bab ii landasan teori -...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Bullying
2.1.1 Pengertian Bullying
Agresifitas menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005)
menyatakan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan
untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain. Namun, makhluk
hidup lain terdorong untuk menghindari perlakukan agresif tersebut.
Perilaku agresif dapat berbentuk fisik ataupun psikis. Tujuan dari
perilaku agresif dapat terjadi karena keinginan untuk menyakiti atau
melukai orang lain, untuk mengekspersikan perasaan-perasaan negatif,
atau keinginan untuk melakukan tindakan agresif.
Perilaku agresif memiliki berbagai macam manifestasi dan
tingkatan didalamnya. Berdasarkan tingkatanya agresi dibagi menjadi 3,
yaitu agresi lemah, sedang, dan kuat. Jenis agresi lemah memiliki
manifestasi seperti menganggu orang lain dan bullying, sedangkan yang
masuk dalam agresi sedang yaitu perkelahian fisik dengan manifestasi
seperti perkelahian antar dua siswa, perkelahian antar geng (yang
melibatkan dua kelompok kecil pelajar), tawuran sekolah yang
melibatkan siswa dari dua sekolah atau lebih dalam perkelahian, dan
yang terakhir adalah agresi kuat yaitu kekerasan yang memiliki
manifestasi seperti penganiayaan anak secara fisik, penyiksaan terhadap
seseorang, dan pembunuhan. Dari ketiga tingkatan dan manifestasi
perilaku agresif tersebut salah satunya terdapat agresi lemah dengan
manifestasi tindakan bullying. Olweus (1993) telah mendefinisikan
bullying yang mengandung tiga unsur dasar perilaku, yaitu :
1. Bersifat menyerang (agresif) dan negatif
2. Dilakukan secara berulang kali
3. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat
Dapat dijelaskan bahwa bullying adalah salah satu perilaku agresif
dan negatif yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang lain
(korban) sampai korban merasakan bahwa perlakuan tersebut menyentuh
ke aspek psikologisnya (merasakan sakit hati, tertekan, dan
terintimidasi), perilaku negatif disini berarti secara sengaja membuat luka
atau ketidaknyamanan pada korban baik secara verbal (mengucapkan
kata-kata yang membuat korban tersinggung, mengejek, mefitnah,
menggosipkan, memberikan julukan), fisik (menyakiti korban secara
jasmani seperti memukul, menendang, menampar, memalak), dan mental
(meneror, mempermalukan didepan umum, mengucilkan, tidak
memperdulikan korban) yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang dalam hal ini adalah pelaku bullying. Tindakan bullying dilakukan
secara berulang kali dimana intensitas waktu perilaku bullyingnya lebih
dari satu kali. Olweus (1993) menjelaskan bahwa perilaku bullying
adalah perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus
(repetitif), Olweus (1993) menspesifikan tindakan repititif dalam hal ini
mengecualikan tindakan atau kejadian-kejadian yang tidak serius yang
kadang-kadang terjadi dan tidak menyinggung perasaan korban, kejadian
tersebut hanya sebagai lelucon saja dan tidak dianggap sebagai tindakan
bullying, selain itu, tindakan bullying selalu dilakukan berulang kali
karena menimbulkan perasaan senang pada pelaku karena berhasil
membuat korban malu, terluka baik secara psikologis atau fisik, dan
terintimidasi, sehingga pelaku mengulang-ulang perilaku tersebut.
Perilaku bullying menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dan
ketidakseimbangan kekuatan dari pelaku yang kuat secara fisik atau
mentalnya. Dalam penyalahgunaan kekuasaan kriteria yang diberikan
tidak hanya individu yang berbadan besar, akan tetapi bisa juga individu
yang berbadan kecil tetapi kuat secara fisik (memiliki keahlian bela diri)
dan kuat secara mentalnya, individu yang lebih tua secara umur (senior
kepada junior di sekolah), mahir dalam berkata-kata (verbal), memiliki
status sosial tinggi (ketua geng di sekolah), kepada korban yang dianggap
lemah secara fisik dan mentalnya, seperti individu yang berfisik kecil dan
lemah atau bisa juga individu yang memiliki fisik terlalu besar (gendut)
akan tetapi pemalu dan penakut, individu yang menutup diri dan sulit
bergaul, individu yang memiliki kepercayaan diri rendah, individu yang
canggung (sering salah bicara, bertindaka, atau berpakaian). Sedangkan,
ketidakseimbangan kekuatan, Olweus (1993) menyatakan bahwa “it’is
not bullying when two student of about the same stranger or power argue
or fight”(Bukan sebuah bullying apabila dua siswa yang memiliki
persamaan kekuatan berdebat atau berkelahi) dari penjelasan Olweus
(1993) terlihat bahwa ketidakseimbangan kekuatan terjadi bila perilaku
bullying tersebut dilakukan individu atau sekelompok orang kepada satu
orang individu yang dianggapnya lemah, apabila individu atau kelompok
tersebut memiliki kekuatan yang sama maka bukan disebut dengan
bullying.
2.1.2 Bentuk-bentuk Bullying
Menurut Olweus (2003), ada beberapa bentuk bullying yang
terjadi. Ada 3 pengelompokan bentuk atau jenis bullying diantaranya :
1) Bullying Verbal
Tindakan bullying jenis ini terjadi melalui kata-kata (verbal) dari
pelakubullying, biasanya pelaku melakukan kekerasan jenis ini didepan
teman-teman agar dapat disaksikan oleh siswa lain di sekolah. Contoh
bullying verbal diantaranya memaki, menghina, meneriaki, menuduh,
menyoraki, mefitnah, mengosip.
2) Bullying Fisik
Jenis bullying ini paling dapat terdeteksi oleh indera, karena terjadi
kontak fisik secara langsung antara korban dan pelaku. Contoh dari
bullying fisik adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal,
meludahi, memalak, memukul.
3) Bullying Relasional atau Mental
Bullying jenis ini paling susah terdeteksi oleh indera, karena
bullying relasional atau mental ini bersifat melemahkan harga diri
seseorang. contoh dari bullying relasional atau mental ini adalah
memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan
didepan umum, mendiamkan, mengucilkkan, memelototi, meneror.
2.1.3 Pelaku-pelaku (Komponen) Bullying
Bullying dapat terjadi dikarenakan terdapat pelaku-pelaku atau
komponen di dalamnya. Olweus (dalam Rudi, 2010) menyatakan
terdapat beberapa pelaku yang terlibat dalam tindakan bullying
diantaranya :
1) Pelaku Bullying
Pelaku bullying adalah pemeran utama dalam tindakan bullying,
remaja pelaku bullying mempunyai kepribadian otoriter, ingindipatuhi
secara mutlak dan kebutuhan kuat untuk mengontrol dan mengusai
oranglain. Karakteristik dari pelaku bullying adalah :
a) Mencoba untuk menguasai orang lain.
b) Hanya peduli dengan keinginannya sendiri.
c) Sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan
kurang berempati terhadap perasaan orang lain.
d) Pola perilakunya impulsif, agresif,intimidatif, dan suka
memukul
2) Korban Bullying
Bullying terjadi pasti terdapat orang yang menjadi sasaran dalam
tindakan kekerasan ini. Umumnya orang yang menjadi sasaran dalam
tindakan ini memiliki kelemahan baik secara fisik maupun mental,
korban merasa tidak berdaya melawan pelaku bullying, sehingga hal ini
membuat pelaku semakin mudah dalam melancarkan aksinya. Terdapat
beberapa karakteristik yang biasanya dimiliki seseorang yang menjadi
korban bullying diantaranya :
a) Merasa dirinya lemah, ketika dibully menangis, suka menarik
diri dari pergaulan.
b) Menganggap harga dirinya rendah, suka memandang negatif
dirinya sendiri, memiliki perasaan yang sensitif.
c) Malu terhadap dirinya sendiri, merasa dirinya bodoh, gagal,
dan merasa dirinya tidak menarik.
d) Pasif, tidak memiliki teman dalam bergaul, dan merasa
ditinggalkan oleh teman-temannya.
3) Bystander Bullying
Dalam tindakan bullying, selain terdapat pelaku dan korban, tentu
di dalamnya pasti terdapat penonton yang menyaksikan tindakan bullying
tersebut atau yang kita sebut dengan bystander. Bystander dalam
tindakan bullying terbagi menjadi 3 yaitu penonton yang ikut aktif
menjadi pendukung pelaku, penonton yang membela korban, dan
penonton yang bersikap netral atau diam saja, merasa acuh tak acuh
dengan kejadian tersebut.
2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Bullying
Bullying merupakan tindakan yang sangat berbahaya dan dapat
mengancam keamanan dan kenyamanaan korban. Tindakan bullying
terjadi pasti didasari oleh pelaku yang menjadi aktor utama dalam
tindakan bullying.
Banyak ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan pelaku (bully)
melakukan tindakan. Olweus (dalam Rudi, 2010) menyebutkan terdapat
faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi pelaku dalam tindakan
bullying diantaranya :
1) Pelaku pernah menjadi korban bullying
Terjadinya tindakan bullying bisa dikarenakan pelaku pernah
menjadi korban bullying, sehingga pelaku menaruh rasa dendam,
benci, dan marah terhadap kejadian masa lalunya, sehingga pelaku
melampiaskan dendam dan rasa marah atas tindakan yang
didapatkannnya masa lalu kepada orang lain yang lemah.
2) Balas dendam
Motif balas dendam terhadap kejadian masa lalu yang pernah
menimpa pelaku bullying bisa menjadi salah satu faktor penyebab
bullying marak terjadi, pelaku merasa pernah mengalami perlakuan
yang menyakitkan dan kasar dari orang lain yang telah melakukan
bullying terhadapnya.
3) Menunjukan eksistensi diri
Pelaku bisa juga ingin mendapatkan pengakuan dari
lingkungan disekitarnya sebagai sosok individu atau kelompok yang
dianggap kuat, berkuasan dibandingkan orang lain disekitar
lingkunganya.
4) Ingin mendapatkan pengakuan
Pelaku ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan bahwa
dirinya adalah orang yang kuat dan memiliki kekuasaan di lingkungan
sekitarnya.
5) Menutupi kekurangan yang dimilikinya
Pelaku bullying melakukan tindakan bullying bisa juga
dikarenakan menutupi kelemahan dan kekurangan yang dimiliknya,
sehingga agar tidak dianggap lemah oleh orang lain.
2.2 Role Play Salah Satu Metode dari Bimbingan Kelompok
2.2.1 Pengertian Bimbingan Kelompok
Romlah (2001) menyebutkan bahwa bimbingan kelompok adalah
proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi
kelompok, tujuannya untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan
mengembangkan potensi siswa.
Gazda (dalam Romlah, 2001) mengemukakakn bahwa bimbingan
kelompok pada umumnya dilakukan dikelas dengan jumlah siswa antara
20-35 orang, kegiatan dari bimbingan kelompok dalah penyampaian
informasi yang tepat mengenai masalah pendidikan, pekerjaan,
pemahaman pribadi, penyesuaian diri, dan masalah hubungan antar
pribadi. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan
pemahaman diri individu dan pemahaman terhadap orang lain.
Pelaksanaan kegiatan ini dengan menerapkan konsep-konsep dinamika
kelompok seperti sosiodrama, diskusi kecil, diskusi panel, dan teknik
kelompok lain, dengan tujuan untuk memotivasi dan mengembangkan
interaksi kelompok. Kelompok yang dipergunakan bisa dengan kelompok
kecil atau kelompok besar
2.2.2 Tujuan Bimbingan Kelompok
Bennett (dalam Romlah, 2001) mengemukakan tujuan dari
kegiatan bimbingan kelompok adalah sebagai berikut :
1) Memberikan kesempatan bagi para siswa belajar hal-hal penting
yang berguna bagi pengarahan dirinya yang berkaitan dengan
masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial.
2) Memberikan layanan-layanan penyembuhan melalui kegiatan
kelompok dengan mempelajari masalah-masalah, menghilangkan
ketegangan emosi, menambah pengetahuan mengenai dinamika
pribadi, dll.
3) Untuk mencapai tujuan-tujuan bimbingan secara lebih ekonomis
dan efektif dari pada melalui kegiatan bimbingan individual.
4) Untuk melaksanakan layanan konseling individual secara lebih
efektif. Dengan mempelajari masalah-masalah yang umum
dialami oleh individu dan dengan meredakan atau menghilangkan
hambatan-hambatan emosional melalui kegiatan kelompok, maka
pemahaman terhdadap masalah individu menjadi lebih mudah.
2.2.3 Teknik-Teknik Dalam Bimbingan Kelompok
Romlah (2001) menyebutkan terdapat beberapa teknik yang dapat
diterapkan atau dilakukan dalam kegiatan bimbingan kelompok
diantaranya :
1) Teknik pemberian informasi (expository techiques)
Teknik pemberian informasi atau metode ceramah adalah
pemberian penjelasan seorang pembicara kepada sekelompok
pendengar. Pemberian informasi tidak hanya secara lisan tetapi bisa
secara tertulis atau mendengarkan rekaman, menonton video, dll.
2) Diskusi kelompok
Diskusi kelompok adalah percakapan yang sudah direncanakan
oleh tiga orang atau lebih dengan tujuna memecahkan suatau masalah
atau memperjelas suatu persoalan dibawah pimpinan pemimpin
kelompok.
3) Teknik pemecahan masalah (problem-solving techniques)
Pemecahan masalah adalah suatu proses kreatif dimana
individu-individu menilai perubahan-perubahan yang ada dalam dirinya
dan lingkungannya, dan membuat pilihan-pilihan baru, keputusan-
keputusan baru atau penyelesaian yang selaras dan sejalan dengan
tujuan-tujuan dan nilai-nilai hidupnya.
4) Permainan peran (Role Play)
Permainan peran adalah suatu alat belajar yang mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan
antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang sejalan
yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya.
5) Permainan simulasi
Permainan simulasi adalah permainan yang ditujukan untuk
merefleksi situasi-situasi yang terdapat dalam kehidupan sebenarnya.
6) Karyawisata (Field Trip)
Karyawisata adalah kegiatan yang diprogramkan sekolah untuk
mengunjungi objek-objek yang ada kaitannya dengan bidang studi yang
dipelajari siswa, dan dilaksanakan untuk tujuan belajar secara khusus.
7) Teknik penciptaan suasana kekeluargaan (Homeroom)
Pietrofesa, dkk (dalam Romlah, 2001) menyebutkan teknik
penciptaan suasana kekeluargaan adalah teknik untuk mengadakan
pertemuan dengan sekelompok siswa diluar jam pelajaran dalam
suasana kekeluargaan yang dipimpin oleh guru atau konselor.
2.3 Role Play (Bermain Peran)
2.3.1 PengertianRole Play (Bermain Peran)
Terdapat berbagai cara yang dapat digunakan untuk menangani perilaku
bullying. Olweus (1993) menyebutkan terdapat 3 garis besar program
intervensi (campur tangan) dalam menangani permasalahan bullying di
sekolah. Dari 3 garis besar program intervensi tersebut salah satunya
menyatakan bahwa kegiatan role play atau bermain peran dapat digunakan
untuk menangani permasalah bullying di sekolah yang dapat dilakukan oleh
para siswa di kelas dengan bantuan guru pembimbing.
Winkel dan Hastuti (2004), mendefiniskan role play sebagai kegiatan
melakukan peran tertentu dan memainkan suatu adegan tentang pergaulan
sosial yang mengandung persoalan yang harus diselesaikan.
Benett (dalam Romlah, 2001) menyebutkan bahwa role play aatau
bermain peran adalah suatu alat untuk mengembangkan ketrampilan-
ketrampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan antar manusia
dengan jalan memerankan situasi yang pararel dengan yang terjadi dengan
kehidupan yang sebenarnya.
Jadi dapat disimpulkan role play adalah salah satu metode bimbingan
kelompok yang menggunakan permainan peran didalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang dihadapi seorang individu, dimana peran yang dimainkan
harus sesuai dengan tokoh yang diperankan dengan cara mendramatisasikan
peran tersebut.
2.3.2 Fungsi Role Play
Corsini (dalam Romlah, 1989)menyebutkan terdapat beberapa fungsi
dari kegiatan role play / bermain peran diantaranya :
1) Alat untuk mediagnosis dan mengerti seseorang dengan cara
mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-
situasi atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya.
2) Media pengajaran melalui proses “modelling” anggota kelompok
dapat belajar lebih efektif melalui ketrampilan-ketrampilan
hubungan antar pribadi dalam memcahkan permasalahan.
3) Melalui keterlibatan secara aktif dalam permainan peran, anggota
kelompok dapat mengembangkan pengertian-pengertian dan
mempraktekan ketrampilan-ketrampilan baru.
Sedangkan menurut Winkel dan Hastuti (2004) fungsi dari permainan
peran adalah sebagai perombakan dalam struktur kepribadian seseorang dan
meningkatkan kemampuan bergaul dengan orang lain secara wajar dan sehat.
Jadi fungsi dari bermain peran atau role play adalah memahami
permasalahan-permasalahan sosial, dapat merasakan perasaan orang lain, dan
dapat memainkan peran-peran dalam kehidupan nyata, sehingga memiliki
perasaan untuk bisa memahami satu dengan yang lain, menghargai orang lain,
menghormati, dll.
2.3.3 Proses Pelaksanaan Role Play
Dalam kegiatan role play (bermain peran), terdapat beberapa proses
yang harus dilakukan. Mulyasa (dalam Zulaikah, 2011) menyebutkan terdapat
tujuh tahap dalam role play diantaranya :
1) Pemilihan masalah
Guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan siswa
agar dapat menyelesaikan masalah itu dan terdorong untuk mencari
penyelesaiannya.
2) Pemilihan peran
Pemilihan peran disesuaikan dengan permasalahan yang akan
dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan
oleh para pemain.
3) Menyusun tahap-tahap bermain peran
Dalam hal ini guru sudah membuat dialog, akan tetapi siswa dapat
menambahkannya sendiri.
4) Menyiapkan pengamat
Pengamat dalam kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak terlibat
didalam permainan peran (pemeran)
5) Pemeran
Dalam kegiatan ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan
peran masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran.
6) Diskusi dan evaluasi
Mendiskusikan masalah-masalah yang akan dibahas serta pertanyaan
yang muncul dari siswa.
7) Pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang telah dilakukan
oleh siswa.
2.3.4 Penelitian Yang Mendukung
Berdasarkan penelitian Zulaikah (2011) tentang “Perubahan Perilaku
BystanderBullying Melalui Role Play Pada Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 8
Salatiga” dan hasil analisis dapat diambil kesimpulan ada perbuahan
signifikan perilaku bystander bullying siswa kelas VIII E SMP N 8 Salatiga
pada kelompok eksperimen setelah mengikuti bimbingan kelompok role play
dengan koofisien Asymp. Sig. (2-tailed) 0,011 < 0,05. Perubahan tersebut
dikarenkan perlakuan bimbingan kelompok yang telah diikuti kelompok
eksperime. Terjadi penurunan perilaku bystander bullying pada kelompok
eksperimen. Dari pre test kelompok eksperimen dalam kategori sedang 6
siswa dan kategori tinggi 4 siswa, terjadi perubahan pada post test dalam
kategori rendah 3 siswa dan kategori sedang 7 siswa. Pada kelompok kontrol
jumlah siswa dan kategori pada pre test dan post test tidak terdapat
perubahan. Hal ini terbukti ketika pengujian pada kelompok kontrol pada post
test menghasilkan koofisien Asymp. Sig. (2-tailed) 0,024 < 0,05 yang berarti
ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol setelah kelompok eksperimen diberi bimbingan kelompok dengan
metode role play.
2.4 Hipotesis
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesa atau jawaban sementara atas
hubungan keterkaitan antar variabel dalam penelitian yang masih perlu diuji.
Hipotesis yang penulis rumuskan adalah : “Layanan bimbingan kelompok
teknik role play dapat mengurangi perilaku bullying pada siswa kelas VII A
SMP Kristen 2 Salatiga”.