bab ii landasan teori 2.1 pengertian jalan
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Jalan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004,
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan disebut jalan, yang
berada di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, serta pada permukaan
tanah. Termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, serta di atas permukaan air, kecuali jalan lori, jalan kabel, dan
jalan kereta api.
2.2 Klasifikasi Jalan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004
tentang jalan menyatakan di Indonesia jalan umum dibagi berdasarkan status
jalan, kelas jalan, sistem jaringan jalan, dan fungsi jalan.
2.2.1 Klasifikasi Menurut Sistem Jaringan Jalan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004
pasal 7 tentang jalan:
a. Sistem Jaringan Primer
Dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat
kegiatan, Sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan
jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional.
b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Di dalam kawasan perkotaan sistem jaringan jalan dengan peranan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat.
2.2.2 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004
pasal 8 tentang jalan:
6
a. Jalan Arteri
Kecepatan rata-rata tinggi, jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien, dan
perjalanan jarak jauh adalah ciri-ciri jalan arteri yang melayani angkutan
utama.
b. Jalan Kolektor
Kecepatan rata-rata sedang, jumlah jalan masuk dibatasi, dan perjalanan jarak
sedang adalah ciri-ciri jalan kolektor yang melayani angkutan
pembagi/pengumpul.
c. Jalan Lokal
Kecepatan rata-rata rendah, jumlah jalan masuk tidak dibatasi, dan perjalanan
jarak dekat adalah ciri-ciri jalan lokal yang melayani angkutan setempat.
2.2.3 Klasifikasi Menurut Status Jalan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 pasal
9 tentang Jalan, dibagi ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten,
jalan kota, dan jalan desa.
a. Jalan Nasional
Sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi,
jalan tol, serta jalan strategis nasional dalam jalan arteri dan jalan kolektor.
b. Jalan Provinsi
Sistem jaringan primer yang menghubungkan ibu kota kabupaten/kota dan
jalan strategis provinsi atau ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten/kota,
dalam jalan kolektor.
c. Jalan Kabupaten
Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten,
dan jalan strategis kabupaten serta jalan lokal dalam sistem jaringan jalan
primer yang tidak termasuk dalam jalan provinsi dan jalan nasional,
menghubungkan ibu kota kecamatan lokal dengan ibu kota kabupaten, antar
pusat kegiatan lokal.
7
d. Jalan Kota
Sistem jaringan sekunder yang menghubungkan pusat pemukiman yang berada
di dalam kota, menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, adalah jalan
umum pada jalan kota.
e. Jalan Desa
Penghubung kawasan antar pemukiman di dalam desa serta jalan lingkungan
merupakan jalan umum pada jalan desa.
2.2.4. Klasifikasi Menurut Kelas (berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan)
Tentang jalan, Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2004 pasal 10 :
a. Jalan bebas hambatan (freeway)
Jalan umum yang dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan paling sedikit dan
lajur setiap arah dan dilengkapi dengan median untuk lalu lintas menerus yang
memberikan pelayanan menerus atau tidak terputus dengan pengendalian jalan
masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang.
b. Jalan raya (highway)
Jalan umum yang dilengkapi dengan median, paling sedikit dua lajur setiap
arah, untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk serta terbatas.
c. Jalan sedang (road)
Jalan umum dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit dua
lajur dua arah dengan lebar paling sedikit 7 meter untuk lalu lintas dengan
jarak sedang.
d. Jalan kecil (street)
Jalan umum dengan lebar paling sedikit 5,5 meter untuk melayani lalu lintas
setempat paling sedikit dua lajur dua arah.
2.3 Umur Rencana
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 1), umur rencana adalah
masa bertahan jalan yang ditentukan sejak mulai dibukanya jalan tersebut sampai
8
dalam keadaan rusak sehingga dibutuhkan perbaikan atau dikira perlu diberi lapis
permukaan baru.
Menurut Saodang ( 2005 : 25), perencanaan program penanganan jalan
menentukan berapa umur rencana yang digunakan, seperti umur rencana 10 tahun
untuk peningkatan jalan, jangka 5 tahun untuk pemeliharaan jalan, dana umur
rencana 20 tahun untuk pembangunan jalan baru.
2.4 Perkerasan Jalan
Menurut Saodang (2005 : 9) untuk menahan dan menerima beban
langsung dari lalu lintas digunakan lapisan konstruksi yang dipasang langsung di
atas tanah dasar badan jalan pada jalur lalu lintas disebut perkerasan jalan.
a. Perkerasan jalan lentur (flexible pavement)
Gabungan/campuran agregat dan aspal adalah bahan dari perkerasan lentur.
b. Perkerasan jalan kaku (rigid pavement)
Bahan adukan beton adalah bahan yang digunakan perkerasan kaku atau
perkerasan beton semen.
2.5 Perkerasan Lentur Metode Bina Marga SKBI-2.3.26.1987
2.5.1 Struktur Lapis Perkerasan Jalan
Pada Gambar 2.1 dapat dilihat susunan perkerasan jalan. Lapis
permukaan, lapis pondasi, lapis pondasi bawah adalah bagian dari perkerasan
jalan.
Gambar 2.1. Susunan Lapis Perkerasan Jalan
D1
D2
D3
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi
Lapis Pondasi Bawah
9
2.5.1.1 Tanah Dasar
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 4), daya dukung tanah
dan sifat-sifat tanah dasar sangat berpengaruh pada konstruksi pekerjaan jalan
untuk keawetan dan kekuatan. Hal yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai
berikut:
a. Akibat dari beban lalu lintas terjadi perubahan bentuk tetap dari macam tanah
tertentu.
b. Pada tanah tertentu, perubahan kadar air dapat merubah sifat mengembang dan
menyusut pada tanah.
c. Daya dukung tanah yang sukar ditentukan secara pasti dan tidak merata pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda kedudukan dan sifatnya, atau
akibat pelaksanaan.
d. Pada macam tanah tertentu terjadi lendutan dan lendutan balik selama dan
sesudah pembebanan lalu lintas.
e. Pada tambahan pemadatan dengan tanah berbutir kasar yang tidak dipadatkan
secara benar pada saat pelaksanaan akan mengalami penurunan akibat
pembebanan lalu lintas.
Perencanaan perkerasan jalan harus sesuai dengan “Peraturan
Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya 1987” Untuk mendapatkan hasil yang baik
pada perencanaan perkerasan jalan dan menghindari munculnya hal-hal seperti di
atas.
2.5.1.2 Lapis Pondasi Bawah
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 5), pada bagian
perkerasan diantara tanah dasar dan lapis pondasi atas terdapat lapis pondasi
bawah. Lapis pondasi bawah memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Untuk mendukung dan menyebarkan beban roda pada konstruksi perkerasan.
b. Dalam penghematan biaya konstruksi, mengurangi tebal lapisan lainnya untuk
mencapai efisiensi penggunaan material yang lebih murah.
c. Untuk menghalangi tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
10
d. Agar pelaksanaan dapat berjalan lancar lapis pondasi bawah digunakan sebagai
lapis pertama.
Daya dukung tanah dasar yang terlalu lemah sangat berpengaruh pada
penurunan tanah yang diakibatkan beban alat-alat besar .Hal ini sehubungan
dengan pengaruh cuaca pada kondisi lapangan yang mengharuskan tanah dasar
yang harus segera ditutup atau . Agar dapat kestabilan konstruksi perkerasan yang
efektif, terdapat bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR ≥ 20%, PI ≤ 10%) ,
seperti campuran tanah setempat dengan semen portland atau kapur yang relatif
lebih baik dari tanah dasar, dapat dipakai untuk bahan pondasi bawah.
2.5.1.3 Lapis Pondasi
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 5), pada bagian
perkerasan diantara lapis pondasi bawah atau tanah dasar dengan lapis permukaan.
Berikut adalah fungsi lapis pondasi :
a. Sebagai penahan beban roda pada bagian perkerasan
b. Sebagai lapisan sebelum lapis permukaan.
Dalam pemilihan bahan-bahan lapis pondasi sebaiknya melakukan
pertimbangan dan penyelidikan sebaik-baiknya sesuai dengan persyaratan teknik.
Terdapat berbagai macam bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) bisa dipakai
sebagai bahan lapis pondasi, seperti kerikil pecah, batu pecah,dan stabilisasi tanah
dengan semen atau kapur. Untuk menahan beban-beban roda maka bahan-bahan
yang digunakan harus kuat dan awet.
2.5.1.4 Lapis Permukaan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 6), bagian perkerasan
paling atas adalah lapis permukaan, berfungsi sebagai berikut:
a. Untuk penahan beban roda, sebagai bahan perkerasan
b. Untuk melindungi kerusakan pada badan jalan akibat cuaca, sebagai lapisan
rapat air
c. Sebagai lapisan aus.
11
Bahan yang digunakan untuk lapis permukaan tidak jauh beda dengan
bahan untuk lapis pondasi lainnya. Dikarenakan lapis permukaan berada di bagian
atas yang berpapasan langsung dengan air, sehingga lapisan tersebut harus bersifat
kedap air, maka diperlukan bahan aspal sebagai bahannya. Selain itu bahan aspal
juga memberikan bantuan tegangan tarik untuk meningkatkan daya dukung
lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Dalam pemilihan bahannya juga harus
dipertimbangkan umur rencana, kegunaan, dan ke-efisienan biayanya.
2.5.2 Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 7), salah satu jalur lalu lintas yang
menampung lalu lintas terbesar dari suatu ruas jalan raya. Apabila tidak
mempunyai tanda batas jalur, maka sesuai dengan Tabel 2.1 jumlah lajur
ditentukan dari lebar perkerasan.
Tabel 2.1 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
L < 5,50 m
5,50 m ≤ L < 8,25 m
8,25 m ≤ L < 11,25 m
11,25 m ≤ L < 15,00 m
15,00 m ≤ L < 18,75 m
18,75 m ≤ L < 22,00 m
1 jalur
2 jalur
3 jalur
4 jalur
5 jalur
6 jalur
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 7), pada jalur rencana
sesuai dengan Tabel 2.2 koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan berat
dan ringan:
Tabel 2.2 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Jumlah Lajur Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur
2 lajur
3 lajur
4 lajur
5 lajur
6 lajur
1,00
0,60
0,40
-
-
-
1,00
0,50
0,40
0,30
0,25
0,20
1,00
0,70
0,50
-
-
-
1,000
0,500
0,475
0,450
0,425
0,400
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
12
2.5.3 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 8), dari beban sumbu setiap
kendaraan dapat diperoleh angka Ekivalen (E) masing-masing golongan pada
Tabel 2.3
Tabel 2.3 Angka ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
2.5.4 Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen
Menurut Depertemen Pekerjaan Umum (1987 : 8), lalu lintas harian dan
rumus lintas ekivalen ditetapkan pada persamaan:
a. Pada awal umur rencana harus menentukan Lalu Lintas Harian Rata-rata
(LHR) pada setiap jenis kendaraan, untuk masing-masing arah dengan median
pada jalan, atau dengan dua arah tanpa median pada jalan.
b. Persamaan 2.1 adalah rumus Lintas Ekivalen Permulaan (LEP):
𝐿𝐸𝑃 = ∑ 𝑛𝑗=1 𝐿𝐻𝑅𝑗 × 𝐶𝑗 × 𝐸𝑗 ...........................................Persamaan (2.1)
Catatan: j= jenis kendaraan
c. Persamaan 2.2 adalah rumus untuk menghitung Lintas Ekivalen Akhir (LEA):
𝐿𝐸𝐴 = ∑ 𝑛𝑗=1 𝐿𝐻𝑅𝑗(1 + 𝑖)𝑈𝑅 × 𝐶𝑗 × 𝐸𝑗............................Persamaan (2.2)
Catatan: i= perkembangan lalu lintas
j= jenis kendaraan
13
d. Persamaan 2.3 adalah rumus menghitung Lintas Ekivalen Tengah (LET):
𝐿𝐸𝑇 =1
2×(𝐿𝐸𝑃+𝐿𝐸𝐴) ............................................................Persamaan (2.3)
e. Rumus untuk menghitung Lintas Ekivalen Rencana (LER):
𝐿𝐸𝑅 = 𝐿𝐸𝑇 × 𝐹𝑃 .............................................................Persamaan (2.4)
f. Rumus untuk menghitung Faktor Penyesuaian (FP):
𝐹𝑃 = 𝑈𝑅/10 .....................................................................Persamaan (2.5)
2.5.5 Penentuan Harga California Bearing Ratio (CBR)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1997 : 9). Tabung (undisturb)
digunakan untuk mengambil contoh tanah dasar, lalu direndam dan dilihat CBR-
nya atau pada musim hujan/direndam langsung diukur di lapangan. Diambilnya
contoh tanah dasar agar diketahui nilai CBR lapangan. Pada perencanaan lapis
tambahan (overlay) biasanya menggunakan CBR lapangan.
Nilai CBR sangat dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan jalan,
karena nilai CBR adalah dasar dari daya dukung tanah dasar. Pada perencanaan
pembangunan jalan baru biasanya menggunakan CBR laboratorium. Setelah
mendapatkan data-data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan terdapat cara
menentukan nilai CBR, yaitu dengan cara R-value atau Plate Bearing Test, Group
Index. Berikut adalah langkah-langkah menentukan harga CBR yang mewakili:
1. Ambil harga CBR paling rendah.
2. Pada masing-masing nilai CBR, ambil berapa banyak harga yang lebih besar
dan sama dari setiap nilai CBR.
3. Ditentukan 100% untuk angka dengan jumlah terbanyak.
4. Persentase jumlah sebelumnya dan harga CBR ditarik grafik.
5. Angka persentase 90% dianggap mewakili nilai CBR.
2.5.6. Daya Dukung Tanah (DDT) dan CBR
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 9). Tebal perkerasan
yang ditentukan oleh nomogram dalam menyatakan kekuatan tanah dasar harus
menggunakan Daya Dukung Tanah (DDT) . Dibutuhkan grafik korelasi antara
14
CBR dan nilai DDT untuk menetapkan Daya Dukung Tanah (DDT) pada
Gambar 2.2
Gambar 2.2 Korelasi antara nilai CBR dengan DDT
2.5.7 Faktor Regional
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 10). Faktor Regional
merupakan kondisi lapangan yang melingkupi bentuk alinyemen, perlengkapan
drainase, persentase kendaraan yang memiliki berat 13 ton dan kendaraan yang
berhenti , lalu permeabilitas tanah, untuk kondisi iklim meliputi curah hujan rata-
rata per tahun. Sehubungan dengan ketentuan yang harus menyesuaikan dengan
“Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya” sehingga akibat kondisi
lapangan yang melibatkan perlengkapan drainase dan permeabilitas tanah
diibaratkan sama. Pada penentuan tebal perkerasan tersebut yang memengaruhi
faktor regional adalah iklim yang mencangkup curah hujan, persentase kendaraan
berat yang berhenti ,dan bentuk alinyemen yang meliputi tikungan dan
kelandaian, dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Faktor Regional
Kelandaian I
(< 6%)
Kelandaian II
(6 – 10%) Kelandaian III (>10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I
< 900 mm/th 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
Iklim II
> 900 mm/th 1,5 20 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
15
Catatan:
Penambahan FR dengan 0,5 di sebagian jalan tertentu, tikungan tajam dengan jari-
jari 30 cm, persimpangan dan pemberhentian. Penambahan FR dengan 1,0 di
daerah rawa-rawa.
2.5.8 Indeks Permukaan (IP)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 10). Indeks permukaan
menjelaskan tentang harga daripada kehalusan/kerataan kekuatan permukaan yang
berkaitan dengan tingkat penyajian bagi pengguna lalu-lintas. Berikut adalah nilai
IP dengan pengertiannya :
IP= 0,1 : menjelaskan bahwa permukaan jalan berada di kondisi rusak parah
yang mengakibatkan lalu lintas transportasi terganggu.
IP= 1,5 : menjelaskan bahwa tahap pelayanannya paling rendah dengan kondisi
jalan yang memungkinkan tidak putus.
IP= 2,0 : menjelaskan bahwa tahap pelayanannya rendah untuk jalan yang masih
normal.
IP= 2,5 : menjelaskan bahwa permukaan jalan yang cukup konstan dan bagus.
Untuk menetapkan Indeks Permukaan di akhir masa layan, harus
dievaluasi jumlah Lintas Ekuivalen Rencana (LER) dan unsur-unsur klasifikasi
fungsional jalan, sesuai dengan Tabel 2.5
Tabel 2.5 Indeks Permukaan Pada Akhir Rencana (IP)
LER = Lintas Ekuivalen
Rencana *)
Klasifikasi Jalan
Lokal kolektor arteri tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
*) Pada beban sumbu tunggal lintas ekuivalen rencana dalam satuan angka 8,16
ton.
Catatan: dalam proyek-proyek penyokong jalan, JAPAT/jalan murah atau IP
digunakan 1,0 untuk jalan darurat.
16
Untuk menetapkan indeks permukaan di awal masa layan (IPo) harus
dilihat macam lapis permukaan jalan yang termasuk kekokohan dan
kehalusan/kerataan pada awal masa layan, sesuai dengan Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
Jenis Permukaan IPo Roughness *) (mm/km)
LASTON ≥ 4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
*) Roughmeter NAASRA adalah alat ukur roughness yang memiliki ± 32 km per
jam pada kecepatan kendaraannya yang digunakan di kendaraan standar Datsun
1500 station wagon . Aksi sumbu belakang menuju arah tegak lurus melewati
kabel yang berada di tengah-tengah as sumbu belakang alat transportasi dialihkan
ke alat roughmeter, berikutnya melewati “flexible drive” akan dialihkan menuju
counter. Per-pusaran counter yaitu setara 15,2 mm gerakan tegak lurus antara
badan kendaraan dengan as belakang. Instrumen ukur roughness macam lainnya
bisa dipakai dengan mengkalibrasikan hasil yang didapat dari roughmeter
NAASRA.
17
2.5.9 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 12), pada setiap lapis
pondasi bawah, lapis pondasi, dan lapis permukaan terdapat koefisien kekuatan
relatif (a), yang ditentukan dengan cara korelasi berdasarkan nilai CBR
(digunakan sebagai bahan lapis pondasi bawah), Marshall Test (digunakan pada
bahan beraspal), kuat tekan (digunakan pada bahan yang distabilkan dengan kapur
atau semen). Selain alat Marshall Test, terdapat alat yang lain misalnya Hubbard
Field, Smith Triaxial, dan Hveem Test untuk mengukur stabilitas bahan yang
menggunakan aspal. Koefisien kekuatan relatif dapat dilihat pada Tabel 2.7
Tabel 2.7 Koefiesien Kekuatan Relatif (a)
KoefisienKekuatan Relatif Kekuatan Bahan
Jenis Bahan a1 a2 a3
MS
(kg)
Kt
(kg/cm)
CBR
(%)
0,40 - - 744 - -
0,35 - - 590 - - Laston
0,35 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 - - 590 - - Lasbutag
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
0,30 - - 340 - - HRA
0,26 - - 340 - - Aspal macadam
0,25 - - - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590 - -
- 0,26 - 454 - - Laston Atas
- 0,24 - 340 - -
- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0,19 - - - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dengan semen
- 0,13 - - 18 -
- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dengan kapur
- 0,13 - - 18 -
- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)
18
Tabel 2.7 Lanjutan
- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)
- - 0,13 - - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
- - 0,12 - - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
- - 0,10 - - 20 Tanah/lempung kepasiran
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
2.5.10 Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
Grafik nomogram yang telah disediakan pada lampiran di SNI 1732-
1989-F digunakan untuk mencari Indeks Tebal Perkerasan (ITP) pada perkerasan
lentur dengan cara menghubungkan garis dengan memperhatikan setiap nilai yang
diambil pada indeks permukaan (IPt dan IPo). Nilai dari lintas ekuivalen rata-rata
(LER), daya dukung tanah dasar (DDT), dan faktor regional (FR) sama-sama
memengaruhi untuk mendapatkan nilai ITP. Grafik dapat dilihat pada Gambar
2.3
Gambar 2.3 Nomogram
19
Tahapan untuk memakai nomogram:
1. Melihat nilai IPo dan IPt untuk menentukan nomogram mana yang akan
digunakan, karena ada 9 macam nomogram yang sudah tersedia.
2. Berdasarkan perhitungan DDT yang diperoleh dari korelasi dengan CBR,
tentukan titik nilai DDT.
3. Sesuai dengan perhitungan yang didapat, tentukan titik nilai LER.
4. Lalu pada titik DDT dan LER ditarik garis lurus sampai menyentuh garis ITP.
5. Menentukan titik FR, nilai FR sesuai dengan tabel FR.
6. Pada titik ITP yang sudah diperoleh angkanya, kemudian ditarik garis lurus ke
titik FR sampai menyentuh garis ITP̅̅̅̅̅̅̅̅̅ .
2.5.11 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 13), ditentukan batas-
batas minimum tebal perkerasan pada Tabel 2.8 dan Tabel 2.9
Tabel 2.8 Lapis Permukaan ITP Tebal Minimum (cm) Bahan
< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras/Burtu/Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag,
Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag,
Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10,00 10 Laston
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
Tabel 2.9 Lapis Pondasi ITP Tebal Minimum (cm) Bahan
< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
stabilitas tanah dengan kapur
3,00 – 7,49 20*) Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
stabilitas tanah dengan kapur
10 Laston Atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
15 Laston Atas
10 – 12,14 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
stabilitas tanah dengan kapur, pondasi
macadam, Lapen, Laston Atas
≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
stabilitas tanah dengan kapur, pondasi
macadam, Lapen, Laston Atas
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987
Digunakan tebal minimum 10 cm pada tiap nilai ITP untuk pondasi bawah.
20
2.5.12 Analisa Komponen Perkerasan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 15), pada perencanaan
perkerasan jalan lentur, kekuatan relatif di setiap lapisan sangat mendasari
perhitungan tersebut dalam jangka panjang. Dengan rumus berikut penentuan
tebal perkerasan dihitung:
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 ..................................................Persamaan (2.6)
Keterangan:
a1, a2, a3 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
D1, D2, D3 = tebal setiap lapisan perkerasan (cm)
Angka 1, 2, 3 = untuk setiap lapisan permukaan, lapis pondasi bawah dan atas.
2.6 Perkerasan Kaku Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Pd
T-14-2003
2.6.1 Struktur dan Jenis Perkerasan Beton Semen
Sesuai dengan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003 :
7). Struktur yang memiliki bagian pelat beton semen yang berkesinambungan
memakai tulangan atau yang tidak berkesinambungan dengan atau tidak memakai
tulangan, yang berada di bagian atas tanah dasar atau lapis pondasi bawah, dengan
atau tidak menggunakan bagian permukaan aspal disebut perkerasan beton
semen.
Gambar 2.4 Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen
Ada 4 jenis Perkerasan beton semen:
a. Perkerasan beton semen tidak berkesinambungan yang tidak memakai
tulangan.
21
b. Perkerasan beton semen tidak berkesinambungan memakai tulangan.
c. Perkerasan beton semen berkesinambungan menggunakan tulangan.
d. Perkerasan beton semen dengan prategang.
Pelat beton semen memperlihatkan karakter daya dukung perkerasan.
Aspek-aspek yang harus dilihat yaitu perubahan dan kerapatan kadar air di waktu
penyajian dan kadar air pemadatan.
2.6.2 Dasar-dasar Perancangan
2.6.2.1 Tanah Dasar
Menurut Departemen Prasarana dan Permukiman Wilayah (2003 : 7).
Pada perencanaan perkerasan jalan lama atau jalan baru melalui pengujian CBR
laboratorium atau CBR insitu bisa menentukan daya dukung tanah. Beton kurus
(Lean-Mix Concrete) harus digunakan pada pondasi bawah yang tanah dasarnya
memiliki nilai CBR kurang dari 2%, beton kurus tersebut dipercaya memiliki nilai
CBR sebesar 5%.
2.6.2.2 Pondasi Bawah
Berdasarkan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003 : 8).
Pondasi Bawah memiliki bahan sebagai berikut:
a. Bahan yang memiliki butir
b. Kesetimbangan atau menggunakan beton kurus giling padat
c. Kombinasi beton kurus
Dengan penambahan lebar hingga 60 cm di bagian tepi luar perkerasan
beton semen perlu dilakukan pada lapis pondasi bawah. Pada tanah ekspansif
butuh alasan khusus tentang macam dan pemastian lebar lapisan pondasi dengan
menaksir tegangan pengembangan yang barangkali muncul. Penempatan lapis
pondasi tersebut adalah bagian cara buat tanah ekspansif tereduksi perilakunya.
Grafik yang dianjurkan untuk menentukan tebal lapis pondasi bawah
minimum dan CBR tanah dasar efektif dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan
Gambar 2.6.
22
Gambar 2.5 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen
Gambar 2.6 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah
2.6.2.3 Beton Semen
Berdasarkan pada Departemen Prasarana dan Permukiman Wilayah
(2003 : 9). Hasil dari pengetesan balok dengan pemberian beban di tiga titik
(ASTMC-78) yang kuat idealnya sebesar 3-5 MPa (30-50 kg/cm2). Ketahanan
beton yang harus diakui dalam nilai kuat tarik lentur (flexural strenght) selama
umur 28 hari.
Dengan menggunakan macam serat seperti serat karbon atau aramid, dan
serat baja, kuat tarik lentur beton lebih dikuatkan perlu menggapai kuat tarik
lentur 5-5,5 MPa (50-55 kg/cm2). Ketahanan rencana perlu di tentukan dengan
karakteristik kuat tarik lentur yang dipaskan sampai 0,25 MPa (2,5/cm2).
23
Kuat tarik lentur beton dengan kuat tekan karakteristik memiliki
hubungan melalui pendekatan rumus pada Persamaan 2.6 dan 2.7:
fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa atau....................................Persamaan (2.7)
fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2...............................Persamaan (2.8)
Penjelasan:
fc’ = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah
Berdasarkan SNI 03-2491-1991 hasil dari tes kuat tarik belah beton dapat
menentukan kuat tarik lentur, berikut uraiannya:
fcf = 1,37 fcs dalam Mpa atau.......................................Persamaan (2.9)
fcf = 13,44 fcs dalam kg/cm2......................................Persamaan (2.10)
Penjelasan:
fcs = kuat tarik belah beton 28 hari
Beton bisa dikuatkan lagi menggunakan serat baja (steel fibre) buat
menaikkan kuat tarik lenturnya dan mengontrol retak di bagian pelat terlebih lagi
untuk bentuk yang jarang ditemui. Serat tersebut bisa dipakai di campuran beton.
Panjang dari serat baja berkisar 50 mm dan 15 mm selaku angker atau sekrup
penguat agar ikatannya meningkat pada bagian ujung yang melebar.
2.6.2.4 Lalu Lintas
Sesuai dengan petunjuk Departemen Prasarana dan Permukiman Wilayah
(2003 : 10). Pada perkerasan beton semen untuk menetapkan beban lalu lintas
rencana, diakui dalam total sumbu kendaraan niaga, berdasarkan bentuk sumbu di
lajur rencana semasa masa layan. Sesuai hasil perincian volume lalu lintas dan
bentuk sumbu, lalu lintas wajib dikaji memakai informasi terakhir atau 2 tahun
terakhir. Pada perkerasan beton semen, kendaraan yang memiliki berat total
paling kecil 5 ton adalah kendaraan yang harus diperiksa. Ada 4 macam kelompok
sumbu dalam bentuk sumbu untuk perencanaan:
- STRT adalah sumbu tunggal roda tunggal
- STRG adalah sumbu tunggal roda ganda
24
- STdRG adalah sumbu tandem roda ganda
- STrRg adalah sumbu tridem roda ganda
2.6.2.4.1 Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi
Berdasarkan pada petunjuk Departemen Prasarana dan Permukiman
Wilayah (2003 : 10). Bagian lajur lalu lintas daripada ruas jalan raya yang
mewadahi lalu lintas alat transportasi niaga paling besar disebut lajur rencana .
Untuk menentukan koefisien distribusi (C) dan jumlah lajur dapat ditentukan
menggunakan lebar perkerasan apabila jalan tidak mempunyai tanda batas lajur,
dilihat pada Tabel 2.10
Tabel 2.10 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi (C)
kendaraan niaga pada lajur rencana
Lebar Perkerasan (Lp) Jumlah Lajur (nl) Koefisien Distribusi
1 Arah 2 Arah
Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1
5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 2 lajur 0,70 0,50
8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 3 lajur 0,50 0,475
11,25 ≤ Lp < 15,00 m 4 lajur - 0,45
15,00 ≤ Lp < 18,75 m 5 lajur - 0,425
18,75 ≤ Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,4
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003
2.6.2.4.2 Umur Rencana
Sesuai dengan peraturan Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah (2003 : 11). Dari evaluasi pengategorian fungsional jalan, angka
ekonomi jalan yang berkaitan, dan model lalu lintas dapat menentukan umur
rencana pada perkerasan jalan, dengan menggunakan metode Internal Rate of
return, Benefit Cost Ratio, campuran dari cara tersebut atau metode lain yang
tidak keluar dari pola peningkatan wilayah. Masa layan 20 sampai 40 tahun yang
biasanya dipakai dalam perencanaan perkerasan beton semen.
25
2.6.2.4.3 Pertumbuhan Lalu Lintas
Berdasarkan petunjuk Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2003 : 11). Sepadan dengan umur rencana maka terjadi penambahan volume lalu
lintas atau menuju tingkatan di mana faktor pertumbuhan lalu lintas mencapai
kapasitas jalan, sesuai dengan rumus berikut:
𝑅 = (1 + 𝑖)𝑈𝑅 − 1/𝑖........................................................Persamaan (2.11)
Penjelasan:
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
I = Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %
UR = Umur rencana (tahun)
Melalui umur rencana dan laju pertumbuhan dapat ditentukan nilai faktor
pertumbuhan lalu lintas, pada Tabel 2.11
Tabel 2.11 Faktor pertumbuhan lalu lintas (R) Umur
Rencana
(Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003
2.6.2.4.4 Lalu Lintas Rencana
Berdasarkan peraturan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2003 : 12). Distribusi beban di setiap macam sumbu alat transportasi dan
proporsi sumbu adalah bagian dari lalu lintas rencana, hasil kumulatif dari sumbu
alat transportasi niaga di lajur rencana semasa masa layan disebut lalu lintas
rencana. Berat pada satu macam sumbu digolongkan secara tipikal dalam selang
10 kN (1 ton) apabila mengambil dari peninjauan beban.
26
Untuk menghitung jumlah sumbu kendaraan niaga semasa masa layan
dibutuhkan rumus berikut:
JSKN = JSKNH x 365 x R x C........................................Persamaan (2.12)
Penjelasan:
JSKN = Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana
JSKNH = Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka
R = Faktor pertumbuhan kumulatif dari rumus (4) atau atau tabel (5),
yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu lintas tahunan dan
umur rencana
C = Koefisien distribusi kendaraan
2.6.2.4.5 Faktor Keamanan Beban
Sesuai peraturan Departemen Prasarana dan Permukiman Wilayah (2003
: 12). Faktor keamanan beban (FKB) dikalikan dengan beban sumbu untuk
menentukan beban rencana. Bersangkutan dengan adanya bermacam tahap
reliabilitas perencanaan, maka menggunakan faktor keamanan beban tersebut
ditentukan pada Tabel 2.12
Tabel 2.12 Faktor keamanan beban (FKB)
No. Penggunaan Nilai F
1
Jalan bebas hambatan utama (major freeway)dan jalan berlajur
banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume
kendaraan niaga yang tinggi.
Bila menggunakan data lalu lintas dari hasil survey beban
(weight-in-motion) dan adanya kemungkinan route alternatif,
maka nilai faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi
1,15.
1,2
2
Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume
kendaraan niaga menengah 1,1
3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003
2.6.2.5 Bahu
Berdasarkan peraturan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2003 : 12). Susunan pondasi bawah memakai atau tidak memakai susunan
penutup beraspal atau susunan semen beton adalah bahan untuk membuat bahu.
Dismilaritas ketahanan jalur lalu lintas dengan bahu membagikan dampak ke
27
kinerja perkerasan. Bahu semen beton dapat mengatasi permasalahan tersebut,
sehingga dapat mengecilkan tebal pelat dan menaikkan kinerja perkerasan. Bahu
dengan lebar paling kecil 1,50 m yang dikancing dan dikaitkan bersama jalur lalu
lintas atau bahu yang lebarnya 0,60 m yang bersatu bersama lajur lalu lintas, kreb
dan saluran juga termasuk.
2.6.2.6 Perencanaan Tulangan
Tujuan utama penulangan sesuai dengan Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah (2003 : 29):
a. Supaya dapat mempertahankan kekuatan pelat maka harus mengendalikan
lebar retakan.
b. Agar bisa menurunkan jumlah sambungan melintang, disarankan untuk
menggunakan pelat yang agak panjang supaya memberikan angka kenyamanan
yang tinggi.
c. Menurunkan biaya perawatan.
Jarak sambungan susut sangat memengaruhi jumlah pembesian yang
dibutuhkan. Lain halnya dengan beton bertulang menerus, supaya sambungan
susutnya berkurang maka dibutuhkan pembesian yang cukup.
2.6.2.6.1 Perkerasan Tulangan Beton Semen Bersambung Tanpa Tulangan
Berdasarkan pada Departemen Prasarana dan Permukiman Wilayah
(2003 : 29), untuk mengendalikan retak pada perkerasan beton semen kontinu
tanpa pembesian ada kesempatan perlunya dipasang pembesian. Dampak dari
konsentrasi tegangan yang tidak bisa dielakkan melalui penataan pola sambungan
diduga akan mendapati keretakan pada bagian-bagian pelat. Pelaksanaan tulangan
secara umum dilakukan pada:
a. Pelat yang jarang ditemui bentuknya (odd-shaped slab), pelat yang memiliki
rasio lebih besar 1,25 antara lebar dengan panjang atau tidak memiliki bentuk
segi empat atau persegi panjang sama sekali pada struktur sambungan di pelat.
b. Pelat yang sambungannya tidak searah (mismatched joints).
c. Pelat yang memiliki lubang (pits or structures).
28
2.6.2.6.2 Perkerasan Beton Semen Bersambung dengan Tulangan
Sesuai dengan peraturan Departemen Prasarana dan Permukiman
Wilayah (2003 : 29). Penggunaan pembesian di sambungan menjulur dan
membentang jalan pada perkerasan beton semen disebut perkerasan beton semen
kontinu dengan pembesian. Melalui persamaan berikut dapat menghitung luas
penampang tulangan:
𝐴𝑠 =𝜇×𝐿×𝑀×𝑔×ℎ
2×𝑓𝑠..............................................................Persamaan (2.13)
Penjelasan:
As = Luas penampang tulangan baja (mm2/m lebar pelat)
fs = Kuat tarik ijin tulangan (Mpa), biasanya 0,6 kali tegangan leleh
g = gravitasi (m/detik2)
h = Tebal pelat beton (m)
M = Berat per satuan volume alat (kg/m3)
µ = Koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah
Apabila pada tulangan melintang dan memanjang memakai pembesian
yang memiliki bentuk anyaman, maka luas penampang pembesian tersebut
berbentuk segi empat dan persegi panjang dengan beban per satuan luas, dilihat
dari Tabel 2.13
Tabel 2.13 Ukuran dan berat tulangan polos anyaman las
Tulangan
Memanjang Tulangan Melintang Luas Penampang Tulangan
Berat per
Satuan
Luas
(kg/m2)
Diamete
r (mm)
Jarak
(mm)
Diameter
(mm)
Jarak
(mm)
Memanjang
(mm2/m)
Melintang
(mm2/m)
Empat persegi panjang
12,5 100 8 200 1227 251 11,606
1,2 100 8 200 986 251 9,707
10 100 8 200 785 251 8,138
9 100 8 200 636 251 6,967
8 100 8 200 503 251 5,919
7,1 100 8 200 396 251 5,091
9 200 8 250 318 201 4,076
8 200 8 250 251 201 3,552
29
Tabel 2.13 Lanjutan
Tulangan
Memanjang Tulangan Melintang Luas Penampang Tulangan
Berat per
Satuan
Luas
(kg/m2)
Diamete
r (mm)
Jarak
(mm)
Diameter
(mm)
Jarak
(mm)
Memanjang
(mm2/m)
Melintang
(mm2/m)
Bujur Sangkar
8 100 8 100 503 503 7,892
10 200 10 200 393 393 6,165
9 200 9 200 318 318 4,994
8 200 8 200 251 251 3,946
7,1 200 7,1 200 198 198 3,108
6,3 200 6,3 200 156 156 2,447
5 200 5 200 98 98 1,542
4 200 4 200 63 63 0,987
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003
2.6.2.6.3 Perkerasan Beton Semen Menerus dengan Tulangan
Berdasarkan peraturan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2003 : 30). Melalui persamaan berikut dapat dihitung kebutuhan tulangan
memanjang pada perkerasan beton semen melajur dengan pembesian.
𝑃𝑠 =100×𝑓𝑐𝑡(1,3−0,2𝜇)
𝑓𝑦−𝑛𝑓𝑐𝑡........................................................Persamaan (2.14)
Penjelasan:
Ps = Persentase luas tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap luas
penampang beton (%)
fct = Kuat tarik langsung beton = (0,4-0,5 fcf) (kg/cm2)
fy = Tegangan leleh rencana baja (kg/cm2)
n = angka ekuivalensi antara baja dan beton
µ = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya
Es = Modulus elastisitas baja = 2,1 x 106 (kg/cm2)
Ec = Modulus elastisitas beton = 1485 √𝑓′𝑐 (kg/cm2)
30
Angka ekivalen baja dan beton (N) ditentukan sesuai dengan kuat tarik beton,
dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Hubungan kuat tekan beton dan angka ekivalen baja dan beton (n)
f'c (kg/cm2) N
175 – 225 10
235 – 285 8
290 - ke atas 6
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003
Pada perkerasan beton melajur, 0,6% dari luas penampang beton adalah
angka persentase terkecil dari pembesian memanjang. Perlunya dipasang jumlah
tertinggi pembesian memanjang supaya dapat mengendalikan lebar dan jarak
retakan. Melalui persamaan berikut, jarak di setiap retakan pada perkerasan beton
berlanjut dengan pembesian secara teori.
𝐿𝑐𝑟 =𝑓𝑐𝑡2
𝑛× 𝑝2×𝑢×𝑓𝑏(𝜀𝑠𝐸𝑐−𝑓𝑐𝑡)...............................................Persamaan (2.15)
Penjelasan:
Lcr = Jarak teoritis antara retakan (cm)
p = Perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas penampang beton
u = Perbandingan keliling terhadap luas tulangan = 4/d
fb = Tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97√𝑓′𝑐)/d (kg/cm2)
Ɛs = Koefisien susut beton = (400 x 10-6)
Fct = Kuat tarik langsung beton = (0,4 – 0,5 fcf) (kg/cm2)
n = Angka ekuivalensi antara baja dan beton = (Es/Ec)
Ec = Modulus elastisitas beton = 14850√𝑓′𝑐 (kg/cm2)
Es = Modulus elastisitas baja = 2,1 x 106 (kg/cm2)
Dari persamaan di atas, pada perhitungan tersebut harus menghasilkan
jarak retakan teoritis antara 150 sampai 250 cm. 12 sampai 20 mm untuk garis
tengah batang pembesian memanjang. 100 sampai 225 mm untuk jarak antar besi.
31
2.6.2.7 Sambungan
Sesuai dengan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003 :
13). Kegunaan sambungan sebagai berikut:
a. Untuk mengatur keretakan dan memberi batasan pada tegangan yang
diakibatkan dari pengaruh lenting, penyusutan, dan beban lalu lintas.
b. Memberikan kemudahan pada pelaksanaanya.
c. Menyesuaikan gerakan pelat.
Sambungan ada beberapa macam pada perkerasan semen beton:
a. Sambungan menjulur
b. Sambungan memalang
c. Sambungan pemisah
Bahan penutup (joint sealer) sangat dibutuhkan untuk menutup semua
jenis sambungan, selain pada sambungan pemisah harus ditambahkan bahan
pengisi (joint filler) terlebih dahulu.
2.6.2.7.1 Dowel (Ruji)
Berdasarkan syarat Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2003 : 14). Pada perkerasan beton semen dowel dipakai untuk keperluan
pengikat/penyambung di beberapa macam sambungan pelat beton. Bentuk dari
dowel yaitu batang baja tulangan profil atau polos. Fungsi dari dowel dapat
menyalurkan beban ke sambungan yang digunakan dengan setengah panjang
terpaut dan setengah panjang dilumuri atau diberi cat agar dowel bebas bergeser.
2.6.2.7.2 Tie Bar
Sesuai dengan ketentuan Departemen Prasarana dan Permukiman
Wilayah (2003 : 13). Pada sambungan lidah-alur terdapat potongan baja yang
berbentuk profil, potongan baja tersebut adalah batang pengikat, yang memiliki
tujuan untuk melilit plat supaya tidak bergeser horizontal. Pada sambungan
menjulur batang pengikat tersebut dikaitkan.
32
2.7 Penelitian Deltu Semen
Penelitian ini membahas tentang faktor penambahan semen terhadap
material urugan lokal (batu kapur) dan pengaruhnya terhadap nilai daya dukung
(CBR) material. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bahan Jalan Dinas
PU. Bina Marga Kabupaten Lamongan. Penelitian ini memanfaatkan material
lokal batu kapur, karena di wilayah Lamongan terdapat deretan pegunungan
kapur. Salah satu bahan additive yang sangat baik digunakan untuk
menstabilisasikan material lokal tersebut adalah semen. Campuran antara material
lokal dan semen di kadar air yang terpilih, merupakan stabilizing agents yang baik
untuk menghasilkan suatu lapis perkerasan yang memiliki fungsi sebagai lapisan
pondasi pendukung (base course) struktur perkerasan jalan. Konstruksi pondasi
soil cement (batu kapur semen) adalah salah satu macam konstruksi pondasi
perkerasan jalan yang terbuat dari batu kapur dengan semen, kemudian dihampar
dan dipadatkan pada batas kadar air tertentu dan pada tingkat kepadatan yang
disyaratkan. Penggunaan lapis konstruksi pondasi soil cement ini sangat ekonomis
karena menggunakan material lokal, yang merupakan material asli Kabupaten
Lamongan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penambahan kadar semen 1%,
3%, 6%, dan 8% akan menaikkan nilai CBR hampir setara dengan nilai CBR
agregat kelas B, maupun agregat kelas A, dan juga selisih harga pedel semen
masih jauh di bawah harga agregat kelas B, dan agregat kelas A. Keberadaan air
yang meresap memberikan pengaruh positif terhadap daya dukung dan sifat-sifat
campuran soil cement. (Dandoko Hadi s, Irfan Hariyadi, Artiyadi K.N. 2010.
Faktor penambahan semen terhadap material urugan lokal (pedel Lamongan)
dan pengaruhnya terhadap nilai daya dukung (CBR) material).
Hasil pengujian di laboratorium didapatkan persentase penambahan
semen semakin tinggi, semakin tinggi pula peningkatan nilai CBR campuran batu
kapur semen. Hasil pengujian tersebut pada Tabel 2.15 dan Tabel 2.16
33
Tabel 2.15 Hasil pengujian sifat fisik batu kapur No Pengujian Hasil
1. Spesific Gravity (GS) 2,67%
2. Batas – batas Atterberg
- Batas Cair (LL)
- Batas Plastis (PL)
- Batas Plastisitis (PI)
27,28%
28,80%
Non Plastis
3. Gradasi Lolos Saringan No. 3/4 64,50%
4. Gradasi Lolos Saringan No. 200 5,89%
5. Pemadatan Tanah
- Kadar Air Optimum (OMC)
- Berat isi kering maksimum
8,82%
1,854
gr/cm3
6. Nilai Daya Dukung (CBR) Design 32,61%
Sumber: Hadi , Hariyadi, Artiyadi. 2010.
Tabel 2.16 Hasil pengujian CBR campuran batu kapur dengan semen Kadar Semen (%) Nilai CBR (%)
0 % 32,61 %
1 % 56,63 %
3 % 71,39 %
6 % 86,51 %
8 % 99,75 %
Sumber: Hadi , Hariyadi, Artiyadi. 2010.
2.8 Perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
2.8.1 Penjelasan Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya menurut Nurcholid Syawaldi sebagai berikut:
a. Perincian beraneka ragam anggaran yang dibutuhkan untuk gaji dan bahan,
serta anggaran-anggaran lainnya yang berkaitan dengan pengoperasian proyek
atau konstruksi tertentu.
b. Merancang suatu konstruksi dalam wujud dan manfaat pemakaiannya, serta
besarnya anggaran yang dibutuhkan, dan tahapan-tahapan pengerjaan dalam
bagian tata kelola dan di bagian teknik dalam pengerjaan proyek.
Terdapat dua cara untuk melakukan penggarapan anggaran biaya, yaitu:
a. Anggaran biaya taksiran (kasar), menggunakan harga satuan per meter persegi
luas lantai sebagai acuannya. Selain itu anggaran biaya taksiran ini juga bisa
dipakai acuan untuk pengerjaan RAB yang dihitung dengan cermat.
b. Anggaran biaya saksama, berdasarkan ketetapan dan batasan-batasan
pengerjaan anggaran biaya, maka dalam perhitungannya harus dilakukan
dengan cermat dan saksama.
34
2.8.2 Tujuan Rencana Anggaran Biaya
Agar mendapati biaya item/bagian pekerjaan selaku acuan untuk
menyatakan harga-harga dalam waktu pengerjaan. Tujuan yang lainnya juga agar
konstruksi yang akan dibangun bisa dilakukan secara efisien da efektif (Nurcholid
Syawaldi).
2.8.3 Fungsi Rencana Anggaran Biaya
Selaku pedoman pengerjaan proyek dan selaku alat pengatur pengerjaan
proyek (Nurcholid Syawaldi).
2.8.4 Analisis Harga Satuan Dasar (HSD) dan Volume Pekerjaan
Berdasarkan peraturan Departemen Pekerjaan Umum. HSD alat, HSD
bahan, HSD tenaga kerja dibutuhkan untuk membuat harga satuan pekerjaan
(HSP). Langkah-langkah untuk menghitung HSD .
2.8.4.1 Langkah Perhitungan HSD Tenaga Kerja
Dalam menentukan harga satuan pekerjaan, harus menentukan bahan
penunjuk harga standar terlebih dahulu untuk bayaran selaku HSD tenaga kerja.
Berikut adalah langkah untuk menghitung HSD tenaga kerja:
a. Menentukan macam keahlian tenaga kerja, seperti (M) mandor, (P) pekerja,
(KaT) kepala tukang, (Tx) tukang.
b. Mengumpulkan data gaji berdasarkan ketentuan daerah setempat, bahan gaji
dari hasil pemeriksaan di tempat yang bersebelahan dan berlaku untuk wilayah
di mana letak pekerjaan akan dilaksanakan.
c. Perincian tenaga kerja yang mendatangkan tenaga kerja dari luar wilayah
dengan menaksir biaya bermalam, kendaraan, dan makan.
d. Menentukan total hari aktif bekerja selama sebulan (24-26 hari) dan total aktif
dalam sehari (7 jam)
e. Menghitung biaya gaji setiap pekerja per jam per pekerja
f. Buat rata-rata keseluruhan biaya gaji per jam selaku gaji rata-rata per jam.
35
Contoh Harga Satuan Dasar Pekerjan pada Tabel 2.17.
Tabel 2.17 Harga Satuan Dasar Pekerja
No. Uraian Kode Satuan Harga Satuan
1 Pekerja (L01) Jam 11.428,57
2 Tukang (L02) Jam 14.285,71
3 Mandor (L03) Jam 15.714,29
4 Operator (L04) Jam 20.000,00
5 Pembantu Operator (L05) Jam 12.000,00
6 Driver (L06) Jam 14.285,71
7 Pembantu Driver (L07) Jam 12.142,86
Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, 2016
2.8.4.2 Cara Perhitungan HSD Alat
Data gaji sopir atau operator, perincian alat seperti daya tampung kerja
alat (m3), umur ekonomi alat dari pabriknya, jam kerja setahun, dan biaya alat
adalah data yang dibutuhkan untuk menganalisa HSD alat. Ada aspek lainnya juga
seperti bagian pendanaan alat yang melibatkan jaminan alat, tarif pinjaman bank,
bagian alat yang khusus seperti bagian wadah untuk Excavator, biaya pendapatan
alat, Loader , dan lain-lain. Contoh Harga Satuan Dasar Alat pada Tabel 2.18.
Tabel 2.18 Harga Satuan Dasar Alat No. Uraian Kode HP Kapa
sitas
Sat
uan
Harga Alat
(Rp)
Sewa Alat
(Rp)
1 Asphalt Finisher E20 72,4 10 Ton
1.587.300.000 727.486,35
2 Dump Truck E09 190,0 10 Ton 329.011.100 513.492,36
3 Excavator 80-140 HP E10 133,0 0,93 M3
1.162.200.000 579.614,37
4 Motor Grader >100hp E13 135,0 10,8 1.859.999.000 741.348,28
5 Tandem Roller 6-8 t E17 82,0 8,1 Ton 1.328.600.000 507.926,83
6 Tire Roller 8-10 t E18 100,5 9,0 Ton 987.500.000 470.495,62
7 Vibratory Roller 5-8 t E19 82,0 7,1 Ton 1.008.800.000 435.665,19
8 Asphalt Distributor E41 115,0 4000 liter 1.658.673.740 679.919,62
Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, 2016
2.8.4.3 Langkah Perhitungan HSD Bahan
Data biaya baku, biaya kendaraan, dan biaya pembuatan bahan baku
sebagai bahan jadi atau bahan buatan adalah data yang diperlukan untuk
menganalisis HSD bahan. Dalam pembuatan bahan diprediksikan alat yang
36
diperlukan lebih dari satu. Per alatnya dihitung daya tampung pembuatannya per
jam untuk satuan pengukurannya, dengan sistem menempatkan data daya
tampung alat, bagian efisiensi alat, bagian lain dan masa siklus setiap alat. HSD
bahan buatan, HSD bahan baku, HSD bahan jadi, dan harga bahan baku termasuk
dari HSD bahan. Ada dua macam bahan yang dapat diambil dari quarry untuk
menghitung harga satuan dasar bahan, yaitu berbentuk bahan baku seperti pasir
dari gunung/sungai, batu dari gunung/kali, dan lain-lain, dan yang satu lagi
berbentuk bahan olahan seperti batu pecah halus dan kasar dari hasil pabrikasi
mesin pemecah batu, dan lain-lain
Biaya bahan di quarry tidak sama dengan biaya bahan yang dibawa
langsung ke lokasi pekerjaan atau basecamp, karena adanya penambahan biaya
untuk mengangkut bahan dari quarry ke lokasi pekerjaan. Contoh Harga Satuan
Dasar Bahan pada Tabel 2.19.
Tabel 2.19 Harga Satuan Dasar Bahan No. Uraian Kode Satuan Harga Satuan
1 Aspal M10 Kg
2 Agregat Halus LP A M132 M3
3 Agregat Pecah Kasar M3
Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, 2016
2.8.4.4 Contoh Perhitungan Volume dan RAB
Rumus volume
V = p (m) x l (m) x t (m) = X (m3)
Rumus volume perkerasan
V = p (m) x l (m) x t (m) x Berat Jenis (ton/m3) = X (ton)
Perhitungan biaya pekerjaan
Biaya = volume x harga satuan pekerjaan = Rp.......