bab ii pembahasan a. kerangka teoritik a.1. kualifikasi...

58
18 BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi Perundang-Undangan yang Berkualitas Dari bentuknya hukum terbagi atas dua yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis dan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari hukum tertulis. 32 Sebagai sumber hukum yang tertulis peraturan perundang-undangan memiliki kelebihan-kelebihan yaitu sebagai berikut: 1. Apa yang diatur mudah diketahui orang. 2. Setiap orang, kecuali yang tidak bisa membaca, mendapatkan jalan masuk yang sama ke dalam hukum. 3. Pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa di cocokkan kembali dengan yang telah dituliskan, sehingga mengurangi ketidakpastian. 4. Untuk keperluan pengembangan peraturan hukum atau perundang- undangan, untuk membuat yang baru, maka hukum tertulis juga menyediakan banyak kemudahan. 33 Menurut Satjipto Raharjo suatu peraturan perundang-undangan yang baik dan berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 32 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Cetakan Keenam 2006), PT Citra Aditya Bakti, 2006, Hlm. 72 33 Ibid.

Upload: docong

Post on 06-May-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

18

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerangka Teoritik

A.1. Kualifikasi Perundang-Undangan yang Berkualitas

Dari bentuknya hukum terbagi atas dua yaitu hukum tertulis dan hukum tidak

tertulis dan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari hukum tertulis.32

Sebagai sumber hukum yang tertulis peraturan perundang-undangan

memiliki kelebihan-kelebihan yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang diatur mudah diketahui orang.

2. Setiap orang, kecuali yang tidak bisa membaca, mendapatkan jalan masuk

yang sama ke dalam hukum.

3. Pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa di cocokkan kembali

dengan yang telah dituliskan, sehingga mengurangi ketidakpastian.

4. Untuk keperluan pengembangan peraturan hukum atau perundang-

undangan, untuk membuat yang baru, maka hukum tertulis juga

menyediakan banyak kemudahan.33

Menurut Satjipto Raharjo suatu peraturan perundang-undangan yang baik dan

berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

32 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Cetakan Keenam 2006), PT Citra Aditya Bakti, 2006,

Hlm. 72 33 Ibid.

Page 2: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

19

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian

merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. Bersifat Universal, Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-

peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkrit

nya. Oleh karena itu tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi

peristiwa-peristiwa tertentu saja.34

A.2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan, pembentukannya sangat berpengaruh pada

apakah sebuah peraturan perundang-undangan dalam proses pembentukannya

sudah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik.

Menurut Maria Farida “Asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik.”35

Pendapat lain dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan

adalah Burkhardt Krems, Burkhardt Krems menyebut asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undang negara dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung,

sehingga pembentukan peraturan perundang-undangan itu menyangkut:

1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);

2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);

3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung

der Regelung); dan

4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der

Ausarbeitung der Regelung).36

34 Satjipto Raharjo, Op. Cit., Hlm. 83 35 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 252. 36 Ibid. Dikutip dari A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. (Suatu studi analisis mengenai

Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I - PELITA IV).

Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 300.

Page 3: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

20

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut

I.C van der Vlies, dimana I.C van der Vlies membagi asas-asas pembentukan negara

yang baik kedalam dua kategori yaitu kedalam asas-asas formal dan asas-asas

material.

Asas-asas formal meliputi:

1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

2. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);

3. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

4. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

5. asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang material meliputi:

1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het

beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke

systematiek);

2. asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

3. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechtsgelijkheidsbeginsel);

4. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);

5. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual

(het beginsel van de individuele rechtsbedeling).37

Menurut A. Hamid S. Attamimi bahwa pembentukan peraturan perundang-

undangan Indonesia yang patut adalah:

a. Cita hukum Indonesia;

b. Asas Negara Berdasarkan Atas Hukum dan Atas Pemerintahan

Berdasar Sistem Konstitusi;

c. Asas-asas lainnya.38

Dari tiga rumusan tersebut maka asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undang Indonesia yang patut akan berpedoman pada:

37 Ibid., Hlm. 254. Dikutip dari Ibid., Hlm. 330. 38 Ibid.

Page 4: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

21

a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila

(Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee),

yang berlaku sebagai “bintang pemandu”.

b. Norma Fundamental Negara yang juga tidak lain

melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku

sebagai Norma);

c. (1) Asas-asas Negara Berdasar Atas Hukum yang

menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan

yang khas berada dalam kekuatan hukum (der Primat des

Rechts);

(2) Asas-asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang

menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas

penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.39

Asas-asas pembentukan peraturan yang patut yang selain rumusan di atas

adalah sebagai berikut”

1. asas tujuan yang jelas;

2. asas perlunya pengaturan;

3. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;

4. asas dapatnya dilaksanakan;

5. asas dapatnya dikenali;

6. asas perlakuan yang sama dalam hukum;

7. asas kepastian hukum;

8. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.40

Asas-asas di atas apabila dibagi menurut kategorinya yaitu asas yang formal

dan asas yang material, A. Hamid S. Attamimi membagi asas-asas pembetukan

peraturan perundang-undangan yang patut sebagai berikut:

a. Asas-asas formal, dengan perincian :

(1) asas tujuan yang jelas;

(2) asas perlunya pengaturan;

(3) asas organ/lembaga yang tepat;

(4) asas dapatnya dilaksanakan; dan

(5) asas dapatnya dikenali;

b. Asas-asas material, dengan perincian :

(1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan Norma

Fundamental Negara;

(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar Atas

Hukum; dan

39 Ibid., Hlm. 255 40 Ibid., Hlm. 256. Dikutip dari Ibid., Hlm. 244-245.

Page 5: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

22

(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar

Sistem Konstitusi.41

A.3. Asas Legalitas

Tujuan utama dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk

menciptakan kepastian hukum,42 karena hukum yang tertulis akan membuat para

subjek hukum mengerti betul hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan atau tidak

dilakukan, yang boleh dan atau tidak boleh, serta mana hak dan kewajibannya43

sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam

sebuah negara hukum.44 Peraturan perundang-undangan ketika dikaitkan dengan

hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang oleh penguasa

terhadap warga negaranya, sehingga dalam konsep negara hukum pengertian

tersebut kemudian dikaitkan dengan asas legalitas.45

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai

dasar dalam pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi

negara-negara hukum dalam sistem kontinental.46 Asas ini dinamakan juga dengan

kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet)47 yang dalam konsep

peraturan perundang-undangan sering di identik dengan asas supremasi hukum

(government under law) dan asas pemerintahan melalui peraturan perundang-

undangan (government by rules).48 Yang menyebabkan setiap penyelenggaraan

41 Ibid. Dikutip dari Ibid. 42 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit., Hlm. 49 43 Ibid., Hlm. 49-50 44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2013, Hlm. 90. 47 Ibid., Hlm. 91. Dikutip dari H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdsukken van

Administratief Rech, (Utrecht: Uitgeverij Lemma BV., 1995), Hlm. 41. 48 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit., Hlm. 51. Dikutip dari Andrew Altman, Arguing About

Law, Hlm. 3-5.

Page 6: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

23

pemerintahan harus didasari oleh hukum dan ketika tidak ada peraturan perundang-

undangan maka tidak ada kewenangan sebagai dasar bertindak bagi setiap badan

atau pejabat negara dan pemerintah.49 50

Teori yang mendasari asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan

adalah teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang

menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan

bagian keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau

hukum merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu

sama lain51 dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma

yang lebih rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi

demikian seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).52

Stufentheorie ini kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen yang bernama

Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen,

Nawiasky menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga

berdasarkan kelompok-kelompoknya msing-massing yaitu terbagi atas empat.

Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),

Kelompok kedutan: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok

Negara), Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok

49 Ibid., Hlm. 51. 50 Kebalikan dari Asas Legalitas adalah Asas Diskresi. Lihat Krishna D. Darumurti,

Kekuasaan Diskresi Pemerintah: Kajian Mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana

Kontrol, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hlm. 1-10 51 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55 52 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 41. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory

of Law Ana State, New York, Russell & Russell, 1945, Hlm. 113

Page 7: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

24

keempat: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan

otonom).53

Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan

akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang

sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus

memiliki sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya

dirunut sampai berpangkal pada norma tunggal54 yang paling tinggi yaitu

Konstitusi.55 Karena Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut

menurut materi muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.56 Demikian

peraturan perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan

berdasarkan konsep hirarki aturan hukum.57 Sehingga asas legalitas dalam

peraturan perundang-undangan yaitu Lex Superior Derodat Lex Inferiori.

Ada dua legalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah peraturan perundang-

undangan yaitu legalitas formal dan legalitas material. Sebagaimana dikemukakan

oleh Hans Kelsen bahwa “sebuah norma dapat dikatakan sah sebagai norma hukum

hanya karena norma tersebut dicapai dengan cara tertentu – diciptakan menurut

aturan tertentu, dikeluarkan atau ditetapkan menurut sebuah metode spesifik.

(formil)” dan dengan materi muatan yang sesuai dengan tingkatan dan

kelompoknya berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi dan dapat dirunut sampai

ke norma dasar (materiil). 58

53 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine

Rechtslehre als System der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2

1948, Hlm. 31 dst. 54 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 94. 55 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 57. 56 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 95, 105. 57 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55. 58 Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problem of Legal Theory),

Nusa Media, Bandung, 2012, Hlm. 96-97.

Page 8: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

25

A.2.1. Legalitas Formil

Dalam pembahasan mengenai legalitas formal yaitu berbicara seputar kaidah

yang menentukan rangkaian aktivitas dalam rangka pembentukan peraturan

perundang-undangan yang meliputi tata cara mulai dari Input – proses – Output,

karena salah satu aspek penting dari hukum perundang-undangan adalah

pengaturan mengenai tata cara atau proses pembentukan perundang-undangan, baik

tingkat pusat maupun daerah.59

Proses yang pertama dalam tahapan pembentukan peraturan daerah adalah

tahapan pembentukan atau perencanaan. Rancangan peraturan daerah dapat berasal

dari dua lembaga yaitu lembaga legislatif, yang di tingkat daerah adalah DPRD dan

lembaga eksekutif daerah yaitu gubernur atau bupati/walikota dan rancangan

peraturan tersebut harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.60

Dalam proses pembentukan peraturan daerah, masyarakat harus dilibatkan baik itu

secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat berhak memberikan masukan

baik itu lisan maupun tertulis dalam menyiapkan rancangan peraturan daerah.61

Proses perencanaan atau pembentukan adalah proses penuangan harapan atau

keinginan dari masyarakat, dan terutama dari para Juris atau ahli hukum, maka dari

itu agar sebuah peraturan daerah dapat memenuhi aspirasi masyarakat, dalam

59 Soehino, Hukum Tata Negara Hukum Perundang-Undangan: Perkembangan

Pengaturan Mengenai Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan Baik Tingkat Pusat Maupun

Tingkat Daerah, BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta, Edisi Kedua, Cetakan Pertama 2012, 2012, Hlm.

2. 60 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2009, Hlm. 37. 61 Ibid.

Page 9: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

26

proses pembentukannya harus diawali dengan Naskah Akademik, agar aspirasi

masyarakat dapat diakomodir.62

Naskah Akademik sangat penting keberadaannya dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan untuk menghasilkan sebuah peraturan perundang-

undangan yang responsif, egaliter, futuristik dan berkualitas. Sehingga harus

diawali dengan riset secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisikan latar

belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,

jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan perundang-undangan. Melalui

Naskah Akademik output dari sebuah Raperda akan lebih berkualitas dan dapat

disebut sebagai good legislation (peraturan perundang-undangan tang baik).63

Tahap berikutnya adalah tahapan pembahasan, pembahasan rancangan

peraturan daerah dilakukan oleh dua lembaga pembentuknya yaitu gubernur atau

bupati/walikota, pembahasan tersebut dilakukan melalui tingkat-tingkat

pembahasan yaitu rapat komisi, rapat pansus, rapat alat kelengkapan DPRD dan

rapat paripurna.64

Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh

pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur atau bupati/walikota

untuk ditetapkan menjadi Peraturan daerah.65 Kemudian pemerintah daerah wajib

menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam lembaran

daerah.66

62 I Gede Pantja Astawa dan Na’a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu perundang-

Undangan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. Hlm. 108. 63 Ibid., Hlm. 109-110. 64 Ibid., Hlm. 115. 65 Ibid., Hlm. 116. 66 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 39.

Page 10: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

27

A.2.2. Legalitas Materiil

Legalitas materiil dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan

perundang-undangan yaitu sebagai pedoman yang mengatur mengenai substansi

atau materi muatan peraturan perundang-undangan.

Peraturan daerah dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatur dan mengurus

otonomi daerah dan tugas pembantuan dimana kewenangannya diperoleh dari

pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi, selain itu juga otonomi dan tugas

pembantuan juga merupakan manifestasi dari pemencaran kekuasaan, maka

substansi dari peraturan daerah pada hakikatnya merupakan pelaksanaan norma

hukum dari jenis peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke

tingkat daerah.67

Peraturan daerah yang merupakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas

pembantuan materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih

tinggi, sebaliknya peraturan daerah harus bermateri muatan berupa penjabaran dari

norma yang lebih tinggi. Sehingga materi muatan peraturan daerah baik itu di

tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota materi muatannya adalah sebagai

berikut.

Perda Provinsi, materi muatannya adalah:

1) Kewenangan yang diperoleh dalam bidang otonomi yang berisikan

kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota, kewenangan di bidang

67 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, Hlm. 126.

Page 11: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

28

pemerintahan tertentu, dan kewenangan yang tidak atau belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota.

2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan

di atasnya, termasuk tugas pembantuan.

3) Untuk menampung dan mengekspresikan kondisi khusus daerah yang

lintas kabupaten/kota.68

Untuk perda di tingkat kabupaten/kota, yang menjadi materi dan muatannya

adalah sebagai berikut.

1) Kewenangan yang diperoleh untuk melaksanakan otonomi daerah yang

berisikan wajib dan kewenangan pilihan.

2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan

di atasnya, termasuk tugas pembantuan.

3) Untuk menampung mengekspresikan kondisi khusus di daerah.69

Menurut Bagir Manan materi dan muatan sebuah peraturan daerah juga

sebagai berikut.

1) Sistem rumah tangga daerah. Dalam sistem rumah tangga formal, segala

urusan pada dasarnya dapat diatur oleh daerah sepanjang belum diatur

atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi. Pada sistem rumah tangga materiil, hanya urusan yang

ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang dapat diatur dengan

perda.

2) Ditentukan secara tegas dalam UU Pemerintahan Daerah seperti APBD,

Pajak dan Retribusi.

68 I Gede Pantja Astawa dan Na’a Suprin, Op.Cit, Hlm. 105. 69 Ibid.

Page 12: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

29

3) Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau

pemerintah daerah yang lebuh tinggi tingkatannya.70

A.4. Kewenangan Daerah Otonom

Urgensi dibentuknya sebuah peraturan daerah ialah dalam rangka otonomi

daerah, karena yang paling esensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang bersifat otonom, ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada

daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi

masyarakat disertai dengan pemberian hak dan kewajiban,71 dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.72

Berkenaan dengan otonomi daerah sehingga penyelenggaraan urusan

pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dilaksanakan dengan

asa-asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Asas desentralisasi, asas desentralisasi inilah yang merupakan hakikat

keberadaan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, desentralisasi

merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut

pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal73 berupa

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

70 Ibid, Hlm. 105-106, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-Undangan

Indonesia, IndHill.Co, Jakarta, 1992, Hlm. 61-62. 71 Siswanto Sunarno, Op.Cit.,, Hlm. 4. 72 Ibid, Hlm. 6. 73 Syaukani, HR., et.al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta 2007, Hlm. xvii

Page 13: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

30

Republik Indonesia. Asas ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum

keperdataan, yakni penyerahan sebagian hak dari pemilik yaitu pemerintah hak

kepada penerima sebagian hak yaitu pemerintah daerah, dengan objek hak tertentu,

berupa kewenangan memerintah dalam bentuk mengatur urusan pemerintahan

namun masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemberian hak

tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah melalui menteri dalam

negeri dan DPRD yang merupakan representatif dari rakyat daerah.74

Menurut Hans Kelsen berkaitan dengan pengertian negara bahwa negara

merupakan tatanan norma hukum (legal norm order). Oleh sebab itu pengertian

desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan norma hukum dalam suatu

negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh

wilayah negara yang sering disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula

kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda

yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Jadi apabila kita

membicarakan tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan

dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku secara sah

tersebut.75

Asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu. Pelimpahan wewenang yang sebenarnya kewenangan itu ada di

tangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penerapan strategi kebijakan dan

pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertikal

74 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 7. 75 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., Hlm. 118. Dikutip dari B. Hestu Handoyo, Hukum

Tata negara, kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,

Yogyakarta, 2003, Hlm. 136.

Page 14: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

31

di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat dengan sumber

pembiayaan dari pemerintah pusat.76

Asas tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah

dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota

dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu. Tugas yang diberikan dari instansi atas kepada

instansi bawahan yang ada di daerah sesuai arah kebijakan umum yang ditetapkan

oleh instansi yang memberikan penugasan, dan wajib dipertanggungjawabkan

tugasnya itu kepada instansi yang memberi penugasan.77

Dari asas-asas pemerintahan sebagaimana dipaparkan di atas terutama asas

desentralisasi, maka yang kemudian menjadi tugas dari pemerintah daerah adalah.

Yang pertama adalah dalam bidang legislasi yakni atas prakarsa sendiri membuat

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang meliputi peraturan daerah

provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, peraturan kepala daerah meliputi

peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota.78

Yang kedua adalah dalam hal perimbangan keuangan antara pemerintah dan

pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,

proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab, dalam rangka

pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.79

76 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 7-8. 77 Ibid., Hlm. 8. 78 Ibid., Hlm. 9. 79 Ibid.

Page 15: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

32

Yang ketiga adalah perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

yang merupakan rancangan keuangan tahunan pemerintahan daerah yang

ditetapkan dengan peraturan daerah.80

Untuk menjalankan tiga tugas di atas, daerah menjalankannya dengan

otonomi yang seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan dengan peningkatan

kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.81 Sehingga,

berdasarkan asas otonomi daerah tersebut melahirkan wewenang disertai hak dan

tanggung jawab daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri, dan dalam wilayah

hukumnya setiap daerah memerlukan pembentukan sebuah peraturan perundang-

undangan guna melegalkan setiap kebijakan pelaksanaan otonomi daerah,

mengingat prinsip bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum

(Rechstaat).82 Dengan kata lain Peraturan daerah yang merupakan pilar utama yang

memayungi realisasi otonomi daerah.83

Walaupun peraturan daerah merupakan peraturan yang lahir dalam rangka

otonomi daerah dan berlaku dalam satu wilayah hukum sebuah daerah otonom

namun peraturan daerah tetap saja bagian dari Perundang-undangan secara

keseluruhan, ada dua arti penting dari perundang-undangan, pertama, berarti tata

cara atau proses pembentukan peraturan-peraturan negara dari jenis yang tertinggi

yaitu undang-undang sampai dengan yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi

atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan

80 Ibid. 81 Ibid., Hlm. 10 82 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011,

Hlm. 24. 83 Zuhro, R. Siti, et.al., Op.Cit., Hlm. viii

Page 16: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

33

produk peraturan-peraturan negara tersebut.84 Jadi peraturan daerah bukan produk

hukum yang terpisah dalam sistem perundang-undangan Indonesia namun harus

dipandang sebagai bagian dari sistem perundang-undangan itu sendiri.

Ada dua kewenangan dalam pembentukan peraturan daerah yaitu atribusi

kewenangan dan delegasi kewenangan. Atribusi kewenangan adalah pemberian

kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh

Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada suatu lembaga negara atau

pemerintah, sedangkan delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan

membentuk peraturan perundang undangan yang lebih tinggi kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas maupun

tidak.85 Kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan apabila

dialihkan harus melalui atribusi atau delegasi yang tegas dan jelas.86

Organ yang bertugas membentuk peraturan perundang-undangan pada

prinsip nya ada dua yaitu legislatif dan eksekutif, ketika yang akan dibentuk

Peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang merupakan decentral or

local norm tentunya harus di bentuk oleh organ pemerintahan dalam daerahnya

tersebut, maka dari itu lembaga legislatif tingkat daerah adalah Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dan lembaga eksekutifnya yaitu gubernur dan bupati/walikota. Dua

organ inilah yang merupakan pemerintah daerah dan kewenangan membentuk

peraturan daerah oleh pemerintah daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan

84 Soehino, Hukum Tata Negara Hukum Perundang-Undangan: Perkembangan

Pengaturan Mengenai Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan Baik Tingkat Pusat Maupun

Tingkat Daerah, BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta, Edisi Kedua, Cetakan Pertama 2012, Hlm. 1,

Dikutip dari A. Hammid S. Sattamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan

Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Negara), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991, Hlm. 6. 85 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit,. Hlm. 166. 86 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 39.

Page 17: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

34

Gubernur atau Bupati/Walikota adalah diperoleh secara atribusi melalui Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.87

A.5. Keagamaan

A.5.1. Injil

Injil (bahasa Yunani: euangelion - Kabar Baik) adalah istilah yang digunakan

untuk menyebut keempat kitab pertama dalam Alkitab Perjanjian Baru. Keempat

kitab tersebut, Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes, disebut

Kabar Baik, karena orang Kristen percaya bahwa narasi keempat Injil yang

berpuncak pada kematian dan kebangkitan Yesus tersebut merupakan kisah

penyelamatan Allah kepada umat manusia yang berdosa, supaya manusia dapat

kembali mengenal Allah yang sesungguhnya dan dapat masuk ke surga..

Istilah "Injil" berasal dari bahasa Arab ʾInǧīl, yang diturunkan dari bahasa

Yunani (euangelion) yang berarti "Kabar Baik" atau "Berita Kesukaan", yang

merujuk pada 1 Peter 1:25 (BIS, TL, & Yunani). Injil dalam bahasa Inggris disebut

Gospel, dari bahasa Inggris Kuno gōd-spell yang berarti "kabar baik", yang

merupakan terjemahan kata-per-kata dari bahasa Yunani (eu- "baik", -angelion

"kabar").

Beberapa ayat yang penting yang memuat kata ini antara lain Markus 1:1:

"Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah."; Markus 1:15:

""Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah

kepada Injil!"; Markus 8:35: "Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya,

ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku

87 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit,. Hlm. 125-126.

Page 18: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

35

dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya."; 1 Korintus 9:23: "Segala sesuatu ini

aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya."; Matius 24:14:

"Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi

semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya", dan di dalam Roma 1

Injil biasanya mengandung arti:

1. Pemberitaan tentang aktivitas penyelamatan Allah di dalam Yesus dari

Nazaret atau berita yang disampaikan oleh Yesus dari Nazaret. Inilah asal

usul penggunaan kata "Injil" menurut Perjanjian Baru (lihat Surat Roma

1:1 atau Markus 1:1).

2. Dalam pengertian yang lebih populer, kata ini merujuk kepada keempat

Injil kanonik (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) yang menyampaikan

kisah kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus.

3. Sejumlah sarjana modern menggunakan istilah "Injil" untuk menunjuk

kepada sebuah genre hipotetis dari sastra Kristen perdana (bdk. Peter

Stuhlmacher, ed., Das Evangelium und die Evangelien, Tübingen 1983,

juga dalam bahasa Inggris: The Gospel and the Gospels).

Kata "injil" dipergunakan oleh Paulus sebelum kitab-kitab Injil dari kanon

Perjanjian Baru ditulis, ketika ia mengingatkan orang-orang Kristen di Korintus

"kepada Injil yang aku beritakan kepadamu" (1 Korintus 15:1). Melalui berita itu,

Paul menegaskan, mereka diselamatkan, dan ia menggambarkannya di dalam

pengertian yang paling sederhana, sambil menekankan penampakan Kristus setelah

kebangkitan (15:3-8):

Sumber utama dari injil adalah kitab suci umat kristiani yaitu Alkitab karena

setiap kitab-kitab dalam Alkitab merupakan bagian dari sistem yang saling

Page 19: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

36

terhubung antara satu dengan yang lain, sehingga untuk memahami empat kitab

Injil dalam perjanjian yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes harus dipahami

secara keseluruhan88 dengan dasar yang kuat dari isi kitab Perjanjian Lama dan

bagaimana injil itu bekerja melalui surat-surat Rasul Paulus serta Kitab-kitab lain

dalam Perjanjian Baru, sehingga dapat di simpulkan bahwa Injil adalah keseluruhan

Alkitab, hal ini senada dengan pendapat Stair yang adalah Juris sekaligus penulis

Institusional dalam bidang hukum Skotlandia dengan pendapatnya bahwa Common

Law atau the Bible adalah Injil.89 Dan inti dari Injil Adalah Yesus Kristus.

A.5.2. Syariah

Hukum Muslim (Muslem Law) atau Hukum Islam (Islamic Law), di Arab

disebut “syariah”90 (jalan yang benar). Menurut logat (bahasa) syariat berarti jalan,

jalan ke mata air, jalan ke tempat bersiram atau jalan yang harus dituruti oleh umat

Islam.91 Dikarenakan bagi orang Arab dengan kondisi tanah yang sebagian besar

terdiri dari gurun pasir adalah sangat penting untuk mengetahui jalan yang menuju

ke mata air. Begitu pula pentingnya syariat bagi umat Islam.

Hukum suci Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur

perilaku kehidupan orang Islam dalam seluruh aspek yang didalamnya terdiri dari

88 Triawan Wicaksono, Jaminan Yang Pasti: Bahan Pemahaman Alkitab Kelompok

Tumbuh Bersama, Perkantas Salatiga, Salatiga, 2011, Hlm. 60. 89 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Dari Ilmu Hukum, Hlm.3. 90 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Comparative Law), Nusa

Media, Bandung, 2010, Hlm. 289. 91 Mohd. Idris Ramulyo, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM: Sejarah Timbul dan

Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Sinar

Grafika, Jakarta, 2004, Hlm. 8.

Page 20: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

37

atas hukum-hukum yang sama mengenai ibadah ritual, seperti aturan politik dan

aturan hukum.92

Ada dua pandangan besar yang mengartikan syariat yaitu Mazhab Hanafi dan

Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi “syariat adalah semua yang diajarkan oleh

nabi besar Muhammad saw, yang bersumber pada wahyu Allah. Hal ini adalah tidak

lain sebagai bagian dari ajaran Islam.”93 Dan menurut Mazhab Syafi’i “syariat

merupakan aturan-aturan lahir batin bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu

Allah dan kesimpulan-kesimpulan (deductions) yang dapat ditarik dari wahyu

Allah, dan sebagainya. Peraturan-peraturan lahir ini mengenai bagaimana cara

manusia berhubungan dengan Allah dan dengan sesama mahkluk lain selain

manusia.”94 Sehingga dapat di simpulkan bahwa syariat adalah setiap pengajaran

Nabi Muhammad yang bersumber pada wahyu Allah yang di dalamnya mengatur

cara pergaulan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dan

manusia dengan lingkungan.

Sumber utama dan tertinggi hukum muslim adalah Al-Qur’an, kitab suci umat

Islam.95 Berikutnya dalam hierarki sumber hukum Islam terdapat Sunnah, yang

merupakan penjelasan tentang ucapan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi, yang

ditulis dalam hadis.96 Alquran dan hadis merupakan bagian dari agama Islam dalam

arti luas97

92 Joseph Shacht, Pengantar Hukum Islam, Nuansa, 2010, Hlm. 21. Diterjemahkan dari

Joseph Shacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford University Press, London, 1965). 93 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., Hlm. 8. 94 Ibid. 95 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 291. 96 Ibid. 97 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit,, Hlm. 2.

Page 21: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

38

Sumber hukum selanjutnya adalah ijma’, yaitu, pendapat-pendapat yang

diterima secara umum di kalangan orang beriman, terutama cendekiawan hukum

yang menafsirkan dua sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.98

Hukum Muslim adalah sistem aturan-aturan hukum agama.99 Hukum Muslim

memuat sejumlah firman dan larangan yang tidak ada hubungannya dengan sanksi

hukum yang sebenarnya, sehingga di mata Barat, firman dan larangan itu lebih

termasuk ranah agama atau moral.100

Dikarenakan fakta bahwa dua sumber hukum Islam primer dan fundamental

berasal dari Tuhan (Qur’an) atau dari Rasul-Nya Muhammad (Sunnah), dan bahwa

segala sesuatu baik yang terjadi maupun belum terjadi sudah ada hukumnya dalam

Alquran, baik itu secara langsung atau tidak langsung101 maka keduanya dianggap

oleh umat muslim yang beriman sebagai sah dan tetap selama-lamanya.102

B. Kerangka Normatif

B.1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

B.1.1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada

asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

98 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 292. 99 Ibid. Hlm. 289. 100 Ibid. Hlm. 290. 101 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., Hlm. 4. 102 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 294.

Page 22: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

39

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan

berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,

yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan. (Pasal 5)

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

Page 23: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

40

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas sebagaimana dimaksud pada Peraturan Perundang-undangan

tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan (Pasal 6)

B.1.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan

berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,

yang meliputi:

h. kejelasan tujuan;

i. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

j. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

k. dapat dilaksanakan;

l. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

m. kejelasan rumusan; dan

n. keterbukaan. (Pasal 5)

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

Page 24: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

41

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain mencerminkan asas di atas Peraturan Perundang-undangan tertentu

dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan

yang bersangkutan (Pasal 6)

B.2. Legalitas Peraturan Perundang-Undangan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan teori sebelumnya bahwa

legalitas mengacu pada ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan

maka pada pembahasan ini akan di paparkan legalitas formil dan legalitas materill

peraturan perundang-undang berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor

10 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 20011 sebagai undang-

undang yang mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

Page 25: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

42

B.2.1. Legalitas Formil

B.2.1.1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat

daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota (Pasal 26 UU 10/2004). Rancangan

tersebut dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat

kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang

legislasi (Pasal 28 ayat (1) UU 10/2004).

Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau

bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota

kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota), untuk

rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat

daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada

gubernur atau bupati/walikota (Pasal 29 UU 10/2004).

Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan

perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai

materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang

disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan

daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai

bahan untuk dipersandingkan (Pasal 31 UU 10/2004).

Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah

dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau

bupati/walikota. Pembahasan bersama dilakukan dalam tingkat-tingkat

pembicaraan yaitu, rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat

Page 26: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

43

daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna (Pasal 40 UU

10/2004)

Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama

oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. Asalkan

sudah mendapat persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan

gubernur atau bupati/walikota (Pasal 41 UU 10/2004).

Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan

perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh

pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota

untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dalam jangka waktu paling lambat

tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 42 UU 10/2004).

Rancangan peraturan daerah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota

dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh

hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan

perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. Jika dalam jangka

waktu tiga puluh hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama,

rancangan peraturan daerah tidak ditandatangani oleh gubernur atau

bupati/walikota maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan

Daerah dan wajib diundangkan. Dengan kalimat pengesahannya berbunyi:

Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. Yang dibubuhkan pada halaman terakhir

Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam

Lembaran Daerah (Pasal 43 UU 10/2004).

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus

diundangkan dengan menempatkannya dalam: lembaran Daerah; atau Berita

Page 27: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

44

Daerah (Pasal 45 UU 10/2004). Selanjutnya Pemerintah Daerah wajib

menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran

Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah

(Pasal 52 UU 10/2004).

B.2.1.2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Prolegda (Pasal

32 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011). Prolegda memuat program pembentukan Peraturan

Daerah dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan

Peraturan Perundang-undangan lainnya yang merupakan keterangan mengenai

konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:

a. latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan

d. jangkauan dan arah pengaturan.

Setelah melalui pengkajian dan penyelarasan materi-materi di atas kemudian

dituangkan dalam Naskah Akademik (Pasal 33 Jo Pasal 39 Jo Pasal 40 UU 12/2011).

Penyusunan Prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.

Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun berdasarkan skala prioritas

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Dengan penyusunan dan

penetapannya dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan

Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (Pasal 34 Jo Pasal 39 Jo

Page 28: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

45

Pasal 40 UU 12/2011) Penyusunan daftar rancangan peraturan daerah didasarkan

atas:

a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;

b. rencana pembangunan daerah;

c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

d. aspirasi masyarakat daerah. (Pasal 35 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).

Dalam penyusunan Prolegda baik itu antara DPRD dengan Pemerintah

Daerah atau penyusunan dalam lingkup DPRD dikoordinasikan oleh DPRD melalui

alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Sedangkan

penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh biro

hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait (Pasal 36 Jo 39 Jo 40 UU

12/2011). Hasil penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah,

disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD, melalui

Keputusan DPRD (Pasal 37 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).

Dalam Prolegda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Kemudian dalam keadaan tertentu, DPRD atau Gubernur, Bupati/Walikota

dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah di luar Prolegda:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;

b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan

c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu

Rancangan Peraturan Daerah yang dapat disetujui bersama oleh alat

Page 29: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

46

kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan biro

hukum (Pasal 38 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Gubernur,

Bupati/Walikota. Rancangan Peraturan Daerah tersebut harus disertai dengan

penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Dengan rancangan

mengenai:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

b. pencabutan Peraturan Daerah; atau

c. perubahan Peraturan Daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa

materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi

muatan yang diatur (Pasal 56 Jo 63 UU 12/2011).

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah dilakukan

sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik (Pasal 57 Jo 63 UU 12/2011).

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan

Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan

DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Jika asalnya dari Gubernur maka

yang mengkoordinasi adalah biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi

vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum (Pasal 58 Jo 63 UU 12/2011).

Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan

komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (Pasal

60 ayat (1) Juncto Pasal 63 UU 12/2011) disampaikan dengan surat pimpinan DPRD

kepada Gubernur. Dalam hal sebaliknya Rancangan Peraturan Daerah yang

Page 30: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

47

disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada

pimpinan DPRD Provinsi (Pasal 61 Jo 63 UU 12/2011).

Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur

menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama,

yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh

DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh

Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan (Pasal 62 Jo 63 UU

12/2011).

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD bersama

Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam tingkatan rapat komisi/ panitia/ badan/ alat

kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna

(Pasal 75 Jo 77 UU 12/2011). Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik

kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur atau Bupati

Walikota dalam hal telah memenuhi persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota (Pasal 76 Jo 77 UU 12/2011).

Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan

Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada

Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

Dengan tata cara penyampaian dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh

hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 78 Jo 80. UU 12/2011).

Kemudian ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan membubuhkan

tanda tangan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak Rancangan

Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota. Apabila dalam jangka waktu yang disediakan yaitu tiga puluh hari

Page 31: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

48

Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani, maka Rancangan Peraturan

Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan

tambahan kalimat pengesahan: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah pada halaman

terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan

Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah (Pasal 79 Jo 80 UU 12/2011).

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang- undangan harus

diundangkan dengan menempatkannya dalam: Lembaran Daerah, Tambahan

Lembaran Daerah, atau Berita Daerah (Pasal 81 UU 12/2011). Khusus untuk

Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah

Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dilaksanakan

oleh Sekretaris Daerah (Pasal 86 UU 12/2011) dan mulai berlaku dan mempunyai

kekuatan mengikat pada saat itu juga, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 87 UU 12/2011).

Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus

merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita

Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia,

Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 95 UU

12/2011).

B.2.2. Legalitas Materiil

B.2.2.1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang berisi hal-hal yang:

Page 32: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

49

a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian

kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan;

6. keuangan negara.

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-

Undang. (pasal 8, 9)

Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 10). Materi muatan Peraturan

Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk

melaksanakan Peraturan Pemerintah. (Pasal 11).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi

khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi (Pasal 12). Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh

materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 13).

Ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan

Daerah. (Pasal 14)

Page 33: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

50

B.2.2.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (Pasal 10 Jo 11).

Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12). Materi muatan Peraturan

Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk

melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan

penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (Pasal 13)

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (Pasal

14). Ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang Peraturan

Daerah. Ketentuan pidana yang dimuat dalam Peraturan daerah hanya berupa

ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling

banyak lima puluh juta rupiah atau ancaman pidana lain sesuai dengan yang diatur

dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. (Pasal 15)

Page 34: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

51

B.3. Kewenangan Daerah Otonom

Sebagai daerah otonom pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota,

berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.103

Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya, kecuali urusan urusan-urusan pemerintahan yang oleh undang-

undang menjadi urusan pemerintah pusat, dimana dalam Undang-Undang No 32

Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 yang menjadi

urusan pemerintah pusat, adalah meliputi:

1. Politik luar negeri.

2. Pertahanan.

3. Keamanan.

4. Yustisi.

5. Moneter dan fiskal nasional.

6. Agama. (Pasal 10 UU 32/2004)

Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam mengurus

pemerintahan dibagi atas dua yaitu hal yang merupakan urusan wajib berupa

penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar pada jaminan standar pelayanan

minimum dan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan yang di dalamnya berupa

urusan pemerintahan yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat berdasarkan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang

bersangkutan.104 Sehingga berdasarkan urusan pemerintahan yang wajib,

kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi:

103 Siswanto Sunanrno, Op.Cit., Hlm. 37 104 Ibid, Hlm. 35

Page 35: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

52

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk

lintas kabupaten/kota;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan

oleh kabupaten/kota ; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan

daerah yang bersangkutan. (Pasal 13, 14)

Page 36: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

53

C. Hasil Penelitian

Untuk mengetahui bahwa sebuah peraturan daerah mengandung materi

muatan atau bermuatan materi keagamaan tentunya sebelum itu harus dipahami

dulu apa yang dimaksud dengan bermuatan materi keagamaan dan apa unsur-unsur

dari kata keagamaan tersebut.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bagian penjelasan

BAB XI tentang Agama bahwa Pasal 29 ayat (1) “Ayat ini menyatakan kepercayaan

bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Menurut kamus Besar Bahasa

Indonesia Agama adalah “ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan)

dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang

berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.” Dari

dua sumber di atas jika digabungkan maka pengertian agama adalah ajaran yang di

dalamnya memuat sistem kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha

Esa serta tata kaidah pergaulan antar masyarakat dan lingkungan.

Sebagaimana juga telah dikemukakan dalam bab 1 bahwa mengenai hal

keagamaan di Indonesia penanganannya di lakukan oleh departemen yang khusus

menangani hal keagamaan yaitu Departemen keagamaan, maka dari itu untuk

mengetahui pengertian keagamaan akan sangat membantu bila kita melihat pada

apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari departemen keagamaan. Sehingga

sebuah peraturan daerah dapat dikatakan bermuatan materi keagamaan apabila di

dalamnya memuat substansi berupa upaya untuk mewujudkan masyarakat

Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.105

105 Visi Kementrian Agama, Op. Cit.

Page 37: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

54

Kemudian secara spesifik memenuhi minimal satu unsur dari unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Mengatur peningkatan kualitas kehidupan beragama.

b. Mengatur peningkatan kualitas kerukunan umat beragama.

c. Mengatur peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan

tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.

d. Mengatur peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.106

Berikut akan dibahas peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan

dari tingkatan provinsi kabupaten dan kota, yang masing-masing tingkatan diambil

satu peraturan daerah untuk diteliti apakah peraturan daerah tersebut memenuhi

kriteria di atas mengenai muatan keagamaan.

C.1. Peraturan Daerah Provinsi

Tabel 12. Peraturan Daerah Provinsi

Provinsi Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah

Provinsi Sumatra

Barat

Nomor

7

Tahun

2005 Tentang Pandai baca Tulis Al-Qur'an

Peraturan Daerah

Provinsi Gorontalo

Nomor

22

Tahun

2005

Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran

Bagi Siswa Yang Beragama Islam

Peraturan Daerah

Provinsi Sulawesi

Selatan

Nomor

4

Tahun

2006 Tentang Pendidikan Al-Qur'an

Peraturan Daerah

Provinsi Riau

Nomor

2

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat

Berikut adalah salah satu peraturan daerah provinsi sebagai sample yang

dipilih dari table di atas yang kemudian diteliti apakah peraturan daerah tersebut

106 Ibid.

Page 38: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

55

memenuhi kriteria sebagai sebuah peraturan yang muatannya bermateri keagamaan

dan apa saja kriteria sebuah peraturan daerah dapat dikategorikan sebagai peraturan

daerah yang bermuatan materi keagamaan.

Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan

Zakat Setelah mendefinisikan peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan,

ketika pengertian tersebut dicocokkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Riau

Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Zakat. Yang akan dibahas beberapa

pasal yang secara eksplisit mencirikan agama tertentu sebagai berikut

Menimbang a. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang

mampu dan pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang

potensial sebagai salah satu upaya mengurangi angka kemiskinan;

Pasal 1 penjelasan umum angka 9, 12 dan 26 serta 27

9. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan/dikeluarkan/ditunaikan oleh orang

muslim atau Badan Usaha yang dimiliki orang muslim sesuai dengan ketentuan

agama Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerima zakat.

12. Shadaqah adalah harta yang dikeluarkan oleh seorang Muslim atau badan

yang dimiliki oleh orang muslim di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

26. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang

berkewajiban menunaikan Zakat.

27. Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat sebagaimana

ditentukan oleh hukum Islam.

Pasal 2

Pengelolaan Zakat, infaq dan shadaqoh berdasarkan iman dan taqwa. keterbukaan

dan kepastian hukum sesuai hukum Islam, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945

dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

Pengelolaan zakat bertujuan:

a. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan Zakat, Infaq,

Shadaqoh sesuai dengan tuntutan agama Islam.

Pasal 5 ayat (3)

(1) Perhitungan Zakat Mal menurut Nisab dan Haul, Kadar dan waktunya

ditetapkan berdasarkan hukum agama Islam.

Pasal 17 ayat (3)

(1) BAZ dan LAZ mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan

mendayagunakan Zakat, Infaq, Shadaqoh sesuai dengan ketentuan hukum

Islam.

Page 39: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

56

Dengan melihat dari pasal-pasal di atas pada intinya zakat adalah kewajiban

umat muslim yang berdasarkan ketentuan hukum islam, tujuan peraturan daerah ini

adalah untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat muslim dalam menunaikan

zakat. Dan pada bagian sanksi dalam hal tidak ditunaikannya zakat maka si wajib

zakat tersebut akan dikenakan sanksi. Maka adalah tepat jika peraturan daerah ini

mengkategorikan bermuatan materi keagamaan.

C.2. Peraturan Daerah Kabupaten

Berikut peraturan daerah bermuatan materi keagamaan yang dirunut dari tahun

2002 sampai tahun 2013 dengan pembagian empat pembagian waktu yaitu antara

2002 sampai 2004, 2005 sampai 2008, 2009 sampai 2011 dan 20012 sampai 2013.

Table 13. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2002 Sampai 2004.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah

Kabupaten Solok Nomor 6

Tahun

2002

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah

Di Kabupaten Solok

Peraturan Daerah

Kabupaten Pasaman

Nomor

22

Tahun

2003

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah

Bagi Siswa, Mahasiswa Dan Karyawan

Peraturan Daerah

Kabupaten Bulukumba Nomor 5

Tahun

2003

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah

Di Kabupaten Bulukumba

Peraturan Daerah

Nanggoerh Aceh

Darussalam

Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten Bukit Tinggi

Nomor

29

Tahun

2004

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan

Shadaqoh

Peraturan Daerah

Kabupaten Pesisir

Selartan

Nomor 8 Tahun

2004

Tentang Pandai Baca Tulis Al-

Qur'an Provinsi Bengkulu

Peraturan Daerah

Kabupaten Cirebon

Nomor

77

Tahun

2004

Tentang Pendidikan Madrasah Diniyah

Awaliyah

Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 5

Tahun

2004

Tentang Ramadan (Perubahan Peraturan

Daerah Ramadan Nomor 10 tahun 2001)

Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 4

Tahun

2004

Tentang Khatam Al-Qur'an bagi Peserta

Didik pada Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Daerah

Kabupaten Dompu

Nomor

11

Tahun

2004

Tentang Tata Cara Pemilihan Kades (materi

muatannya mengatur keharusan calon dan

keluarganya bisa membaca Al-Qur'an yang

dibuktikan dengan rekomendasi KUA).

Page 40: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

57

Tabel 14. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2005 Sampai 2008. Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah

Kabupaten Pesisir

Selatan

Nomor 4 Tahun

2005 Tentang berpakaian Muslim dan Muslimah

Peraturan Daerah

Kabupaten Agam Nomor 6

Tahun

2005 Tentang berpakaian Muslim

Peraturan Daerah

Kabupaten Agam Nomor 5

Tahun

2005 Tentang Pandai baca Tulis Al-Qur'an

Peraturan Daerah

Kabupaten Solok

Selatan

Nomor 6 Tahun

2005

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di

Kabupaten Solok Selatan

Peraturan Daerah

Kabupaten Bandung Nomor 9

Tahun

2005 Tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh.

Peraturan Daerah

Kabupaten Sukabumi

Nomor

12

Tahun

2005 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah.

Kabupaten Sidoarjo Nomor 4

Tahun

2005

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan

Shadaqoh

Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 8

Tahun

2005 Tentang Jum'at Khusyu'

Peraturan Daerah

Kabupaten Hulu

Sungai Utara

Nomor

19

Tahun

2005 Tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh

Peraturan Daerah

Kabupaten Maros

Nomor

16

Tahun

2005 Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah

Peraturan Daerah

Kabupaten Maros

Nomor

15

Tahun

2005

Tentang Gerakan Buta Aksara dan pandai Baca

Al-Qur'an dalam Wilayah Kabupaten Maros

Peraturan Daerah

Kabupaten Maros

Nomor

17

Tahun

2005 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten Enrekang Nomor 6

Tahun

2005 Tentang Busana Muslim

Peraturan Daerah

Kabupaten Kampar Nomor 2

Tahun

2006

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan

Shadaqoh

Peraturan Daerah

Kabupaten Bangka Nomor 4

Tahun

2006

Tentang pengelolaan Zakat, Infaq, dan

Shadaqoh

Peraturan Daerah

Cianjur

Nomor

15

Tahun

2006

Tentang Pemakaian Dinas Harian Pegawai di

Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Cianjur

Peraturan Daerah

Kabupaten Pasuruan Nomor 4

Tahun

2006

tentang Pengaturan Membuka Rumah Makan,

Rombong dan sejenisnya pada Bulan Ramadan

Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 5

Tahun

2006

Tentang Penulisan Identitas dengan Huruf Arab

Melayu (LD No. 5 tahun 2006 Seri E Nomor 3)

Peraturan Daerah

Kabupaten Polewali

Mandar

Nomor

14

Tahun

2006

Tentang Gerakan Masyarakat Islam Baca Al-

Qur'an

Peraturan Daerah

Kabupaten Padang

Panjang

Nomor 7 Tahun

2008 Tentang Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten Bungo

Nomor

23

Tahun

2008 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten Kutai

Kartanegara

Nomor 9 Tahun

2008

Tentang Pengelolaan Zakat Kabupaten Kutai

Kartanegara

Page 41: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

58

Tabel 15. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2009 Sampai 2011.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang Peraturan Daerah

Kabupaten

Bondowoso

Nomor

11

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten

Konawe Utara

Nomor

4

Tahun

2009

Tentang Bebas Buta Baca Tulis Huruf

Alqur’an Bagi Anak Usia Sekolah Dan

Masyarakat Yang Beragama Islam Di

Kabupaten Konawe Utara

Peraturan Daerah

Kabupaten Bintan

Nomor

6

Tahun

2010

Tentang Kewajiban Pandai Baca Tulis Al

Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak

Usia Sekolah Yang Beragama Islam

Peraturan Daerah

Kabupaten

Indagiri Hulu

Nomor

4

Tahun

2010

Tentang Pandai Baca Tulis Al Qur’an Bagi

Peserta Didik Pada Pendidikan Dasar,

Pendidikan Menegah dan Calon Pengantin.

Peraturan Daerah

Kabupaten Tapin

Nomor

13

Tahun

2010 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten

Sumedang

Nomor

1

Tahun

2011

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq Dan

Shadaqah

Peraturan Daerah

Kabupaten

Kebumen

Nomor

13

Tahun

2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten

Banjarnegara

Nomor

10

Tahun

2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Tabel 16. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2012 Sampai 2013.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang Peraturan Daerah

Kabupaten Rokan

Hulu

Nomor

7

Tahun

2012 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten

Kuningan

Nomor

4

Tahun

2012 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten

Penajam Paser

Utara

Nomor

2

Tahun

2012

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq,

Shodaqoh Dan Wakaf

Peraturan Daerah

Kabupaten Wajo

Nomor

22

Tahun

2012 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten Siak

Nomor

6

Tahun

2013 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kabupaten

Batang Hari

Nomor

17

Tahun

2013

Tentang Kewajiban Mampu Baca Tulis Al-

Qur’an Dan Melaksanakan Shalat Fardlu

Bagi Siswa Yang Beragama Islam

Page 42: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

59

Peraturan Daerah Kabupaten Solok Selatan Nomor: 6 Tahun 2005 Tentang

Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di Kabupaten Solok Selatan. Berikut anatomi

dari Peraturan daerah ini pasal-pasal mana saja yang memuat ajaran agama tertentu

sehingga peraturan daerah ini dapat dikategorikan bermuatan materi keagamaan.

Pasal 1

6. Pakaian Muslim dan Muslimah adalah pakaian yang bercirikan Islam.

Pasal 2

Maksud Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi masyarakat merupakan

perwujudan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah

Subhanahu wa ta’ala serta taat mengamalkan Agama Islam sekaligus melestarikan

pakaian adat.

Pasal 3

Tujuan berpakaian Muslim dan Muslimah adalah:

1) Membentuk sikap sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang baik dan

berakhlak mulia;

2) Membiasakan diri berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-

hari, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di hadapan umum;

3) Menciptakan masyarakat yang mencintai Budaya Islam dan Budaya

Minangkabau;

4) Melestarikan fungsi adat sesuai dengan pituah “syara’ mangato adat

memakai”.

Pasal 4

Fungsi berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan

harga diri, sebagai identitas Muslim dan Muslimah, serta untuk menghindari

kemungkinan terjadinya ancaman dan gangguan dari pihak lain.

Pasal 5

Setiap Siswa/Siswi SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK dan Karyawan/ Karyawati

diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi

Mahasiswa/Mahasiswi TNI dan Polri dan masyarakat umum adalah bersifat

himbauan.

Pasal 6

(1) Berpakaian Muslim dan Muslimah sebagaimana dimaksud pada pasal 5

dilaksanakan pada :

Page 43: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

60

a. Kantor-kantor Pemerintah dan Swasta;

b. Sekolah-sekolah Negeri dan Swasta, mulai dari SD/MI, SMP/MTs,

SMA/MA, SMK;

c. Lembaga-lembaga Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah;

d. Acara-acara resmi;

(2) Bagi TNI Polri, Mahasiswa/Mahasiswi dan masyarakat umum dihimbau untuk

berpakaian muslim dan muslimah dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada

acara hiburan umum.

Pasal 7 (1) Ketentuan mengenai pakaian Muslim dan Muslimah bagi Karyawan/

Karyawati pada Kantor Pemerintah dan Swasta sebagaimana tersebut dalam

pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :

A. KARYAWAN :

1) Memakai celana panjang ;

2) Memakai baju lengan panjang / pendek.

B. KARYAWATI :

1) Memakai baju lengan panjang yang menutupi pinggul;

2) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki;

3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan

dada.

(2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak

memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat), serta pusar tidak terbuka.

(3) Ketentuan mengenai Model Pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Bupati.

Pasal 8 (1) Ketentuan memakai Pakaian Muslim dan Muslimah bagi Siswa / Siswi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut :

A. LAKI-LAKI :

1) Memakai celana panjang;

2) Memakai baju lengan panjang / pendek.

B. PEREMPUAN :

Memakai baju lengan panjang yang menutup pinggul dan dada yang

dalamnya sampai lutut;

1) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki;

2) Memakai kerudung yang menutup rambut, telinga, leher dan tengkuk

serta dada.

(2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang dan tidak

memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat) serta pusar tidak terbuka.

(3) Ketentuan mengenai model pakaian diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Bupati.

Page 44: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

61

Pasal 11 Setiap pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi

sebagai berikut:

a. Bagi Karyawan / Karyawati / Dosen / Guru-guru dikenakan sanksi dengan

ketentuan Disiplin Pegawai.

b. Bagi Siswa / Siswi dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut :

1) ditegur secara Lisan;

2) ditegur secara tertulis;

3) diberitahukan kepada orang tua;

4) tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di sekolah;

5) dikeluarkan / dipindahkan dari sekolah.

c. Bagi Panitia yang menyelenggarakan Acara Resmi, dikenakan sanksi berupa

teguran secara lisan agar Panitia menertibkan undangan;

Pasal 14

(1) Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam

dan berdomisili dan atau bekerja di daerah Kabupaten Solok Selatan.

(2) Bagi Karyawan / Karyawati, Mahasiswa / Mahasiswi, Siswa / Siswi dan

Pelajar serta masyarakat yang tidak beragama Islam busananya

menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing.

Dalam peraturan daerah ini memuat bahwa setiap siswa dan karyawan muslim

yang berdomisili di wilayah hukum kabupaten solok selatan untuk diwajibkan

berpakain muslim sebagai bentuk peribadatan dengan disertai sangsi bagi para pihak

yang tidak melaksanakan bentuk peribadatan tersebut. Penyimpangan yang adal

dalam peraturn daerah diatas juga bahwa peraturan daerah tersebut hanya

diberlakukan bagi siswa dan siswi yang beragama muslim di kabupaten Solok Selatan

hal ini angan kontraksi dengan sifat peraturan perundang-undangan yang adalah

sebuah regeling dan sifatnya umum jadi peraturan daerah semestinya tidak boleh

hanya untuk kalangan tertentu saja, demikian anatomi peraturan daerah kabupaten

Solok Selatan Nomor 6 Tahun 2005 dengan kesimpulan bahwa peraturan ini sudah

jelas bermuatan keagamaan.

Page 45: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

62

C.3. Peraturan Daerah Kota

Tabel 17. Peraturan Daerah Kota Tahun 2004 Sampai 2009.

Kota Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah

Kota Banjarmasin

Nomor

31

Tahun

2004 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kota Banjarmasin

Nomor

4

Tahun

2005

Tentang Perubahan Atas Peraturan

Daerah Kota Banjarmasin Nomor

13 Tahun 2003 tentang Larangan

Kegiatan Pada Bulan Ramadan

Peraturan Daerah

Kota Kendari

Nomor

17

Tahun

2005

Tentang Bebas Buta Aksara Al-

Qur'an pada Usia Sekolah dan Bagi

masyarakat Islam di Kota Kendari

Peraturan Daerah

Kota Serang

Nomor

1

Tahun

2006

Tentang Madrasah diniyah

Awwaliyah

Peraturan Daerah

Kota Makassar

Nomor

5

Tahun

2006 Tentang Zakat

Peraturan Daerah

Kota Batam

Nomor

3

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kota Tasikmalaya

Nomor

12

Tahun

2009

Tentang Pembangunan Tata Nilai

Kehidupan Kemasyarakatan Yang

Berlandaskan Pada Ajaran Agama

Islam Dan Norma-Norma Sosial

Masyarakat Kota Tasikmalaya

Peraturan Daerah

Kota Semarang

Nomor

7

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat

Tabel 18. Peraturan Daerah Kota Tahun 2010 Sampai 2011.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah

Kota Padang

Nomor

02

Tahun

2010 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kota Mojokerto

Nomor

3

Tahun

2010

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq

Dan Shodaqoh

Peraturan Daerah

Kota Probolinggo

Nomor

11

Tahun

2010 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah

Kota Banjarmasin

Nomor

4

Tahun

2010

Tentang Wajib Baca Tulis Al-

Quran Bagi Siswa Sekolah Dasar /

Madrasah Ibtidaiyah, Siswa

Sekolah Menengah Pertama/

Madrasah Tsanawiyah Dan Siswa

Sekolah Menengah Atas / Madrasah

Aliyah / Sekolah Menengah

Kejuruan Serta Calon Pengantin

Yang Beragama Islam

Peraturan Daerah

Kota Ternate

Nomor

30

Tahun

2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Page 46: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

63

Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Wajib

Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah, Siswa

Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah Dan Siswa Sekolah Menengah

Atas / Madrasah Aliyah / Sekolah Menengah Kejuruan Serta Calon Pengantin Yang

Beragama Islam

Untuk mengkategorikan peraturan daerah ini sebagai peraturan daerah yang

bermuatan materi keagamaan secara sepintas memang langsung dapat dilihat dari

judulnya saja, namun Selain dapat dilihat dari judul peraturan daerah ini dalam

batang tubuhnya juga terdapat banyak pasal yang sangat kental dengan kaidah

keagamaan, berikut pasal-pasal yang bersifat keagamaan.

Menimbang : a. bahwa AI-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah

Subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad, sebagai

salah satu Rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta,

didalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi dasar

hukum, petunjuk, pedoman dan pelajaran serta ibadah bagi

orang yang membaca, mempelajari, mengimani serta

mengamalkannya;

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Daerah Kota Banjarmasin;

2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banjarmasin;

3. Wajib Baca adalah kemampuan seseorang untuk membaca huruf atau lambang,

baik huruf arab atau latin dan sebagainya;

4. Al-Qur'an adalah Kitab Suci yang berisi wahyu Allah SWT yang diturunkanNya

melalui Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril

dan membacanya menjadi ibadah;

5. Wajib Baca Tulis Al-Qur'an adalah upaya untuk menjadikan siswa dan

masyarakat pandai baca tulis Al-Qur’an dengan baik dan benar;

6. Wajib membaca AI-Qur'an dengan baik dan benar adalah Kemampuan

seseorang membaca Al-Qur'an dengan Fasih sesuai dengan Ilmu Tajwid;

7. Siswa Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat dengan Siswa SD, adalah

Siswa SD / Madrasah lbtidaiyah (MI) se Kota Banjarmasin;

Page 47: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

64

8. Siswa Sekolah Menengah Pertama selanjutnya disingkat dengan Siswa SMP

adalah Siswa SMP /Madrasah Tsanawiyah (MTs) Se Kota Banjarmasin;

9. Siswa Sekolah Menengah Atas selanjutnya disingkat dengan Siswa SMA

adalah Siswa SMA / SMK / Madrasah Aliyah se Kota Banjarmasin;

10. Calon Pengantin adalah seorang laki-laki dan atau perempuan yang akan

melangsungkan pernikahan bagi yang beragama Islam;

Pasal 2

Maksud wajib baca tulis Al-Quran bagi Siswa SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA

serta Calon Pengantin yang beragama Islam adalah untuk membentuk Insan Kamil

atau Muslim / Muslimah yang Paripurna yang mencerminkan ciri-ciri kualitas

manusia seutuhnya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an.

Pasal 3

Tujuan wajib baca tulis Al-Qur'an bagi Siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA

serta Calon Pengantin yang beragama Islam adalah :

a. Tujuan Umum

Tujuan Umum adalah agar setiap Siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA

serta Calon Pengantin dan masyarakat :

1. Memiliki sikap sebagai seorang muslim/muslimah yang baik dan berakhlak

mulia;

2. Memiliki sikap sebagai warga Negara Indonesia dan masyarakat yang baik,

berbudi luhur, berdisiplin dan bertaqwa kepada Allah Subhanahuwata'ala;

3. Mempunyai pengetahuan tentang dasar-dasar hidup beragama Islam serta

terampil dan taat dalam melaksanakan ibadah.

b. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus wajib baca tulis Al-Qur'an adalah agar setiap Siswa SD/MI,

SMP/MTs, SMA/SMK/ MA serta calon pengantin :

1. Mampu baca tulis Al-Qur'an dengan baik dan benar serta terbiasa

membaca dan mencintai Al-Qur'an dan mengaplikasikannya dalam

kehidupan sehari-hari;

2. Mampu memahami dan menghapal ayat-ayat Al-Qur'an untuk bacaan-

Shalat sekaligus dalam rangka memakmurkan dan mencintai Mesjid,

Mushalla/langgar, serta dapat menjadi imam yang baik dalam Shalat.

Pasal 4

Fungsi wajib baca tulis Al-Qur'an dengan baik dan benar adalah sebagai wahana

menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahuwata'ala bagi

Siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA serta Calon Pengantin dan masyarakat

adalah dalam rangka membentuk Keluarga Sakinah, mawaddah, warrahmah.

Pasal 10

(1) Setiap pasangan calon Pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib

baca tulis Al-Qur'an dengar baik dan benar.

(2) Kemampuan baca tulis Al-Qur'an sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibuktikan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau dihadapan

Page 48: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

65

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang bertugas membimbing acara

pernikahan tersebut.

Pasal 11

(1) Bagi setiap tamatan SD/MI dan atau SMP/MTs yang akan melanjutkan

pendidikan pada jenjang pendidikan berikutnya, ternyata tidak mampu baca

tulis Al-Qur'an dengan baik dan benar dan atau tidak memiliki sertifikat wajib

baca tulis Al-Qur'an, maka yang bersangkutan tidak/belum dapat diterima

pada jenjang pendidikan tersebut.

(3) Bagi Calon Pengantin yang tidak bisa baca tulis Al-Qur'an dengan baik dan

benar di hadapan PPN atau Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada Pasal

10 ayat (2), maka Pelaksanaan Nikahnya tetap dilangsungkan dengan membuat

surat pernyataan sanggup belajar baca tulis Al-Qur’an.

Pasal 17

(1) Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam

sehat jasmani dan rohani yang berdomisili di Daerah serta masyarakat yang

akan melaksanakan pernikahan di Daerah.

(2) Bagi siswa yang tidak beragama Islam agar dapat menyesuaikan dengan

tuntunan dan ketentuan yang berlaku bagi agama yang dianutnya.

Pasal 18

Sertifikat wajib baca tulis Al-Qur’an merupakan salah satu persyaratan untuk

dapat diterima pada jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK.

Analisis secara garis besar peraturan daerah ini adalah mengharuskan khusus

bagi setiap siswa dan calon pengantin muslim untuk diharus kan membaca Al-

Qur’an dimana Al-Quran itu sendiri adalah kitab suci umat muslim yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad, di dalamnya terkumpul wahyu yang menjadi dasar

hukum, petunjuk, pedoman dan pelajaran serta ibadah bagi orang yang membaca,

mempelajari, mengimani serta mengamalkannya sebagai wujud peribadatan.

Ketentuan lebih lanjut dalam peraturan daerah ini bilamana peribadatan tersebut

lalai dilakukan maka ada sanksi yang diberikan. dapat disimpulkan bahwa peraturan

daerah ini memuat hal keagamaan yaitu hukum Islam.

Page 49: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

66

D. Analisis

D.1. Dasar Negara Dan Agama

Berbicara mengenai pengaturan tentang hal keagamaan ada baiknya kita

melihat pada dasar pendirian negara Indonesia ketika terjadi polemik antara

Soekarno dan Muhammad Natsir mengenai hubungan antara negara dengan agama.

Soekarno berpendirian bahwa demi kemajuan negara maupun agama itu sendiri

maka negara dan agama harus di pisahkan.107

Pertama dimana negara Indonesia didirikan tidak berlandaskan pada suatu

agama tertentu dan perdebatan waktu itu Soekarno berpendapat bahwa negara harus

memisahkan antara negara dan agama, Soekarno mencontohkan Turki di bawah

pimpinan Kemal Attaturk pada tahun 1928 menghapus ketentuan konstitusinya

tentang kedudukan islam sebagai agama negara dan menjadikan masalah agama

sebagai urusan perorangan.108

Memisahkan adalah tidak sama dengan menolak, hal ini dapat kita pahami

melalui pendapat lain yang dikutip dari pernyataan Franches Woodsmall, bahwa,

turki moderen adalah anti kolot, anti “gereja” namun tidak anti agama. Dan dikutip

pula pernyataan Halide Adib Hanoun, bahwa, jika Islam terancam bahaya

kehilangan pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus

oleh pemerintah, tetapi justru karena diurus oleh pemerintah, umat Islam terikat

kaki dan tangannya dengan rantai kepala politik pemerintah itu. Hal ini adalah satu

halangan yang besar sekali buat kesuburan Islam di Turki.109

107 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta, Edisi

Revisi, Cetakan Kedua Juni 2001, Hlm. 4. 108 Ibid, Hlm. 7, Dikutip dari Soekarno, “Me-muda-kan Pengertian Islam”, dalam Di

Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. Cet. IV, 1965, Hlm. 370. 109 Ibid.

Page 50: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

67

Menyambung pendapat di atas kemudian Dikemukakannya perkataan

Menteri Kehakiman Mahmud Essad Bey yang mengatakan bahwa agama itu perlu

dimerdekakan dari belenggu pemerintah, agar menjadi subur, sebab manakala

agama diurus oleh pemerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum oleh raja-

raja, orang-orang dzalim dan orang-orang tangan besi.110 Maka dari itu jangan

sampai hal ini terjadi di Indonesia lebih khusus dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Mengenai keyakinan umat Islam bahwa Islam telah mengatur berbagai hal

termasuk negara sehingga agama tidak dapat di pisahkan dari negara Soekarno

menanggapi bahwa dalam masalah ini belum ada ijma111. Oleh karena itu dengan

tegas Soekarno menyatakan Islam di Indonesia tidak menjadi urusan negara.112

Negara tidak bisa mengambil tindakan atas praktek-praktek Islam … karena

peraturan antara agama dan dengan negara telah memberi peluang pada syekh-

syekh Islam menghalanginya dengan alasan agama Islam adalah agama negara.113

Alasan yang lain mengapa hal keagamaan jangan sampai diatur oleh negara

karena dalam satuan wilayah hukum daerah otonom ketika pemerintah

memasukkan ajaran agama tertentu dalam sebuah peraturan perundang-undangan

khususnya peraturan daerah, berarti pemerintah sudah menjadi alat untuk

menegakkan sebuah agama tertentu,114 sehingga pemerintah harus menjamin

pelaksanaan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama tersebut dan

110 Ibid. Hlm. 8. 111 Ijma’ adalah kesepakatan pendapat dari para ulama tentang sesuatu atau beberapa

masalah. 112 Mahfud MD, Op. Cit, Hlm. 9. 113 Ibid., Hlm. 11 114 Ibid., Hlm. 23

Page 51: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

68

memaksanya.115 padahal tidak semua warganya menganut agama yang sama, dan

hal ini akan dirasa tidak adil karena itu kan diberlakukan dalam kehidupan semua

warganya,116 kemudian walaupun ketentuan tersebut hanya ditujukan bagi warga

yang menganut agama tertentu saja, tetap saja ketentuan ini juga dapat dipahami

sebagai hal diskriminasi bagi penganut lain, apakah warga dalam daerah tersebut

cuma yang beragama misalnya islam, sehingga istilah warga pada umumnya

diperuntukkan bagi orang Islam, sedangkan penganut agama lain misalnya Kristen

meskipun warga pribumi dianggap sebagai orang asing.117

Mengenai masalah ini Soekarno sangat tegas menekankan dalam

pernyataannya yang masih dalam seputaran perdebatan mengenai dasar yang akan

dibangun atas negara Indonesia,

Tuan berkata, negara jangan dipisahkan dengan agama, negara

harus satu dengan agama. Accord, tetapi bagaimana Tuan

mengerjakan Tuan punya idea itu dimana penduduk sebagian

tidak beragama Islam, sepertinya Turki, India, Indonesia, dimana

milyunan orang tidak beragama atau beragama lain dan dimana

kaum intelektual umumnya tidak berfikir islamistis…

Andainya, andainya Tuan menjadi pemerintah negeri yang

banyak bukan orang Islam, apakah Tuan mau tetapkan saja bahwa

negara harus negara Islam, undang-undang dasar harus undang-

undang dasar Islam, semua hukum-hukum yang beragama

Kristen atau agama lain tidak mau terima, bagaimanakah, Tuan

apakah mau paksa sahaya kepada mereka, dengan

menghantamkan tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka

musti ditundukkan kepada kemauan tuan?

Ai Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata

bedil atau meriam?118

Sangat tegas pernyataan Soekarno tersebut sebaiknya ajaran agama dan

negara atau pemerintahan tetap di pisahkan namun hubungan antara agama dan

115 Ibid., Hlm. 22 116 Ibid., Hlm. 23 117 Ibid,. Hlm. 13. 118 Ibid, Hlm. 12, Dikutip dari Soekarno, “Saya Kurang Dinamis”, dalam Di Bawah

Bendera Revolusi, Op.Cit, Hlm. 450.

Page 52: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

69

negara adalah dimana negara bersifat melindungi hak-hak setiap warga negara

dalam memeluk agama dan menjalankan agamanya serta beribadah menurut

agamanya tersebut, karena dalam negara Indonesia terdiri dari banyak agama

adalah tidak adil memasukkan ajaran salah satu agama dalam peraturan perundang-

undangan, mengenai hal ini kita dapat mencontoh di negara-negara Barat yang di

pisahkan dari negara adalah Gereja, bukan agama. Oleh sebab itu, menurut Deliar,

masalah agama dan negara tidak perlu timbul di Indonesia.119

D.2. Kewenangan Daerah

Segala kewenangan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan otonom

adalah diperoleh dari desentralisasi kewenangan atau penyerahan kewenangan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah darah yang sehingga untuk mengetahui

apakah daerah otonom memiliki kewenangan dalam mengatur hal keagamaan

sehingga daerah dapat membentuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah

yang mengatur hal tersebut yaitu agama. Berikut akan dibahas apa saja kewenangan

yang diperoleh oleh daerah otonom dari pemerintah pusat berhubungan dengan

otonomi daerah.

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:

daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan

dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom

(streek dan locate reichtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi

belaka, semuanya menurut aturan yang akan di tetapkan dengan undang-undang.

119 Ibid, Hlm. 24, Dikutip dari Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta,

1986, Hlm. 205-207.

Page 53: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

70

Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh

karena itu, di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Berikutnya dalam perubahannya yang kedua Undang-Undang Dasar 1945

dimana ketentuan mengenai pemerintahan daerah, pasal 18 berbunyi sebagai

berikut.

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas dasar

kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan

kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan

undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

memiliki dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-

anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai

kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota di

pilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan.

Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan

pemerintahan yang menurut undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah

pusat yaitu Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2004 juncto Pasal 2

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 yang menjadi urusan

pemerintah pusat, adalah meliputi:

1. Politik luar negeri.

2. Pertahanan.

3. Keamanan.

4. Yustisi.

5. Moneter dan fiskal nasional.

6. Agama.

Page 54: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

71

Yang menjadi kewenangan daerah adalah dapat dilihat dari Peraturan

Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 Pasal ayat (4) dimana urusan pemerintahan

daerah terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum;

d. perumahan;

e. penataan ruang;

f. perencanaan pembangunan;

g. perhubungan;

h. lingkungan hidup;

i. pertanahan;

j. kependudukan dan catatan sipil;

k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. sosial;

n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;

o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;

p. penanaman modal;

q. kebudayaan dan pariwisata;

r. kepemudaan dan olah raga;

s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan

daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

u. pemberdayaan masyarakat dan desa;

v. statistik;

w. kearsipan;

x. perpustakaan;

y. komunikasi dan informatika;

z. pertanian dan ketahanan pangan;

aa. kehutanan;

bb. energi dan sumber daya mineral;

cc. kelautan dan perikanan;

dd. perdagangan; dan

ee. perindustrian.

Kesimpulannya adalah kewenangan dalam menjalankan otonomi seluas-

luasnya yaitu 31 bidang di atas kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama.

Maka dari itu hak dari pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah

guna melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana dituang

Page 55: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

72

dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6) dibatasi dengan enam

pengecualian tersebut termasuk agama, dengan kata lain pemerintah daerah tidak

memiliki kewenangan mengatur hal yang bersifat keagamaan jadi agama tidak

dapat dimuat dalam peraturan daerah.

D.3. Hukum Sebagai Sistem

Sistem adalah sebuah keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian kecil yang

saling berhubungan satu sama lain sehingga setiap bagian dari sistem adalah

merupakan bagian keseluruhan dengan kata lain tidak terpisah satu sama lain.

Hukum sebagai suatu sistem maksudnya adalah setiap bagian peraturan

perundang-undangan suatu negara harus di tegakan berdasarkan sebuah sistem

dengan artian bahwa setiap peraturan perundang-undangan tidak berdiri sendiri

melainkan harus saling berkaitan saling menunjang satu sama-lain sebagai sebuah

sistem yang membentuk sebuah kesatuan.120

Demikian halnya di Indonesia dimana norma-norma hukum yang berlaku di

Indonesia berada dalam sebuah sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang sekaligus

berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki sumber

dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai

berpangkal pada norma tunggal121 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.122 Karena

Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi

muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.123 Demikian peraturan

120 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55 121 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 94. 122 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 57 123 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 95, 105.

Page 56: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

73

perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan

konsep hirarki aturan hukum.124

Konstitusi menetapkan muatan baik itu menentukan atau melarang muatan

Peraturan perundang-undangan pada tingkatanya masing-masing125, demikian

peraturan daerah dapat dikatakan sah hanya jika muatan peraturan daerah tersebut

berdasarkan perintah peraturan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan

daerah tersebut materi muatannya dapat dirunut berdasarkan hirarki dan tidak putus

sampai bermuara pada konstitusi.

D.4. Implikasi Hukum

Menurut Hans Kelsen berkaitan dengan pengertian negara bahwa negara

merupakan tatanan norma hukum (legal norm order). Oleh sebab itu pengertian

desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan norma hukum dalam suatu

negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh

wilayah negara yang sering disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula

kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda

yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Jadi apabila kita

membicarakan tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan

dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku secara sah

tersebut.126 Oleh sebab itu decentral norm merupakan bagian dari central norm

124 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55 125 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 106. 126 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., Hlm. 118. Dikutip dari B. Hestu Handoyo, Hukum

Tata negara, kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,

Yogyakarta, 2003, Hlm. 136.

Page 57: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

74

sehingga keduanya harus memiliki kecocokan dan membentuk sebuah sistem

peraturan yang merupakan sebuah kesatuan tidak berdiri sendiri-sendiri,

Senada dengan penjelasan di atas bahwa hukum merupakan sebuah sistem

yang dengan tingkatan-tingkatannya dimana sebuah norma harus didasarkan pada

norma yang lebih tinggi dan begitu sebaliknya, yang kemudian disebut sistem

peraturan perundang-undangan dimana peraturan perundang-undangan

kekuatannya didasarkan pada hierarkinya. Di Indonesia hierarki peraturan

perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang dalam Pasal 7

mengatur Peraturan Perundang-Undangan adalah:

(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah

sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hierarki Peraturan

Perundang-Undangan adalah

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri

atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Page 58: BAB II PEMBAHASAN A. Kerangka Teoritik A.1. Kualifikasi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8368/3/T1_312011807_BAB II.pdfyang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu

75

Melalui hierarki inilah peraturan daerah yang merupakan peraturan

perundang-undangan yang paling bawah kekuatan hukumnya didasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang di atasnya.

Dalam hal peraturan daerah yang di dalamnya memuat hal keagamaan

padahal ketentuan yang di atasnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

juncto Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 menekankan bahwa hal

keagamaan bukan merupakan kepentingan daerah, sehingga peraturan daerah yang

semacam ini tentunya telah bertentangan dengan ketentuan yang di atasnya.

Dalam disiplin ilmu hukum Tata Negara hierarki perundang-undangan yang

lazim dikenal adalah bahwa suatu undang-undang selalu kedudukannya berada di

bawah Hukum Dasar atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Ini berarti bahwa

bilamana suatu undang-undang secara formal dan atau material bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya maka hal tersebut merupakan

penyimpangan dalam hierarki perundang-undangan yang sangat fatal.127

Pertentangan norma akan mengakibatkan runtuhnya sistem peraturan

perundang-undangan karena hal semacam ini akan mengakibatkan terjadinya

ketidakpastian hukum.128 Sehingga sebuah peraturan daerah yang bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi merupakan peraturan daerah yang

inkonstitusional.129

127 Muhammad Ridhwan Indra, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Dan Hak

Menguji Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, Hlm. 13. 128 Titon Slamet Kurnia, Op.cit., Hlm. 61. 129 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 117