bab ii metode tafsir al-qur`Ān dalam berbagai …digilib.uinsby.ac.id/1024/7/bab 2.pdf · metode...
TRANSCRIPT
19
BAB II
METODE TAFSIR AL-QUR`ĀN DALAM BERBAGAI
PERSPEKTIF
A. Pengertian Metode Tafsir dan Posisinya dalam Ilmu Tafsir
Metode tafsir merupakan salah satu substansi tak terpisahkan dan bagian
integral dari tradisi pemahaman teks al-Qur`a>n, yaitu sebagai media atau jalan
yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan instruksional dari penafsiran. Jadi,
dalam bentuk apapun analisis teks al-Qur`a>n dilakukan niscaya tidak dapat
melampaui salah satu model penafsiran tanpa memakai metode.1 Ini berarti
metode tafsir menduduki posisi sangat urgen dalam diskursus ilmu tafsir.
Meskipun demikian, studi metode tafsir masih terbilang baru dalam
khazanah literatur umat Islam. Ia baru dijadikan objek kajian tersendiri jauh
setelah tradisi analisis teks al-Qur`a>n berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika kajian metode tafsir tertinggal jauh dari analisis teks al-Qur`a >n
itu sendiri.2 Kajian metode tafsir baru menunjukkan perkembangan signifikan,
seiring dengan perkembangan problem yang dihadapi umat manusia.3
Kata metode sendiri berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara atau jalan.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai
“cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu
1Nasharuddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 10. 2Said Agil Husain al-Munawwar, “Kata Pengantar” dalam ‘Ali> H{asan al-‘Arid}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Perss, 1992), v. 3Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed), “Kata Pengantar” dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002), xi. 4Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 635.
20
pengetahuan dan sebagainya; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan”.5
Dalam bahasa Arab, kata ini biasa diterjemahkan dengan al-manhaj, yaitu
“sejumlah aturan umum yang dirumuskan untuk mengungkap dan membuktikan
kebenaran disiplin ilmu pengetahuan”.6 Definisi seperti ini memang tidak pernah
diberikan sarjana Muslim kecuali di masa abad modern, namun demikian, kata al-
manhaj kerap kali digunakan untuk mengekspresikan makna yang berdekatan
dengan arti etimologinya seperti al-t}ari>q al-wa >d}ih } (jalan yang jelas), uslu >b al-
sha >’ir (gaya penyair), dan al-manhaj al-muttabi’ (ajaran yang ditetapkan).7
Istilah sinonim yang biasa digunakan intelektual Arab untuk arti kata al-
manhaj dalam berbagai disiplin sebagai identifikasi prinsip-prinsip universal yang
membangun ilmu pengetahuan adalah al-us}u>l,8 hanya saja istilah yang umum
digunakan dalam kajian ilmu tafsir adalah al-manhaj dan al-t}ari>qah.9
Kedua istilah ini digunakan secara bergantian untuk menunjuk metode
tafsir secara umum. al-Farma>wi>,10 Ibra >hi>m al-Dasuqi>,11 ‘Abd Satta >r,12 dan Sa >mir
‘Abd al-Rah}ma>n,13 misalnya, menggunakan istilah al-manhaj. ‘Abd al-H{ali>m
Mah}mu >d dalam Manhaj al-Mufassiri>n dan ‘Ali> Iya >zi> dalam al-Mufassiru>n
5Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Dik. Bud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),580-581. 6‘Abd al-Rah }ma>n Badawi>, Mana >hij al-Bah}th al-‘Ilmi> (Kuwait: Waka>lat al-Mat }bu>’a>h, 1977), 5. 7Sa>mir ‘Abd al-Rah}ma>n Rashwa>ni>, Manhaj al-Tafsi>r al-Mawd }u>’i > li al-Qur`a >n al-Kari>m (Suriah: Da>r al-Multaqa>, 2009), 32. 8Ibid., 33. 9Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 380. 10‘Abd al-H{ayyi al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi > al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i > (Kairo: al-H{ad }arah al-‘Arabiyah, 1977). 11Ibra>hi>m al-Dasuqi>, Madkhal ila> al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i > (Kairo: Da>r al-‘Ashr, 1985). 12‘Abd Satta>r Fath Alla>h Sa’i>d, al-Madkhal ila> al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i > (Kairo: Da>r al-Tawzi>’ wa al-Nashr al-Isla>miyyah, 1991). 13Sa>mir ‘Abd al-Rah }ma>n Rashwa>ni>, Manhaj al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i > li al-Qur`a >n al-Kari>m (Suriah: Da>r al-Multaqa>, 2009).
21
H {aya>tuhum wa Manhajuhum juga memakai istilah al-manhaj, tapi pada gilirannya
dimaksudkan untuk memperkenalkan metode khusus dari seorang penafsir ketika
memahami teks al-Qur`a>n. Sementara ‘Ali> H {asan ‘Ari>d }14 dan Ibra>hi>m Shari>f15
menggunakan istilah al-manhaj dan al-t}ari>qah. Lain dengan mereka, al-Ru >mi>
memakai istilah al-t}ari>qah atau al-uslu >b untuk mengidentifikasi metode tafsir
secara umum, yakni al-tah }lili>, al-ijma>li >, al-muqa>ri>n, dan al-mawd }u >’i>.16
Definisi yang diberikan pakar studi tafsir pada istilah al-manhaj dan al-
t}ari>qah pun juga sangat variatif. Ibra >hi>m Shari>f misalnya, mendefinisikan sebagai
“cara untuk merealisasikan arah penafsiran, sekaligus menjadi wadah untuk
menampung dasar-dasar pemikiran atau yang lainnya, dan setiap penafsir
memiliki cara khusus dalam aplikasinya”.17 Lain halnya dengan Sa>mir ‘Abd al-
Rah}ma>n yang mendefinisikan al-manhaj sebagai “seperangkat ide-ide teoritis
yang diformulasikan penafsir dan diaplikasikan secara konsisten serta terekspos
dalam wujud interpretasinya”.18
Sementara itu, para pakar studi ilmu tafsir di Indonesia juga berbeda-beda
dalam mendefinisikan istilah metode dalam tradisi pemahaman teks al-Qur`a>n.
14‘Ali> H{asan ‘Ari>d }, Ta>rikh ‘Ilm al-Tafsi>r wa Mana >hij al-Mufassiri>n (t.tp: Da>r al-‘Itisha>m, t.th). 15Ibra>hi>m Shari>f, Ittija >ha >t al-Tajdi>d fi > Tafsi >r al-Qur`a >n al-Kari >m fi> Mis}r (Kairo: Da>r al-Tura>th, 1982). 16Fah}d ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Sulaima>n al-Ru >mi>, Buh }u >th fi> Us }u>l al-Tafsi>r wa Mana >hijuh (Riyad: Maktabah al-Tawbah, 1413). 17Dalam konteks ini Shari>f menyatakan: inna mana>hij al-tafsi>r tatanawwa’a wa ta’addada bi tanawwu’ wa ta’addud al-mufassiri>n anfusihim fa kullu minhum maslak kha>s} fi > tafsi >rih. Ibra>hi>m Shari>f. Ittija>ha >t al-Tajdi >d fi> Tafsi >r al-Qur`a >n al-Kari>m fi> Mis}r (Kairo: Da>r al-Tura>th, 1982), 66. 18Pengertian metode seperti ini, memungkinkan adanya metode yang terteorikan secara sistematis-kontemplatif sebelum seseorang melakukan aktivitas ilmiah (manhaj ‘aqli > ta`ammuli >) dan adakalanya metode itu merupakan bagian optimalisasi fungsi normal pikiran yang pondasinya tidak ditentukan sebelumnya, sebab dalam berfikir, seseorang dapat mengelola dan mensistematisasikan ide-idenya sehingga sampai pada tujuan yang dikehendaki secara otomatis tanpa terlebih dahulu memberi batasan dan memikirkan aturan-aturan yang diketahui sebelumnya, dan ini yang diistilahkan dengan manhaj tilqa>̀ i >. Rashwa>ni>, Manhaj al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i > li al-Qur`a >n al-Kari>m, 33.
22
Menurut Nashruddin Baidan, metode tafsir adalah “suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam teks al-Qur`a>n”.19 Sedangkan Ridlwan Nasir
mendefinisikan metode tafsir sebagai “cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur`a>n, baik
yang didasarkan atas pemakaian sumber-sumber penafsirannya, atau penjelasan
tafsiran-tafsirannya, keluasan penjelasan tafsirannya, maupun yang didasarkan
atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan”.20
Menanggapi adanya kerancuan definisi dan penggunaan istilah, ‘Ali> Iya >zi>
mencoba membedakan pengertian al-manhaj dan al-t}ari>qah. Menurutnya, manhaj
al-tafsi>r adalah jalan yang ditempuh penafsir dalam menjelaskan makna, menggali
makna dari kata, menghubungkan satu makna dengan lainnya, menyebutkan
riwayat-riwayat tentang makna, menjelaskan petunjuk maknanya, hukumnya,
ketentuan agama dan lain-lainnya, dengan mengikuti arah pemikiran dan mazhab
yang sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian penafsir. Ia terkadang dapat
diungkapkan dengan istilah al-t}ari>qah al-mawd }u>’iyyah (alur objek penafsiran)
yang dikerjakan penafsir dalam menentukan ragam penafsiran dengan
memunculkan pendapat dan batasan sikapnya kepada isi penafsiran dengan segala
bentuk penjelasan yang dapat dilakukan. Singkatnya al-manhaj adalah proses
melakukan kajian terhadap objek ayat serta jalan untuk menjelaskan dan menggali
makna. Sedangkan al-t}ari>qah adalah bentuk pembahasan yang dipilih penafsir
guna menertibkan dan menentukan isi pembahasan dalam penafsiran. Artinya, al- 19Definisi ini memberi ilustrasi bahwa metode tafsir al-Qur`a>n tersebut berisi seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan seseorang apabila hendak menafsirkan al-Qur`a>n. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 1-2. 20Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur`an perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin (Surabaya: Kopertais IV, 2003), 14.
23
t}ari>qah merupakan bentuk formal dari cara yang dilalui penafsir dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`a>n.21
Al-Ru >mi> juga membedakan pengertian al-manhaj dan al-t}ari>qah sebagai
variable dalam tradisi pemahaman teks al-Qur`a >n. Menurutnya, al-manhaj
didefinisikan sebagai jalan (al-sabi>l) yang mengantarkan pada tujuan, dan istilah
al-t}ari>qah diartikan sebagi teknik yang digunakan seorang penafsir ketika
menempuh suatu jalan untuk mencapai arah yang ditujunya.22
Terlepas dari adanya perbedaan paradigma dalam memandang metode
tafsir serta tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pakar ilmu tafsir,
tampaknya dari enam definisi di atas, istilah teknis dan definisi yang ditawarkan
al-Ru >mi> dan ‘Ali> Iya >zi> lebih rasional dijadikan pijakan dalam meneliti
karakteristik literatur tafsir terkait dengan proses kerja penafsir, dengan asumsi
bahwa seorang penafsir pasti mempunyai jalan, kerangka berfikir, dasar-dasar
pemikiran dan seperangkat ide-ide teoritis yang berbeda-beda sebagai dasar
epistemologi untuk mengantarkan pada tujuan penafsiran (al-manhaj) dan
diaplikasikan dengan cara yang berbeda-beda pula (al-tari>qah) seperti al-tah }lili>,
al-ijma>li>, al-muqa >ri>n, dan al-mawd}u >’i>.23
21Muh}ammad ‘Ali > Iya >zi>, al-Mufassiru >n H{aya >tuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wiza>rat al-Thaqa>fah wa al-Irsha>d al-Isla>mi>, 2007), 31-33. 22 al-Ru >mi>, Buh}u >th fi > Us}u >l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh, 55-56. 23Sebagai ilustrasi, ada sekelompok orang bermaksud bepergian menuju suatu kota yang sama. Mereka berangkat menuju suatu arah tujuan yang sama (al-ittija>h), tapi menempuh jalan yang berbeda, semua jalan itu adalah al-manhaj. Di antara mereka ada yang langsung menuju kota tanpa istirahat, ada yang berbelok menuju suatu tempat lain untuk kemudian kembali ke jalan semula, dan ada yang melakukan transit di suatu tempat, kemudian melanjutkan perjalanan dan transit kembali sampai akrirnya sampai di tempat tujuan, namun semua itu mengarah pada tujuan yang sama, inilah yang dimaksud dengan al-t}ari >qah. Ibid.
24
B. Klasifikasi Metode Tafsir
Al-Qur`a>n setidaknya menyediakan pijakan subtansial dilakukannya kajian
tafsir secara metodologis. Ini misalnya diisyaratkan Q.S. ‘Āl ‘Imra >n [3]: 7 yang
membagi substansi kajian al-Qur`a >n pada ayat-ayat yang jelas lagi tegas
(muh }kama>t) dan ayat-ayat yang samar maknanya (mutasha>biha >t). Dalam kaitan
ini, ‘Abd Alla >h bin ‘Abba >s (w. 68 H/687 M) mengklasifikasi kajian tafsir kepada
empat domain, yaitu: [1] tafsir yang dapat diketahui manusia secara umum, [2]
tafsir yang hanya diketahui orang-orang Arab karena bahasa mereka sendiri, [3]
tafsir yang hanya diketahui para ulama, dan [4] tafsir yang hanya diketahui oleh
Allah.24
Sementara al-T {abari> menulis setidaknya ada tiga materi al-Qur`a>n yang
dapat diidentifikasi terkait dengan usaha untuk menafsirkannya. Pertama, ayat-
ayat yang hanya dapat ditafsirkan Nabi, terutama yang memiliki konsekuensi
hukum dan hanya dapat dipahami berdasarkan penjelasan Nabi. Kedua, ayat-ayat
yang maknanya hanya diketahui Allah semata, misalnya yang berkiatan dengan
peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan sebagainya. Ketiga, ayat-ayat yang
dapat ditafsirkan setiap orang yang memiliki pengetahuan bahasa al-Qur`a>n.25
Amal menilai di sinilah letak sumbangsih al-T {abari> dalam evolusi teori ilmu
tafsir, karena pengetahuan tentang materi kajian al-Qur`a>n merupakan langkah
awal yang krusial dalam metode tafsir.26
24Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h Badr al-Di>n al-Zarkashi>, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Vol.2 (Bairut: Da>r al-Fikr, 1988), 85. 25Abu > Ja’far Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya >n an Ta’wi>l A<yah al-Qur’a>n, Vol.1, (Bairut: Da>r al-Fikr, tt), 32-33. 26Taufiq Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), 356.
25
Di tengah fenomena maraknya penulisan tafsir yang terjadi di kalangan
masyarakat intelektual Islam, setidaknya setiap penafsir telah menggunakan
metode yang biasanya merujuk pada tradisi ulama salaf dan temuan ulama
kontemporer. Menurut Quraish Shihab, metode yang merujuk kepada tradisi
ulama salaf adalah al-ma’thu >r, al-ra’yu, dan al-isya >ri. Sedangkan untuk metode
tafsir kontemporer, sebut saja merujuk pada temuan ulama yang dianut mayoritas
pakar studi al-Qur`a>n diantaranya al-Farma>wi>, adalah ijma >li>, tah }li>li>, muqa >rin, dan
mawd }u >’i>.27 Sedangkan al-ma’thu >r dan al-ra’yu oleh al-Farma>wi> dikategorikan
sebagai corak tafsir tah }li>li>.28
Klasifikasi metode tafsir ini dinilai rancu oleh Nashruddin Baidan. Quraish
Shihab misalnya, mengkatagorikan al-ma’thu >r, al-ra`yu, dan al-isya>ri> sebagai
metode tafsir, tapi di sisi lain ia juga menyatakan al-ma’thu>r dan al-ra`yu sebagai
corak dan metode tafsir.29 Sementara al-Zarqa>ni> menulis al-ma’thu >r, al-ra`yu, dan
al-isya >ri > sebagai kategori pembagian tafsir.30 Oleh karenanya, Baidan menyebut
al-ma`thu >r dan al-ra’yu sebagai “bentuk atau jenis penafsiran”31 dan metode tafsir
yang diterapkan para penafsir sejak pada masa Nabi hingga dewasa ini secara
garis besarnya adalah metode ijma>li >, tah}li >li>, muqa >rin dan mawd }u >’i>.32
27M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 155. Bandingkan dengan al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i >, 11. 28Corak tafsir tah }li >li> menurut al-Farma>wi> adalah al-ma`thu>r, al-ra`yi, al-s}u >fi >, al-fiqhi >, al-falsafi>, al-‘ilmi>, dan al-adabi> al-ijtima>’i>. al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i>, 12-16. 29Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 83-87. 30Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulūm al-Qur’a>n, Vol.2 (Bairut: Da>r al-Kutb al-‘Ilmiyah, t.th), 11. 31Sebagaimana diakui Baidan bahwa hal ini dilakukan untuk mendudukkan masing-masing istilah secara proporsional dalam studi ilmu tafsir. Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 368-369. 32 Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 3.
26
Berbeda dengan Nashruddin Baidan yang ingin mendudukkan masing-
masing istilah secara proporsional, Ridlwan Nasir justru menawarkan paradigma
baru dalam kajian literatur tafsir dengan mengklasifikasi metode tafsir menurut
titik tekan dan sudut pandang masing-masing dengan tinjauan dari segi sumber
penafsirannya, penjelasan tafsirannya, keluasan penjelasannya, maupun yang
didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.33 Upaya ini
dilakukan untuk membedakan antara metode tafsir di satu sisi dan kecenderungan
atau aliran tafsir di sisi lain yang salama ini dilihatnya rancu.34
Berikut ini elaborasi singkat dari masing-masing metode tafsir dalam
berbagai perspektif.
1. Klasifikasi Metode Tafsir Menurut al-Farma>wi>
a. Metode Global (Ijma>li >)
Sementara pakar menggangap metode ini merupakan metode yang
pertama kali hadir dalam sejarah analisis teks al-Qur`a>n,35 serta menjadi
satu-satunya opsi dalam memahami teks al-Qur`a>n di periode awal. Ini
didasarkan pada kenyataan bahwa sasaran wahyu Ilahi untuk pertama
kalinya adalah orang-orang Arab yang menguasai bahasa al-Qur`a>n dan
memiliki cita rasa bahasa yang baik (dhawq al-lughah al-sali>m), sehingga
mereka dapat memahami al-Qur`a>n secara benar, tepat, dan akurat.36 Selain
33Pemetaan ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi orang yang ingin mempelajari tafsir al-Qur`a>n karena adanya keaneragaman penafsiran. Nasir, Memahami al-Qur’a>n; Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, 13-17. 34 Ibid., v. 35Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 3. 36al-Qur`a>n, 12 (Yūsuf): 2. 43 (al-Zukhrūf): 3. Dalam kaitan ini, Ibnu Qutaibah menulis bahwa orang-orang Arab (termasuk para sahabat) tidak sama dalam memahami segala sesuatu yang ghari>b dan mutasha>bih dalam al-Qur`a>n. Masing-masing mereka mempunyai tingkat pemahaman
27
itu, mayoritas sahabat juga mengetahui secara baik latar belakang turunnya
ayat dan bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan
kondisi umat Islam ketika ayat-ayat al-Qur`a>n turun.37
Realita sejarah yang demikian sangat konduksif dalam menyemaikan
metode global, sebab sahabat tidak memerlukan penjelasan rinci dari Nabi,
tetapi cukup dengan isyarat dan uraian sederhana, seperti yang dilakukan
Nabi ketika menafsirkan kata z}ulm dengan shirk.38 Prosedur metode global
yang praktis dan mudah dipahami turut memotivasi ulama tafsir belakangan
untuk menulis karya tafsir dengan menerapkan metode ini. Di antara mereka
ada Jala >l al-Di>n al-Mah{alli> (w. 864 H) dan Jala >l al-Di>n al-Suyu >t}i> (w. 911 H)
dengan karyanya Tafsi >r al-Jala>lain.39 Pada era modern, kecenderungan
penerapan metode global diikuti pula oleh misalnya, Muh{ammad Fari>d
Wajdi (1875-1940) dalam karyanya Tafsi>r al-Qur`a>n al-Kari>m.40
Melihat penerapan metode global yang ringkas dan mudah
dimengerti tidak salah kiranya sementara sarjana mendefinisikan sebagai
“suatu metode analisis al-Qur`a>n dengan cara mengemukakan makna global,
tanpa penjelasan panjang lebar dan terperinci tehadap ayat-ayatnya”.41
Langkah awal yang dilakukan penafsir adalah membahas ayat demi ayat
yang berbeda, karena perbedaan tingkat intensitas mereka dalam menggali informasi keagamaan dari Nabi Muh }ammad, kapasitas intetektual yang mereka miliki, serta penguasaan mereka terhadap perbendaharaan khazanah intelektual yang berkembang pada waktu itu. Lihat Mus }t }afa> Ja’far, al-Tafsi >r wa al-Mufassiru>n fi> Thawbih al-Jadi>d (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2007), 447-448. 37Manna>’ al-Qat }t }a>n, Maba>h }ith fi> ‘Ulūm al-Qur’a>n, (t.tp: Manshura>t al-‘As}r al-H{adi>th, 1973), 337. 38Lihat al-Zarqa>ni>, Mana >hil al-‘Irfa>n, 271. 39Ibid., 5-6. 40al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 30. 41S}ala>h }’Abd al-Fatta>h } al-Kha >lidi>, al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i > baina al-Naz}ariyyah wa al-Tat }bi >q (t.tp: Da>r al-Nafa>`is, 1997), 27.
28
sesuai urutan dalam mushaf, lalu mengemukakan arti global yang dimaksud
ayat-ayat tersebut dengan menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana,
serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa al-Qur`a>n,
sehingga pembaca merasakan seolah-olah al-Qur`a>n sendiri yang berbicara
dengannya. Dengan demikian tafsir ini betul-betul merepresentasikan pesan
al-Qur`a>n dan berkaitan erat dengan struktur bahasa al-Qur`a>n. Selain itu,
ketika menafsirkan al-Qur`a >n melalui metode ini tidak jarang penafsir
meneliti dan menyajikan asba >b al-wuru >d dengan cara mengkaji hadis,
pendapat sahabat dan tabi’in terkait lainnya.42
Keunggulan metode ini terletak pada karakternya yang simplitis dan
mudah dimengerti, tidak mengandung elemen penafsiran yang berbau
isra >iliyyat dan lebih mendekati bahasa al-Qur`a>n. Sementara kelemahannya
anatar lain menjadikan petunjuk al-Qur`a>n bersifat parsial dan tidak ada
ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.43 Hal terakhir ini pada
gilirannya menimbulkan ketidakpuasan pakar al-Qur`a>n dan memicu
mereka untuk menemukan metode lain yang dipandang lebih baik.
b. Metode Analitis (Tah }li>li>)
Ketidakpuasan terhadap analisis al-Qur`a >n melalui metode global
hanya merupakan faktor lain dari lahirnya metode analitis. Sementara faktor
dominan yang menentukan keberadaan metode analitis adalah kenyataan
bahwa pada era berikutnya umat Islam semakin bertambah dan pemeluk
agama Islam tidak hanya berasal dari bangsa Arab. Konsekuensinya terjadi
42al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 29-30. 43Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 22-27.
29
perubahan besar dalam wacana pemikiran Islam, berbagai peradaban dan
tradisi non Islam terinternalisasi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan
kehidupan umat ikut terpengaruh. Untuk mengantisipasinya, para pakar al-
Qur`a >n berupaya menyajikan interpretasi al-Qur`a>n yang selaras dengan
perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan masyarakat yang heterogen.
Keberadaan metode analitis dapat di pandang unik, karena dalam
prakteknya dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu al-ma’thu>r dan al-ra’yu.
Sedangkan penyajiannya meliputi berbagai corak disiplin, seperti bahasa,
hukum, ilmu pengetahuan, sufi, filsafat dan budaya sosial kemasyarakatan.
Keberagaman corak ini sangat bermanfaat dalam memberi informasi detail
pada para pembaca berkaitan dengan situasi yang dialami, kecenderungan,
dan keahlian masing-masing penafsir.44
Metode analitis merupakan metode yang bermaksud menjelaskan
kandungan al-Qur`a>n dari seluruh aspeknya secara terperinci dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur`a>n sebagaimana tercantum dalam
mushaf.45 Sedangkan aplikasi metode ini biasanya diawali dengan
mengemukakan korelasi baik antar ayat maupun surat. Lalu menjelaskan
latar belakang turunnya ayat, menganalisis kosa kata dalam konteks bahasa
Arab, menyajikan kandungan ayat secara global, menjelaskan hukum yang
dapat dipetik dari ayat, dan terakhir menerangkan makna dan tujuan syara’
yang terkandung dalam ayat. Khusus untuk corak tafsir ilmu pengetahuan
44Ibid.,6-7. Bandingkan dengan al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd }u>’i >,, 12. 45Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 86. Lihat juga al-Kha>lidi>, al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i >, 27.
30
dan budaya kemasyarakatan biasanya penafsir memperkuat argumennya
dengan mengutip pendapat para ilmuan dan teori ilmiah kontemporer.46
Keunggulan metode ini terletak, antara lain, pada cakupan bahasan
yang sangat luas, karena memiliki dua bentuk tafsir (ma’thu>r dan ra’y) yang
mampu melahirkan corak disiplin dan dapat menampung berbagai gagasan.
Sementara kelemahannya, antara lain, membuat petunjuk al-Qur`a>n bersifat
parsial, sehingga petunjuk al-Qur`a>n terkesan tidak utuh dan inkonsisten,
melahirkan penafsiran subjektif akibat kecenderungan penafsir pada suatu
aliran tertentu dan memungkinkan masuknya pemikiran isra >iliyat.47
c. Metode Perbandingan (Muqa>ri>n)
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa kehadiran metode analitis
dapat memberikan informasi secara optimal berkenaan dengan kondisi,
kecenderungan, dan kepakaran penafsir. Kendati demikian, tampaknya
masih ada yang terasa kurang, terutama ketika seseorang ingin memahami
teks-teks al-Qur`a>n yang kelihatannya mirip, padahal ia membersitkan
pengertian yang berbeda. Belum lagi ditemukanya sejumlah hadis yang
secara lahiriah bertentangan dengan teks-teks al-Qur`a>n, padahal secara
teoritis hal itu absurd terjadi karena keduanya pada hakikatnya berasal dari
satu sumber, yakni Allah.
Kenyataan ini tampak menjadi motif dilakukannya perbandingan
interpretasi teks-teks al-Qur`a >n yang pernah diartikulasikan ulama terdahulu
46al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i >, 12. Lihat juga Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 86. 47Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 86-87. Lihat juga Baidan, Metodologi Penafsiran, 53-60.
31
dalam memahami pesan al-Qur`a>n maupun hadis, dan dari sini muncullah
metode muqa>ri>n. Sesuai dengan namanya, metode ini didefinisikan sebagai
metode pemahaman yang bersifat: [1] membandingkan antar teks-teks al-
Qur`a >n, [2] membandingkan teks al-Qur`a>n dengan teks hadis, dan [3]
membandingkan penafsiran seorang penafsir dengan penafsir yang lain.48
Dalam konteks ini, ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek
berbeda-beda. Wilayah bahasan aspek pertama dan kedua diorientasikan
pada kajian redaksi al-Qur`a >n dan hadis, serta kaitannya dengan konotasi
kata atau kalimat yang dikandungnya.49 Meskipun demikian, untuk
menganalisis hal-hal yang serupa itu diperlukan penelaahan seksama
terhadap berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli tafsir sehubungan
dengan interpretasi ayat yang sedang dibahas tersebut.50 Sedangkan untuk
aspek ketiga ruang lingkupnya sangat luas dengan memperhatikan: [1]
kondisi sosial politik pada masa seorang penafsir hidup, [2] kecenderungan
dan latar belakang pendidikannya, [3] pendapat yang dikemukakannya,
apakah pendapatnya sendiri, atau pengembangan pendapat sebelumnya, atau
juga merupakan pendapat pengulangan, dan [4] melakukan analisis untuk
mengemukakan penilaian tentang pendapat tersebut.51
Keunggulan metode ini terletak pada, antara lain, kemampuannya
dalam memberikan wawasan yang relatif luas kepada pembaca, mentolerir
perbedaan pandangan sehingga dapat mencegah sikap fanatisme pada suatu 48al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 45-46. 49Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an; Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 60. 50Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 66. 51Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 120.
32
aliran tertentu, memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat,
hadis, dan pendapat penafsir lain. Sementara kelemahannya terletak pada,
antara lain, tidak cocok dikaji pemula karena memuat materi bahasan yang
teramat luas dan terkadang agak ekstrim, kurang dapat diandalkan dalam
menjawab problem yang berkembang di masyarakat dan terkesan dominan
membahas penafsiran ulama terdahulu dibanding penafsiran baru.52 Diantara
karya tafsir yang menerapkan metode ini adalah Durra>t al-Tanzi>l wa
Ghurra >t al-Ta`wi>l karya al-Khat}i>b al-Iska>fi> (w. 240 H) dan al-Burha>n fi>
Tawji>h Mutsha >bah al-Qur`a >n oleh Ta>j al-Qurra>̀ al-Karma>ni> (w. 505 H).53
d. Metode Tematik (Mawd }u >’i>)
Secara umum, metode tematik memiliki tiga bentuk kajian,54 yaitu:
Pertama, penafsiran menyangkut salah satu term dalam al-Qur`a>n (al-
mus}t}lah} al-Qur`a >ni>). Dalam hal ini, penafsir memilih salah satu term (lafaz})
yang terekspos dalam berbagai redaksi al-Qur`a>n, kemudian mengumpulkan
ayat-ayat yang memuat term tersebut dan derivasinya. Langkah selanjutnya
melakukan penafsiran pada setiap term dengan meneliti petunjuk dalam
setiap penggunaannya, semisal terma al-s}adaqah, al-jiha>d, al-kita >b, dan
lainnya.55
52Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,142-144. 53Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 119. Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 3. 54Sebenarnya tidak ada kesepakatan di antara para pakar studi tafsir tentang pembagian bentuk metode tafsir tematik. al-Farma>wi> menyatakan bahwa metode tafsir tematik memiliki dua bentuk kajian, yakni tafsir tematik surah dan tafsir tematik ayat. Sementara Mus }t }afa> Muslim, Maba >h}ith fi > al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i> mengklasifikasi tafsir tematik menjadi tiga bentuk, dengan menambahkan model tafsir tematik lafaz}. 55Mus}t }afa> Muslim, Maba >h }ith fi> al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i > (Bairut: Da>r al-Qalam, 1989), 23. Lihat juga al-Kha>lidi>, al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i>, 52.
33
Kedua, mengkorelasikan sejumlah ayat dari berbagai surat yang
membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu ditata
sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan
selanjutnya ditafsirkan secara tematik.56 Bentuk ini lahir atas kesadaran para
pakar al-Qur`a>n bahwa menafsirkan pesan yang dimuat dalam satu ayat saja
acapkali tidak menyelesaikan persoalan. Bukan tidak mungkin pesan-pesan
yang dikandung oleh suatu ayat pada surat tertentu juga diutarakan pada
ayat-ayat dalam surat-surat al-Qur`a>n lainnya, sehingga tidak ada salahnya
untuk menghimpun ayat-ayat lain yang memuat pesan yang senada.57
Prosedur penafsiran al-Qur’a>n dengan metode tematik ini menurut
al-Farma >wi> dapat dirinci sebagai berikut: [1] menentukan bahasan al-Qur`a >n
yang diteliti secara tematik, [2] melacak dan mengkoleksi ayat-ayat sesuai
topik yang diangkat, [3] menata ayat-ayat tersebut secara kronologis,
mendahulukan ayat makkiyah dari madaniyyah, dan disertai pengetahuan
tentang latar belakang turunnya ayat, [4] mengetahui muna >sabah ayat-ayat
tersebut, [5] menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis, [6]
melengkapi bahasan dengan hadis-hadis terkait, dan [7] mempelajari ayat-
ayat itu secara tematik dan komprehensif dengan cara mengkoleksi ayat-
ayat yang memuat makna yang sama, mengkompromikan pengertian yang
umum dan khusus, mut}laq dan muqayyad, mengsingkronkan ayat-ayat yang
tampak kontradiktif, menjelaskan na >sikh dan mansu >kh, sehingga semuanya
56al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i >, 36. Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, 151. 57M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Mawdhu’i atas Belbagai Persolan Umat (Bandung: Mizan, 2004), xii-xiii.
34
memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau paksaan dalam
penafsiran.58
Ketiga, menganalisa surah al-Qur`a>n secara utuh dan menyeluruh
dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, menerangkan
kaitan antara berbagai persoalan yang dimuat sehingga surah itu tampak
dalam bentuknya yang utuh. Artinya, dalam proses interpretasinya semua
ayat atau kelompok ayat yang termaktub dalam satu surah diusahakan untuk
dikaitkan dengan tema pokok yang dikandung suatu surah.59 Tafsir model
ini dalam perkembangannya kemudian dikenal dengan istilah al-Wah}dah al-
Muwd }u >iyyah fi> al-Su>rah (kesatuan tema dalam satu surah), sebagaimana
yang diaplikasikan Muh}ammad Mah}mud H}ijazi> dalam karyanya al-Tafsi >r
al-Wa>d }ih}.60
Dari sini dapat dipahami bahwa pemikiran dasar tafsir tematik ini
adalah prinsip yang meyakini bahwa al-Qur`a>n merupakan satu kesatuan.
Ayat-ayatnya mempunyai satu kesamaan tema dan saling menyempurnakan.
Setiap surat menggambarkan adanya kesatuan tematik yang bertujuan
menjelaskan tema kunci yang diusung oleh surah yang dimaksud.61 Oleh
karenanya, metode tematik diorientasikan pada kajian pesan al-Qur`a >n
secara menyeluruh dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari term
58al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 45-46.
59Mus}t }afa> Muslim, Maba >h }ith fi > al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i > ., 27. Lihat juga al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i >,, 35. 60 al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd }u>’i >, 34. 61Muh}ammad Mah }mu>d H{ijazi>, al-Wah}dah al-Mawd }u>iyyah fi > al-Qur`a >n (Kairo: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, tt), 404. Bandingkan dengan Mus}t }afa> Muslim, Maba >h }ith fi> al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i >, 37-91. al-Kha>lidi>, al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i>, 52.
35
ayat dan surat al-Qur`a>n menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling
berkaitan.
Tafsir ini telah berkembang menjadi corak yang istimewa di zaman
kontemporer, dan diyakini sebagai jalan keluar yang sangat fundamental
dalam menyelesaikan berbagai masalah umat Islam modern, serta
merupakan cara yang tepat dan sistematis untuk menyampaikan al-Qur`a>n
secara ilmiah dan metodik kepada masyarakat. Ia juga dianggap memadai
untuk memenuhi kebutuhan religious masyarakat, sehingga membuka
cakrawala baru bagi tema-tema al-Qur`a >n. Dengan metode ini juga akan
tampak validitas kontekstual al-Qur`a>n.
2. Klasifikasi Metode Tafsir Menurut Ridlwan Nasir
Dalam buku Memahami al-Qur’a>n; Perspektif Baru Metodologi Tafsir
Muqarin, Ridlwan Nasir mengklasifikasikan metode tafsir menurut titik tekan
dan sudut pandang objek kajiannya masing-masing, yaitu:
a. Metode tafsir al-Qur`a>n bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya terbagi
menjadi tiga macam, yaitu: 1) Metode tafsir bi al-ma’thu>r, yaitu tata cara
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`a>n yang didasarkan atas sumber penafsiran al-
Qur`a >n, hadis, riwayat sahabat, dan tabi’in, 2) Metode tafsir bi al-ra`yi,
yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur`a>n yang didasarkan atas sumber
ijtihad dan pemikiran penafsir terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan
kesusasteraannya serta teori ilmu pengetahuan setelah menguasai sumber-
sumber tadi, dan 3) Metode tafsir bi al-iqtira>ni> adalah cara menafsirkan al-
Qur`a >n yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang
36
kuat dan s{ah {i>h { dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat. Metode ini
banyak dipakai dalam tafsir modern yang ditulis sesudah kebangkitan
kembali umat Islam. Rashi >d Rid {a> menamakan metode ini dalam Tafsi>r al-
Ma >nar dengan sebutan s{ah {i>h al-manqu >l wa s{ari>h al-ma‘qu>l, adapun Abdul
Djalal menyebutnya dengan bi> al-izdiwaji>.
b. Metode tafsir al-Qur`a >n bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap
tafsiran ayat-ayat al-Qur`a >n, maka terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1)
Metode deskriptif (baya>ni>), yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-
ayat al-Qur`a >n hanya dengan memberikan keterangan secara deskripsi tanpa
membandingkan riwayat atau pendapat dan tanpa menilai (tarji>h) antar
sumber, dan 2) Metode komparasi (muqa >ri >n), yaitu membandingkan ayat
dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadis
(isi dan matan), antara pendapat penafsir dengan penafsir lain dengan
menonjolkan segi-segi perbedaan.
c. Metode tafsir al-Qur`a>n bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirnya
terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Metode tafsir ijma>li>, yaitu penafsiran
dengan cara menafsirkan ayat al-Qur`a>n hanya secara global saja, yakni
tidak mendalam dan tidak pula secara panjang lebar, sehingga bagi orang
awam akan lebih mudah untuk memahaminya, dan 2) Metode tafsir it{na >bi>
atau tafs}i>li >, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a >n
secara mendetail atau rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar,
sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik
pandai.
37
d. Metode tafsir al-Qur`a>n bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat
yang ditafsirkan, maka metode tafsir al-Qur’a>n terdiri dari tiga macam,
yaitu: 1) Metode tafsir tah }li>ly, yaitu menafsirkan ayat-ayat a1-Qur’a >n
dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat
dalam mushaf dari awal surat al-Fa >tih{ah hingga akhir surat al-Na >s, 2)
Metode tafsir mawd }u >’y, yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan
ayat mengenai satu judul atau topik tertentu dengan memperhatikan masa
turunnya dan asba>b al-nuzu >l ayat serta dengan mempelajari ayat-ayat
tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan
ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam menunjuk suatu
permasalahan kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dan dilalah
ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu, dan 3) Metode nuzu >li>, yaitu
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan cara urut dan tertib sesuai dengan
urutan turunnya ayat al-Qur’a >n.62
C. Mazhab Tafsir Dalam Lintas Sejarah
Tafsir al-Qur`a>n sebagai produk yang dihasilkan dari proses interaksi
antara wahyu al-Qur`a>n, rasio penafsir, dan realitas sebagai konteks sangatlah
tergantung pada bagaimana suatu episteme dibangun dalam proses itu dan ke
mana akan diarahkan. Selain itu, seorang penafsir ketika memahami al-Qur`a >n
biasanya dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan, kondisi sosio-kultural di mana ia
tinggal, situasi politik yang melingkupinya, serta adanya kecenderungan dalam
diri penafsir untuk mengkaji al-Qur`a>n sesuai dengan kepentingan, pengalaman,
62Nasir, Memahami al-Qur’an; Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, 14-17.
38
penemuan-penemuan ilmiah,63 dan disiplin ilmu yang ditekuni,64 sehingga
kerapkali memunculkan sebuah pembacaan bias yang dapat memberi warna pada
hasil sebuah proses pemahaman al-Qur`a>n.
Dalam diskursus ilmu tafsir, fenomena ini akhirnya melahirkan apa yang
dikenal dengan istilah aliran-aliran tafsir. Istilah ini pertama kali dikenalkan Ignaz
Goldziher dalam Die Richturgen der Islamichen Koranauslengue yang kemudian
dialih bahasakan ‘Ali> H{asan ‘Abd al-Qadi>r menjadi Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla >mi>
(1955). Setelah itu, banyak intelektual Muslim yang menekuni bidang kajian ini,
seperti al-Dhahabi> dengan karyanya al-Tafsi>r wa al-Mufasiru >n (1961), Abu >
Yaqz}an ‘At}iyyah al-Jaburi>, Dira>sah fi> al-Tafsi>r wa Rija>lih (1971), ‘Abd al-‘Az }i>m
Ah}mad al-Ghubashi>, Ta >rikh al-Tafsi>r wa Mana>hij al-Mufassiri>n (1977), dan
sebagainya.65
Bagi Nashruddin Bidan, kajian para pakar studi al-Qur`a>n dalam
perkembangannya masih menyisahkan permasalahan, sebab mereka tidak sepakat
dalam penggunaan istilah untuk menjelaskan nuansa dan sifat khusus yang
tampak dari sebuah literatur tafsir, akibatnya muncul istilah teknis seperti al-
ittija>h, al-naz’ah, al-lawn, al-madhhab, dan al-madrasah. Istilah al-lawn dapat
dijumpai pada al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n karya al-Dhahabi>, seperti ditulisnya
alwa >n al-tafsi>r fi> kulli khat}rah (corak-corak tafsir pada setiap fasenya) dan alwa >n
63M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 77. 64al-Farma>wi> menegaskan bahwa setiap penafsir mempunyai kecenderungan dan arah bahasan tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Ada yang memberi porsi lebih pada aspek sastranya, hukum syari’ah, varian bacaan al-Qur`a>n, aliran-aliran kalam dan filsafat, tasawuf, teori dan penemuan ilmiah serta persoalan kemasyarakatan. Fenomena ini terjadi karena seorang ulama bisa jadi disamping penafsir juga sebagai ahli bahasa, filosof, ahli fikih, ahli falak, teolog, dan lain sebagainya. al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd}u >’i >, 15. 65Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003),
39
al-tafsi>r fi > al-‘ashr al-h}adi>th (corak-corak tafsir pada masa modern).66 al-Dhahabi>
juga pernah menggunakan istilah al-na >h}iyah dalam ungkapannya ihtima >m al-
zamakhshari > bi al-na >h}iyat al-bala>ghiyyah li al-qur`a >n (perhatian al-Zamakhshari>
terhadap aspek balangah al-Qur`a>n).67 Istilah al-ittija >h misalnya dapat ditemui
dalam al-Madkhal ila> Mana >hij al-Mufassiru>n karya Jibri>l dengan redaksi al-
ittija>ha >t al-madhhabiyyah fi> al-tafsi >r (kecenderungan-kecenderungan aliran dalam
tafsir al-Qur`a>n).68 Sedangkan pemakaian istilah madrasat al-tafsi>r tampak
dijumpai dalam Mana>hij al-Qur`a >n karya al-Jawni> seperti ditulisnya: al-madrasah
al-lughawiyyah fi> al-tafsi>r, al-madrasah al-‘aqliyyah fi> al-tafsi>r.69
Tidak adanya kesepakatan dalam penggunaan istilah teknis ini berbanding
lurus dengan perbedaan pemetaan aliran-aliran tafsir. Ada pakar studi al-Qur`a >n
yang membagi aliran-aliran tafsir berdasarkan periodesasi atau kronologi
waktunya. Ada yang memetakan berdasarkan kecenderungan paham teologisnya,
sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazilah, Shi’i>, dan lain sebagainya, serta
ada pula yang melihat dari pendekatan keilmuaan yang dipakai, sehingga muncul
istilah tafsir falsafi, tafsir fiqhi, dan lain sebagainya.
Pemetaan aliran tafsir berdasarkan kronologi waktu seperti diaplikasikan
al-Dhahabi> yang membagi menjadi tiga periodesasi, yaitu: tafsir pada masa Nabi
dan sahabat, tafsir pada masa ta >bi’i>n, dan tafsir pada masa kodifikasi di mana
pada masa ini muncul berbagai mazhab tafsir, seperti mazhab Mu’tazilah, Shi’ah,
66Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Da>r al-Kutub al-H{adi>th, 1961), Vol. 1, 140 dan Vol. 3, 162. 67Ibid., Vol. 1, 443. 68Jibri>l, al-Madkhal ila> Mana>hij al-Mufassiru>n (Kairo: al-Risa>la>t, 1978), 181. 69Lihat Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 387-388.
40
Khawarij dan berbagai corak tafsir, misalnya tafsir dengan corak sufistik,
linguistik, fiqhi, filosafis, teologis, dan sebagainya.70
Al-Farma >wi> dan Quraish Shihab memetakan aliran tafsir dari pendekatan
disiplin ilmu yang dipakai penafsir. Artinya, ketika al-Qur`a >n ditafsirkan dengan
pendekatan tertentu, misalnya pendekatan sufi, maka akan melahirkan produk
penafsiran bercorak sufistik. Jika al-Qur`a >n ditafsirkan dengan pendekatan
filsafat, maka akan menghasilkan tafsir yang kental dengan aroma filosofisnya.
Namun, keduanya berbeda dalam mengklasifikasikan macam-macam corak tafsir
tersebut. Quraish Shihab memetakan aliran atau corak tafsir menjadi tujuh
macam, yaitu corak tafsi>r fiqihi>, tafsi>r s}u >fi>, tafsi>r ‘ilmi>, tafsi>r baya >ni>, tafsi>r falsafi>,
tafsi>r adabi>, dan tafsi>r ijtima >i>.71 Sedangkan al-Farma>wi> memetakannya menjadi:
al-tafsi>r bi al-ma`thu >r, al-tafsi>r bi al-ra`yi, al-tafsi>r al-s}u >fi>, al-tafsi>r al-fiqhi>, al-
tafsi>r al-falsafi>, al-tafsi>r al-‘ilmi>, al-tafsi>r al-adabi> al-ijtima >’i>.72
Lain dari mereka adalah ‘Ali> Iya >zi> dan Ridlwan Nasir yang memetakan
aliran tafsir berdasarkan pada kecenderungan si penafsir, hanya saja keduanya
memiliki perspektif berbeda dalam hal ini. Nasir menyatakan bahwa dari
kecenderungan-kecenderungan (al-ittija >h) yang dipilih penafsir, timbullah apa
yang disebut aliran atau corak tafsir al-Qur`a >n, yaitu tafsir lughawi, tafsir fiqhi,
tafsir shufi, tafsir i’tiqadi, tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir ijtima’i”. Klasifikasi ini
merupakan sintesis yang diproyeksikan Abdul Djalal dan Quraish Shihab, dimana
Abdul Jalal berpendapat bahwa aliran-aliran tafsir itu adalah tafsi >r lughawi>/adabi>,
70Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>, al-Tafsi >r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th). 71Shihab, Membumikan al-Qur’an, 155. 72al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 16-31.
41
tafsi>r fiqihi>/ah}ka>m, tafsi>r s}u >fi>/isha >ri >, tafsi >r i’tiza>li>, tafsi>r shi’i>/bat}ni>, tafsi>r
‘aqli>/falsafi>, dan tafsi>r ilmi>/’as}ri>.73 Selain itu, ia menyamakan istilah al-ittija>h dan
al-naz’ah dengan mendefinisikan sebagai “arah penafsiran yang menjadi
kecenderungan penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`a>n.74
‘Ali> Iya >zi> sendiri menganggap al-ittija >h merupakan sikap penafsir,
pandangannya, mazhab tafsirnya, dan arah yang mendominasinya dari segi
ideologi, baik Shi>’ah, Sunni>, Mu’tazilah atau Ash’ariyah yang identik dengan
madrasah al-tafsi>r (sekolah tafsir), dan sikap penafsir terhadap ragam sekolah
tafsir, seperti madrasah al-tafsi>r bi al-ma`thu>r, madrasah al-tafsi>r bi al-ma’qu>l,
madrasah al-tafsi>r ahl al-sunnah, madrasah al-tafsi >r ahl al-bayt, dan madrasah
al-tafsi>r as}h}a >b al-‘aql. Sedangkan istilah al-lawn menunjukkan bahwa pribadi
yang menafsirkan teks al-Qur`a >n itulah yang mewarnai isi penafsiran dan
pemahamannya terhadap teks al-Qur`a >n,75 sehingga dapat dipahami bahwa istilah
al-lawn merupakan kesimpulan dari al-ittija>h.76 Sementara al-Ru >mi> mengartikan
al-ittija >h sebagai tujuan atau sasaran (al-hadf) yang menjadi arah penafsiran dan
dijadikan sebagai bagian dari orientasi kerja dalam memahami teks al-Qur`a>n.77
Goldziher sendiri sebagai intelektual pertama yang mengkaji aliran-aliran
tafsir (madha>hib al-tafsi>r) memetakan tipologi tafsir menjadi lima, yaitu: tafsir
73Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini (Jakarta: Kalam, 1990), 72-78. 74Nasir, Memahami al-Qur`a >n, 18-19. 75Artinya, pribadi penafsirlah yang menentukan wawasan pemikiran yang dapat dijangkau oleh teks, baik makna atau cakupannya. Penafsir melakukan hal itu sesuai dengan tingkat pemikiran dan keluasan wawasan pemikirannya, karena penafsir tidak dapat menganggap hal itu berasal dari kepribadiannya saja. Sebagaimana ia tidak mungkin untuk melampaui kepribadiaannya, karena penafsir tidak dapat memahami teks kecuali yang dapat dijangkau pemikiran dan akalnya. Dengan kadar inilah, penafsir menentukan teks dan membatasi penjelasannya. ‘Ali> Iya>zi>, al-Mufassiru >n H{aya>tuhum wa Manhajuhum, 33. 76Ibid. 77 al-Ru >mi>, Buh}u >th fi > Us}u >l al-Tafsi>r wa Mana>hijuh, 55-56.
42
transferensial (al-tafsi>r bi al-ma`thu>r), tafsir teologis (al-tafsi>r fi> d}aw` al-aqi>dah),
tafsir sufistik (al-tafsi>r fi> d}aw` al-tas}awwuf al-isla >mi>), tafsir sektarianistik (al-
tafsi>r fi> d }aw` firaq al-diniyyah) dan tafsir modernis (al-tafsi>r fi > d }aw` al-tamaddun
al-isla>mi>).78
Dalam bukunya Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Nashruddin Baidan mencoba
mengompromikan kerancuan penggunaan istilah dan makna untuk menjelaskan
nuansa dan sifat khusus dalam sebuah penafsiran dengan menawarkan istilah
“corak” penafsiran. Pemakaian istilah corak (baca: al-lawn) ini menurutnya lebih
netral dan familiar dengan budaya Indonesia serta mendefinisikannya dengan
“suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang
mendominasi sebuah karya tafsir”.79 Jadi, untuk menentukan corak tafsir kata
kuncinya terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut
dalam literatur tafsir.80
Selain itu, perlu juga diungkap tujuan atau keinginan yang hendak dicapai
penafsir dan faktor lingkungan yang mengelilingi si penafsir, sebab setiap
pemilihan model interpretasi selalu ada yang mendorong dan memicunya. Ini
terbukti pada al-Suyu >t }i>, sekalipun dia seorang ahli hadis dan sejarah, tetapi kerja
interpretasinya yang tertuang dalam Tafsi>r al-Jala>lain tidak mengekspresikan
corak tertentu, bahkan mengambil bentuk bi al-ra`yi. Menurut pengakuan al-
Suyu >t}i>, hal ini dikarenakan dia ingin merampungkan pekerjaan al-Mah}alli> dalam
melakukan analisis teks al-Qur`a>n (surah al-Kahfi sampai al-Na >s). Fakta ini 78Ignaz Goldziher, Madha >hib al-Tafsi>r al-Isla>mi >, terj. ‘Ali> H{asan ‘Abd al-Qadi>r (Bairut: Da>r al-Iqra>’, 1983). 79Baidan, Wawasan Baru Ilmu Al-Qur’an, 388. 80Nashruddin Baidan, “Tinjauan Kritis Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia”, Profetika, Surakarta PMSI-USM, Vol. 2, No. 2 (Juli, 2000), 265.
43
berarti bahwa latar belakang keahlian atau disiplin ilmu yang ditekuni seorang
penafsir tidak serta merta langsung berpengaruh dan mewarnai terhadap proses
kerja tafsirnya, tapi amat tergantung pada tujuan atau sasaran yang hendak dicapai
penafsir dan faktor lingkungan yang mengelilingi si penafsir.81
Oleh karena itu, pada saat akan membuat penilaian tentang nuansa atau
sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran, seorang peneliti disamping
terlebih dulu harus mengetahui karakter kepribadian, kapasitas intelektual dan
kondisi sosio-kultur di mana seorang penafsir memproduksi karyanya, ia juga
harus mengetahui tujuan yang menjadi kepentingan seorang penafsir dalam
menjelaskan maksud ayat al-Qur`a>n, dan ini yang oleh Fah }d al-Ru >mi> diistilahkan
dengan al-ittija >h.82 Jika hal ini tidak dilakukan, seorang peneliti bisa terjebak
dalam kesalahan penilaian, sebab boleh jadi seorang penafsir yang memiliki
spesifikasi keilmuan dalam bidang Hukum Islam pada saat menafsirkan al-Qur`a >n
mempunyai tujuan menjelaskan aspek sosialnya, dengan demikian tafsirnya tidak
bisa disebut bercorak fiqih, melainkan ijtima>’i>.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meneliti karakteristik
literatur tafsir paling tidak dapat dilihat dari empat domain utama, yaitu: [1] tujuan
(al-hadf) yang menjadi kepentingan ketika seorang penafsir berinteraksi dengan
al-Qur`a>n (al-ittija>h), [2] kerangka berfikir yang menjadi dasar epistemologi
seorang penafsir untuk merealisasikan tujuan penafsirannya (al-manhaj), [3]
langkah-langkah metodis dalam mengaplikasikan kerangka berfikirnya (al-
81Baidan, Wawasan Baru Ilmu Al-Qur’an, 388-389. 82Tujuan yang menjadi arah penafsiran dan dijadikan sebagai bagian dari orientasi penafsiran. al-Ru >mi>, Buh}u >th fi > Us}u >l al-Tafsi>r wa Mana >hijuh, 55.
44
t}ari>qah),83 dan [4] corak yang tampak dari hasil penafsirannya (al-lawn),84 dengan
asumsi bahwa setiap penafsir pasti mempunyai sasaran atau tujuan yang menjadi
kecenderungan arah penafsiran dan dijadikan orientasi kerja intelektualnya (al-
ittija>h). Selain itu mereka juga memiliki jalan, kerangka berfikir, dasar-dasar
pemikiran dan seperangkat ide-ide teoritis yang berbeda-beda sebagai dasar
epistemologi untuk mengantarkan pada tujuan (al-manhaj), dan diaplikasikan
dengan cara yang berbeda-beda pula (al-tari>qah) seperti al-tah}lili>, al-ijma>li>, al-
muqa>ri>n, dan al-mawd }u>’i>. Di sisi lain, setiap karya tafsir pasti dipengaruhi oleh
episteme dan kepentingan-kepentingan yang terbangun di dalam diri penafsir
sebagai unsur triadiknya, sehingga menampakkan karakteristik, corak dan
madzhab yang berbeda-beda (al-lawn). Oleh karena itu, dengan mengkaji empat
variable ini, maka kajian atas karya tafsir menjadi komprehensif dan tidak akan
kehilangan signifikansi kritisnya dengan hanya mengungkap pesan-pesan dan
kesimpulan yang disampaikan oleh penafsir, tanpa berani membongkar episteme
dan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dibalik kerangka berfikir dan
bangunan metode tafsirnya.
Penelitian terhadap al-ittija >h dapat dijadikan pijakan untuk mengungkap
latar belakang munculnya sebuah karya tafsir, di samping untuk melihat orientasi
83Ini adalah variable yang diproyeksikan oleh Fahd al-Ru >mi>. Sebagai ilustrasi, ada sekelompok orang bermaksud bepergian menuju suatu kota yang sama. Mereka berangkat menuju suatu arah tujuan yang sama (al-ittija >h), tapi menempuh jalan yang berbeda, semua jalan itu adalah al-manhaj. Di antara mereka ada yang langsung menuju kota tanpa istirahat, ada yang berbelok menuju suatu tempat lain untuk kemudian kembali ke jalan semula, dan ada yang melakukan transit di suatu tempat, kemudian melanjutkan perjalanan dan transit kembali sampai akrirnya sampai di tempat tujuan, namun semua itu mengarah pada tujuan yang sama, inilah yang dimaksud dengan al-t }ari>qah. al-Ru>mi>, Buh}u >th fi > Us}u >l al-Tafsi>r wa Mana >hijuh, 55. 84Semua pakar studi ilmu al-Qur`a>n sepakat tentang adanya sifat khusus yang mewarnai sebuh penafsiran sekalipun mereka menyatkan dengan istilah dan batasan yang berbeda-beda, dan di sini penulis sepakat dengan istilah yang diberikan ‘Ali> Iya>zi> dan Nashruddin Baidan,
45
dan kepentingan penafsir ketika melakukan aktifitas penafsirannya. Keberadaan
al-manhaj dapat dipakai untuk menemukan ide-ide teoritis dan dasar-dasar
pemikiran penafsir sebagai kerangka berfikir yang menjadi dasar epistemologi
dalam merealisasikan tujuan penafsirannya. Adapun al-t}ari>qah bisa digunakan
untuk melihat cara-cara aplikatif yang ditempuh penafsir dalam memahami teks
al-Qur`a>n, seperti al-tah}lili>, al-ijma>li >, al-muqa >ri >n, atau al-mawd }u >’i>. Sedangkan
tinjauan al-lawn (baca: corak) untuk melihat keunikan karakteristik, nuansa atau
sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran sebagai bentuk ekspresi intelektual
seorang penafsir ketika mendialogkan al-Qur`a >n dengan realitas objektif dalam
ruang kesejarahan yang kemudian dibingkai berdasarkan kerangka berfikir dan
diaplikasikan dengan teknik tertentu, sehingga diketahui konsistensi tujuan dan
kecermatannya dalam proses kegiatan memahami al-Qur`a>n.
Berikut ini adalah elaborasi singkat dari macam-macam corak (al-lawn)
penafsiran al-Qur`a>n yang ada:
1. Tafsir Corak Fiqih (al-Tafsi>r al-Fiqhi>)
Tafsir corak fiqih adalah penafsiran al-Qur`a>n yang dibangun
berdasarkan wawasan penafsirnya dalam bidang fiqih sebagai basisnya, atau
dengan kata lain, adalah tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqih,
karena fiqih sudah menjadi minat dasar sebelum ia melakukan penafsiran.
Dalam bentuknya yang ekstrim, tafsir model ini bahkan hampir
menyerupai kumpulan diskusi fiqih menyangkut berbagai persoalan, lengkap
dengan sikap pro dan kontra para ulama (fuqaha>`). Tafsir semacam ini seakan-
46
akan melihat al-Qur’a >n sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan
perundang-undangan85 atau menganggap al-Qur’a >n sebagai kitab hukum.
Embrio dari tafsir fikih sebenarnya sudah kelihatan semenjak Nabi
meninggal dunia dan munculnya beberapa kasus hukum yang pada zaman Nabi
belum ada, sehingga belum mendapatkan pemecahan. Tuntutan untuk
mendapatkan pemecahan yang benar menurut shari’at, menyebabkan mereka
tertarik untuk menggali dasar-dasar hukumnya dari al-Qur’a>n. Kemudian hal
itu berlanjut hingga munculnya berbagai mazhab fikih dan fanatisme golongan
yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran orang-orang yang
menaruh minat atas studi hukum. Akibatnya, aksi penafsiran al-Qur’a>n berada
di bawah dominasi “kepentingan” nalar fiqih. Itulah sebabnya, tafsi>r fiqhi>
tampil mewakili setiap mazhab fikih yang berkembang sesuai kadar fanatisme
penafsirnya yang tidak jarang menjadi tafsir liar dengan memperlakukan lafal-
lafal tertentu dalam al-Qur’a>n di luar yang semestinya.86
2. Tafsir Corak Teologis (al-Tafsi>r al-I’tiqa>d)
Tafsir ini mulanya lahir sebagai bagian dari gerakan-gerakan politik dan
berciri dogmatis, karena pada waktu itu dikalangan masyarakat Islam, teologi
berfungsi sebagai ideologi politik.87 Pada perkembangannya tafsir corak
teologis tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi
85Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’a>n (Bandung: Mizan, 1990), 24. 86al-Dhahabi>, al-Tafsi >r wa al-Mufassiru >n, Vol.2, 435. Lihat juga al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi >r al-Mawd }u >’i >, 18-20. 87Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, terj. Yudian Wahyudi (Yogyakarta: pesantren Nawesea Press, 2007), 36-37.
47
lebih jauh, merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang
sebuah aliran teologis.
Tafsir model ini lebih banyak membicarakan tema teologis dibanding
mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’a>n. Sebagaimana layaknya diskusi
yang dikembangkan dalam literatur ilmu teologi Islam (kala>m), tafsir ini sarat
dengan muatan sektarian dan pembelaan-pembelaan terhadap faham-faham
teologis yang menjadi referensi utama bagi penafsirnya. Ayat-ayat al-Qur’a >n
yang tampak memiliki konotasi berbeda, seringkali dimanfaatkan kelompok-
kelompok teologis sebagai basis dasar penafsirannya. Ayat-ayat seperti ini
memberi peluang dan potensial untuk dijadikan alat sebagai pembenar atas
faham-faham teologis. Kategorisasi ayat yang dipakai al-Qur`a>n sendiri
menjadi muh}kam dan mutasha >bih adalah sumber teoritis perbedaan penafsiran
teologis yang dibangun di atas keyakinan-keyakinan teologis.88
3. Tafsir Corak Sufistik (al-Tafsi>r al-S {u>fi>)
Perkembangan sufisme dalam tradisi budaya Islam ditandai dengan
praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan generasi awal Islam semenjak
munculnya konflik politis sepeninggal Nabi. Di samping praktek semacam ini
tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, praktek ini
diteorisasikan dan dicarikan dasar teori mistiknya oleh kalangan tertentu,
sehingga memunculkan teori-teori sufisme, semisal khauf, mah }abbah,
ma’rifah, h }ulu >l, dan wih }dat al-wuju>d.
88Ibid., 36-40.
48
Adanya dua aliran sufisme dalam dunia Islam yang digawangi para
praktisi sufi yang lebih mengedepankan sikap praktis untuk mendekati Allah
(al-tas}awwuf al-’amali>) dan para teosof yang lebih konsen dengan teori-teori
mistisnya (al-tas}awwuf al-naz}ari>) pada akhirnya membawa dampak tersendiri
dalam dunia penafsiran al-Qur’a >n. Akibatnya, lahirlah dua model penafsiran
sufistik yang kemudian dikenal dengan istilah tafsi>r s}u >fi> isha >ri> dan tafsi>r s}u >fi>
naz}ari>,89 yang secara metodologis mendasarkan diri pada pengalaman batin
atau pada teori tasawwuf.
Tafsi>r s}u >fi> naz}ari> adalah sebuah penafsiran yang dibangun untuk
mempromosikan teori-teori mazhab sufistik sehingga menggeser tujuan al-
Qur’a >n kepada tujuan dan target teori mistisnya.90 Sedangkan tafsi>r s}u >fi> isha>ri>
atau faid }i> adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’a >n yang berbeda dengan makna
lahirnya, dan disesuaikan dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh
sufisme tetapi antara kedua makna tersebut masih dapat dikompromikan.91
4. Tafsir Corak Falsafi (al-Tafsi>r al-Falsafi>)
Seiring dengan diterjemahkannya buku-buku filsafat Yunani dan
berbagai literatur di dunia ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti Abbas
memunculkan reaksi dan respons yang beragam dari kaum Muslimin. Sebagian
menolak teori-teori filsafat lantaran melihat teori-teori ini bertentangan dengan
keyakinan teologis mereka. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Ghazali> dan
al-Fakr al-Ra >zi>. Tokoh yang disebut terakhir ini, dalam kitabnya Mafa>tih } al-
89al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 17. 90Ibid. 91al-Zarqa>ni>, Mana >hil al-‘Irfa>n fi > ‘Ulu>m al-Qur`a >n, Vol. 2, 79.
49
Ghaib membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan al-
Qur`a >n, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasarkan alasan dan
dalil yang dianggap memadai.92 Sementara sebagian yang lain merasa kagum
atas teori-teori ini dan merasa mampu untuk mengkompromikan antara fisafat
dan agama. Namun demikian, kelompok ini tidak meninggalkan karya tafsir
utuh kecuali pemahaman-pemahaman terhadap al-Qur`a>n secara parsial dan
termuat di dalam kitab-kitab filsafat yang mereka tulis.93
Untuk mengkompromikan ini, ditempuh dua cara. Pertama, dengan
mentakwilkan teks al-Qur’a>n sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya
berusaha menundukkan al-Qur’a>n kepada pandangan-pandangan filosof
sehingga keduanya tampak sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks
keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat.94
5. Tafsir Corak Ilmi (al-Tafsi >r al-’Ilmi>)
Tafsi>r ‘ilmi> adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi
ilmiah dalam teks al-Qur’a>n atau berusaha mendeduksi berbagai ilmu serta
pandangan filosofisnya dari al-Qur’a>n. Tafsir ini dibangun berdasarkan asumsi
bahwa al-Qur’a >n mengandung berbagai macam ilmu pengetahuan baik yang
sudah ditemukan maupun yang belum.95
92al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Vol. 3, 83. 93 Ibid., 90. 94`Azzah Ah {mad `Abd al-Rah {ma>n, Ittija >h al-Tafsi>r fi> al-Qar`a>n al-‘Ishri>n (Kairo: al-Azhar Press, 2000), 13. 95`Abd al-Ma>jid `Abd al-Sala>m al-Muh{tasib, Ittija>h {a>t al-Tafsi >r fi > al-As{ri al-H{adi >th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), 247. Ah{mad `Umar Abu > H{ajar, al-Tafsi>r al-‘Ilmi > li al-Qur’a>n fi> al-Miza >n (Beirut: Da>r Qutaibah, 1991), 65.
50
Munculnya tafsir corak ‘ilmi >, juga sempat mengundang pro-kontra di
kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setuju berpendapat bahwa al-Qur’a >n
bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat
manusia. Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan
dengan ayat-ayat al-Qur’a>n, dikhawatirkan ketika pada saatnya teori itu runtuh
oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut
runtuh, bahkan seolah kebenaran ayat tersebut dapat dipatahkan oleh teori baru
ilmu pengetahuan tersebut. Untuk itu tidak diperlukan penafsiran secara ‘ilmi>,
jika hanya dimaksudkan untuk melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang
sifatnya relatif dan nisbi.
Pro-kontra tersebut, mestinya dapat dicari jalan tengah yang lebih
moderat, bahwa al-Qur’a>n memang bukan kitab ilmu pengetahuan, namun
tidak dapat disangkal di dalamnya juga terdapat isyarat-isyarat atau pesan-
pesan moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.96
6. Tafsir Corak Bahasa (al-Tafsi>r al-Lughawi>/ al-adabi>)
Tafsir adabi> secara metodogis mendasarkan diri pada unsur linguistik
yang meliputi segi marfologi, sintaksis, etimologi, dan susastra.97 Artinya,
penafsir mendekati teks al-Qur’a >n dari sisi ketelitian redaksinya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
menonjolkan tujuan diturunkannya al-Qur’a>n, yakni sebagai petujuk dalam
kehidupan.
96al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Mawd }u >’i >, 22-27. 97Nasir, Memahami al-Qur’a>n, 18.
51
Muh{ammad `Abduh, sebagai penafsir yang ikut andil mempopulerkan
corak adabi> menyatakan bahwa pengungkapan tafsir dengan redaksi yang
indah dan menarik tiada lain untuk menarik jiwa manusia dan menuntun giat
beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur’a>n, agar maksud al-Qur’a >n
sebagai petunjuk dan rahmat (hudan wa rah {mah) dapat tercapai dengan baik,
sebab al-Qur’a>n tersusun secara serasi dan harmonis, yaitu tidak adanya satu
kalimat pun dalam al-Qur’a>n yang dikedepankan atau dikemudiankan untuk
tujuan fas{ilah seperti yang terjadi dalam sajak dan syair.98
7. Tafsir Corak Sosial Kemasyarakatan (al-Tafsi>r al-Ijtima>’i>)
Corak tafsir ini dalam konteks tradisi analisis teks al-Qur’a>n cenderung
diorientasikan kepada persoalan sosial dengan banyak mengungkapkan hal-hal
yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan kemasyarakatan yang
sedang berlangsung.99 Atas dasar itu, penafsir menerangkan makna-makna teks
al-Qur’a>n, menampilkan sunatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-
sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum
Muslimin secara khusus dan persoalan umat manusia secara universal sesuai
dengan petunjuk yang diberikan al-Qur’a >n.100
Ketika mencetuskan tafsir jenis ini, Muh{ammad `Abduh menjelaskan
bahwa upayanya menghubungkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat dimaksudkan agar tafsir dapat diterima
98Rif’at Shauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muh {ammad `Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadah (Jakarta: Paramadina, 2002), 111. 99Samsul Bahri, “Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir” dalam Metodologi Ilmu Tafsir, ed. A. Rafiq (Yogyakarta: Teras, 2005), 45. 100 al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi > al-Tafsi>r al-Mawd }u>’i >, 28.
52
masyarakat dengan mudah, mengingat adanya keterkaitan antara apa yang
dikandung teks al-Qur’a>n dengan realitas kehidupan yang dihadapi mereka.101
Dengan perkataan lain, masyarakat akan lebih bisa memahami dan mencerna
pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’a>n apabila dalam menafsirkan pesan-pesan
itu, penafsir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Karya-karya tafsir yang dapat
dikategorikan ini adalah Tafsi>r al-Ma>nar karya Muh{ammad Rashi>d Rid {a > (w.
1935 M).
101Rif’at Shauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muh{ammad `Abduh, 112-113.