bab ii landasan teori 2.1 teori pembangunan dan...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta
untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).
Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat
dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel,
seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi
faktor (factor returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari
daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.
Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang
melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif,
perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih
baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan
(Adisasmita 2005 dalam Manik, 2009 : 32).
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan
masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan
seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46).
Perhitungan pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam harga
berlaku. Namun agar dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun
Universitas Sumatera Utara
waktu berikutnya, harus dinyatakan dalam nilai riel, artinya dinyatakan dalam
harga konstan. Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor
produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan
teknologi), yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah
tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah
yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer
payment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat
aliran dana dari luar wilayah.
Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat
intern dan sebagian lagi bersifat ekstern dan sosio politik. Fakto-faktor yang
berasal dari daerah itu sendiri meliputu distribusi faktor produksi seperti tanah,
tenaga kerja, modal sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah
tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan
daerah tersebut.
Glasson (1997) menjelaskan bahwa region dapat diklasifikasikan menjadi
daerah homogeny (homogeneous region), daerah administrasi (administrative
region) dan daerah nodal (nodal region).
Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan
menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan
pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan
bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.
Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional
yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis Ekspor; (2) Teori Pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
Jalur Cepat; (3) Teori Pusat Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model
Kumulatif Kausatif; dan (6) Model Interregional.
2.1.1 Teori Basis Ekspor
Teori Basis Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C.
North (1995) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini
membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu
wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (non-basis). Kegiatan
basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi
internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi mendorong
tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non-basis adalah kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri.
Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu, Asumsi pokok atau
yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independent) dalam
pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain terikat (dependent) terhadap
pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti diluar pertambahan alamiah,
hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan
daerah karena sektor lain terikat oleh peningkatan pendapatan daerah. Sektor lain
hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat.
Asumsi kedua adalah bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari
titik nol sehingga tidak akan berpotongan.
Beberapa hal penekanan dalam model teori basis ekspor yaitu, antara lain :
a. Bahwa suatu daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk dapat
tumbuh dengan cepat, sebab faktor penentu pertumbuhan daerah adalah
Universitas Sumatera Utara
keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki oleh daerah
tersebut;
b. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah
yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki
menjadi kekuatan basis ekspor;
c. Ketimpangan antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi
potensi masing-masing daerah.
Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-
kelemahan antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari
besarnya suatu daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya
akan semakin kecil apabila dibandingkan dengan total pendapatan.
2. Ekspor jelas bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan
pendapatan daerah. Ada banyak unsur lain yang dapat meningkatkan
pendapatan daerah seperti : pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat,
investasi, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.
3. Dalam melakukan studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang diperoleh
adalah rata-ratanya bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis
rata-rata untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila
nilai multiplier dari tahun ke tahun.
4. Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan
sebagai alat proyeksi maka masalah time lag (masa tenggang) harus
diperhatikan.
Universitas Sumatera Utara
5. Ada kasus dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski
ekspornya relatif kecil. Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah
yang terdapat banyak ragam kegiatan dan satu kegiatan saling
membutuhkan dari produk kegiatan lainnya.
Harry W. Richardson dalam bukunya Elements of Regional Economics
(Tarigan, 2005 : 56) memberi uraian sebagai berikut:
dimana :
Yi = pendapatan daerah
Ei = pengeluaran daerah
Mi = impor daerah
Xi = ekspor daerah
2.1.2 Teori Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson
pada tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa
setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki
potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan.
Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan
nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan
sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin,
produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri).
Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang
sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor-
Universitas Sumatera Utara
sektor adalah membuat sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung.
menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain
yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
Selain itu perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi
(Schumpeter dan ahli lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi
sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship) dalam masyarakat. Jiwa
usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan mengambil resiko untuk
membuka lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah
setiap tahunnya.
2.1.3 Teori Pusat Pertumbuhan
Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori
yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan
desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan
merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang
saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke
seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara
kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.
Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada
suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat
perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat
pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi
dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian,
atau daerah pedesaan.
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi
disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration
(economic of localization) (Tarigan, 2005 : 159). Economic of scale adalah
keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga
produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien.
Economic of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat
berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar
kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan
listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk
mengiklankan produk, dan lain sebagainya.
Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih
terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Generatif : hubungan yang
saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju
dengan daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi
dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau
menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang
mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota
(daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah
sekitarnya yang lebih terbelakang.
Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan
intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya
multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat
mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2005 : 162).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Teori Neoklasik
Teori Neoklasik (Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964),
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969).
Dalam negara yang sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru
dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi
(divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu
yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung
menurun (convergence). Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu
lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat
keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi.
Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-
unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga
kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara
mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal
terhadap pertumbuhan regional.
2.1.5 Model Kumulatif Kausatif
Model kumulatif kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori
oleh Gunnar Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh
Kaldor. Teori ini menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan
relatif dari “Spread Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah
kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah
miskin. Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya
terhadap produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong
pertumbuhannya.
Universitas Sumatera Utara
Namun Myrdal yakin bahwa dampak spread effect ini lebih kecil daripada
back wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin
tersebut terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja
mempunyai nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin
terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini
menekankan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan
yang semakin menonjol.
2.1.6 Model Interregional
Model ini merupakan perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah
faktor-faktor yang bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya
membahas daerah itu sendiri tanpa memperhatikan dampak dari daerah tetangga.
Model ini memasukkan dampak dari daerah tetangga, sehingga model ini
dinamakan model interregional (Tarigan, 2005 : 58).
Dalam model ini diasumsikan bahwa selain ekspor, pengeluaran
pemerintah dan investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu
sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan erat. Dengan
memanipulasi rumus pendapatan yang pertama kali ditulis Keynes, oleh
Richardson merumuskan model interregional ini menjadi :
dimana :
Yi = regional income
Ci = regional consumption
Ii = regional investment
Gi = regional government expenditure
Universitas Sumatera Utara
Xi = regional exports
Mi = regional import
Sumber-sumber perubahan pendapatan regional (Tarigan, 2005 : 60) dapat
berasal dari :
1. Perubahan pengeluaran otonomi regional, seperti : investasi dan
pengeluaran pemerintah,
2. Perubahan pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada
dalam suatu sistem yang akan terlihat dari perubahan ekspor,
3. Perubahan salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat
konsumsi marjinal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak
marjinal).
2.2 Ketimpangan Pembangunan Daerah
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi
ketimpangan (disparity). Peningkatan pendapatan per kapita memang
menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun
meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa
distribusi pendapatan lebih merata. Seringkali di negara-negara berkembang
dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada tenaga
kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian
masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara
merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi
ketimpangan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk ketimpangan dalam pembangunan
daerah.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Distribution Income Disparities
Terdapat berbagai macam alat yang dapat dijumpai dalam mengukur
tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk (Distribution Income
Disparities), diantaranya yaitu :
1. Kurva Lorenz (Lorenz Curve)
Kurva Lorenz secara umum sering digunakan untuk menggambarkan
bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat.
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase
penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar
mereka terima selama periode tertentu, misalnya, satu tahun.
Gambar 2.1 Kurva Lorenz
Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi/bujur sangkar
dengan bantuan garis diagonalnya. Garis horizontal menunjukkan persentase
penduduk penerima pendapatan, sedangkan garis vertikal adalah persentase
pendapatan. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan
semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal
50%
25%
Garis Pemetaaan
Kurva Lorenz
0 B
Persentase Penerima Pendapatan
Pers
enta
se P
enda
pata
n
100% 50% A
C
100%
Universitas Sumatera Utara
berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Kemungkinan yang digambarkan
kurva Lorenz diatas yaitu :
a. Jika kurva Lorenz adalah diagonal 0A maka terlihat 50% penduduk
(penerima pendapatan) memperoleh 50% pendapatan, menggambarkan
pembagian pendapatan sempurna merata.
b. Jika 50% penduduk yang paling rendah pendapatannya menerima 25%
pendapatan, tergolong pada pembagian pendapatan cukup merata
(kurva Lorenz 0CA).
c. Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA, maka 100% penduduk sama sekali
tidak memperoleh pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan
sempurna tidak merata.
2. Gini Index
Kelemahan kurva Lorenz adalah sulit diaplikasikan, maka seorang sarjana
statistik matematik mencoba mengkuantifikasi konsep kurva Lorenz tersebut yaitu
Mr. Gini, yang selanjutnya hasil pendapatnya dikenal dengan Gini Index/Gini
Ratio. Gini index adalah ukuran ketimpangan pendapatan agregat yang angkanya
berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
Menurut Gini setiap kurva Lorenz dapat dihitung nilai angkanya yang
selanjutnya disebut angka Gini dengan cara membagi luas yang dibentuk kurva
Lorenz tersebut dengan total pendapatan. Dari gambar kurva Lorenz dapat
terlihat :
a. Jika kurva Lorenz adalah 0CA maka
b. Jika kurva Lorenz adalah diagonal pokok 0A maka = 0, yaitu
merata sempurna.
Universitas Sumatera Utara
c. Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA maka = 1, yaitu merata
tidak sempurna.
Dengan demikian semakin kecil Gini index, maka semakin merata, sedang
Gini index yang semakin besar menunjukkan distribusi pendapatan yang makin
tidak merata. Maksimum dan minimum nilai G adalah : 0 ≤ G ≤ 1 . Untu k
menghitung Gini Index yaitu :
dimana :
G = Gini Index
Pi = Persentase kumulatif jumlah penduduk sampai kelas ke-i
Qi = Persentase kumulatif jumlah pendapatan sampai kelas ke-i
I = 1,2,3,....n
G = 0, Perfect Equality
G = 1, Perfect Inequality
3. Kriteria Bank Dunia
Berdasarkan kriteria Bank dunia di dalam menentukan tingkat
ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk
dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
a. 20% penduduk berpendapatan tinggi
b. 40% penduduk berpendapatan sedang
c. 40% penduduk berpendapatan rendah
Universitas Sumatera Utara
Dimana kriteria ketimpangannya adalah
1. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional
< 12% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan tinggi.
2. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional
12% - 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan
sedang/moderat.
3. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional
> 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan rendah.
2.2.2 Regional Income Disparities
Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan
masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam
wilayah suatu negara.
Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional
dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi
negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama
tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan
pembangunan terkosentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih
“matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan
antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.
Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk
mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson
menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang
diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan antar kelompok. Formulasi Indeks Williamson secara statistik
adalah sebagai berikut :
Keterangan :
IW = Indeks Williamson
Yi = Pendapatan per kapita daerah i
Y = Pendapatan per kapita rata-rata seluruh daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i
n = Jumlah penduduk seluruh daerah
Angka koefisien Indeks Williamson adalah 0 < IW < 1. Jika Indeks
Williamson semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang
semakin kecil atau semakin merata dan sebaliknya angka yang semakin besar
menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. Walaupun indeks ini memiliki
kelemahan yaitu sensitive terhadap defenisi wilayah yang digunakan dalam
perhitungan artinya apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda maka akan
berpengaruh terhadap hasil perhitungannya, namun cukup lazim digunakan dalam
mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.
2.2.3 Urban Rural Income Disparities
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya
masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan.
Urban Rural Income Disparities (Ketimpangan pembangunan/pendapatan antara
wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan), terjadi karena pembangunan yang
Universitas Sumatera Utara
lebih terfokus pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pembangunan
wilayah pedesaan.
Hal ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi,
dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan
kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan
ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan
ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang
diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects),
justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan
(backwash effects).
Faktor internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang
terpencar-pencar dan minimnya kesempatan kerja, juga menghambat
perkembangan wilayah pedesaan. Sebaran spasial penduduk pedesaan yang
terpencar-pencar menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa
publik secara efektif untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah
tenaga kerja yang tanpa disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan
dengan kawasan non-pedesaan, menjadikan masyarakat pedesaan tidak produktif.
2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi
modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu
daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang
bersangkutan (Riadi, 2007 : 2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik
suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah
dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu,
Universitas Sumatera Utara
ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis
pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu
sendiri.
Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar
daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash
effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap
pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan.
Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung
meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar
daerah (Arsyad, 1999 dalam Pakpahan, 2009 : 26).
Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah
(Manik, 2009 : 23) yaitu :
2.3.1 Perbedaan kandungan sumber daya alam
Terdapatnya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya
alam pada masing-masing daerah akan mendorong timbulnya ketimpangan antar
daerah. Kandungan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, atau kesuburan
lahan tentunya mempengaruhi proses pembangunan di masing-masing daerah.
Ada daerah yang memiliki minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak
memilikinya. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar,
tetapi daerah tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan
yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong
pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.
Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi
kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan
Universitas Sumatera Utara
sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang
tertentu dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang
mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih rendah. Kondisi ini akan
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan menjadi lebih cepat
dibandingkan dengan daerah lain.
2.3.2 Perbedaan Kondisi Demografi
Faktor utama lain yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan
antar daerah adalah jika terdapat perbedaan kondisi demografi yang cukup besar
antar daerah. Kondisi demografi meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan
tingkah laku masyarakat daerah tersebut.
Perbedaan kondisi demografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan
antar daerah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja
masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi
yang baik akan cenderung memiliki produktivias kerja yang lebih tinggi sehingga
hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang
bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografinya
kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja
masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi
penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan
menjadi lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Mobilitas barang dan jasa (perdagangan) antar daerah jelas akan
mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa bila kegiatan perdagangan (baik internasional maupun antar
wilayah) kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor produksi (Factor
Price Equilization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan
akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung
menjadi tinggi.
Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah
dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan.
Bila mobilitas barang tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu
daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula
halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja di
suatu daerah yang tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat
membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan antar daerah akan cenderung tinggi.
Mobilitas barang dan jasa ini mengacu pada penyediaan sarana dan prasarana
serta fasilitas-fasilitas di dalam suatu daerah, seperti : jalan, jembatan, alat
transportasi baik darat, laut maupun udara dan lain-lain.
2.3.4 Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah
Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi
akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar
daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi
pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana
terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut
selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula,
apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang
selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat setempat.
Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah
tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya.
Terdapatnya lahan yang subur juga turut mempengaruhi, khususnya menyangkut
pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas trasnportasi, baik
darat, laut, dan udara juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi antar
daerah. Ketiga, kondisi demografi (kependudukan) juga ikut mempengaruhi
karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya
manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.
2.3.5 Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah
Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik lebih
banyak investasi pemerintah dan swasta akan cenderung mempunyai tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Selanjutnya akan mendorong
proses pembangunan daerah melalui penyediaan tenaga kerja yang lebih banyak
dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
terjadi bila investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah
ternyatalebih rendah.
Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh
sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang
dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih
banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan antardaerah
cenderung tinggi. Akan tetapi sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang
dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak
dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan
cenderung lebih rendah.
Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak
ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan yang berperan banyak
dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang
dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula
oleh ongkos transportasi baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus
dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsenstrasi pasar, tingkat
persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ini
adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa
kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah
mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi di
daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini
menyebabkan perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
daerah pedesaan.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Dampak Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap
daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut
(www.bappenas.go.id) adalah :
2.4.1 Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan
Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum
banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap
pelayanan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari
wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang
hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan
pembangunan yang besar dari pemerintah.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal,
termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain :
a. Terbatasnya akses trasnportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal
dengan wilayah yang relatif maju.
b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar.
c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber
daya alam dan manusia.
d. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh
pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli
daerah secara langsung.
e. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-
wilayah ini.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi
strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain : (a)
adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk
unggulan; (b) belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku
pengembangan kawasaan di daerah; (c) belum optimalnya dukungan kebijakan
nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta; (d) belum
berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan
pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah; (e) masih
lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja sama diantara pelaku-pelaku
pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan
masyarakat serta antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam
upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; (f) masih terbatasnya akses
petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input
produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya
mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi; (g) keterbatasan
jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung
pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (h) belum optimalnya
pemanfaatan kerangka kerja sama antar wilayah maupun antar negara untuk
mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan
secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika
sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai
Universitas Sumatera Utara
penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin
sumber daya dan masih terbelakang.
2.4.3 Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi
sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat
strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan
di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan
pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan
kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya
berbagai kegiatan illegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka
panjang dapat menimbulkan kerawanan sosial.
Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah
perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini
cenderung berorientasi “inward looking” sehingga seolah-olah kawasan
perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah.
Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah
prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman
yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan
sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit
jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah.
2.4.4 Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan Desa
Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara
daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi ekonomi
Universitas Sumatera Utara
cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi di wilayah
perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di
pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan
pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan.
2.4.5 Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia
Dampak utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran,
kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan
dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan,
yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan
mengakibatkan terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka
biasanya disusul terjadinya kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan kualitas
sumber daya manusia (generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya
kemampuan untuk menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan
masyarakat bahkan cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih
fokus untuk memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan
minuman.
2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Simon Kuznets (dalam Todaro, 2006 : 253) mengatakan bahwa pada tahap
awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk
(ketimpangan membesar), namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan
akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets
“U-terbalik” (Hipotesis Kuznets).
Dalam hal ini, pembuktian hipotesis Kuznets dilakukan dengan membuat
grafik antara pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan (Indeks
Universitas Sumatera Utara
Williamson). Jika kurva yang dibentuk oleh hubungan antara variabel tersebut
menunjukkan kurva U-terbalik, maka hipotesis Kuznets terbukti bahwa pada
tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi ketimpangan yang membesar dan pada
tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktu
ketimpangan akan menaik dan demikian seterusnya.
Dewasa ini, terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa
pada tahap-tahap awal pembangunan ditribusi pendapatan cenderung memburuk,
namun kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya
dengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut model
Lewis, tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yang
mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas
terhitung tinggi.
Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan
berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan
perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian
modern. Di samping itu, imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor
pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang
muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun
karena penawaran tenaga terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak
terdidik menurun. Jadi, walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang
dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut
konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihat
bahwa, dampak pengayaan sektor tradisional dan modern terhadap ketimpangan
pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga perubahan neto
Universitas Sumatera Utara
pada ketimpangan bersifat mendua (ambiguous), dan validitas empiris kurva
Kuznets masih patut dipertanyakan.
Terlepas dari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunan
tetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan
ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari.
2.6 Penelitian Terdahulu
1. Penelitian oleh Lisna Pakpahan pada tahun 2009, tentang “Analisis
Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten Tapanuli Utara dengan
Kabupaten Deli Serdang”, menggunakan data time series dari tahun 1993-
2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Location
Quotient. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan
pembangunan antar Kabupaten Tapanuli utara dengan Kabupaten Deli
Serdang. Ketimpangan di Tapanuli utara tergolong rendah (mendekati 0) yang
artinya ketimpangan yang terjadi di kabupaten Tapanuli Utara tidak terlalu
besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 0,074766
dan terendah pada tahun 2002 sebesar 0,046222. Begitu juga ketimpangan di
Deli Serdang tergolong relatif kecil menurut standard ketimpangan yaitu 0-1
karena nilai IW Deli Serdang hanya berkisar 0,167921 yang artinya masih
cenderung mendekati 0, akan tetapi apabila dibandingkan dengan nilai IW
Tapanuli Utara, nilai IW Deli Serdang relative besar, dimana ketimpangan
tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 0,167921 sedangkan ketimpangan
terendah terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,096482. Selain itu berdasarkan
analisis LQ terlihat bahwa sektor yang potensial di Kabupaten Tapanuli Utara
Universitas Sumatera Utara
adalah sektor pertanian, sedangkan di Kabupaten Deli Serdang sektor yang
potensial adalah sektor industri/manufaktur.
2. Penelitian Fitri R. Manik pada tahun 2009, tentang “Analisis Ketimpangan
Pembangunan Antara Kota Medan dengan Kabupaten Simalungun”
menggunakan data time series dari tahun 1988-2007 dan menggunakan alat
analisis Indeks Williamson, Hipotesis Kuznets, Tipologi Klassen, dan
Korelasi Pearson. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terjadi
ketimpangan pembangunan sedang di Kota Medan (IW = 0,3-0,5) dan
ketimpangan pembangunan rendah untuk Kabupaten Simalungun (IW < 0,3),
serta hipotesis Kuznets berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Berdasarkan
Tipologi Klassen, Kota Medan termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh
(Kuadran I) dan Kabupaten Simalungun termasuk daerah yang cepat
berkembang (Kuadran III). Hasil Analisis Korelasi Pearson menunjukkan
korelasi yang lemah antara pertumbuhan PDRB dengan Indeks Williamson
dan tidak signifikan untuk Kota Medan dan Kabupaten Simalungun.
3. Penelitian oleh Paidi Hidayat, SE, Msi dan DRA. Raina Linda Sari, tentang
“Analisis Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera
Utara”, menggunakan data time series yang bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara untuk kurun waktu 2001-2006.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat analisis tipologi daerah
(Klassen Typology) dan Indeks Williamson. Berdasarkan hasil analisis, maka
disimpulkan bahwa : (1) Daerah pemekaran di Sumatera Utara yang
pertumbuhan ekonominya cukup tinggi adalah Kabupaten Toba Samosir dan
Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Samosir dan Kota Padang Sidimpuan memiliki pertumbuhan yang rendah dan
masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. (2) Struktur
ekonomi kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara masih didominasi oleh
sektor primer (sektor pertanian dan sektor pertambangan/penggalian) kecuali
Kabupaten Toba Samosir (sektor industri) dan Kota Padang Sidimpuan (sektor
jasa-jasa). (3) Berdasarkan pola pembangunan ekonominya, daerah yang cepat
maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten
Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Samosir merupakan daerah maju tapi
tertekan. Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan
Kabupaten Mandailing Natal adalah daerah berkembang cepat. Sementara
Kabupaten Nias Selatan dan Kota Padang Sidimpuan merupakan daerah
pemekaran yang relatif tertinggal. (4) Bahwa ketimpangan pembangunan antar
kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara relative kecil atau lebih merata
dengan angka Indeks Williamson sebesar 0,031.
4. RM. Riadi melakukan penelitian tentang “Pertumbuhan dan Ketimpangan
Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau” menggunakan data
time series dari tahun 2003-2005. Alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Sistem
Kuadran dan Hipotesi Kuznets. Dari hasil penelitian disimpukan bahwa hanya
Kota Pekanbaru yang temasuk dalam Kuadran I (high growth and high
income). Daerah yang dikategorikan ke dalam tumbuh cepat tetapi rendah
pendapatan adalah Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu
dan Siak. Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar dapat
dikategorikan ke dalah tinggi pendapatan tetapi tumbuh lambat, sementara
Universitas Sumatera Utara
daerah yang dikategorikan ke dalam rendah pendapatan dan tumbuh lambat
adalah Rokan Hilir, Dumai dan Bengkalis. Selama periode pengamatan 2003-
2005, terjadi ketimpangan pembangunan yang tidak cukup signifikan
berdasarkan Indeks Williamson, sedangkan berdasarkan Indeks Entropi Theil,
ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadi
pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan.
Sebagai akibatnya tidak terbuktinya hipotesis Kuznets di Provinsi Riau yang
mengatakan adanya kurva U terbalik.
Universitas Sumatera Utara