bab ii landasan teori 2.1 studi terdahulu 1
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Studi Terdahulu
1. Evaluasi Kinerja Simpang Tak Bersinyal (Studi Kasus Simpang Jl. Mengkreng kota
Jombang)
Dengan memperhatikan kondisi geometri jalan, volume arus lalu lintas, hambatan
samping dan lingkungan simpang yang merupakan daerah komersil, maka dicoba
untuk mengevaluasi kinerja simpang tidak bersinyal jalan raya mengkreng Kota
Jombang. Cara penelitian yang dilakukan dengan melakukan survei di lapangan untuk
mendapatkan data primer maupun data sekunder yang kemudian diolah dengan
menggunakan manajemen simpang. Perencanaan menggunakan acuan Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 dan menggunakan program KAJI (MKJI
1997) serta program Excel 2007 untuk mengolah data lalulintas. Data lalulintas
diperoleh dari pencacahan jumlah kendaraan dilapangan yang dilakukan dalam bentuk
tabel data kendaraan dan kemudian perilaku lalulintas simpang dapat dianalisis.
Untuk simpang tak bersinyal dipakai USIG-1 dan USIG-2, untuk simpang bersinyal
menggunakan SIG-1 hingga SIG-5. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa
simpang Mengkreng memiliki Tundaan geometrik untuk hasil USIG adalah sebesar
4,0 sedangkan untuk rekayasa pada SIG besar tundaan geometrik adalah 3,66. nilai
Derajat Kejenuhan (DS) = 1,01. Nilai ini jauh dari nilai derajat kejenuhan yang
disarankan oleh MKJI 1997 untuk simpang tak bersinyal yaitu DS = 0,85. Adapun
rekayasa geometri yang telah dilakukan sebagai alternating belum dapat mencapai
nilai derajat kejenuhan yang diinginkan yaitu sesuai dengan yang disarankan oleh
MKJI 1997. Oleh karena itu kemudian dilakukan alternatif dengan penggunaan lampu
lalu lintas dan menghasilkan nilai DS rata-rata = 0,77, sehingga pemasangan lampu
lalu lintas merupakan alternatif terbaik dalam memecahkan masalah kapasitas
Simpang Mengkreng.
Dari studi ini dapat di lihat derajat kejenuhan pada simpang Jl. Mengkreng kota
Jombang adalah 1.01 nilai ini jauh dari yang disarankan oleh MKJI 1997, sehingga
simpang tersebut sudah tidak layak lagi dan perlu di lakukan pemasangan lampu lalu
lintas.
6
Budi H M. (2016).
2. Evaluasi Sistim Pengendalian Simpang (Studi Kasus : Simpang Tak Bersinyal Jl.
Kebonsari – Jl. Satsui Tubun Kota Malang)
Dari hasil analisis diketahui bahwa berdasarkan Alat Pemberi Isyarat Lampu Lalu
Lintas (APIIL), simpang tak bersinyal Jl. Kebonsari – Jl. Satsui Tubun, kota Malang
perlu di pasang traffic light atau lampu pengatur lalulintas karena kinerja simpang
tidak dapat melayani kinerja arus lalulintas dengan baik terutama pada pagi pari dan
sore hari dapat di tunjukan dengan hasil perhitungan yang telah ditentukan bahwa
untuk derajat kejenuhan (DS) = 0,622 sampai 1,429 > 0,85, dimana seharusnya nilai
DS tidak melebihi 85% dari kapasitas, arus total persimpangan yaitu sebesar 3366
kend/jam hingga 10688 kend/jam selama 9 jam dalam sehari, nilai ini juga sudah
melebihi batas maksimum salah satu syarat perlu dilakukannya traffic light yaitu 750
kend/jam selama 8 jam. Sehingga perlu dilakukan pemasangan traffic light dengan
seting lampu yang sudah direkomendesikan, lampu lalulintas tidak dapat diaktifkan
pada kondisi existing , lampu lalulintas dapat di pasang dan diaktifkan kembali
dengan seting lampu yang sudah dihitung dan direkomandesikan dengan masing-
masing hari, dari solusi yang direkomendesikan digunakan 2 fase dimana Jl.
Kebonsari – Jl. Satsui Tubun dalam keadaan lampu merah menyala, dengan nilai
derajat kejenuhan (DS) = 0,462 sampai 0,892 dan rata-rata tundaan menjadi 14,876
det/kend. Evaluasi rutin kinerja simpang juga perlu dilakukan palingsedikit 3 bulan
satu kali sehingga kinerja simpang terus terpantau dengan harapan dapat
memperlancar pergerakan arus lalulintas pada simpang tak bersinyal Jl. Kebonasri –
Jl. Satsui Tubun Kota Malang dan pengguna jalan bisa melewati jalan tersebut dengan
aman dan nyaman.
Dari studi ini dapat di lihat Derajat kejenuhan melebihi yang di sarankan MKJI 1997
dan perlu di pasangkan lampu lalu lintas pada simpang tersebut.
Dwinanda B.P. (2016).
3. “Analisis Simpang Empat Tak Bersinyal ((Studi Kasus Pada Simpang Empat Antara
Jalan Raya Tajem, Jalan Purwosari, Jalan Stadion Sleman)” Sebelum dilakukan
proses analisis, dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi lalu lintas yang ada.
Penelitian dilakukan dalam tiga hari yaitu Senin 14 April 2008, Jumat 18 April 2008
dan Sabtu 19 April 2008. Waktu penelitian pada jam sibuk yaitu pagi pukul 06.30-
08.30, siang pukul 12.00-14.00 dan sore pukul 16.00-18.00.Proses analisis
menggunakan standarisasi MKJI 1997. Hasil analisis kinerja simpang saat ini
7
diperoleh volume terpadat pada saat jam puncak terjadi pada sore hari, Senin tanggal
14 April 2008 pada periode pengamatan pukul 16.00 - 18.00WIB. Arus Total (Q)
1762 det/smp, kapasitas total (C) 3447 det/smp, derajat kejenuhan (DS) 0,511,
tundaan total (D) 5,2162 det/smp. Dari analisis kinerja simpang untuk 10 tahun
mendatang diperoleh arus total (Q) 5247 det/smp, derajat kejenuhan (DS) 1,52,
tundaan total (D) 17,0505 det/smp.Dari nilai derajat kejenuhan tersebut maka pada
persimpangan itu untuk 10 tahun mendatang sudah tidak memenuhi kondisi yang
disyaratkan yaitu ≥ 0,75.Adapun upaya perbaikan yang mungkin dilakukan adalah
pengaturan simpang dengan sinyal. Fandy & Alexander (2010).
4. Analisa Dampak Lalu Lintas (Studi Kasus : Studi kemacetan di Jalan Ngagel Madya
Surabaya)” Studi dilakukan dengan tujuan ingin mengetahui berapa besar
kinerja/tingkat pelayanan dari ruas dan simpang pada Jalan Ngegel Madya Surabaya.
Studi ini juga menganalisa antrian kendaraan yang terjadi pada saat jam menjelang
masuk sekolah. Analisa lalu lintas yang dilakukan pada studi dampak lalu lintas ini
mengacu pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (MKJI 1997). Dari analisa lalu
lintas didapatkan hasil tingkat pelayanan jalan : untuk ruas jalan (kondisi lalu lintas
pukul 06.00 – 07.00 WIB didapat DS = 0.320, kondisi lalu lintas pukul 13.00 – 14.00
WIB didapat DS = 0.355), sedangkan untuk tingkat pelayanan simpang (kondisi lalu
lintas pukul 06.00 – 07.00 WIB didapat DS = 0.413, kondisi lalu lintas pukul 13.00 –
14.00 WIB didapat DS = 0.471). Dengan kondisi tingkat pelayanan (DS) ruas dan
simpang kurang dari 0.85, disimpulkan jalan Ngagel Madya tidak terjadi kemacetan.
Pada analisa antrian didapatkan hasil nilai tingkat kedatangan (λ) kurang dari tingkat
pelayanan (μ), kondisi ini menjelaskan kondisi antrian Jl. Ngagel Madya masih baik
atau tidak terjadi antrian yang berarti. Untuk memperbaiki kondisi lalu lintas di masa
mendatang disarankan kepada pihak Santa Clara untuk menyediakan dan mengelolah
sarana antar jemput siswa, sehingga penutupan jalan Ngagel Madya dari arah Selatan
ke Utara pada pukul 06.00 – 07.30 tidak perlu dilakukan lagi. Rahmatang R. (2010),
Jurnal SMARtek Volume 8.
Perbadingan Terhadap Studi Terdahulu
No Judul Studi Penyusun /
Tahun
Kesamaan Dengan
Studi Terdahulu
Perbedaan Dengan
Studi Terdahulu
1 Evaluasi Kinerja
Simpang Tak Budi H M.
(2016)
Metode yang
digunakan yaitu
pengamatan
Lokasi Studi di Jl.
Simpang Mengkreng
kota Jombang
8
Bersinyal (Studi
Kasus Simpang
Jl. Mengkreng
kota Jombang)
Mahasiswa
Program
Magister
Jurusan Teknik
Sipil Fakultas
Teknik
Universitas
Brawijaya.
langsung di
lapangan
Mengevaluasi
kinerja lalu lintas
di persimpangan
Mengevaluasi kinerja
simpang tak bersinyal
Studi terdahulu
menggunakan
metode MKJI 1997,
studi yang di ambil
menggunakan PKJI
2014
2
Evaluasi
Pengendalian
Simpang tak
bersinyal
Jl. Kebonsari – Jl.
Satsui Tubun
Kota Malang.
Dwinanda B.P.
(2016).
Mahasiswa
Teknik Sipil S1
ITN Malang.
Metode yang
digunakan yaitu
pengamatan
langsung di
lapangan
Membandingkan
volume dan
kecepatan
kendaraan dengan
dan tanpa di
pengaruhi
aktivitas-aktivitas
Swalayan
Lokasi pada dua
simpang di kota
malang Jl.
Kebonsari – Jl.
Satsui Tubun.
Mengevaluasi
sistem pengendalian
simpang Jl.
Kebonsari dan
satsui kota malang
3 Analisis Simpang
Empat Tak
Bersinyal
(Studi Kasus
Pada Simpang
Empat Antara
Jalan Raya
Tajem, Jalan
Purwosari), Jalan
Stadion Sleman
Fandy A O
(2010)
Mahasiswa
Universitas
Atmajaya
Yogyakarta.
Metode yang
digunakan yaitu
pengamatan
langsung di
lapangan
Menganalisa
padatnya
kendaraan pada
jam-jam tertentu
Tidak adanya
traffic light
Lokasi Studi Jl.
Raya Tajem, jalan
purwosari, dan jalan
Stadion Sleman.
Analisis
menggunakan
metode MKJI 1997
Mengevaluasi
kinerja simpang
empat tak
Bersinyal.
4 Analisa Dampak
Lalu Lintas
(Studi Kasus :
Studi kemacetan
di Jalan Ngagel
Madya Surabaya)
Rahmatang. R.
(2010)
Jurnal
SMARtek
volume 8.
Metode yang
digunakan yaitu
pengamatan
langsung di
lapangan
Menganalisa besar
kinerja atau tingkat
pelayanan dari ruas
dan simpang
Lokasi Studi di Jl.
Ngagel Madya
Surabaya.
Mengevaluasi
dampak lalu lintas
Analisa
menggunakan
metode MKJI 1997.
Berdasarkan studi yang dilakukan terdahulu, maka di buat perbandingan Sebagaimana
yang tertera pada tabel diatas, studi-studi ini sama-sama mengevaluasi kinerja pada lokasi
9
yang dilakukan penelitian, namun alat ukur yang di gunakan untuk menganalisis pada studi
terdahulu menggunakan MKJI 1997, sedangkan pada studi ini dianalisis menggunakan PKJI
2014. Sehingga dapat dikembangkan dan di pakai sebagai acuan untuk melakukan evaluasi
pada simpang tak bersinyal jalan raya Tlogomas, akses keluar masuk terminal Landungsari
Kota Malang.
2.2 Simpang Tak Bersinyal
Pada umunya simpang tak bersinyal dengan pengaturan hak jalan (prioritas dari
sebelah kiri) digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan daerah pedalaman bagi
persimpanagan antara jalan setempat yang arusnya rendah. Bagi persimpangan jalan yang
berbeda kelas rencananya dan atau fungsinya, lalu lintas pada jalan simpang harus diatur
dengan tanda “yield” atau “stop”. Perubahan dari simpang tak bersinyal menjadi bersinyal
atau bundaran dapat juga dengan pertimbangan keamanan lalu lintas untuk mengurangi
kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara kendaraan yang berlawanan arah akibat
kecepatan yang tinggi sedangkan jarak pandang tidak cukup akibat terhalang rumah-rumah,
tanaman atau halangan lain dekat pojok persimpangan. Simpang tak bersinyal berlengan 3
dan 4 secara formil dikendalikan oleh aturan dasar lalulintas indonesia yaitu memberi jalan
kendaraan dari kiri. Ukuran kinerja berikut dapat diperkirakan untuk kondisi tertentu
sehubungan dengan geometri, lingkungan dan lalulintas dengan metode yang diuraikan dalam
bab ini diantaranya:
a. Kapasitas
b. Derajat kejenuhan
c. Tundaan
d. Peluang antrian
Karena metode yang diuraikan dalam manual ini berdasarkan empiris, hasilnya
akan selalu diperiksa dengan penilaian teknik lalulintas yang baik. Hal ini sangat baik
apabila metode digunakan pada tabel 2.1, penggunaan data tersebutakan menyebabkan
keselahan parkiran kapasitas yang biasanya kurang dari 20%.
Tabel 2.1 Batas nilai variasi dalam data empiris untuk Kapasitas Simpang (berdasarkan
perhitungan dalam kendaraan )
10
Sumber : PKJI 2014, Bab 5: hal 31
Metode ini menganggap bahwa simpang jalan berpotongan tegak lurus dan terletak
pada alinyemen datar dan berlaku untuk derajat kejenuhan kurang dari 0,8 – 0,9. Pada
kebutuhan lalulintas yang lebih tinggi perilaku-perilaku lalulintas menjadi lebih agresif dan
ada resiko tinggi bahwa simpang tersebut akan terhalang oleh para pengemudi yangberebut
ruang terbatas pada daerah konflik. Metode ini di turunkan dari lokasi-lokasi, yang
mempunyai perilaku-perilaku lalu lintas indonesia yang diamati pada simpang tak bersinyal.
Apabila perilaku ini berubah misalnya karena pemasangan dan pelaksanaan rambu-rambu
lalulintas BERHENTI atau BERI JALAN pada simpang tak bersinyal, atau melalui
penegakan aturan hak jalan lebih dulu dari kiri (undang-undang lalulintas yang ada), maka
metode ini akan menjadi kurang sesuai.
Gambar 2.1 Contoh gambar simpang tak bersinyal
2.3 Kondisi Lingkungan
Untuk setiap pendekat, ada tiga macam tipe lingkungan jalan:
Komersial, tata guna lahan komersial seperti toko, restortan, kantor dan lain
sebagainya, dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Pemukiman, tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan
kaki dan kendaraan.
11
Akses terbatas, jalan masuk langsung terbatas atau tidak ada sama sekali, misalnya:
adanya hambatan fisik, jalan samping dan lain sebagainya.
2.3.1 Kondisi Arus Lalu-Lintas
Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok kiri QLT lurus QST dan belok kanan
QRT) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (SMP) per-jam
dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat
terlindung dan terlawan.
Jenias Kendaraan Emp Untuk Tipe Pendekar Terlindung Terlawan Kendaraan ringan
(LV) 1,0 1,0 Kendaraan berat (HV) 1,3 1,3 Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4 Sumber: IHCM,
1997: 2-10 5. Tingkat Pelayanan (Level of Service) Menurut Highway Capacity Manual,
TRB Special Report 209 (1985), untuk mengetahui pelayanan suatu jalan digunakan ukuran
tingkat pelayanan yang membagi menjadi 6 tingkat pelayanan, mulau dari yang terbaik
sampai yang terjelek yaitu: A sampai F. pengklasifikasian tingkat pelayanan pada
persimpangan biasanya didasarkan atas load factor
2.4 Konflik Pada Persimpangan
Persimpangan merupakan tempat yang rawan terhadap kecelakaan karena terjadinya
konflik antara kendaraan yang satu dengan kendaraan yang lainnya ataupun antara kendaraan
dengan pejalan kaki, oleh karena itu persimpangan merupakan aspek penting dalam
pengendalian lalu lintas. Satu penenempatan jalan sebidang menghasilkan 16 titik konflik.
Upaya memperlancar arus lalu lintas adalah dengan meniadakan titik konflik ini, misalnya
dengan membangun pulau lalu lintas atau bundaran, memasang lampu lalu lintas yang
mengatur giliran gerak kendaraan, menerapkan arus searah, menetapkan larangan belok
kanan atau membangun simpang susun (Suwardjoko P. Warpani (dalam Robby, 2010:10)
Gambar 2.2 Titik – Titik Konflik Lalu Lintas
12
2.5 Jenis-Jenis Pengaturan simpang
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, semakin tinggi tingkat kompleksitas suatu
simpang, makin tinggi pula kebutuhan pengaturan simpangnya. Jenis pengaturan simpang
sebidang dapat dikelompokkan menjadi dua :
- Pengaturan simpang tanpa lampu lalulintas
- Pengaturan simpang dengan lampu lalulintas
Setiap pemasangan lampu lalu lintas bertujuan untuk memenuhi satu atau lebih fungsi-fungsi
sebagai berikut :
1. Mendapatkan gerakan lalulintas yang teratur.
2. Meningkatkan kapasitas lalulintas pada perempatan jalan.
3. Mengkoordinasikan lalu lintas dibawah kondisi jarak sinyal yang cukup baik,
sehingga aliran lalu lintas tetap berjalan meneruspada kecepatan tertentu.
4. Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan
kendaraan lain atau pejalan kaki.
5. Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan
kendaraan lain atau pejalan kaki.
6. Mengatur penggunaan jalu lali lintas.
7. Sebagai pengendali ramp pada jalan masuk menuju jalan bebas hambatan (enterance
freeway).
8. Memustuskan arus lalu lintas bagi lewatnya kendaraan darurat (ambulance) atau pada
jembatan gerak.
2.6 Data Masukan
Data yang diperlukan dalam pola pengaturan lampu lalu lintas adalah (sumber: PKJI,
2014: bab 5, hal 17) :
1. Data Geometrik Simpang
Gunakan Formulir SIM-I, lengkapi data Simpang dengan tanggal, bulan tahun, nama
kota dan provinsi, nama jalan mayor dan jalan minor, periode data lalu lintas, serta nama
personil yang menangani kasus ini. Buat sketsa geometrik Simpang pada kotak sebelah kiri
atas. Tandai dengan teks A dan/atau C untuk masing-masing pendekat pada jalan minor dan
teks B dan D untuk masing-masing pendekat jalan mayor. Tandai arah Utara.
Jalan mayor adalah jalan yang terpenting pada suatu Simpang, misal jalan dengan
klasifikasi fungsi tertinggi. Untuk Simpang-3, jalan yang menerus selalu menjadi jalan mayor
13
dan diberi notasi B dan atau D. Pendekat jalan minor diberi notasi A dan atau C. Urutan
pemberian notasi dimulai dari Utara dengan notasi A dan seterusnya searah jarum jam.
Untuk desain Simpang baru, data geometrik adalah data Simpang awal sebagai bentuk
yang ingin dicapai. Untuk peningkatan Simpang yang lama atau evaluasi kinerja lalu lintas
Simpang yang telah operasional, data geometrik Simpang adalah data eksisting.
Lengkapi sketsa dengan tanda kereb, lebar jalur pendekat, bahu, dan median. Ukur
lebar lajur pendekat pada bagian pendekat yang tersempit atau paling tidak 10m dari garis
pertemuan batas lajur yang bersimpangan (lihat contoh pada Gambar 4). Jika median cukup
lebar sehingga memungkinkan kendaraan melintas Simpang dalam dua tahap dengan berhenti
di tengah (≥3m), maka kotak di bagian bawah sketsa diisi "Lebar", jika t tidak ditulis
"Sempit" atau jika tidak ada dicatat "Tidak ada".
Gambar 2.3 Contoh sketsa geometrik dan masukan datanya.
2. Data arus lalulintas
Formulir kerja untuk mencatat data lalu lintas ini masih dalam Formulir SIM-I. Data
arus lalu lintas untuk tahun yang dianalisa berupa qJD dalam satuan kend/jam terinci per
pergerakan lalu lintas di Simpang di sketsa seperti dalam contoh Gambar 5. Data tersebut
terdiri dari:
1) sketsa arus lalu lintas yang menggambarkan berbagai gerakan dari setiap pendekat
dan nilai arusnya yang dinyatakan dalam satuan kend/jam
2) komposisi lalu lintas (%).
Jika komposisi lalu lintas untuk seluruh pendekat sama, maka tuliskan nilai
komposisi tersebut pada tempat yang tersedia, masing-masing untuk komposisi
KR, KS, dan SM. Hitung faktor skr (Fskr) dari data komposisi arus lalu lintas
14
kendaraan bermotor tersebut menggunakan nilai ekr yang sesuai. Fskr dihitung
menggunakan persamaan 22.
Kemudian hitung arus total untuk masing-masing gerakan dalam satuan skr/jam,
gunakan nilai Fskr tersebut untuk mengkonversikan satuan dari kend/jam menjadi
skr/jam. Tuliskan hasilnya pada tempat yang tersedia.
jika komposisi lalu lintas untuk seluruh pendekat tidak sama, maka masukan nilai
arus per komposisi per pergerakan langsung pada kolom yang tersedia di bawah
heading KR, KS, dan SM; Konversikan ke dalam satuan skr/jam menggunakan
nilai ekr yang sesuai dan hitung arus total untuk masing-masing gerakan lalu lintas,
dan
3) Arus kendaraan tak-bermotor, qKTB
qJD dapat diperoleh sebagai hasil pengukuran arus lalu lintas eksisting (untuk
melakukan evaluasi kinerja), atau sebagai hasil prediksi (untuk menetapkan Tipe
Simpang baru atau peningkatan). Jika data lalu lintas yang tersedia dalam bentuk
LHRT, maka qJD dapat dihitung dengan menggunakan nilai faktor-k yang sesuai,
qJD= LHRTxk. Jika nilai faktor-k tidak tersedia, maka gunakan nilai default
faktor-k yang nilainya berkisar antara 7%-12%. Nilai yang kecil agar digunakan
untuk Simpang dengan lalu lintas yang lebih padat dan yang besar untuk lalu lintas
yang lebih lengang atau lihat Tabel 6.
Gambar 2.4 Contoh sketsa arus lalu lintas
2.7 Kapasitas Simpang ( C )
Menurut PKJI 2014 bab 5 ; hal 9, Kapasitas Simpang dihitung untuk total arus yang
masuk dari seluruh lengan Simpang dan didefinisikan sebagai perkalian antara kapasitas
15
dasar (C0) yaitu kapasitas pada kondisi ideal, dengan faktor-faktor koreksi yang
memperhitungkan perbedaan kondisi lingkungan terhadap kondisi idealnya. Persamaan 2.7
adalah persamaan untuk menghitung kapasitas Simpang.
Kapasitas dihitung dari rumusan berikut :
C = CO x FLP x FM x FUK x FHS x FBKi x FBKax FRmi (skr/jam)…………(2.7)
Dimana :
C = kapasitas
CO = nilai kapasitas dasar
FLP = faktor penyesuaian lebar pendekat
FM = faktor penyesuaian median jalan mayor
FUK = faktor penyesuaian ukuran kota
FHS = faktor penyesuaian lingkungan jalan, hambatan samping, dan
kendaraan tak bermotor
FBKi = faktor penyesuaian belok kiri
FBKa = faktor penyesuaian belok kanan
FRmi = faktor penyesuaian rasio arus jalan minor
2.7.1 Kapasitas Dasar
Nilai kapasitas ditentukan berdasarkan tipe persimpangan yang akan dijelaskan
dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Kapasitas Dasar Tipe Simpang
Tipe simpang
C0,skr/jam
322 2700
324 atau 344 3200
422 2900
424 atau 444 3400
Sumber:PKJI 2014, Bab 5- Hal 10
16
2.7.2 Penetapan Tipe Simpang
Tipe simpang ditetapkan berdasarkan jumlah lengan simpang dan jumlah lajur pada
jalan mayor dan jalan minor dengan kode tiga angka pada table di bawah. Jumlah lengan
adalah jumlah lengan untuk lalu lintas masuk atau keluar atau keduanya.
Tabel 2.3 Penetapan Tipe Simpang
Kode
Tipe Simpang
Jumlah Lengan
Simpang
Jumlah Lajur
Jalan Minor
Jomlah lajur
Jalan mayor
322 3 2 2
324 3 2 4
422 4 2 2
424 4 2 4
Sumber : PKJI 2014, Bab 5- Hal 10
2.7.3 Penetapan lebar rata-rata pendekat
Nilai CO tergantung dari tipe simpang dan penetapannya harus berdasarkan data
geometric. Data geomertik yang diperlukan untuk penetapan Tipe Simpang adalah jumlah
lengan Simpang da jumlah lajur pada setiap pendekat. Penetapan jumlah lajur perpendekat
diuraikan dalam gambar di bawah. Pertama, harus di hitung lebar rata-rata pendekat jalan
mayor (LRPBD) dan lebar rata-rata pendekat jalan minor (LRP AC)yaitu rata-rata lebar pendekat
dari setiap kaki Simpangnya. Berdasarkan lebar rata-rata pendekat, tetapkan jumlah lajur
pendekat sehingga tipe Simpang dapat ditetapkan. Cara menetapkannya lihat gambar di
bawah. Untuk simpang-3. Pendekat minornya A atau hanya C dan lebar rata-rata pendekat
adalah a/2 atau c/2
Gambar 2.5 Penentuan jumlah lajur
2.7.4 Faktor Penyuasaian Lebar Pendekat ( )
17
FLP dapat dihitung dari persamaan 3) sampai dengan 6) atau diperoleh dari
diagram pada Gambar 2.6. dalam Lampiran B, yang besarnya tergantung dari lebar rata-
rata pendekat Simpang (LRP), yaitu rata-rata lebar dari semua pendekat.
Untuk Tipe Simpang 422: FLP= 0,70 + 0,0866 LRP (2.2)
Untuk Tipe Simpang 424 atau 444: FLP = 0,62 + 0,0740 LRP (2.3)
Untuk Tipe Simpang 322: FLP = 0,73 + 0,0760 LRP (2.4)
Untuk Tipe Simpang 324 atau 344: FLP = 0,70 + 0,0646 LRP (2.5)
Gambar 2.6 Faktor Koreksi Lebar Pendekat (Flp) (Sumber : PKJI 2014,Bab 5 : Hal
32)
2.7.5 Faktor Penyuasaian Median Pada Jalan Mayor (FM )
PKJI 2014, median disebut lebar jika kendaraan ringan dapat berlindung dalam daerah
median tanpa mengganggu arus lalu lintas, sehingga lebar median20
≥ 3 m. Klasifikasi median berikut faktor koreksi median pada jalan Mayor diperoleh dalam
Tabel 2.4. Koreksi median hanya digunakan untuk jalan Mayor dengan 4 lajur.
Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)
Sumber : PKJI 2014, bab 5 hal 11
Kndisi Simpang Tipe M Faktor Penyesuaian
Median (FM)
Tidak ada median jalan Mayor Tidak ada 1.00
Ada median jalan utama, lebar < 3m Sempit 1.05
Ada median jalan utama, lebar ≥ 3m Lebar 1.20
18
2.7.6 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota ( FUK )
PKJI 2014, faktor koreksi ukuran kota dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah
penduduk dalam variabel juta, dicantumkan dalam tabel 2.5.
Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FUK)
Ukuran Kota
CS
Penduduk
Juta
Faktor Penyesuaian Ukuran Kota
FCS
Sangat kecil < 0,1 0,82
Kecil 0,1 – 0,5 0,88
Sedang 0,5 – 1,0 0,94
Besar 1,0 – 3,0 1,00
Sangat besar > 3,0 1,05
Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 11
2.7.7 Faktor tipe Lingkungan, Hambatan Samping, Kendaraan Tak Bermotor ( FHS
)
PKJI 2014, Pengkategorian tipe lingkungan dan hambatan samping, sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan masing-masing pada Tabel 2.6 yang keseluruhannya
digabungkan menjadi satu nilai termasuk rasio Kendaraan Tak Bermotor (RKTB),
disebut faktor koreksiHambatan Samping (FHS) ditunjukkan dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan Hambatan Samping dan
Kendaraan Tak Bermotor (FHS)
Kelas Tipe
Lingkungan Jalan
RE
Kelas Hambatan
Samping SF
Rasio Kendaraan Tak Bermotor PUM
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25
Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70
Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
Pemukiman Tinggi 0,96 0,91 0,87 0,82 0,77 0,72
Sedang 0,97 0,92 0,88 0,82 0,77 0,73
Rendah 0,98 0,93 0,89 0,83 0,78 0,74
Akses terbatas Tinggi sedang
rendah
1,00 0,95 0,90 0,90 0,80 0,75
Sumber : PKJI 2014; bab 5 hal 11
19
2.7.8 Faktor Penyesuaian Belok Kiri ( FBKi )
PKJI 2014, untuk menghitung faktor koreksi rasio arus belok kiri (FBKi),
persamaan yang digunakan adalah persamaan (3-6) atau dapat ditentukan melalui
diagram pada gambar 2.7 dibawah ini.
FBKi = 0,84 + 1,61 RBki ................................................................(2-7)
Keterangan:
FBKi = Faktor koreksi arus belok kiri.
RBKi = Rasio belok kiri.
Gambar 2.7 Faktor Penyesuaian Belok Kiri (Sumber : PKJI 2014 bab 5, hal 33)
20
2.7.9. Faktor Penyesuaian Belok Kanan ( FBKa )
PKJI 2014, karna simpang yang akan diteliti adalah Simpang empat makafaktor
koreksi rasio arus belok kanan, FBk = 1,0.
Gambar 2.8 Faktor Penyesuaian Belok Kanan (Sumber : PKJI 2014 bab 5 hal 33)
2.7.10 Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor ( FRmi )
PKJI 2014, faktor koreksi rasio arus dari jalan minor (FRmi) dapat ditentukan
menggunakan persamaan-persamaan yang ditabelkan dalam Tabel. atau diperoleh secara
grafis menggunakan diagram dalam Gambar 2.9. FRmi tergantung dari rasio dari jalan
Minor (RMi) dan tipe Simpang. Agar diperhatikan ketentuan umum tentang keberlakuan
rasio dari jalan Minor (RMi) untuk analisis kapasitas.
Gambar 2.9 Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 34)
2.8. Perilaku Lalu Lintas
2.8.1 Derajat Kejenuhan
Derajat Kejenuhan dapat dihitung menggunakan rumus (PKJI 2014):
DJ = q / C ......................................................................(2-7)
Keterangan:
21
q : Semua arus lalu lintas yang masuk Simpang dalam satuan skr/jam. q dihitung
menggunakan rumus (2-8).
q = qkend x Fskr .......................................................................(2-8)
Fskr : Faktor skr yg dihitung menggunakan persamaan (3-9).
Fskr = ekrKR x %qKR + ekrKS x %qKS + ekrSM x %qSM .........(2-9)
ekrKR, ekrKS, ekrSM masing-masing adalah ekr untuk KR, KS, dan SM yang
dapat diperoleh dari Tabel 3.11. qKR, qKS, qSM masing-masing adalah q untuk KR, KS,
dan SM. C : Kapasitas (skr/jam)
2.8.2 Tundaan (T)
Tundaan adalah perbedaan waktu perjalanan dari suatu perjalanan dari satu titik ke titik
tujuan antara kondisi arus bebas dengan arus terhambat (Alamsyah, 2005:177). Tundaan
merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan kualitas daripada lalu lintas.
Tundaan dipergunakan sebagai kriteria untuk menentukan lalu lintas tingkat kemacetan suatu
jalan, makin besar nilai tundaan, makin besar pula tingkat kemacetan pada ruas jalan tersebut.
PKJI 2014, tundaan terjadi karena dua hal, yaitu tundaan lalu lintas (TLL) dan tundaan
geometrik (TG). Tundaan lalu lintas adalah tundaan yang disebabkan oleh interaksi antara
kendaraan dalam arus lalu lintas. Tundaan lalu lintas dibedakan dari seluruh simpang, dari
jalan Mayor saja atau jalan Minor saja. Waktu Tundaan (T) dihitung menggunakan
persamaan (3-10).
Waktu Tundaan dapat dihitung menggunakan rumus (PKJI 2014):
T = TLL + TG .......................................................................................(2-10)
Keterangan:
TLL = Tundaan lalu lintas rata-rata untuk semua kendaraan bermotor yang masuk
Simpang dari semua arah, dapat dihitung menggunakan persamaan (3-11) dan
(3-12) atau ditentukan dari kurva empiris sebagai fungsi dari DJ dapat dilihat
pada Gambar 3.5.
Untuk DJ ≤ 0,60: TLL = 2 + 8,2078 DJ – (1 – DJ)2 .......................(2-10)
Untuk DJ > 0,60: TLL = 1,0504 /(0,2742−0,2042 DJ) – (1 - DJ)² ....(2-10)
22
Gambar 2.10 Tundaan Lalu Lintas Simpang (T) (Sumber : PKJI 2014; bab 5,hal 34)
a. Tundaan Lalu Lintas Jalan Mayor TLIMA)
Tundaan lalu lintas untuk jalan Mayor (TLLma) adalah tundaan lalu lintas rata-rata
untuk semua kendaraan bermotor yang masuk Simpang dari jalan Mayor, dapat dihitung
menggunakan persamaan (2-11) atau ditentukan dari kurva empiris sebagai fungsi dari DJ
(Gambar 2.11).
Untuk DJ ≤ 0,60: TLLma = 1,8 + 5,8234 DJ – (1 – DJ ......................(2-13)
Untuk DJ > 0,60: TLLma = 1,0503/(0,346−0,246𝐷𝐽) – (1 - DJ .........(2-14)
Gambar 2.11 Tundaan Lalu Lintas Jalan Mayor (I) (Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 35)
b. Penentuan Tundaan Lalu Lintas Jalan Minor (TLLMA)
Tundaan lalu lintas jalan minor rata – rata, ditentukan berdasarkan tundaan
simpang rata – rata dan tundaan jalan utama rata – rata.
TLLLMA = (QTOT x TLL – qMA x TLLMA)/ qMI (dtk/smp)
Dimana :
TLLMA = tundaan untuk jalan minor
TLL = tundaan untuk jalan mayor
QTOT = volume arus
qMA = volume arus lalu lintas pada jalan mayor
23
qMI = volume lalu lintas pada jalan minor
c. Tundaan Geometrik Simpang (TG)
Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata – rata seluruh
kendaraan bermotor yang masuk simpang, DG dihitung dari rumus berikut:
Untuk Dj< 1,0 :
DG = (1 – Dj) x ( RB x 6 + (1-RB) x 3 ) + Dj x 4 (dtk/smp)
Untuk Dj ≥ 1,0 : TG = 4
Dimana :
TG = tundaan geometrik simpang
Dj = derajat kejenuhan
RB = rasio belok total
d. Tundaan Simpang (T)
Tundaan simpang dihitung sebagai berikut :
D = TG + TLL (dtk/smp)
Dimana :
TG = tundaan geometrik simpang
TLL = tundaan lalu lintas simpang
2.8.3 Peluang Antrian (PA)
Peluang antrian (PA) dinyatakan dalam rentang kemungkinan (%) dan dapat
ditentukan menggunakan persamaan (3-17) dan (3-18) atau ditentukan menggunakan
Gambar 2.12. PA tergantung dari DJ. Nilai derajat kejenuhan (DJ) digunakan sebagai
salah satu dasar penilaian kinerja lalu lintas simpang.
Batas Atas peluang: PA = 47,71 Dj– 24,68 Dj2 + 56,47 Dj3 .............(2-12)
Batas Bawah peluang: PA= 9,02 Dj+ 20,66 Dj2 + 10,49 Dj3 .............(2-12)
Keterangan:
PA = Peluang antrian
DJ = Derajat Kejenuhan
24
Gambar 2.12 Peluang Antrian (QP%) (Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 35)
2.8.4 Penilaian Perilaku Lalulintas
Pedoman Kapasitas Jalan Indonesi (PKJI) 2014 ini terutama direncanakan
untuk memperkirakan kapasitas dan perilaku lalu lintas pada kondisi tertentu berkaitan
dengan rencana geometrik jalan, lalu lintas, dan lingkungan. Karena hasilnya biasanya
tidak dapat diperkirakan sebelumnya, mungkin diperlukan beberapa perbaikan dengan
pengetahuan para ahli lalu lintas, terutama kondisi geometrik, untuk memperoleh
perilaku lalu lintas yang diinginkan berkaitan dengan kapasitas, tundaan, dan sebagainya.
Cara yang cepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat kejenuhan
(Dj) untuk kondisi yang diamati, dan membandingkannya dengan pertumbuhan lalu
lintas tahunan dan “umur” fungsional yang diinginkan dan simpang tersebut. Jika nilai
derajat kejenuhan (Dj) yang diperoleh terlalu tinggi (>0,85), pengguna manual mungkin
ingin merubah anggapan yang berkaitan dengan lebar pendek dan sebagainya dan
membuat perhitungan yang baru.
2.9 Fasilitas Pengaturan Pada Persimpangan Tak Bersinyal
Fasilitas pengaturan lalu lintas jalan raya sangat berperan dalam menciptakan
ketertiban, kelancaran, dan keamanan bagi lalu lintas jalan raya, sehingga keberadaannya
sangat dibutuhkan untuk memberi petunjuk dan pengarahan bagi pemakai jalan raya.
Pengaturan lalu lintas dapat digolongkan dalam jenis yaitu :
2.9.1 Marka Jalan (Traffic Marking)
25
Marka lalu lintas adalah semua garis – garis, pola – pola, kata – kata warna atau
benda – benda lain (kecuali rambu) yang dibuat pada permukaan bidang dipasang
atau diletakkan pada permukaan atau peninggian atau curb atau pada benda –
benda di dalam atau berdekatan pada jalan, yang dipasang secara resmi dengan
maksud untuk mengatur atau larangan, peringatan, atau memberi pedoman pada
lalu lintas.
2.10 Simpang Bersinyal
Simpang bersinyal adalah suatu persimpangan yang terdiri dari beberapa lengan dan
dilengkapi dengan pengaturan sinyal lampu lalulintas (traffic light).adapun tujuan
penggunaan sinyal lampu lalulintas (traffic light) pada persimpangan antara lain :
a) Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus
lalu-lintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat
dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu-lintas jam puncak.
b) Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan/atau pejalan kaki
dari jalan simpang (kecil) untuk memotong jalan utama.
c) Untuk mengurangi jumlah kecelakaan Ialu-lintas akibat tabrakan
antara kendaraan dari arah yang bertentangan.
Ukuran kualitas dari kinerja simpang adalah dengan menggunakan
variable sebagai berikut:
A. Karakteristik Geometrik
1. Pendekat
Jalur pada lengan Simpang untuk kendaraan mengantri sebelum keluar melewati
garis henti.
2. Lebar Pendekat, LP (m)
Lebar awal bagian pendekat yang diperkeras, digunakan oleh lalu lintas
memasuki Simpang.
3. Lebar Jalur Masuk, Lm (m)
Lebar pendekat diukur dari garis henti.
4. Lebar Jalur Keluar, Lk (m)
Lebar pendekat diukur pada bagian yang di gunakan lalu lintas keluar
Simpang.
26
5. Lebar Jalur Efektif, (m)
Lebar pendekat yang di perhitungkan dalam kapasitas, yaitu lebar yang
mempertimbangkan LP, Lk, Lm, dan pergerakan membelok.
6. Kelandaian, G (%)
Kelandaian memanjang pendekat, jika menanjak ke arah simpang diberi tanda
positif, dan jika menurun kea rah simpang diberi tanda negative.
B. Karakteristik Lalu Lintas
1. Ekivalen kendaraan ringan, (ekr)
Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan kendaraan
ringan yang lain sehubungan dengan dampaknya pada kapasitas jala. Nilai ekr
untuk kendaraan ringan adalah satu.
2. Satuan kendaraan ringan, (skr)
Satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan di samakan
menjadi kendaraan ringan, termasuk mobil penumpang dan kendaraan ringan
lainnya, dengan menggunakan nilai ekr.
3. Arus lalu lintas melawan atau terlawan, qo (skr)
Arus lalu lintas lurus yang berangkat dari satu pendekat dan arus yang belok
kanan dari arah pendekat yang berlawanan terjadi dalam satu fase hijau yang
sama; atau arus yang membelok ke kanan dan arus lalu lintas yang lurus dari arah
yang berlawanan terjadi dalam satu fase hijau yang bersamaan. Arus lalu lintas
yang berangkat disebut arus berlawanan, dan arus lalu lintas dari arah berlawanan
disebut arus melawan.
4. Arus lalu lintas terlindung, qp (skr atau kend/jam)
Arus lalu lintas yang lurus diberangkatkan ketika arus lalu lintas belok kanan dari
arah berlawanan sedang menghadapi isyrat merah; atau arus lalu lintas yang belok
kanan diberangkatkan ketika arus lalu lintas dari arah yang berlawanan sedang
menghadapi isyarat merah, sehingga tidak ada konflik.
5. Belok kiri, (Bki)
Indeks untuk lalu lintas belok kiri
6. Belok kiri jalan terus, (BkiJT)
Indeks untuk arus lalu lintas belok kiri yang pada saat isyarat merah menyalah di
izinkan jalan terus.
7. Belok kanan, (Bka)
Indeks untuk arus lalu lintas belok kanan
27
8. Arus lalu lintas, Q (skr/hari atau kend./hari), q (skr/jam atau kend./jam).
Jumlah kendaraan-kendaraan yang melalui suatu garis tak terganggu di hulu
pendekat per satuan waktu, dalam satuan kend./jam atau ekr/jam. Notasi Q dipakai
untuk menyatakan LHRT.
9. Arus jenuh, S (skr/jam)
Besarnya arus lalu lintas keberangkatan antrian dari dalam suatu pendekat
selama kondisi yang ada.
10. Derajat kejenuhan, Dj
Rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat.
11. Kapasitas, C (skr/jam)
Arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan selama waktu paling
sedikit satu jam.
12. Tundaan, T (detik)
Waktu tempuh tambahan yang digunakan pengemudi untuk melalui suatu
simpang apabila dibandingkan dengan lintasan tampa simpang. Tundaan terdiri
dari tundaan lalu lintas, TL dan tundaan geometri, Tg . Tundaan lalu lintas adalah
waktu menunggu yang disebabkan interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas
yang bertentangan. Tundaan geometri adalah tundaan yang disebabkan oleh
perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di simpang dan/atau yang
terhenti oleh lampu merah.
13. Panjang antrian, PA (m)
Jumlah rata-rata antrian kendaraan pada awal isyarat lampu hijau dihitung
sebagai jumlah kendaraan terhenti yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
ditambah jumlah kendaraan yang datang dan terhenti dalam antrian selama fase
merah.
C. Parameter Pengaturan Sinyal
1. Fase
Fase adalah bagian dari suatu siklus yang dialokasikan untuk kombinasi
pergerakan-pergerakan lalu lintas yang menerima hak-prioritas-jalan secara
simultan selama satu interval waktu atau lebih.
2. Waktu siklus, c (detik)
Waktu siklus (c) adalah waktu untuk urutan lengkap isyarat alat pemberi isyarat
lalu lintas, missal waktu diantara dua permulaan hijau yang berurutan pada suatu
pendekat.
28
3. Waktu hijau, H (detik)
Waktu hijau (H) adalah waktu isyarat lampu hijau sebagai izin berjalan bagi
kendaraan-kendaraan pada lengan Simpang yang di tinjau.
4. Waktu hijau maksimum, Hmaks (detik)
Waktu hijau maksimum (Hmaks) adalah waktu isyarat hijau terlama yang diizinkan
untuk pendekatan yang ditinjau.
5. Waktu hijau minimum, Hmin (detik)
aktu hijau minimum (Hmin ) adalah waktu isyarat hijau terpendek yang diperlukan
dalam satu fase kendali lalu lintas kendaraan.
6. Waktu hijau hilang total, HH (detik)
Waktu hijau hilang total (HH ) adalah jumlah semua periode antar hijau dalam satu
siklus lengkap, dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus (c) dengan
jumlah waktu hijau (H) dalam semua fase yang berurutan.
7. Waktu isyarat kuning, K (detik)
Waktu isyarat kuning (K) adalah waktu dimana lampu kuning dinyalakan setelah
lampu hijau dalam sebuah pendekat.
8. Waktu isyarat merah, M (detik)
Waktu isyarat merah (M) adalah waktu isyarat merah sebagai larangan berjalan
bagi kendaraan-kendaraan pada lengan Simpang yang ditinjau.
9. Waktu isyarat merah semua, Msemua (detik)
Waktu isyarat merah semua (Msemua) adalah waktu isyarat merah menyalah
bersamaan pada setiap pendekat.
10. Faktor jam sibuk/puncak
Dalam kasus persimpangan jalan, perbandingan jumlah kendaraan yang memasuki
persimpangan selama jam puncak dengan empat kali empat kali jumlah kendaraan
yang masuk selama 15 menit puncak.
2.10.1 Lampu Lalulintas (traffic light)
a.) Dalam membuat suatu pengaturan, maka harus ditentukan kombinase fase yang akan
digunakan. Dalam penentuan fase ini harus mempertimbangkan besar dan arah
pergerakan masing-masing kendaraan. Tujuan pemilihan fase ini adalah guna
menghindari titik konflik yang berlebihan ( khususnya konflik cross ).
29
b.) Menentukan besar arus (Q) dari setiap lengan untuk setiap fase dalam satuan mobil
penumpang ( smp ).
c.) Menentukan faktor “y” untuk setiap lengan dari fase, Dimana rumus y = Q/S
d.) Menentukan besarnya lost time pada saat lampu hijau ( L1 ). Untuk penentuan besar
L1 biasanya dilakukan dengan cara meperkirakan.
e.) Menentukan besarnya lost time pada saat intergreen period ( L2=all red )
f.) Menentukan besarnya lost time dalam 1 siklus ( L ) dimana L = h* ( L1 + L2 ) ; dimana h
adalah jumlah kombinase fase .
g.) Menentukan effective green untuk setiap i dimulai dari n = 1
h.) Menentukan actual green time untuk setiap fase dapat dihitung dengan rumus
AGT + yellow light = EGT + L2 ; dimana biasanya untuk yellow light adalah 3 sekon.
Tabel 2.7 Waktu siklus yang disarankan
Tipe Pengaturan Waktu Siklus Yang Layak
(det)
Pengaturan dua fase
Pengaturan tiga fase
Pengaturan empat fase
40-80
50-100
80-130
2.11 Penetapan Tingkat Pelayanan
Penetapan tingkat pelayanan bertujuan untuk menetapkan tingkat pelayanan pada
suatu ruas jalan dan atau persimpangan (Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
Nomor 96 Tahun 2015).
Tingkat pelayanan harus memenuhi indikator :
1. Rasio antara volume dan kapasitas jalan
2. Kecepatan yang merupakan kecepatan batas atas dan kecepatan batas bawah yang
ditetapkan berdasarkan kondisi daerah.
3. Waktu perjalanan
4. Kebebasan bergerak
5. Keamanan
6. Keselamatan
7. Ketertiban
8. Kelancaran, dan
9. Penilaian pengemudi terhadap kondisi arus lalu lintas
30
Tingkat pelayanan, meliputi :
1. Tingkat Pelayanan Pada Ruas
Tingkat pelayanan pada ruas jalan diklasifikasikan atas :
a. Tingkat pelayanan A, dengan kondisi :
Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan sekurang –
kurangnya 80 kilometer/jam.
Kepadatan lalu lintas sangat rendah.
Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa
atau dengan sedikit tundaan.
b. Tingkat pelayanan B, dengan kondisi :
Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan sekurang –
kurangnya 70 kilometer/jam.
Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum
mempengaruhi kecepatan.
Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya
dan lajur jalan yang digunakan.
c. Tingkat pelayanan C, dengan kondisi :
Arus stabil tetapi pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu
lintas yang lebih tinggi dengan kecepatan sekurang – kurangnya 60
kilometer/jam.
Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas
meningkat.
Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur
atau mendahului.
d. Tingkat pelayanan D, dengan kondisi :
Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan sekurang – kurangnya 50 kilometer/jam.
Masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus.
Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan
hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar.
Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan
kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir
untuk waktu yang singkat.
31
e. Tingkat pelayanan E, dengan kondisi :
Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas
jalan dengan kecepatan sekurang – kurangnya 30 kilometer/jam pada jalan
antar kota dan sekurang – kurangnya 10 kilometer/jam pada jalan
perkotaan.
Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi.
Pengemudi mulai merasakan kemacetan – kemacetan durasi pendek.
f. Tingkat pelayanan F, dengan kondisi :
Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang dengan
kecepatan kurang dari 30 kilometer/jam.
Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi
kemacetan untuk durasi yang cukup lama.
Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0 (nol).
2. Tingkat Pelayanan Pada Persimpangan
Tingkat pelayanan pada persimpangan diklasifikasikan atas :
Tabel 2.8 Tingkat Pelayanan Pada Persimpangan Prioritas
Tingkat
Pelayanan Kondisi Rata – Rata Tundaan Berhenti (det/kend)
A Baik Sekali < 5
B Baik 5 – 15
C Sedang 15 – 25
D Kurang 25 – 40
E Buruk 40 – 60
F Sangat Buruk > 60
Sumber : Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No.96 Tahun 2015
2.10.1 Penetapan Tingkat Pelayanan Pada Persimpangan
Tingkat pelayanan yang diinginkan pada ruas jalan pada sistem jaringan jalan primer
sesuai fungsinya, meliputi :
1. Jalan arteri primer, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya B.
2. Jalan kolektor primer, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya B.
3. Jalan lokal primer, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya C.
4. Jalan tol, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya B.
32
Tingkat pelayanan yang diinginkan pada ruas jalan pada sistem jaringan jalan
sekunder sesuai fungsnya meliputi :
1. Jalan arteri sekunder, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya C.
2. Jalan kolektor sekunder, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya C.
3. Jalan lokal sekunder, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya D.
4. Jalan lingkungan, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya D.