bab ii pembahasan termoregulasi
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Termoregulasi pada Manusia
Termoregulasi adalah suatu pengaturan fisiologis tubuh terhadap panas sehingga suhu
tubuh dapat dipertahankan secara konstan. Termoregulasi meliputi fungsi tubuh untuk
menjaga keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas (Carpenito, 2009).
Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh mekanisme fisiologis dan perilaku. Agar suhu
tubuh tetap konstan dan berada dalam batasan normal, hubungan antara produksi panas dan
pengeluaran panas harus dipertahankan.
Hubungan tersebut diregulasi melalui mekanisme neurologis dengan hipotalamus
sebagai pusat pengatur panas dalam tubuh. Hipotalamus yang terletak antara hemisfer
serebral, akan mengontrol suhu tubuh sebagaimana kerja termostat dalam rumah yang
berpengaruh terhadap perubahan suhu antara panas dan dingin.
Bagian otak yang berpengaruh terhadap pengaturan suhu tubuh adalah hipotalamus
anterior dan hipotalamus posterior. Apabila terjadi peningkatan suhu tubuh inti, maka
hipotalamus anterior akan mengontrol pengeluaran panas agar suhu tubuh menurun.
Sebaliknya, apabila terjadi penurunan suhu tubuh inti, maka hipotalamus posterior akan
mengontrol produksi panas sehingga suhu tubuh dapat meningkat.
Secara garis besar, hipotalamus anterior berperanan dalam kondisi hipertermi dengan
meningkatkan hilangnya panas, vasodilatasi pembuluh darah, dan menimbulkan keringat.
Sedangkan hipotalamus posterior berperan dalam kondisi hipotermi untuk meningkatkan
produksi panas dengan meningkatkan penyimpanan panas, meningkatkan respons menggigil,
meningkatkan sekresi hormon tiroid, mensekresi epinephrine dan norepinephrine,
meningkatkan basal metabolisme rate, serta perasaan dingin yang menyebabkan orang
tersebut mengenakan baju lebih tebal
Jika terjadi penurunan suhu tubuh inti, maka akan terjadi mekanisme homeostasis
yang membantu memproduksi panas melalui mekanisme feed back negatif untuk dapat
meningkatkan suhu tubuh ke arah normal. Thermoreseptor di kulit dan hipotalamus
mengirimkan impuls syaraf ke area preoptic, pusat peningkatan panas di hipotalamus, dan sel
neurosekretory hypothalamus untuk menghasilkan hormon TRH (Thyrotropin releasing
hormon). Selain itu, juga merangsang Thyrotroph di kelenjar pituitary anterior untuk
melepaskan TSH (Thyroid stimulating hormon).
Impuls syaraf di hipotalamus dan TSH kemudian mengaktifkan beberapa organ
efektor. Berbagai organ efektor akan berupaya untuk meningkatkan suhu tubuh untuk
mencapai nilai normal, diantaranya adalah impuls saraf dari pusat peningkatan panas yang
merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan pembuluh darah kulit mengalami
vasokonstriksi. Vasokonstriksi tersebut pada akhirnya akan memperlambat kecepatan
hilangnya panas sehingga menyebabkan temperatur tubuh internal meningkat.
Impuls syaraf di nervus simpatis menyebabkan medulla adrenal merangsang
pelepasan epinephrine dan norepinephrine ke dalam darah sehingga dapat meningkatkan laju
metabolik jaringan tubuh. Selanjutnya, pusat peningkatan panas juga akan merangsang
bagian otak untuk meningkatkan tonus otot. Akibatnya, tonus otot meningkat dan terjadi
siklus yang berulang-ulang yang disebut menggigil. Selama menggigil maksimum, produksi
panas tubuh dapat meningkat 4x dari basal rate hanya dalam waktu beberapa menit.
2.1.1 Perubahan Termoregulasi pada Lansia
Pada proses menua, rentang suhu normal akan turun secara berangsur-angsur sampai
seseorang mendekati masa lansia. Lansia akan menjadi lebih sensitif terhadap suhu yang
ekstrim akibat terjadinya kemunduran mekanisme kontrol, terutama pada kontrol pengaturan
panas oleh hipotalamus, kontrol vasomotor (kontrol vasokonstriksi dan vasodilatasi) pada
kulit, penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas kelenjar keringat, dan
penurunan metabolisme (Nugroho, 2000; Stanley & Beare, 2007).
Seiring pertumbuhan, sel-sel neuron akan menjadi semakin kompleks seiring dengan
proses menjadi dewasa (Stanley & Beare, 2007). Pada masa dewasa, sel-sel saraf akan
mencapai maturitas (kematangan sel). Namun, sel-sel saraf tersebut tidak mengalami
regenerasi sehingga setelah melewati masa dewasa, sel-sel tersebut mulai menua dan rusak.
Sebagai contoh, sel saraf otak tidak bereproduksi lagi sehingga apabila seseorang mengalami
cedera atau penyakit tertentu yang berakibat pada kematian sel saraf tersebut, maka sel
tersebut tidak tergantikan lagi dan fungsinya akan diambil alih oleh sel-sel lain yang
tertinggal. Akibat pekerjaan ekstra tersebut, maka sel-sel yang bersangkutan akan mengalami
proses penuaan yang lebih cepat lagi (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Selama proses penuaan, penurunan aliran darah serebral juga berpengaruh terhadap
kerusakan dan kematian neuron. Kerusakan dan kematian pada neuron pada proses
selanjutnya akan mengakibatkan penurunan kemampuan hipotalamus untuk mengatur
produksi panas (Stanley & Beare, 2007). Deregulasi ini sering mengakibatkan lansia merasa
dingin akibat kehilangan panas dalam tubuh.
Secara umum, beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya hipotermia adalah
lingkungan yang dingin, gangguan pada hipotalamus yang berkaitan dengan bertambahnya
usia, obat-obatan, dan penyakit-penyakit yang menyebabkan berkurangnya pembentukan
panas atau meningkatnya pembuangan panas, ataupun yang mengganggu fungsi hipotalamus.
Sejumlah penyakit dan obat-obatan dapat mengganggu mekanisme pengaturan suhu
tubuh, seperti pada keadaan berkurangnya kadar gula darah dibandingkan normal
(hipoglikemia). Penyakit-penyakit yang menyebabkan lansia tidak mampu atau sangat
terbatas aktivitas fisiknya (seperti penyakit Parkinson, kelumpuhan, penyakit sendi, dan
demensia) juga dapat menyebabkan berkurangnya pembentukan panas yang meningkatkan
risiko terjadinya hipotermia. Selain itu, meningkatnya pembuangan panas tubuh juga dapat
terjadi pada infeksi kulit, berkurangnya lapisan lemak di bawah kulit yang berfungsi sebagai
penahan keluarnya panas dari tubuh, dan komposisi cairan yang menurun pada usia menua.
Komposisi cairan tubuh manusia akan menurun sesuai dengan bertambahnya usia. Pada
lansia, komposisi air tubuhnya adalah kurang dari 60%. Penurunan komposisi air dalam
tubuh lansia lebih disebabkan oleh karena menurunnya cairan di dalam sel akibat
mengecilnya sel dan berkurangnya masaa otot. Berkurangnya cairan tersebut juga akan
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi lansia terhadap suhu udara luar. Suhu
tubuh lansia akan cepat naik bila suhu udara panas dan suhu tubuh akan cepat turun bila suhu
udara dingin.
Secara garis besar, perubahan termoregulasi dapat dilihat pada bagan berikut:
2.2 Masalah yang Terjadi pada Lansia dengan Gangguan Termoregulasi
Perubahan usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi struktur anatomi dan fisiologis sistem tubuh terutama dalam mempertahankan suhu tubuh. Lansia cenderung sensitif terhadap suhu yang eksterm karena mengalami kemunduran mekanisme kontrol, penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas kelenjar keringat dan penurunan metabolisme. Suhu Lingkungan yang aman bagi individu biasanya antara 18,3-23,90C. Perbedaan suhu dapat menyebabkan masalah kesehatan. Hal ini dapat mempengaruhi kenyamanan, produktivitas, dan keamanan seseorang (Potter&Perry. 2005:1156). Perubahan ini akan mempengaruhi lansia untuk mengalami gangguan termoregulasi. Berikut ini adalah masalah yang terjadi pada lansia dengan gangguan termoregulasi.
2.2.1 Demam
Demam adalah suatu kondisi dimana suhu badan seseorang terlalu tinggi. Demam
merupakan akibat dari perubahan set point hipotalamus. Demam atau hiperpireksia terjadi
karena mekanisme pengeluaran panas tidak mampu untuk mempertahankan kecepatan
pengeluaran produksi panas yang berlebih yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh yang
abnormal (Potter & Perry, 2005). Demam selalu dihubungkan dengan infeksi dan
membutuhkan dan membutuhkan evaluasi diagnostik tambahan berdasarkan tanda dan gejala
lokal yang terjadi. Thompson dalam Harkreade (2007), demam merupakan dari respon tubuh.
Demam terdiri dari tiga fase, yaitu fase initiation, plateu, dan defervescence
(Harkreader, 2007).
- Fase initiation adalah tahap dimana pirogen seperti bakteri dan virus yang
menyerang hipotalamus untuk mengatur set point yang lebih tinggi dar suhu
tubuh. Selama periode ini, individu akan menggigil, gemetar dan merasa
kedinginan, meskipun suhu tubuh meningkat. Fase menggigil akan berakhir ketika
set point baru dengan suhu yang lebih tinggi tercapai.
- Fase plateu adalah dimana suhu tubuh telah naik dan dijaga pada peningkatan set
point yang baru, menggigil akan hilang dan individu akan merasa hangat.
- Fase defervescence adalah dimana set point hipotalamus telah menurun dan
menimbulkan respon pengeluaran panas. Individu akan merasa hangat,
berkeringat, dan tampak kemerahan karena vasodilatasi. Ketika demam berhenti,
individu akan menjadi afebris.
2.2.2 Hipotermia
Hipotermia adalah suhu tubuh yang menurun di bawah normal karena pengeluaran
panas yang berlebihan akibat paparan terus-menerus terhadap dingin (Potter & Perry, 2005).
Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya pembengkakan di seluruh tubuh (Edema
Generalisata), menghilangnya reflex tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi
pupil mata. Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 32 C. Untuk mengukur suhu tubuh
pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 25
C. Di samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir
dengan kematian
Beberapa jenis hipotermia, yaitu:
- Accidental hypothermia terjadi ketika suhu tubuh inti menurun hingga <35°c.>
- Primary accidental hypothermia merupakan hasil dari paparan langsung terhadap
udara dingin pada orang yang sebelumnya sehat.
- Secondary accidental hypothermia merupakan komplikasi gangguan sistemik
(seluruh tubuh) yan serius. Kebanyakan terjadinya sih di usim dingin (salju) dan iklim
Dingin
Hipotermia bisa menyebabkanhipoglikemia (kadar gula darah yang rendah), asidosis
metabolik (keasaman darah yang tinggi) dan kematian. Tubuh dengan cepat menggunakan
energi agar tetap hangat, sehingga pada saat kedinginan bayi memerlukan lebih banyak
oksigen. Karena itu, hipotermia bisa menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke jaringan.
Hipotermia dan respon psikologisnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat suhu tubuh:
1. Hipotermia ringan: suhu antara 35 C dan 32 C (95 F dan 89,6 F).
2. Hipotermia sedang: suhu antara 32 C dan 28 C (89,6 F dan 82,4 F).
3. Hipotermia parah: suhu di bawah 28 C(82,4 F).
Respon psikologis yang berkaitan dengan hipotermi mempengaruhi sistem
kardiovaskuler, pernapasan, renal, saraf, dan endokrin.
Radang dingin (frosbite) dan hipotermia dapat terjadi apabila seseorang terpapar udara yang sangat dingin dalam waktu lama. Forsbite terjadi saat daerah permukaan kulit membeku akibat suhu yang sangat dingin. Sedangkan hipotermia terjadi pada saat suhu tubuh inti sama atau kurang dari 350C. gejala yang tampak berupa denyut jantung yang lemah dan tidak teratur, pernapasan dangkal dan lambat, muka pucat, dan agak menggigil. Jika kondisi ini tidak diperbaiki, kematian dapat terjadi. Populasi yang berisiko terkena hipotermia yaitu lansia, orang muda, klien yang berpenyakit kardiovaskuler, klien yang mengingesti obat-obatan dan alcohol secara berlebihan, dan gelandangan. (Potter&Perry. 2005:1156)
2.2.3 Hipertermia
Hipertemia adalah peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas (Potter & Perry, 2005). Sengatan panas (heat stroke) per definisi adalah penyakit berat dengan ciri temperatur inti > 40 derajat celcius disertai kulit panas dan kering serta abnormalitas sistem saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma yang disebabkan oleh pajanan panas lingkungan (sengatan panas klasik) atau kegiatan fisik yang berat.
Heatstroke (sengatan terik matahari) atau heat exhaustion (udara yang sangat panas)
dapat terjadi pada seseorang yang terpapar panas ekstrim. Heatstroke adalah kondisi yang
mengancam kehidupan dengan perubahan status mental yang berat, termasuk antara lain
koma; hiperpireksia dengan kulit kering yang panas; dan suhu rectal yang lebih dari 40,50C
timbul akibat kerusakan total mekanisme termoregulasi hipotalamus. Heat stroke merupakan
lanjutan dari heat exhaustion jika mekanisme pengeluaran panas terus dipacu secara
berlebihan. Penderita heat stroke tidak berkeringat karena kehilangan elektrolit yang
berlebihan dan malfungsi hipotalamus. Heat stroke dengan suhu lebih tinggi 40,5 C
mengakibatkan kerusakan jaringan pada sel dari semua organ tubuh. Tanda vital menyatakan
suhu tubuh terkadang 45 C, takikardi, dan hipotensi.
Heat exhaustion menyebabkan diaphoresis yang berlebihan, hipotensi, perubahan status mental, kejang otot, dan mual. Populasi yang berisiko mengalami cedera akibat panas ekstrem yaitu lansia, klien yang menderita sakit kronik, dan bayi. (Potter&Perry. 2006:1156)
Referensi
Daftar Pustaka:
Carpenito, L.J. (2009). Diagnosis keperawatan: aplikasi pada praktik klinis. 9th Ed.
Jakarta: EGC.
Harkreader, H. et al. (2007). Fundamentals of nursing: caring judgement. St. Louis: Elsevier
Inc.
Maryam, S., dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Nugroho, W. (2000). Keperawatan gerontik. Jakarta: EGC.
Stanley, M &Beare, P.G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC.
Potter, P. & Perry, A. (2005). Buku ajar keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Alih
bahasa, Yasmin Asih [et al], editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti, Monica Ester.
Ed 4. Jakarta: EGC.
Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 4. Vol.2. Penj. Renata K., Dian E., Evie N., Alfrina H., & Sari K. Jakarta:
EGC.
Tamher, S. & Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.