bab ii landasan teori 2.1 studi terdahulu 1

28
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1. Evaluasi Kinerja Simpang Tak Bersinyal (Studi Kasus Simpang Jl. Mengkreng kota Jombang) Dengan memperhatikan kondisi geometri jalan, volume arus lalu lintas, hambatan samping dan lingkungan simpang yang merupakan daerah komersil, maka dicoba untuk mengevaluasi kinerja simpang tidak bersinyal jalan raya mengkreng Kota Jombang. Cara penelitian yang dilakukan dengan melakukan survei di lapangan untuk mendapatkan data primer maupun data sekunder yang kemudian diolah dengan menggunakan manajemen simpang. Perencanaan menggunakan acuan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 dan menggunakan program KAJI (MKJI 1997) serta program Excel 2007 untuk mengolah data lalulintas. Data lalulintas diperoleh dari pencacahan jumlah kendaraan dilapangan yang dilakukan dalam bentuk tabel data kendaraan dan kemudian perilaku lalulintas simpang dapat dianalisis. Untuk simpang tak bersinyal dipakai USIG-1 dan USIG-2, untuk simpang bersinyal menggunakan SIG-1 hingga SIG-5. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa simpang Mengkreng memiliki Tundaan geometrik untuk hasil USIG adalah sebesar 4,0 sedangkan untuk rekayasa pada SIG besar tundaan geometrik adalah 3,66. nilai Derajat Kejenuhan (DS) = 1,01. Nilai ini jauh dari nilai derajat kejenuhan yang disarankan oleh MKJI 1997 untuk simpang tak bersinyal yaitu DS = 0,85. Adapun rekayasa geometri yang telah dilakukan sebagai alternating belum dapat mencapai nilai derajat kejenuhan yang diinginkan yaitu sesuai dengan yang disarankan oleh MKJI 1997. Oleh karena itu kemudian dilakukan alternatif dengan penggunaan lampu lalu lintas dan menghasilkan nilai DS rata-rata = 0,77, sehingga pemasangan lampu lalu lintas merupakan alternatif terbaik dalam memecahkan masalah kapasitas Simpang Mengkreng. Dari studi ini dapat di lihat derajat kejenuhan pada simpang Jl. Mengkreng kota Jombang adalah 1.01 nilai ini jauh dari yang disarankan oleh MKJI 1997, sehingga simpang tersebut sudah tidak layak lagi dan perlu di lakukan pemasangan lampu lalu lintas.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Studi Terdahulu

1. Evaluasi Kinerja Simpang Tak Bersinyal (Studi Kasus Simpang Jl. Mengkreng kota

Jombang)

Dengan memperhatikan kondisi geometri jalan, volume arus lalu lintas, hambatan

samping dan lingkungan simpang yang merupakan daerah komersil, maka dicoba

untuk mengevaluasi kinerja simpang tidak bersinyal jalan raya mengkreng Kota

Jombang. Cara penelitian yang dilakukan dengan melakukan survei di lapangan untuk

mendapatkan data primer maupun data sekunder yang kemudian diolah dengan

menggunakan manajemen simpang. Perencanaan menggunakan acuan Manual

Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 dan menggunakan program KAJI (MKJI

1997) serta program Excel 2007 untuk mengolah data lalulintas. Data lalulintas

diperoleh dari pencacahan jumlah kendaraan dilapangan yang dilakukan dalam bentuk

tabel data kendaraan dan kemudian perilaku lalulintas simpang dapat dianalisis.

Untuk simpang tak bersinyal dipakai USIG-1 dan USIG-2, untuk simpang bersinyal

menggunakan SIG-1 hingga SIG-5. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa

simpang Mengkreng memiliki Tundaan geometrik untuk hasil USIG adalah sebesar

4,0 sedangkan untuk rekayasa pada SIG besar tundaan geometrik adalah 3,66. nilai

Derajat Kejenuhan (DS) = 1,01. Nilai ini jauh dari nilai derajat kejenuhan yang

disarankan oleh MKJI 1997 untuk simpang tak bersinyal yaitu DS = 0,85. Adapun

rekayasa geometri yang telah dilakukan sebagai alternating belum dapat mencapai

nilai derajat kejenuhan yang diinginkan yaitu sesuai dengan yang disarankan oleh

MKJI 1997. Oleh karena itu kemudian dilakukan alternatif dengan penggunaan lampu

lalu lintas dan menghasilkan nilai DS rata-rata = 0,77, sehingga pemasangan lampu

lalu lintas merupakan alternatif terbaik dalam memecahkan masalah kapasitas

Simpang Mengkreng.

Dari studi ini dapat di lihat derajat kejenuhan pada simpang Jl. Mengkreng kota

Jombang adalah 1.01 nilai ini jauh dari yang disarankan oleh MKJI 1997, sehingga

simpang tersebut sudah tidak layak lagi dan perlu di lakukan pemasangan lampu lalu

lintas.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

6

Budi H M. (2016).

2. Evaluasi Sistim Pengendalian Simpang (Studi Kasus : Simpang Tak Bersinyal Jl.

Kebonsari – Jl. Satsui Tubun Kota Malang)

Dari hasil analisis diketahui bahwa berdasarkan Alat Pemberi Isyarat Lampu Lalu

Lintas (APIIL), simpang tak bersinyal Jl. Kebonsari – Jl. Satsui Tubun, kota Malang

perlu di pasang traffic light atau lampu pengatur lalulintas karena kinerja simpang

tidak dapat melayani kinerja arus lalulintas dengan baik terutama pada pagi pari dan

sore hari dapat di tunjukan dengan hasil perhitungan yang telah ditentukan bahwa

untuk derajat kejenuhan (DS) = 0,622 sampai 1,429 > 0,85, dimana seharusnya nilai

DS tidak melebihi 85% dari kapasitas, arus total persimpangan yaitu sebesar 3366

kend/jam hingga 10688 kend/jam selama 9 jam dalam sehari, nilai ini juga sudah

melebihi batas maksimum salah satu syarat perlu dilakukannya traffic light yaitu 750

kend/jam selama 8 jam. Sehingga perlu dilakukan pemasangan traffic light dengan

seting lampu yang sudah direkomendesikan, lampu lalulintas tidak dapat diaktifkan

pada kondisi existing , lampu lalulintas dapat di pasang dan diaktifkan kembali

dengan seting lampu yang sudah dihitung dan direkomandesikan dengan masing-

masing hari, dari solusi yang direkomendesikan digunakan 2 fase dimana Jl.

Kebonsari – Jl. Satsui Tubun dalam keadaan lampu merah menyala, dengan nilai

derajat kejenuhan (DS) = 0,462 sampai 0,892 dan rata-rata tundaan menjadi 14,876

det/kend. Evaluasi rutin kinerja simpang juga perlu dilakukan palingsedikit 3 bulan

satu kali sehingga kinerja simpang terus terpantau dengan harapan dapat

memperlancar pergerakan arus lalulintas pada simpang tak bersinyal Jl. Kebonasri –

Jl. Satsui Tubun Kota Malang dan pengguna jalan bisa melewati jalan tersebut dengan

aman dan nyaman.

Dari studi ini dapat di lihat Derajat kejenuhan melebihi yang di sarankan MKJI 1997

dan perlu di pasangkan lampu lalu lintas pada simpang tersebut.

Dwinanda B.P. (2016).

3. “Analisis Simpang Empat Tak Bersinyal ((Studi Kasus Pada Simpang Empat Antara

Jalan Raya Tajem, Jalan Purwosari, Jalan Stadion Sleman)” Sebelum dilakukan

proses analisis, dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi lalu lintas yang ada.

Penelitian dilakukan dalam tiga hari yaitu Senin 14 April 2008, Jumat 18 April 2008

dan Sabtu 19 April 2008. Waktu penelitian pada jam sibuk yaitu pagi pukul 06.30-

08.30, siang pukul 12.00-14.00 dan sore pukul 16.00-18.00.Proses analisis

menggunakan standarisasi MKJI 1997. Hasil analisis kinerja simpang saat ini

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

7

diperoleh volume terpadat pada saat jam puncak terjadi pada sore hari, Senin tanggal

14 April 2008 pada periode pengamatan pukul 16.00 - 18.00WIB. Arus Total (Q)

1762 det/smp, kapasitas total (C) 3447 det/smp, derajat kejenuhan (DS) 0,511,

tundaan total (D) 5,2162 det/smp. Dari analisis kinerja simpang untuk 10 tahun

mendatang diperoleh arus total (Q) 5247 det/smp, derajat kejenuhan (DS) 1,52,

tundaan total (D) 17,0505 det/smp.Dari nilai derajat kejenuhan tersebut maka pada

persimpangan itu untuk 10 tahun mendatang sudah tidak memenuhi kondisi yang

disyaratkan yaitu ≥ 0,75.Adapun upaya perbaikan yang mungkin dilakukan adalah

pengaturan simpang dengan sinyal. Fandy & Alexander (2010).

4. Analisa Dampak Lalu Lintas (Studi Kasus : Studi kemacetan di Jalan Ngagel Madya

Surabaya)” Studi dilakukan dengan tujuan ingin mengetahui berapa besar

kinerja/tingkat pelayanan dari ruas dan simpang pada Jalan Ngegel Madya Surabaya.

Studi ini juga menganalisa antrian kendaraan yang terjadi pada saat jam menjelang

masuk sekolah. Analisa lalu lintas yang dilakukan pada studi dampak lalu lintas ini

mengacu pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 (MKJI 1997). Dari analisa lalu

lintas didapatkan hasil tingkat pelayanan jalan : untuk ruas jalan (kondisi lalu lintas

pukul 06.00 – 07.00 WIB didapat DS = 0.320, kondisi lalu lintas pukul 13.00 – 14.00

WIB didapat DS = 0.355), sedangkan untuk tingkat pelayanan simpang (kondisi lalu

lintas pukul 06.00 – 07.00 WIB didapat DS = 0.413, kondisi lalu lintas pukul 13.00 –

14.00 WIB didapat DS = 0.471). Dengan kondisi tingkat pelayanan (DS) ruas dan

simpang kurang dari 0.85, disimpulkan jalan Ngagel Madya tidak terjadi kemacetan.

Pada analisa antrian didapatkan hasil nilai tingkat kedatangan (λ) kurang dari tingkat

pelayanan (μ), kondisi ini menjelaskan kondisi antrian Jl. Ngagel Madya masih baik

atau tidak terjadi antrian yang berarti. Untuk memperbaiki kondisi lalu lintas di masa

mendatang disarankan kepada pihak Santa Clara untuk menyediakan dan mengelolah

sarana antar jemput siswa, sehingga penutupan jalan Ngagel Madya dari arah Selatan

ke Utara pada pukul 06.00 – 07.30 tidak perlu dilakukan lagi. Rahmatang R. (2010),

Jurnal SMARtek Volume 8.

Perbadingan Terhadap Studi Terdahulu

No Judul Studi Penyusun /

Tahun

Kesamaan Dengan

Studi Terdahulu

Perbedaan Dengan

Studi Terdahulu

1 Evaluasi Kinerja

Simpang Tak Budi H M.

(2016)

Metode yang

digunakan yaitu

pengamatan

Lokasi Studi di Jl.

Simpang Mengkreng

kota Jombang

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

8

Bersinyal (Studi

Kasus Simpang

Jl. Mengkreng

kota Jombang)

Mahasiswa

Program

Magister

Jurusan Teknik

Sipil Fakultas

Teknik

Universitas

Brawijaya.

langsung di

lapangan

Mengevaluasi

kinerja lalu lintas

di persimpangan

Mengevaluasi kinerja

simpang tak bersinyal

Studi terdahulu

menggunakan

metode MKJI 1997,

studi yang di ambil

menggunakan PKJI

2014

2

Evaluasi

Pengendalian

Simpang tak

bersinyal

Jl. Kebonsari – Jl.

Satsui Tubun

Kota Malang.

Dwinanda B.P.

(2016).

Mahasiswa

Teknik Sipil S1

ITN Malang.

Metode yang

digunakan yaitu

pengamatan

langsung di

lapangan

Membandingkan

volume dan

kecepatan

kendaraan dengan

dan tanpa di

pengaruhi

aktivitas-aktivitas

Swalayan

Lokasi pada dua

simpang di kota

malang Jl.

Kebonsari – Jl.

Satsui Tubun.

Mengevaluasi

sistem pengendalian

simpang Jl.

Kebonsari dan

satsui kota malang

3 Analisis Simpang

Empat Tak

Bersinyal

(Studi Kasus

Pada Simpang

Empat Antara

Jalan Raya

Tajem, Jalan

Purwosari), Jalan

Stadion Sleman

Fandy A O

(2010)

Mahasiswa

Universitas

Atmajaya

Yogyakarta.

Metode yang

digunakan yaitu

pengamatan

langsung di

lapangan

Menganalisa

padatnya

kendaraan pada

jam-jam tertentu

Tidak adanya

traffic light

Lokasi Studi Jl.

Raya Tajem, jalan

purwosari, dan jalan

Stadion Sleman.

Analisis

menggunakan

metode MKJI 1997

Mengevaluasi

kinerja simpang

empat tak

Bersinyal.

4 Analisa Dampak

Lalu Lintas

(Studi Kasus :

Studi kemacetan

di Jalan Ngagel

Madya Surabaya)

Rahmatang. R.

(2010)

Jurnal

SMARtek

volume 8.

Metode yang

digunakan yaitu

pengamatan

langsung di

lapangan

Menganalisa besar

kinerja atau tingkat

pelayanan dari ruas

dan simpang

Lokasi Studi di Jl.

Ngagel Madya

Surabaya.

Mengevaluasi

dampak lalu lintas

Analisa

menggunakan

metode MKJI 1997.

Berdasarkan studi yang dilakukan terdahulu, maka di buat perbandingan Sebagaimana

yang tertera pada tabel diatas, studi-studi ini sama-sama mengevaluasi kinerja pada lokasi

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

9

yang dilakukan penelitian, namun alat ukur yang di gunakan untuk menganalisis pada studi

terdahulu menggunakan MKJI 1997, sedangkan pada studi ini dianalisis menggunakan PKJI

2014. Sehingga dapat dikembangkan dan di pakai sebagai acuan untuk melakukan evaluasi

pada simpang tak bersinyal jalan raya Tlogomas, akses keluar masuk terminal Landungsari

Kota Malang.

2.2 Simpang Tak Bersinyal

Pada umunya simpang tak bersinyal dengan pengaturan hak jalan (prioritas dari

sebelah kiri) digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan daerah pedalaman bagi

persimpanagan antara jalan setempat yang arusnya rendah. Bagi persimpangan jalan yang

berbeda kelas rencananya dan atau fungsinya, lalu lintas pada jalan simpang harus diatur

dengan tanda “yield” atau “stop”. Perubahan dari simpang tak bersinyal menjadi bersinyal

atau bundaran dapat juga dengan pertimbangan keamanan lalu lintas untuk mengurangi

kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara kendaraan yang berlawanan arah akibat

kecepatan yang tinggi sedangkan jarak pandang tidak cukup akibat terhalang rumah-rumah,

tanaman atau halangan lain dekat pojok persimpangan. Simpang tak bersinyal berlengan 3

dan 4 secara formil dikendalikan oleh aturan dasar lalulintas indonesia yaitu memberi jalan

kendaraan dari kiri. Ukuran kinerja berikut dapat diperkirakan untuk kondisi tertentu

sehubungan dengan geometri, lingkungan dan lalulintas dengan metode yang diuraikan dalam

bab ini diantaranya:

a. Kapasitas

b. Derajat kejenuhan

c. Tundaan

d. Peluang antrian

Karena metode yang diuraikan dalam manual ini berdasarkan empiris, hasilnya

akan selalu diperiksa dengan penilaian teknik lalulintas yang baik. Hal ini sangat baik

apabila metode digunakan pada tabel 2.1, penggunaan data tersebutakan menyebabkan

keselahan parkiran kapasitas yang biasanya kurang dari 20%.

Tabel 2.1 Batas nilai variasi dalam data empiris untuk Kapasitas Simpang (berdasarkan

perhitungan dalam kendaraan )

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

10

Sumber : PKJI 2014, Bab 5: hal 31

Metode ini menganggap bahwa simpang jalan berpotongan tegak lurus dan terletak

pada alinyemen datar dan berlaku untuk derajat kejenuhan kurang dari 0,8 – 0,9. Pada

kebutuhan lalulintas yang lebih tinggi perilaku-perilaku lalulintas menjadi lebih agresif dan

ada resiko tinggi bahwa simpang tersebut akan terhalang oleh para pengemudi yangberebut

ruang terbatas pada daerah konflik. Metode ini di turunkan dari lokasi-lokasi, yang

mempunyai perilaku-perilaku lalu lintas indonesia yang diamati pada simpang tak bersinyal.

Apabila perilaku ini berubah misalnya karena pemasangan dan pelaksanaan rambu-rambu

lalulintas BERHENTI atau BERI JALAN pada simpang tak bersinyal, atau melalui

penegakan aturan hak jalan lebih dulu dari kiri (undang-undang lalulintas yang ada), maka

metode ini akan menjadi kurang sesuai.

Gambar 2.1 Contoh gambar simpang tak bersinyal

2.3 Kondisi Lingkungan

Untuk setiap pendekat, ada tiga macam tipe lingkungan jalan:

Komersial, tata guna lahan komersial seperti toko, restortan, kantor dan lain

sebagainya, dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.

Pemukiman, tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan

kaki dan kendaraan.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

11

Akses terbatas, jalan masuk langsung terbatas atau tidak ada sama sekali, misalnya:

adanya hambatan fisik, jalan samping dan lain sebagainya.

2.3.1 Kondisi Arus Lalu-Lintas

Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok kiri QLT lurus QST dan belok kanan

QRT) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (SMP) per-jam

dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat

terlindung dan terlawan.

Jenias Kendaraan Emp Untuk Tipe Pendekar Terlindung Terlawan Kendaraan ringan

(LV) 1,0 1,0 Kendaraan berat (HV) 1,3 1,3 Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4 Sumber: IHCM,

1997: 2-10 5. Tingkat Pelayanan (Level of Service) Menurut Highway Capacity Manual,

TRB Special Report 209 (1985), untuk mengetahui pelayanan suatu jalan digunakan ukuran

tingkat pelayanan yang membagi menjadi 6 tingkat pelayanan, mulau dari yang terbaik

sampai yang terjelek yaitu: A sampai F. pengklasifikasian tingkat pelayanan pada

persimpangan biasanya didasarkan atas load factor

2.4 Konflik Pada Persimpangan

Persimpangan merupakan tempat yang rawan terhadap kecelakaan karena terjadinya

konflik antara kendaraan yang satu dengan kendaraan yang lainnya ataupun antara kendaraan

dengan pejalan kaki, oleh karena itu persimpangan merupakan aspek penting dalam

pengendalian lalu lintas. Satu penenempatan jalan sebidang menghasilkan 16 titik konflik.

Upaya memperlancar arus lalu lintas adalah dengan meniadakan titik konflik ini, misalnya

dengan membangun pulau lalu lintas atau bundaran, memasang lampu lalu lintas yang

mengatur giliran gerak kendaraan, menerapkan arus searah, menetapkan larangan belok

kanan atau membangun simpang susun (Suwardjoko P. Warpani (dalam Robby, 2010:10)

Gambar 2.2 Titik – Titik Konflik Lalu Lintas

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

12

2.5 Jenis-Jenis Pengaturan simpang

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, semakin tinggi tingkat kompleksitas suatu

simpang, makin tinggi pula kebutuhan pengaturan simpangnya. Jenis pengaturan simpang

sebidang dapat dikelompokkan menjadi dua :

- Pengaturan simpang tanpa lampu lalulintas

- Pengaturan simpang dengan lampu lalulintas

Setiap pemasangan lampu lalu lintas bertujuan untuk memenuhi satu atau lebih fungsi-fungsi

sebagai berikut :

1. Mendapatkan gerakan lalulintas yang teratur.

2. Meningkatkan kapasitas lalulintas pada perempatan jalan.

3. Mengkoordinasikan lalu lintas dibawah kondisi jarak sinyal yang cukup baik,

sehingga aliran lalu lintas tetap berjalan meneruspada kecepatan tertentu.

4. Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan

kendaraan lain atau pejalan kaki.

5. Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan

kendaraan lain atau pejalan kaki.

6. Mengatur penggunaan jalu lali lintas.

7. Sebagai pengendali ramp pada jalan masuk menuju jalan bebas hambatan (enterance

freeway).

8. Memustuskan arus lalu lintas bagi lewatnya kendaraan darurat (ambulance) atau pada

jembatan gerak.

2.6 Data Masukan

Data yang diperlukan dalam pola pengaturan lampu lalu lintas adalah (sumber: PKJI,

2014: bab 5, hal 17) :

1. Data Geometrik Simpang

Gunakan Formulir SIM-I, lengkapi data Simpang dengan tanggal, bulan tahun, nama

kota dan provinsi, nama jalan mayor dan jalan minor, periode data lalu lintas, serta nama

personil yang menangani kasus ini. Buat sketsa geometrik Simpang pada kotak sebelah kiri

atas. Tandai dengan teks A dan/atau C untuk masing-masing pendekat pada jalan minor dan

teks B dan D untuk masing-masing pendekat jalan mayor. Tandai arah Utara.

Jalan mayor adalah jalan yang terpenting pada suatu Simpang, misal jalan dengan

klasifikasi fungsi tertinggi. Untuk Simpang-3, jalan yang menerus selalu menjadi jalan mayor

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

13

dan diberi notasi B dan atau D. Pendekat jalan minor diberi notasi A dan atau C. Urutan

pemberian notasi dimulai dari Utara dengan notasi A dan seterusnya searah jarum jam.

Untuk desain Simpang baru, data geometrik adalah data Simpang awal sebagai bentuk

yang ingin dicapai. Untuk peningkatan Simpang yang lama atau evaluasi kinerja lalu lintas

Simpang yang telah operasional, data geometrik Simpang adalah data eksisting.

Lengkapi sketsa dengan tanda kereb, lebar jalur pendekat, bahu, dan median. Ukur

lebar lajur pendekat pada bagian pendekat yang tersempit atau paling tidak 10m dari garis

pertemuan batas lajur yang bersimpangan (lihat contoh pada Gambar 4). Jika median cukup

lebar sehingga memungkinkan kendaraan melintas Simpang dalam dua tahap dengan berhenti

di tengah (≥3m), maka kotak di bagian bawah sketsa diisi "Lebar", jika t tidak ditulis

"Sempit" atau jika tidak ada dicatat "Tidak ada".

Gambar 2.3 Contoh sketsa geometrik dan masukan datanya.

2. Data arus lalulintas

Formulir kerja untuk mencatat data lalu lintas ini masih dalam Formulir SIM-I. Data

arus lalu lintas untuk tahun yang dianalisa berupa qJD dalam satuan kend/jam terinci per

pergerakan lalu lintas di Simpang di sketsa seperti dalam contoh Gambar 5. Data tersebut

terdiri dari:

1) sketsa arus lalu lintas yang menggambarkan berbagai gerakan dari setiap pendekat

dan nilai arusnya yang dinyatakan dalam satuan kend/jam

2) komposisi lalu lintas (%).

Jika komposisi lalu lintas untuk seluruh pendekat sama, maka tuliskan nilai

komposisi tersebut pada tempat yang tersedia, masing-masing untuk komposisi

KR, KS, dan SM. Hitung faktor skr (Fskr) dari data komposisi arus lalu lintas

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

14

kendaraan bermotor tersebut menggunakan nilai ekr yang sesuai. Fskr dihitung

menggunakan persamaan 22.

Kemudian hitung arus total untuk masing-masing gerakan dalam satuan skr/jam,

gunakan nilai Fskr tersebut untuk mengkonversikan satuan dari kend/jam menjadi

skr/jam. Tuliskan hasilnya pada tempat yang tersedia.

jika komposisi lalu lintas untuk seluruh pendekat tidak sama, maka masukan nilai

arus per komposisi per pergerakan langsung pada kolom yang tersedia di bawah

heading KR, KS, dan SM; Konversikan ke dalam satuan skr/jam menggunakan

nilai ekr yang sesuai dan hitung arus total untuk masing-masing gerakan lalu lintas,

dan

3) Arus kendaraan tak-bermotor, qKTB

qJD dapat diperoleh sebagai hasil pengukuran arus lalu lintas eksisting (untuk

melakukan evaluasi kinerja), atau sebagai hasil prediksi (untuk menetapkan Tipe

Simpang baru atau peningkatan). Jika data lalu lintas yang tersedia dalam bentuk

LHRT, maka qJD dapat dihitung dengan menggunakan nilai faktor-k yang sesuai,

qJD= LHRTxk. Jika nilai faktor-k tidak tersedia, maka gunakan nilai default

faktor-k yang nilainya berkisar antara 7%-12%. Nilai yang kecil agar digunakan

untuk Simpang dengan lalu lintas yang lebih padat dan yang besar untuk lalu lintas

yang lebih lengang atau lihat Tabel 6.

Gambar 2.4 Contoh sketsa arus lalu lintas

2.7 Kapasitas Simpang ( C )

Menurut PKJI 2014 bab 5 ; hal 9, Kapasitas Simpang dihitung untuk total arus yang

masuk dari seluruh lengan Simpang dan didefinisikan sebagai perkalian antara kapasitas

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

15

dasar (C0) yaitu kapasitas pada kondisi ideal, dengan faktor-faktor koreksi yang

memperhitungkan perbedaan kondisi lingkungan terhadap kondisi idealnya. Persamaan 2.7

adalah persamaan untuk menghitung kapasitas Simpang.

Kapasitas dihitung dari rumusan berikut :

C = CO x FLP x FM x FUK x FHS x FBKi x FBKax FRmi (skr/jam)…………(2.7)

Dimana :

C = kapasitas

CO = nilai kapasitas dasar

FLP = faktor penyesuaian lebar pendekat

FM = faktor penyesuaian median jalan mayor

FUK = faktor penyesuaian ukuran kota

FHS = faktor penyesuaian lingkungan jalan, hambatan samping, dan

kendaraan tak bermotor

FBKi = faktor penyesuaian belok kiri

FBKa = faktor penyesuaian belok kanan

FRmi = faktor penyesuaian rasio arus jalan minor

2.7.1 Kapasitas Dasar

Nilai kapasitas ditentukan berdasarkan tipe persimpangan yang akan dijelaskan

dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2.2 Kapasitas Dasar Tipe Simpang

Tipe simpang

C0,skr/jam

322 2700

324 atau 344 3200

422 2900

424 atau 444 3400

Sumber:PKJI 2014, Bab 5- Hal 10

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

16

2.7.2 Penetapan Tipe Simpang

Tipe simpang ditetapkan berdasarkan jumlah lengan simpang dan jumlah lajur pada

jalan mayor dan jalan minor dengan kode tiga angka pada table di bawah. Jumlah lengan

adalah jumlah lengan untuk lalu lintas masuk atau keluar atau keduanya.

Tabel 2.3 Penetapan Tipe Simpang

Kode

Tipe Simpang

Jumlah Lengan

Simpang

Jumlah Lajur

Jalan Minor

Jomlah lajur

Jalan mayor

322 3 2 2

324 3 2 4

422 4 2 2

424 4 2 4

Sumber : PKJI 2014, Bab 5- Hal 10

2.7.3 Penetapan lebar rata-rata pendekat

Nilai CO tergantung dari tipe simpang dan penetapannya harus berdasarkan data

geometric. Data geomertik yang diperlukan untuk penetapan Tipe Simpang adalah jumlah

lengan Simpang da jumlah lajur pada setiap pendekat. Penetapan jumlah lajur perpendekat

diuraikan dalam gambar di bawah. Pertama, harus di hitung lebar rata-rata pendekat jalan

mayor (LRPBD) dan lebar rata-rata pendekat jalan minor (LRP AC)yaitu rata-rata lebar pendekat

dari setiap kaki Simpangnya. Berdasarkan lebar rata-rata pendekat, tetapkan jumlah lajur

pendekat sehingga tipe Simpang dapat ditetapkan. Cara menetapkannya lihat gambar di

bawah. Untuk simpang-3. Pendekat minornya A atau hanya C dan lebar rata-rata pendekat

adalah a/2 atau c/2

Gambar 2.5 Penentuan jumlah lajur

2.7.4 Faktor Penyuasaian Lebar Pendekat ( )

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

17

FLP dapat dihitung dari persamaan 3) sampai dengan 6) atau diperoleh dari

diagram pada Gambar 2.6. dalam Lampiran B, yang besarnya tergantung dari lebar rata-

rata pendekat Simpang (LRP), yaitu rata-rata lebar dari semua pendekat.

Untuk Tipe Simpang 422: FLP= 0,70 + 0,0866 LRP (2.2)

Untuk Tipe Simpang 424 atau 444: FLP = 0,62 + 0,0740 LRP (2.3)

Untuk Tipe Simpang 322: FLP = 0,73 + 0,0760 LRP (2.4)

Untuk Tipe Simpang 324 atau 344: FLP = 0,70 + 0,0646 LRP (2.5)

Gambar 2.6 Faktor Koreksi Lebar Pendekat (Flp) (Sumber : PKJI 2014,Bab 5 : Hal

32)

2.7.5 Faktor Penyuasaian Median Pada Jalan Mayor (FM )

PKJI 2014, median disebut lebar jika kendaraan ringan dapat berlindung dalam daerah

median tanpa mengganggu arus lalu lintas, sehingga lebar median20

≥ 3 m. Klasifikasi median berikut faktor koreksi median pada jalan Mayor diperoleh dalam

Tabel 2.4. Koreksi median hanya digunakan untuk jalan Mayor dengan 4 lajur.

Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)

Sumber : PKJI 2014, bab 5 hal 11

Kndisi Simpang Tipe M Faktor Penyesuaian

Median (FM)

Tidak ada median jalan Mayor Tidak ada 1.00

Ada median jalan utama, lebar < 3m Sempit 1.05

Ada median jalan utama, lebar ≥ 3m Lebar 1.20

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

18

2.7.6 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota ( FUK )

PKJI 2014, faktor koreksi ukuran kota dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah

penduduk dalam variabel juta, dicantumkan dalam tabel 2.5.

Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FUK)

Ukuran Kota

CS

Penduduk

Juta

Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

FCS

Sangat kecil < 0,1 0,82

Kecil 0,1 – 0,5 0,88

Sedang 0,5 – 1,0 0,94

Besar 1,0 – 3,0 1,00

Sangat besar > 3,0 1,05

Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 11

2.7.7 Faktor tipe Lingkungan, Hambatan Samping, Kendaraan Tak Bermotor ( FHS

)

PKJI 2014, Pengkategorian tipe lingkungan dan hambatan samping, sesuai dengan

kriteria yang ditetapkan masing-masing pada Tabel 2.6 yang keseluruhannya

digabungkan menjadi satu nilai termasuk rasio Kendaraan Tak Bermotor (RKTB),

disebut faktor koreksiHambatan Samping (FHS) ditunjukkan dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan Hambatan Samping dan

Kendaraan Tak Bermotor (FHS)

Kelas Tipe

Lingkungan Jalan

RE

Kelas Hambatan

Samping SF

Rasio Kendaraan Tak Bermotor PUM

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25

Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70

Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70

Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71

Pemukiman Tinggi 0,96 0,91 0,87 0,82 0,77 0,72

Sedang 0,97 0,92 0,88 0,82 0,77 0,73

Rendah 0,98 0,93 0,89 0,83 0,78 0,74

Akses terbatas Tinggi sedang

rendah

1,00 0,95 0,90 0,90 0,80 0,75

Sumber : PKJI 2014; bab 5 hal 11

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

19

2.7.8 Faktor Penyesuaian Belok Kiri ( FBKi )

PKJI 2014, untuk menghitung faktor koreksi rasio arus belok kiri (FBKi),

persamaan yang digunakan adalah persamaan (3-6) atau dapat ditentukan melalui

diagram pada gambar 2.7 dibawah ini.

FBKi = 0,84 + 1,61 RBki ................................................................(2-7)

Keterangan:

FBKi = Faktor koreksi arus belok kiri.

RBKi = Rasio belok kiri.

Gambar 2.7 Faktor Penyesuaian Belok Kiri (Sumber : PKJI 2014 bab 5, hal 33)

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

20

2.7.9. Faktor Penyesuaian Belok Kanan ( FBKa )

PKJI 2014, karna simpang yang akan diteliti adalah Simpang empat makafaktor

koreksi rasio arus belok kanan, FBk = 1,0.

Gambar 2.8 Faktor Penyesuaian Belok Kanan (Sumber : PKJI 2014 bab 5 hal 33)

2.7.10 Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor ( FRmi )

PKJI 2014, faktor koreksi rasio arus dari jalan minor (FRmi) dapat ditentukan

menggunakan persamaan-persamaan yang ditabelkan dalam Tabel. atau diperoleh secara

grafis menggunakan diagram dalam Gambar 2.9. FRmi tergantung dari rasio dari jalan

Minor (RMi) dan tipe Simpang. Agar diperhatikan ketentuan umum tentang keberlakuan

rasio dari jalan Minor (RMi) untuk analisis kapasitas.

Gambar 2.9 Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 34)

2.8. Perilaku Lalu Lintas

2.8.1 Derajat Kejenuhan

Derajat Kejenuhan dapat dihitung menggunakan rumus (PKJI 2014):

DJ = q / C ......................................................................(2-7)

Keterangan:

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

21

q : Semua arus lalu lintas yang masuk Simpang dalam satuan skr/jam. q dihitung

menggunakan rumus (2-8).

q = qkend x Fskr .......................................................................(2-8)

Fskr : Faktor skr yg dihitung menggunakan persamaan (3-9).

Fskr = ekrKR x %qKR + ekrKS x %qKS + ekrSM x %qSM .........(2-9)

ekrKR, ekrKS, ekrSM masing-masing adalah ekr untuk KR, KS, dan SM yang

dapat diperoleh dari Tabel 3.11. qKR, qKS, qSM masing-masing adalah q untuk KR, KS,

dan SM. C : Kapasitas (skr/jam)

2.8.2 Tundaan (T)

Tundaan adalah perbedaan waktu perjalanan dari suatu perjalanan dari satu titik ke titik

tujuan antara kondisi arus bebas dengan arus terhambat (Alamsyah, 2005:177). Tundaan

merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan kualitas daripada lalu lintas.

Tundaan dipergunakan sebagai kriteria untuk menentukan lalu lintas tingkat kemacetan suatu

jalan, makin besar nilai tundaan, makin besar pula tingkat kemacetan pada ruas jalan tersebut.

PKJI 2014, tundaan terjadi karena dua hal, yaitu tundaan lalu lintas (TLL) dan tundaan

geometrik (TG). Tundaan lalu lintas adalah tundaan yang disebabkan oleh interaksi antara

kendaraan dalam arus lalu lintas. Tundaan lalu lintas dibedakan dari seluruh simpang, dari

jalan Mayor saja atau jalan Minor saja. Waktu Tundaan (T) dihitung menggunakan

persamaan (3-10).

Waktu Tundaan dapat dihitung menggunakan rumus (PKJI 2014):

T = TLL + TG .......................................................................................(2-10)

Keterangan:

TLL = Tundaan lalu lintas rata-rata untuk semua kendaraan bermotor yang masuk

Simpang dari semua arah, dapat dihitung menggunakan persamaan (3-11) dan

(3-12) atau ditentukan dari kurva empiris sebagai fungsi dari DJ dapat dilihat

pada Gambar 3.5.

Untuk DJ ≤ 0,60: TLL = 2 + 8,2078 DJ – (1 – DJ)2 .......................(2-10)

Untuk DJ > 0,60: TLL = 1,0504 /(0,2742−0,2042 DJ) – (1 - DJ)² ....(2-10)

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

22

Gambar 2.10 Tundaan Lalu Lintas Simpang (T) (Sumber : PKJI 2014; bab 5,hal 34)

a. Tundaan Lalu Lintas Jalan Mayor TLIMA)

Tundaan lalu lintas untuk jalan Mayor (TLLma) adalah tundaan lalu lintas rata-rata

untuk semua kendaraan bermotor yang masuk Simpang dari jalan Mayor, dapat dihitung

menggunakan persamaan (2-11) atau ditentukan dari kurva empiris sebagai fungsi dari DJ

(Gambar 2.11).

Untuk DJ ≤ 0,60: TLLma = 1,8 + 5,8234 DJ – (1 – DJ ......................(2-13)

Untuk DJ > 0,60: TLLma = 1,0503/(0,346−0,246𝐷𝐽) – (1 - DJ .........(2-14)

Gambar 2.11 Tundaan Lalu Lintas Jalan Mayor (I) (Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 35)

b. Penentuan Tundaan Lalu Lintas Jalan Minor (TLLMA)

Tundaan lalu lintas jalan minor rata – rata, ditentukan berdasarkan tundaan

simpang rata – rata dan tundaan jalan utama rata – rata.

TLLLMA = (QTOT x TLL – qMA x TLLMA)/ qMI (dtk/smp)

Dimana :

TLLMA = tundaan untuk jalan minor

TLL = tundaan untuk jalan mayor

QTOT = volume arus

qMA = volume arus lalu lintas pada jalan mayor

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

23

qMI = volume lalu lintas pada jalan minor

c. Tundaan Geometrik Simpang (TG)

Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata – rata seluruh

kendaraan bermotor yang masuk simpang, DG dihitung dari rumus berikut:

Untuk Dj< 1,0 :

DG = (1 – Dj) x ( RB x 6 + (1-RB) x 3 ) + Dj x 4 (dtk/smp)

Untuk Dj ≥ 1,0 : TG = 4

Dimana :

TG = tundaan geometrik simpang

Dj = derajat kejenuhan

RB = rasio belok total

d. Tundaan Simpang (T)

Tundaan simpang dihitung sebagai berikut :

D = TG + TLL (dtk/smp)

Dimana :

TG = tundaan geometrik simpang

TLL = tundaan lalu lintas simpang

2.8.3 Peluang Antrian (PA)

Peluang antrian (PA) dinyatakan dalam rentang kemungkinan (%) dan dapat

ditentukan menggunakan persamaan (3-17) dan (3-18) atau ditentukan menggunakan

Gambar 2.12. PA tergantung dari DJ. Nilai derajat kejenuhan (DJ) digunakan sebagai

salah satu dasar penilaian kinerja lalu lintas simpang.

Batas Atas peluang: PA = 47,71 Dj– 24,68 Dj2 + 56,47 Dj3 .............(2-12)

Batas Bawah peluang: PA= 9,02 Dj+ 20,66 Dj2 + 10,49 Dj3 .............(2-12)

Keterangan:

PA = Peluang antrian

DJ = Derajat Kejenuhan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

24

Gambar 2.12 Peluang Antrian (QP%) (Sumber : PKJI 2014; bab 5, hal 35)

2.8.4 Penilaian Perilaku Lalulintas

Pedoman Kapasitas Jalan Indonesi (PKJI) 2014 ini terutama direncanakan

untuk memperkirakan kapasitas dan perilaku lalu lintas pada kondisi tertentu berkaitan

dengan rencana geometrik jalan, lalu lintas, dan lingkungan. Karena hasilnya biasanya

tidak dapat diperkirakan sebelumnya, mungkin diperlukan beberapa perbaikan dengan

pengetahuan para ahli lalu lintas, terutama kondisi geometrik, untuk memperoleh

perilaku lalu lintas yang diinginkan berkaitan dengan kapasitas, tundaan, dan sebagainya.

Cara yang cepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat kejenuhan

(Dj) untuk kondisi yang diamati, dan membandingkannya dengan pertumbuhan lalu

lintas tahunan dan “umur” fungsional yang diinginkan dan simpang tersebut. Jika nilai

derajat kejenuhan (Dj) yang diperoleh terlalu tinggi (>0,85), pengguna manual mungkin

ingin merubah anggapan yang berkaitan dengan lebar pendek dan sebagainya dan

membuat perhitungan yang baru.

2.9 Fasilitas Pengaturan Pada Persimpangan Tak Bersinyal

Fasilitas pengaturan lalu lintas jalan raya sangat berperan dalam menciptakan

ketertiban, kelancaran, dan keamanan bagi lalu lintas jalan raya, sehingga keberadaannya

sangat dibutuhkan untuk memberi petunjuk dan pengarahan bagi pemakai jalan raya.

Pengaturan lalu lintas dapat digolongkan dalam jenis yaitu :

2.9.1 Marka Jalan (Traffic Marking)

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

25

Marka lalu lintas adalah semua garis – garis, pola – pola, kata – kata warna atau

benda – benda lain (kecuali rambu) yang dibuat pada permukaan bidang dipasang

atau diletakkan pada permukaan atau peninggian atau curb atau pada benda –

benda di dalam atau berdekatan pada jalan, yang dipasang secara resmi dengan

maksud untuk mengatur atau larangan, peringatan, atau memberi pedoman pada

lalu lintas.

2.10 Simpang Bersinyal

Simpang bersinyal adalah suatu persimpangan yang terdiri dari beberapa lengan dan

dilengkapi dengan pengaturan sinyal lampu lalulintas (traffic light).adapun tujuan

penggunaan sinyal lampu lalulintas (traffic light) pada persimpangan antara lain :

a) Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus

lalu-lintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat

dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu-lintas jam puncak.

b) Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan/atau pejalan kaki

dari jalan simpang (kecil) untuk memotong jalan utama.

c) Untuk mengurangi jumlah kecelakaan Ialu-lintas akibat tabrakan

antara kendaraan dari arah yang bertentangan.

Ukuran kualitas dari kinerja simpang adalah dengan menggunakan

variable sebagai berikut:

A. Karakteristik Geometrik

1. Pendekat

Jalur pada lengan Simpang untuk kendaraan mengantri sebelum keluar melewati

garis henti.

2. Lebar Pendekat, LP (m)

Lebar awal bagian pendekat yang diperkeras, digunakan oleh lalu lintas

memasuki Simpang.

3. Lebar Jalur Masuk, Lm (m)

Lebar pendekat diukur dari garis henti.

4. Lebar Jalur Keluar, Lk (m)

Lebar pendekat diukur pada bagian yang di gunakan lalu lintas keluar

Simpang.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

26

5. Lebar Jalur Efektif, (m)

Lebar pendekat yang di perhitungkan dalam kapasitas, yaitu lebar yang

mempertimbangkan LP, Lk, Lm, dan pergerakan membelok.

6. Kelandaian, G (%)

Kelandaian memanjang pendekat, jika menanjak ke arah simpang diberi tanda

positif, dan jika menurun kea rah simpang diberi tanda negative.

B. Karakteristik Lalu Lintas

1. Ekivalen kendaraan ringan, (ekr)

Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan kendaraan

ringan yang lain sehubungan dengan dampaknya pada kapasitas jala. Nilai ekr

untuk kendaraan ringan adalah satu.

2. Satuan kendaraan ringan, (skr)

Satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan di samakan

menjadi kendaraan ringan, termasuk mobil penumpang dan kendaraan ringan

lainnya, dengan menggunakan nilai ekr.

3. Arus lalu lintas melawan atau terlawan, qo (skr)

Arus lalu lintas lurus yang berangkat dari satu pendekat dan arus yang belok

kanan dari arah pendekat yang berlawanan terjadi dalam satu fase hijau yang

sama; atau arus yang membelok ke kanan dan arus lalu lintas yang lurus dari arah

yang berlawanan terjadi dalam satu fase hijau yang bersamaan. Arus lalu lintas

yang berangkat disebut arus berlawanan, dan arus lalu lintas dari arah berlawanan

disebut arus melawan.

4. Arus lalu lintas terlindung, qp (skr atau kend/jam)

Arus lalu lintas yang lurus diberangkatkan ketika arus lalu lintas belok kanan dari

arah berlawanan sedang menghadapi isyrat merah; atau arus lalu lintas yang belok

kanan diberangkatkan ketika arus lalu lintas dari arah yang berlawanan sedang

menghadapi isyarat merah, sehingga tidak ada konflik.

5. Belok kiri, (Bki)

Indeks untuk lalu lintas belok kiri

6. Belok kiri jalan terus, (BkiJT)

Indeks untuk arus lalu lintas belok kiri yang pada saat isyarat merah menyalah di

izinkan jalan terus.

7. Belok kanan, (Bka)

Indeks untuk arus lalu lintas belok kanan

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

27

8. Arus lalu lintas, Q (skr/hari atau kend./hari), q (skr/jam atau kend./jam).

Jumlah kendaraan-kendaraan yang melalui suatu garis tak terganggu di hulu

pendekat per satuan waktu, dalam satuan kend./jam atau ekr/jam. Notasi Q dipakai

untuk menyatakan LHRT.

9. Arus jenuh, S (skr/jam)

Besarnya arus lalu lintas keberangkatan antrian dari dalam suatu pendekat

selama kondisi yang ada.

10. Derajat kejenuhan, Dj

Rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat.

11. Kapasitas, C (skr/jam)

Arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan selama waktu paling

sedikit satu jam.

12. Tundaan, T (detik)

Waktu tempuh tambahan yang digunakan pengemudi untuk melalui suatu

simpang apabila dibandingkan dengan lintasan tampa simpang. Tundaan terdiri

dari tundaan lalu lintas, TL dan tundaan geometri, Tg . Tundaan lalu lintas adalah

waktu menunggu yang disebabkan interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas

yang bertentangan. Tundaan geometri adalah tundaan yang disebabkan oleh

perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di simpang dan/atau yang

terhenti oleh lampu merah.

13. Panjang antrian, PA (m)

Jumlah rata-rata antrian kendaraan pada awal isyarat lampu hijau dihitung

sebagai jumlah kendaraan terhenti yang tersisa dari fase hijau sebelumnya

ditambah jumlah kendaraan yang datang dan terhenti dalam antrian selama fase

merah.

C. Parameter Pengaturan Sinyal

1. Fase

Fase adalah bagian dari suatu siklus yang dialokasikan untuk kombinasi

pergerakan-pergerakan lalu lintas yang menerima hak-prioritas-jalan secara

simultan selama satu interval waktu atau lebih.

2. Waktu siklus, c (detik)

Waktu siklus (c) adalah waktu untuk urutan lengkap isyarat alat pemberi isyarat

lalu lintas, missal waktu diantara dua permulaan hijau yang berurutan pada suatu

pendekat.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

28

3. Waktu hijau, H (detik)

Waktu hijau (H) adalah waktu isyarat lampu hijau sebagai izin berjalan bagi

kendaraan-kendaraan pada lengan Simpang yang di tinjau.

4. Waktu hijau maksimum, Hmaks (detik)

Waktu hijau maksimum (Hmaks) adalah waktu isyarat hijau terlama yang diizinkan

untuk pendekatan yang ditinjau.

5. Waktu hijau minimum, Hmin (detik)

aktu hijau minimum (Hmin ) adalah waktu isyarat hijau terpendek yang diperlukan

dalam satu fase kendali lalu lintas kendaraan.

6. Waktu hijau hilang total, HH (detik)

Waktu hijau hilang total (HH ) adalah jumlah semua periode antar hijau dalam satu

siklus lengkap, dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus (c) dengan

jumlah waktu hijau (H) dalam semua fase yang berurutan.

7. Waktu isyarat kuning, K (detik)

Waktu isyarat kuning (K) adalah waktu dimana lampu kuning dinyalakan setelah

lampu hijau dalam sebuah pendekat.

8. Waktu isyarat merah, M (detik)

Waktu isyarat merah (M) adalah waktu isyarat merah sebagai larangan berjalan

bagi kendaraan-kendaraan pada lengan Simpang yang ditinjau.

9. Waktu isyarat merah semua, Msemua (detik)

Waktu isyarat merah semua (Msemua) adalah waktu isyarat merah menyalah

bersamaan pada setiap pendekat.

10. Faktor jam sibuk/puncak

Dalam kasus persimpangan jalan, perbandingan jumlah kendaraan yang memasuki

persimpangan selama jam puncak dengan empat kali empat kali jumlah kendaraan

yang masuk selama 15 menit puncak.

2.10.1 Lampu Lalulintas (traffic light)

a.) Dalam membuat suatu pengaturan, maka harus ditentukan kombinase fase yang akan

digunakan. Dalam penentuan fase ini harus mempertimbangkan besar dan arah

pergerakan masing-masing kendaraan. Tujuan pemilihan fase ini adalah guna

menghindari titik konflik yang berlebihan ( khususnya konflik cross ).

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

29

b.) Menentukan besar arus (Q) dari setiap lengan untuk setiap fase dalam satuan mobil

penumpang ( smp ).

c.) Menentukan faktor “y” untuk setiap lengan dari fase, Dimana rumus y = Q/S

d.) Menentukan besarnya lost time pada saat lampu hijau ( L1 ). Untuk penentuan besar

L1 biasanya dilakukan dengan cara meperkirakan.

e.) Menentukan besarnya lost time pada saat intergreen period ( L2=all red )

f.) Menentukan besarnya lost time dalam 1 siklus ( L ) dimana L = h* ( L1 + L2 ) ; dimana h

adalah jumlah kombinase fase .

g.) Menentukan effective green untuk setiap i dimulai dari n = 1

h.) Menentukan actual green time untuk setiap fase dapat dihitung dengan rumus

AGT + yellow light = EGT + L2 ; dimana biasanya untuk yellow light adalah 3 sekon.

Tabel 2.7 Waktu siklus yang disarankan

Tipe Pengaturan Waktu Siklus Yang Layak

(det)

Pengaturan dua fase

Pengaturan tiga fase

Pengaturan empat fase

40-80

50-100

80-130

2.11 Penetapan Tingkat Pelayanan

Penetapan tingkat pelayanan bertujuan untuk menetapkan tingkat pelayanan pada

suatu ruas jalan dan atau persimpangan (Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 96 Tahun 2015).

Tingkat pelayanan harus memenuhi indikator :

1. Rasio antara volume dan kapasitas jalan

2. Kecepatan yang merupakan kecepatan batas atas dan kecepatan batas bawah yang

ditetapkan berdasarkan kondisi daerah.

3. Waktu perjalanan

4. Kebebasan bergerak

5. Keamanan

6. Keselamatan

7. Ketertiban

8. Kelancaran, dan

9. Penilaian pengemudi terhadap kondisi arus lalu lintas

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

30

Tingkat pelayanan, meliputi :

1. Tingkat Pelayanan Pada Ruas

Tingkat pelayanan pada ruas jalan diklasifikasikan atas :

a. Tingkat pelayanan A, dengan kondisi :

Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan sekurang –

kurangnya 80 kilometer/jam.

Kepadatan lalu lintas sangat rendah.

Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa

atau dengan sedikit tundaan.

b. Tingkat pelayanan B, dengan kondisi :

Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan sekurang –

kurangnya 70 kilometer/jam.

Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum

mempengaruhi kecepatan.

Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya

dan lajur jalan yang digunakan.

c. Tingkat pelayanan C, dengan kondisi :

Arus stabil tetapi pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu

lintas yang lebih tinggi dengan kecepatan sekurang – kurangnya 60

kilometer/jam.

Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas

meningkat.

Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur

atau mendahului.

d. Tingkat pelayanan D, dengan kondisi :

Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan

kecepatan sekurang – kurangnya 50 kilometer/jam.

Masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus.

Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan

hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar.

Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan

kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir

untuk waktu yang singkat.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

31

e. Tingkat pelayanan E, dengan kondisi :

Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas

jalan dengan kecepatan sekurang – kurangnya 30 kilometer/jam pada jalan

antar kota dan sekurang – kurangnya 10 kilometer/jam pada jalan

perkotaan.

Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi.

Pengemudi mulai merasakan kemacetan – kemacetan durasi pendek.

f. Tingkat pelayanan F, dengan kondisi :

Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang dengan

kecepatan kurang dari 30 kilometer/jam.

Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi

kemacetan untuk durasi yang cukup lama.

Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0 (nol).

2. Tingkat Pelayanan Pada Persimpangan

Tingkat pelayanan pada persimpangan diklasifikasikan atas :

Tabel 2.8 Tingkat Pelayanan Pada Persimpangan Prioritas

Tingkat

Pelayanan Kondisi Rata – Rata Tundaan Berhenti (det/kend)

A Baik Sekali < 5

B Baik 5 – 15

C Sedang 15 – 25

D Kurang 25 – 40

E Buruk 40 – 60

F Sangat Buruk > 60

Sumber : Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No.96 Tahun 2015

2.10.1 Penetapan Tingkat Pelayanan Pada Persimpangan

Tingkat pelayanan yang diinginkan pada ruas jalan pada sistem jaringan jalan primer

sesuai fungsinya, meliputi :

1. Jalan arteri primer, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya B.

2. Jalan kolektor primer, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya B.

3. Jalan lokal primer, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya C.

4. Jalan tol, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya B.

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Terdahulu 1

32

Tingkat pelayanan yang diinginkan pada ruas jalan pada sistem jaringan jalan

sekunder sesuai fungsnya meliputi :

1. Jalan arteri sekunder, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya C.

2. Jalan kolektor sekunder, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya C.

3. Jalan lokal sekunder, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya D.

4. Jalan lingkungan, tingkat pelayanan sekurang – kurangnya D.