan berpikir kritis yang terdiri dari lima kelompok besar yaitu : 1. Memberikan penjelasan sederhana 2. Membangun keterampilan dasar 3. Menyimpulkan 4. Memberikan penjelasan lebih lanjut 5. Mengatur strategi dan taktik

    Taksonomi Bloom merupakan salah satu model yang mengintegrasikan antara pengembangan kemampuan berpikir kritis dengan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan. Model tersebut

  • sangat populer terutama dalam menentukan level berpikir yang meliputi: ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan kreasi.

    Strategi lain pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat pendidik lakukan melalui pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Model pendekatan ini dapat dirumuskan dalam beberapa variabel berikut: (1) Tujuan; (2) Kata Kunci Permasalahan; (3) Menyikapi Masalah; (4) Sudut Pandang; (5) Informasi; (6) Konsep (7) Asumsi; (8) Alternatif pemecahan masalah; (9) Interpretasi; (10) Implikasi. Strategi ini digunakan untuk menjawab tantangan yang diajukan Kurfiss (1988) berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, yakni: logika formal, konstruksi makna, dan perkembangangan intelektual. Oleh karena itu, Lai (2011) menyarankan agar dalam penilaian berpikir kritis diarahkan dalam bentuk Penilaian berbasis kinerja, yang dipandang sebagai representasi yang lebih valid dari konstruk, rentan terhadap keandalan yang rendah dan kurangnya generalisasi seluruh tugas ketika pengembangan tugas dan administrasi tidak bisa dibakukan. Bloom (dalam Filsaime, 2008) mendaftar enam tingakatan berpikir kritis dari tingkatan berpikir kritis yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Penilaian berpikir kritis selalu mengacu pada teori Bloom. Menurut Bloom seseorang harus menguasai satu tingkatan berpikir sebelum dia menuju tingkatan atas berikutnya. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir konvergen yaitu menuju ke satu titik dan berpikir kritis dapat dikatakan sesuai dengan ranah kognitif pada tingkat hapalan/pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan analisi (C4). Konsep ranah tersebut mengalami perbaikan seiring perkembangan dan kemajuan zaman serta teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori kata benda menjadi kata kerja. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir, analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja. Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan kategori baru yaitu Creating (menciptakan) yang sebelumnya tidak ada.

    Seseorang dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui penemuan indikator dalam defenisi berpikir kritis yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. Menurut defenisi yang diungkapkan terdapat empat kegiatan atau perilaku yang mengidentifikasikan kemampuan berpikir kritis yang diacu dalam penelitian ini dijelaskan pada tabel 2.1.

    Tabel 2.1. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis No Aspek Kemampuan Berpikir Kritis 1. Kemampuan

    menganalisis Kemampuan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur. Dalam kemampuan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci globalisasi terseut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pernyataan analisis, menghendaki agar pembaca mengidentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan.

    2. Kemampuan mensintesis

    Kemampuan mensintesis merupakan kemampuan yang berlawanan dengan keterampilan

  • menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggaungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pernyataan sintesis diperoleh dari materi bacanya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pernyataan sintesis ini memberikan kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol.

    3. Kemampuan mengenal permasalahan dan pemecahannya.

    Kemampuan ini merupakan kemampuan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, dan mampu mempola sebuah konsep. Tujuan kemampuan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalaha atau ruang lingkup baru.

    4 Kemampuan menyimpulkan

    Kemampuan menyimpulkan ialah kegiatan pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran yang baru. Kemampuan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada satu formula baru yaitu suatu simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu induktif dan deduktif. Jadi kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memperdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.

    2.1.5 Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan

    pembelajaran di kelas maupun tutorial. Menurut Arends (2004), model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.

    Adapun menurut Suprijono (2010) model pemnelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas maupun tutorial. Melalui model pembelajaran, guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir dan mengeksperesikan ide.

    Secara umum model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan untuk mendukung proses belajar mengajar.

  • 2.1.6 Model Pembelajaran Konvensional Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang lazim diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari yang sudah terbiasa dilakukan di kelas, sifatnya berpusat pada guru dan kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar. Pembelajaran konvensional itu bersifat teoritis dan abstrak, tindakan atau perilaku guru didasarkan pada faktor luar dirinya, misalnya individu melakukan sesuatu karena takut hukuman atau untuk memperoleh nilai yang bagus dari guru. Guru merupakan penentu jalannya pembelajaran, pembelajaran berlangsung di kelas dan keberhasilan hanya diukur dari tes. Defenisi model pembelajaran konvensional dalam konteks ini ialah model pembelajaran yang secara umum digunakan di lapangan, guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks, dengan mengutamakan metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Model pembelajaran konvensional dinilai memiliki banyak kelemahan, karena siswa menjadi terbiasa untuk pasif, guru memiliki peranan yang sangat dominan, dan perbedan kemampuan individual siswa terabaikan. Sebenarnya guru telah melakukan variasi metode di dalam proses pembelajaran, namun variasi metode yang dilakukan guru tersebut belum terprogram dengan baik. 2.1.7 Model Pembelajaran Berbasis Masalah

    Selama proses pembelajaran di sekolah, siswa tidak hanya sekedar mendengarkan ceramah guru atau berperan serta dalam diskusi, tetapi siswa juga diminta menghabiskan waktunya di perpustakaan, di situs web atau terjun di tengah-tengah masyarakat. Menurut Dewey (dalam Rusmono,2012) sekolah merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan nyata,karena setiap siswa memiliki kebutuhan untuk menyelidiki lingkungan mereka dan membangun secara pribadi pengetahuannya. Eggen dan Kauchak (2012) mendifinisikan pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu model pengajaran yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah,materi (konten) dan pengendalian diri.

    Strategi pembelajaran berbasis masalah menawarkan kebebasan siswa dalam proses pembelajaran. Pannen (2001) mengatakan dalam strategi pembelajaran dengan PBL siswa diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah. Menurut Rusmono (2012) strategi pembelajaran berbasis masalah adalah stategi yang dimulai dengan : (1) kegiatan kelompok, yaitu membaca kasus; menentukan masalah mana yang paling relevan dengan tujuan pembelajaran; membuat rumusan masalah; membuat hipotesis; mengidentifikasi sumber informasi, diskusi, dan pembagian tugas dan melaporkan , mendiskusikan penyelesaian masalah yang mungkin, melaporkan kemajuan yang dicapai setiap anggota kelompok serta presentasi dikelas; (2) kegiatan perorangan, yaitu siswa melakukan kegiatan membaca berbagai sumber, meneliti dan menyampaikan temuan; (3) kegiatan di kelas yaitu mempresentasikan laporan dan diskusi antar kelompok di bawah bimbingan guru.

    Ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah menurut Baron (2003) adalah : (1) menggunakan permasalah dalam dunia nyata, (2) pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian masalah, (3) tujuan pembelajaran ditentukan oleh siswa dan (4) guru berperan sebagai fasilitator.

    Eggen dan Kauchak (2012) menjelaskan beberapa langkah yang harus dilakukan guru dalam merencanakan pembelajaran berbasis masalah, yaitu dimulai dari menentukan tujuan belajar, selain memahami konsep pelajaran yang diberikan, salah satu tujuan terpenting dalam menerapkan model ini adalah untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan pembelajaran kemandirian

  • (self-direction). Langkah kedua yaitu mengidentifikasi masalah, dalam memilih masalah guru harus berusaha menentukan apakah siswa- siswa memiliki cukup banyak pengetahuan awal untuk secara efektif merancang satu strategi demi memecahkan masalah tersebut. Langkah yang terakhir adalah mengakses materi, guru harus mempertimbangan kondisi agar siswa memahami apa yang harus mereka lakukan, dan mereka harus memiliki akses luas untuk memperoleh materi-materi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.

    Tahap-tahap dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah menurut Nuh dalam Rusmono (2012) terlihat pada tabel 2.2 berikut:

    Tabel 2.2. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap Pembelajaran Perilaku Guru Tahap 1: Mengorganisasi siswa kepada masalah

    Guru menginformasikan tujuan-tujuan pembelajaran, mendeskripsikan kebutuhan-kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa agar terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang mereka pilih sendiri

    Tahap 2: Mengorganisasi siswa untuk belajar

    Gruru membantu siswa untuk menentukan dan mengatur tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah itu

    Tahap 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok

    Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, mencari penjelasan dan solusi

    Tahap 4: Mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya serta pameran

    Guru membantu dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang sesuai seperti laporan., rekaman video, dan model, serta membantu mereka berbagi karya mereka

    Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

    Guru membantu siswa melakukan refleksi atas penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.

    Hasil belajar dari pembelajaran berbasis masalahadalah peserta didik memiliki keterampilan penyeliddikan . peserta didik mempunya keterampilan mengatasi masalah. Peserta didik mempunyai kemampuan mempelajari peran orang dewasa. Peserta didik dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan independen. Menurut Suprijono (2010) hal yang tidak kalah esensiil sebagai hasil pembelajaran berbasis masalah adalah keterampilan berfikir tingkat tinggi. Ciri-ciri berpikir tingkat tinggi adalah:

    1. Bersifat nonalgoritmik, artinya jalur tindakan tidak sepenuhnya ditetapkan sebelumnya 2. Bersifat kompleks, artinya mampu berpikir dalam berbagai perspektif atau mampu

    menggunakan sudut pandang. 3. Banyak solusi, artinya mampu mengemukakan dan menggunakan berbagai soslusi. 4. Melibatkan interpretasi. 5. Melibatkan banyak kriteria.

  • 6. Melibatkan ketidakpastian, artinya tidak semua yang berhubungan dengan tugas yang ditangani telah diketahui.

    7. Melibatkan pengaturan diri proses-proses berpikir. 8. Mampu mengidentifikasi pola pengetahuan. 9. Membutuhkan banyak usaha.

    Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pembelajaran berbasis masalah hars ditandai oleh keterbukaan, keterlibatan aktif peserta didik dan atmosfer kebebasan intelektual, penting pula mempertimbangakan hal-hal seperti situasi multitugas yang akan berimplikasi pada jalannya proses investigasi, tingkat kecepatan yang berbeda dalam penyelesaian masalah, pekerjaan peserta didik, dan gerakan dan perilaku di luar kelas.

    2.1.8 Teori Belajar yang Mendukung Model PBM Teori belajar konstruktivisme mendukung model pembelajaran berbasis masalah. Menurut teori kontruktivisme pengetahuan adalah hasil konstruksi dari kegiatan dan tindakan seseorang, Setiap pengetahuan mengandaikan suatu interaksi dengan pengalaman. Yanpa interaksi dengan objek, seseorang tidak dapat mengkonstruksi pengetahuan. Konstruktivisme beraksentuasi belajar sebagai proses operatif, bukan figuratif. Belajar operatif adalah belajar memperoleh dan menemukan stuktur pemikiran yang lebih umum yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Belajar operatif tidak hanya menekankan pada pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang apa), namun juga pengetahuan struktural (pengetahuan tentang mengapa) serta pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana). Dale (2012) menjelaskan prinsip-prinsip kontruktivisme mengusulkan sejumlah metode yang sangat membantu penggunaan kontruktivisme di kelas. Ini termasuk modelling (menunjukkan kepada murid tentang bagaimana cara melakukan atau memikirkan tentang tugas yang sulit), scaffolding (menyediakan banyak dukungan pada awal belajar), coacing (membantu murid ketika mereka sedang menyelesaikan sebuah masalah), artikulasi (meminta murid mengekspresikan ide-idenya, refleksi (meminta murid melakukan refleksi terhadap aktivitas-aktivitasnya), kolaborasi (dengan murid-murid lain), kegiatan eksplorasi dan mengatasi masalah, memberii pilihan kepada murid yang mendorong murid untuk menghasilkan beragam opsi dan jawaban, serta bersikap fleksibel dan adaptif dan bukan mengikuti rencana pelajaran yang telah ditetapkan secara kaku.

    2.2 Kerangka Konseptual Guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang optimal dengan menerapkan berbagai

    model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan prestasi belajar siswa terhadap mata pelajaran khususnya fisika,

    Dalam pembelajaran fisika, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengajarkan suatu pokok bahasan adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, karena melihat kondisi siswa yang mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam menerima materi pelajaran yang disajikan guru di kelas, ada siswa yang mempunyai daya serap cepat dan ada pula siswa yang mempunyai daya tanggap yang lama.

    Menyikapi kenyataan ini, penulis menilai perlu digunakan model pembelajaran berbasis masalah. Berbeda dengan model lain yang memberikan penekanan pada presentasi ide dan demonstrasi keterampilan, pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari guru mempersentasikan situasi masalah kepada siswa dan membuat mereka melakukan penyelidikan dan menemukan penyelesaian masalah oleh mereka sendiri.

  • Pengetahuan yang mendasarkan pada pembelajaran berdasarkan masalah adalah kaya dan kompleks. Beberapa meta analisis yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir membuat gambaran yang agak jelas tentang efek pembelajaran utama model ini, yang membantu siswa mengembangkan keterampilan penyelidikan, memperoleh pengalaman tentang peran orang dewasa dan meningkatkan rasa percaya diri dalam kemampuan berfikir. Lingkungan belajar pembelajaran berdasarkan masalah ditandai dengan keterbukaan siswa aktif terlibat, dan atmosfir kebebasan intelektual yang mampu meningkatkan kemapuan berpikir dan prestasi belajar siswa.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arikunto, S., (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Penerbit Bumi Aksara,

    Jakarta. Ruwanto, Bambang, (2007), Fisika 1, Yudhistira, Jakarta. Baron, Leora. 2003. Problem base learning, p.1,

    (http://[email protected]/atresourcesttqt.html) Bloom, benjamin S. Taksonomi of educational objectives. 1979 London: Longman Inc., Eggen, Paul dan Don Kauchak. Strategi dan Model Pembelajarn. 2012. Indeks: Jakarta Elder, L dan Paul, R. 2006. The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. The

    Foundation for Critical Thinking. www.criticalthinking.org. 707-878-9100 [email protected]

    Elder, L dan Paul, R. 2010. Critical Thinking: Competency Standards Essential for the Cultivation

    of Intellectual Skills, Part 1. Journal of Developmental Education. Ennis, Robert H. Critical Thinking. 1996. Critical Thinking. Prentice-Hall, Inc. USA. Filsaime, D. K. Menguak Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif. Prestasi Pustakarya: Jakarta Fisher, Alec. Berpikir Kritis. 2009. Erlangga: Jakarta Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika. Erlangga: Jakarta Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa University

    Press Used With Sensitivity toLai, E. R. 2011. Critical Thinking: A Literature Review Research Report. PEARSON Kanginan, Marthen. 2007. Fisika untuk SMA Kelas X. Erlangga : Jakarta

  • Kurfiss, J. G. 1988. Critical Thinking: Theory, Research, Practice, and Possibilities. ASHE-ERIC Higher Education Report No. 2. Association for the Study of Higher Education: ERIC Clearinghouse on Higher Education, Washington, D.C.

    Paulin, Pannen, dkk. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Edisi 1.2001. Penerbit UT.Jakarta Purwanto, N. Psikologi pendidikan. 1992. PT. Remaja Rosda Karya: Bandung Rusmono. Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning. 2012.Ghalia Indonesia: Bogor Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. 2008. Kencana: Jakarta Schunk. Daleh H. Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. 2012. Pustaka pelajar:

    Yogyakarta Sudjana. Metode Statistika. 2005. Tarsito: Bandung.

    Suprijono, Agus. Cooperative Learning. 2010. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Tan, Oon-Seng. Enhancing Thinking Through Problem Base Learning Approaches. 2004. Cengage

    Learning: Singapura Winansih, Varia. Psikologi Pendidikan. 2009. La Tansa Press: Medan