bab ii tinjauan pustaka 2.1 jalan 2.1.1 pengertian jalan

40
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan 2.1.1 Pengertian jalan Menurut Alamsyah (2001:1) bahwa sejarah perkembangan jalan di Indonesia yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia adalah pembangunan jalan Daendels pada zaman belanda, yang dibangun dari Anyer di Banten sampai Panarukan di Banyuwangi Jawa Timur. Yang diperkirakan 1000 km. Pembangunan tersebut dilakukan dengan kerja paksa pada akhir abad 18. Tujuan pembangunan saat itu untuk kepentingan strategi dan dimasa tanam paksa untuk pengangkutan hasil bumi. Menurut PP RI NO 34 Tahun 2006 tentang jalan, jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada pada permukaan tanah, diatas bawah permukaan tanah, diatas permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. 2.1.2 Klasifikasi Jalan Menurut Alamsyah (2001:2) bahwa berkembangnya angkutan darat terutama kendaraan bermotor yang meliputi jenis ukuran dan jumlah maka masalah kelancaran arus lalu lintas, keamanan, kenyamanan, dan daya dukung dari perkerasan jalan perlu pembatasan pembatasan. Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan suatu fungsi/ kegunaan jalan, administrasi pemerintahan, muatan sumbu yang menyangkut tentang dimensi suatu kendaraan, serta berat kendaraan. Menurut PP RI NO 34 Tahun 2006 klasifikasi jalan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Berdasarkan Sistem Jaringan Jalan a. Sistem Jaringan Jalan Primer Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan simpul simpul jasa distribusi. Jaringan jalan primer

Upload: others

Post on 22-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan

2.1.1 Pengertian jalan

Menurut Alamsyah (2001:1) bahwa sejarah perkembangan jalan di Indonesia

yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia adalah pembangunan jalan Daendels

pada zaman belanda, yang dibangun dari Anyer di Banten sampai Panarukan di

Banyuwangi Jawa Timur. Yang diperkirakan 1000 km. Pembangunan tersebut

dilakukan dengan kerja paksa pada akhir abad 18. Tujuan pembangunan saat itu untuk

kepentingan strategi dan dimasa tanam paksa untuk pengangkutan hasil bumi.

Menurut PP RI NO 34 Tahun 2006 tentang jalan, jalan merupakan prasarana

transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bagian pelengkap dan

perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada pada permukaan

tanah, diatas bawah permukaan tanah, diatas permukaan tanah dan atau air, serta diatas

permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

2.1.2 Klasifikasi Jalan

Menurut Alamsyah (2001:2) bahwa berkembangnya angkutan darat terutama

kendaraan bermotor yang meliputi jenis ukuran dan jumlah maka masalah kelancaran

arus lalu lintas, keamanan, kenyamanan, dan daya dukung dari perkerasan jalan perlu

pembatasan – pembatasan. Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan

suatu fungsi/ kegunaan jalan, administrasi pemerintahan, muatan sumbu yang

menyangkut tentang dimensi suatu kendaraan, serta berat kendaraan.

Menurut PP RI NO 34 Tahun 2006 klasifikasi jalan terbagi menjadi 3 bagian,

yaitu :

1. Berdasarkan Sistem Jaringan Jalan

a. Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata

ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang

menghubungkan simpul – simpul jasa distribusi. Jaringan jalan primer

5

menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu dengan kota jenjang

yang lain antar satuan wilayah pengembangan. Jalan primer akan berakhir

pada suatu kawasan primer (PP RI NO 34 Tahun 2006).

b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Sistem jaringan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata

ruang kota yang menghubungkan kawasan – kawasan yang memiliki fungsi

primer, fungsi sekunder dan sampai ke perumahan (PP RI NO 34 Tahun

2006).

2. Berdasarkan Fungsinya

a. Jalan Arteri Primer

Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota kegiatan

nasional dengan pusat kegiatan wilayah (PP RI NO 34 Tahun 2006). Untuk

jalan arteri primer wilayah perkotaan memiliki beberapa kriteria, yaitu :

- Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar

kota.

- Jalan arteri melalui atau menuju kawasan primer

- Dirancang kecepatan rencana minimal 60 km/jam

- Lebar jalan tidak kurang dari 11 meter

- Lalu lintas jalan arteri primer tidak boleh terganggu lalu lintas lokal

- Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan

menggunakan jalan arteri primer.

- Persimpangan diatur sesuai volume lalu lintas

b. Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan kota pusat

kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal jenjang ketiga (PP RI NO 34

Tahun 2006). Untuk wilayah perkotaan beberapa kriterinya, yaitu :

- Jalan kolektor menuju kawasan primer atau jalan arteri primer

- Dirancang kecepatan rencana 40 km/jam

- Lebar badan jalan tidak kurang dari 9 meter

6

- Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan

menggunakan jalan ini

- Persimpangan diatur sesuai volume lalu lintas

- Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata –

rata

- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi dan tidak diijinkan pada jam

sibuk

c. Jalan Lokal Primer

Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan pusat kegiatan lokal

dengan pusat kegiatan lingkungan (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria

untuk jalan lokal primer, yaitu :

- Menuju kawasan primer atau jalan primer

- Dirancang untuk kecepatan rencana 20 km/jam

- Lebar jalan tidak kurang dari 7,5 meter

- Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan

menggunakan jalan ini.

d. Jalan Lingkungan Primer

Jalan Lingkungan Primer adalah jalan yang menghubungkan antarpusat

kegiatan didalam kawasan pedesaan dan jalan yang ada di lingkungan desa.

Kriteria untuk jalan lokal primer, yaitu :

- Kecepatan paling rendah 15 km/jam

- Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 m

Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi

primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai

pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota dan wilayah pengembangannya.

e. Jalan Arteri Sekunder

Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan

sekunder (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan arteri sekunder,

yaitu :

7

- Dirancang kecepatan paling rendah 30 km/jam

- Lebar badan jalan tidak kurang dari 11 meter

- Kendaraan angkutan berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini

diadaerah permukiman

- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi

f. Jalan Kolektor Sekunder

Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan

kawasan sekunder kedua (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan

kolektor sekunder, yaitu :

- Dirancang kecepatan paling rendah 20 km/jam

- Lebar badan jalan tidak kurang dari 9 meter

- Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata

- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi

g. Jalan Lokal Sekunder

Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder dan kawasan

perumahan (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan lokal sekunder,

yaitu :

- Dirancang kecepatan paling rendah 10 km/jam

- Lebar badan jalan tidak kurang dari 7,5 meter

- Kendaraan angkutan berat dan bus tidak diijinkan melalui fungsi jalan

ini didaerah permukiman.

h. Jalan Lingkungan Sekunder

Jalan lingkungan sekunder menghubungkan kawasan persiil dan kawasan

perkotaan (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan lingkungan

sekunder, yaitu :

- Dirancang kecepatan paling rendah 10 km/jam

- Lebar badan jalan tidak kurang dari 6,5 meter

3. Berdasarkan Wewenang Pembinaan

a. Jalan Nasional

8

Penerapan status jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan keputusan

menteri (PP RI NO 34 Tahun 2006).

Jalan yang termasuk dalam jalan nasional, yaitu :

- Jalan arteri primer

- Jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota provinsi

- Jalan strategi nasional

b. Jalan Provinsi

Jalan yang termasuk kelompok jalan provinsi adalah jalan kolektor primer

yang mneghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota

kabupaten/kotamadya atau antar ibukota kabupaten/kotamadya. Penerapan

status jalan sebagai jalan provinsi dilakukan dengan keputusan Menteri

Dalam Negeri atas usulan Pemda tingkat I yang bersangkutan (PP RI NO

34 Tahun 2006). Jalan yang termasuk dalam jalan provinsi, yaitu :

- Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan

ibukota kabupaten atau kota

- Jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten

atau kota

- Jalan strategi provinsi

- Jalan di daerah khusus ibukota Jakarta

c. Jalan Kabupaten

Jalan yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah jalan kolektor

primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, jalan lokal

primer dan jalan sekunder. Penerapan status jalan sebagai jalan provinsi

dilakukan dengan keputusan Gurbenur atas usulan Pemda tingkat II yang

(PP RI NO 34 Tahun 2006). Jalan yang termasuk dalam jalan kabupaten,

yaitu :

- Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional

- Jalan local primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten sengan

pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa,

dan antardesa.

9

- Jalan strategi kabupaten

- Jalan sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi

d. Jalan Kotamadya

Jalan yang termasuk kelompok jalan kotamdya adalah jalan sekunder

didalam kotamdya. Penerapan status jalan sebagai jalan kotamya dilakukan

dengan keputusan Gurbenur atas usulan Pemda kotamadya yang

bersangkutan (PP RI NO 34 Tahun 2006).

e. Jalan Khusus

Jalan yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah jalan yang dibangun

dan dipelihara oleh instansi atau badan hukum atau perorangan untuk

kepentingan masing - masing . Penerapan status ruas jalan khusus

dilakukan oleh instansi atau badan hukum atau perorangan yang memiliki

ruas jalan tersebut dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh

Menteri Pekerjaan Umum (PP RI NO 34 Tahun 2006).

f. Jalan Tol

Jalan tol adalah jalan yang dibangun dimana pemilikan dan hak

penyelenggarannya ada pada Pemerintah atas usul Menteri, Prsiden

menetapkan suatu ruas jalan tol dan haruslah merupakan alternative lintas

jalan yang sudah ada. Persyaratan lainnya jalan tol harus memberikan

keandalan yang lebih tinggi kepada para pemakainya daripada jalan umum

yang ada, dan pelaksanaanya diatur dengan peraturan pemerintah (PP RI

NO 34 Tahun 2006).

2.1.3 Daerah Penguasaan Jalan

Daerah penguasaan jalan adalah suatu daerah termasuk segala sesuatu termasuk

di dalam daerah tersebut yang dikuasai untuk segala keperluan suatu jalan

(Hendarsin,2000).

Daerah penguasaan jalan diberlakukan untuk pengembangan suatu jalan demi

kelancaran dan kenyamanan arus lalu lintas bagi pengguna jalan itu sendiri seperti

10

pengemudi, pejalan kaki serta pengguna jalan di sekitarnya seperti tempat tinggal, dan

ruang untuk kegiatan perekonomian atau industri.

Daerah penguasaan jalan terbagi atas 3 bagian, yaitu :

1. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA)

Damaja adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan

kedalaman dengan ketentuan batas tertentu (Hendarsin,2000). Ruang tersebut

digunakan untuk medan utama suatu jalan yang berupa perkerasan jalan, jalur

pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman,

timbunan dan galian, goronggorong, perlengkapan jalan dan bangunan

pelengkap lainnya. Ruang untuk Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) ini

mempunyai ketentuanketentuan yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi

b. ketinggian berada pada 5 m di atas permukaan perkerasan pada sumbu

jalan

c. Kedalaman ruang bebas sebesar 1,5 m di bawah permukaan jalan

2. Daerah Milik Jalan (DAMIJA)

Damija adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan

kedalaman dengan ketentuan batas tertentu (Hendarsin,2000). Damija

digunakan untuk keperluan Damaja dan pelaksanaan maupun penambahan jalur

lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan.

Ketentuan yang harus diperhatikan di dalam Damija adalah :

a. Penambahan ambang pengaman konstruksi jalan dengan ketinggian

sebesar 5 m

b. Kedalaman ruang bebas sebesar 1,5 m

3. Daerah Penguasaan Jalan (DAWASJA)

Dawasja adalah ruang sepanjang jalan di luar Damaja yang dibatasi oleh tinggi

dan lebar tertentu (Hendarsin,2000). Ruang dawasja ini penggunanya diawasi

oleh pembina jalan dengan tujuan supaya pandangan pengemudi saat

berkendara dan konstruksi bangunan jalan tidak terganggu. Dawasja ditentukan

berdasarkan kebutuhan terhadap pandangan pengemudi oleh Pembina Jalan.

11

Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang bebas serta dibatasi

oleh lebar yang diukur dari as jalan.

Dawasja juga memiliki ketentuan yang harus diperhatikan bagi pengguna jalan

dan di sekitarnya yang meliputi :

a. Jalan arteri primer tidak kurang dari 20 m

b. Jalan arteri sekunder tidak kurang dari 20 m

c. Jalan kolektor primer tidak kurang dari 15 m

d. Jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 m,

e. Jalan lokal primer tidak kurang dari 10 m

f. Jalan lokal sekunder tidak kurang dari 4 m

g. Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir.

2.2 Perkerasan Jalan Raya

Perkerasan jalan adalah bagian dari jalan raya yang diperkeras menggunakan lapis

konstruksi tertentu yang mempunyai ketebalan, kekuatan, kekakuan dan kestabilan

tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu-lintas diatasnya ke tanah dasar secara

aman. Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan

tanah dasar dan roda kendaraan,yang terdiri dari campuran agregat dan bahan ikat.

Agregat yang dipakai terdiri dari batu pecah, batu belah, batu kali atau bahan lainnya,

sedangkan bahan ikat yang dipakai ialah aspal, semen ataupun tanah liat. Menurut

Sukirman (1999:4) berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat

dibedakan atas:

a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan

bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Sifat dari

perkerasan ini adalah memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

Pengaruhnya terhadap repitisi beban adalah timbulnya rutting

b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton

dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis

12

pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. Sifat

lapisan utama (plat beton) yaitu memikul sebagian besar beban lalu lintas.

Pengaruhnya terhadap repitisi beban adalah timbulnya retak-retak pada

permukaan jalan.

c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku

yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur

diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentu

Perbedaan utama perkerasan kaku dan lentur diberikan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku

Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku

1 Bahan pengikat Aspal Semen

2 Repetisi beban Timbul Rutting (lendutan pada

jalur roda)

Timbul retak-retak pada

permukaan

3 Penurunan tanah

dasar

Jalan bergelombang

(mengikuti tanah dasar)

Bersifat sebagai balok di

atas perletakan

4 Perubahan

temperature

Modulus kekakuan berubah.

Timbul tegangan dalam yang kecil

Modulus kekakuan

tidak berubah Timbul

tegangan dalam yang

besar

Sumber : Sukirman,1999

2.3 Pengertian Perkerasan Kaku

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:3) Perkerasan beton semen

atau perkerasan kaku merupakan suatu struktur bangunan yang umumnya terdiri dari

tanah dasar, lapis pondasi bawah dan lapis beton semen dengan atau tanpa tulangan.

Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton semen yang

bersambung (tidak menerus) menggunakan atau tidak menggunakan tulangan, atau

menerus menggunakan tulangan, terletak di atas lapis pondasi bawah atau tanah dasar,

tanpa atau dengan lapis permukaan beraspal. Struktur perkerasan beton semen secara

tipikal sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1

13

Gambar 2.1 Tipikal struktur perkerasan beton semen

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

Susunan dari perkerasaan ini antara lain :

1. Lapisan pelat beton (Concrete Slab), merupakan lapisan beton tebal yang

berupa gabungan lapisan base dengan surface. Umumnya tebal lapisan ini

berkisar antara 20 – 30 cm (tergantung permintaan/ kondisi lalu lintas). Lapisan

ini biasanya diberikan tambahan tulangan kembang susut (Shringkage Bar) dan

tulangan konstruksi (Construction Bar) antar segmennya. Untuk ukuran tiap

segmennya bervariasi tergantung permintaan/ kondisi lalu lintas yaitu dengan

lebar segmen beton sekitar 2,5 – 3 m, dan panjangnya berkisar 4 – 5 m. Pada

sambungan antar segmen umunya digunakan campuran aspal emulsi atau

sealant guna mereduksi pergerakan akibat pemuaian. Serta pada permukaannya

lapisan ini dibuat grid untuk menambah gaya gesekan yang terjadi dengan ban

roda kendaraan.

2. Lapisan pondasi bawah (Sub-base Course), lapisan pondasi bawah ini berupa

pelat beton tipis dengan ukuran 5 – 10 cm yang terletak di atas tanah dasar atau

disebut Lean Concrete. Pada lapisan ini harus direncanakan dan diperhitungkan

dengan baik mengenai material yang digunakannya, dikarenakan pada lapisan

ini merupakan lapisan pelindung bagi tanah dasar terhadap rembesan air.

Sebelum pekerjaan lapisan ini biasanya diberi plastik guna mencegah rembesan

air dari permukaan yang bisa membuat kerusakan.

3. Lapisan tanah dasar (Sub Grade) merupakan lapisan dasar dari perkerasan

lainnya yang berupa tanah asli galian atau timbunan yang dipadatkan

14

Struktur perkerasan beton semen secara tipikal sebagaimana terlihat pada

gambar 2.5.

Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis :

a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan(Jointed reinforced

Concrete Pavement)

b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan (Jointed Reinforced

Concrete Pavement)

c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan (Continously Reinforced

Concrete Pavement)

d. Perkerasan beton semen pra-tegang (Prestressed Concrete Pavement)

Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari

pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton semen.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan, dan

perubahan kadar air selama masa pelayanan.

Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari

pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton semen.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan, dan

perubahan kadar air selama masa pelayanan.

Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen adalah bukan bagian utama

yang memikul beban, tetapi bagian yang berfungsi sebagai berikut:

- Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.

- Mencegah intrusi dan memompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi

pelat.

- Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.

- Sebagai perkerasan lantai kerja selama perkerasan.

Pelat beton semen memiliki sifat yang cukup kaku serta menyebarkan beban

pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-lapisan

di bawahnya.

15

2.4 Komponen Konstruksi Perkerasan Kaku

Adapun Komponen Konstruksi Perkerasan Beton Semen (Rigid Pavement) adalah

sebagai berikut:

2.4.1 Tanah Dasar (Subgrade)

Menurut Hendarsin (2000: 212) Daya dukung lapisan tanah dasar adalah hal

yang sangat penting dalam perencanaan tebal lapis perkerasan, jadi tujuan evaluasi

lapisan tanah dasar ini untuk mengestimasi nilai daya dukung subgrade yang akan

digunakan dalam perencanaan.

2.4.2 Lapis Pondasi (Subbase)

Menurut Alamsyah (2001:149) Alasan dan keuntungan digunakannya lapisan

pondasi bawah (Subbase) di bawah perkerasan kaku adalah sebagai berikut:

a) Menambah daya dukung tanah dasar

b) Menyediakan lantai kerja yang stabil untuk peralatan konstruksi

c) Untuk mendapatkan permukaan daya dukung yang seragam

d) Untuk mengurangi lendutan pada sambungan pada – sambungan sehingga

menjamin penyaluran beban melalui sambungan muai dalam jangka waktu

lama

e) Untuk membantu menjaga perubahan volume lapisan tanah dasar yang

besar akibat pemuaian atau penyusutan

f) Untuk mencegah kaluarnya air pada sambungan atau tepi-tepi pelat

(pumping)

2.4.3 Tulangan

Menurut Alamsyah (2001:155) Tujuan dasar distribusi penulangan baja adalah

bukan untuk mencegah terjadinya retak pada pelat beton tetapi untuk membatasi lebar

retakan yang timbul pada daerah dimana beban terkonsentrasi agar tidak terjadi

pembelahan pelat beton pada daerah retak tersebut, sehingga kekuatan pelat tetap dapat

dipertahankan.

Banyaknya tulangan baja didistribusikan sesuai denga kebutuhan untuk

keperluan ini yang akan ditentukan oleh jarak sambungan susut, dalam hal ini

16

dimungkinkan pengguna pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah

sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan.

1) Kebutuhan Penulangan pada Perkerasan Bersambung Tanpa Tulangan

Pada perkerasan bersambung tanpa tulangan, penulangan tetap dibutuhkan

untuk mengantisipasi atau meminimalkan retak pada tempattempat dimana

dimungkinkan terjadi konsentrasi tegangan yang tidak dapat dihindari.

Tipikal penggunaan penulangan khusus ini antara lain :

a. Tambahan pelat tipis

b. Sambungan yang tidak tepat

c. Pelat kulah atau struktur lain

2) Penulangan pada Perkerasan Bersambung dengan Tulangan Luas tulangan pada

perkerasan ini dihitung dari persamaan sebagai berikut:

Dimana :

As= luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)

F= koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya

L = jarak antara sambungan (m)

h = tebal pelat (mm)

fs = tegangan tarik baja ijin (Mpa)

3) Penulangan pada Perkerasan Menerus dengan Tulangan

a. Tulangan Memanjang

Dimana :

Ps =

Presentase tulangan memanjang yang dibutuhkan

terhadap penampang beton (%)

ft = Kuat tarik beton yang digunakan 0,4-0,5 f (Mpa)

fy = Tegangan leleh rencana baja, fy < 400Mpa

17

n = Angka ekialen antara baja dan beton = Es/Ec

F =

Koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan

di bawahnya

Es = Modulus elastisitas baja

Ec = Modulus elastisitas beton

Presentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton

menerus adalah 0,6% dari luas penampang beton.

b. Tulangan Melintang

Luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton

menerus, dihitung dengan persamaan yang sama seperti pada perhitungan

penulangan perkerasan beton bersambung tanpa tulangan.

4) Sambungan atau Joint

Menurut Hendarsin (2000:254) Perencanaan sambungan pada perkerasan

kaku, merupakan bagian yang harus dilakukan pada perencanaan, baik jenis

perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan, maupun pada jenis

perkerasan beton menerus dengan tulangan.

2.5 Perencanaan Perkerasan Kaku

Menurut Hendarsin (2000:210) berbagai pertimbangan yang diperlukan dalam

perencanaan tebal perkerasan antara lain meliputi:

2.5.1 Pertimbangan konstruksi dan pemeliharaan

Konstruksi dan pemeliharaannya kelak setelah digunakan, harus dijadikan

pertimbangan dalam merencakan tebal perkerasan. Faktor yang perlu dipertimbangkan,

yaitu:

- Perluasan dan jenis drainase

- Penggunaan konstruksi berkotak-kotak

- Ketersediaan peralatan

- Penggunaaan Konstruksi Bertahap

- Penggunaan Stabilitas

18

- Kebutuhan dari segi lingkungan dan keamanan pemakai

- Pertimbangan Sosial dan Strategi pemeliharaan

- Resiko-resiko yang mungkin terjadi.

2.5.2 Pertimbangan lingkungan

Faktor yang dominan berpengaruh pada perkerasan adalah:

a. Kelembaban

Kelembapan secara umum berpengaruh terhadap penampilan

perkerasan, sedangkan kekakuan/kekuatan material yang lepas dan tanah

dasar, tergantung kadar air materialnya.

b. Suhu Lingkungan

Pada perkerasan dengan beton, temperature yang tinggi juga akan

berpengaruh besar, terutama pada saat perkerasan konstruksi.

2.5.3 Evaluasi lapisan tanah dasar (subgrade)

Daya dukung lapisan tanah dasar adalah hal yang sangat penting dalam

merencanakan tebal lapisan perkerasan, jadi tujuan evaluasi lapisan tanah dasar ini

untuk mengestimasi nilai daya dukung subgrade yang akan digunakan dalam

perencanaan

1. Faktor pertimbangan untuk estimasi daya dukung

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengestimasi nilai

kekuatan dan kekakuan lapisan tanah dasar.

- Urutan pekerjaan tanah

- Penggunaan kadar air (w) pada saat pemadatan (kompaksi) dan kepadatan

lapangan (γd) yang dicapai

- Perubahan kadar air selama usia pelayanan

- Variabilitas Tanah Dasar

- Ketebalan lapisan perkerasan total yang dapat diterima lapisan lunak yang

ada di bawah lapisan tanah dasar.

-

19

2. Pengukuran daya dukung subgrade

Pengukuran daya dukung subgrade (lapisan tanah dasar) yang digunakan,

dilakukan dengan cara :

- California Bearing Ratio (CBR)

- Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)

- Parameter Elastis

- Pengambilan Nilai CBR Perkiraan.

2.5.4 Material perkerasan

Material perkerasan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori

sehubungan dengan sifat dasarnya,, akibat beban lalu lintas, yaitu:

- Material berbutir lepas

- Material terikat

- Aspal

- Beton semen

2.5.5 Lalu lintas rencana

Kondisi lalu lintas yang akan menentukan pelayanan adalah :

- Jumlah sumbu yang lewat

- Beban sumbu

- Konfigurasi sumbu

Untuk semua jenis perkerasan, penampilan dipengaruhi terutama oleh kendaraan

berat.

2.6 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku

2.6.1 Metode Bina Marga 2003

Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode Bina Marga 2003 terdiri dari:

2.6.1.1 Tanah Dasar

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:7) Daya dukung

tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan SNI 03-173101989

atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 031744-1989, masing-masing untuk

20

perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar

mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka harus dipasang pondasi bawah yang

terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concreate) setebal 15 cm yang dianggap

mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5%.

2.6.1.2 Pondasi Bawah

Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:8) Bahan

pondasi bawah dapat berupa :

a. Bahan berbutir.

b. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete).

c. Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).

Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan

beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis dan

penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan pengembangan

yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar sampai ke tepi luar lebar

jalan merupakan salah satu cara untuk mereduksi perilaku tanah ekspansif. Tebal lapis

pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan CBR

anah dasar efektif didapat dari Gambar 2.2

Gambar 2.2 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

21

Gambar 2.3 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

2.6.1.3 Beton Semen

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:9) Kekuatan beton

harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural strenght) umur 28 hari, yang

didapat dari hasil pengujian balok dengan pembebanan tiga titik (ASTM C-78) yang

besarnya secara tipikal sekitar 3-5 MPa (3050 kg/cm2).

Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti

serat baja, aramit atau serat karbon harus mencapai kuat tarik lentur 5–5,5 MPa (50-55

kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik lentur karakteristik

yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat.

Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton dapat

didekati dengan rumus berikut :

fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa atau..............................(1)

fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2..........................(2) Dengan pengertian :

fc’ : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2) fcf : kuat

tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)

K : konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 agregat pecah.

22

Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah beton

yang dilakukan menurut SNI 03-2491-1991 sebagai berikut :

fcf = 1,37.fcs, dalam Mpa atau..............................(3)

fcf = 13,44.fcs, dalam kg/cm2................................(4) Dengan pengertian :

fcs : kuat tarik belah beton 28 hari

2.6.1.4 Lalu-lintas

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:10) Penentuan beban

lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan dalam sumbu kendaraan

niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana

selama umur rencana.

Lalu-lintas harus dianalisa berdasarkan hasil perhitungan volume lalulintas

dan konfigurasi sumbu. Jenis kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan

beton semen adalah kendaraan niaga (commercial vehicle) yang mempunyai berat total

minimum 5 ton.

Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri dari atas 4 jenis kelompok

sumbu sebagai berikut :

- Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).

- Sumbu tunggal roda ganda (STRG).

- Sumbu tandem roda ganda (STdRG).

- Sumbu tridem roda ganda (STrRG).

2.6.1.4.1 Lajur rencana dan koefisien distribusi

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan

raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki

tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi (C) kendaraan niaga dapat

ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 2.2

23

Tabel 2.2 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi

(C) kendaraan niaga pada lajur rencana

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

2.6.1.4.2 Umur rencana

Umur rencana adalah jangkawaktu dalam tahun sampai perkerasan harus

diperbaiki atau ditinngkatkan. Perbaikan terdiri dari pelapisan ulang, penambahan, atau

peningkatan. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur

rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.

2.6.1.4.3 Pertumbuhan lalu-lintas

Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau

sampai tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan faktor pertumbuhan lalu-lintas

yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :

R = (1 + 𝑖)UR − 1/𝑖 .................................................(5)

Dengan pengertian :

R : Faktor pertumbuhan lalu lintas

i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.

UR : Umur rencana (tahun)

Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan Tabel

2.3 berikut ini :

Tabel 2.3 Faktor pertumbuhan lalu- lintas (R)

Umur

Rencana

(Tahun)

Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)

0 2 4 6 8 10

5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1

24

10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9

15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8

20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3

25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3

30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5

35 35 50 73,7 111,4 172,3 271

40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

2.6.1.4.4 Lalu-lintas rencana

Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga pada

lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban

pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal

dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton) bila diambil dari survai beban.

Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan

rumus berikut :

JSKN = JSKN x 365 x R x C ...............................(6)

Dengan pengertian :

JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana .

JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka.

R : Faktor pertumbuhan kumulatif dari Rumus (4) atau Tabel 2 atau

Rumus (5), yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu lintas

tahunan dan umur rencana.

C : Koefisien distribusi kendaraan

2.6.1.4.5 Faktor keamanan beban

Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor

keamanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan adanya

berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti terlihat pada Tabel 2.4

25

Tabel 2.4 Faktor keamanan beban (FKB)

No. Penggunaan Nilai

FKB

1

Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur

banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume

kendaraan niaga yang tinggi. Bila menggunakan data lalu lintas dari

hasil survey beban (weight-in-motion) dan adanya kemungkinan route

alternatif, maka nilai faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi

1,15

1,2

2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume

kendaraan niaga menengah 1,1

3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1,0

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

2.6.1.5 Bahu

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:12) Bahu dapat

terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan penutup beraspal

atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan

memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu

beton semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal

pelat. Yang dimaksud dengan bahu beton semen dalam pedoman ini adalah bahu yang

dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1,50 m atau bahu

yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0.60 m, yang juga dapat mencakup

saluran dan kereb.

2.6.1.6 Sambungan

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:13) Sambungan

pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :

- Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh

penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.

- Memudahkan pelaksanaan.

- Mengakomodasi gerakan pelat.

Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara lain:

26

a) Sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars)

Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan

terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang 3 – 4 m.

Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu

minimum BJTU-24 dan berdiameter 16 mm. Ukuran batang pengikat dihitung

dengan persamaan sebagi berikut :

At = 204 x b x h dan

l = (38,3 x ø) +75

Dengan pengertian :

At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2).

b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi

perkerasan (m).

h = Tebal pelat (m).

l = Panjang pengikat batang pengikat(mm).

Ø = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).

Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm.

b) Sambungan pelaksanaan memanjang

Sambungan perkerasan memanjang umumnya dilakukan dengan cara

penguncian. Bentuk dan ukuran penguncian dapat berbentuk trapezium atau

setengah lingkaran.

27

Gambar 2.4 Tipikal sambungan memanjang

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

c) Sambungan susut memanjang

Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara

ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih plastis dengan

kedalaman sepertiga dari tebal pelat.

d) Sambungan susut dan sambungan pelaksanaan melintang

Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan

tepi perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang harus

dipasang dengan kemiringan 1:10 searah perputaran jarum jam.

e) Sambungan susut melintang

Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung

dengan tulangan sekitar 4 - 5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung

dengan tulangan 8 – 15 m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus

dengan tulangan sesuai dengan kemampuan pelaksanaan.

Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos panjang 45 cm, jarak

antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi

gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut. Setengah panjang ruji polos

harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti lengket untuk menjamin tidak ada

ikatan dengan beton.

Diameter ruji tergantung pada tebal pelat beton sebagaimana terlihat pada

Tabel 2.5

Tabel 2.5 Diameter Ruji

No. Tebal pelat beton, h (mm) Diamater ruji (mm)

1. 125 < h ≤ 140 20

2. 140 < h ≤ 160 24

28

3. 160 < h ≤ 190 28

4. 190 < h ≤ 220 33

5. 220 < h ≤ 250 36

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

f) Sambungan pelaksanaan melintang

Sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan (darurat) harus

menggunakan pengikat berulir, sedangkan pada sambungan yang direncanakan

harus menggunakan batang tulangan polos yang diletakkan di tengah tebal

pelat.

Gambar 2.5 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak

direncanakan untuk pengecoran per lajur

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

Gambar 2.6 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak

direncanakan untuk pengecoran per lajur

(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)

29

2.6.1.7 Prosedur Perencanaan

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:20) Prosedur

perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model kerusakan yaitu:

1) Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat.

2) Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diakibatkan oleh lendutan

berulang pada sambungan dan tempat retak yang direncanakan.

Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji pada sambungan atau

bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap sebagai

perkerasan bersambung yang dipasang ruji. Data lalu lintas yang diperlukan adalah

jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah repetisi masing-masing jenis

sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan selama umur rencana.

2.6.2 Metode American Association of State High-way Transportation Officials

atau AASHTO 1993

Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode AASHTO 1993 terdiri dari:

2.6.2.1 Lalu-lintas

Menurut Suryawan (2009:27) Perhitungan lalu-lintas berdasarkan nilai

ESAL (Equivalent Single Axle Load) selama umur rencana (traffic design).

Rumus umum :

Dimana:

W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, ESAL

LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j.

VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.

DD = Faktor distribusi arah.

30

DL = Faktor distribusi lajur.

N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.

Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.

Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan kaku adalah

lalu-lintas kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan

beban gandar standar kumulatif pada jalur rencana selama setahun (W18) dengan

besaran kenaikan lalu-lintas (traffic growth).

Rumus lalu-lintas kumulatif sebagai berikut :

Dimana :

Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif.

W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.

n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).

g = Perkembangan lalu-lintas (%).

2.6.2.2 Tanah Dasar

Menurut Suryawan (2009:28) Dalam perencanaan perkerasan kaku CBR

(California Bearing Ratio) digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi

tanah dasar (k).

CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6% untuk lapis

tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Departemen Pekerjaan Umum 2005 dan

versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta 2004). Akan tetapi tanah dasar dengan nilai

CBR 5% dan atau 4% pun dapat digunakan setelah melalui geoteknik, dengan CBR

kurang 6% ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan.

31

2.6.2.3 Material Konstruksi Perkerasan

Menurut Suryawan (2009:28) Material perkerasan yang digunakan dengan

parameter yang terkait dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut:

1. Pelat beton

Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2

Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : Fc’ = 350 kg/cm2

(disarankan)

2. Wet lean concrete

Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : Fc’ = 105 kg/cm2

Sc’ digunakan untuk penentuan Flexural strength, Fc digunakan untuk

penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec).

2.6.2.4 Reliability

Menurut Suryawan (2009:28) Reliability adalah probabilitas bahwa

perkerasan yang direncanakan akan tetap memuaskan selama masa layannya.

Penetapan angka reliability dari 50% sampai 99,99% menurut AASHTO

merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan

melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang

dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi)

desain. Besaranbesaran desain yang terkait dengan ini antara lain :

Peramalan kinerja perkerasan

Peramalan lalu-lintas.

Perkiraan tekanan gandar.

Pelaksanaan konstruksi.

Mengkaji keempat faktor di atas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya

sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu

jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang. Penetapan

Reliability mengacu pada Tabel 2.6, Standar normal deviasi (ZR) mengacu pada Tabel

2.7. Sedangkan standar deviation rigid pavement : So = 0,30 – 0,40.

32

Tabel 2.6 Reliability (R) disarankan

Klasifikasi Jalan Reliability

Urban Rural

Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9

Arteri 80 – 99 75 – 95

Kolektor 80 – 95 75 – 95

Lokal 50 – 80 50 – 80

(Sumber: AASHTO 1993)

Tabel 2.7 Standar normal deviation (ZR)

R (%) ZR

R

(%) ZR

50 -0,000 93 -1,476

60 -0,253 94 -1,555

70 -0,524 95 -1,645

75 -0,674 96 -1,751

80 -0,841 97 -1,881

85 -1,037 98 -2,054

90 -1,282 99 -2,327

91 -1,340 99,9 -3,090

92 -1,405 99,99 -3,750

(Sumber: AASHTO 1993)

Penetapan konsep Reliablity dan Standar Deviasi :

Parameter reliability dapat ditentukan sebagai berikut :

• Berdasar parameter klasifikasi fungsi jalan

• Berdasar status lokasi jalan urban / rural

• Penetapan tingkat reliability (R)

33

• Penetapan standar normal deviation (ZR)

• Penetapan standar deviasi (So)

• Kehandalan data lalu-lintas dan beban kendaraan.

2.6.2.5 Koefisien Drainase (Drainage Coefficient)

Menurut Suryawan (2009:33) :

a. Variabel faktor drainase AASHTO memberikan 2 variabel untuk

menentukan nilai koefisien drainase :

• Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair,

poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat

dibebaskan dari pondasi perkerasan.

• Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun terkena

air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi < 1

%, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %.

b. Penetapan variabel mutu drainase

Penetapan variabel pertama mengacu pada Tabel 2.7 dengan

pendekatan sebagai berikut :

• Air hujan atau air dari atas permukan jalan yang akan masuk kedalam

pondasi jalan, relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 - 95 %

air yang jatuh di atas jalan aspal / beton akan masuk ke sistem drainase.

• Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan

relatif kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga

muka air tertinggi didesain terletak di bawah subgrade.

• Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi

hujan selama 3 jam per hari dan jarang sekali hujan terus menerus

selama 1 minggu.

Tabel 2.8 Quality of drainage

Quality of drainage Water removed within

Excellent 2 jam

34

Good 1 hari

Fair 1 minggu

Poor 1 bulan

Very poor Air tidak terbebaskan

(Sumber: AASHTO 1993)

c. Penetapan variabel prosen perkerasan terkena air

Penetapan variabel kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1

tahun terkena air sampai tingkat saturated, relatif sulit, belum ada data

rekaman pembanding dari jalan lain, namun dengan pendekatanpendekatan,

pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai faktor variabel kedua tersebut

dapat didekati.

Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakuan

pendekatan dengan asumsi sebagai berikut :

Dimana :

Pheff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh

terkenanya perkerasan (dalam %).

Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).

Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari).

WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%).

Selanjutnya koefisien drainase mengacu pada Tabel 2.9

Tabel 2.9 Koefisien drainase

Percent of time pavement stucture

Quality of drainage < 1 % 1 – 5 % 5 – 25 % > 25 %

Excellent 1.25 – 1.20 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10

35

Good 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00

Fair 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90

Poor 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80

Very poor 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80 – 0.70 0.70

(Sumber: AASHTO 1993)

Penetapan parameter koefisien drainase :

• Bedasar kualitas drainase

• Kondisi time pavement structure dalam setahun.

2.6.2.6 Load Transfer

Menurut Suryawan (2009:36) Load transfer coefficient (J) mengacu pada

Tabel 2.10

Tabel 2.10 Load transfer coefficient

Shoulder Asphalt Tie PCC

Load transfer devices Yes No Yes No

Pavement type

1. Plain jointed & jointed

reinforced 3.2 3.8 – 4.4 2.5 – 3.1 3.6 – 4.2

2. CRCP 2.9 – 3.2 N/A 2.3 – 2.9 N/A

(Sumber: AASHTO 1993)

Pendekatan penetapan paramater load transfer :

• Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1

• Untuk Overlay design : J = 2,2 – 2,6

Dalam perencanaan tebal perkerasan beton, perlu dipilih kombinasi yang

paling optimum atau ekonomis dari tebal pelat beton dan lapis pondasi bawah.

36

Penentuan tebal perkerasan beton dapat ditentukan dengan persamaan:

log10W18 = ZR. So + 7,35 log10(D + 1) − 0,6 +log10 [

ΔPSI4,5 − 1,5

]

1 + 1,624 x 107

(D + 1)8,46

+ (4,22 − 0,32. pt) x log10

S′c. Cdx[D0,75 − 1,132]

215,63 x J x [D0,75 −18,42

(Ec: k)0,25]

Dimana :

W18 = Traffic design, Eqiuvalent Single Axle Load (ESAL).

ZR = Standar normal deviasi.

SO = Standar deviasi.

D = Tebal pelat beton (inches).

ΔPSI = Serviceability loss = po - pt

Po = Initial serviceability.

Pt = Terminal serviceability index.

Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).

Cd = Drainage coefficient.

J = Load transfer coefficient.

Ec = Modulus elastisitas (psi).

k = Modulus reaksi tanah dasar (pci).

2.7 Metode Bina Marga 2017

Prosedur desain Perkerasaan kaku Metode Bina Marga 2017 yaitu :

2.7.1 Umur Rencana

Umur rencana perkerasaan baru di nyatakan pada Tabel 2.11

Tabel 2.11 Umur Rencana

Jenis Perkerasaan Elemen Perkerasaan Umur Rencana

(tahun)1

Perkerasaan Lentur Lapisan aspal dan lapisan berbutir 20

37

Fondasi Jalan

40

Semua perkerasaan untuk daerah yang tidak

dimungkinkan pelapisan ulan (overlay).seperti:

jalan perkotaan,underpass,jembataan,terowongan

Perkerasaan Kaku Lapis fondasi atas,lapis pondasi bawah,lapis

beton semen dan fondasi jalan.

Jalan tanpa penutup Semua Elemen (termasuk fondasi jalan) Minimum 10

(Sumber: MDP 2017)

2.7.2 Faktor Pertumbuhan Lalu-lintas

Faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan data-data pertumbuhan series atau

formulasi korelasi dengan faktor pertumbuhan lain yang berlaku.jika tidak tersedia data

maka Tabel 2.12 dapat digunakan

Tabel 2.12 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i) (%)

Jawa Sumatera Kalimantan Rata-rata

Indonesia

Arteri dan

Perkotaan 4,80 4,83 5,14 4,75

Kolektor rural 3,50 3,50 3,50 3,50

Jalan desa 1,00 1,00 1,00 1,00

(Sumber: MDP 2017)

Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor

pertumbuhan kumulatif :

R =(1+0.01 𝑖)𝑈𝑅−1

0.01 𝑖

Dengan R : Faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif

i : Laju pertumbuhan lalu-lintas tahunan (%)

UR : Umur rencana (tahun)

38

Apabila diperkirakaan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan

sepanjang total umur rencana (UR) dengan i1% selama periode awal (UR1 tahun) dan

i2% selama sisa periode berikutnya (UR-UR1),faktor pengali pertumbuhan lalu lintas

kumulatif dapat dihitung dari formula berikut :

R=(1+0.01 𝑖1)𝑈𝑅−1

0.01 𝑖 + ( 1+0,01 i1)

(UR1-1) ( 1+0,01 i2){(1+0.01 𝑖2)(𝑈𝑅−𝑈𝑅1−1

0.01 𝑖2}

Dengan R : Faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif

i1 : Laju pertumbuhan lalu-lintas periode 1 (%)

i2 : Laju pertumbuhan lalu-lintas periode 2 (%)

UR : Umur rencana (tahun)

UR1 : Umur rencana periode 1 (tahun)

2.7.3 Lalu Lintas Pada Lajur Rencana

Lajur rencana adalah salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan yang

menampung lalu lintas kendaraan niaga paling besar.Beban lalu lintas pada lajur

rencana dinyatakan dalam kumulatif beban gandar standar (ESA) dengan

memperhitungkan faktor distribusi arah (DD) dan faktor distribusi lajur kendaraan

niaga (DL).Untuk jalan dua arah,faktor distribusi arah (DD) umumnya diambil 0,50

sedangkan faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif

(ESA) pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah.Faktor distribusi jalan

yang ditunjukan pada Tabel 2.13

Tabel 2.13 Faktor Distribusi Lajur (DL)

Jumlah lajur setiap arah

Kendaraan niaga pada lajur desain

(% terhadap populasi kendaraan niaga )

1 100

2 80

39

3 60

4 50

(Sumber: MDP 2017)

2.7.4 Faktor Ekivalen Beban

Dalam desain perkerasaan,beban lalu lintas dikonversi kebeban standar (ESA)

dengan mengunakan faktor ekivalen beban. Analisis struktur perkerasaan dilakukan

berdasarkan jumlah kumulatif (ESA) pada lajur rencana sepanjang umur rencana.

Ketentuan pengumpulan data beban gandar ditunjukan pada Tabel 2.14

Tabel 2.14 Pengumpulan Data Beban Gandar

Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan Sumber Data Gandar

Jalan Bebas Hambatan 1 atau 2

Jalan Raya 1 atau 2 atau 3

Jalan Sedang 2 atau 3

Jalan Kecil 2 atau 3

(Sumber: MDP 2017)

Untuk nilai VDF masing masing kendaraan dapat di lihat pada Tabel 2.15

Tabel 2.15 Nilai VDF masing- masing jenis kendaraan niaga

Jenis kendaraan Beban aktual Normal

5B 1 1

6A 0,5 0,5

6B 9,2 5,1

7A1 14,4 6,4

7A2 19 5,6

40

7B1 18,2 13

7B2 21,8 17,8

7C1 19,8 9,7

7C2A 33 10,2

7C2B 24,2 8,5

7C3 34,4 7,7

(Sumber: MDP 2017)

2.7.5 Beban Sumbu Standar Kumulatif

Beban Sumbu Standar kumulatif atau Cumulatif Equivalent Single Axle Load (

CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur desain

selama umur rencana yang ditentukan sebagai berikut:

ESATH-1=(∑LHR x VDF ) x 365 x DD x DL x R

Dengan ESATH-1 : Kumulatif lintasan sumbu standar ekivalen

(equivalent standart axle ) pada tahun pertama

LHR : Lintas Harian rata-rata tiap jenis kendaraan

Niaga ( satuan kendaraan per hari )

VDF : Faktor Ekivalen Beban

DD : Faktor Distribusi Arah

DL : Faktor Distribusi Lajur

R : Faktor Pengali Pertumbuhan Lalu lintas kumulatif

2.7.6 Tebal Plat Beton

Penentuan tebal plat beton mengacu pada Tabel 2.16

41

Tabel 2.16 Perkerasaan Kaku untuk Jalan dengan Beban Lalu-lintas

Berat

Struktur Perkerasaan R1 R2 R3 R4 R5

Kelompok sumbu kendaraan

berat (overloaded) <4.3 <8.6 <25.8 <43 <86

Dowel dan Bahu Beton Ya

STRUKTUR PERKERASAN (mm)

Tebal Plat Beton 265 275 285 295 305

Lapis Fondasi LMC 100

Lapis Drainase 150

(Sumber: MDP 2017)

2.8 Rencana Anggaran Biaya

2.8.1 Pengertian Rencana Anggaran Biaya

Menurut Syawaldi dan Siswanto (2014: 3) :

Rencana Anggaran Biaya (RAB) adalah :

- Perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah,

serta biayabiaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan

atau proyek tertentu.

- Merencanakan sesuatu bangunan dalam bentuk dan faedah dala

penggunaannya, beserta besar biaya yang diperlukan susunan - susunan

pelaksanaan dalam bidang administrasi maupun pelaksanaan pekerjaan

dalam bidang teknik

Anggaran biaya adalah : Harga dari bangunan yang dihitung dengan teliti,

cermat dan memenuhi syarat.

Dua cara yang dapat dilakukan dalam penyusunan anggaran biaya antara

lain :

42

Anggaran Biaya Kasar (Taksiran), sebagai pedomannya digunakan harga

satuannya tiap meter persegi luas lantai. Namun anggaran biaya kasar

dapat juga sebagai pedoman dalam penyusunan RAB yang dihitung secara

teliti.

Anggaran Biaya Teliti, proyek yang dihitung dengan teliti dan cermat

sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat penyusunan anggaran biaya.

2.8.2 Analisa Harga Satuan Dasar

Komponen untuk menyusun Harga Satuan Pekerjaan (HSP) memerlukan

analisa Harga Satuan Dasar (HSD) tenaga kerja, Harga Satuan Dasar (HSD) alat, dan

Harga Satuan Dasar (HSD) bahan. Berikut ini diberikan langkah-langkah perhitungan

Harga Satuan Dasar (HSD) komponen Harga Satuan Pekerjaan (HSP). Kementrian

Pekerjaan Umum(2013: 290).

2.8.2.1 Langkah perhitungan HSD tenaga kerja

Dalam Kementrian Pekerjaan Umum (2013: 290) untuk menghitung harga

satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu bahan rujukan harga standar untuk

upah sebagai HSD tenaga kerja. Langkah perhitungan HSD tenaga kerja adalah sebagai

berikut:

a. Tentukan jenis keterampilan tenaga kerja, misal pekerja (P), tukang (Tx),

mandor (M), atau kepala tukang (KaT)

b. Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah (Gubernur,

Walikota, Bupati) setempat, data upah hasil survai di lokasi yang berdekatan

dan berlaku untuk daerah tempat lokasi pekerjaan akan dilakukan

c. Perhitungkan tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan

memperhitungkan biaya makan, menginap dan transport

d. Tentukan jumlah hari efektif bekerja selama satu bulan (24 – 26 hari), dan

jumlah jam efektif dalam satu hari (7 jam).

e. Hitung biaya upah masing-masing per jam per orang

f. Rata-ratakan seluruh biaya upah per jam sebagai upah rata-rata per jam.

2.8.2.2 Langkah perhitungan HSD alat

43

Analisis HSD alat memerlukan data upah operator atau sopir, spesifikasi alat

meliputi tenaga mesin, kapasitas kerja alat (m³), umur ekonomis alat (dari pabrik

pembuatnya), jam kerja dalam satu tahun, dan harga alat, sesuai dengan uraian dalam

5.2.2.1. Faktor lainnya adalah komponen investasi alat meliputi suku bunga bank,

asuransi alat, faktor alat yang spesifik seperti faktor bucket untuk Excavator, harga

perolehan alat, dan Loader, dan lain-lain.

2.8.2.3 Langkah perhitungan HSD bahan

Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu

rujukan harga standar bahan atau HSD bahan per satuan pengukuran standar.Analisis

HSD bahan memerlukan data harga bahan baku, serta biaya transportasi dan biaya

produksi bahan baku menjadi bahan olahan atau bahan jadi. Produksi bahan

memerlukan alat yang mungkin lebih dari satu alat. Setiap alat dihitung kapasitas

produksinya dalam satuan pengukuran per jam, dengan cara memasukkan data

kapasitas alat, faktor efisiensi alat, faktor lain dan waktu siklus masing-masing. HSD

bahan terdiri atas harga bahan baku atau HSD bahan baku, HSD bahan olahan, dan

HSD bahan jadi. Perhitungan harga satuan dasar (HSD) bahan yang diambil dari quarry

dapat menjadi dua macam, yaitu berupa bahan baku (batu kali/gunung, pasir

sungai/gunung dll), dan berupa bahan olahan (misalnya agregat kasar dan halus hasil

produksi mesin pemecah batu dan lain sebagainya). Harga bahan di quarry berbeda

dengan harga bahan yang dikirim ke base camp atau ke tempat pekerjaan, karena perlu

biaya tambahan berupa biaya pengangkutan material dari quarry ke base camp atau

tempat pekerjaan dan biaya-biaya lainnya seperti retribusi penambangan Galian C dan

biaya operasional alat-alat berat.