bab ii landasan teori a. perilaku bullying · mengucilkan seseorang dari kelompok, dan menyingkap...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Bullying
1. Pengertian Perilaku Bullying
Rigby (2003) mendefinisikan bullying sebagai hasrat untuk menyakiti
yang diperlihatkan dalam aksi yang menyebabkan seseorang yang disebut
korban menjadi menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang
atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggungjawab, berulang dan dengan
perasaan senang dari si pelakunya. Sementara itu, perilaku bullying menurut
Cowie dan Jennifer (2008) adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti
individu lain, terjadi berulang-ulang tidak hanya dalam sekali waktu saja, dan
ada kesenjangan kekuatan. Biasanya korban merupakan individu yang
memiliki kekuatan lebih lemah dari si pelaku. Olweus (1993) menuturkan
bahwa bullying berbeda dengan perilaku agresif karena bullying tidak hanya
dilakukan sekali saja tetapi repetitif atau berulang kali.
Perilaku bullying menurut Coloroso (2007) adalah perilaku intimidasi
yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah dan
dapat mengambil beberapa bentuk, artinya ada kedua belah pihak yang
memiliki ketidaksetaraan kekuatan, terjadi berulang, berbentuk kekerasan
sistematik untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Cara dan gaya
pelaku tindakan bullying mungkin berbeda tetapi para pelaku bullying
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
memiliki karakteristik yang sama (Coloroso, 2007). Karakteristik yang
dimaksud adalah:
a. Suka mendominasi orang lain.
b. Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
c. Sulit melihat situasi dari titik pandang orang lain.
d. Hanya peduli pada keinginan dan kesenangan mereka sendiri, bukan
pada kebutuhan, hak-hak, dan perasaan-perasaan orang lain.
e. Cenderung melukai anak-anak lain ketika orangtua atau orang dewasa
lainnya tidak ada di sekitar mereka.
f. Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai
mangsa.
g. Menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan yang keliru untuk
memproyeksikan ketidakcakapan mereka pada targetnya.
h. Tidak mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka.
i. Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan yaitu tidak mampu
memikirkan konsekuensi jangka pendek, jangka panjang, serta yang
mungkin tidak diinginkan dari perilaku mereka saat itu.
j. Haus perhatian.
Karakteristik pelaku bullying juga terlihat secara afektif (Field, dalam
Rigby, 2003) yaitu:
a. Tidak stabil secara emosional.
b. Tidak mampu menjalin hubungan akrab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Kurang kepedulian terhadap orang lain.
d. Moody dan tidak konsisten.
e. Mudah marah dan impulsif
f. Tidak memiliki perasaan bersalah atau menyesal.
Berdasarkan uraian diatas, perilaku bullying dapat didefinisikan
sebagai perilaku yang ditujukan untuk mendominasi individu atau
sekelompok individu yang dilakukan secara berulang kali oleh individu atau
sekelompok individu yang lebih kuat.
2. Unsur-unsur Perilaku Bullying
Unsur-unsur perilaku bullying menurut Coloroso (2007) ada empat
yaitu ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi
lebih lanjut atau berulang dan teror. Unsur-unsur tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Ketidakseimbangan kekuatan
Individu yang melakukan perilaku bullying biasanya memiliki
kecenderungan lebih tua secara usia, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir
secara verbal, lebih tinggi secara status sosial dan adanya perbedaan
gender. Individu atau kelompok individu yang berkumpul bersama-sama
untuk memulai tindakan penindasan dapat menciptakan
ketidakseimbangan. Penindasan lebih dipandang sebagai sesuatu
perselisihan yang melibatkan dua pihak yang setara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
b. Niat untuk mencederai
Perilaku bullying berakibat kepedihan emosional dan/atau luka fisik,
diperlukan tindakan dari pelaku bullying untuk melukai korbannya dan
perilaku pelaku tersebut menimbulkan rasa senang dihati si pelaku
bullying terlebih ketika korbannya menunjukkan rasa tertindas. Tidak ada
unsur ketidaksengajaan dalam perilaku bullying.
c. Ancaman agresi lebih lanjut/berulang
Perilaku bullying yang termasuk salah satu bentuk agresi dapat tercipta
ketika dilakukan berulang kali. Pelaku ataupun korban bullying
mengetahui bahwa peristiwa penindasan tersebut dapat dan akan terjadi
kembali.
d. Teror
Salah satu tujuan dari perilaku bullying adalah didapatkannya kekuasaan
yang mendominasi korban. Teror yang dirasakan oleh korban bullying
bukan hanya merupakan sebuah cara untuk mencapai tujuan penindasan,
teror itu sendirilah yang menjadi tujuan penindasan.
3. Aspek Perilaku Bullying
Coloroso (2007) membagi perilaku bullying menjadi tiga aspek, yaitu
bullying dari aspek verbal, fisik, dan sosial. Aspek perilaku bullying tersebut
diuraikan sebagai berikut:
a. Bullying verbal
Bullying verbal merupakan perilaku bullying yang paling umum
dilakukan, baik oleh laki-laki ataupun perempuan mulai dari usia muda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
hingga tua. Karakteristik bullying verbal adalah cepat dan tidak
menyakitkan sang penindas tetapi dapat sangat melukai sang korban.
Perilaku yang digolongkan sebagai bullying verbal adalah pemberian
julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan dan pernyataan
yang bernuansa seksual. Selain itu bullying secara verbal dapat pula
berupa perampasan uang jajan atau barang, telepon yang kasar, e-mail
yang mengintimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan,
tuduhan-tuduhan yang tidak benar, dan kasak-kusuk yang keliru atau
gosip. Dari ketiga aspek bullying, bullying verbal merupakan hal yang
paling mudah dilakukan dan kerap menjadi pintu masuk menuju kedua
jenis bullying lainnya.
b. Bullying fisik
Walaupun bullying fisik lebih mudah diidentifikasi dan tampak daripada
jenis perilaku bullying yang lain, namun kejadian perilaku bullying fisik
tidak lebih banyak daripada kejadian bullying verbal dan sosial. Perilaku
yang termasuk dalam bullying fisik adalah memukul, mencekik,
menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar,
meludahi korban, menekuk anggota tubuh korban yang ditindas, dan
merusak serta menghancurkan barang sang korban.
c. Bullying sosial atau relasional
Bullying sosial ini paling sulit diidentifikasi dari luar. Bullying sosial
mengarah pada pelemahan harga diri korban penindasan secara sistematis
melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Penghindaran sendiri merupakan suatu tindakan penyingkiran dan
merupakan alat penindasan terkuat. Bullying sosial atau relasional ini
dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak teman atau sengaja
dilakukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini mencakup sikap-
sikap terselubung seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan
nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh
yang kasar. Bullying sosial adalah bullying yang paling sering terjadi
pada masa remaja.
Cowie dan Jennifer (2008) mengungkapkan bullying menjadi tiga
aspek yaitu bullying fisik, bullying verbal dan bullying tidak langsung yang
diuraikan sebagai berikut:
a. Bullying fisik yang terdiri dari tindakan mendorong, memukul, memiting
dan menendang
b. Bullying verbal yang terdiri dari tindakan mengejek, mengolok-olok,
memberi sebutan nama.
c. Bullying tidak langsung yang terdiri dari tindakan menyebarkan rumor,
mengucilkan seseorang dari kelompok, dan menyingkap rahasia
seseorang pada orang yang lain.
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini menggunakan aspek perilaku
bullying yang dikemukakan oleh Coloroso (2007) yaitu bullying verbal, fisik
dan sosial dengan alasan bahwa aspek-aspek yang dikemukakan oleh
Coloroso lebih spesifik dan komprehensif dalam mengungkap perilaku
bullying serta sesuai dengan karakteristik subjek penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Faktor yang mempengaruhi perilaku bullying menurut Novianti
(2008) adalah faktor keluarga, kepribadian dan sekolah. Uraiannya adalah
sebagai berikut:
a. Faktor keluarga
Remaja yang tumbuh dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan
cenderung meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Kurangnya
perhatian dari keluarga terhadap remaja juga dapat menyebabkan
terbentuknya perilaku bullying.
b. Faktor kepribadian
Komponen pembentuk kepribadian terdiri dari integrasi antara aspek
kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik. Salah satu pembentuk
kepribadian individu dari aspek afektif adalah temperamen. Temperamen
sendiri merupakan karakteristik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon
emosional. Kemampuan individu dalam mengatur emosinya akan
mengarahkan perilaku individu tersebut kearah yang konstruktif. Ketika
emosi individu tidak dapat dikontrol maka perkembangan tingkah laku
personalitas dan interaksi sosial individu tersebut dapat terganggu.
Individu dengan kepribadian yang positif akan menunjukkan perilaku yang
positif pula dilingkungannya.
c. Faktor sekolah
Tingkat pengawasan guru disekolah menentukan angka kejadian bullying
di sekolah. Semakin guru menaruh perhatian dan pengawasan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
perilaku siswa-siswanya terutama perilaku negatif akan mempengaruhi
angka kejadian bullying disekolah.
Faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying menurut Kalat
(2007) adalah faktor genetik, perbedaan gender, keluarga dan lingkungan,
serta efek kekerasan di media yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Genetik
Lyons dengan penelitiannya mengenai agresivitas dengan subyek anak
kembar menunjukkan hasil bahwa kesamaan gen akan menghasilkan
kemiripan sifat juga, termasuk sifat agresif (dalam Kalat, 2007).
b. Perbedaan gender
Penelitian oleh Thomas (dalam Kalat, 2007) menunjukkan bahwa laki-
laki lebih cenderung secara frontal melakukan perilaku bullying daripada
wanita, dan perilaku bullying pria lebih merujuk pada bentuk bullying
fisik sedangkan wanita lebih merujuk pada bentuk bullying secara sosial.
c. Keluarga dan lingkungan
Keluarga sebagai tempat anak merasa aman dan nyaman terkadang tidak
dapat memberikan fungsinya dengan baik, sehingga anak cenderung
menunjukkan perilaku kurang tepat alih-alih untuk mendapatkan
perhatian. Ketika indikasi perilaku bullying sudah muncul, terkadang
keluarga dan lingkungan sekitar kurang memperhatikan sehingga tidak
tertangani dengan baik dan memberikan dampak negatif bagi anak
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
d. Efek kekerasan yang dimuat media
Media seringkali memuat konten perilaku bullying tanpa memikirkan
dampak kedepannya bagi anak-anak. Pengkaburan nilai-nilai dan norma
sosial dalam bentuk penyimpangan perilaku banyak ditampilkan,
sehingga anak-anak cenderung menangkap hal tersebut sebagai suatu hal
yang normal dan selanjutnya akan mereka contoh salah satu
manifestasinya adalah dalam perilaku bullying yang terutama marak
terjadi di sekolah.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku
bullying dipengaruhi oleh faktor internal yaitu genetik, kepribadian, dan
perbedaan gender serta faktor eksternal yaitu keluarga, sekolah, lingkungan
dan efek kekerasan yang dimuat media.
B. Regulasi Emosi
1. Pengertian Regulasi Emosi
Hude (2006) mendefinisikan regulasi emosi sebagai suatu proses
integral yang memiliki empat komponen yaitu objek, penilaian, fisiologis,
kecenderungan aksi dan ekspresi. Pada kenyataannya kita sering
mengendalikan emosi secara otomatis atau spontan. Menurut Hurlock (2002)
regulasi emosi adalah mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang
bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Mengendalikan emosi sebelum
melakukan suatu tindakan adalah hal yang sulit tetapi dapat menghentikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
atau mengatur emosi yang muncul sebelum melakukan aksi dalam peristiwa-
peristiwa tertentu (Hude, 2006).
Gross (2008) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses yang
bermacam-macam dimana individu dipengaruhi secara sadar dan suka rela
oleh emosi yang mereka alami, kapan dan bagaimana mereka mengalami dan
bagaimana mereka mengekspresikan emosi yang dialami tersebut. Proses
tersebut meliputi menurunkan (decreasing), memelihara (maintaining) dan
menaikkan emosi negatif dan emosi positif, dengan menggunakan proses-
proses kognitif seperti rasionalisasi, penilaian kembali (reappraisal) dan
penekanan (suppression).
Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses
intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor, mengevaluasi
dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai
suatu tujuan. Individu harus dapat mengontrol emosi negatifnya sehingga
reaksi emosi negatif dapat diminimalisir. Gross (2008) mengemukakan bahwa
regulasi emosi sebagai hasil pemikiran dan perilaku yang dipengaruhi oleh
emosi, ketika individu mengalami emosi dan bagaimana cara individu
tersebut mengekspresikan emosi. Menurut Campos (dalam Putnam, 2005)
mendefinisikan regulasi emosi sebagai modifikasi dari beberapa proses yang
membangkitkan emosi atau proses manifestasi emosi dalam perilaku.
Gross (2008) mengatakan bahwa setiap individu memiliki emosi
positif maupun emosi negatif. Emosi positif lebih menguntungkan individu
dibandingkan dengan emosi negatif yang cenderung merugikan psikis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ataupun fisik. Emosi terutama emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan
sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi membutuhkan pengendalian agar
dalam penyalurannya tidak menimbulkan permasalahan. Selanjutnya
kemampuan regulasi emosi berperan penting bagi individu untuk melakukan
coping terhadap berbagai masalah yang mendorong individu mengalami
kecemasan.
Thompson (1994) menunjukkan proses regulasi emosi berperan
penting dan berkedudukan pada fungsi yang utama yaitu untuk memperoleh
emosi yang adaptif dan perilaku yang terorganisir. Peran efektif regulasi
emosi antara lain menanggapi emosi secara fleksibel, merespon sesuai dengan
situasi, menaikkan penampilan dan merubah secara cepat dan efektif respon
emosi untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa
regulasi emosi adalah proses pengendalian emosi dengan cara memonitor,
mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif agar dapat
diterima secara sosial untuk mencapai suatu tujuan.
2. Aspek-aspek Regulasi Emosi
Aspek regulasi emosi menurut Thompson (1994) adalah emotions
monitoring, emotions evaluating dan emotions modifications yang akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Memonitor emosi (emotions monitoring)
Memonitor emosi artinya individu benar-benar menyadari dan
memahami proses yang terjadi di dalam dirinya secara komprehensif,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
baik perasaannya, pikirannya, dan tindakannya. Individu tersebut mampu
mengenali hubungan antara emosi dan pikirannya kemudian mampu
membuat individu memahami setiap emosinya yang muncul sehingga
aspek ini mendasari aspek lainnya.
b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating)
Mengevaluasi emosi yaitu individu mengelola dan menyeimbangkan
emosi-emosi yang dirasakannya. Ketika individu memiliki kemampuan
mengelola emosi, khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan,
kecewa, dendam, dan benci maka akan membuat individu tidak terbawa
dan terpengaruh emosi negatifnya sendiri, sehingga mengakibatkan
kelumpuhan individu untuk berpikir rasional. Tidak hanya sebatas
mengelola emosi, individu tersebut juga harus mampu menyeimbangkan
emosi dengan cara yang dikenal yaitu memprediksi dan mengontrol
syarat-syarat terjadinya emosi seperti tempat dan situasi yang biasa
ditemui.
c. Memodifikasi (emotions modifications)
Individu memiliki kemampuan merubah emosi sedemikian rupa sehingga
mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan
putus asa, cemas dan marah (Thompson, 1994). Memodifikasi meliputi
pemilihan respon yang adaptif yaitu pemilihan ekspresi emosi dengan
cara yang sesuai dengan tujuan dan situasi, karena individu berarti
mempelajari adaptasi respon yang sesuai maka kemampuan ini akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
membuat individu dapat bertahan dalam persoalan yang dihadapi dan
tidak mudah putus asa.
Gratz dan Roemer (2004) menyatakan bahwa regulasi emosi memiliki
empat dimensi yaitu menyadari dan memahami emosi, menerima emosi,
kemampuan berperilaku mencapai tujuan dan menahan diri dari perilaku
impulsif, serta mampu menentukan strategi mengelola emosi yang dirasa
efektif. Dimensi-dimensi ini berkembang menjadi 6 indikator kesulitan dalam
regulasi emosi yaitu:
a. Nonacceptance of emotional responses (Nonacceptance)
Kecenderungan untuk memiliki respon emosi negatif yang lebih besar
ketika menghadapi permasalahan dan tidak dapat menerima atau reaksi
penolakan terhadap stress.
b. Difficulties engaging in goal-directed behaviour (Goals)
Kesulitan berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas ketika berada dalam
emosi negatif.
c. Impulse control difficulties (Impulse)
Kesulitan mengontrol perilaku ketika menghadapi emosi negatif.
d. Lack of emotional awareness (Awareness)
Kecenderungan individu untuk sulit mengakui dan merasakan emosinya.
e. Limited access to emotion regulation strategies (Strategies)
Kepercayaan bahwa ada keterbatasan dalam mengelola emosi secara
efektif ketika individu dihadapkan pada situasi dengan emosi negatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
f. Lack of emotional clarity (Clarity)
Kesulitan untuk memperluas apa yang individu ketahui dari pengalaman
emosi yang pernah dihadapi.
Penelitian ini menggunakan aspek regulasi emosi menurut Gratz dan
Roemer (2004) hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan menurut peneliti
aspek-aspek tersebut mengungkap kemampuan individu dalam merubah
emosi yang dialami sehingga dapat mengekspresikan emosi secara intensif
dan dapat diterima secara sosial.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah perbedaan
gender, usia, kognitif, sosial, budaya, motivasi dan norma yang akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Perbedaan gender
Goldin, McRae, Ramel dan Gross (2008) dalam penelitiannya
mengenai regulasi emosi secara neural menyatakan bahwa perbedaan
jenis kelamin berpengaruh dalam regulasi emosi seseorang. Hal ini
terkait dengan respon amygdala yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Dibanding perempuan, laki-laki memperlihatkan lebih
sedikit peningkatan dalam area prefrontal yang berhubungan dengan
reappraisal, selain itu laki-laki mengalami penurunan yang lebih besar
dalam amygdala yang berhubungan dengan respon emotional, lalu
perluasan area ventral striatal nya lebih sedikit dibanding perempuan.
Hal ini berkaitan dengan reward processing yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
mekanisme stimulus dengan valensi appetitive yaitu menimbulkan
perasaan menyenangkan dan menimbulkan emosi positif.
b. Usia
Calkins (dalam Gross, 2008) menyatakan bahwa lobus frontalis
bertanggungjawab dalam perilaku menghindar atau mendekat terhadap
stimulus yang menimbulkan emosi. Kemampuan ini semakin
berkembang seiring usia, dari kemampuan instrumental hingga bersifat
afektif dan kognitif. Implikasi lain dari faktor biologis ini adalah bahwa
kemampuan regulasi emosi pada seseorang pada awal-awal usia
kehidupan lebih dilakukan secara ekstrinsik dalam arti lebih diregulasi
oleh pihak eksternal dirinya yaitu pengasuh dan figur lekatnya. Seiring
meningkatnya usia bentuk regulasi emosi dari yang bersifat
interpersonal atau lebih dipengaruhi faktor eksternal menjadi lebih
bersifat intrapersonal atau bersifat internal, dilakukan secara mandiri
baik instrumental maupun kognitif.
c. Kognitif
Philippot (2004) menyatakan bahwa regulasi emosi melibatkan seluruh
domain penting dari kognisi seperti persepsi, perhatian (attention),
memori, pembuatan keputusan dan kesadaran (consciusness), kemudian
dengan konsep dual memory modelnya, ia menyebutkan bahwa regulasi
emosi dapat dicapai secara tidak langsung dengan melakukan feedback
loops yang memelihara dan meningkatkan aktivasi schema.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d. Sosial
Keluarga dan teman sebaya dianggap dapat menjadi komponen dalam
konstruksi sosial pada berbagai keadaan individu. Begitu pula regulasi
emosi dibentuk oleh berbagai pengaruh ekstrinsik yang berinteraksi
dengan pengaruh intrinsik dari sudut perkembangan. Thompson dan
Meyer (dalam Gross, 2008) menyatakan bahwa regulasi emosi
dipengaruhi oleh keluarga dan teman sebaya. Teman sebaya penting
dalam perkembangan kemampuan regulasi emosi pada konteks di luar
rumah dan keluarga dalam konteks di dalam rumah. Pada faktor
keluarga, kualitas hubungan orangtua dan anak menjadi dasar utama
yang berpengaruh terhadap regulasi emosi. Anak yang memiliki secure
attachment dengan orangtuanya cenderung lebih sadar diri secara
emosional, menerima pemahaman emosi yang lebih besar dan
mengembangkan kapasitas untuk mengatur emosi yang tepat di
lingkungannya, menyediakan sumber dukungan yang dapat diandalkan.
Sebaliknya, anak dengan insecure relationship yang mempunyai ibu
kurang sensitif dan memiliki respon yang tidak konsisten terhadap
perasaan anaknya, serta kurang membuat nyaman ketika berbicara
tentang kesulitan emosi yang dialami sang anak tersebut, anak ini
cenderung terbatas dalam memahami emosi dan sulit dalam melakukan
regulasi emosi terutama dalam keadaan stress, hal ini terjadi karena
kurangnya support dalam hubungan orangtua dan anak. Anak ini dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
memperlihatkan disregulasi emosi dengan memperlihatkan peningkatan
emosi negatif yang tidak teratur.
e. Budaya
Mesquita dan Markus (2004) menyatakan bahwa cultural models theory
menekankan bahwa proses sosial dan psikologis bermakna secara
bervariasi di berbagai budaya dan begitu pula dalam hal regulasi emosi.
Regulasi emosi tidak hanya berkaitan dengan proses intrapersonal, akan
tetapi emosi di regulasi sesuai dengan dimana dan bagaimana cara
individu tersebut menjalani kehidupan. Regulasi emosi terjadi pada
tataran budaya praktis melalui penstrukturan situasi sosial dan dinamika
interaksi sosial, usaha orang terdekat untuk memodifikasi situasi
individu yang bersangkutan, fokus perhatian seseorang atau makna
yang diambil dalam berbagai situasi, dan kesempatan yang tersedia
dalam perilaku emosional dalam hal ini regulasi emosi. Kemudian
dalam tataran kecenderungan psikologis individu menunjukkan
perbedaan budaya melalui orientasi yang berbeda seperti menghindari
atau menghadapi suatu situasi tertentu, perspektif umum tentang situasi
dan makna yang menonjol didalamnya, dan kecenderungan perilaku
yang berkaitan dengan emosi yang ada. Aspek budaya ini menjadi
berhubungan pula dengan motivasi, regulasi emosi dimotivasi oleh
kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
f. Motivasi
Motivasi berperan dalam terbentuknya regulasi emosi, hal ini
sebetulnya terkait juga dengan aspek budaya, selanjutnya motivasi
sosial bisa membentuk regulasi emosi yang dilakukan. Menurut Fischer
(Philipot, 2004) orang cenderung menginginkan situasi yang nyaman
dan kemudian ia menghindari keadaan negatif dalam arti hubungan
interpersonal. Selanjutnya Fischer membedakan tiga perbedaan tipe
motivasi pada level interpersonal yaitu: Impression management, dalam
tipe ini individu melakukan regulasi emosi dengan menghindari
penilaian yang tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan yang
dikarenakan potensial terjadinya ketidaktepatan emosi mereka.
Prosocial motive, tipe ini menunjukkan bahwa individu termotivasi
untuk tidak melukai orang lain atau bahkan melindungi orang lain.
Influence, tipe ini merupakan tipe dimana seseorang ingin
mempengaruhi orang lain.
g. Norma
Norma sebenarnya berkaitan dengan aspek lain yang telah dibahas
sebelumnya seperti budaya, motivasi dan gender, akan tetapi Fischer
(dalam Philippot, 2004) menyebutkan bahwa norma berperan penting
dalam regulasi emosi yaitu dalam usaha pemeliharaan harmoni sosial
dengan menekan emosi negatif terhadap orang lain dilingkungannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
C. Self-Esteem
1. Pengertian Self-esteem
Baron et al (dalam Sarwono, 2009) mendefinisikan self-esteem adalah
sesuatu yang menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya
sendiri, baik positif maupun negatif. Jika seseorang menilai dirinya secara
positif maka orang tersebut akan menjadi percaya diri dalam hal yang
dikerjakannya dan mendapatkan hasil yang positif juga, begitu pula
sebaliknya. Pendapat lain dari McKay dan Fanning (2000) yaitu self-esteem
merujuk pada penerimaan dan tindakan tidak menghakimi pada diri sendiri
dan orang lain.
Self-esteem juga disebut sebagai self-worth tetapi bukan merupakan
self-love karena self-esteem lebih menitik beratkan pada evaluasi individu
pada dirinya sendiri (Frey dan Carlock, 1984). Individu dengan self-esteem
yang tinggi menghargai dirinya sendiri, mengetahui kebermaknaan dirinya
dan memandang dirinya setara dengan orang lain. Individu tersebut tidak
memaksa dirinya menjadi sempurna, menyadari keterbatasannya dan selalu
berusaha untuk mengembangkan diri. Berkebalikan dengan itu, individu
dengan self-esteem yang rendah pada umumnya melakukan penolakan pada
dirinya sendiri, ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri dan meremehkan
dirinya sendiri. Senada dengan pernyataan itu, Santrock (2007) menyebutkan
bahwa self-esteem merupakan evaluasi diri yang bersifat global atau
menyeluruh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian atau
evaluasi terhadap diri sendiri yang didapatkan individu dari interaksinya
dengan orang-orang yang ada disekitarnya, serta dari penerimaan,
penghargaan dan perlakuan orang lain yang didapatkan oleh individu
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-esteem
merupakan penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya sendiri dalam
dimensi positif sampai negatif atau tinggi sampai rendah yang diperoleh dari
interaksi individu tersebut dengan orang-orang disekitarnya, serta dipengaruhi
pula dengan perasaan yakin pada kemampuannya, berharga dan bermakna.
2. Aspek-Aspek Self-esteem
Rosenberg (dalam Coopersmith, 1967) menjelaskan empat aspek self-
esteem yang meliputi keberartian, kekuatan, kompetensi dan kebajikan.
Keempat aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Keberartian
Keberartian dari individu dirasakan dari adanya penerimaan,
penghargaan, kasih sayang dan perhatian dari orang-orang disekitar
individu tersebut. Perhatian dan penerimaan akan ditunjukkan dengan
adanya sikap hangat dari lingkungan, popularitas dan dukungan dari
keluarga. Lingkungan tanggap akan keberadaan individu tersebut, tertarik
akan kehadirannya, dan menyukai individu tersebut apa adanya. Semakin
banyak ekspresi kasih sayang yang diterima individu, maka individu
tersebut akan semakin merasa berarti tetapi apabila individu tidak atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
jarang mendapatkan stimulasi positif dari orang-orang disekitarnya, maka
kemungkinan besar individu tersebut akan merasa tidak diterima oleh
lingkungannya dan cenderung akan mengisolasi dirinya sendiri.
b. Kekuatan
Kekuatan dari individu yang digunakan untuk mempengaruhi dan
mengontrol perilakunya sendiri ataupun orang lain. Kekuatan disini lebih
ditunjukkan dengan adanya penghargaan dan penghormatan dari orang
lain. Individu yang memiliki kekuatan biasanya akan menunjukkan sikap
asertif dan memiliki semangat yang tinggi.
c. Kompetensi
Kompetensi ditunjukkan dengan adanya kemampuan yang cukup sesuai
dengan usia individu tersebut. individu yang memiliki kompetensi diri
yang baik akan merasa bahwa orang lain disekitarnya akan memberikan
dukungan kepadanya, sehingga individu tersebut lebih percaya diri
mengatasi setiap permasalahan yang ia hadapi dalam kehidupan dan
lingkungannya.
d. Kebajikan
Kebajikan ditunjukkan dengan adanya kesesuaian perilaku individu
dengan moral, norma dan etika yang berlaku dilingkungannya. Kebajikan
tidak terlepas dari hal-hal yang terkait peraturan dan norma yang berlaku
dalam masyarakat serta hal-hal yang terkait dengan nilai kemanusiaan
dan ketaatan dalam beragama. Kesesuaian perilaku individu dengan
moral dan standar etika dipelajari individu dari nilai-nilai yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
ditanamkan oleh orangtua sehingga individu dapat memiliki penilaian
perilaku yang benar dan yang salah. Ketika individu melakukan perilaku
yang benar dan sesuai dengan norma yang berlaku dilingkungannya
maka ia akan cenderung dianggap baik oleh lingkungannya dan
memunculkan penilaian positif terhadap dirinya sendiri sebagai individu.
Aspek self-esteem menurut Brown (dalam Santrock, 2003) yaitu
global self-esteem, self-evaluation dan emotion yang akan diuraikan sebagai
berikut:
a. Global self-esteem
Variabel keseluruhan dalam diri individu dan relatif menetap dalam
berbagai waktu dan situasi.
b. Self-evaluation
Cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat
pada diri mereka.
c. Emotion
Keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul sebagai
konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang
menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan
self-esteem atau menurunkan self-esteem mereka.
Penelitian ini menggunakan aspek self-esteem yang dikemukakan oleh
Rosenberg (dalam Coopersmith, 1967) yaitu keberartian, kekuatan,
kompetensi dan kebajikan karena menurut peneliti aspek-aspek tersebut dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik
positif maupun negatif.
3. Tingkatan Self-esteem
Baron dan Bryne (2004) mengemukakan bahwa self-esteem memiliki
rentang dimensi positif hingga negatif atau tinggi hingga rendah. Individu
yang memiliki self-esteem tinggi menyukai dirinya sendiri dan ia memiliki
evaluasi diri yang positif baik berdasarkan dirinya sendiri maupun yang ia
dapatkan dari opini orang lain. Browne (dalam Baron dan Byrne, 2004)
mengemukakan bahwa seseorang cenderung menilai dirinya sendiri atas
perbandingan sosial dan norma sosial. Individu dengan self-esteem yang
tinggi cenderung memfokuskan diri pada kekuatan diri mereka dan mampu
mengingat peristiwa menyenangkan dengan lebih baik, sehingga akan
membantu individu tersebut untuk mempertahankan evaluasi diri positifnya.
Individu yang memiliki self-esteem rendah cenderung memiliki kemampuan
sosial yang kurang, merasa kesepian, merasa depresi dan hasil pekerjaan yang
kurang baik. Individu dengan self-esteem rendah lebih mudah
mengekspresikan kemarahannya secara terbuka sehingga akan
mempertahankan evaluasi dirinya yang negatif. Kemis (dalam Baron dan
Bryne, 2004) mengemukakan bahwa self-esteem rendah berhubungan dengan
determinasi diri yang rendah, konsep diri yang kurang jelas dan memiliki
ketegangan dalam mencapai tujuannya.
Menurut Coopersmith (1967) individu dengan self-esteem yang tinggi
akan menunjukkan ciri perilaku sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
a. Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya
dengan orang lain dan menghargai orang lain.
b. Dapat mengontrol tindakannya terhadap lingkungan dan dapat menerima
kritik dengan baik.
c. Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu
berjalan diluar rencana.
d. Berhasil dibidang akademik, aktif dan dapat mengekspresikan dirinya
dengan baik.
e. Tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan
mau mengembangkan diri.
f. Memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis.
g. Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.
Individu dengan self-esteem yang rendah akan menunjukkan ciri perilaku
sebagai berikut:
a. Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya terhadap lingkungan dan
kurang dapat menerima kritik serta saran dari orang lain.
b. Kurang dapat membina hubungan sosial dengan orang lain.
c. Sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan.
d. Tidak yakin akan kemampuan diri sendiri.
e. Kurang mengekspresikan diri dengan baik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu dengan
self-esteem yang tinggi memiliki konsekuensi perilaku yang positif,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
sebaliknya individu dengan self-esteem yang rendah memiliki konsekuensi
perilaku yang cenderung negatif.
4. Faktor yang mempengaruhi Self-esteem
Faktor yang mempengaruhi self-esteem dibagi menjadi faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi self-esteem
menurut Coopersmith (1967) adalah lingkungan keluarga dan lingkungan
sosial yang diuraikan sebagai berikut:
a. Lingkungan keluarga
Self-esteem dipengaruhi oleh hubungan dengan orang tua atau orang tua
pengganti dan bagaimana orang-orang disekeliling individu
memperlakukan individu itu selama masa-masa perkembangannya.
Harapan, cita-cita, kasih sayang, kehangatan dan penerimaan merupakan
faktor yang penting dalam mencapai self-esteem positif. Self-esteem positif
merupakan hasil dari penerimaan atau dukungan orang tua dan kebebasan
individu untuk berperilaku dalam cara yang realistis.
b. Lingkungan sosial
Pembentukan self-esteem tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial
karena self-esteem terbentuk dari interaksi dengan lingkungan.
Lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap seseorang melalui
interaksi yang baik antara individu satu dengan individu yang lain dalam
lingkungan sosialnya. Ketika lingkungan memberikan respon yang positif
terhadap seseorang, maka dalam diri individu tersebut akan muncul rasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
aman dan nyaman berada dalam lingkungan sosialnya dan membentuk
self-esteem yang positif bagi dirinya.
Faktor internal yang mempengaruhi self-esteem menurut McKay dan
Fanning (2000) adalah permasalahan terkait kondisi psikologis seseorang
yang lebih lanjut diuraikan sebagai berikut:
a. Emosi
Kesulitan mengendalikan dan mengatur emosi sangat berpengaruh pada
pikiran yang selanjutnya akan termanifestasikan dalam self-esteem
individu. Emosi negatif yang tidak dapat tertangani dengan baik biasanya
akan memberikan konsekuensi negatif pula.
b. Overgeneralization
Ketika menghadapi sekali kegagalan, individu terkadang cenderung
menjadi patah semangat lalu menyamaratakan bahwa setiap usaha yang
akan dilakukannya juga pasti akan gagal lagi.
c. Global labeling
Mengkotak-kotakkan pikiran dengan memberikan stereotip pada diri
sendiri dan orang lain berdasakan kelas sosial, perilaku dan pengalaman.
Individu dengan self-esteem rendah biasanya memposisikan dirinya
dalam masyarakat sebagai tokoh yang negatif (orang jahat atau orang
yang tolol).
d. Filtering
Kekakuan individu dalam menerima kritik atau saran dari orang lain.
Individu tersebut cenderung menolak untuk menerima kriktikan orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
lain atau hal yang tidak ia sukai dan ketika ia menerima kritikan tersebut
hal itu akan membuatnya patah semangat dan berfokus pada
kekurangannya saja.
e. Polarized thinking
Memiliki pola berpikir yang beragam dalam sekali waktu namun
bertentangan satu sama lain. Pola berpikir ini akan membuat individu
merasa kebingungan akan sikap yang harus ia tentukan.
f. Self-blame
Sikap menyalahkan diri sendiri atas setiap permasalahan yang dihadapi,
baik tindakannya benar ataupun salah, individu tersebut selalu
menempatkan diri sebagai orang yang bertanggung jawab pada
permasalahan yang terjadi. Sikap seperti ini membuat individu tidak
dapat melihat sisi positif dan kualitas dari dirinya sendiri.
g. Personalization
Kebiasaan mengukur dan membanding-bandingkan segala sesuatu
dengan diri sendiri.
h. Mind reading
Menganggap orang lain memiliki pikiran sesuai dengan yang ia
kehendaki, pada individu dengan self-esteem rendah biasanya ia
cenderung menganggap orang lain selalu menyetujui setiap opini negatif
individu tersebut terhadap dirinya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
D. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Self-Esteem Dengan Perilaku
Bullying
1. Hubungan antara Regulasi Emosi dan Self-esteem dengan Perilaku
Bullying
Remaja mengalami perubahan yang besar dari masa peralihannya dari
masa anak menjadi masa dewasa, baik perubahan fisik, perubahan sosial dan
terutama perubahan emosi. Menurut Mulyono (1995) emosi remaja sedang
dalam masa strung und drang yang ditunjukkan dengan ketidakstabilan dan
belum mencapai kematangan pribadi secara dewasa. Hal ini membuat remaja
sulit mengendalikan emosinya terutama emosi negatif yaitu benci, tertekan
dan marah. Remaja yang sulit mengendalikan emosinya akan kesulitan pula
mengendalikan perilakunya (Gratz dan Roemer, 2004).
Bonanno dan Mayne (2001) berpendapat bahwa ketidakmampuan
meregulasi emosi terjadi ketika individu tidak dapat kritis terhadap
pengalaman emosinya, tidak mampu mengatur emosinya dan tidak dapat
mengekspresikan emosinya dengan tepat. Konsekuensinya individu tersebut
pun menjadi kesulitan mengendalikan perilakunya, perilaku prososialnya
rendah, kecenderungan agresinya tinggi, dan lemah dalam mengelola emosi
negatif (Strongman, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Kesulitan remaja dalam mengelola emosinya, mempengaruhi kondisi
self-esteem, sejalan dengan penelitian dari Nezlek dan Kuppens (2008) yang
menunjukkan bahwa kesulitan mengelola emosi berhubungan dengan
penurunan emosi positif, self-esteem, penyesuaian psikologis, dan
peningkatan emosi negatif. Disamping itu, self-esteem yang negatif
memberikan konsekuensi perilaku yang negatif pula. Self-esteem negatif
seringpula dihubungkan dengan keterampilan membangun hubungan atau
interaksi sosial yang kurang memadai dan unjuk kerja yang lebih buruk
(Baron dan Byrne, 2004).
Self-esteem dan regulasi emosi saling berhubungan, ditunjukkan oleh
McKay dan Fanning (2000) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi atau rendahnya self-esteem adalah faktor emosi. Kesulitan
mengendalikan dan mengatur emosi sangat berpengaruh pada pikiran yang
selanjutnya akan termanifestasikan dalam self-esteem individu. Emosi negatif
yang tidak dapat tertangani dengan baik biasanya akan memberikan
konsekuensi negatif pula. Ketidakmampuan remaja untuk mengelola emosi
terutama emosi negatif salah satunya dapat diekspresikan dengan perilaku
agresif yang kemudian mengarah pada terjadinya perilaku bullying. Remaja
menjadi sulit mengendalikan diri dengan baik, hal ini juga merupakan akibat
dari regulasi emosi yang tidak berjalan dengan baik (Wilton, Craig dan
Peppler, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Nunn dan Thomas (dalam Baron dan Byrne, 2004) menunjukkan hasil
penelitiannya yang menemukan bahwa tindakan menganiaya dan tingkah laku
agresif disebabkan oleh self-esteem yang rendah. Wright (1995) memberikan
bukti nyata melalui penelitiannya bahwa tingkat serotonin dalam darah
berhubungan dengan self-esteem, kemudian self-esteem yang lebih rendah dan
tingkat serotonin yang rendah berhubungan dengan impulsivitas dan
agresivitas yang merupakan salah satu karakteristik bullying.
Individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik akan
cenderung memiliki self-esteem yang positif karena remaja menjadi dapat
berperilaku adaptif dan prososial dilingkungannya dalam mencapai
tujuannya. Hal ini secara praktis menekan kecenderungan remaja melakukan
perilaku agresif dan impulsif yang mengarah kepada perilaku bullying.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang
memiliki regulasi emosi yang baik serta self-esteem yang positif memiliki
kecenderungan perilaku bullying yang lebih rendah, sebaliknya individu yang
memiliki regulasi emosi yang buruk serta self-esteem yang negatif memiliki
kecenderungan perilaku bullying yang lebih tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
2. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Bullying
Regulasi emosi adalah cara individu mengekspresikan emosi dengan
mengarahkan energi emosi ke dalam ekspresi yang dapat
mengkomunikasikan perasaan emosionalnya dengan cara yang dapat diterima
secara sosial (Gross, 2008). Menurut Thompson (1994) regulasi emosi adalah
kemampuan penting yang akan membantu individu menghadapi
permasalahannya secara efektif. Individu yang memiliki regulasi emosi yang
baik akan dapat mengatur pengekspresian emosi yang muncul dengan tepat
dan sesuai terutama dalam emosi negatif seperti kemarahan, kebencian dan
kekecewaan. Emosi negatif yang tidak terkontrol akan memberikan
konsekuensi terbentuknya perilaku prososial yang rendah dan kecenderungan
melakukan agresi yang tinggi (Strongman, 2003).
Individu dituntut dapat mengatur dan mengelola emosinya sehingga
dapat bereaksi secara adaptif dan sesuai dengan tujuannya. Regulasi emosi
yang baik akan menghasilkan emosi yang adaptif dan perilaku yang
terorganisir (Thompson, 1994). Sebaliknya, ketika individu tidak mampu
mengelola emosinya dengan baik maka ia cenderung memiliki perilaku yang
tidak terorganisir yang akan mengarah ke perilaku negatif, pada remaja
kebanyakan ditunjukkan dengan kenakalan remaja salah satunya yaitu
perilaku bullying (Kartono, 1992).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
regulasi emosi yang baik akan menurunkan kecenderungan perilaku bullying,
sebaliknya kemampuan regulasi emosi yang buruk akan menaikkan
kecenderungan perilaku bullying.
3. Hubungan antara Self-esteem dengan Perilaku Bullying
Self-esteem dipahami memiliki dimensi positif hingga negatif
berdasarkan evaluasi diri dari hasil opini atau pandangan orang lain dan
pengalaman pribadi individu. Individu dengan self-esteem positif memiliki
keterampilan sosial di lingkungannya yang baik (Baron dan Byrne, 2004).
Individu dengan self-esteem tinggi menghargai dirinya dengan baik,
memandang positif dirinya dan menyukai dirinya sendiri, ia memiliki ideal
self yang baik (Strauman, dalam Baron dan Byrne, 2004). Nezlek dan
Kuppens (2008) mengatakan bahwa self-esteem yang negatif berhubungan
dengan determinasi diri yang rendah, konsep diri yang kurang jelas dan
ketegangan dalam mencapai tujuan seseorang. Individu dengan self-esteem
rendah cenderung memiliki perilaku antisosial yang sudah pasti bertentangan
dengan norma di lingkungannya (Baron dan Byrne, 2004).
Cowie dan Jennifer (2008) mengemukakan bahwa individu yang
melakukan perilaku bullying biasanya memiliki self-esteem yang negatif
sehingga memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan kemarahan mereka
secara terbuka dilingkungannya. Individu dengan self-esteem negatif memiliki
kecenderungan tidak peduli akan pandangan orang lain terhadap dirinya,
sehingga perilakunya dalam masyarakat pun terkadang tidak konstruktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Perilaku Bullying
Regulasi Emosi
Self-esteem
Uraian di atas menunjukkan bahwa self-esteem yang positif akan
menurunkan kecenderungan perilaku bullying, sebaliknya self-esteem yang
negatif akan menaikkan kecenderungan perilaku bullying.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan dan teori yang telah dijabarkan, dapat
digambarkan kerangka pemikiran, sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Hubungan antara Regulasi Emosi dan Self-esteem dengan
Perilaku Bullying
F. Hipotesis
Berdasarkan dari beberapa teori yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis
yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dan self-esteem dengan perilaku
bullying.
2. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku bullying.
3. Terdapat hubungan antara self-esteem dengan perilaku bullying.