menyingkap kompetensi guru pendidikan jasmanikkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_ali...

32
Kualitas Guru Pendidikan Jasmani di Sekolah: Antara Harapan dan Kenyataan Ali Maksum * Tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa kehadiran pendidikan jasmani; dan tidak ada pendidikan jasmani berkualitas tanpa kehadiran guru yang berkualitas. Kualitas guru diyakini sebagai faktor penting dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kualitas guru pendidikan jasmani dilihat dari kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Selain itu juga mengungkap gambaran penggunaan waktu oleh guru, termasuk waktu yang dialokasikan untuk peningkatan profesionalisme mereka. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara terintegrasi. Subjek penelitiannya adalah guru-guru pendidikan jasmani tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas pada tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, dan Padang. Sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 36 guru, 12 guru untuk setiap kota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran; sayangnya masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi yang dimiliki; (2) kompetensi profesional pada saat pre-service maupun in-service masih sangat kurang; (3) kompetensi kepribadian dan sosial guru relatif tinggi, sayangnya, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi kepribadian dan sosialnya; (4) waktu untuk pengembangan profesionalisme masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari. Guru dengan masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan kebutuhan dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif. Berdasarkan temuan- temuan di atas, maka dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) Penyegaran kompetensi pedagogik, profesionalisme, kepribadian, dan sosial perlu dilakukan pada guru pendidikan jasmani, terutama mereka yang memiliki masa kerja cukup lama; (2) perlu peningkatan aksesabilitas bagi para guru pendidikan jasmani untuk meningkatkan kompetensinya; (3) LPTK sebagai penyedia layanan guru perlu memperbaiki diri, baik dari sisi kurikulum maupun sistem pengajaran. Kata Kunci: Kualitas Guru, Pendidikan Jasmani, dan Kompetensi * Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya. Alamat email: [email protected]

Upload: vominh

Post on 25-Jun-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Kualitas Guru Pendidikan Jasmani di Sekolah: Antara Harapan dan Kenyataan

Ali Maksum *

Tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa kehadiran pendidikan jasmani; dan tidak ada pendidikan jasmani berkualitas tanpa kehadiran guru yang berkualitas. Kualitas guru diyakini sebagai faktor penting dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kualitas guru pendidikan jasmani dilihat dari kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Selain itu juga mengungkap gambaran penggunaan waktu oleh guru, termasuk waktu yang dialokasikan untuk peningkatan profesionalisme mereka. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara terintegrasi. Subjek penelitiannya adalah guru-guru pendidikan jasmani tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas pada tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, dan Padang. Sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 36 guru, 12 guru untuk setiap kota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran; sayangnya masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi yang dimiliki; (2) kompetensi profesional pada saat pre-service maupun in-service masih sangat kurang; (3) kompetensi kepribadian dan sosial guru relatif tinggi, sayangnya, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi kepribadian dan sosialnya; (4) waktu untuk pengembangan profesionalisme masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari. Guru dengan masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan kebutuhan dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) Penyegaran kompetensi pedagogik, profesionalisme, kepribadian, dan sosial perlu dilakukan pada guru pendidikan jasmani, terutama mereka yang memiliki masa kerja cukup lama; (2) perlu peningkatan aksesabilitas bagi para guru pendidikan jasmani untuk meningkatkan kompetensinya; (3) LPTK sebagai penyedia layanan guru perlu memperbaiki diri, baik dari sisi kurikulum maupun sistem pengajaran. Kata Kunci: Kualitas Guru, Pendidikan Jasmani, dan Kompetensi

* Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya. Alamat email: [email protected]

1

Page 2: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

I. PENDAHULUAN

Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan

bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan

bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan

sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang

bermutu. Sementara itu, pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan

guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.

Tujuan utama diterapkannya program sertifikasi guru, termasuk terhadap guru

pendidikan jasmani, adalah meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan

semakin meningkat. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam

upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang

berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman, 2007; Rink,

2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik (Siedentop & Tannehill,

2000). Keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan

praktik pendidikan yang berkualitas. Sejumlah negara, misalnya Singapura, Korea

Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat, berusaha mengembangkan kebijakan yang

mendorong keberadaan guru yang berkualitas (www.pmptk.net). Salah satu kebijakan

yang dikembangkan adalah intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan

memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai dengan melaksanakan

sertifikasi guru.

Sebagaimana rencana pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional

(Depdiknas), program sertifikasi diberlakukan untuk semua guru, baik guru yang

berstatus pegawai negeri sipil maupun guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil

(swasta). Sampai saat ini, ada sekitar 2,3 juta guru di Indonesia (www.pmptk.net).

Terhadap jumlah guru tersebut, pemerintah melalui Depdiknas secara bertahap akan

melakukan sertifikasi guru, dimulai tahun 2007 sebanyak 190.450 guru, terdiri atas

20.000 guru SD dan SMP yang sudah didaftar pada tahun 2006 dan 170.450 guru SD,

SMP, SMA, SMK, dan SLB yang didaftar pada tahun 2007. Program tersebut diharapkan

rampung pada tahun 2015 (www.sertifikasiguru.org). Sasaran program sertifikasi guru ini

adalah semua guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik sebagaimana

2

Page 3: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor 19 tahun 2005

Pasal 28 ayat (2) yaitu minimal sarjana atau diploma empat (S1/D-IV) yang dibuktikan

dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan. Artinya, guru dengan kualifikasi

di bawah sarjana atau D4 tidak dapat disertifikasi.

Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan komitmen pemerintah, dalam hal ini

Depdiknas, untuk mengimplementasikan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005,

yakni mewujudkan guru yang berkualitas dan profesional. Pertanyaannya, sampai sejauh

mana program sertifikasi mampu menjadi instrumen untuk meningkatkan kompetensi

guru? Adakah jaminan bahwa ketika guru lolos sertifikasi dengan sendirinya adalah guru

yang berkualitas? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mengingat banyak

variabel yang mempengaruhinya, mulai dari sistem dan mekanisme sertifikasi, asesor,

hingga gurunya sendiri sebagai pihak yang akan dinilai. Portofolio sendiri sebagai model

penilaian acapkali membuka peluang terjadinya manipulasi dokumen.

Penelitian ini tidak akan menyoal ikhwal sertifikasi, tetapi berusaha mengungkap

kompetensi riil guru pendidikan jasmani di sekolah. Kompetensi yang dimaksud meliputi

kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Selain keempat kompetensi

tersebut, juga akan diungkap gambaran penggunaan waktu per hari. Dengan demikian

penelitian ini tidak hanya mengkaji secara mendalam kompetensi guru pendidikan

jasmani, melainkan juga menelusuri kebiasaan sehari-hari sebagai cerminan

profesionalisme.

Masalah Penelitian

Rendahnya kualitas guru hingga saat ini diyakini sebagai penyebab utama

rendahnya kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Fokus utama penelitian

ini adalah ingin mengungkap kompetensi guru pendidikan jasmani di lingkungan

persekolahan, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Permasalahan tersebut selanjutnya

dirinci sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kualitas guru pendidikan jasmani ditinjau dari kompetensi

pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial?

2. Bagaimanakah gambaran rutinitas penggunaan waktu oleh guru pendidikan

jasmani?

3

Page 4: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

3. Seberapa besar waktu yang dialokasikan untuk peningkatan profesionalisme

sebagai seorang guru pendidikan jasmani?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kompetensi guru

pendidikan jasmani di lingkungan persekolahan. Secara lebih terperinci tujuan yang ingin

dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengungkap kualitas guru pendidikan jasmani ditinjau dari perspektif

kompetensi pedagogik, profesional, keparibadian, dan sosial.

2. Mengungkap gambaran penggunaan waktu yang dilakukan oleh guru

pendidikan jasmani.

3. Mengungkap seberapa besar waktu yang dialokasikan untuk peningkatan

profesionalisme sebagai seorang guru pendidikan jasmani.

4. Menghasilkan rekomendasi pengembangan profesionalisme guru, baik pada

saat pre-service training maupun in-service training.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni penelitian yang dilakukan

untuk menggambarkan gejala, fenomena atau peristiwa tertentu. Pengumpulan data

dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait dengan fenomena, kondisi, atau variabel

tertentu dan tidak dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis. Ary, Jacobs, dan

Razavieh, (1990: 381) menyatakan :” ... descriptive research is not generally directed

toward hypotesis testing. The aim to describe “what exists” with respect to variables or

conditions in situation”.

Penelitian ini dilakukan pada tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta,

Surabaya, dan Padang. Subjek penelitiannya adalah guru-guru pendidikan jasmani tingkat

Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

(SMA). Sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 36 guru, 12 guru untuk

setiap kota. Kriteria yang dijadikan dasar untuk menentukan responden adalah: (1) guru

pendidikan jasmani, (2) memiliki masa kerja di bawah lima tahun dan atau di atas

sepuluh tahun, dan (3) berdomisili di salah satu kota di atas.

4

Page 5: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Ada empat jenis instrumen yang dipakai dalam penelitian ini, yakni instrumen

pedagogik, instrumen profesional, instrumen kepribadian dan sosial, dan lembar

observasi harian.

1. Instrumen Pedagogik. Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah

kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi ini

diukur dengan proporsi alokasi waktu belajar gerak (active time allotment) dan

proporsi jumlah siswa dalam aktivitas belajar gerak (student’s direct

engagement). Proporsi alokasi waktu belajar gerak adalah alokasi waktu yang

disediakan guru bagi siswa untuk melakukan aktivitas gerak. Sedangkan proporsi

jumlah siswa dalam aktivitas belajar gerak adalah jumlah siswa yang terlibat

langsung dalam aktivitas belajar gerak per jumlah siswa.

2. Instrumen Profesional. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah

kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Kompetensi ini diukur dengan menggunakan angket yang berisi tentang: (1) profil

kegiatan guru yang meliputi beban mengajar, beban ekstrakurikuler, organisasi

keolahragaan, pelatihan, dan riwayat pendidikan; (2) komponen profesional yang

meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada saat pre-service training dan

in-service training; dan orientasi nilai yang diyakini guru dalam mengembangkan

PBM pendidikan jasmani.

3. Instrumen Kepribadian dan Sosial. Yang dimaksud dengan kompetensi

kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,

dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Sementara itu yang dimaksud

dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan

berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,

orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kedua kompetensi tersebut

diukur dengan menggunakan Inventori Kepribadian dan Sosial.

4. Lembar Observasi Harian. Lembar Observasi Harian (LOH) digunakan untuk

mengungkap aktivitas harian responden selama 24 jam dalam kurun waktu satu

minggu. Secara teoretis, waktu dibagi kedalam tiga kategori, yaitu existence time,

subsistence time, dan free time (Jansen, 1995). Existence time terkait dengan

pengunaan waktu untuk kelangsungan hidup seperti makan, tidur, dan perawatan

5

Page 6: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

diri; biasanya sekitar 10 jam. Subsistence time terkait dengan penggunaan waktu

untuk kepentingan yang bersifat produktif seperti bekerja; biasanya sekitar 9 jam.

Sementara itu free time berkaitan dengan penggunaan waktu senggang; biasanya

sekitar 5 jam. LOH dikembangkan berdasarkan konsep waktu sebagaimana

dikemukakan oleh Jansen.

Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden.

Secara garis besar prosedur penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Tahap persiapan

(1) Memberikan pembekalan kepada dua belas mahasiswa Fakultas Ilmu

Keolahragaan tingkat akhir sebagai petugas pengumpul data. Setiap

mahasiswa mengumpulkan data untuk satu responden.

(2) Materi pembekalan terkait dengan tujuan penelitian, karakteristik

responden, instrumen penelitian, dan prosedur pengumpulan data.

(3) Poin 1 dan 2 tersebut di atas dilakukan di tiga kota, masing-masing

Jakarta, Surabaya, dan Padang.

b. Tahap pelaksanaan

(1) Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada

kesepakatan yang dicapai antara petugas pengumpul data dengan

responden.

(2) Instrumen Profesional diberikan kepada responden untuk diisi (self

assessment); Instrumen Pedagogik diisi oleh pengumpul data (observer)

dengan cara mengamati salah satu praktek pembelajaran guru; Instrumen

Kepribadian dan Sosial diisi oleh orang-orang yang pernah berhubungan

dengan responden, dalam hal ini adalah sesama guru, siswa, dan tetangga;

dan LOH diisi oleh observer dengan konfirmasi kepada responden yang

sedang di amati. Khusus LOH dilakukan selama 7 x 24 jam.

(3) Instrumen yang telah diisi dikumpulkan oleh koordinator pengumpulan

data masing-masing kota untuk kemudian dilakukan verifikasi.

(4) Instrumen yang telah dinyatakan lengkap selanjutnya siap diolah sesuai

dengan kepentingan penelitian.

6

Page 7: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif

dianalisis melalui proses pengkodean (coding) dengan menggunakan pola pikir induktif

untuk menemukan faktor-faktor atau tema-tema baru di lapangan. Data yang diolah

secara kualitatif berasal dari Instrumen Profesional dan sebagian dari Lembar Observasi

Harian. Untuk menjaga kredibilitas penelitian, peneliti menggunakan langkah-langkah

seperti triangulation, peer debriefing, dan intellectual sharing. Sementara itu, data

kuantitatif diperoleh dari Instrumen Pedagogik, Instrumen Kepribadian dan Sosial, dan

sebagian dari Lembar Observasi Harian. Data-data tersebut diolah dengan stastistik

deskriptif berupa persentase.

II. KAJIAN TEORETIS

Pendidikan Jasmani

Pendidikan Jasmani, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan istilah

lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, merupakan salah satu mata

pelajaran yang disajikan di sekolah, mulai dari SD sampai dengan SMA. Pendidikan

Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk

mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir

kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup

sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang

direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (CDC, 2000;

Disman, 1990; Pate dan Trost, 1998).

Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan

kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga

yang sekaligus juga merupakan kontributor penting bagi kesejahteraan dan kesehatan

siswa (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and Laraine, 1994; Stran and Ruder

1996; CDC, 2000). Untuk itu tidak mengherankan, peningkatan kualitas dan efektivitas

proses belajar mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani selalu menjadi fokus perhatian

semua pihak yang peduli terhadap pendidikan.

7

Page 8: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Kompetensi Guru

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan

bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.

Harapan tersebut tentu saja ujungnya adalah terwujudnya guru yang profesional yang

mampu menjalankan profesinya sesuai dengan berbagai tuntutan tempat melaksanakan

tugasnya. Dengan kata lain usaha sertifikasi ini pada dasarnya adalah meningkatnya

efektivitas pembelajaran yang dilakukan para guru pada tingkat satuan pendidikan atau

sekolah.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007

tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, uji kompetensi guru dilakukan melalui

penilaian portofolio. Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan

pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai

guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman,

karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen

pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Komponen

portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3)

pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari

atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8)

keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan

sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah

untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen

pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi

akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan

pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara

lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional

dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan,

pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi

akademik.

8

Page 9: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan dan/atau

membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui

karya-karya utama dan pendukung; (2) informasi/data dalam memberikan pertimbangan

tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah

ditetapkan; (3) dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi

(layak mendapatkan sertifikat pendidikan atau belum); dan (4) dasar memberikan

rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai

representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.

Sebagaimana di sebutkan di atas, salah satu indikator profesionalisme guru antara

lain adalah guru tersebut mampu melaksanakan proses pembelajaran secara efektif.

Efektivitas pembelajaran pada dasarnya merupakan cerminan dari efektivitas pengelolaan

proses pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya. Targetnya adalah siswa belajar.

Sementara itu, pengelolaan proses pembelajaran itu sendiri pada dasarnya merupakan

proses interaksi pedagogis antara guru, siswa, materi, dan lingkungannya. Makin efektif

proses interaksi pedagogis dilakukan guru, maka makin efektiflah proses pembelajaran

yang dilakukan guru tersebut. Secara garis besar pengelolaan proses pembelajaran ini

dapat dibagi ke dalam tiga katagori yaitu pengelolaan rutinitas, pengelolaan inti proses

belajar, serta pengelolaan lingkungan dan materi pembelajaran.

Rutinitas adalah aktivitas yang cenderung diulang-ulang pada setiap kali mengajar

dan apabila tidak dikelola dengan baik sangat potensial mengganggu kelancaran bahkan

menghambat jalannya proses pembelajaran. Pada awal pembelajaran aktivitas rutin

diarahkan agar siswa siap untuk mengikuti proses pembelajaran inti, beberapa kegiatan

tersebut, misalnya: cek kehadiran, berdo’a, pemanasan, dan penyampaian tujuan

pembelajaran. Pada akhir pembelajaran, aktivitas rutin seringkali dilakukan dalam bentuk

misalnya: reviu, penenangan, dan berdoa.

Pengelolaan inti proses belajar dilakukan setelah siswa siap belajar. Proses

pengelolaan inti belajar harus dilakukan secara baik. Pengelolaan inti proses belajar

merupakan pengelolaan terhadap seperangkat kejadian yang berlangsung secara

sistematis dan terus menerus, dimulai dari penyajian tugas gerak, siswa meresponnya,

guru mengobservasi dan mengevaluasi respon siswa, dan mendesain ulang tugas gerak

berdasarkan respon siswa. Proses seperti ini menurut Kemis (1982) di sebut juga sebagai

9

Page 10: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Action Research. Kegiatan ini berlangsung seperti spiral, dilakukan secara berulang-

ulang hingga mendapatkan aktivitas belajar yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa.

Ring (1993) menggambarkan pengelolaan inti proses belajar yang diberi nama Movement

Task-Student Response to Task sebagai berikut.

Presentation of task Organizational arrangements for task

Movement task Student response to task

Teacher observation of response Teacher redesign of task

Gambar 2.1

Pengelolaan Inti Proses Belajar Pendidikan Jasmani menurut Ring (1993)

Tugas gerak (movement task) merupakan aktivitas belajar gerak yang terkait

dengan materi dan dirancang oleh guru baik secara eksplisit maupun implisit untuk

belajar siswa. Tugas gerak dirancang guru untuk meraih tujuan pembelajaran. Untuk itu

tugas gerak pada umumnya bersifat progressive, dari mulai yang mudah hingga yang

sulit, dari mulai yang sederhana hingga yang kompleks. Tugas gerak dapat

dikomunikasikan langsung oleh gurunya maupun tidak langsung misal melalui lembaran

kerja siswa. Untuk mengetahui tugas gerak yang diberikan guru terhadap siswa dalam

proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, seorang observer harus mampu

mengidentifikasi ”apa yang ditugaskan guru agar dilakukan siswanya”.

Respon siswa (student response) berlangsung setelah guru menyampaikan tugas

gerak dan siswa melakukan tugas gerak tersebut. Tanggung jawab guru pada saat siswa

melakukan tugas gerak ini adalah mengobservasi dan memberikan feedback terhadap

penampilan siswa baik secara individual maupun kelompok, misalnya apakah siswa

berlatih di tempat yang aman, apakah siswa melakukan tugas gerak sesuai perintah

10

Page 11: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

gurunya, apakah melakukannya dengan benar, dst. Selanjutnya guru memberikan respon

terhadap respon siswa tersebut untuk menentukan apa yang harus dilakukan guru

selanjutnya.

Respon guru (reacher response) terhadap respon siswa akan beraneka ragam

bergantung pada hasil observasi dan penilaian guru terhadap respon siswa, beberapa

diantaranya mungkin saja dalam bentuk memperjelas atau mengulang kembali tugas

gerak, mengatasi masalah keamanan tempat berlatih, memotivasi siswa berlatih, atau

memelihara dan meningkatkan proses belajar siswa. Respon guru lainnya mungkin saja

dalam bentuk pemberian aktivitas yang tidak berhubungan sama sekali dengan tugas

gerak sebelumnya. Namun demikian, respon guru yang paling sering adalah berupa

pemberian informasi tambahan dan tambahan tugas gerak yang terfokus pada membantu

siswa meningkatkan penampilan tugas gerak yang sedang dipelajari siswa,

mengembangkan tingkat kesulitan dan kompleksitas tugas gerak, atau memberikan

kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian sendiri atau simulasi kompetisi.

Apabila tugas gerak yang diberikan guru merupakan fokus yang baru, maka siklus

pengelolaan inti proses pembelajaran (Movement Task-Student Response to Task),

dimulai lagi.

Planning

Reflecting Implementing

Improving

Reflecting

Improving

Implementing Revised

Planning

Revised

Planning

Gambar 2.2

Reflective Teaching dari Tinning (1992)

11

Page 12: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Tinning (1992), mengemukakan proses tersebut dengan istilah Reflective

Teaching. Walaupun beberapa komponen yang dilibatkan dalam Reflective Teaching

menggunakan istilah yang berbeda namun tahapan, tujuan dan makna dari masing-

masing kegiatannya relative sama. Secara sederhana proses pengelolaan pembelajaran

Reflective Teaching dimaksud dapat dilihat pada gambar 2.2. Sementara itu, Siedentop

(1991) menggambarkan pengelolaan inti proses belajar yang diberi nama A Contingency-

Developed Task sebagai berikut

Teacher state task Student responds (congruent or modified)

Teacher Supervises Teacher responds to student task-efforts

Actual task develops

Gambar 2.3 Pengelolaan Inti Proses Belajar Pendidikan Jasmani dari Siedentop (1991)

Berdasarkan beberapa tinjauan teoretis tersebut dapatlah dikatakan bahwa

walaupun istilah yang digunakan tentang pengelolaan inti proses pembelajaran berbeda-

beda namun pada umumnya memiliki tahapan, makna, dan tujuan yang relative sama

yaitu mendapatkan tugas ajar yang paling baik dan efektif melalui proses yang berulang-

ulang, progresif dan berkembang secara berkelanjutan.

Pengelolaan lingkungan belajar adalah kegiatan guru yang berhubungan dengan

pengaturan siswa, alat, ruang, dan waktu dimana proses belajar berlangsung. Termasuk

dalam kegiatan ini adalah mengendalikan kedisiplinan siswa pada saat proses

pembelajaran berlangsung. Sedangkan pengelolaan materi pembelajaran adalah kegiatan

guru yang berhubungan dengan bagaimana menjabarkan materi kurikulum, tugas gerak

12

Page 13: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

dilakukan siswa, membantu siswa menguasai tugas gerak, dan memodifikasi serta

mengembangkan tugas gerak. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini.

Tabel. 2.1

Garis Besar Lingkup Pengelolaan Lingkungan dan Materi Pembelajaran Pendidikan Jasmani dari Siedentop (1991)

Pengelolaan Lingkungan Pengelolaan Materi

Pengaturan siswa, alat, ruang, dan waktu

Pengendalikan kedisiplinan siswa

bagaimana menjabarkan materi dokumen kurikulum

bagaimana tugas gerak dilakukan,

bagaimana membantu siswa menguasai tugas gerak,

bagaimana memodifikasi serta mengembangkan tugas gerak

Peran Guru dalam Pembelajaran

Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani sebagaimana

diuraikan di atas secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu memerankan fungsi

mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru

dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada

tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus

pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi

utama guru pada saat melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions

occupy most of the attention of physical educators as they teach: managing students,

directing and instructing students, and monitoring/supervising students”

Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang

ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar, mengarahkan

formasi atau peralatan, memelihara rutinitas baik yang bersifat akademis maupun non

akademais termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing and instructing students

meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok, dan kegiatan penutup. Monitoring

merujuk pada perilaku observasi guru terhadap siswa secara pasif, sedangkan supervising

13

Page 14: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

merujuk pada perilaku guru yang ditujukan untuk memlihara siswa tetap aktif belajar

seperti mengarahkan, mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial

(behavioral interactions) maupun penampilan belajar siswa (skill interactions).

Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar

mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut, “identifying

outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the learning

environment, monitoring the learning environment, developing the content, and

evaluating”.

Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun

keduanya sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembelajaran Pendidikan Jasmani.

Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu pada

saat menjalankan siklus Movement Task-Student Response to Task hingga fungsi lainnya

seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan pendapat yang kedua

lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan (identifikasi hasil belajar dan

perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal

mengingat siklus Movement Task-Student Response to Task merupakan bagian kritis dari

proses pembelajaran sehingga fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar

(teaching skills) yang pokok seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.

Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat

memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif.

Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih

untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui (what they

know), apa yang diyakini (what they believe), minat (interest), keterampilan (skills), dan

kepribadian (personality) gurunya itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Ring (1993)

mengenai fungsi mengajar yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang

ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terpokus pada “perilaku”

mengajarnya itu sendiri.

Walaupun para guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan

berbagai teknik dan keterampilan mengajar, kriteria dan prinsip efektivitas pembelajaran

yang sifatnya umum masih tetap bisa dibuat, misalnya: penyampaian tugas gerak yang

baik membuahkan siswa memahami cara melakukannya demikian juga tujuannya. Hal ini

14

Page 15: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

perlu diketahui oleh setiap guru sebagai alat untuk mengevaluasi efektivitas proses

pembelajaran yang dilakukannya. Demikian juga berbagai teknik dan keterampilan

mengajar perlu diketahui dan dimiliki para guru agar dapat diterapkan dan disesuaikan

dengan konteks tempat mereka mengajar Pendidikan Jasmani.

Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Jasmani

Gambaran umum tentang efektivitas mengajar ditandai oleh gurunya yang selalu

aktif dan siswanya secara konsisten aktif belajar. Dalam lingkungan pembelajaran yang

efektif, siswa tidak bekerja sendiri melainkan selalu diawasi oleh gurunya dan mereka

tidak banyak waktu yang terbuang begitu saja: siswa jarang pasif. Jalannya aktivitas

belajar begitu aktif, sibuk, dan menantang bagi siswa akan tetapi tetap masih berada

diantara tingkat perkembangan dan kemampuan siswanya. Yang pada akhirnya siswa

dapat menerima pesan atau instruksi dari gurunya dengan baik dan dapat melakukan

latihan secara independen mempelajari sesuatu sesuai dengan tujuan pembelajarannya.

Berikut ini merupakan beberapa gambaran ringkas dari temuan-temuan melalui

penelitian-penelitian tentang efektivitas mengajar Pendidikan Jasmani (Smith, 1983;

Brophy &Good,1986; Rosenshill & Stevens, 1986; Evertson, 1989) sebagai berikut:

a. Waktu, kesempatan belajar, dan materi yang diberikan. Guru selalu memfokuskan

pembelajaran agar siswa mempelajari bahan pelajaran yang menjadi tujuan

belajarnya. Selanjutnya guru tersebut juga mengalokasikan waktu sebanyak-

banyaknya untuk pencapaian tujuan pembelajaran dan memberi kesempatan yang

sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sementara

penggunaan waktu untuk aspek-aspek lain selain untuk tujuan akademis selalu

dibatasi.

b. Harapan dan aturan. Guru mengkomunikasikan harapan kepada siswa yang secara

jelas dapat diobservasi. Harapan guru tersebut sangat realistik dan sangat

mendukung kelancaran PBM yang akan dilakukannya. Selain itu, peranan guru dan

siswa dirumuskan dengan teliti, dikomunikasikan, dan dilatihkan kepada siswa

c. Pengelolaan kelas dan keterlibatan siswa (student engagement). Guru nampak

seperti seorang manajer yang baik, guru menetapkan kegiatan rutin pada setiap awal

tahun ajaran dan mengelolanya dalam pelaksanaan PBM dengan struktur organisasi

15

Page 16: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

yang ditata rapih, aturan ditetapkan dan diterapkan melalui strategi pemberian

motivasi yang positif kepada siswa, pengelolaan kelas ditujukan untuk

mengoptimalkan keterlibatan siswa dalam aktivitas-aktiviats akademis. Selama

PBM berlangsung, perilaku guru yang bersifat negatif hampir tidak pernah muncul.

d. Tugas belajar yang “meaningful” dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Aktivitas

belajar yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan cukup

memberi tantangan kepada siswa akan tetapi memberi kemungkinan terhadap

tingkat keberhasilan belajar yang cukup tinggi, sehingga aktivitas belajar sangat

berarti bagi siswa.

e. Kelancaran dan momentum. Guru menciptakan dan memelihara jalannya PBM serta

berusaha menghindari kejadian-kejadian yang dapat mengganggu jalannya PBM.

Aktivitas belajar disusun secara bertahap melalui tahapan dan pembagian yang

runtun dan spesifik untuk menjamin keberhasilan.

f. Mengajar secara aktif. Guru cenderung menyampaikan isi pelajaran kepada siswa

tanpa harus tergantung pada media pelajaran yang tercantum pada kurikulum.

Demonstrasi dilakukan secara singkat dan diikuti oleh latihan terbimbing secara

berulang-ulang serta diselingi pengecekan terhadap pemahaman siswa mengenai

latihan yang dilakukannya

g. Pengawasan yang aktif. Pada saat latihan terbimbing, tampak dengan jelas bahwa

siswa mengerti dan tidak banyak melakukan kesalahan, selanjutnya siswa diberi

kesempatan untuk berlatih secara independen. Latihan independen tersebut diawasi

oleh guru secara aktif. Demikian juga guru memantau kemajuan belajar siswa,

memelihara agar siswa tetap berlatih, dan memberi bantuan kepada siswa apabila

diperlukan

h. Tanggung jawab. Guru memberi tanggung jawab kepada siswa mengenai tugas yang

harus diselesaikannya. Macam-macam strategi, yang biasanya berorientasi positif,

digunakan untuk mendapatkan rasa tanggung jawab siswa

i. Kejelasan, antusiasme, dan kehangatan. Guru selalu jelas dalam memberi uraian,

guru selalu antusias terhadap isi pelajaran juga terhadap siswanya, guru selalu

mengembangkan dan memelihara kehangatan lingkungan belajar sehingga siswa

mempunyai sikap yang positif

16

Page 17: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Perlu kiranya digaris bawahi bahwa banyak guru Pendidikan Jasmani sekarang ini

melakukan sesuatu yang termasuk dalam satu atau beberapa kategori tersebut di atas.

Namun untuk mengetahui seberapa jauh lingkungan pembelajaran Pendidikan Jasmani

sekarang ini mendekati kategori-kategori tersebut di atas, tentu saja perlu

membandingkannya dengan cara-cara yang bisa dipertanggung jawabkan.

Berdasarkan uaraian mengenai proses pembelajaran di atas, maka akan terdapat

tiga variabel pembelajaran yang secara sinergi bekerja merefleksikan efektivitas

pembelajaran. Ketiga variabel tersebut adalah variabel proses guru, variabel proses siswa,

dan variabel hasil belajar. Keterkaitan dari ketiga variabel tersebut digambarkan oleh

Siedentop (1991), sebagaimana tertera dalam gambar 2.4 berikut ini.

Variabel Proses Guru (Penampilan Guru)

Variabel Proses Siswa (Perilaku Siswa)

• Pengelolaan Rutinitas • Pengelolaan Proses Pembelajaran • Pengelolaan Lingkungan dan Materi

Pembelajaran

• Waktu transisi • Perilaku menyimpang • Waktu Aktif Belajar • Kesempatan • Menerima Informasi

Short Term • Skill • Fitness • Sikap • Pengetahuan • Raihan Tujuan Belajar • Raihan tingkat

kriteria

Long Term • Fitness • Participasi

berkelanjuta• Kelayakan

kemampuan gerak dan olahraga

Umpan Balik Proses Umpan Balik Hasil

Variabel Hasil Belajar

Gambar 2.4 Keterkaitan antar Variabel Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Jasmani

dari Siedentop (1991)

Gambar di atas menunjukkan keterkaitan antara variabel proses pada guru dan

siswa yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel hasil belajar siswa. Ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan dari gambar tersebut yang pertama adalah garis feedback dan

garis yang menghubungkan variabel proses guru dan proses siswa yang dua arah.

Garis umpan balik yang pertama (umpan balik proses) maksudnya adalah guru

menggunakan informasi variabel proses siswa untuk merubah perilaku dan strategi

17

Page 18: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

mengajarnya. Sebagai contoh misalnya sebuah penilaian terhadap salah satu variabel

proses siswa menunjukkan bahwa keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar sangat

kurang, maka selanjutnya informasi tersebut menyebabkan guru merubah gaya

mengajarnya agar keterlibatan siswa dalam belajar lebih meningkat.

Garis umpan balik yang kedua (umpan balik hasil) maksudnya adalah guru

menggunakan informasi variabel hasil belajar untuk merubah strategi mengajar yang

digunakan oleh gurunya. Misalnya salah satu hasil tes variabel hasil belajar menunjukkan

bahwa kekuatan tubuh bagian atas siswa sangat kurang, maka selanjutnya informasi

tersebut menyebabkan guru merubah strategi mengajarnya dengan cara memfokuskan

banyak waktu mengajarnya terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat memberi sumbangan

terhadap peningkatan kekuatan anggota tubuh bagian atas untuk mengatasi masalah

rendahnya kekuatan tubuh bagian atas pada siswa.

Garis dua arah yang menghubungkan variabel proses guru dan variabel proses

siswa maksudnya adalah untuk mengingatkan kembali bahwa kedua variabel tersebut

saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam beberapa kasus mungkin kita sulit

mengatakannya: apakah dalam proses belajar mengajar, guru yang mempengaruhi siswa

atau siswa yang mempengaruhi guru. Kecuali jika guru memahami apa yang disebut

“dual-directional influences” yaitu proses siswa dipengaruhi proses guru demikian juga

proses guru dipengaruhi proses siswa, maka kesalah pahaman mungkin terjadi di dalam

menginterpretasikan kejadian-kejadian dalam proses belajar mengajar.

Sebagai contoh manakala guru mendengar bahwa “antusias” akan mempengaruhi

keberhasilan proses belajar mengajar, maka guru seringkali hanya mengharapkan siswa

agar belajar dengan penuh semangat (one-directional influence). Mungkin kita setuju

bahwa semangat guru dalam mengajar akan mempengaruhi semangat siswanya dalam

belajar, demikian juga sebaliknya, semangat siswa dalam belajar akan mempengaruhi

juga semangat guru dalam mengajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi efektivitas

proses belajar mengajar yang sangat penting bagi tercapainya keberhasilan variabel hasil

belajar siswa.

Gambar tersebut di atas mempunyai asumsi bahwa guru dan siswa berinteraksi

satu sama lain untuk mempengaruhi apa yang dilakukan siswa pada waktu proses belajar

mengajar. Kalau kita analisa lebih jauh, kenyataannya adalah bahwa apa yang sebenarnya

18

Page 19: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

dilakukan siswa di dalam proses belajar mengajar itulah yang akan mempengaruhi

keberhasilan belajar siswa baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan

kata lain, guru tidak mempengaruhi secara langsung fitness, skill, dan self-concepsts

siswa. Apa yang dapat dilakukan guru dalam kelas pada dasarnya adalah mempengaruhi

apa yang dilakukan siswa di dalam kelas dan karakteristik-karakteristik apa yang

dilakukan guru itulah yang pada akhirnya akan mempengaruhi fitness, skill, dan self-

concepts siswa.

Relevansi penilaian portofolio sebagai parameter profesionalisme guru,

khususnya guru pendidikan jasmani, secara teoretis masih memungkinkan untuk dapat

diterima walaupun keterkaitannya tidak secara linear. Namun demikian bukti empiris

dalam bentuk hasil penelitian masih tetap diperlukan dan bahkan kehadirannya sangat

urgen. Bukti empiris tersebut sampai saat ini belum ada, oleh karena itu, penelitian

mengenai standar minimal kompetensi guru pendidikan jasmani ini diharapkan dapat

memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan penilaian portofolio sebagai

parameter profesionalisme guru pendidikan jasmani seperti sudah ditetapkan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kualitas Guru Pendidikan Jasmani

a. Kompetensi Pedagogik

Dalam penelitian ini kompetensi pedagogik diungkap berdasarkan efektivitas

pembelajaran penjas yang dilakukan guru. Kriteria efektivitas yang digunakan adalah

proporsi jumlah waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam belajar

gerak. Selanjutnya, efektivitas proses pembelajaran penjas tersebut dibedakan

berdasarkan masa kerja gurunya, hasilnya sebagaimana terlihat pada gambar 3.1 berikut

ini.

19

Page 20: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

42.9 42.6

51.7 50.8

0

10

20

30

40

50

60

waktu aktif belajar jml siswa aktif

Masa Kerja <5 thnMasa Kerja >10 thn

Gambar 3.1: Waktu Aktif Belajar dan Jumlah Siswa Aktif (%) dalam pembelajaran

Pendidikan Jasmani

Secara umum, dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa rerata proporsi waktu

aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40% merupakan indikator yang

termasuk dalam katagori baik. Oleh karena itu berdasarkan instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini, cukup jelas bahwa kompetensi pedagogis guru pendidikan jasmani

termasuk kategori bagus. Namun demikian apabila dianalisis berdasarkan masa kerja

terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin menurun kompetensi

pedagogisnya. Hasil penelitian ini seiring dengan penelitian yang dilakukan oleh

Suherman (2007) yang pada dasarnya menyatakan masa kerja berbanding terbalik dengan

kesungguhan guru dalam menjalankan tugas pedagogisnya.

Kondisi yang demikian sudah barang tentu merupakan suatu ironi. Lazimnya,

masa kerja berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki. Ada kemungkinan hal ini

terjadi karena kurang efektifnya mekanisme evaluasi dan supervisi pelaksanaan

pembelajaran. Longgarnya sistem tersebut seolah memberikan peluang bagi guru untuk

melakukan tugas tisak sebagaimana yang dituntut.

b. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru dalam penguasaan

materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini diukur dengan menggunakan

20

Page 21: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

angket yang berisi tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh pada

saat pre-service training dan in-service training. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kompetensi profesional pada saat pre-service, yakni ketika mereka ada di perguruan

tinggi dirasa masih sangat kurang, yakni sebesar 52,78% dan hanya 5,56% yang

menyatakan memadai. Kondisi tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Jika

pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan sebagai bekal menjalankan profesi

guru masih jauh dari apa yang diharapkan, bisa dibayangkan bagaimana mereka dapat

menjalankan tugas secara profesional. Sudah barang tentu, hal ini menjadi catatan

penting bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene

mencetak calon-calon guru.

52.78

41.67

5.56 5.56

0

10

20

30

40

50

60

sangat kurang cukup memadai Tidak Tahu

Gambar 3.2: Materi Perkuliahan yang diterima Guru pada saat Pre Service Training

Minimnya pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training tampaknya juga

berpengaruh pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11%

menyatakan bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara

profesional. Mereka yang menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78%

yang menyatakan sangat layak.

21

Page 22: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

36.11

55.56

2.785.56

0

10

20

30

40

50

60

Tidak Layak Cukup Layak Sangat Layak Tidak Tahu

Gambar 3.3: Keyakinan Guru dalam Melaksanakan Tugas Mengajar

Ketika mereka ditanya bekal apa saja yang dirasa kurang? Sebesar 22,73%

menyatakan kekurangan dalam bidang keilmuan; 27,27% merasa kurang dalam hal

teaching skill; dan 25% menyatakan kekurangan dalam hal substansi cabang olahraga.

22.73

27.2725

15.91

9.09

0

5

10

15

20

25

30

Keilmuan teaching skill cabor lainnya tidak tahu

Gambar 3.4: Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat di Perguruan Tinggi

22

Page 23: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Logikanya, ketika bekal matakuliah dari perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang,

mestinya para guru diberi kesempatan seluas-luasnya untuk akses terhadap upaya

peningkatan kompetensi profesionalnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Justru dari data

yang diperoleh menunjukkan bahwa 83,33% mereka menyatakan sangat kurang

mendapatkan akses. Sebanyak 13,89% menyatakan cukup dan 0% menyatakan memadai.

Ironi memang! Tetapi itulah realitas yang terjadi.

83.33

13.89

00

102030405060708090

sangat kurang cukup memadai

Gambar 3.5: Aksesabilitas guru Pendidikan Jasmani terhadap pelatihan

c. Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian merujuk pada kemampuan kepribadian yang mantap,

berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang menyedihkan

adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi kepribadian. Semakin lama

masa kerja, semakin menurun kompetensi kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua

aspek, mulai dari kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi.

23

Page 24: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

0

1

2

3

4

Kejujuran Disiplin Terbuka Etos kerja Inovasi

Masa kerja <5 thn Masa kerja >10 thn

Gambar 3.6: Perbedaan kompetensi kepribadian antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 thn

Tampaknya, hasil ini linier dengan kompetensi pedagogis sebagaimana

dikemukakan di atas. Hal ini semakin meneguhkan bahwa mereka, dalam hal ini guru

pendidikan jasmani, kurang mendapatkan pembinaan yang memadai. Perlu diberi catatan

di sini bahwa guru pendidikan jasmani merupakan komunitas dengan ciri khusus.

Komunitas tersebut memiliki solidaritas yang tinggi, ikatan moral yang longgar, dan

pragmatis. Solidaritas tanpa diikuti bimbingan moral memiliki kecenderungan untuk

melahirkan tindakan-tindakan yang dari perspektif kepribadian kurang terpuji. Misalnya

karena alasan pertemanan rela melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan

kejujuran, kedisiplinan, dan keterbukaan. Demikian juga dengan semangat pragmatisme

yang mengedepankan prinsip ”pokoknya jalan” pada gilirannya cenderung melahirkan

tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap etos kerja dan inovasi.

d. Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi

secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik,

dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi sosial? Sebagaimana yang terjadi

pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada kompetensi sosial. Penjelasan yang

24

Page 25: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

diberikan pada kompetensi kepribadian dapat juga diterapkan pada konteks kompetensi

kepribadian.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

Keteladanan Ketaatan Komunikasi Kerjasama TanggungJawab

Masa kerja <5 thnMasa kerja >10 thn

Gambar 3.7: Perbedaan kompetensi sosial antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 tahun

2. Gambaran Penggunaan Waktu oleh Guru Pendidikan Jasmani

Persoalan lain terkait dengan kondisi kualitas guru pendidikan jasmani adalah bagaimana

mereka menggunakan waktu. Penggunaan waktu merupakan cerminan bagaimana

seseorang mengisi hidupnya dengan aktivitas-aktivitas yang berdampak bagi dirinya.

8.7 8.3

11.512.6

3.8 3

02468

101214

Kebutuhandasar

Produktif Rekreatif

Masa kerja <5 thnMasa kerja >10 thn

Gambar 3.8: Perbedaan penggunaan waktu antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 tahun

25

Page 26: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Menurut Jansen (1995), secara garis besar penggunaan waktu dibagi ke dalam tiga

kategori besar, yakni waktu untuk kebutuhan dasar (existence time), waktu produktif

(subsistence time), dan waktu rekreatif (free time) yang masing-masing secara berturut-

turut alokasinya adalah 10 jam, 9 jam, dan 5 jam. Dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa penggunaan waktu guru pendidikan jasmani relatif optimal, apalagi terkait dengan

penggunaan waktu produktif. Bagaimana halnya dengan penggunaan waktu yang terkait

dengan peningkatan profesionalisme? Dari data lapangan ditemukan bahwa angkanya

sebesar 0,7 jam atau 42 menit per hari pada kelompok subjek masa kerja lima tahun ke

bawah. Sementara itu pada kelompok subjek masa kerja sepuluh tahun ke atas sebesar 0,4

jam atau 24 menit per hari.

0.7

0.4

0

0.1

0.2

0.3

0.40.5

0.6

0.7

waktu pengembangan profesi

Masa kerja <5 thnMasa kerja >10 thn

Gambar 3.9: Perbedaan penggunaan waktu antara masa kerja ≤5 tahun dan ≥10 tahun

Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana peningkatan pengetahuan yang

diperoleh. Yang jelas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi jika dalam waktu

tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Kondisi yang demikian tentu sangat

memprihatinkan, mengingat banyaknya waktu yang digunakan oleh seseorang untuk

mengerjakan sesuatu merupakan indikator penting bagaimana orang yang bersangkutan

berkomitmen kepada profesinya.

26

Page 27: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

IV. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas guru pendidikan jasmani masih

sangat memprihatinkan, terutama pada kompetensi profesional, kepribadian, dan

sosial. Secara lebih khusus dapat dikemukakan sebagai berikut.

a) Kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari

waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran.

b) Kompetensi profesional pada saat pre-service maupun in-service dirasa

masih sangat kurang.

c) Kompetensi kepribadian guru relatif tinggi. Kompetensi kepribadian guru

dipengaruhi oleh masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun

kompetensi kepribadiannya.

d) Kompetensi sosial guru relatif tinggi. Kompetensi sosial guru dipengaruhi

oleh masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi

sosialnya.

2. Gambaran penggunaan waktu dalam sehari, sebanyak 8,5 jam untuk kebutuhan

dasar; 12,05 jam untuk kegiatan produktif; dan 3,45 jam untuk kegiatan rekreatif.

3. Pemanfaatan waktu untuk pengembangan profesionalisme guru pendidikan

jasmani masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari. Guru dengan

masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan kebutuhan

dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung memanfaatkan

waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif.

Saran

1. Perlu dilakukan penyegaran kompetensi pedagogik, terutama kepada mereka yang

memiliki masa kerja cukup lama. Langkah ini dapat dilakukan oleh Depdiknas,

misalnya melalui PMPTK yang memiliki kewenangan meningkatkan kompetensi

guru dalam jabatan (in-service training).

27

Page 28: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

2. LPTK sebagai penyedia layanan guru perlu memperbaiki diri, baik dari sisi

kurikulum maupun sistem pengajaran. Langkah ini difokuskan terutama pada

kelompok matakuliah substansi keilmuan dan teaching learning process.

3. Perlu adanya peningkatan aksesabilitas bagi para guru yang sudah mengajar untuk

meningkatkan kompetensi profesionalnya. Akses bisa diperluas melalui bentuk

pelatihan, seminar, lokakarya, sampai pada peningkatan tingkat kesarjanaan.

4. Perlu adanya penyegaran kompetensi kepribadian dan sosial, terutama bagi guru

yang memiliki masa kerja relatif lama. Hal ini juga dapat dilakukan oleh PMPTK

melalui program-program yang terencana dan sistematis.

5. Perlu adanya program peningkatan penyediaan sumber belajar bagi para guru

dalam rangka optimalisasi motivasi belajar. Kuat dugaan rendahnya waktu yang

digunakan oleh guru diantaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sumber-

sumber belajar yang tersedia seperti buku yang dapat diperoleh dengan mudah.

28

Page 29: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Daftar Pustaka

Aliance American for Health, Physical Education, Recreation, and Dance. (1999). Physical Education for Lifelong Fitness: The Physical Best Teacher’s Guide. AAHPERD. Champaign, IL: Human Kinetics.

Ary, D., Jacobs, L.C., dan Razavieh, A. (1990). Introduction to Research in Education. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Baranowski, T. et al. (1987). “Aerobic Physical Activity among Third-to Sixth-grade Children”. Journal of Developmental and Pediatrics. 8 (4).

Baumgartner, T. A. and Jackson, A.S. (1995). Measurement for Evaluation in Physical Education and Exercise Science. (5th Ed.). WMC Brown: Dubuque. Iowa.

Behets, D. (2001). Value Orientations of Physical Education Preservice and Inservice Teachers. Dalam Journal of Teaching in Physical Education [Online]. Vol 20 (2). Tersedia: http://www.jtpe/abstract. [21 Juni 2004]

Belka, D. E. (1994). Teaching Children Games: Becoming a Master Teacher. Champaign, IL: Human Kinetics.

Borg, W. R., dan Meredith, D.G. (1989). Educational Research: An Introduction. Fifth Edition. New York: Longman.

Bucher, C. A. dan Krotee, M. L. (1993). Management of Physical Education and Sport. Tenth Edition. Toronto: Mosby.

Buschner, C. A. (1994). Teaching Children Movement Concepts and Skills: Becoming a Master Teacher. Champaign, IL: Human Kinetics.

Centers for Disease Control and Prevention. (2000). Guidelines for School and Community Programs to Promote Lifelong Physical Activity among Young People. [Online]. Tersedia: http://www.cdc.gov. [12 Maret 2003]

Cooper, K. (1991). Kid Fitness. Bantam: New York.

Covaleskie, J. F. (1994). The Educational System and Resistence to Reform: The Limit of Policy. Dalam Educational Policy Analysis Archives [Online], Vol 2 (4). Tersedia: http://epaa.asu/epaa/v2n4.html [04 Maret 2002]

Crum, B. (2003). The Identity Crisis of Physical Education – to Teach or not to Be, That is the Question. Makalah pada SPEF Conference, Bandung.

Dauer, V. P. dan Pangrazi, R. P. (1992). Dynamic Physical Education for Elementary School Children. (10th Ed.), Mayfield, CA: Macmillan Publishing Company.

29

Page 30: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi: Panduan KTSP. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/publikasi/ [27 April 2006]

Depdiknas (2007). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]

Depdiknas (2007). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]

Depdiknas (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007

tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/[12 Desember 2007]

Depdiknas (2007). Meningkatkan kompetensi guru. [Online]. Tersedia dalam

http://www.pmptk.net/ [12 Desember 2007]

Digest. Number: 00 – 10. (2001). Health Risk Behaviors of Children and Youth. [Online]. Tersedia: http://www.eric.org [21 Juni 2004]

Digest. Number: 97 – 10. (2001). Promoting Health Behavior Change. [Online]. Tersedia: http://www.eric.org. [21 Juni 2004]

Disman, R. K. (1990). Determinants of Participation in Physical Activity in Exercise, Fitness, and Health, edited by Claude Bouchard, et al. Champaign, IL: Human Kinetics.

Dunkin, M, dan Biddle, B. (1974). The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Ennis, C. D., Mueller L. K. dan Hooper, L.M. (1990). “The Influence of Teacher Value Orientations on Curriculum Planning within the Parameters of Theoretical Framework”. Research Quarterly for Exercise and Sport. 61 (4).

Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1990). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Inc.

Freeman, W. H. (2001). Physical Education and Sport in a Changing Society. Boston: Allyn and Bacon.

Gallahue, D. L. (1982). Developmental Movement Experiences for Children. New York. John Willey and Sons.

Gallahue, D. L. (1991). Developmental Physical Education for Today’s Elementary School Children. New. York: Macmillan Publishing Company.

Graham, G. (1992). Teaching Children Physical Education: Becoming a Master Teacher. Campaign, Illinois: Human Kinetics Publishers.

30

Page 31: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Graham, G. (1993). AMTP Pedagogy Course Study Guide: American Master Teacher Program for Children’s Physical Education. Campaign, Illinois: Human Kinetics Publishers.

Graham, G., Holt, S. A., Parker, M. (1993). Children Moving, A Reflective Approach to Teaching Physical Education. California: Mayfield.

Grineski, S. (1996). Cooperative Learning in Physical Education. Campaign, Illinois: Human Kinetics Publishers.

Hellison, D. (1984). Goal and Strategies for Teaching Physical Education. Champaign, IL.: Human Kinetics.

Hellison, D. (1995). Teaching Responsibility through Physical Activity. Champaign, IL: Human Kinetics.

Hellison, D. (2003). Teaching Responsibility through Physical Activity. Champaign, IL: Human Kinetics.

Hyllelard, R., Mood, D. P., dan Morrow, J.R.(1996). Interpreting Research in Sport and Exercise Science. Dubuque, IOWA: The C.V. Mosby Company.

Issac, S. dan Michael, W. B. (1982). Handbook in Research and Evaluation. California: EdiTS Publisher.

Jansen, C.R. (1995). Outdoor recreation in America (5th edition). Champaign, IL: Human

Kinetics.

Joyce, B. dan Weil, M. (1996). Models of Teaching. Fifth Edition. Boston: Allyn and Bacon

Laray/Ron F., Barry W. dan Henderson, H. L. (1997). Positive Behavior Management Strategies for Physical Educators. Champaign, IL: Human Kinetics.

McPherson, B. D., Curtis, J. E., dan Loy, J. W. (1989). The Social Significance of Sport: An Introduction to The Sociology of Sport. Champaign, Illinois: Human Kinetics Books.

Melograno, V. (1985). Designing the Physical Education Curriculum. A Self Directed Approach. Ohio: Kendall/ Hunt Publishing Company.

Metzler, M. W. (2000). Instructional Models for Physical Education. Bosto: Allyn & Bacon.

Pate, R. R. dan Trost, S. G. (1998). “How to Create a Physically Active Future for American Kids”. American College of Sport Medicine, Health & Fitness. 2 (6).

31

Page 32: MENYINGKAP KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN JASMANIkkgpenjasorkesbkg.yolasite.com/resources/21_Ali Maksum_Kualitas... · diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 9, dan PP Nomor

Powell, K. E. and Wayne, D. (1987). “Childhood Participation in Organized School Sports and Physical Education as Precursors of Adult Physical Activity”. American Journal of Preventive Medicine. 3 (5).

Ratliffe, T. dan Ratliffe, L. M. (1994). Teaching Children Fitness: Becoming A Master Teacher. Illinois: Human Kinetics.

Rink, J. E. (1993). Teaching Physical Education for Learning. Second Edition. Toronto: Mosby.

Rink, J. E. (2002). Teaching Physical Education for Learning. Fourth Edition. New York: Mc Graw Hill.

Schmidt, R. A. dan Wrisberg, C. A. (2000). Motor Learning and Performance: A Problem-Based Learning Approach. (2nd Ed.). Champaign,Illinois: Human Kinetics.

Siedentop, D. (1990). Introduction to Physical Education, Fitness, and Sport. California: Mayfield Publishing Company.

Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. California: Mayfield Publishing Company.

Siedentop, D. (1994). Quality PE through Positive Sport Experiences: Sport Education. Illinois: Human Kinetics.

Stran, B. dan Ruder, S. (1996). “Increasing Physical Activity through Fitness Integration”. Journal of Physical Education, Recreation, and Dance. 67 (3)

Suherman, A. (2007). Teacher’s curricullum value orientations dan implikasinya pada pengembangan kurikulum dan pembelajaran pendidikan jasmani. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Thomas dan Laraine (1994). Teaching Children Fitness: Becoming a Master Teacher. Illinois: Human Kinetics.

Tinning, R. et al. (2001). Becoming a Physical Education Teacher: Contemporary and Enduring Issues. Australia: Prentice Hall.

32