bab ii landasan teori -...

15
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bullying 2.1.1 Pengertian Bullying Agresifitas menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain. Namun, makhluk hidup lain terdorong untuk menghindari perlakukan agresif tersebut. Perilaku agresif dapat berbentuk fisik ataupun psikis. Tujuan dari perilaku agresif dapat terjadi karena keinginan untuk menyakiti atau melukai orang lain, untuk mengekspersikan perasaan-perasaan negatif, atau keinginan untuk melakukan tindakan agresif. Perilaku agresif memiliki berbagai macam manifestasi dan tingkatan didalamnya. Berdasarkan tingkatanya agresi dibagi menjadi 3, yaitu agresi lemah, sedang, dan kuat. Jenis agresi lemah memiliki manifestasi seperti menganggu orang lain dan bullying, sedangkan yang masuk dalam agresi sedang yaitu perkelahian fisik dengan manifestasi seperti perkelahian antar dua siswa, perkelahian antar geng (yang melibatkan dua kelompok kecil pelajar), tawuran sekolah yang melibatkan siswa dari dua sekolah atau lebih dalam perkelahian, dan yang terakhir adalah agresi kuat yaitu kekerasan yang memiliki manifestasi seperti penganiayaan anak secara fisik, penyiksaan terhadap

Upload: nguyennga

Post on 25-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Bullying

2.1.1 Pengertian Bullying

Agresifitas menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005)

menyatakan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan

untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain. Namun, makhluk

hidup lain terdorong untuk menghindari perlakukan agresif tersebut.

Perilaku agresif dapat berbentuk fisik ataupun psikis. Tujuan dari

perilaku agresif dapat terjadi karena keinginan untuk menyakiti atau

melukai orang lain, untuk mengekspersikan perasaan-perasaan negatif,

atau keinginan untuk melakukan tindakan agresif.

Perilaku agresif memiliki berbagai macam manifestasi dan

tingkatan didalamnya. Berdasarkan tingkatanya agresi dibagi menjadi 3,

yaitu agresi lemah, sedang, dan kuat. Jenis agresi lemah memiliki

manifestasi seperti menganggu orang lain dan bullying, sedangkan yang

masuk dalam agresi sedang yaitu perkelahian fisik dengan manifestasi

seperti perkelahian antar dua siswa, perkelahian antar geng (yang

melibatkan dua kelompok kecil pelajar), tawuran sekolah yang

melibatkan siswa dari dua sekolah atau lebih dalam perkelahian, dan

yang terakhir adalah agresi kuat yaitu kekerasan yang memiliki

manifestasi seperti penganiayaan anak secara fisik, penyiksaan terhadap

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

seseorang, dan pembunuhan. Dari ketiga tingkatan dan manifestasi

perilaku agresif tersebut salah satunya terdapat agresi lemah dengan

manifestasi tindakan bullying. Olweus (1993) telah mendefinisikan

bullying yang mengandung tiga unsur dasar perilaku, yaitu :

1. Bersifat menyerang (agresif) dan negatif

2. Dilakukan secara berulang kali

3. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat

Dapat dijelaskan bahwa bullying adalah salah satu perilaku agresif

dan negatif yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang lain

(korban) sampai korban merasakan bahwa perlakuan tersebut menyentuh

ke aspek psikologisnya (merasakan sakit hati, tertekan, dan

terintimidasi), perilaku negatif disini berarti secara sengaja membuat luka

atau ketidaknyamanan pada korban baik secara verbal (mengucapkan

kata-kata yang membuat korban tersinggung, mengejek, mefitnah,

menggosipkan, memberikan julukan), fisik (menyakiti korban secara

jasmani seperti memukul, menendang, menampar, memalak), dan mental

(meneror, mempermalukan didepan umum, mengucilkan, tidak

memperdulikan korban) yang dilakukan seseorang atau sekelompok

orang dalam hal ini adalah pelaku bullying. Tindakan bullying dilakukan

secara berulang kali dimana intensitas waktu perilaku bullyingnya lebih

dari satu kali. Olweus (1993) menjelaskan bahwa perilaku bullying

adalah perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus

(repetitif), Olweus (1993) menspesifikan tindakan repititif dalam hal ini

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

mengecualikan tindakan atau kejadian-kejadian yang tidak serius yang

kadang-kadang terjadi dan tidak menyinggung perasaan korban, kejadian

tersebut hanya sebagai lelucon saja dan tidak dianggap sebagai tindakan

bullying, selain itu, tindakan bullying selalu dilakukan berulang kali

karena menimbulkan perasaan senang pada pelaku karena berhasil

membuat korban malu, terluka baik secara psikologis atau fisik, dan

terintimidasi, sehingga pelaku mengulang-ulang perilaku tersebut.

Perilaku bullying menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dan

ketidakseimbangan kekuatan dari pelaku yang kuat secara fisik atau

mentalnya. Dalam penyalahgunaan kekuasaan kriteria yang diberikan

tidak hanya individu yang berbadan besar, akan tetapi bisa juga individu

yang berbadan kecil tetapi kuat secara fisik (memiliki keahlian bela diri)

dan kuat secara mentalnya, individu yang lebih tua secara umur (senior

kepada junior di sekolah), mahir dalam berkata-kata (verbal), memiliki

status sosial tinggi (ketua geng di sekolah), kepada korban yang dianggap

lemah secara fisik dan mentalnya, seperti individu yang berfisik kecil dan

lemah atau bisa juga individu yang memiliki fisik terlalu besar (gendut)

akan tetapi pemalu dan penakut, individu yang menutup diri dan sulit

bergaul, individu yang memiliki kepercayaan diri rendah, individu yang

canggung (sering salah bicara, bertindaka, atau berpakaian). Sedangkan,

ketidakseimbangan kekuatan, Olweus (1993) menyatakan bahwa “it’is

not bullying when two student of about the same stranger or power argue

or fight”(Bukan sebuah bullying apabila dua siswa yang memiliki

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

persamaan kekuatan berdebat atau berkelahi) dari penjelasan Olweus

(1993) terlihat bahwa ketidakseimbangan kekuatan terjadi bila perilaku

bullying tersebut dilakukan individu atau sekelompok orang kepada satu

orang individu yang dianggapnya lemah, apabila individu atau kelompok

tersebut memiliki kekuatan yang sama maka bukan disebut dengan

bullying.

2.1.2 Bentuk-bentuk Bullying

Menurut Olweus (2003), ada beberapa bentuk bullying yang

terjadi. Ada 3 pengelompokan bentuk atau jenis bullying diantaranya :

1) Bullying Verbal

Tindakan bullying jenis ini terjadi melalui kata-kata (verbal) dari

pelakubullying, biasanya pelaku melakukan kekerasan jenis ini didepan

teman-teman agar dapat disaksikan oleh siswa lain di sekolah. Contoh

bullying verbal diantaranya memaki, menghina, meneriaki, menuduh,

menyoraki, mefitnah, mengosip.

2) Bullying Fisik

Jenis bullying ini paling dapat terdeteksi oleh indera, karena terjadi

kontak fisik secara langsung antara korban dan pelaku. Contoh dari

bullying fisik adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal,

meludahi, memalak, memukul.

3) Bullying Relasional atau Mental

Bullying jenis ini paling susah terdeteksi oleh indera, karena

bullying relasional atau mental ini bersifat melemahkan harga diri

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

seseorang. contoh dari bullying relasional atau mental ini adalah

memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan

didepan umum, mendiamkan, mengucilkkan, memelototi, meneror.

2.1.3 Pelaku-pelaku (Komponen) Bullying

Bullying dapat terjadi dikarenakan terdapat pelaku-pelaku atau

komponen di dalamnya. Olweus (dalam Rudi, 2010) menyatakan

terdapat beberapa pelaku yang terlibat dalam tindakan bullying

diantaranya :

1) Pelaku Bullying

Pelaku bullying adalah pemeran utama dalam tindakan bullying,

remaja pelaku bullying mempunyai kepribadian otoriter, ingindipatuhi

secara mutlak dan kebutuhan kuat untuk mengontrol dan mengusai

oranglain. Karakteristik dari pelaku bullying adalah :

a) Mencoba untuk menguasai orang lain.

b) Hanya peduli dengan keinginannya sendiri.

c) Sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan

kurang berempati terhadap perasaan orang lain.

d) Pola perilakunya impulsif, agresif,intimidatif, dan suka

memukul

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

2) Korban Bullying

Bullying terjadi pasti terdapat orang yang menjadi sasaran dalam

tindakan kekerasan ini. Umumnya orang yang menjadi sasaran dalam

tindakan ini memiliki kelemahan baik secara fisik maupun mental,

korban merasa tidak berdaya melawan pelaku bullying, sehingga hal ini

membuat pelaku semakin mudah dalam melancarkan aksinya. Terdapat

beberapa karakteristik yang biasanya dimiliki seseorang yang menjadi

korban bullying diantaranya :

a) Merasa dirinya lemah, ketika dibully menangis, suka menarik

diri dari pergaulan.

b) Menganggap harga dirinya rendah, suka memandang negatif

dirinya sendiri, memiliki perasaan yang sensitif.

c) Malu terhadap dirinya sendiri, merasa dirinya bodoh, gagal,

dan merasa dirinya tidak menarik.

d) Pasif, tidak memiliki teman dalam bergaul, dan merasa

ditinggalkan oleh teman-temannya.

3) Bystander Bullying

Dalam tindakan bullying, selain terdapat pelaku dan korban, tentu

di dalamnya pasti terdapat penonton yang menyaksikan tindakan bullying

tersebut atau yang kita sebut dengan bystander. Bystander dalam

tindakan bullying terbagi menjadi 3 yaitu penonton yang ikut aktif

menjadi pendukung pelaku, penonton yang membela korban, dan

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

penonton yang bersikap netral atau diam saja, merasa acuh tak acuh

dengan kejadian tersebut.

2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Bullying

Bullying merupakan tindakan yang sangat berbahaya dan dapat

mengancam keamanan dan kenyamanaan korban. Tindakan bullying

terjadi pasti didasari oleh pelaku yang menjadi aktor utama dalam

tindakan bullying.

Banyak ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan pelaku (bully)

melakukan tindakan. Olweus (dalam Rudi, 2010) menyebutkan terdapat

faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi pelaku dalam tindakan

bullying diantaranya :

1) Pelaku pernah menjadi korban bullying

Terjadinya tindakan bullying bisa dikarenakan pelaku pernah

menjadi korban bullying, sehingga pelaku menaruh rasa dendam,

benci, dan marah terhadap kejadian masa lalunya, sehingga pelaku

melampiaskan dendam dan rasa marah atas tindakan yang

didapatkannnya masa lalu kepada orang lain yang lemah.

2) Balas dendam

Motif balas dendam terhadap kejadian masa lalu yang pernah

menimpa pelaku bullying bisa menjadi salah satu faktor penyebab

bullying marak terjadi, pelaku merasa pernah mengalami perlakuan

yang menyakitkan dan kasar dari orang lain yang telah melakukan

bullying terhadapnya.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

3) Menunjukan eksistensi diri

Pelaku bisa juga ingin mendapatkan pengakuan dari

lingkungan disekitarnya sebagai sosok individu atau kelompok yang

dianggap kuat, berkuasan dibandingkan orang lain disekitar

lingkunganya.

4) Ingin mendapatkan pengakuan

Pelaku ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan bahwa

dirinya adalah orang yang kuat dan memiliki kekuasaan di lingkungan

sekitarnya.

5) Menutupi kekurangan yang dimilikinya

Pelaku bullying melakukan tindakan bullying bisa juga

dikarenakan menutupi kelemahan dan kekurangan yang dimiliknya,

sehingga agar tidak dianggap lemah oleh orang lain.

2.2 Role Play Salah Satu Metode dari Bimbingan Kelompok

2.2.1 Pengertian Bimbingan Kelompok

Romlah (2001) menyebutkan bahwa bimbingan kelompok adalah

proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi

kelompok, tujuannya untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan

mengembangkan potensi siswa.

Gazda (dalam Romlah, 2001) mengemukakakn bahwa bimbingan

kelompok pada umumnya dilakukan dikelas dengan jumlah siswa antara

20-35 orang, kegiatan dari bimbingan kelompok dalah penyampaian

informasi yang tepat mengenai masalah pendidikan, pekerjaan,

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

pemahaman pribadi, penyesuaian diri, dan masalah hubungan antar

pribadi. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan

pemahaman diri individu dan pemahaman terhadap orang lain.

Pelaksanaan kegiatan ini dengan menerapkan konsep-konsep dinamika

kelompok seperti sosiodrama, diskusi kecil, diskusi panel, dan teknik

kelompok lain, dengan tujuan untuk memotivasi dan mengembangkan

interaksi kelompok. Kelompok yang dipergunakan bisa dengan kelompok

kecil atau kelompok besar

2.2.2 Tujuan Bimbingan Kelompok

Bennett (dalam Romlah, 2001) mengemukakan tujuan dari

kegiatan bimbingan kelompok adalah sebagai berikut :

1) Memberikan kesempatan bagi para siswa belajar hal-hal penting

yang berguna bagi pengarahan dirinya yang berkaitan dengan

masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial.

2) Memberikan layanan-layanan penyembuhan melalui kegiatan

kelompok dengan mempelajari masalah-masalah, menghilangkan

ketegangan emosi, menambah pengetahuan mengenai dinamika

pribadi, dll.

3) Untuk mencapai tujuan-tujuan bimbingan secara lebih ekonomis

dan efektif dari pada melalui kegiatan bimbingan individual.

4) Untuk melaksanakan layanan konseling individual secara lebih

efektif. Dengan mempelajari masalah-masalah yang umum

dialami oleh individu dan dengan meredakan atau menghilangkan

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

hambatan-hambatan emosional melalui kegiatan kelompok, maka

pemahaman terhdadap masalah individu menjadi lebih mudah.

2.2.3 Teknik-Teknik Dalam Bimbingan Kelompok

Romlah (2001) menyebutkan terdapat beberapa teknik yang dapat

diterapkan atau dilakukan dalam kegiatan bimbingan kelompok

diantaranya :

1) Teknik pemberian informasi (expository techiques)

Teknik pemberian informasi atau metode ceramah adalah

pemberian penjelasan seorang pembicara kepada sekelompok

pendengar. Pemberian informasi tidak hanya secara lisan tetapi bisa

secara tertulis atau mendengarkan rekaman, menonton video, dll.

2) Diskusi kelompok

Diskusi kelompok adalah percakapan yang sudah direncanakan

oleh tiga orang atau lebih dengan tujuna memecahkan suatau masalah

atau memperjelas suatu persoalan dibawah pimpinan pemimpin

kelompok.

3) Teknik pemecahan masalah (problem-solving techniques)

Pemecahan masalah adalah suatu proses kreatif dimana

individu-individu menilai perubahan-perubahan yang ada dalam dirinya

dan lingkungannya, dan membuat pilihan-pilihan baru, keputusan-

keputusan baru atau penyelesaian yang selaras dan sejalan dengan

tujuan-tujuan dan nilai-nilai hidupnya.

4) Permainan peran (Role Play)

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

Permainan peran adalah suatu alat belajar yang mengembangkan

ketrampilan-ketrampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan

antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang sejalan

yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya.

5) Permainan simulasi

Permainan simulasi adalah permainan yang ditujukan untuk

merefleksi situasi-situasi yang terdapat dalam kehidupan sebenarnya.

6) Karyawisata (Field Trip)

Karyawisata adalah kegiatan yang diprogramkan sekolah untuk

mengunjungi objek-objek yang ada kaitannya dengan bidang studi yang

dipelajari siswa, dan dilaksanakan untuk tujuan belajar secara khusus.

7) Teknik penciptaan suasana kekeluargaan (Homeroom)

Pietrofesa, dkk (dalam Romlah, 2001) menyebutkan teknik

penciptaan suasana kekeluargaan adalah teknik untuk mengadakan

pertemuan dengan sekelompok siswa diluar jam pelajaran dalam

suasana kekeluargaan yang dipimpin oleh guru atau konselor.

2.3 Role Play (Bermain Peran)

2.3.1 PengertianRole Play (Bermain Peran)

Terdapat berbagai cara yang dapat digunakan untuk menangani perilaku

bullying. Olweus (1993) menyebutkan terdapat 3 garis besar program

intervensi (campur tangan) dalam menangani permasalahan bullying di

sekolah. Dari 3 garis besar program intervensi tersebut salah satunya

menyatakan bahwa kegiatan role play atau bermain peran dapat digunakan

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

untuk menangani permasalah bullying di sekolah yang dapat dilakukan oleh

para siswa di kelas dengan bantuan guru pembimbing.

Winkel dan Hastuti (2004), mendefiniskan role play sebagai kegiatan

melakukan peran tertentu dan memainkan suatu adegan tentang pergaulan

sosial yang mengandung persoalan yang harus diselesaikan.

Benett (dalam Romlah, 2001) menyebutkan bahwa role play aatau

bermain peran adalah suatu alat untuk mengembangkan ketrampilan-

ketrampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan antar manusia

dengan jalan memerankan situasi yang pararel dengan yang terjadi dengan

kehidupan yang sebenarnya.

Jadi dapat disimpulkan role play adalah salah satu metode bimbingan

kelompok yang menggunakan permainan peran didalam menyelesaikan suatu

permasalahan yang dihadapi seorang individu, dimana peran yang dimainkan

harus sesuai dengan tokoh yang diperankan dengan cara mendramatisasikan

peran tersebut.

2.3.2 Fungsi Role Play

Corsini (dalam Romlah, 1989)menyebutkan terdapat beberapa fungsi

dari kegiatan role play / bermain peran diantaranya :

1) Alat untuk mediagnosis dan mengerti seseorang dengan cara

mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-

situasi atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

2) Media pengajaran melalui proses “modelling” anggota kelompok

dapat belajar lebih efektif melalui ketrampilan-ketrampilan

hubungan antar pribadi dalam memcahkan permasalahan.

3) Melalui keterlibatan secara aktif dalam permainan peran, anggota

kelompok dapat mengembangkan pengertian-pengertian dan

mempraktekan ketrampilan-ketrampilan baru.

Sedangkan menurut Winkel dan Hastuti (2004) fungsi dari permainan

peran adalah sebagai perombakan dalam struktur kepribadian seseorang dan

meningkatkan kemampuan bergaul dengan orang lain secara wajar dan sehat.

Jadi fungsi dari bermain peran atau role play adalah memahami

permasalahan-permasalahan sosial, dapat merasakan perasaan orang lain, dan

dapat memainkan peran-peran dalam kehidupan nyata, sehingga memiliki

perasaan untuk bisa memahami satu dengan yang lain, menghargai orang lain,

menghormati, dll.

2.3.3 Proses Pelaksanaan Role Play

Dalam kegiatan role play (bermain peran), terdapat beberapa proses

yang harus dilakukan. Mulyasa (dalam Zulaikah, 2011) menyebutkan terdapat

tujuh tahap dalam role play diantaranya :

1) Pemilihan masalah

Guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan siswa

agar dapat menyelesaikan masalah itu dan terdorong untuk mencari

penyelesaiannya.

2) Pemilihan peran

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

Pemilihan peran disesuaikan dengan permasalahan yang akan

dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan

oleh para pemain.

3) Menyusun tahap-tahap bermain peran

Dalam hal ini guru sudah membuat dialog, akan tetapi siswa dapat

menambahkannya sendiri.

4) Menyiapkan pengamat

Pengamat dalam kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak terlibat

didalam permainan peran (pemeran)

5) Pemeran

Dalam kegiatan ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan

peran masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran.

6) Diskusi dan evaluasi

Mendiskusikan masalah-masalah yang akan dibahas serta pertanyaan

yang muncul dari siswa.

7) Pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang telah dilakukan

oleh siswa.

2.3.4 Penelitian Yang Mendukung

Berdasarkan penelitian Zulaikah (2011) tentang “Perubahan Perilaku

BystanderBullying Melalui Role Play Pada Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 8

Salatiga” dan hasil analisis dapat diambil kesimpulan ada perbuahan

signifikan perilaku bystander bullying siswa kelas VIII E SMP N 8 Salatiga

pada kelompok eksperimen setelah mengikuti bimbingan kelompok role play

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5540/3/T1_132010086_BAB II.pdf · Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2. Dilakukan secara berulang

dengan koofisien Asymp. Sig. (2-tailed) 0,011 < 0,05. Perubahan tersebut

dikarenkan perlakuan bimbingan kelompok yang telah diikuti kelompok

eksperime. Terjadi penurunan perilaku bystander bullying pada kelompok

eksperimen. Dari pre test kelompok eksperimen dalam kategori sedang 6

siswa dan kategori tinggi 4 siswa, terjadi perubahan pada post test dalam

kategori rendah 3 siswa dan kategori sedang 7 siswa. Pada kelompok kontrol

jumlah siswa dan kategori pada pre test dan post test tidak terdapat

perubahan. Hal ini terbukti ketika pengujian pada kelompok kontrol pada post

test menghasilkan koofisien Asymp. Sig. (2-tailed) 0,024 < 0,05 yang berarti

ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol setelah kelompok eksperimen diberi bimbingan kelompok dengan

metode role play.

2.4 Hipotesis

Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesa atau jawaban sementara atas

hubungan keterkaitan antar variabel dalam penelitian yang masih perlu diuji.

Hipotesis yang penulis rumuskan adalah : “Layanan bimbingan kelompok

teknik role play dapat mengurangi perilaku bullying pada siswa kelas VII A

SMP Kristen 2 Salatiga”.