bab ii landasan teori -...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Otonomi Daerah
Otonomi secara etimologi berasal dari Bahasa Yunani, autos dan
nomos. Autos berarti sendiri, sedangkan nomos berarti perintah. Jadi,
otonomi dapat diartikan sebagai memerintah sendiri, Hessel Nogi
(2007:32).
Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, “Otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Undang-Undang No.32 tahun 2004 mengartikan, “Daerah otonom
sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.” Agus Syamsudin (dalam Trilaksono Nugroho,
2000:11-18) mengemukakan bahwa ada lima hal yang mendasari dalam
pelaksanaan otonomi daerah antara lain:
1) Self Regulating power, artinya kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah.
2) Self Modifying Power, artinya kemampuan untuk menyesuaikan antara peraturan dengan kondisi daerah.
3) Local Political Support, adanya legitimasi yang luas dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
13
4) Financial Resources, artinya kemampuan mengelola sumber penghasilan dan keuangan daerah.
5) Developing Brain Power, artinya kemampuan untuk membangun sumber daya manusia/aparatur yang handal dan berintelektual.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal
mendasar yang terkandung dalam pengertian otonomi daerah, yaitu
adanya kewenangan daerah secara yuridis untuk mengatur dan mengurus
daerahnya sendiri, adanya legitimasi dari semua lapisan masyarakat
terhadap kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah, dan adanya
tanggung jawab pemerintah daerah atas pengelolaan daerahnya.
2.2 Kemandirian Keuangan Daerah
2.2.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 bahwa, “Kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah dapat melakukan
pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri, melaksanakan sendiri,
dalam rangka asas desentralisasi.” Dwirandra (dalam Abdul Halim, 2001:167)
mengemukakan pengertian kemandirian keuangan daerah sebagai berikut:
Kemandirian keuangan daerah artinya daerah harus memiliki keuangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.
Pengertian kemandirian keuangan daerah dikemukakan oleh Abdul Halim
(2008:232) sebagai berikut:
14
Kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
Abdul Halim (2008:232) menyatakan bahwa, “Kemandirian keuangan
daerah sendiri ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain misalnya,
bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.”
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali dan mengelola sumber daya atau potensi daerah yang dimilikinya
secara efektif dan efisien sebagai sumber utama keuangan daerah yang berguna
untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
2.2.2 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Abdul Halim (2008:232) mengemukakan bahwa, “Kemandirian keuangan
daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan
dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan
pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Abdul Halim (2008:232)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio Kemandirian = x 100%
Total Pendapatan Daerah (TPD)
15
Rasio kemandirian ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Rasio kemandirian juga menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Artinya, semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi pula partsisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah. (Abdul Halim, 2008:233).
Abdul Halim (2008,233) kembali menyatakan bahwa, “Semakin tinggi
rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak
ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian
pula sebaliknya. Tabel 2.1 berikut ini, menyajikan rasio kemandirian keuangan
daerah beserta interpretasinya.
TABEL 2.1 RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
PAD/TPD (%) Kemandirian Keuangan Daerah
< 10,00 Sangat kurang
10,01 - 20,00 Kurang
20,01 - 30,00 Cukup
30,01 - 40,00 Sedang
40,01 - 40,00 Baik
> 50,01 Sangat baik Sumber: Departemen Dalam Negeri
2.2.3 Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Paul Hersey dan Kenneth Blanchard (dalam Abdul Halim,
2004:284), ada empat macam pola hubungan kemandirian keuangan daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah antara lain:
a. Pola hubungan instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)
b. Pola hubungan konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.
16
c. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
d. Pola hubungan delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada, karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalm melaksanakan otonomi daerah.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Mahi (dalam Hessel Nogi, 2007:82), dalam upaya untuk
kemandirian daerah, tampaknya PAD (indikator kemandirian keuangan daerah)
masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena
beberapa alasan, yaitu:
1. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah 2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah 3. Kemampuan administrasi pemungutan didaerah yang masih rendah 4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah.
Hessel Nogi (2007:89-92) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, antara lain:
1. Potensi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2. Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan daerah dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi atau lembaga yang inovatif dan pemanfaatan lembaga Dipenda untuk meningkatakan penerimaan daerah.
Sedangkan Harun Hamrolie (1990:47) secara lebih khusus mengemukakan
faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah
adalah sebagai berikut:
1. Potensi Wajib Pajak 2. Potensi besarnya pajak yang ditetapkan 3. Efektivitas pemungutan pajak 4. Tarif pajak 5. Dasar pajak (tax base)
17
Merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Harun Hamrolie, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian
keuangan daerah adalah efektivitas pemungutan pajak.
2.3 Pendapatan Asli Daerah
2.3.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 18
dijelaskan bahwa, “Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Mardiasmo (2004:125) mengemukakan bahwa, “Pendapatan asli daerah
adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.”
Sedangkan Abdul Halim (2008:96) mengemukakan bahwa, “Pendapatan
asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah.”
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan asli
daerah merupakan sumber keuangan daerah yang diperoleh dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah lainnya yang dikelola oleh pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18
2.3.2 Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah
Sumber pendapatan asli daerah menurut Pasal 157 Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam
wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari:
a. Hasil pajak daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah
b. Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan daerah sebagai pembayaranatas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah.
2.4 Pajak Daerah
2.4.1 Pengertian Pajak Daerah
Berikut ini merupakan pengertian pajak daerah menurut Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004:
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Suandy (2000:140) mengemukakan definisi pajak daerah sebagai
berikut:
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
19
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pajak
daerah adalah iuran wajib bagi orang pribadi/badan yang merupakan
salah satu sumber penerimaan bagi pendapatan asli daerah.
2.4.2 Fungsi Pajak Daerah
Berdasarkan fungsi pajak secara umum, maka dapat diambil secara garis
besar fungsi pajak daerah (Abdul Halim, 2004:131), yaitu:
a. Fungsi Anggaran (Budgetair), yaitu sebagai sumber penghimpunan dana melalui kas daerah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran atau pembangunan daerah.
b. Fungsi pengaturan (Reguler), yaitu pajak berfungsi sebagai alat utnuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi.
2.4.3 Sistem Pemungutan Pajak Daerah
Pada dasarnya sistem pemungutan pajak daerah sama dengan sistem
pemungutan pajak pada umumnya. Suandy (2000:140) mengemukakan bahwa ada
beberapa sistem pemungutan pajak daerah, seperti berikut ini:
1. Official Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
2. Semi Self Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua belah pihak, yaitu pada wajib pajak dan fiskus.
3. Withholding System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak terutang oleh seseorang yang berada pada pihak ketiga, dan bukan oleh fiskus.
4. Full Self Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak boleh menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan.
2.4.4 Jenis-Jenis Pajak Daerah
20
Adapun jenis pajak daerah menurut Undang-Undang Nomor 34 tahun
2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai berikut:
1. Pajak Propinsi terdiri atas : a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Kendaraan di atas air c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan. 2. Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari :
a. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. c. Pajak Hiburan adalah atas penyelenggaraan hiburan d. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. e. Pajak Penerangan Jalan, adalah pajak atas penggunaan tenaga
listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, adalah pajak yang dikenakan atas pengambilan bahan galian golongan C.
g. Pajak Parkir, adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan oleh orang pribadi atau badan.
2.4.5 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak Daerah
Menurut Machfud Sidik (2002:8-9), upaya pemerintah daerah untuk
mengoptimalisasi pungutan pajak dan retribusi daerah diperlukan intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak daerah. Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah
melalui intensifikasi, antara lain sebagai berikut:
a. Memperluas basis penerimaan melalui identifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
b. Memperkuat proses pemungutan, upaya yang dapat dilakukan antara lian dengan mempercepat penyusunan Peraturan Daerah, mengubah tariff, dan peningktan sumber daya manusia.
c. Meningkatkan pengawasan, hal ini dapat dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak
21
fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
d. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan, tindakan yang dilakukan oleh daerah antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan pajak, meningkatakan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
e. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik, hal ini dapat dilakukan dengan meningktan koordinasi dengan instansi terkait daerah.
Selain upaya intensifikasi, pemerintah daerah juga dapat mengoptimalkan
pemungutan pajak daerah melalui cara ekstensifikasi pajak adalah melalui
kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan wewenang perpajakan yang lebih
besar kepada daerah pada masa mendatang.
Sedangkan menurut Eko Agus Budianto (dalam Abdul Halim, 2002:134-
138), menyatakan bahwa usaha-usaha yang yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah kota/kabupaten untuk meningkatkan penerimaan pajak daerahnya adalah
dengan cara:
a. Intensifikasi pajak daerah, yaitu memaksimalkan berbagai kebijakan yang selama ini telah dilaksankan, melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penerimaan pajak daerah, perbaikan sistem administrasi atau melalui peningkatan tarif pajak, dan memperbaiki system perpajakan daerah.
b. Ekstensifikasi pajak daerah, yaitu suatu kebijakan dengan cara menambah jenis pajak baru.
c. Menjadikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai pemasukan bagi pajak daerah.
2.5 Pajak Reklame
2.5.1 Pengertian Pajak Reklame
22
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi No.6 tahun 2003 menjelaskan
bahwa, “Pajak Reklame adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan
reklame.” Adapun pengertian Reklame itu sendiri adalah sebagai berikut:
Reklame adalah benda, alat atau perbuatan yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersil, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa atau orang, ataupun enarik perhatian umum atas suatu barang jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh pemerintah.
2.5.2 Subjek Pajak Reklame
Menurut Ahmad Yani (2004:50), “Subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame, sedangkan
wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
reklame.”
Reklame diselenggarakan langsung oleh orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan reklame untuk kepentingan sendiri, wajib pajak reklame adalah
orang pribadi atau badab tersebut. Apabila penyelenggaraan reklame dilaksanakan
melalui pihak ketiga (perusahaan jasa periklanan), maka pihak ketiga tersebut
menjadi wajib pajak reklame.
2.5.3 Objek Pajak Reklame
Menurut Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 6 tahun 2003, objek pajak
reklame terdiri dari:
a. Reklame papan/billboard/vidiotron/megatron, adalah reklame yang terbuat dari kayu, termasuk seng atau bahan lain sejenis, dipasang atau digantung atau dibuat pada bangunan, tembok, dinding, pagar, pohon, tiang, dan sebagainya baik yang bersinar maupun yang disinari.
23
b. Reklame megatron/vidiotron/large electronic display (LED), adalah reklame atau iklan bersinar dengan gambar atau tulisan berwarna yang dapat berubah-ubah, terprogram, dan difungsikan dengan listrik.
c. Reklame kain, adalah reklame yang diselenggarakan menggunakan kain, termasuk kertas, plastik karet, atau bahan lain yang sejenis dengan itu.
d. Reklame melekat/stiker, adalah reklame yang berbentuk lembaran yang lepas, diselenggarakn dengan cara disebarkan, dipasang atau digantung pada suatu benda dengan ketentuan luasnya tidak lebih dari 200cm² per lembar.
e. Reklame selebaran, adalah reklame yang berbentuk lembaran yang lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan, atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, diletakkan, dipasang, atau digantungkan pada suatu benda lain.
f. Reklame berjalan termasuk pada kendaraan, adalah reklame yang ditempatkan atau ditempelkan pada kendaraan yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dngn cara dibawah oleh orang.
g. Reklame udara, adalah reklame yang diselenggarakan diudara dengan menggunakan gas, laser, pesawat, atau alat lain yang sejenis.
h. Reklame suara, adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata yang diucapakan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh peralatan lain.
i. Reklame film/slide, adalah reklame yang diselenggarakan dengan mengguankan klise berupa kaca atau film, ataupun bahan yang sejenisnya, sebagai alat untuk diproyeksikan dan atau dipancarkan pada layer atau benda lainya yang ada diruangan.
j. Reklame peragaan, adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara peragaan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.
Sedangkan yang tidak termasuk objek pajak reklame adalah
penyelenggaraan reklame melalui internet, televise, radio, warta
harian/mingguan/bulanan, dan reklame yang diadakan khusus untuk kegiatan
social, pendidikan, keagamaan, dan politik tanpa sponsor.
2.5.4 Dasar Pengenaan Pajak Reklame
Dasar pengenaan pajak reklame menurut Peraturan Daerah Kota Cimahi
Nomor 06 tahun 2003 adalah nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan
penetapan besarnya pajak reklame. Nilai sewa reklame dapat diperhitungkan
24
dengan memperhatikan lokasi penempatan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan,
dan ukuran media reklame. Menurut pendapat Siahaan (Ariani, 2007:24), nilai
sewa reklame dihitung berdasarkan:
a. Besarnya biaya pemasangan reklame b. Besarnya biaya pemeliharaan reklame c. Lama pemasangan reklame d. Nilai strategis lokasi e. Jenis reklame
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi No.6 Tahun 2003 tentang
Pajak Reklame, maka dasar perhitungan dalam menentukan Nilai Sewa Reklame
(NSR), adalah sebagai berikut :
Keterangan : NSR = Nilai Sewa Reklame NJOR = Nilai Jual Objek Reklame NSPR = Nilai Strategis Pemasangan Reklame
Nilai jual objek reklame (NJOR) adalah keseluruhan pembayaran
/pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik atau penyelenggara reklame.
Perhitungan NJOR didasarkan pada besarnya komponen biaya penyelenggaraan
reklame, yang meliputi indikator ( Siahaan, 2007:25) :
a. Biaya pembuatan/kontruksi b. Biaya pemeliharaan c. Lama Pemasangan d. Luas Bidang Reklame e. Ketinggian Reklame
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003, Nilai
Jual Objek Reklame (NJOR) dapat dihitung dengan cara berikut ini.
NSR = NJOR + NSPR
NJOR= (Ukuran Reklame x Harga Dasar Ukuran Reklame/M²) + (Ketinggian Reklame x Harga Dasar Ketinggian/M²)
25
Adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota
Cimahi Nomor 06 Tahun 2003, terkait dengan ketetapan harga dasar objek pajak
dan harga dasar ketinggian yang merupakan dasar perhitungan Nilai Jual Obek
Reklame (NJOR), seperti berikut:
TABEL 2.2 HARGA DASAR NILAI JUAL OBJEK REKLAME
No Jenis Reklame
Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) Batas Minim
al Masa Pajak
Harga Dasar Satuan (Rp/M²) Harga Dasar Lainya
Satuan
Harga Dasar
Ketinggian
Reklame
s/d 6 >6-40 >40
1 Billboard 250.000 375.000 500.000 - M² 50.000 1 tahun 2 Papan: M² a. Papan Merk 100.000 150.000 200.000 M² 50.000 1 tahun
b. NeoN Sign/Neon Box
100.000 100.000 100.000 M² 50.000 1 tahun
c.Tin Plate 100.000 M² 50.000 1 bulan d. Baligo 50.000 75.000 M² - 3 Megatron/Vidiotron 500.000 750.000 1.000.000 M² 100,000 1 tahun 4 Kain 20.000 30.000 M² 1 bulan 5 Melekat/Poster M² a. Poster 10.000 12.500 15.000 M² 1 bulan b. Flug Chain - - - - M² 1 bulan
6 Selebaran 500 /lembar polio
1 bulan
7 Berjalan pada Kendaraan
2.000 2.500 3.500 M² 1 hari
8 Udara/Balon 500.000 Buah 1 bulan 9 Suara 5.000 Hari 1 hari 10 Film Slide 75.000 Roll 1 hari
11 Peragaan penyelenggara
an 1 hari
Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa selain Nilai Jual Objek
Pajak (NJOR) ada aspek lain yang perlu diperhitungkan dalam menentukan
26
ukuran reklame (S) dari Nilai Sewa Reklame yaitu Nilai Strategis Pemasangan
Reklame (NSPR). NSPR adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi
pemasangan reklame tersebut, berdasarkan kriteria kepadatan pemanfaatan tata
ruang kota untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha (Siahaan, 2007:329).
Perhitungan NSPR didasarkan pada besarnya ukuran reklame (S) dengan
indikator, Nilai Fungsi Jalan (NFJ), Nilai Fungsi Lokasi (NFL), dan Nilai Sudut
Pandang (NSP).
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003, Nilai
Strategis Pemasangan Reklame dapat dihitung dengan cara berikut ini.
Keterangan: NSPR = Nilai Strategis Pemasangan Reklame NFJ = Nilai Fungsi Jalan NFL = Nilai Fungsi Lokasi NSP = Nilai Sudut Pandang
Adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota
Cimahi Nomor 06 Tahun 2003, terkait dengan ketetapan Nilai Fungsi Jalan (NFJ),
Nilai Fungsi Lokasi, dan Nila Sudut Pandang yang merupakan dasar dalam
perhitungan Nilai Strategis Pemasangan Reklame, seperti berikut.
TABEL 2.3
HARGA DASAR NILAI FUNGSI JALAN OBJEK REKLAME
No Klasifikasi Jalan
Harga Dasar per titik Billboard, Bando, Papan,
Megatron, Vidiotron, jembatan penyebrangan, dan
Harga dasar per buah (Rp)
Kain,
NSPR = (NFJ x Harga Dasar Nilai Strategis/M²) + (NFL x Harga Dasar Nilai Strategis/M²) + (NSP x Harga Dasar Nilai Strategis/M²)
27
sejenisnya (Rp)
Spnduk,Umbul-Umbul, Banner
(Rp) s/d 6m² >6-40m² > 40m²
1 Jalan Arteri Primer/Jalan Nasional 250.000 375.000 500.000 35.000
2 Jalan arteri Sekunder/Jalan Provinsi 200.000 300.000 375.000 30.000
3 Jalan Tol 200.000 300.000 375.000 30.000
4 Jalan Kolektor 150.000 200.000 250.000 20.000
5 Jalan Lokal/Lingkungan 75.000 100.000 125.000 10.000
Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003
TABEL 2.4 HARGA DASAR NILAI FUNGSI LOKASI OBJEK REKLAME
No Klasifikasi Lokasi
Harga Dasar per titik Billboard, Bando, Papan, Megatron,
Vidiotron, jembatan penyebrangan, dan sejenisnya
(Rp)
Harga dasar per buah (Rp) Kain, Spnduk, Umbul-Umbul,
Banner (Rp) s/d 6m² >6-40m² > 40m²
1 Kawasan Khusus 1.500.000 2.000.000 2.500.000 100.000
2 Kawasan Selektif 1.000.000 1.500.000 2.000.000 80.000
3 Pusat Kawasan Perdagangan 500.000 750.000 1.000.000 70.000
4 Kawasan Perdagangan 375.000 500.000 635.000 60.000
5 Jembatan Penyebrangan 3.0000.000 4.000.000 5.000.000 50.000
6 Perumahan 200.000 250.000 300.000 40.000
7 Kawasan Terbuka 150.000 200.000 250.000 30.000
8 Industri 100.000 150.000 200.000 25.000
9 Perkantoran 75.000 100.000 125.000 15.000
10 Pendidikan 75.000 100.000 125.000 15.000
Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003
TABEL 2.5 HARGA DASAR NILAI SUDUT PANDANG OBJEK REKLAME
No Klasifikasi Jalan Harga Dasar per titik Billboard,
Bando, Papan, Megatron, Vidiotron, jembatan penyebrangan, dan
Harga dasar per buah (Rp) Kain,
Spanduk,
28
sejenisnya
(Rp)
Umbul-Umbul, Banner
(Rp) s/d 6m² >6-40m² > 40m²
1 Satu Arah 100.000 150.000 300.000 15.000
2 Dua Arah 200.000 300.000 400.000 25.000
3 Tiga Arah 300.000 450.000 600.000 35.000
4 Empat Arah 400.000 600.000 800.000 50.000
Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003
Sebelum pada perhitungan potensi pajak reklame, berikut ini merupakan
cara perhitungan yang digunakan dalam menentukan dalalm menghitung potensi
penerimaan pajak reklame yang berdasarkan pada Peraturan Daerah Kota Cimahi
Nomor 06 Tahun 2003.
TABEL 2.6 DASAR PERHITUNGAN UKURAN REKLAME
UKURAN REKLAME (S)
I. Nilai Jual Objek Pajak Reklame (NJOR) :
� Nilai Dasar Objek Pajak (NDOP) = (Ukuran/Luas Reklame/M² x Harga Dasar Satuan) � Nilai Dasar Ketinggian Objek Pajak (NDKOP)= (Tinggi x Harga satuan Tinggi/M)
II. Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR):
� Nilai Fungsi Jalan (NFJ) � Nilai Fungsi Lokasi (NFL) � Nilai Sudut Pandang (NSP)
III. Nilai Sewa Reklame (NSR) = (NJOR + NSPR)
Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 06 Tahun 2003
Besarnya pajak reklame untuk minuman beralkohol dan rokok ditambah
25% dari Nilai Sewa Reklame (NSR). Perhitungan diatas berlaku hanya untuk
29
satu sisi saja, sementara apabila terdiri dari dua sisi (dapat dilihat dari sebelah
depan maupun belakang), maka dikalikan dua.
Untuk menghitung luas reklame sebagai dasar pengenaan pajak dilakukan
dengan cara sebagai berikut.
a. Reklame yang mempunyai bingkai atau batas, dihitung dari bingkai atau batas
paling luar dimana seluruh gambar, kalimat, atau huruf-huruf tersebut berada
didalamnya.
b. Reklame yang tidak berbentuk persegi dan tidak berbingkai, dihitung dari
gambar, kalimat, atau huruf-huruf yang paling luar dengan jalan menarik garis
lurus vertikal dan horizontal sehingga merupakan empat persegi.
c. Reklame yang berbentuk pola, dihitung dengan rumus berdasarkan bentuk
benda masing-masing reklame.
2.5.5 Tarif Pajak Reklame
Tarif pajak reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% dan ditetapkan
dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
2.5.7 Perhitungan Potensi Pajak Reklame
Berikut ini merupakan cara perhitungan potensi pajak reklame yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Kesit Bambang Prakosa (2005:151)
Keterangan: PPrk = Potensi reklame
Potensi Pajak Reklame (PPRk) = R x S x D x Pr
30
R = Jumlah reklame S = Ukuran reklame D = Lama pemasangan Pr = Tarif Reklame
2.5.8 Perhitungan Pajak Reklame
Besarnya pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan
pajak reklame sesuai dengan rumus berikut:
(Perda Kota Cimahi No.06 Tahun 2003)
2.6 Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame
Mardiasmo (2004:134) mengemukakan bahwa, “Efektivitas sebagai
ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya.” Harbani Pasolong
(2008:181) mengemukakan bahwa, “Efektivitas merupakan perbandingan antara
hasil yang seharusnya dengan hasil yang dicapai.” Sedangkan menurut Mahmudi
(2005:92), “Efektivitas terkait hubungan antara hasil yang diharapkan dengan
hasil yang sesungguhnya dicapai.”
Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai
tujuan dan sasaran akhir kebijakan. Semakin besar kontribusi output yang
dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasran yang ditentukan, maka semakin
Pajak Rekalme Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Nilai Sewa Reklame x
Lama Pemasangan x Jumlah Papan Reklame
31
efektif proses kerja suatu unit organisasi. Berikut ini merupakan pengertian
efektivitas menurut Kesit Bambang P. (2005:142):
Efektivitas ialah imbangan antara pendapatan (pajak atau retribusi) yang sebenarnya terhadap pendapatan yang potensial dari suatu pajak yaitu dengan anggapan bahwa mereka yang seharusnya membayar, dengan jumlah yang seharusnya dibayarkan, benar-benar memenuhi kewajibannya.
Abdul Halim (2008:234) menyatakan bahwa, “Efektivitas adalah
perbandingan atau rasio antara penerimaan dengan target yang telah ditetapkan
setiap tahunnya berdasarkan potensii riil.” Dari pengertian tersebut maka
efektivitas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Abdul Halim (2008:232)
Apabila rasio efektivitas yang dicapai minimal satu atau 100% maka
rasio efektivitas semakin baik, artinya semakin efektif pajak reklame, namun
sebaliknya, semakin kecil presentase efektivitasnya menunjukkan pemungutan
pajak reklame semakin tiadak efektif, Abdul Halim (2008:234). Untuk
mengukur nilai efektivitas secara lebih rinci di gunakan kriteria berdasarkan
Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1994 tentang pedoman penilaian dan
kinerja keuangan yang disusun dalam tabel berikut.
TABEL 2.7 RASIO EFEKTIVITAS
Rasio Efektivitas (%) Kriteria
>100% Sangat Efektif
Realisasi Penerimaan Pajak Reklame Rasio Efektivitas = x 100% Target penerimaan pajak reklame berdasarkan potensi riil daerah
32
Sumber: Kepmendagri No. 690.900.327, Depdagri.
Terkait dengan pengelolaan keuangan daerah yang mempunyai hubungan
dengan dengan pajak dan retribusi daerah, Devas et. al (dalam Hessel Nogi,
2007:96) mengemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan
efektivitas dan efisiensi Dinas Pendapatan Daerah, yang meliputi:
1. Perbaikan sistem pajak yang rumit 2. Perbaikan kondisi pegawai dan peningkatan produktivitasnya 3. Perbaikan penyusunan kantor pemerintah daerah 4. Pendataan dan perbaikan data wajib pajak 5. Penyempurnaan tarif pajak secara periodik sesuai perkembangan sosial
ekonomi. 6. Penyempurnaan prosedur penetapan pajak 7. Penyempurnaan mekanisme penagihan pajak 8. Peningkatan penegakan hukum pajak
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas, apabila
dikaitkan dengan pemungutan pajak reklame maka dapat dimpulkan bahwa
efektivitas pemungutan pajak reklame merupakan ukuran keberhasilan atau
kegagalan antara realisasi penerimaan pajak reklame dengan potensi pajak
reklame sebenarnya yang harus dicapai pada suatu periode tertentu.
2.7 Kerangka Pemikiran
90% - 100% Efektif
80% - 90% Cukup Efektif
60% - 80% Kurang Efektif
< 60% Tidak Efektif
33
Dalam suasana otonomi daerah yang kompetitif, setiap daerah harus
memiliki strategi untuk mampu menggali dan mengembangkan potensi
ekonominya secara optimal sebagai prioritas utama, salah satunya adalah dengan
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak daerah.
Agar pemerintah memiliki kemampuan optimal untuk memungut pajak
daerah, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang
sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan bagi daerahnya sehingga tercipta
efektivitas dalam pemungutan pajak daerah. Menurut Eko Agus Budiyanto (dalam
Abdul Halim, 2002:134), ”Konsep efektivitas pemungutan pajak daerah
merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pemungutan
pajak daerah yang direncanakan sesuai dengan target yang telah ditetapkan
berdasakan potensi riil daerah.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah, ada tujuh jenis pajak daerah diantaranya terdiri dari :
1. Pajak hotel 2. Pajak restoran, 3. Pajak reklame 4. Pajak hiburan dan tontonan 5. Pajak penerangan jalan 6. Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C 7. Pajak parkir.
Pajak reklame merupakan salah satu komponen dari pajak daerah yang
mempunyai prospek yang sangat baik dalam meningkatkan penerimaan pajak
daerah kabupaten/kota. Pajak reklame adalah pajak yang dikenakan atas
penyelenggaraan reklame. Menurut Peraturan Daerah Nomor 06 tahun 2003,
34
menyebutkan bahwa, ”Reklame adalah benda, alat, atau media yang menurut
bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial.”
Apabila konsep efektivitas dikaitkan dengan pemungutan pajak reklame,
maka efektivitas pemungutan pajak reklame adalah kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan penerimaan pajak reklame yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarakan potensi riil daerah.
Dengan semakin efektifnya pemungutan pajak reklame, maka akan
semakin meningkatkan penerimaan dari sektor pajak daerah yang kemudian akan
memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah. Pernyataan tersebut
dipertegas oleh Harun Hamrolie (1990:47), yang secara lebih khusus
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah dari
sektor pajak daerah adalah sebagai berikut:
1. Potensi Wajib Pajak 2. Potensi besarnya pajak yang ditetapkan 3. Efektivitas pemungutan pajak 4. Tarif pajak 5. Dasar pajak (tax base)
Merujuk pada pendapat dari Harun Hamrolie tersebut, maka upaya
optimalisasi pendapatan asli daerah dapat dilakukan dengan meningkatkan
penerimaan sektor pajak daerah yang salah satunya melalui efektivitas
pemungutan pajak reklame.
Menurut Mahi (dalam Hessel Nogi, 2007:82), dalam upaya untuk
kemandirian daerah, tampaknya PAD masih belum dapat diandalkan sebagai
sumber pembiayaan desentralisasi karena beberapa alasan :
1. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah
35
2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah 3. Kemampuan administrasi pemungutan didaerah yang masih rendah 4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah.
Masalah kemandirian keuangan daerah merupakan masalah utama bagi
banyak daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, karena pelaksanaan
pembangunan akan berjalan lancar dengan baik kalau didukung dengan keuangan
(dana) yang memadai pula.
Kemandirian dalam mengelola keuangan daerah merupakan salah satu
indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Abdul Halim
(2008:232) mengemukakan bahwa, “Kemandirian keuangan daerah adalah
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.” Kemandirian
keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya PAD dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah
pusat ataupun dari pinjaman, Abdul Halim (2008:232).
Tingkat kemandirian keuangan daerah menggambarkan rasio
ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Abdul Halim (2008:233)
menyatakan bahwa:
Semakin tinggi rasio kemandirian keuangan daerah mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah tingkat rasio kemandirian keuangan daerah berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal semakin tinggi.
36
Merujuk pada pendapat diatas, dapat diuraikan indikator-indikator dari
kemandirian keuangan daerah, yaitu:
� Pemerintah daerah mandiri dalam menggali dan mengelola sumber keuangan
daerahnya sendiri, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
� Berkurangnya ketergantungan terhadap bantuan/subsidi dari pemerintah pusat.
� Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber utama dalam membiayai kegiatan
penyelenggaran pemerintah daerah.
Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali dan mengelola sumber daya atau potensi daerah yang dimilikinya
secara efektif dan efisien sebagai sumber utama keuangan daerah yang berguna
untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sedangkan
tingkat kemandirian keuangan daerah merupakan tingkat ketergantungan
pemerintah daerah terhadap sumber dana ekstern (pemerintah pusat). Untuk
meningkatkan kemandirian keuangan daerah Kota Cimahi, pemerintah daerah
cenderung menggali potensi PAD dengan lebih mengefektifkan pemungutan pajak
daerahnya, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan efektivitas
pemungutan pajak reklame.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka judul dari penelitian ini
adalah Pengaruh Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame Terhadap Tingkat
Kemandirian Keuangan Daerah (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Cimahi Tahun
2004-2008). Adapun paradigma penelitian ini adalah sebagai berikut.
37
GAMBAR 2.2 PARADIGMA PENELITIAN
2.8 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan diatas, maka
hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut, “Efektivitas
pemungutan pajak reklame mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat
kemandirian keuangan daerah.”
Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame
Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah