bab ii pembahasan a. kerangka teoritik a.1. kualifikasi...
TRANSCRIPT
18
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Teoritik
A.1. Kualifikasi Perundang-Undangan yang Berkualitas
Dari bentuknya hukum terbagi atas dua yaitu hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis dan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari hukum tertulis.32
Sebagai sumber hukum yang tertulis peraturan perundang-undangan
memiliki kelebihan-kelebihan yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang diatur mudah diketahui orang.
2. Setiap orang, kecuali yang tidak bisa membaca, mendapatkan jalan masuk
yang sama ke dalam hukum.
3. Pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa di cocokkan kembali
dengan yang telah dituliskan, sehingga mengurangi ketidakpastian.
4. Untuk keperluan pengembangan peraturan hukum atau perundang-
undangan, untuk membuat yang baru, maka hukum tertulis juga
menyediakan banyak kemudahan.33
Menurut Satjipto Raharjo suatu peraturan perundang-undangan yang baik dan
berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
32 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Cetakan Keenam 2006), PT Citra Aditya Bakti, 2006,
Hlm. 72 33 Ibid.
19
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian
merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat Universal, Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkrit
nya. Oleh karena itu tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa tertentu saja.34
A.2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan, pembentukannya sangat berpengaruh pada
apakah sebuah peraturan perundang-undangan dalam proses pembentukannya
sudah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik.
Menurut Maria Farida “Asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik.”35
Pendapat lain dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah Burkhardt Krems, Burkhardt Krems menyebut asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undang negara dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung,
sehingga pembentukan peraturan perundang-undangan itu menyangkut:
1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);
2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);
3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung
der Regelung); dan
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der
Ausarbeitung der Regelung).36
34 Satjipto Raharjo, Op. Cit., Hlm. 83 35 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 252. 36 Ibid. Dikutip dari A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. (Suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I - PELITA IV).
Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 300.
20
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut
I.C van der Vlies, dimana I.C van der Vlies membagi asas-asas pembentukan negara
yang baik kedalam dua kategori yaitu kedalam asas-asas formal dan asas-asas
material.
Asas-asas formal meliputi:
1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
3. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het
beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke
systematiek);
2. asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
(het beginsel van de individuele rechtsbedeling).37
Menurut A. Hamid S. Attamimi bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan Indonesia yang patut adalah:
a. Cita hukum Indonesia;
b. Asas Negara Berdasarkan Atas Hukum dan Atas Pemerintahan
Berdasar Sistem Konstitusi;
c. Asas-asas lainnya.38
Dari tiga rumusan tersebut maka asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undang Indonesia yang patut akan berpedoman pada:
37 Ibid., Hlm. 254. Dikutip dari Ibid., Hlm. 330. 38 Ibid.
21
a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila
(Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee),
yang berlaku sebagai “bintang pemandu”.
b. Norma Fundamental Negara yang juga tidak lain
melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku
sebagai Norma);
c. (1) Asas-asas Negara Berdasar Atas Hukum yang
menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan
yang khas berada dalam kekuatan hukum (der Primat des
Rechts);
(2) Asas-asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang
menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.39
Asas-asas pembentukan peraturan yang patut yang selain rumusan di atas
adalah sebagai berikut”
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas perlunya pengaturan;
3. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
4. asas dapatnya dilaksanakan;
5. asas dapatnya dikenali;
6. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
7. asas kepastian hukum;
8. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.40
Asas-asas di atas apabila dibagi menurut kategorinya yaitu asas yang formal
dan asas yang material, A. Hamid S. Attamimi membagi asas-asas pembetukan
peraturan perundang-undangan yang patut sebagai berikut:
a. Asas-asas formal, dengan perincian :
(1) asas tujuan yang jelas;
(2) asas perlunya pengaturan;
(3) asas organ/lembaga yang tepat;
(4) asas dapatnya dilaksanakan; dan
(5) asas dapatnya dikenali;
b. Asas-asas material, dengan perincian :
(1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar Atas
Hukum; dan
39 Ibid., Hlm. 255 40 Ibid., Hlm. 256. Dikutip dari Ibid., Hlm. 244-245.
22
(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar
Sistem Konstitusi.41
A.3. Asas Legalitas
Tujuan utama dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk
menciptakan kepastian hukum,42 karena hukum yang tertulis akan membuat para
subjek hukum mengerti betul hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan atau tidak
dilakukan, yang boleh dan atau tidak boleh, serta mana hak dan kewajibannya43
sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam
sebuah negara hukum.44 Peraturan perundang-undangan ketika dikaitkan dengan
hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang oleh penguasa
terhadap warga negaranya, sehingga dalam konsep negara hukum pengertian
tersebut kemudian dikaitkan dengan asas legalitas.45
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi
negara-negara hukum dalam sistem kontinental.46 Asas ini dinamakan juga dengan
kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet)47 yang dalam konsep
peraturan perundang-undangan sering di identik dengan asas supremasi hukum
(government under law) dan asas pemerintahan melalui peraturan perundang-
undangan (government by rules).48 Yang menyebabkan setiap penyelenggaraan
41 Ibid. Dikutip dari Ibid. 42 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit., Hlm. 49 43 Ibid., Hlm. 49-50 44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2013, Hlm. 90. 47 Ibid., Hlm. 91. Dikutip dari H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdsukken van
Administratief Rech, (Utrecht: Uitgeverij Lemma BV., 1995), Hlm. 41. 48 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit., Hlm. 51. Dikutip dari Andrew Altman, Arguing About
Law, Hlm. 3-5.
23
pemerintahan harus didasari oleh hukum dan ketika tidak ada peraturan perundang-
undangan maka tidak ada kewenangan sebagai dasar bertindak bagi setiap badan
atau pejabat negara dan pemerintah.49 50
Teori yang mendasari asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan
adalah teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang
menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan
bagian keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau
hukum merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu
sama lain51 dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma
yang lebih rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi
demikian seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).52
Stufentheorie ini kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen yang bernama
Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen,
Nawiasky menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga
berdasarkan kelompok-kelompoknya msing-massing yaitu terbagi atas empat.
Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),
Kelompok kedutan: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok
Negara), Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok
49 Ibid., Hlm. 51. 50 Kebalikan dari Asas Legalitas adalah Asas Diskresi. Lihat Krishna D. Darumurti,
Kekuasaan Diskresi Pemerintah: Kajian Mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana
Kontrol, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hlm. 1-10 51 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55 52 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 41. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory
of Law Ana State, New York, Russell & Russell, 1945, Hlm. 113
24
keempat: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan
otonom).53
Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan
akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang
sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus
memiliki sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya
dirunut sampai berpangkal pada norma tunggal54 yang paling tinggi yaitu
Konstitusi.55 Karena Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut
menurut materi muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.56 Demikian
peraturan perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan
berdasarkan konsep hirarki aturan hukum.57 Sehingga asas legalitas dalam
peraturan perundang-undangan yaitu Lex Superior Derodat Lex Inferiori.
Ada dua legalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah peraturan perundang-
undangan yaitu legalitas formal dan legalitas material. Sebagaimana dikemukakan
oleh Hans Kelsen bahwa “sebuah norma dapat dikatakan sah sebagai norma hukum
hanya karena norma tersebut dicapai dengan cara tertentu – diciptakan menurut
aturan tertentu, dikeluarkan atau ditetapkan menurut sebuah metode spesifik.
(formil)” dan dengan materi muatan yang sesuai dengan tingkatan dan
kelompoknya berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi dan dapat dirunut sampai
ke norma dasar (materiil). 58
53 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine
Rechtslehre als System der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2
1948, Hlm. 31 dst. 54 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 94. 55 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 57. 56 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 95, 105. 57 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55. 58 Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problem of Legal Theory),
Nusa Media, Bandung, 2012, Hlm. 96-97.
25
A.2.1. Legalitas Formil
Dalam pembahasan mengenai legalitas formal yaitu berbicara seputar kaidah
yang menentukan rangkaian aktivitas dalam rangka pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi tata cara mulai dari Input – proses – Output,
karena salah satu aspek penting dari hukum perundang-undangan adalah
pengaturan mengenai tata cara atau proses pembentukan perundang-undangan, baik
tingkat pusat maupun daerah.59
Proses yang pertama dalam tahapan pembentukan peraturan daerah adalah
tahapan pembentukan atau perencanaan. Rancangan peraturan daerah dapat berasal
dari dua lembaga yaitu lembaga legislatif, yang di tingkat daerah adalah DPRD dan
lembaga eksekutif daerah yaitu gubernur atau bupati/walikota dan rancangan
peraturan tersebut harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.60
Dalam proses pembentukan peraturan daerah, masyarakat harus dilibatkan baik itu
secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat berhak memberikan masukan
baik itu lisan maupun tertulis dalam menyiapkan rancangan peraturan daerah.61
Proses perencanaan atau pembentukan adalah proses penuangan harapan atau
keinginan dari masyarakat, dan terutama dari para Juris atau ahli hukum, maka dari
itu agar sebuah peraturan daerah dapat memenuhi aspirasi masyarakat, dalam
59 Soehino, Hukum Tata Negara Hukum Perundang-Undangan: Perkembangan
Pengaturan Mengenai Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan Baik Tingkat Pusat Maupun
Tingkat Daerah, BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta, Edisi Kedua, Cetakan Pertama 2012, 2012, Hlm.
2. 60 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2009, Hlm. 37. 61 Ibid.
26
proses pembentukannya harus diawali dengan Naskah Akademik, agar aspirasi
masyarakat dapat diakomodir.62
Naskah Akademik sangat penting keberadaannya dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan untuk menghasilkan sebuah peraturan perundang-
undangan yang responsif, egaliter, futuristik dan berkualitas. Sehingga harus
diawali dengan riset secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisikan latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan perundang-undangan. Melalui
Naskah Akademik output dari sebuah Raperda akan lebih berkualitas dan dapat
disebut sebagai good legislation (peraturan perundang-undangan tang baik).63
Tahap berikutnya adalah tahapan pembahasan, pembahasan rancangan
peraturan daerah dilakukan oleh dua lembaga pembentuknya yaitu gubernur atau
bupati/walikota, pembahasan tersebut dilakukan melalui tingkat-tingkat
pembahasan yaitu rapat komisi, rapat pansus, rapat alat kelengkapan DPRD dan
rapat paripurna.64
Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur atau bupati/walikota
untuk ditetapkan menjadi Peraturan daerah.65 Kemudian pemerintah daerah wajib
menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam lembaran
daerah.66
62 I Gede Pantja Astawa dan Na’a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu perundang-
Undangan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. Hlm. 108. 63 Ibid., Hlm. 109-110. 64 Ibid., Hlm. 115. 65 Ibid., Hlm. 116. 66 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 39.
27
A.2.2. Legalitas Materiil
Legalitas materiil dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu sebagai pedoman yang mengatur mengenai substansi
atau materi muatan peraturan perundang-undangan.
Peraturan daerah dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatur dan mengurus
otonomi daerah dan tugas pembantuan dimana kewenangannya diperoleh dari
pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi, selain itu juga otonomi dan tugas
pembantuan juga merupakan manifestasi dari pemencaran kekuasaan, maka
substansi dari peraturan daerah pada hakikatnya merupakan pelaksanaan norma
hukum dari jenis peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke
tingkat daerah.67
Peraturan daerah yang merupakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas
pembantuan materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi, sebaliknya peraturan daerah harus bermateri muatan berupa penjabaran dari
norma yang lebih tinggi. Sehingga materi muatan peraturan daerah baik itu di
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota materi muatannya adalah sebagai
berikut.
Perda Provinsi, materi muatannya adalah:
1) Kewenangan yang diperoleh dalam bidang otonomi yang berisikan
kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota, kewenangan di bidang
67 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, Hlm. 126.
28
pemerintahan tertentu, dan kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota.
2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
di atasnya, termasuk tugas pembantuan.
3) Untuk menampung dan mengekspresikan kondisi khusus daerah yang
lintas kabupaten/kota.68
Untuk perda di tingkat kabupaten/kota, yang menjadi materi dan muatannya
adalah sebagai berikut.
1) Kewenangan yang diperoleh untuk melaksanakan otonomi daerah yang
berisikan wajib dan kewenangan pilihan.
2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
di atasnya, termasuk tugas pembantuan.
3) Untuk menampung mengekspresikan kondisi khusus di daerah.69
Menurut Bagir Manan materi dan muatan sebuah peraturan daerah juga
sebagai berikut.
1) Sistem rumah tangga daerah. Dalam sistem rumah tangga formal, segala
urusan pada dasarnya dapat diatur oleh daerah sepanjang belum diatur
atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Pada sistem rumah tangga materiil, hanya urusan yang
ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang dapat diatur dengan
perda.
2) Ditentukan secara tegas dalam UU Pemerintahan Daerah seperti APBD,
Pajak dan Retribusi.
68 I Gede Pantja Astawa dan Na’a Suprin, Op.Cit, Hlm. 105. 69 Ibid.
29
3) Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang lebuh tinggi tingkatannya.70
A.4. Kewenangan Daerah Otonom
Urgensi dibentuknya sebuah peraturan daerah ialah dalam rangka otonomi
daerah, karena yang paling esensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang bersifat otonom, ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi
masyarakat disertai dengan pemberian hak dan kewajiban,71 dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.72
Berkenaan dengan otonomi daerah sehingga penyelenggaraan urusan
pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dilaksanakan dengan
asa-asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Asas desentralisasi, asas desentralisasi inilah yang merupakan hakikat
keberadaan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, desentralisasi
merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut
pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal73 berupa
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
70 Ibid, Hlm. 105-106, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-Undangan
Indonesia, IndHill.Co, Jakarta, 1992, Hlm. 61-62. 71 Siswanto Sunarno, Op.Cit.,, Hlm. 4. 72 Ibid, Hlm. 6. 73 Syaukani, HR., et.al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta 2007, Hlm. xvii
30
Republik Indonesia. Asas ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum
keperdataan, yakni penyerahan sebagian hak dari pemilik yaitu pemerintah hak
kepada penerima sebagian hak yaitu pemerintah daerah, dengan objek hak tertentu,
berupa kewenangan memerintah dalam bentuk mengatur urusan pemerintahan
namun masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemberian hak
tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah melalui menteri dalam
negeri dan DPRD yang merupakan representatif dari rakyat daerah.74
Menurut Hans Kelsen berkaitan dengan pengertian negara bahwa negara
merupakan tatanan norma hukum (legal norm order). Oleh sebab itu pengertian
desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan norma hukum dalam suatu
negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh
wilayah negara yang sering disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula
kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda
yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Jadi apabila kita
membicarakan tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan
dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku secara sah
tersebut.75
Asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu. Pelimpahan wewenang yang sebenarnya kewenangan itu ada di
tangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penerapan strategi kebijakan dan
pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertikal
74 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 7. 75 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., Hlm. 118. Dikutip dari B. Hestu Handoyo, Hukum
Tata negara, kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2003, Hlm. 136.
31
di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat dengan sumber
pembiayaan dari pemerintah pusat.76
Asas tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota
dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu. Tugas yang diberikan dari instansi atas kepada
instansi bawahan yang ada di daerah sesuai arah kebijakan umum yang ditetapkan
oleh instansi yang memberikan penugasan, dan wajib dipertanggungjawabkan
tugasnya itu kepada instansi yang memberi penugasan.77
Dari asas-asas pemerintahan sebagaimana dipaparkan di atas terutama asas
desentralisasi, maka yang kemudian menjadi tugas dari pemerintah daerah adalah.
Yang pertama adalah dalam bidang legislasi yakni atas prakarsa sendiri membuat
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang meliputi peraturan daerah
provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, peraturan kepala daerah meliputi
peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota.78
Yang kedua adalah dalam hal perimbangan keuangan antara pemerintah dan
pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab, dalam rangka
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.79
76 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 7-8. 77 Ibid., Hlm. 8. 78 Ibid., Hlm. 9. 79 Ibid.
32
Yang ketiga adalah perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang merupakan rancangan keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah.80
Untuk menjalankan tiga tugas di atas, daerah menjalankannya dengan
otonomi yang seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.81 Sehingga,
berdasarkan asas otonomi daerah tersebut melahirkan wewenang disertai hak dan
tanggung jawab daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri, dan dalam wilayah
hukumnya setiap daerah memerlukan pembentukan sebuah peraturan perundang-
undangan guna melegalkan setiap kebijakan pelaksanaan otonomi daerah,
mengingat prinsip bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(Rechstaat).82 Dengan kata lain Peraturan daerah yang merupakan pilar utama yang
memayungi realisasi otonomi daerah.83
Walaupun peraturan daerah merupakan peraturan yang lahir dalam rangka
otonomi daerah dan berlaku dalam satu wilayah hukum sebuah daerah otonom
namun peraturan daerah tetap saja bagian dari Perundang-undangan secara
keseluruhan, ada dua arti penting dari perundang-undangan, pertama, berarti tata
cara atau proses pembentukan peraturan-peraturan negara dari jenis yang tertinggi
yaitu undang-undang sampai dengan yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi
atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan
80 Ibid. 81 Ibid., Hlm. 10 82 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011,
Hlm. 24. 83 Zuhro, R. Siti, et.al., Op.Cit., Hlm. viii
33
produk peraturan-peraturan negara tersebut.84 Jadi peraturan daerah bukan produk
hukum yang terpisah dalam sistem perundang-undangan Indonesia namun harus
dipandang sebagai bagian dari sistem perundang-undangan itu sendiri.
Ada dua kewenangan dalam pembentukan peraturan daerah yaitu atribusi
kewenangan dan delegasi kewenangan. Atribusi kewenangan adalah pemberian
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada suatu lembaga negara atau
pemerintah, sedangkan delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan
membentuk peraturan perundang undangan yang lebih tinggi kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas maupun
tidak.85 Kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan apabila
dialihkan harus melalui atribusi atau delegasi yang tegas dan jelas.86
Organ yang bertugas membentuk peraturan perundang-undangan pada
prinsip nya ada dua yaitu legislatif dan eksekutif, ketika yang akan dibentuk
Peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang merupakan decentral or
local norm tentunya harus di bentuk oleh organ pemerintahan dalam daerahnya
tersebut, maka dari itu lembaga legislatif tingkat daerah adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan lembaga eksekutifnya yaitu gubernur dan bupati/walikota. Dua
organ inilah yang merupakan pemerintah daerah dan kewenangan membentuk
peraturan daerah oleh pemerintah daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
84 Soehino, Hukum Tata Negara Hukum Perundang-Undangan: Perkembangan
Pengaturan Mengenai Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan Baik Tingkat Pusat Maupun
Tingkat Daerah, BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta, Edisi Kedua, Cetakan Pertama 2012, Hlm. 1,
Dikutip dari A. Hammid S. Sattamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan
Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Negara), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991, Hlm. 6. 85 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit,. Hlm. 166. 86 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 39.
34
Gubernur atau Bupati/Walikota adalah diperoleh secara atribusi melalui Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.87
A.5. Keagamaan
A.5.1. Injil
Injil (bahasa Yunani: euangelion - Kabar Baik) adalah istilah yang digunakan
untuk menyebut keempat kitab pertama dalam Alkitab Perjanjian Baru. Keempat
kitab tersebut, Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes, disebut
Kabar Baik, karena orang Kristen percaya bahwa narasi keempat Injil yang
berpuncak pada kematian dan kebangkitan Yesus tersebut merupakan kisah
penyelamatan Allah kepada umat manusia yang berdosa, supaya manusia dapat
kembali mengenal Allah yang sesungguhnya dan dapat masuk ke surga..
Istilah "Injil" berasal dari bahasa Arab ʾInǧīl, yang diturunkan dari bahasa
Yunani (euangelion) yang berarti "Kabar Baik" atau "Berita Kesukaan", yang
merujuk pada 1 Peter 1:25 (BIS, TL, & Yunani). Injil dalam bahasa Inggris disebut
Gospel, dari bahasa Inggris Kuno gōd-spell yang berarti "kabar baik", yang
merupakan terjemahan kata-per-kata dari bahasa Yunani (eu- "baik", -angelion
"kabar").
Beberapa ayat yang penting yang memuat kata ini antara lain Markus 1:1:
"Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah."; Markus 1:15:
""Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah
kepada Injil!"; Markus 8:35: "Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya,
ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku
87 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit,. Hlm. 125-126.
35
dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya."; 1 Korintus 9:23: "Segala sesuatu ini
aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya."; Matius 24:14:
"Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi
semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya", dan di dalam Roma 1
Injil biasanya mengandung arti:
1. Pemberitaan tentang aktivitas penyelamatan Allah di dalam Yesus dari
Nazaret atau berita yang disampaikan oleh Yesus dari Nazaret. Inilah asal
usul penggunaan kata "Injil" menurut Perjanjian Baru (lihat Surat Roma
1:1 atau Markus 1:1).
2. Dalam pengertian yang lebih populer, kata ini merujuk kepada keempat
Injil kanonik (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) yang menyampaikan
kisah kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus.
3. Sejumlah sarjana modern menggunakan istilah "Injil" untuk menunjuk
kepada sebuah genre hipotetis dari sastra Kristen perdana (bdk. Peter
Stuhlmacher, ed., Das Evangelium und die Evangelien, Tübingen 1983,
juga dalam bahasa Inggris: The Gospel and the Gospels).
Kata "injil" dipergunakan oleh Paulus sebelum kitab-kitab Injil dari kanon
Perjanjian Baru ditulis, ketika ia mengingatkan orang-orang Kristen di Korintus
"kepada Injil yang aku beritakan kepadamu" (1 Korintus 15:1). Melalui berita itu,
Paul menegaskan, mereka diselamatkan, dan ia menggambarkannya di dalam
pengertian yang paling sederhana, sambil menekankan penampakan Kristus setelah
kebangkitan (15:3-8):
Sumber utama dari injil adalah kitab suci umat kristiani yaitu Alkitab karena
setiap kitab-kitab dalam Alkitab merupakan bagian dari sistem yang saling
36
terhubung antara satu dengan yang lain, sehingga untuk memahami empat kitab
Injil dalam perjanjian yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes harus dipahami
secara keseluruhan88 dengan dasar yang kuat dari isi kitab Perjanjian Lama dan
bagaimana injil itu bekerja melalui surat-surat Rasul Paulus serta Kitab-kitab lain
dalam Perjanjian Baru, sehingga dapat di simpulkan bahwa Injil adalah keseluruhan
Alkitab, hal ini senada dengan pendapat Stair yang adalah Juris sekaligus penulis
Institusional dalam bidang hukum Skotlandia dengan pendapatnya bahwa Common
Law atau the Bible adalah Injil.89 Dan inti dari Injil Adalah Yesus Kristus.
A.5.2. Syariah
Hukum Muslim (Muslem Law) atau Hukum Islam (Islamic Law), di Arab
disebut “syariah”90 (jalan yang benar). Menurut logat (bahasa) syariat berarti jalan,
jalan ke mata air, jalan ke tempat bersiram atau jalan yang harus dituruti oleh umat
Islam.91 Dikarenakan bagi orang Arab dengan kondisi tanah yang sebagian besar
terdiri dari gurun pasir adalah sangat penting untuk mengetahui jalan yang menuju
ke mata air. Begitu pula pentingnya syariat bagi umat Islam.
Hukum suci Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur
perilaku kehidupan orang Islam dalam seluruh aspek yang didalamnya terdiri dari
88 Triawan Wicaksono, Jaminan Yang Pasti: Bahan Pemahaman Alkitab Kelompok
Tumbuh Bersama, Perkantas Salatiga, Salatiga, 2011, Hlm. 60. 89 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Dari Ilmu Hukum, Hlm.3. 90 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Comparative Law), Nusa
Media, Bandung, 2010, Hlm. 289. 91 Mohd. Idris Ramulyo, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM: Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Sinar
Grafika, Jakarta, 2004, Hlm. 8.
37
atas hukum-hukum yang sama mengenai ibadah ritual, seperti aturan politik dan
aturan hukum.92
Ada dua pandangan besar yang mengartikan syariat yaitu Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi “syariat adalah semua yang diajarkan oleh
nabi besar Muhammad saw, yang bersumber pada wahyu Allah. Hal ini adalah tidak
lain sebagai bagian dari ajaran Islam.”93 Dan menurut Mazhab Syafi’i “syariat
merupakan aturan-aturan lahir batin bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu
Allah dan kesimpulan-kesimpulan (deductions) yang dapat ditarik dari wahyu
Allah, dan sebagainya. Peraturan-peraturan lahir ini mengenai bagaimana cara
manusia berhubungan dengan Allah dan dengan sesama mahkluk lain selain
manusia.”94 Sehingga dapat di simpulkan bahwa syariat adalah setiap pengajaran
Nabi Muhammad yang bersumber pada wahyu Allah yang di dalamnya mengatur
cara pergaulan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dan
manusia dengan lingkungan.
Sumber utama dan tertinggi hukum muslim adalah Al-Qur’an, kitab suci umat
Islam.95 Berikutnya dalam hierarki sumber hukum Islam terdapat Sunnah, yang
merupakan penjelasan tentang ucapan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi, yang
ditulis dalam hadis.96 Alquran dan hadis merupakan bagian dari agama Islam dalam
arti luas97
92 Joseph Shacht, Pengantar Hukum Islam, Nuansa, 2010, Hlm. 21. Diterjemahkan dari
Joseph Shacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford University Press, London, 1965). 93 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., Hlm. 8. 94 Ibid. 95 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 291. 96 Ibid. 97 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit,, Hlm. 2.
38
Sumber hukum selanjutnya adalah ijma’, yaitu, pendapat-pendapat yang
diterima secara umum di kalangan orang beriman, terutama cendekiawan hukum
yang menafsirkan dua sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.98
Hukum Muslim adalah sistem aturan-aturan hukum agama.99 Hukum Muslim
memuat sejumlah firman dan larangan yang tidak ada hubungannya dengan sanksi
hukum yang sebenarnya, sehingga di mata Barat, firman dan larangan itu lebih
termasuk ranah agama atau moral.100
Dikarenakan fakta bahwa dua sumber hukum Islam primer dan fundamental
berasal dari Tuhan (Qur’an) atau dari Rasul-Nya Muhammad (Sunnah), dan bahwa
segala sesuatu baik yang terjadi maupun belum terjadi sudah ada hukumnya dalam
Alquran, baik itu secara langsung atau tidak langsung101 maka keduanya dianggap
oleh umat muslim yang beriman sebagai sah dan tetap selama-lamanya.102
B. Kerangka Normatif
B.1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
B.1.1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
98 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 292. 99 Ibid. Hlm. 289. 100 Ibid. Hlm. 290. 101 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., Hlm. 4. 102 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 294.
39
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan. (Pasal 5)
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
40
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas sebagaimana dimaksud pada Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan (Pasal 6)
B.1.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
yang meliputi:
h. kejelasan tujuan;
i. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
j. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
k. dapat dilaksanakan;
l. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
m. kejelasan rumusan; dan
n. keterbukaan. (Pasal 5)
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
41
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain mencerminkan asas di atas Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan (Pasal 6)
B.2. Legalitas Peraturan Perundang-Undangan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan teori sebelumnya bahwa
legalitas mengacu pada ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
maka pada pembahasan ini akan di paparkan legalitas formil dan legalitas materill
peraturan perundang-undang berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor
10 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 20011 sebagai undang-
undang yang mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
42
B.2.1. Legalitas Formil
B.2.1.1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat
daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota (Pasal 26 UU 10/2004). Rancangan
tersebut dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang
legislasi (Pasal 28 ayat (1) UU 10/2004).
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota
kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota), untuk
rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat
daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada
gubernur atau bupati/walikota (Pasal 29 UU 10/2004).
Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan
perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai
materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang
disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan
daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan (Pasal 31 UU 10/2004).
Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah
dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau
bupati/walikota. Pembahasan bersama dilakukan dalam tingkat-tingkat
pembicaraan yaitu, rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat
43
daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna (Pasal 40 UU
10/2004)
Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama
oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. Asalkan
sudah mendapat persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan
gubernur atau bupati/walikota (Pasal 41 UU 10/2004).
Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan
perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh
pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota
untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dalam jangka waktu paling lambat
tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 42 UU 10/2004).
Rancangan peraturan daerah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota
dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh
hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan
perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. Jika dalam jangka
waktu tiga puluh hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama,
rancangan peraturan daerah tidak ditandatangani oleh gubernur atau
bupati/walikota maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan
Daerah dan wajib diundangkan. Dengan kalimat pengesahannya berbunyi:
Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. Yang dibubuhkan pada halaman terakhir
Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam
Lembaran Daerah (Pasal 43 UU 10/2004).
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus
diundangkan dengan menempatkannya dalam: lembaran Daerah; atau Berita
44
Daerah (Pasal 45 UU 10/2004). Selanjutnya Pemerintah Daerah wajib
menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran
Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah
(Pasal 52 UU 10/2004).
B.2.1.2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Prolegda (Pasal
32 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011). Prolegda memuat program pembentukan Peraturan
Daerah dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang merupakan keterangan mengenai
konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
Setelah melalui pengkajian dan penyelarasan materi-materi di atas kemudian
dituangkan dalam Naskah Akademik (Pasal 33 Jo Pasal 39 Jo Pasal 40 UU 12/2011).
Penyusunan Prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun berdasarkan skala prioritas
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Dengan penyusunan dan
penetapannya dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (Pasal 34 Jo Pasal 39 Jo
45
Pasal 40 UU 12/2011) Penyusunan daftar rancangan peraturan daerah didasarkan
atas:
a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah. (Pasal 35 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).
Dalam penyusunan Prolegda baik itu antara DPRD dengan Pemerintah
Daerah atau penyusunan dalam lingkup DPRD dikoordinasikan oleh DPRD melalui
alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Sedangkan
penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh biro
hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait (Pasal 36 Jo 39 Jo 40 UU
12/2011). Hasil penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah,
disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD, melalui
Keputusan DPRD (Pasal 37 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).
Dalam Prolegda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Kemudian dalam keadaan tertentu, DPRD atau Gubernur, Bupati/Walikota
dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah di luar Prolegda:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan Peraturan Daerah yang dapat disetujui bersama oleh alat
46
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan biro
hukum (Pasal 38 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Gubernur,
Bupati/Walikota. Rancangan Peraturan Daerah tersebut harus disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Dengan rancangan
mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
b. pencabutan Peraturan Daerah; atau
c. perubahan Peraturan Daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa
materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi
muatan yang diatur (Pasal 56 Jo 63 UU 12/2011).
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik (Pasal 57 Jo 63 UU 12/2011).
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Jika asalnya dari Gubernur maka
yang mengkoordinasi adalah biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi
vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum (Pasal 58 Jo 63 UU 12/2011).
Rancangan Peraturan Daerah dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (Pasal
60 ayat (1) Juncto Pasal 63 UU 12/2011) disampaikan dengan surat pimpinan DPRD
kepada Gubernur. Dalam hal sebaliknya Rancangan Peraturan Daerah yang
47
disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada
pimpinan DPRD Provinsi (Pasal 61 Jo 63 UU 12/2011).
Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama,
yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh
DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh
Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan (Pasal 62 Jo 63 UU
12/2011).
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD bersama
Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam tingkatan rapat komisi/ panitia/ badan/ alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna
(Pasal 75 Jo 77 UU 12/2011). Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik
kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur atau Bupati
Walikota dalam hal telah memenuhi persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota (Pasal 76 Jo 77 UU 12/2011).
Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada
Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
Dengan tata cara penyampaian dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh
hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 78 Jo 80. UU 12/2011).
Kemudian ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak Rancangan
Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota. Apabila dalam jangka waktu yang disediakan yaitu tiga puluh hari
48
Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani, maka Rancangan Peraturan
Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan
tambahan kalimat pengesahan: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah pada halaman
terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan
Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah (Pasal 79 Jo 80 UU 12/2011).
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang- undangan harus
diundangkan dengan menempatkannya dalam: Lembaran Daerah, Tambahan
Lembaran Daerah, atau Berita Daerah (Pasal 81 UU 12/2011). Khusus untuk
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dilaksanakan
oleh Sekretaris Daerah (Pasal 86 UU 12/2011) dan mulai berlaku dan mempunyai
kekuatan mengikat pada saat itu juga, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 87 UU 12/2011).
Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus
merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 95 UU
12/2011).
B.2.2. Legalitas Materiil
B.2.2.1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang berisi hal-hal yang:
49
a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang. (pasal 8, 9)
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 10). Materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah. (Pasal 11).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi (Pasal 12). Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh
materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 13).
Ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan
Daerah. (Pasal 14)
50
B.2.2.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (Pasal 10 Jo 11).
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12). Materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (Pasal 13)
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (Pasal
14). Ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang Peraturan
Daerah. Ketentuan pidana yang dimuat dalam Peraturan daerah hanya berupa
ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
banyak lima puluh juta rupiah atau ancaman pidana lain sesuai dengan yang diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. (Pasal 15)
51
B.3. Kewenangan Daerah Otonom
Sebagai daerah otonom pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota,
berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.103
Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan urusan-urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang menjadi urusan pemerintah pusat, dimana dalam Undang-Undang No 32
Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 yang menjadi
urusan pemerintah pusat, adalah meliputi:
1. Politik luar negeri.
2. Pertahanan.
3. Keamanan.
4. Yustisi.
5. Moneter dan fiskal nasional.
6. Agama. (Pasal 10 UU 32/2004)
Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam mengurus
pemerintahan dibagi atas dua yaitu hal yang merupakan urusan wajib berupa
penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar pada jaminan standar pelayanan
minimum dan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan yang di dalamnya berupa
urusan pemerintahan yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat berdasarkan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.104 Sehingga berdasarkan urusan pemerintahan yang wajib,
kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi:
103 Siswanto Sunanrno, Op.Cit., Hlm. 37 104 Ibid, Hlm. 35
52
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan. (Pasal 13, 14)
53
C. Hasil Penelitian
Untuk mengetahui bahwa sebuah peraturan daerah mengandung materi
muatan atau bermuatan materi keagamaan tentunya sebelum itu harus dipahami
dulu apa yang dimaksud dengan bermuatan materi keagamaan dan apa unsur-unsur
dari kata keagamaan tersebut.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bagian penjelasan
BAB XI tentang Agama bahwa Pasal 29 ayat (1) “Ayat ini menyatakan kepercayaan
bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia Agama adalah “ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.” Dari
dua sumber di atas jika digabungkan maka pengertian agama adalah ajaran yang di
dalamnya memuat sistem kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta tata kaidah pergaulan antar masyarakat dan lingkungan.
Sebagaimana juga telah dikemukakan dalam bab 1 bahwa mengenai hal
keagamaan di Indonesia penanganannya di lakukan oleh departemen yang khusus
menangani hal keagamaan yaitu Departemen keagamaan, maka dari itu untuk
mengetahui pengertian keagamaan akan sangat membantu bila kita melihat pada
apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari departemen keagamaan. Sehingga
sebuah peraturan daerah dapat dikatakan bermuatan materi keagamaan apabila di
dalamnya memuat substansi berupa upaya untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.105
105 Visi Kementrian Agama, Op. Cit.
54
Kemudian secara spesifik memenuhi minimal satu unsur dari unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Mengatur peningkatan kualitas kehidupan beragama.
b. Mengatur peningkatan kualitas kerukunan umat beragama.
c. Mengatur peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan
tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
d. Mengatur peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.106
Berikut akan dibahas peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan
dari tingkatan provinsi kabupaten dan kota, yang masing-masing tingkatan diambil
satu peraturan daerah untuk diteliti apakah peraturan daerah tersebut memenuhi
kriteria di atas mengenai muatan keagamaan.
C.1. Peraturan Daerah Provinsi
Tabel 12. Peraturan Daerah Provinsi
Provinsi Nomor Tahun Tentang
Peraturan Daerah
Provinsi Sumatra
Barat
Nomor
7
Tahun
2005 Tentang Pandai baca Tulis Al-Qur'an
Peraturan Daerah
Provinsi Gorontalo
Nomor
22
Tahun
2005
Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran
Bagi Siswa Yang Beragama Islam
Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi
Selatan
Nomor
4
Tahun
2006 Tentang Pendidikan Al-Qur'an
Peraturan Daerah
Provinsi Riau
Nomor
2
Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Zakat
Berikut adalah salah satu peraturan daerah provinsi sebagai sample yang
dipilih dari table di atas yang kemudian diteliti apakah peraturan daerah tersebut
106 Ibid.
55
memenuhi kriteria sebagai sebuah peraturan yang muatannya bermateri keagamaan
dan apa saja kriteria sebuah peraturan daerah dapat dikategorikan sebagai peraturan
daerah yang bermuatan materi keagamaan.
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Zakat Setelah mendefinisikan peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan,
ketika pengertian tersebut dicocokkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Riau
Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Zakat. Yang akan dibahas beberapa
pasal yang secara eksplisit mencirikan agama tertentu sebagai berikut
Menimbang a. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang
mampu dan pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang
potensial sebagai salah satu upaya mengurangi angka kemiskinan;
Pasal 1 penjelasan umum angka 9, 12 dan 26 serta 27
9. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan/dikeluarkan/ditunaikan oleh orang
muslim atau Badan Usaha yang dimiliki orang muslim sesuai dengan ketentuan
agama Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerima zakat.
12. Shadaqah adalah harta yang dikeluarkan oleh seorang Muslim atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
26. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang
berkewajiban menunaikan Zakat.
27. Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat sebagaimana
ditentukan oleh hukum Islam.
Pasal 2
Pengelolaan Zakat, infaq dan shadaqoh berdasarkan iman dan taqwa. keterbukaan
dan kepastian hukum sesuai hukum Islam, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945
dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan Zakat, Infaq,
Shadaqoh sesuai dengan tuntutan agama Islam.
Pasal 5 ayat (3)
(1) Perhitungan Zakat Mal menurut Nisab dan Haul, Kadar dan waktunya
ditetapkan berdasarkan hukum agama Islam.
Pasal 17 ayat (3)
(1) BAZ dan LAZ mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan Zakat, Infaq, Shadaqoh sesuai dengan ketentuan hukum
Islam.
56
Dengan melihat dari pasal-pasal di atas pada intinya zakat adalah kewajiban
umat muslim yang berdasarkan ketentuan hukum islam, tujuan peraturan daerah ini
adalah untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat muslim dalam menunaikan
zakat. Dan pada bagian sanksi dalam hal tidak ditunaikannya zakat maka si wajib
zakat tersebut akan dikenakan sanksi. Maka adalah tepat jika peraturan daerah ini
mengkategorikan bermuatan materi keagamaan.
C.2. Peraturan Daerah Kabupaten
Berikut peraturan daerah bermuatan materi keagamaan yang dirunut dari tahun
2002 sampai tahun 2013 dengan pembagian empat pembagian waktu yaitu antara
2002 sampai 2004, 2005 sampai 2008, 2009 sampai 2011 dan 20012 sampai 2013.
Table 13. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2002 Sampai 2004.
Kabupaten Nomor Tahun Tentang
Peraturan Daerah
Kabupaten Solok Nomor 6
Tahun
2002
Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah
Di Kabupaten Solok
Peraturan Daerah
Kabupaten Pasaman
Nomor
22
Tahun
2003
Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah
Bagi Siswa, Mahasiswa Dan Karyawan
Peraturan Daerah
Kabupaten Bulukumba Nomor 5
Tahun
2003
Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah
Di Kabupaten Bulukumba
Peraturan Daerah
Nanggoerh Aceh
Darussalam
Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten Bukit Tinggi
Nomor
29
Tahun
2004
Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan
Shadaqoh
Peraturan Daerah
Kabupaten Pesisir
Selartan
Nomor 8 Tahun
2004
Tentang Pandai Baca Tulis Al-
Qur'an Provinsi Bengkulu
Peraturan Daerah
Kabupaten Cirebon
Nomor
77
Tahun
2004
Tentang Pendidikan Madrasah Diniyah
Awaliyah
Peraturan Daerah
Kabupaten Banjar Nomor 5
Tahun
2004
Tentang Ramadan (Perubahan Peraturan
Daerah Ramadan Nomor 10 tahun 2001)
Peraturan Daerah
Kabupaten Banjar Nomor 4
Tahun
2004
Tentang Khatam Al-Qur'an bagi Peserta
Didik pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Daerah
Kabupaten Dompu
Nomor
11
Tahun
2004
Tentang Tata Cara Pemilihan Kades (materi
muatannya mengatur keharusan calon dan
keluarganya bisa membaca Al-Qur'an yang
dibuktikan dengan rekomendasi KUA).
57
Tabel 14. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2005 Sampai 2008. Kabupaten Nomor Tahun Tentang
Peraturan Daerah
Kabupaten Pesisir
Selatan
Nomor 4 Tahun
2005 Tentang berpakaian Muslim dan Muslimah
Peraturan Daerah
Kabupaten Agam Nomor 6
Tahun
2005 Tentang berpakaian Muslim
Peraturan Daerah
Kabupaten Agam Nomor 5
Tahun
2005 Tentang Pandai baca Tulis Al-Qur'an
Peraturan Daerah
Kabupaten Solok
Selatan
Nomor 6 Tahun
2005
Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di
Kabupaten Solok Selatan
Peraturan Daerah
Kabupaten Bandung Nomor 9
Tahun
2005 Tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh.
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Nomor
12
Tahun
2005 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah.
Kabupaten Sidoarjo Nomor 4
Tahun
2005
Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan
Shadaqoh
Peraturan Daerah
Kabupaten Banjar Nomor 8
Tahun
2005 Tentang Jum'at Khusyu'
Peraturan Daerah
Kabupaten Hulu
Sungai Utara
Nomor
19
Tahun
2005 Tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh
Peraturan Daerah
Kabupaten Maros
Nomor
16
Tahun
2005 Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah
Peraturan Daerah
Kabupaten Maros
Nomor
15
Tahun
2005
Tentang Gerakan Buta Aksara dan pandai Baca
Al-Qur'an dalam Wilayah Kabupaten Maros
Peraturan Daerah
Kabupaten Maros
Nomor
17
Tahun
2005 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten Enrekang Nomor 6
Tahun
2005 Tentang Busana Muslim
Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar Nomor 2
Tahun
2006
Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan
Shadaqoh
Peraturan Daerah
Kabupaten Bangka Nomor 4
Tahun
2006
Tentang pengelolaan Zakat, Infaq, dan
Shadaqoh
Peraturan Daerah
Cianjur
Nomor
15
Tahun
2006
Tentang Pemakaian Dinas Harian Pegawai di
Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Cianjur
Peraturan Daerah
Kabupaten Pasuruan Nomor 4
Tahun
2006
tentang Pengaturan Membuka Rumah Makan,
Rombong dan sejenisnya pada Bulan Ramadan
Peraturan Daerah
Kabupaten Banjar Nomor 5
Tahun
2006
Tentang Penulisan Identitas dengan Huruf Arab
Melayu (LD No. 5 tahun 2006 Seri E Nomor 3)
Peraturan Daerah
Kabupaten Polewali
Mandar
Nomor
14
Tahun
2006
Tentang Gerakan Masyarakat Islam Baca Al-
Qur'an
Peraturan Daerah
Kabupaten Padang
Panjang
Nomor 7 Tahun
2008 Tentang Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten Bungo
Nomor
23
Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai
Kartanegara
Nomor 9 Tahun
2008
Tentang Pengelolaan Zakat Kabupaten Kutai
Kartanegara
58
Tabel 15. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2009 Sampai 2011.
Kabupaten Nomor Tahun Tentang Peraturan Daerah
Kabupaten
Bondowoso
Nomor
11
Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten
Konawe Utara
Nomor
4
Tahun
2009
Tentang Bebas Buta Baca Tulis Huruf
Alqur’an Bagi Anak Usia Sekolah Dan
Masyarakat Yang Beragama Islam Di
Kabupaten Konawe Utara
Peraturan Daerah
Kabupaten Bintan
Nomor
6
Tahun
2010
Tentang Kewajiban Pandai Baca Tulis Al
Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak
Usia Sekolah Yang Beragama Islam
Peraturan Daerah
Kabupaten
Indagiri Hulu
Nomor
4
Tahun
2010
Tentang Pandai Baca Tulis Al Qur’an Bagi
Peserta Didik Pada Pendidikan Dasar,
Pendidikan Menegah dan Calon Pengantin.
Peraturan Daerah
Kabupaten Tapin
Nomor
13
Tahun
2010 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten
Sumedang
Nomor
1
Tahun
2011
Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq Dan
Shadaqah
Peraturan Daerah
Kabupaten
Kebumen
Nomor
13
Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten
Banjarnegara
Nomor
10
Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Tabel 16. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2012 Sampai 2013.
Kabupaten Nomor Tahun Tentang Peraturan Daerah
Kabupaten Rokan
Hulu
Nomor
7
Tahun
2012 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten
Kuningan
Nomor
4
Tahun
2012 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten
Penajam Paser
Utara
Nomor
2
Tahun
2012
Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq,
Shodaqoh Dan Wakaf
Peraturan Daerah
Kabupaten Wajo
Nomor
22
Tahun
2012 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten Siak
Nomor
6
Tahun
2013 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kabupaten
Batang Hari
Nomor
17
Tahun
2013
Tentang Kewajiban Mampu Baca Tulis Al-
Qur’an Dan Melaksanakan Shalat Fardlu
Bagi Siswa Yang Beragama Islam
59
Peraturan Daerah Kabupaten Solok Selatan Nomor: 6 Tahun 2005 Tentang
Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di Kabupaten Solok Selatan. Berikut anatomi
dari Peraturan daerah ini pasal-pasal mana saja yang memuat ajaran agama tertentu
sehingga peraturan daerah ini dapat dikategorikan bermuatan materi keagamaan.
Pasal 1
6. Pakaian Muslim dan Muslimah adalah pakaian yang bercirikan Islam.
Pasal 2
Maksud Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi masyarakat merupakan
perwujudan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala serta taat mengamalkan Agama Islam sekaligus melestarikan
pakaian adat.
Pasal 3
Tujuan berpakaian Muslim dan Muslimah adalah:
1) Membentuk sikap sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang baik dan
berakhlak mulia;
2) Membiasakan diri berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di hadapan umum;
3) Menciptakan masyarakat yang mencintai Budaya Islam dan Budaya
Minangkabau;
4) Melestarikan fungsi adat sesuai dengan pituah “syara’ mangato adat
memakai”.
Pasal 4
Fungsi berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan
harga diri, sebagai identitas Muslim dan Muslimah, serta untuk menghindari
kemungkinan terjadinya ancaman dan gangguan dari pihak lain.
Pasal 5
Setiap Siswa/Siswi SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK dan Karyawan/ Karyawati
diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi
Mahasiswa/Mahasiswi TNI dan Polri dan masyarakat umum adalah bersifat
himbauan.
Pasal 6
(1) Berpakaian Muslim dan Muslimah sebagaimana dimaksud pada pasal 5
dilaksanakan pada :
60
a. Kantor-kantor Pemerintah dan Swasta;
b. Sekolah-sekolah Negeri dan Swasta, mulai dari SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK;
c. Lembaga-lembaga Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah;
d. Acara-acara resmi;
(2) Bagi TNI Polri, Mahasiswa/Mahasiswi dan masyarakat umum dihimbau untuk
berpakaian muslim dan muslimah dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada
acara hiburan umum.
Pasal 7 (1) Ketentuan mengenai pakaian Muslim dan Muslimah bagi Karyawan/
Karyawati pada Kantor Pemerintah dan Swasta sebagaimana tersebut dalam
pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
A. KARYAWAN :
1) Memakai celana panjang ;
2) Memakai baju lengan panjang / pendek.
B. KARYAWATI :
1) Memakai baju lengan panjang yang menutupi pinggul;
2) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki;
3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan
dada.
(2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat), serta pusar tidak terbuka.
(3) Ketentuan mengenai Model Pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Bupati.
Pasal 8 (1) Ketentuan memakai Pakaian Muslim dan Muslimah bagi Siswa / Siswi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut :
A. LAKI-LAKI :
1) Memakai celana panjang;
2) Memakai baju lengan panjang / pendek.
B. PEREMPUAN :
Memakai baju lengan panjang yang menutup pinggul dan dada yang
dalamnya sampai lutut;
1) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki;
2) Memakai kerudung yang menutup rambut, telinga, leher dan tengkuk
serta dada.
(2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat) serta pusar tidak terbuka.
(3) Ketentuan mengenai model pakaian diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Bupati.
61
Pasal 11 Setiap pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi
sebagai berikut:
a. Bagi Karyawan / Karyawati / Dosen / Guru-guru dikenakan sanksi dengan
ketentuan Disiplin Pegawai.
b. Bagi Siswa / Siswi dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut :
1) ditegur secara Lisan;
2) ditegur secara tertulis;
3) diberitahukan kepada orang tua;
4) tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di sekolah;
5) dikeluarkan / dipindahkan dari sekolah.
c. Bagi Panitia yang menyelenggarakan Acara Resmi, dikenakan sanksi berupa
teguran secara lisan agar Panitia menertibkan undangan;
Pasal 14
(1) Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam
dan berdomisili dan atau bekerja di daerah Kabupaten Solok Selatan.
(2) Bagi Karyawan / Karyawati, Mahasiswa / Mahasiswi, Siswa / Siswi dan
Pelajar serta masyarakat yang tidak beragama Islam busananya
menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing.
Dalam peraturan daerah ini memuat bahwa setiap siswa dan karyawan muslim
yang berdomisili di wilayah hukum kabupaten solok selatan untuk diwajibkan
berpakain muslim sebagai bentuk peribadatan dengan disertai sangsi bagi para pihak
yang tidak melaksanakan bentuk peribadatan tersebut. Penyimpangan yang adal
dalam peraturn daerah diatas juga bahwa peraturan daerah tersebut hanya
diberlakukan bagi siswa dan siswi yang beragama muslim di kabupaten Solok Selatan
hal ini angan kontraksi dengan sifat peraturan perundang-undangan yang adalah
sebuah regeling dan sifatnya umum jadi peraturan daerah semestinya tidak boleh
hanya untuk kalangan tertentu saja, demikian anatomi peraturan daerah kabupaten
Solok Selatan Nomor 6 Tahun 2005 dengan kesimpulan bahwa peraturan ini sudah
jelas bermuatan keagamaan.
62
C.3. Peraturan Daerah Kota
Tabel 17. Peraturan Daerah Kota Tahun 2004 Sampai 2009.
Kota Nomor Tahun Tentang
Peraturan Daerah
Kota Banjarmasin
Nomor
31
Tahun
2004 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kota Banjarmasin
Nomor
4
Tahun
2005
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Banjarmasin Nomor
13 Tahun 2003 tentang Larangan
Kegiatan Pada Bulan Ramadan
Peraturan Daerah
Kota Kendari
Nomor
17
Tahun
2005
Tentang Bebas Buta Aksara Al-
Qur'an pada Usia Sekolah dan Bagi
masyarakat Islam di Kota Kendari
Peraturan Daerah
Kota Serang
Nomor
1
Tahun
2006
Tentang Madrasah diniyah
Awwaliyah
Peraturan Daerah
Kota Makassar
Nomor
5
Tahun
2006 Tentang Zakat
Peraturan Daerah
Kota Batam
Nomor
3
Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kota Tasikmalaya
Nomor
12
Tahun
2009
Tentang Pembangunan Tata Nilai
Kehidupan Kemasyarakatan Yang
Berlandaskan Pada Ajaran Agama
Islam Dan Norma-Norma Sosial
Masyarakat Kota Tasikmalaya
Peraturan Daerah
Kota Semarang
Nomor
7
Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Zakat
Tabel 18. Peraturan Daerah Kota Tahun 2010 Sampai 2011.
Kabupaten Nomor Tahun Tentang
Peraturan Daerah
Kota Padang
Nomor
02
Tahun
2010 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kota Mojokerto
Nomor
3
Tahun
2010
Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq
Dan Shodaqoh
Peraturan Daerah
Kota Probolinggo
Nomor
11
Tahun
2010 Tentang Pengelolaan Zakat
Peraturan Daerah
Kota Banjarmasin
Nomor
4
Tahun
2010
Tentang Wajib Baca Tulis Al-
Quran Bagi Siswa Sekolah Dasar /
Madrasah Ibtidaiyah, Siswa
Sekolah Menengah Pertama/
Madrasah Tsanawiyah Dan Siswa
Sekolah Menengah Atas / Madrasah
Aliyah / Sekolah Menengah
Kejuruan Serta Calon Pengantin
Yang Beragama Islam
Peraturan Daerah
Kota Ternate
Nomor
30
Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat
63
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Wajib
Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah, Siswa
Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah Dan Siswa Sekolah Menengah
Atas / Madrasah Aliyah / Sekolah Menengah Kejuruan Serta Calon Pengantin Yang
Beragama Islam
Untuk mengkategorikan peraturan daerah ini sebagai peraturan daerah yang
bermuatan materi keagamaan secara sepintas memang langsung dapat dilihat dari
judulnya saja, namun Selain dapat dilihat dari judul peraturan daerah ini dalam
batang tubuhnya juga terdapat banyak pasal yang sangat kental dengan kaidah
keagamaan, berikut pasal-pasal yang bersifat keagamaan.
Menimbang : a. bahwa AI-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah
Subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad, sebagai
salah satu Rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta,
didalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi dasar
hukum, petunjuk, pedoman dan pelajaran serta ibadah bagi
orang yang membaca, mempelajari, mengimani serta
mengamalkannya;
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Daerah Kota Banjarmasin;
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banjarmasin;
3. Wajib Baca adalah kemampuan seseorang untuk membaca huruf atau lambang,
baik huruf arab atau latin dan sebagainya;
4. Al-Qur'an adalah Kitab Suci yang berisi wahyu Allah SWT yang diturunkanNya
melalui Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril
dan membacanya menjadi ibadah;
5. Wajib Baca Tulis Al-Qur'an adalah upaya untuk menjadikan siswa dan
masyarakat pandai baca tulis Al-Qur’an dengan baik dan benar;
6. Wajib membaca AI-Qur'an dengan baik dan benar adalah Kemampuan
seseorang membaca Al-Qur'an dengan Fasih sesuai dengan Ilmu Tajwid;
7. Siswa Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat dengan Siswa SD, adalah
Siswa SD / Madrasah lbtidaiyah (MI) se Kota Banjarmasin;
64
8. Siswa Sekolah Menengah Pertama selanjutnya disingkat dengan Siswa SMP
adalah Siswa SMP /Madrasah Tsanawiyah (MTs) Se Kota Banjarmasin;
9. Siswa Sekolah Menengah Atas selanjutnya disingkat dengan Siswa SMA
adalah Siswa SMA / SMK / Madrasah Aliyah se Kota Banjarmasin;
10. Calon Pengantin adalah seorang laki-laki dan atau perempuan yang akan
melangsungkan pernikahan bagi yang beragama Islam;
Pasal 2
Maksud wajib baca tulis Al-Quran bagi Siswa SD/MI, SMP/MTS, SMA/SMK/MA
serta Calon Pengantin yang beragama Islam adalah untuk membentuk Insan Kamil
atau Muslim / Muslimah yang Paripurna yang mencerminkan ciri-ciri kualitas
manusia seutuhnya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Pasal 3
Tujuan wajib baca tulis Al-Qur'an bagi Siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA
serta Calon Pengantin yang beragama Islam adalah :
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum adalah agar setiap Siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA
serta Calon Pengantin dan masyarakat :
1. Memiliki sikap sebagai seorang muslim/muslimah yang baik dan berakhlak
mulia;
2. Memiliki sikap sebagai warga Negara Indonesia dan masyarakat yang baik,
berbudi luhur, berdisiplin dan bertaqwa kepada Allah Subhanahuwata'ala;
3. Mempunyai pengetahuan tentang dasar-dasar hidup beragama Islam serta
terampil dan taat dalam melaksanakan ibadah.
b. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus wajib baca tulis Al-Qur'an adalah agar setiap Siswa SD/MI,
SMP/MTs, SMA/SMK/ MA serta calon pengantin :
1. Mampu baca tulis Al-Qur'an dengan baik dan benar serta terbiasa
membaca dan mencintai Al-Qur'an dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari;
2. Mampu memahami dan menghapal ayat-ayat Al-Qur'an untuk bacaan-
Shalat sekaligus dalam rangka memakmurkan dan mencintai Mesjid,
Mushalla/langgar, serta dapat menjadi imam yang baik dalam Shalat.
Pasal 4
Fungsi wajib baca tulis Al-Qur'an dengan baik dan benar adalah sebagai wahana
menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahuwata'ala bagi
Siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA serta Calon Pengantin dan masyarakat
adalah dalam rangka membentuk Keluarga Sakinah, mawaddah, warrahmah.
Pasal 10
(1) Setiap pasangan calon Pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib
baca tulis Al-Qur'an dengar baik dan benar.
(2) Kemampuan baca tulis Al-Qur'an sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau dihadapan
65
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang bertugas membimbing acara
pernikahan tersebut.
Pasal 11
(1) Bagi setiap tamatan SD/MI dan atau SMP/MTs yang akan melanjutkan
pendidikan pada jenjang pendidikan berikutnya, ternyata tidak mampu baca
tulis Al-Qur'an dengan baik dan benar dan atau tidak memiliki sertifikat wajib
baca tulis Al-Qur'an, maka yang bersangkutan tidak/belum dapat diterima
pada jenjang pendidikan tersebut.
(3) Bagi Calon Pengantin yang tidak bisa baca tulis Al-Qur'an dengan baik dan
benar di hadapan PPN atau Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada Pasal
10 ayat (2), maka Pelaksanaan Nikahnya tetap dilangsungkan dengan membuat
surat pernyataan sanggup belajar baca tulis Al-Qur’an.
Pasal 17
(1) Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam
sehat jasmani dan rohani yang berdomisili di Daerah serta masyarakat yang
akan melaksanakan pernikahan di Daerah.
(2) Bagi siswa yang tidak beragama Islam agar dapat menyesuaikan dengan
tuntunan dan ketentuan yang berlaku bagi agama yang dianutnya.
Pasal 18
Sertifikat wajib baca tulis Al-Qur’an merupakan salah satu persyaratan untuk
dapat diterima pada jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK.
Analisis secara garis besar peraturan daerah ini adalah mengharuskan khusus
bagi setiap siswa dan calon pengantin muslim untuk diharus kan membaca Al-
Qur’an dimana Al-Quran itu sendiri adalah kitab suci umat muslim yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, di dalamnya terkumpul wahyu yang menjadi dasar
hukum, petunjuk, pedoman dan pelajaran serta ibadah bagi orang yang membaca,
mempelajari, mengimani serta mengamalkannya sebagai wujud peribadatan.
Ketentuan lebih lanjut dalam peraturan daerah ini bilamana peribadatan tersebut
lalai dilakukan maka ada sanksi yang diberikan. dapat disimpulkan bahwa peraturan
daerah ini memuat hal keagamaan yaitu hukum Islam.
66
D. Analisis
D.1. Dasar Negara Dan Agama
Berbicara mengenai pengaturan tentang hal keagamaan ada baiknya kita
melihat pada dasar pendirian negara Indonesia ketika terjadi polemik antara
Soekarno dan Muhammad Natsir mengenai hubungan antara negara dengan agama.
Soekarno berpendirian bahwa demi kemajuan negara maupun agama itu sendiri
maka negara dan agama harus di pisahkan.107
Pertama dimana negara Indonesia didirikan tidak berlandaskan pada suatu
agama tertentu dan perdebatan waktu itu Soekarno berpendapat bahwa negara harus
memisahkan antara negara dan agama, Soekarno mencontohkan Turki di bawah
pimpinan Kemal Attaturk pada tahun 1928 menghapus ketentuan konstitusinya
tentang kedudukan islam sebagai agama negara dan menjadikan masalah agama
sebagai urusan perorangan.108
Memisahkan adalah tidak sama dengan menolak, hal ini dapat kita pahami
melalui pendapat lain yang dikutip dari pernyataan Franches Woodsmall, bahwa,
turki moderen adalah anti kolot, anti “gereja” namun tidak anti agama. Dan dikutip
pula pernyataan Halide Adib Hanoun, bahwa, jika Islam terancam bahaya
kehilangan pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus
oleh pemerintah, tetapi justru karena diurus oleh pemerintah, umat Islam terikat
kaki dan tangannya dengan rantai kepala politik pemerintah itu. Hal ini adalah satu
halangan yang besar sekali buat kesuburan Islam di Turki.109
107 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta, Edisi
Revisi, Cetakan Kedua Juni 2001, Hlm. 4. 108 Ibid, Hlm. 7, Dikutip dari Soekarno, “Me-muda-kan Pengertian Islam”, dalam Di
Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. Cet. IV, 1965, Hlm. 370. 109 Ibid.
67
Menyambung pendapat di atas kemudian Dikemukakannya perkataan
Menteri Kehakiman Mahmud Essad Bey yang mengatakan bahwa agama itu perlu
dimerdekakan dari belenggu pemerintah, agar menjadi subur, sebab manakala
agama diurus oleh pemerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum oleh raja-
raja, orang-orang dzalim dan orang-orang tangan besi.110 Maka dari itu jangan
sampai hal ini terjadi di Indonesia lebih khusus dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Mengenai keyakinan umat Islam bahwa Islam telah mengatur berbagai hal
termasuk negara sehingga agama tidak dapat di pisahkan dari negara Soekarno
menanggapi bahwa dalam masalah ini belum ada ijma111. Oleh karena itu dengan
tegas Soekarno menyatakan Islam di Indonesia tidak menjadi urusan negara.112
Negara tidak bisa mengambil tindakan atas praktek-praktek Islam … karena
peraturan antara agama dan dengan negara telah memberi peluang pada syekh-
syekh Islam menghalanginya dengan alasan agama Islam adalah agama negara.113
Alasan yang lain mengapa hal keagamaan jangan sampai diatur oleh negara
karena dalam satuan wilayah hukum daerah otonom ketika pemerintah
memasukkan ajaran agama tertentu dalam sebuah peraturan perundang-undangan
khususnya peraturan daerah, berarti pemerintah sudah menjadi alat untuk
menegakkan sebuah agama tertentu,114 sehingga pemerintah harus menjamin
pelaksanaan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama tersebut dan
110 Ibid. Hlm. 8. 111 Ijma’ adalah kesepakatan pendapat dari para ulama tentang sesuatu atau beberapa
masalah. 112 Mahfud MD, Op. Cit, Hlm. 9. 113 Ibid., Hlm. 11 114 Ibid., Hlm. 23
68
memaksanya.115 padahal tidak semua warganya menganut agama yang sama, dan
hal ini akan dirasa tidak adil karena itu kan diberlakukan dalam kehidupan semua
warganya,116 kemudian walaupun ketentuan tersebut hanya ditujukan bagi warga
yang menganut agama tertentu saja, tetap saja ketentuan ini juga dapat dipahami
sebagai hal diskriminasi bagi penganut lain, apakah warga dalam daerah tersebut
cuma yang beragama misalnya islam, sehingga istilah warga pada umumnya
diperuntukkan bagi orang Islam, sedangkan penganut agama lain misalnya Kristen
meskipun warga pribumi dianggap sebagai orang asing.117
Mengenai masalah ini Soekarno sangat tegas menekankan dalam
pernyataannya yang masih dalam seputaran perdebatan mengenai dasar yang akan
dibangun atas negara Indonesia,
Tuan berkata, negara jangan dipisahkan dengan agama, negara
harus satu dengan agama. Accord, tetapi bagaimana Tuan
mengerjakan Tuan punya idea itu dimana penduduk sebagian
tidak beragama Islam, sepertinya Turki, India, Indonesia, dimana
milyunan orang tidak beragama atau beragama lain dan dimana
kaum intelektual umumnya tidak berfikir islamistis…
Andainya, andainya Tuan menjadi pemerintah negeri yang
banyak bukan orang Islam, apakah Tuan mau tetapkan saja bahwa
negara harus negara Islam, undang-undang dasar harus undang-
undang dasar Islam, semua hukum-hukum yang beragama
Kristen atau agama lain tidak mau terima, bagaimanakah, Tuan
apakah mau paksa sahaya kepada mereka, dengan
menghantamkan tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka
musti ditundukkan kepada kemauan tuan?
Ai Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata
bedil atau meriam?118
Sangat tegas pernyataan Soekarno tersebut sebaiknya ajaran agama dan
negara atau pemerintahan tetap di pisahkan namun hubungan antara agama dan
115 Ibid., Hlm. 22 116 Ibid., Hlm. 23 117 Ibid,. Hlm. 13. 118 Ibid, Hlm. 12, Dikutip dari Soekarno, “Saya Kurang Dinamis”, dalam Di Bawah
Bendera Revolusi, Op.Cit, Hlm. 450.
69
negara adalah dimana negara bersifat melindungi hak-hak setiap warga negara
dalam memeluk agama dan menjalankan agamanya serta beribadah menurut
agamanya tersebut, karena dalam negara Indonesia terdiri dari banyak agama
adalah tidak adil memasukkan ajaran salah satu agama dalam peraturan perundang-
undangan, mengenai hal ini kita dapat mencontoh di negara-negara Barat yang di
pisahkan dari negara adalah Gereja, bukan agama. Oleh sebab itu, menurut Deliar,
masalah agama dan negara tidak perlu timbul di Indonesia.119
D.2. Kewenangan Daerah
Segala kewenangan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan otonom
adalah diperoleh dari desentralisasi kewenangan atau penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah darah yang sehingga untuk mengetahui
apakah daerah otonom memiliki kewenangan dalam mengatur hal keagamaan
sehingga daerah dapat membentuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah
yang mengatur hal tersebut yaitu agama. Berikut akan dibahas apa saja kewenangan
yang diperoleh oleh daerah otonom dari pemerintah pusat berhubungan dengan
otonomi daerah.
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:
daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan
dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
(streek dan locate reichtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang akan di tetapkan dengan undang-undang.
119 Ibid, Hlm. 24, Dikutip dari Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta,
1986, Hlm. 205-207.
70
Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh
karena itu, di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Berikutnya dalam perubahannya yang kedua Undang-Undang Dasar 1945
dimana ketentuan mengenai pemerintahan daerah, pasal 18 berbunyi sebagai
berikut.
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas dasar
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota di
pilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang menurut undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat yaitu Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2004 juncto Pasal 2
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 yang menjadi urusan
pemerintah pusat, adalah meliputi:
1. Politik luar negeri.
2. Pertahanan.
3. Keamanan.
4. Yustisi.
5. Moneter dan fiskal nasional.
6. Agama.
71
Yang menjadi kewenangan daerah adalah dapat dilihat dari Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 Pasal ayat (4) dimana urusan pemerintahan
daerah terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
dd. perdagangan; dan
ee. perindustrian.
Kesimpulannya adalah kewenangan dalam menjalankan otonomi seluas-
luasnya yaitu 31 bidang di atas kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama.
Maka dari itu hak dari pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah
guna melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana dituang
72
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6) dibatasi dengan enam
pengecualian tersebut termasuk agama, dengan kata lain pemerintah daerah tidak
memiliki kewenangan mengatur hal yang bersifat keagamaan jadi agama tidak
dapat dimuat dalam peraturan daerah.
D.3. Hukum Sebagai Sistem
Sistem adalah sebuah keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian kecil yang
saling berhubungan satu sama lain sehingga setiap bagian dari sistem adalah
merupakan bagian keseluruhan dengan kata lain tidak terpisah satu sama lain.
Hukum sebagai suatu sistem maksudnya adalah setiap bagian peraturan
perundang-undangan suatu negara harus di tegakan berdasarkan sebuah sistem
dengan artian bahwa setiap peraturan perundang-undangan tidak berdiri sendiri
melainkan harus saling berkaitan saling menunjang satu sama-lain sebagai sebuah
sistem yang membentuk sebuah kesatuan.120
Demikian halnya di Indonesia dimana norma-norma hukum yang berlaku di
Indonesia berada dalam sebuah sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang sekaligus
berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki sumber
dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai
berpangkal pada norma tunggal121 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.122 Karena
Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi
muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.123 Demikian peraturan
120 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55 121 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 94. 122 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 57 123 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 95, 105.
73
perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan
konsep hirarki aturan hukum.124
Konstitusi menetapkan muatan baik itu menentukan atau melarang muatan
Peraturan perundang-undangan pada tingkatanya masing-masing125, demikian
peraturan daerah dapat dikatakan sah hanya jika muatan peraturan daerah tersebut
berdasarkan perintah peraturan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan
daerah tersebut materi muatannya dapat dirunut berdasarkan hirarki dan tidak putus
sampai bermuara pada konstitusi.
D.4. Implikasi Hukum
Menurut Hans Kelsen berkaitan dengan pengertian negara bahwa negara
merupakan tatanan norma hukum (legal norm order). Oleh sebab itu pengertian
desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan norma hukum dalam suatu
negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh
wilayah negara yang sering disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula
kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda
yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Jadi apabila kita
membicarakan tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan
dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku secara sah
tersebut.126 Oleh sebab itu decentral norm merupakan bagian dari central norm
124 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55 125 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 106. 126 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., Hlm. 118. Dikutip dari B. Hestu Handoyo, Hukum
Tata negara, kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2003, Hlm. 136.
74
sehingga keduanya harus memiliki kecocokan dan membentuk sebuah sistem
peraturan yang merupakan sebuah kesatuan tidak berdiri sendiri-sendiri,
Senada dengan penjelasan di atas bahwa hukum merupakan sebuah sistem
yang dengan tingkatan-tingkatannya dimana sebuah norma harus didasarkan pada
norma yang lebih tinggi dan begitu sebaliknya, yang kemudian disebut sistem
peraturan perundang-undangan dimana peraturan perundang-undangan
kekuatannya didasarkan pada hierarkinya. Di Indonesia hierarki peraturan
perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang dalam Pasal 7
mengatur Peraturan Perundang-Undangan adalah:
(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hierarki Peraturan
Perundang-Undangan adalah
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
75
Melalui hierarki inilah peraturan daerah yang merupakan peraturan
perundang-undangan yang paling bawah kekuatan hukumnya didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang di atasnya.
Dalam hal peraturan daerah yang di dalamnya memuat hal keagamaan
padahal ketentuan yang di atasnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
juncto Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 menekankan bahwa hal
keagamaan bukan merupakan kepentingan daerah, sehingga peraturan daerah yang
semacam ini tentunya telah bertentangan dengan ketentuan yang di atasnya.
Dalam disiplin ilmu hukum Tata Negara hierarki perundang-undangan yang
lazim dikenal adalah bahwa suatu undang-undang selalu kedudukannya berada di
bawah Hukum Dasar atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Ini berarti bahwa
bilamana suatu undang-undang secara formal dan atau material bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya maka hal tersebut merupakan
penyimpangan dalam hierarki perundang-undangan yang sangat fatal.127
Pertentangan norma akan mengakibatkan runtuhnya sistem peraturan
perundang-undangan karena hal semacam ini akan mengakibatkan terjadinya
ketidakpastian hukum.128 Sehingga sebuah peraturan daerah yang bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi merupakan peraturan daerah yang
inkonstitusional.129
127 Muhammad Ridhwan Indra, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Dan Hak
Menguji Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, Hlm. 13. 128 Titon Slamet Kurnia, Op.cit., Hlm. 61. 129 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 117