bab ii...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi...

28
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tendon 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Tendon Manusia Tendon merupakan bagian dari sistem gerak, berupa jaringan ikat yang berfungsi sebagai penghubung antara otot dan tulang yang memindahkan kekuatan dari otot ke tulang sehingga menghasilkan gerakan. Hal ini merupakan perpaduan yang dinamis dan terintegrasi dari sel yang membentuk struktur dan fungsi jaringan secara khusus (Woo et al,2000). Tendon terdiri dari 70% air dan dry mass 30% yang tersusun menjadi kolagen tipe I sebanyak 60%-80% dan 2% elastin (Tresoldi et al,2013). Tendon yang sehat berwarna putih mengkilat dan mempunyai tekstur fibroelastik, bila dilihat secara makroskopis mempunyai bentuk yang bervariasi, dapat berbentuk bulat seperti tali atau pipih seperti sabuk (O’Brien et al,2005). Tendon terdiri dari kelompok fesikel berupa kumpulan (bundle) berbahan utama kolagen, lapisan paling dalam adalah endotendon dan dibungkus oleh epitenon sebagai lapisan terluarnya. Tendon terdiri dari lapisan sel fibroblas (merupakan jenis sel terbanyak) dibungkus oleh fesikel yang terdiri dari serat fibril (peritenon). Fibroblas sendiri terdiri dari serat kolagen. Kolagen membentuk 75% berat kering tendon dan berfungsi untuk menahan dan memindahkan gaya antara otot dan tulang (James et al, 2008). 6

Upload: others

Post on 30-Oct-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tendon

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Tendon Manusia

Tendon merupakan bagian dari sistem gerak, berupa jaringan ikat yang

berfungsi sebagai penghubung antara otot dan tulang yang memindahkan

kekuatan dari otot ke tulang sehingga menghasilkan gerakan. Hal ini merupakan

perpaduan yang dinamis dan terintegrasi dari sel yang membentuk struktur dan

fungsi jaringan secara khusus (Woo et al,2000).

Tendon terdiri dari 70% air dan dry mass 30% yang tersusun menjadi

kolagen tipe I sebanyak 60%-80% dan 2% elastin (Tresoldi et al,2013). Tendon

yang sehat berwarna putih mengkilat dan mempunyai tekstur fibroelastik, bila

dilihat secara makroskopis mempunyai bentuk yang bervariasi, dapat berbentuk

bulat seperti tali atau pipih seperti sabuk (O’Brien et al,2005). Tendon terdiri dari

kelompok fesikel berupa kumpulan (bundle) berbahan utama kolagen, lapisan

paling dalam adalah endotendon dan dibungkus oleh epitenon sebagai lapisan

terluarnya. Tendon terdiri dari lapisan sel fibroblas (merupakan jenis sel

terbanyak) dibungkus oleh fesikel yang terdiri dari serat fibril (peritenon).

Fibroblas sendiri terdiri dari serat kolagen. Kolagen membentuk 75% berat kering

tendon dan berfungsi untuk menahan dan memindahkan gaya antara otot dan

tulang (James et al, 2008).

6

Page 2: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

7

Ada 2 jenis tendon, yang pertama adalah tendon yang terbungkus yaitu

paratenon, dan tendon yang tidak terbungkus. Paratenon adalah tendon yang

masih mendapatkan suplai vaskuler meskipun hanya sedikit, sedangkan tendon

yang tidak terbungkus disebut mesotenon / vinncula yang berada di area

avaskuler, hanya mendapatkan nutrisi dari cara difusi/ osmosis saja. Dengan

demikian tipe yang kaya akan vaskuler yaitu paratenon yang terbungkus tadi bila

terdapat cedera berupa robekan akan mengalami proses perbaikan yang lebih baik

daripada yang sedikit vaskularisasinya (Miller et al, 2012).

2.1.2 Biologi Tendon dan Kolagen

Tendon terbentuk dari serat kolagen dan sel fibroblas berbentuk panjang

(tenosit) dalam matriks ekstraseluler (MES) yang teratur. Kolagen disintesa oleh

tenosit dan membentuk struktur dasar tendon (James et al, 2008).

Pada sel tendon, populasi seluler diwakili terutama oleh tenosit dapat

berbentuk pipih (flat), runcing, spindle longitudinal, dan stellate yang terlihat

pada potongan melintang. Tenosit ini berjajar dalam jumlah yang sedikit diantara

fibril-fibril kolagen. Sedangkan tenoblas berbentuk spindle atau stellate, runcing

dengan inti pipih yang bersifat eosinopilik. Tenoblas bersifat motil dan

berproliferasi sangat tinggi. Tenoblas memiliki retikulum endoplasma kasar yang

berkembang dengan sangat bagus dan merupakan tempat untuk sistesis prekursor

polipeptida kolagen, elastin, dan proteoglikan (O’Brien et al, 2005).

Kolagen yang menyusun tendon tersusun secara berjenjang, dimulai dari

tropokolagen, yang merupakan rantai polipeptida berbentuk triplehelix sepanjang

300 nm, masing-masing mengandung residu 1,000 asam amino. Setiap rantai kaya

Page 3: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

8

akan glisin dan prolin. Glisin menyatukan tiga rantai α heliks, sementara prolin

menstabilkan penyesuaian dari struktur cincinnya (Yang et al, 2013).

Tropokolagen yang menyatu membentuk fibril, kemudian membentuk sub serat

kolagen (primary bundle), serat kolagen (secondary bundle), fasikel (tertiary

bundle) dan yang terakhir menjadi tendon. Lapisan yang membungkus fasikel

terdiri dari endotenon, epitenon, dan paratenon. Epitenon merupakan jaringan

ikat longgar yang halus yang melapisi tendon dan membawa pembuluh darah,

limfatik, dan saraf. Endotenon membatasi fasikel yang satu dengan yang lain,

yang saling melingkari rantai lainnya dan membentuk struktur triple helix.

Sedangkan paratenon merupakan lapisan terluar yang melapisi seluruh tendon

(Sharma et al, 2005).

Gambar 2.1Anatomi Tendon Normal

(Earle V, 2013)

Page 4: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

9

Pengaturan berjenjang kolagen menjadi fibril dan saling silang

intermolekuler menyebabkan peningkatan pada kekuatan tensil tendon.

Polipeptida kolagen dan berikut struktur triple helix disatukan dalam sel, menjadi

matriks ekstra seluler (MES) dan dirangkai menjadi unit mikrofibril yang

membentuk serat kolagen. Pada tendon, serat kolagen utama adalah kolagen tipe I,

sedangkan kolagen tipe III terdapat dalam endotenon dan epitenon. Selama proses

penyembuhan tendon, diameter serat kolagen mengecil yang menyebabkan

penurunan kekuatan tensil tendon. Sintesa kolagen tipe III meningkat selama fase

awal penyembuhan dan remodeling dan menurun saat produksi kolagen tipe I

meningkat dan secara teratur menjadi struktur fibril MES. Kolagen tipe V

merupakan hubungan silang dari berbagai tipe kolagen dan mengatur karakteristik

struktur fibril dalam tendon (James et al, 2008)

Matriks ekstra seluler juga mengandung proteoglikan (seperti dekorin dan

aggrekan), glikosaminoglikan dan glikoprotein termasuk fibronektin,

trombospondin, dan tenasin-C yang ada dalam susunan yang berbeda pada MES

yang diwakili oleh tenoblas dan tenosit (Tresoldi et al, 2013) yang merupakan

pembungkus dan pengisi serat kolagen, berfungsi sebagai penyokong struktur,

pelumas untuk gliding tendon. Bahan dasar ini merupakan media untuk nutrisi dan

mengatur perubahan prokolagen menjadi kolagen pada ekstraseluler. Bahan dasar

terdiri dari 60-80% air, proteoglikan dan glikoprotein kurang dari 1% berat

kering tendon. Air yang sebagian besar terdapat pada matriks ekstra seluler

berguna untuk mengurangi gesekan, membuat fibril dapat bergerak untuk

merespon mechanical loading (James et al,2008). Proteoglikan dan glikoprotein

Page 5: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

10

juga berperan didalam pembentukan fibril dan fiber kolagen. Matriks diganti dan

diremodeling secara konstan oleh fibroblas. Kemudian fungsi fleksibilitas tendon

ditentukan oleh elastin yang berfungsi membentuk ikatan silang antara rantai

polipeptide. Elastin tidak membentuk struktur helik dan bersifat hidrophobik.

Elastin dan beberapa glikoprotein merupakan bagian integral dari matriks

ekstraseluler dan menyediakan stabilitas fungsional serat kolagen. (O’Brien et al,

2005).

Gambar 2.2Tendon, Kolagen dan Growth Factors

Growth factors dilepas oleh tenosit sebagai respon terhadap stimuli yang mengarah kepadaekspresi gen dan sintesa protein. Kolagen dan proteoglika merupakan komponen penting ECM.

Molekul kolagen membentuk mikro fibrin yang menyatu untuk membentuk struktur makroskopik(serat kolagen). Ikatan ini membentuk struktur tendon yang kuat. (James et al,2008)

Page 6: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

11

2.2 Tendon Achilles

2.2.1 Anatomi Tendon Achilles

Achilles tendon adalah tendon yang merupakan gabungan dari tiga otot

yaitu gastrocnemius,soleus dan otot plantaris kaki. Panjang tendon rata-rata 20-25

cm, rata-rata bagian cross sectional 70-80mm persegi dan berkekuatan 60-100

newtons/mm persegi. Tendon yang sehat dapat menahan beban hingga satu ton

(Schulte et al, 2006).

Saat kita menggerakan otot betis, tendon achilles menekuk tumit untuk

mendorong telapak kaki ke bawah (Plantarfleksi), memberikan kemampuan untuk

berjalan, berlari, melompat dan memanjat (Rose et al,2013)

2.2.2 Biomekanikal Tendon Achilles

Tendon mengirimkan gaya dari otot ke tulang dan berperan sebagai

penahan dengan menyerap gaya eksternal untuk membatasi kerusakan otot. Sifat

mekanik tendon saling berhubungan pada level molekuler, dengan karakteristik

serat kolagennya.

Hubungan stress-strain terhadap beban tendon terbagi dalam 3 bagian:

1. Toe region. Pada bagian ini terjadi sedikit tekanan (strain), dapat

memanjangkan tendon hingga 2% dan meluruskan kerutan pada serat

kolagen. Kerutan ini menghilang dibawah tekanan dan muncul kembali

bila tekanan dilepas kembali. Serat elastin pada matriks ekstra seluler

berperan membuat kumpulan kolagen kembali pada kondisi semula

(resting state).

Page 7: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

12

2. Linear region. Pada bagian ini, saat tekanan (strain) ditingkatkan yaitu

6%, serat kolagen masih bersifat konstan. Kumpulan serat kolagen pada

pada bagian ini tidak lagi berkerut. Pada tekanan (strain) 4% dan 8%,

tendon secara progresif mudah merenggang namun panjangnya masih bisa

kembali seperti semula.

3. Setelah linear region, mulai mengarah pada putusnya tendon. Pada

tekanan (strain) melebihi 8% hingga 10% tendon mulai putus (Massoud,

2013)(James et al,2008)

Gambar 2.3Kurva Stress –Strain (James et al,2008)

2.3 Kelainan Pada Tendon Achilles

2.3.1 Putusnya Tendon Achilles

Terdapat beberapa kelainan pada tendon achilles antara lain tendinosis dan

trauma/putus. Tendinosis merupakan keadaan dimana tendon mengalami

penggunaan yang berlebihan (stress) atau berulang-ulang sehingga menyebabkan

gagalnya proses penyembuhan dengan ketidakaturan proliferasi tenosit, struktur

intraseluler serat kolagen yang tidak beraturan dan peningkatan dalam matriks non

Page 8: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

13

kolagen. Perubahan ini akan menurunkan kekuatan mekanik pada tendon,

melemahkan dan merusak tendon. Tendinosis juga dihubungkan dengan kondisi

lain seperti diabetes melitus, dislipidemi serta kondisi inflamasi,autoimun dan

penyakit degeneratif. Kurangnya fleksibilitas, faktor genetik, jenis kelamin

wanita, serta endokrin juga merupakan faktor yang mempengaruhi tendinosis

(Maffuli et al, 2014).

Selain itu, tendon mendapatkan suplai darah yang terbatas sehingga

meningkatkan kemungkinan cedera dan proses penyembuhan yang lebih lama.

Penggunaan obat kortikosteroid yang lama dan antibiotik golongan fluorkinolon

juga akan meningkatkan resiko putusnya tendon (Rose et al, 2013).

Respon tendon achilles terhadap penggunaan yang berlebihan dan

berulang-ulang dapat memicu reaksi inflamasi pada pembungkus (sheath). Setiap

trauma memicu reaksi penyembuhan dalam tendon namun kejadian yang berulang

dan efek akumulatifnya menghalangi reaksi penyembuhan alami tendon. Tendon

menjadi semakin lemah dan akhirnya putus (Maffuli et al, 2014).

Putusnya tendon juga dapat terjadi secara spontan atau karena trauma

langsung seperti putus akibat benda tajam. Putusnya tendon secara spontan dapat

diakibatkan oleh gerakan yang kuat dan tiba-tiba (Massoud,2013).

2.3.2 Mekanisme Penyembuhan PutusnyaTendon Achilles

Perbaikan luka berupa putusnya tendon adalah usaha jaringan tendon

untuk mengembalikan struktur dan fungsinya setelah mengalami trauma, dengan

mengembalikan integritas mekanik dari jaringan yang terluka. (Solomon et al,

2009).

Page 9: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

14

Penutupan luka normal mengikuti pola yang diperkirakan dan dapat dibagi

menjadi beberapa fase, dibedakan berdasar perubahan selularnya (Barbul, 2005).

Fase-fase penutupan luka terdiri dari tiga fase yang saling bertumpangan yaitu

fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Lorenz et al,2001; Leong et al,

2004; Barbul, 2005; Adams et al, 2008).

Fase inflamasi

Fase Inflamasi disebut juga fase reaktif. Tujuan utama fase ini adalah

mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing

dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini

adalah terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya migrasi

dari berbagai sel ke daerah luka secara kemotaksis, sekresi berbagai cytokine dan

growth factors ke daerah luka, dan aktivasi dari sel sel migrasi (Leong et al, 2004)

Pada fase inflamasi, setelah terjadi kerusakan pembuluh darah dan timbul

perdarahan, dilanjutkan proses koagulasi serta regulasi pembekuan darah yang

terjadi hanya terbatas pada luka dan tidak sampai meluas ke tempat lain.

Kerusakan pembuluh darah menyebabkan terpaparnya subendothelial,

menyebabkan terikatnya zat prokoagulan dan mengaktivasi platelet yang akhirnya

membentuk sumbat platelet. Secara bersamaan aktifnya platelet ini akan menjadi

pemicu interaksi faktor-faktor pembekuan sehingga akan terbentuk suatu fibrin

dari fibrinogen di sirkulasi. Jala fibrin ini akan terikat secara cross-linked dan

akan memerangkap eritrosit dalam sirkulasi dan akan menambah platelet yang

aktif yang akan menghasilkan suatu sumbat hemostatik yang kuat (Santoro et al,

2005).

Page 10: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

15

Dalam hitungan menit setelah vasokontriksi pembuluh darah dirangsang

oleh faktor platelet, selanjutnya akan terjadi dilatasi dari pembuluh darah lokal

sebagai efek dari koagulasi dan complement cascade. Complement cascade akan

menghasilkan C3a dan C5a anaphylatoxin yang secara langsung akan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan akan menarik neutrofil dan

monosit ke daerah luka. Komponen komplemen ini juga merangsang pelepasan

histamin dan leukotrien C4 dan D4 dari sel mast (Roberts et al,1995).

Sel sel leukosit (diawali dengan neutrofil, diikuti oleh monosit) dan

protein plasma masuk ke daerah luka. Neutrofil yang masuk pertama kali

membersihkan sisa sel-sel mati, benda asing, dan bakteri. Bagian komplemen

yang teraktifasi membantu penghancuran bakteri melalui pembentukan membran

komplek dan opsonisasi bakteri yang akan membantu proses fagositosis, sehingga

fungsi neutrophil untuk mensterilkan luka (Adams et al,2008). Itulah sebabnya

infiltrasi neutrophil pada awal luka akan lebih rendah pada luka operasi yang

bersih dibandingkan pada luka yang terkontaminasi atau luka yang terinfeksi

(Lorenz et al, 2001).

Pada hari kedua sampai hari ketiga, populasi sel radang berubah

didominasi oleh monosit. Sel-sel monosit dalam sirkulasi ditarik dan berinfiltrasi

ke dalam luka. Hal ini menyebabkan monosit berdiferensiasi menjadi makrofag,

dan bersama-sama dengan makrofag lokal mempercepat penutupan luka.

Makrofag juga mensekresi berbagai growth factors. Growth factor yang akan

mengaktivasi dan menarik sel endotelial lokal, kemudian fibroblas dan keratinosit

memulai tugasnya (DiPetro, 1995).

Page 11: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

16

Kurangnya monosit dan makrofag menyebabkan perubahan drastis pada

penutupan luka sebagai akibat debridement yang tidak sempurna, proliferasi

fibroblas yang terhambat, dan angiogenesis yang tidak mencukupi. Makrofag

adalah satu satunya sel radang yang merupakan syarat utama untuk perbaikan luka

(Lorenz et al, 2001).

Fase Proliferasi

Fase proliferasi dimulai setelah respon akut dari hemostasis dan inflamasi

yang mulai berhenti, ancang-ancang perbaikan luka mulai dilakukan dengan

angiogenesis, fibroplasia dan epithelialization. Pada fase ini ditandai dengan

penyusunan jaringan granulasi yang terdiri dari anyaman kapiler, fibroblas,

makrofag, jaringan kolagen longgar, fibronektin dan asam hialuronat (Leong et al,

2004). Fase ini biasanya dimulai hari ke lima yang ditandai dengan peningkatan

drastis dari koloni sel dan produksi kolagen. Produksi kolagen sebenarnya telah

dapat dideteksi mulai sepuluh jam setelah trauma, mencapai puncaknya mulai hari

ke -7, dan terus sampai hari ke- 21, dimana luka telah terisi penuh oleh jaringan

kolagen (Adams et al, 2008).

Banyaknya jaringan granulasi pada luka tergantung dari ukuran dan

dalamnya luka, jika luka dibiarkan menyembuh secara sekunder. Luka yang besar

perlu untuk diisi dengan jaringan granulasi sehingga sel epitel dari pinggir luka

dapat bermigrasi dan membuat epitel baru pada luka. Akhirnya jaringan granulasi

yang terdiri dari ikatan fibrin-fibronektin yang merupakan pembentuk bekuan

darah bersama dengan jaringan pengganti sementara matriks luka yang terdiri dari

proteoglikan, glikosaminoglikan, dan asam hialuronat akan digantikan oleh

Page 12: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

17

kolagen, kapiler-kapiler baru, berbagai sel radang dan fibroblas (Adams et al,

2008).

Fase remodeling

Degradasi kolagen pada tendon terjadi bersamaan saat pembentukannya

supaya tercapai penutupan luka. Bila sintesa kolagen (tipe I) seimbang dan

sebanding dengan derajat degradasi kolagen (tipe III), saat inilah dikatakan bahwa

luka mengalami fase remodeling atau maturasi. Fase ini terjadi hingga beberapa

bulan bahkan tahunan terutama pada luka-luka yang besar dan dibiarkan

menyembuh secara sekunder (Adams et al,2008).

Kekuatan dari luka perlahan meningkat dengan didegradasinya kolagen

tipe III yang terbentuk pada fase-fase awal, oleh MMPs (matrix

metalloproteinase) dan secara perlahan digantikan dengan kolagen tipe I.

Aktivitas dari MMPs sendiri diatur oleh TIMMPs (Tissue Inhibitors of matrix

Metalloproteinase) sehingga keseimbangan dari sintesa, deposisi dan degradasi

dari matriks ekstra selular dapat dipertahankan (Bullard et al, 1999).

Setelah kolagen tipe I mulai terdapat pada luka dengan posisi sejajar

dengan garis tekanan, maka kekuatan dari luka meningkat. Peningkatan kekuatan

ini paling cepat pada awal minggu ke enam, dan kemudian akan melambat serta

tetap tinggi bahkan sampai tahunan. Kekuatan regangan dari luka mencapai 50%

seperti tendon normal bisa membutuhkan waktu dalam waktu tiga bulan, dan

akhirnya secara perlahan mencapai 80% pada akhir fase remodeling walaupun

proses ini berjalan sangat lambat dan menghabiskan waktu sampai beberapa tahun

(Adams et al,2008).

Page 13: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

18

2.3.3 Mekanisme Molekuler Pada Penyembuhan Tendon

Dalam proses penyembuhan tendon, beberapa growth factor terlibat dalam

pengaktifan dan pengaturan respon seluler. Faktor-faktor ini atau cytokines

mengikat pada penerima khusus yang ada pada permukaan sel dan mengaktifkan

signal dalam sel. Pelepasan faktor-faktor ini dipicu oleh sel-sel yang terdapat pada

daerah cedera dan selama fase remodeling dipicu oleh mechanical loading daerah

cedera. Transforming growth factor-β (TGF-β) adalah produk dari semua sel yang

terlibat dalam proses penyembuhan, ke-3 isoform-nya membedakan respon yang

mengarah pada bermacam-macam efek yang mengatur berbagai kejadian. Pada

fase inflamasi setelah trauma, ekspresi TGF-β merangsang migrasi seluler dan

proliferasi. Sintesa kolagen tipe I dan tipe III meningkat drastis selama fase

berikutnya. TGF-β1 bertanggung jawab pada pembentukan awal jaringan scar

yang akan membentuk kontinuitas jaringan pada daerah cedera. Di fase

berikutnya ekspresi TGF-β1 meningkat dan menyebabkan proliferasi scar dan

mengurangi fungsinya. TGF-β3 merupakan penyebab terjadinya scar pada daerah

cedera. TGF-β juga bertanggung jawab mengatur sintesa kolagen dalam tendon

secara mekanik pada saat kita melakukan kegiatan fisik.

Pada awal proses penyembuhan dan fase inflamasi, growth factors dan

cytokines seperti insulin-like growth factor-1 (IGF-1) memicu migrasi dan

proliferasi fibroblas dan sel-sel inflamasi ke daerah cedera. IGF-1 tersimpan

sebagai penanda protein yang tidak aktif pada tendon normal. Pada saat cedera

enzim mengeluarkan growth factor untuk menggunakan aktifitas biologisnya.

Page 14: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

19

Selama fase berikutnya seperti fase remodeling, IGF-1 menstimulasi sintesa

kolagen dan komponen matriks ekstra seluler lainnya.

Pada fase awal penyembuhan Platelet derived growth factor (PDGF)

menstimulasi ekspresi dari growth factor lainnya seperti IGF-1. Dalam beberapa

penelitian dengan menggunakan binatang menunjukan, masuknya PDGF pada

daerah cedera meningkatkan proliferasi sel dan menstimulasi sintesa kolagen dan

komponen matriks ekstra seluler lainnya. Demikian juga dengan basic fibroblast

growthfactor (bFGF) yang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam

migrasi sel dan angiogenesis selain proliferasi sel, peningkatan bFGF akan

mempercepat penutupan luka. Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah

faktor yang penting dalam neovaskularisasi dan pada fase selanjutnya VEGF

bertanggung jawab membentuk dan menjaga vaskularisasi pada endotenon dan

epitenon. Growth/differentiation factors (GDF) mengatur sintesa komponen

matriks ekstra seluler dan ekspresi kolagen tipe I dan III (James et al,2008)

Tabel 2.1Aktifitas Penyembuhan Tendon

FasePenyembuhan

Aktifitas Growth Factors

Fase Inflamasi

Fase Proliferasi

Menstimulasi fibroblastdan sel inflamatori kelokasi cederaRegulasi migrasi selEkspresi dan atraksigrowth factors lainnyaAngiogenesis

Proliferasi sel (sintesaDNA)

IGF-1

TGF-βPDGF

VEGF, bFGF

IGF-1 dan PDGF, TGF-β, BFGF,GDF-5, -6,

Page 15: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

20

Fase remodeling

Menstimulasi sintesakolagen dan komponenECMMenstimulasi interaksimatrik selSintesa kolagen tipe III

Remodelling ECMBerakhirnya proliferasi selSintesa kolagen tipe I

IGF-1 dan PDGF, bFGF

TGF-β, bFGF

TGF-β, GDF-5, -6 dan -7

IGF-1TGF-βTGF-β, GDF-5, -6 dan -7

2.3.4 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Tendon Achilles

2.3.4.1 Usia

Faktor penuaan akan menyebabkan perubahan fisiologis yang

mengakibatkan terhambatnya atau terganggunya penyembuhan tendon. Seiring

peningkatan usia maka kolagen akan mengalami penurunan kualitas. Kandungan

kolagen pada tendon menurun dan mengalami perubahan bentuk dan susunannya

(Barbul, 2005).

Penelitian pada hewan menunjukkan terjadinya penurunan regenerasi sel-

sel tendon, dengan penurunan sintesa kolagen, serta terganggunya proses

angiogenesis dengan penurunan jumlah berbagai growth factors. Selain itu seiring

dengan usia didapatkan juga reaksi inflamasi yang terganggu, terganggunya

aktifitas makrofag sehingga menurunkan fagositosis serta terjadi hambatan

infiltrasi dari makrofag dan β limfosit ke daerah luka (Leong et al,2004)

2.3.4.2 Nutrisi

Pentingnya peranan nutrisi dalam hal penyembuhan luka tendon setelah

suatu trauma telah diketahui sejak jaman Hippocrates. Penutupan luka merupakan

Page 16: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

21

suatu peristiwa anabolik yang membutuhkan tambahan asupan nutrisi ekstra

(Barbul, 2005).

Selain nutrisi seimbang, zat zat yang dibutuhkan untuk penutupan luka

optimal diantaranya adalah protein yang berfungsi dalam hal sintesis kolagen.

Berbagi vitamin dan tracemineral juga dibutuhkan untuk penutupan luka yang

optimal, terutama adalah vitamin C, A, dan B6 (Lorenz et al, 2001).

2.3.4.3 Hipoksia

Tekanan oksigen yang rendah akan sangat mengganggu berbagai proses

pada penutupan luka. Proses fibroplasia walaupun pada fase awal di stimulasi oleh

kondisi lingkungan luka yang hipoksia, namun pada fase berikutnya akan

terganggu jika kondisi luka jaringan tendon tetap hipoksia. Pembentukan kolagen

yang optimal juga membutuhkan oksigen yang memadai sebagai kofaktor,

terutama pada fase hidroksilasi (Barbul,2005).

Pada kondisi hipoksia, energi yang berasal dari proses glikolisis mungkin

memadai untuk memulai sintesis kolagen, tetapi oksigen sangat dibutuhkan pada

proses hidroksilasi prolin dan lysin untuk pembentukan formasi triplehelix dan

crosslinked dari serat kolagen. Meskipun hipoksia akan merangsang suatu

angiogenesis, tetapi proses penting pertautan serat kolagen akan sangat terhambat

bila tekanan O2 dibawah 40mmHg. Tekanan oksigen optimal untuk sintesis

kolagen diperlukan pada pinggir luka sementara bagian tengah luka tetap berada

dalam kondisi hipoksia (Leong et al,2004).

Page 17: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

22

2.3.4.4 Steroid, Obat Kemoterapi dan Penghambat Siklooksigenase (COX)

Penggunaan steroid baik topikal maupun sistemik akan mengganggu

proses penutupan luka terutama jika diberikan pada 3 hari pertama setelah

terjadinya luka (Lorenz et al, 2005). Pengaruh utama dari steroid adalah

menghambat fase inflamasi dari penutupan luka ( proses angiogenesis, migrasi

dari neutrophil dan makrofag, dan proliferasi dari makrofag ), serta menghambat

pelepasan enzim lisomal (Barbul, 2005). Karena steroid menurunkan reaksi

inflamasi, maka steroid bisa menurunkan daya tangkis terhadap bakteri dan

meningkatkan resiko infeksi pada luka (Lorenz et al, 2005).

Penggunaan steroid setelah 3-4 hari post-trauma tidak akan mempengaruhi

penutupan luka separah jika langsung diberikan post-operative (Barbul,2005).

Penghambat COX-2 merupakan obat golongan anti-inflamasi non steroid spesifik,

mempunyai efek menghambat proses inflamasi atau radang secara spesifik,

sehingga perubahan dari endoperoksidase menjadi prostaglandin (terutama

PgE2/PgF2) tidak terbentuk. Dilaporkan penggunaan penghambat COX-2 dapat

mengganggu penyembuhan tendon (Dimmen et al,2011).

2.3.4.5 Penyakit Metabolik

Penyakit metabolik yang paling mempengaruhi peningkatan resiko infeksi

dan kegagalan penutupan luka adalah diabetes mellitus. Diabetes yang tidak

terkontrol akan menyebabkan kemunduran reaksi inflamasi, angiogenesis dan

sintesa kolagen. Selain itu gangguan pada pembuluh darah baik yang besar

maupun perifer yang merupakan tanda dari diabetes fase lanjut akan

menyebabkan terjadinya lokal hipoksemia. Selain itu pada penderita diabetes

Page 18: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

23

terjadi juga gangguan fungsi granulosit, gangguan perkembangan kapiler dan

gangguan proliferasi dari fibroblas. Kegemukan, resistensi terhadap insulin,

hiperglikemia, diabetic renal failure, semua memberi pengaruhnya masing-

masing terhadap penutupan luka. Koreksi terhadap kadar gula darah sebelum

dilakukan operasi pada penderita diabetes akan meningkatkan penutupan luka

secara signifikan (Barbul, 2005).

2.3.4.6 Infeksi

Infeksi pada luka terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara daya

tahan tubuh dan pertumbuhan bakteri (Lorenz et al,2005). Infeksi akan

memperpanjang fase inflamasi, mengganggu epitelisasi, kontraksi dan deposisi

kolagen. Endotoksin yang dihasilkan akan merangsang fagositosis dan akan

melepaskan kolagenase yang akan menyebabkan degradasi kolagen dan kerusakan

pada jaringan normal sekitarnya. Jika koloni bakteri pada luka melebihi 10organisme per gram jaringan atau terdapat suatu infeksi dari streptokokus β

hemolitikus maka luka tidak akan dapat sembuh, hal ini juga berlaku pada

penutupan luka dengan flap, penggunaan skin graft atau pada luka yang dijahit

primer (Leong et al, 2004)

2.3.5 Peranan Fibroblas dalam Penyembuhan Tendon Achilles

Fibroblas merupakan sel aktif utama dari jaringan ikat dan diatur oleh sel-

sel yang disebut fibrosit yang ada di jaringan stroma. Fibroblas memproduksi dan

melakukan sekresi protein kolagen yang digunakan untuk kerangka struktur

jaringan.

Page 19: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

24

Dalam proses penyembuhan luka normal, fibroblas ikut serta dalam

berbagai proses penting seperti menghancurkan gumpalan fibrin, membuat

matriks ekstra seluler yang baru dan struktur kolagen yang mendukung

penyembuhan luka yang efektif. Saat tendon putus, selanjutnya fibroblas

bermigrasi ke lokasi robekan dimana akan mengumpulkan kolagen dan

memfasilitasi proses penyembuhan. Fibroblas yang berimigrasi tersebut mulai

mensintase kolagen sekitar hari ke 5. Tenosit menjadi tipe sel utama dan selama

lebih dari 5 minggu ke depan, kolagen terus di sintesa. Setelah minggu ke 4,

terjadi peningkatan dalam proliferasi fibroblas dari endotenon. Sel ini mengambil

alih peran utama dalam proses penyembuhan, mensintesa dan mengabsorsi

kembali kolagen. Jaringan baru terbentuk dan mulai mature, proses ini

berlangsung selama 2 bulan. Penyembuhan yang didapat melalui fase remodeling

dipengaruhi oleh fungsi fisiologis tendon yang normal (Maffuli et al,

2002)(Adams et al, 2008)

2.4 Penghambat Siklooksigenase (COX)

Obat golongan anti inflamasi non steroid sering dipakai untuk mengobati

penyakit yang berhubungan dengan cedera muskuloskeletal. Tujuan pemberian

obat golongan adalah untuk mengurangi bengkak dan nyeri pada proses inflamasi.

Obat golongan anti-inflamasi non steroid ini menghambat aktifitas

sikloooksigenase dalam sistem saraf pusat dan bagian tubuh yang terluka untuk

mencegah perubahan asam arasidonik menjadi prostaglandin. Suatu penghambat

aktifitas enzim siklooksigenase (COX) dalam sintesa prostaglin (PG) dari asam

Page 20: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

25

arasidonik yang mengatur serta merupakan penyebab utama proses inflamasi.

Prostagladin dan mediator lainnya yang diturunkan dari asam arasidonik mengatur

berbagai proses fisiologis yang berhubungan dengan penggumpalan darah,

pembuluh darah, stabilitas lambung, fungsi ginjal (Su et al, 2013)(Patel,2011)

2.4.1 Asam Arasidonik, Prostaglandin dan Siklooksigenase

Asam arasidonik ditemukan dalam membran sel fosfolipid. Saat sel

mendapat stimuli berupa inflamasi atau trauma, enzim fosfolipase A2(PLA2)

diaktifkan untuk melepaskan asam arasidonik dari membran fosfolipid. Sintesa

prostaglandin H (PGH) juga disebut siklooksigenase (COX), adalah membran

yang mengikat enzim yang memiliki peran utama untuk mengkatalisasi dua

langkah awal (siklooksigenase dan peroksidasi) untuk mengubah asam arasidonik

menjadi intermediate cyclic endoperoxidase prostaglandyn H2 (PGH2) dan

prostaglandin G2 (PGG2). Langkah pertama, siklooksigenase (COX) melakukan

siklisasi dan menambah dua molekul O2 pada asam arasidonik untuk membentuk

cyclic hydoperoxide PGG2. Istilah siklooksigenase berasal dari reaksi pertama ini

yang melibatkan perubahan asam arasidonik ke prostaglandin melalui siklisasi

dan oksigenase. Langkah kedua, COX mengurangi PGG2 menjadi PGH2. PGH2

sangat tidak stabil dan merupakan intermediator precursor untuk berbagai

prostanoid seperti thromboxane A2 (TXA2), prostosiklin (PGI2), PGD2, PGE2,

PGF2 dengan berbagai aktifitas biologinya.

COX terdapat pada rutikulum endoplasma dan membran nuklea. Sumber

utama isolasi dan karakterisasi siklooglinase berasal dari ovine seminal vesicle

seluruh tubuh dan bertanggung jawab untuk sintesa prostaglandin di berbagai tipe

Page 21: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

26

sel. COX-1 tertinggi terdapat di monosit, sel endothelial, platelet dan seminal

vesicles. COX-2 terdapat pada reticulum endoplasma dan membran nuklea dan

sedikit dalam jaringan sehat. Namun sangat dipengaruhi oleh mediator

proinflamatori dan sitokin dalam jaringan yang patologis dan mengalami

inflamasi. Sitokin dan growth factor (epidermal growth factor), platelet derived

GF/PDGF dapat mempengaruhi ekspresi COX-2 dalam berbagai tipe sel termasuk

fibroblas, makrofag, epithelial, endothelial, dan osteoblas (Radi, 2012).

Membrane sel fosfolipid

Asam Arasidonik

Fosfolipase A2

NSAID

COX-1COX-2 Sel endothelialsel otot vaskuler,

platelet danplatelet precursorProstaglandin G2

Peroksidase Peroksidase

Prostaglandin H2

Prostasiklin(PGI2)

Sintesa PGI Sintesa spesifik(sintesa PGD,sintesa PGE,sintesa PGF)

Sintesatromboksan A

Sintesatromboksan A2

(TXA2)PGD2, PGE2,

PGF2α

Gambar 2.4. Jalur Metabolisme Prostaglandin (Radi, 2012).

Page 22: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

27

Siklooksigenase (COX) yang ditemukan di tahun 1988 adalah enzim kunci

dalam sintesa prostaglandin (PG) dari asam arasidonik. Pada tahun 1991, para

peneliti mengidentifikasi suatu produk dari gen kedua dengan aktifitas COX dan

menyebutnya COX-2.

COX-2 bersifat induksi dan menghasilkan stimulan termasuk pro-

inflammatory cytokine dan faktor pertumbuhan yang memberikan peranan bagi

COX-2 dalam penurunan inflamasi dan pertumbuhan sel serta memberikan solusi

untuk menekan proses inflamasi tanpa menyebabkan efek samping pada perut,

ginjal dan zat pembeku darah yang sebelumnya dianggap sebagai konsekuensi

dari penggunaan penghambat COX-2 untuk melindungi sintesa prostaglin

(protagladyneinflammantory). COX-2 bekerja secara selektif dengan menghambat

isoform COX-2 (Vane et al, 1998). Dengan menghambat enzim COX-2, berarti

menghalangi formasi prostaglandin pada daerah cedera yang akan mengurangi

nyeri, inflamasi, peningkatan suhu tubuh dan rekruit sel inflamasi (Patel, 2011).

Walaupun obat-obatan anti inflamasi non steroid sudah umum digunakan

namun masih menimbulkan perdebatan mengenai pengaruhnya terhadap

penyembuhan tendon.

Beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Ada beberapa

penelitian yang menunjukan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan pada

kekuatan tendon setelah penggunaan obat-obat anti inflamasi non steroid.

Pemberian diklofenak selama 3 hari pada tendon achilles tikus tidak memberikan

perbedaan pada mechanical properties bila dibandingkan dengan kelompok

kontrol sehingga tidak terdapat manfaat biomekanik atau fungsional pada tendon

Page 23: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

28

namun mengurangi edema dan akumulasi sel inflamatori dalam paratenon

(Marsolais et al, 2003), demikian juga Hanson yang menyatakan pemberian

celecoxib pada tikus selama 6 hari tidak memiliki pengaruh pada penyembuhan

ligamen namun pemberian peroxicam selama 6 hari meningkatkan penyembuhan

medial collateral ligament(Hanson et al, 2005) . Beberapa penelitian yang lain

menunjukan tingkat kemungkinan gagal yang rendah dan penurunan kekuatan

tensil tendon (Dimmen et al,2011)(Ferry et al, 2007).

Studi yang meneliti tentang penggunaan obat golongan anti inflamasi

bukan steroid (AINS) pada putusnya tendon tikus menunjukkan peningkatan

kekuatan tensil pada penyembuhan tendon. Telah diperkirakan bahwa mekanisme

pengaruh penghambat COX pada regenerasi jaringan konektif adalah akselerasi

dari maturasi kolagennya. Selama masa maturasi, jumlah dan kualitas hubungan

yang berkait antar komponen dan molekul semakin meningkat yang akan

meningkatkan kekuatan tensil dan meningkatkan ikatan antar kolagen. Ini

ditunjukan dengan adanya peningkatan persentase kolagen yang tidak larut dan

kandungan kolagen pada tendon tikus setelah pemberian indomethasin dan

celecoxib walaupun cross section area tendon menurun (Forslund C. et al, 2003).

Perbedaan-perbedaan hasil dari penelitian ini berhubungan dengan fase

inflamasi, proliferasi dan remodeling yang terjadi selama proses penyembuhan

serta proses sel dan molekular yang terlibat dalam setiap fase memiliki respon

yang berbeda terhadap penggunaan obat anti-inflamasi non steroid dan

penghambat siklooksigenase (Su et al, 2013). Selain itu karena perbedaan

golongan obat dan dosis yang diberikan, model eksperimen dan target penelitian.

Page 24: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

29

Penelitian-penelitian tersebut menjelaskan bahwa walaupun penggunaan

obat anti inflamasi non steroid mempunyai pengaruh terhadap kekakuan tendon

dan mempunyai efek negatif pada proliferasi sel tendon namun dapat diimbangi

oleh efek positif pada sintesa kolagen (Su et al, 2013)

2.4.2 Pengaruh COX-2 pada Penyembuhan Putusnya Tendon Achilles

Pada penyembuhan tendon, mekanikal kekuatan tendon harus dapat

bergerak bebas dalam pembungkusnya (tendon sheath), penggunaan obat-obat

anti inflamasi non steroid memberikan pengaruh pada kekuatan tendon ini. (Su et

al, 2013).

Untuk membentuk kembali kekuatan tendon, sel tendon harus bermigrasi

ke tempat cedera, berproliferasi dan membentuk kolagen untuk proses perbaikan.

Penggunaan obat-obatan anti-inflamasi non steroid akan menghalangi proliferasi

sel tendon dan juga menurunkan sintesa DNA dalam fibroblas tendon yang

menyebabkan efek negatif pada proliferasi sel tendon namun sebaliknya juga akan

meningkatkan sintesa kolagen (Almekinders et al,1995). Penelitian Muscara

menunjukan penghambat COX-2 selektif tidak secara signifikan mempengaruhi

deposisi kolagen, dimungkinkan karena tidak menekan sintesa prostaglandin di

daerah luka. Tampaknya sintesa prostaglandin pada daerah luka terjadi utamanya

melalui COX-1, terbukti dengan tidak adanya protein COX-2 pada daerah luka

(Muscara et al,2000)

Untuk membentuk kekuatan mekanik, tendon harus dapat bergerak bebas.

Formasi adhesi yang terjadi antara tendon dan pembungkus tendon atau jaringan

lunak di sekitarnya mengurangi rentang gerak tendon (range of motion).

Page 25: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

30

Pemberian obat-obatan anti-inflamasi non steroid dapat mengurangi formasi

adhesi yang berarti meningkatkan rentang gerak tendon (Szabo et al, 1999).

Pemberian obat-obatan anti inflamasi non steroid tidak menunjukan efek negatif

jangka panjang dalam penyembuhan tendon (O’Connor et al, 2008) dan COX-2

memainkan peran penting dalam penyembuhan luka dimana terjadi infeksi

(Muscara et al,2000).

2.4.3 Waktu penggunaan Obat-obatan Anti Inflamasi Non Steroid

Waktu pemberian obat-obatan anti inflamasi non steroid dan jangka

waktunya sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan putusnya tendon.

Pemberian di fase awal cedera akan melindungi tendon dengan menghambat

neutrofil dan makrofag (Marsolais D., 2003). Beberapa penelitian menunjukan

penggunaan obat-obat anti inflamasi di fase proliferasi dapat menghambat proses

penyembuhan walaupun demikian tetap memiliki pengaruh positif terhadap proses

penyembuhan robekan tendon (Hanson et al, 2005)(Virchenko et al, 2004).

Terdapat juga penelitian yang menunjukkan pemberian celecoxib menghambat

migrasi sel dan proliferasi namun tidak mengubah ekspresi kolagen tipe I dan III

(Tsai et al,2007)

Pemberian obat dilakukan pada fase inflamasi untuk mengurangi inflamasi

dan pembengkakan yaitu selama 5 hari. Pemberian obat kemudian dihentikan saat

memasuki fase proliferasi dimana pada saat itu yaitu hari ke 5, fibroblas

bermigrasi dan mulai mensintase kolagen yang memiliki peran penting agar

proses penyembuhan luka robekan tendon berjalan efektif (Maffuli et al,2015).

Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Forslund menyatakan pemberian

COX-2 selama 14 hari tidak menghambat penyembuhan tendon.

Page 26: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

31

2.4.4 COX-2 Dan Obat-obat Yang Termasuk Di Dalamnya

COX-2 dikembangkan untuk mengurangi efek negatif pada saluran

pencernaan pada obat anti inflamasi konvensional (COX-1). Coxib termasuk

dalam jenis obat COX-2. Obat-obat yang termasuk dalam golongan coxib

didistribusikan secara luas dalam tubuh dan pada otak, konsentrasi yang cukup

untuk mendapat efek analgesik pusat. Coxib dapat diabsorbsi dengan baik dan

memiliki ikatan protein yang tinggi dalam darah.

Golongan coxib yang sudah disetujui oleh FDA (Federation Drug

Administration) adalah Celecoxib, Parecoxib dan Etoricoxib. Sedangkan

Rofecoxib menyebabkan peningkatnya insiden myocardial infarctions.

Obat golongan coxib yang pertama disetujui oleh FDA adalah Celecoxib

pada 31 Desember 1998 digunakan sebagai penghilang nyeri dari osteoartritis,

rematoid artritis, nyeri akut dan dismenorea. Celecoxib memiliki selektifitas yang

baik terhadap enzim COX-2 dan tidak mengganggu fungsi platelet, diberikan

setelah operasi sebagai analgesik tanpa meningkatkan efek pendarahan

(Buvanendran et al, 2012). Celecoxib merupakan jenis penghambat COX-2

dengan toksisitas yang paling rendah di antara jenis penghambat COX-2 lainnya

(Kimmel et al, 2005). Satu studi menyatakan bahwa penggunaan celecoxib

setelah cedera atau setelah operasi selama 5 hari berturut-turut menghasilkan

penurunan nyeri akut dan kronik setelah operasi yang signifikan (Derman et al,

2010).

2.4.5. Celecoxib

Celecoxib merupakan penghambat selektif COX-2 dengan desain kimiawi

4-[5-(4-methylphenyl)-3-(trifluoromethyl)-1H-pyrazol-1-yl] benzenesulfonamide

Page 27: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

32

dengan rumus kimianya C17H14F3N3O2S dan berat molekulnya 381,38. Struktur

kimianya adalah sebagai berikut:

Gambar.2.5. Struktur Kimia Celecoxib (Pfizer, 2015)

Mekanisme kerja Celecoxib adalah melalui hambatan terhadap sintesa

prostaglandin, terutama melalui hambatan pada COX-2. Pada kadar terapeutik

tidak akan menghambat COX-1. Hambatan pada PGE2 dapat menyebabkan

retensi sodium dan cairan melalui peningkatan reabsorbsi pada meula ginjal dan

segmen distal nefron. Di duktus koledukus, PGE2 akan menghambat reabsorbsi

dengan cara kerja berlawanan aksi hormon anti dieuretik. Celecoxib pada dosis

tunggal sampai dengan 800mg dan dosis multiple 600mg 2x sehari selama 7 hari

(lebih tinggi dari dosis terapi yang dianjurkan) tidak memiliki efek pada reduksi

agregasi platelet atau peningkatan waktu pendarahan.

Kadar puncak plasma celecoxib kurang lebih 3 jam setelah pemberian per

oral. Kadar puncak ini akan memanjang 1 sampai 2 jam ketika diberikan bersama

dengan makanan yang tinggi lemak dan absorpsi totalnya akan meningkat 10-

20%. Pemberian bersama antasid yang mengandung alumunium dan magnesium

NH2 O

O

NN

CF3

CA3

S

Page 28: BAB II...mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya

33

akan menurunkan konsentrasi plasma celecoxib sebanyak 37%. Konsumsi

celecoxib sampai dengan dosis 200mg x 2 per hari dapat diberikan tanpa

pertimbangan waktu makan. Pada dosis yang lebih tinggi seperti 400mg x 2 per

hari harus diberikan setelah makan untuk meningkatkan absorpsi.

Dalam distribusinya, pada subyek normal celecoxib berikatan sangat kuat

dengan protein ( ~ 97%). Pada penelitian in vitro, berikatan sangat kuat dengan

albumin dan sangat sedikit dengan α1-acid glucoprotein. Celecoxib tidak

berikatan dengan sel darah merah.

Metabolisme celecoxib dimediasi melalui sitokrom P 450 2C9. Ada 3

macam metabolit yang telah diketahui pada plasma manusia yaitu alkohol, asam

karbosilik dan glukorinid. Ketiga metabolit ini menjadi inaktif oleh penghambat

COX-1 atau COX-2.

Eliminasi utama celecoxib predominan oleh metabolism hapatik. Setelah

pemberian oral, kurang lebih 57% dari dosis akan disekresi di feses dan 27% di

urin. Metabolit utama yang disekresikan di feses dan urin adalah asam karbosilik

(73% dosis). Waktu paruh efektif celecoxib adalah kurang lebih 11 jam.

Pada manajemen nyeri akut dewasa, dosis awal 400 mg, dapat diikuti

200mg pada hari yang sama, selanjutnya 200 mg setiap 12 jam jika dibutuhkan

(Pfizer, 2015)