bab ii landasan teori 2.1 kualitas pelayananeprints.umm.ac.id/70295/3/bab ii.pdf · 2020. 11....
TRANSCRIPT
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kualitas Pelayanan
Kualitas menurut Ibrahim (2000) adalah suatu strategi dasar bisnis yang
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan
konsumen internal dan eksternal, secara eksplisit dan implisit. Pelayanan sering
pula disebut sebagai jasa. Kotler dan Keller (2009:36) merumuskan jasa sebagai
semua tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain
yang pada intinya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun
(Umboh & Mandey, 2014).
Menurut Alinaung (2018) mendefinisikan kualitas pelayanan secara
sederhana, yaitu ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan sesuai
dengan ekspektasi atau harapan pelanggan. Kotler dan Alma (2016)
mengungkapkan bahwa kualitas pelayanan adalah cara kerja perusahaan yang
berusaha mengadakan perbaikan dalam hal mutu secara terus-menerus terhadap
proses, produk dan service yang dihasilkan oleh perusahaan. Dari kedua pengertian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan harapan dan
keinginan pelanggan. Produk atau jasa dapat disebut berkualitas apabila telah
memenuhi dan melampaui harapan pelanggan, serta memberikan kepuasaan kepada
pelanggan. Kualitas pelayanan berpusat pada upaya untuk mengimbangi harapan
pelanggan serta ketepatan dalam penyampaiannya.
2.2 Dimensi Kualitas
Kualitas suatu layanan dapat diukur dengan lima dimensi yang dapat
diidentifikasi oleh pelanggan untuk mengevaluasi suatu layanan yang diberikan
oleh pemberi layanan (Harjati & Venesia, 2015).
1. Keandalan (Reliability). Dimensi ini merupakan kemampuan untuk
memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali pelanggan menggunakan
layanan tanpa membuat kesalahan serta penyampaian pelayanan secara cepat
sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Pelayanan dituntut untuk
menyediakan jasa dan memberikan pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan.
5
2. Daya Tanggap (Responsiveness). Dimensi ini merupakan suatu kemampuan
karyawan/pemberi jasa untuk membantu dan merespon permintaan pelanggan
dengan tanggap. Selain itu, pelayanan diberikan harus cepat dan selalu sigap
untuk membantu pelanggan.
3. Jaminan (Assurance). Dimensi ini merupakan perilaku para kayawan/pemberi
jasa untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan
layanan. Dampak dari kepercayaan tersebut akan menciptakan rasa aman dan
nyaman sehingga pelanggan akan mendapatkan jaminan dari perusahaan.
4. Empati (Emphaty). Dimensi ini merupakan suatu perhatian dari pemberi
layanan dalam memahami masalah para pelanggan. Perusahaan akan bertindak
demi kepentingan pelanggan, sehingga pelanggan akan merasa nyaman dengan
pelayanan yang diberikan.
5. Bukti Fisik (Tangible). Dimensi ini berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik,
perlengkapan, dan meterial yang digunakan perusahaan, serta penampilan
karyawan. Sarana dan prasarana yang berkaitan dengan layanan pelanggan
harus diperhatikan oleh perusahaan. Karena hal tersebut akan menjadi
pertimbangan pelanggan dalam memilih suatu pelayanan.
2.3 Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)
Kepuasan (satisfaction) merupakan sebuah bahasa dari bahasa Latin
yaitu “satis” (yang berarti cukup baik/memadai), kemudian kata “facio” (yang
berarti melakukan/yang membuat). “Kepuasan dapat diartikan sebagai sebuah
upaya untuk memenuhi sesuatu atau membuat sesuatu” (Harjati & Venesia, 2015).
Secara definisi kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan dimana kebutuhan,
keinginan, dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi sehingga akan meciptakan
kesetiaan yang berlanjut. Kepuasan pelanggan akan mengakibatkan peningkatan
loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Pelanggan yang loyal akan melakukan
pembelian ulang dan pemberitaan positif dari mulut ke mulut akan menarik
pelanggan baru.
Menurut Ali Hasan (2009:68) terdapat suatu cara sederhana untuk
mengukur atau menilai kepuasan pelanggan yaitu memberikan pertanyaan langsung
pada pelanggan mengenai kepuasan yang mereka dapatkan terhadap produk atau
6
layanan yang telah dirasakan (Harjati & Venesia, 2015). Kepuasan pelanggan
sangat tergantung pada persepsi dan ekspektasi pelanggan. Oleh karena itu, terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan tersebut, yaitu :
1. Apa yang di dengar pelanggan dari pelanggan lainnya (word of mounth
communication).
2. Ekpektasi pelanggan sangat bergantung dari karakteristik individu dimana
kebutuhan pribadi (personal needs)
3. Pengalaman masa lalu (past experience) dalam menggunakan pelayanan dapat
juga mempengaruhi tingkat ekspektasi pelanggan.
4. Komunikasi dengan pihak eksternal dari pembeli layanan memainkan kunci
dalam membentuk ekspektasi pelanggan.
2.4 Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Pelanggan
Menurut Kotler dan Keller (2009:144) satisfaction pada produk maupun
pelayanan, customer satisfaction, profitabilitas perusahaan merupakan hal-hal yang
saling berhubungan. Contohnya pada kualitas yang diberikan apabila semakin
tinggi maka tingkat kepuasan pelanggan yang dihasilkan akan tinggi dan akan
berpengaruh pada harga yang menjadi tinggi dan biaya yang dikeluarkan akan
semakin rendah (Harjati & Venesia, 2015). Kepuasan dari seorang pelanggan akan
berdampak kepada perusahaan tersebut. Dari kepuasan tersebut akan muncul
kualitas pelayanan yang baik sehingga perusahaan akan lebih dipercayai oleh
pelanggan lainnya.
Tjiptono dan Chandra (2001) mengemukakan suatu pemikiran dasar, yaitu:
1. Apabila konsumen tidak berpengalaman, maka ia akan memberikan
persepsinya berdasarkan ekpektasi yang dia dapatkan pada perusahaan
tersebut.
2. Service encounter yang diberikan oleh perusahaan akan memberikan persepsi
yang berbeda terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh perusaahn tersebut.
3. Interaksi berlebihan/tambahan yang diberikan oleh perusahaan akan
memberikan dampak kuat atau memberikan dampak negatif sehingga dampak
tersebut dapat mengubah persepsi pelanggan pada jasa yang diberikan.
7
4. Persepsi pada jasa yang telah dilakukan modifikasi akan menarik minat
pelanggan pada perusahaan pada masa depan (Harto, 2015).
Kualitas layanan menurut Tjiptono (2002) mempunyai hubungan yang erat
dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada
pelanggan untuk menjalin hubungan yang kuat dengan perusahaan. Pada jangka
panjang, akan memungkinkan perusahaan untuk memahami harapan dan kebutuhan
pelanggan. Maka dari itu, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan
dengan melihat dari pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan mengurangi
pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan. Kesimpulan dari definisi
diatas yaitu pelayanan yang diberikan perusahaan akan memberikan kepuasan
kepada pelanggan. Apabila kepuasan pelanggan sudah dicapai, maka kualitas
pelayanan pada perusahaan tersebut akan berkualitas.
2.5 Konsep SERVQUAL (Service Quality)
ServQual (Service quality) merupakan model pengembangan oleh
Parasuraman, Zeithml, dan Berry pada penelitian yang telah dilakukan kepada
enam sektor jasa meliputi; reparasi peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi,
sambungan telefon jarak jauh, perbankan, ritel, dan pialang sekuritas.
Pengembangan ini dikaitkan dengan model kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2014).
Metode Servqual dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur kualitas pada
pelayanan. Hasil nilai dari servqual didapatkan dari selisih nilai persepsi yang
diberikan oleh pelanggan dengan nilai dari apa yang diharapkan oleh pelanggan.
Nilai tersebut akan menjelaskan kesenjangan yang terjadi antara persepsi pelanggan
terhadap harapan yang diinginkan pelanggan (Noer, 2016).
Kualitas suatu layanan dapat diukur dengan lima dimensi yang dapat
diidentifikasi oleh pelanggan untuk mengevaluasi suatu layanan. Kelima dimensi
tersebut yaitu keandalan, daya tanggap, empati, jaminan, dan bukti fisik (Fandy
Tjiptono, 2014). Dari kelima dimensi tersebut, terdapat beberapa faktor kegagalan
dalam penyampaian jasa dapat diakibatkan oleh lima GAP. Kegagalan pada
penyampaian tersebut adalah sebagai berikut (Parasuraman, dkk, 1990):
8
1. Knowledge (Gap 1)
Keinginan pelanggan yang tidak selalu dipahami oleh pihak perusahaan.
2. Standards Gap (Gap 2)
Tidak menetapkan standar pada pelaksanaan yang spesifik, sehingga tidak
memahami keinginan pelanggan.
3. Delivery (Gap 3)
Karyawan tidak terlatih dan bekerja melewati sehingga tidak memenuhi
standar.
4. Communication (Gap 4)
Janji perusahaan tidak sesuai dengan kualitas jasa yang diberikan.
5. Service (Gap 5)
Terdapat perbedaan dalam mengukur suatu kinerja perusahaan atau salah
persepsi mengenai kualitas jasa yang diberikan (Noer, 2016).
Gambar 1 Model Konseptual Kualitas Jasa ServQual
Sumber: (Zeithaml, V. A, 2002)
9
Harapan pelanggan (customer expectation) memainkan peran yang
penting sebagi standar perbandingan dalam mengevaluasi kualitas maupun
kepuasan pelanggan. Konsep Servqual digunakan untuk menghitung gap antara
persepsi pelanggan terhadap jasa yang dikurangi dengan nilai ekspektasi atau
harapan pelanggan (Wijaya T, 2011). Berikut adalah persamannya:
𝑄 = 𝑃 (𝑝𝑒𝑟𝑐𝑒𝑖𝑣𝑒𝑑 𝑠𝑒𝑟𝑣𝑖𝑐𝑒) − 𝐸 (expected service) (1)
Keterangan :
Q : kualitas pelayanan (quality of service)
P : perceived service atau persepsi pelanggan
E : expected service atau harapan konsumen pada jasa
Perhitungan Gap merupakan hasil perhitungan skor persepsi dikurangi
dengan skor harapan. Gap negatif apabila skor harapan lebih tinggi dibandingkan
dengan skor persepsi sedangkan gap positif akan terjadi jika skor persepsi lebih
tinggi dari skor harapan. Gap negatif berarti harapan pelanggan terhadap atribut
tersebut belum tercapai. Kemungkinan terjadinya gap positif sangat kecil. Sebagian
besar gap yang dihasilakan negatif. Nilai gap dapat dikatakan baik apabila nilai
negatifnya semakin kecil.
2.6 Metode Six Sigma
Six Sigma adalah suatu metode atau cara pengendalian dan peningkatan
kualitas yang telah diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986. Banyak
ahli yang menyatakan bahwa metode Six Sigma yang diterapkan Motorola diterima
secara luas di dunia industri. Hal ini dikarenakan para ahli manajemen kualitas
tersebut frustasi terhadap sistem-sistem yang telah ada tidak mampu melakukan
peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan nol. Maka dari itu, konsep dan
prinsip Six Sigma terbukti dapat mengurangi tingkat kegagalan hingga 3,4 DPMO
(Defect per Million Opportunities) dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun
setelah pengimplementasiannya (Gaspersz, 2002).
Pendekatan Six Sigma dimulai dengan penekanan cara pengukuran kualitas
yang berlaku secara umum. Dalam konsep Six Sigma, cacat (defect) atau
ketidaksesuaian (nonconformance) adalah kesalahan atau kekeliruan yang diterima
pelanggan. Unit kerja adalah output suatu proses atau tahapan proses. Kualitas
10
proses dapat diukur dalam tingkat kecacatan per unit (defect per unit-DPU) (Evans
& Lindsay, 2007). Konsep Six Sigma mendefinisikan kembali pengertian kinerja
kualitas sebagai tingkat kecacatan per satu juta kemungkinan (defect per million
opportunitie (Evans & Lindsay, 2007).
Untuk menentukan nilai Sigma maka perlu dilakukan konversi dari nilai DPMO ke
nilai Sigma dengan menggunakan tabel yield (probabilitas produk hasil produksi
dalam kondisi baik) seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 1 Pencapaian beberapa Sigma (Gaspersz, 2002)
Yield Defect per Million Opportunities (DPMO) Nilai Sigma
30,8538% 691.462 (sangat tidak kompetitif) 1-Sigma
69,1462% 308.548 (rata-rata industri Indonesia) 2-Sigma
93,3193% 66.807 3-Sigma
99,3790% 6.210 (rata-rata industri USA) 4-Sigma
99,9767% 233 5-Sigma
99,99966% 3,4 (industri kelas dunia) 6-Sigma
Tujuan Six Sigma sering kali berfokus pada perbaikan terobosan yang
menambah nilai kepada perusahaan dan pelanggan perusahaan tersebut melalui
pendekatan pemecahan masalah yang sistematis. Metodologi pemecahan masalah
yang digunakan pada Six Sigma yaitu DMAIC (Define, Measure, Analyze,
Improve, Control). Berikut merupakan tahap implementasi Six Sigma :
1. Define
Tahap define sebagai langkah operasional pertama dalam program peningkatan
kualitas six sigma. Pada tahap ini, yang perlu dilakukan adalah mendefinisikan
masalah yang sedang terjadi atau yang akan dianalisis, spesifikasi pelanggan
dari masalah tersebut, kemudian menjelaskan tentang tujuan menggunakan
metode ini serta tujuan yang diharapkan untuk perbaikan yang akan dilakukan.
Atribut dan dimensi yang akan digunakan didefinisikan pada tahap ini dengan
tujuan sebagai parameter untuk menilai kualitas suatu layanan.
2. Measure
Tahap Measure merupakan tahap pengukuran tingkat kecacatan dan kinerja.
Metode Six Sigma yang digunakan untuk service diantanya menggunakan
tahapan sebagai berikut :
11
1. Langkah pertama yaitu mengumpulkan data berdasarkan hasil
perhitungan menggunakan metode sebelumnya yaitu Metode ServQual.
Data yang diperlukan adalah jumlah dan rata-rata hasil dari skor harapan
dan persepsi. Skor tersebut berasal dari hasil kuesioner yang telah disebar
kepada pengguna jasa Dispendukcapil. Kemudian hasil kuesioner tersebut
diolah menggunakan Metode ServQual sehingga mengasilkan skor
harapan dan persepsi serta nilai kesenjangan (Gap). Selanjutnya data
tersebut akan menjadi data awal untuk pengolahan data Metode Six Sigma.
2. Target kepuasan yang akan dicapai bernilai 5 yaitu sangat puas dan sangat
penting mengingat kebutuhan pelanggan yang sangat diutamakan untuk
menciptakan kepuasan pelanggan.
3. Selanjutnya menghitung nilai yield berdasarkan hasil nilai persepsi yang
diperoleh dari pengguna jasa terhadap kinerja pelayanan yang diberikan.
Untuk mencari tingkat kepuasan yang dirasakan oleh pengguna jasa
(sekarang) dengan rumus sbb (Wisnubroto & Anggoro, 2012) (Paramita
et al., 2017):
𝑇𝐾 = (𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝𝑠𝑖
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝐾𝑒𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛) 𝑥 100% (2)
4. Pengukuran Baseline Kinerja. Ukuran hasil kinerja baseline yang
digunakan pada six sigma yaitu DPMO dan tingkat sigma. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat kinerja proses saat ini yang dapat
menjadi tolak ukur dalam tindakan perbaikan (Widyarto, Firdaus, &
Kusumawati, 2019). Pengukuran nilai DPMO (defect per million
opportunity) dengan menggunakan rumus sbb (Wisnubroto & Anggoro,
2012) (Paramita et al., 2017):
𝐷𝑃𝑀𝑂 = [1 − (𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝𝑠𝑖
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝐾𝑒𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛) 𝑥 1.000.000] (3)
Atau
𝐷𝑃𝑀𝑂 = [(1 − 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛) 𝑥 1.000.000] (4)
5. Selanjutnya melakukan pengukuran nilai Sigma. Selain dengan
menggunakan tabel konversi, cara lain untuk mengetahui level sigma
12
adalah dengan menggunakan bantuan aplikasi Microsoft Office Excel
dengan formula sebagai berikut (Evans & Lindsay, 2007) :
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑆𝑖𝑔𝑚𝑎 = 𝑁𝑂𝑅𝑀𝑆𝐼𝑁𝑉(1 −𝐷𝑃𝑀𝑂
1.000.000) + SHIFT (5)
Dimana SHIFT adalah angka pergeseran dari titik tengah dan tingkat
kualitas, dalam tingkat kualitas Six Sigma menggunakan nilai pergeseran
1,5 (Evans & Lindsay, 2007). 1,5 adalah konstanta sesuai dengan konsep
Motorola yang hanya mengizinkan terjadinya pergeseran terhadap nilai
rata-rata sebesar ± 1,5 Sigma(Gaspersz, 2002).
3. Analyze
Tahap Analyze merupakan tahap identifikasi dan menentukan penyebab suatu
masalah. (Fatma, & Lestari, 2017). Tahap ketiga adalah analisa sebab-akibat
dari suatu permasalahan dan memahami adanya berbagai sumber variasi dari
data yang didapatkan pada tahap sebelumnya (Montgomery & Woodall, 2008).
Analisa sebab-akibat dilakukan untuk menemukan akar penyebab masalah
kualitas yang terjadi serta mengajukan solusi masalah yang efektif dan efisien.
Analisa sebab akibat akan disajikan dalam diagram yang mengkategorikan
sumber-sumber berdasarkan prinsip manusia, mesin, metode, material, dan
lingkungan. Pada penelitian ini, tahap Analyze menggunakan tools Value
Stream Mapping untuk memberikan gambaran aktual tentang proses
pelayanan. Kemudian akan dilanjutkan menggunakan tools Fishbone untuk
mengetahui akar permasalahan tersebut.
4. Improve
Tahap improve merupakan tahap pemberian usulan rencana tindakan
perbaikan untuk melaksanakan peningkatan kualitas. (Fatma, & Lestari, 2017).
Langkah operasional keempat adalah peningkatan kualitas Six Sigma. Pada
langkah sebelumnya telah diidentifikasi sumber-sumber dan akar
permasalahan selanjutnya adalah menetapkan rencana tindakan untuk
meningkatkan kualitas. Rencana tersebut mendeskripsikan tentang alokasi
sumber daya serta prioritas atau alternatif yang harus dilakukan untuk
melaksanakan rencana tersebut (Gaspersz, 2002). Pada penelitian ini, tahap
13
Improve menggunakan tools Failure Mode Analysis untuk memberikan usulan
perbaikan.
5. Control
Tahap control merupakan tahapan operasional terakhir dari six sigma. Pada
tahap terakhir ini, dilakukan pengendalian proses dan prosedur-prosedur agar
perbaikan dapat terus terlaksana (Montgomery & Woodall, 2008). Ditahap
inilah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data kembali setelah
adanya perbaikan. Perbandingan dilakukan dengan cara melihat DPMO dan
level sigma sebelum dan sesudah perbaikan. Setelah itu dapat ditarik
kesimpulan apakah perbaikan yang dilakukan dapat menurunkan jumlah cacat
pada produk (Fransiscus, Juwono, & Astari, 2014). Pada penelitian ini, peneliti
memberikan batasan masalah yaitu menggunakan metode Six Sigma tanpa
menerapkan tahapan yang terakhir, yaitu Control. Jadi tahapan yang dilakukan
hanya sampai Improve yaitu tahapan Six Sigma keempat.
2.7 Tools yang akan digunakan
a. Root Cause Analysis
Root Cause Analysis (RCA) merupakan pendekatan terstruktur untuk
mengidentifikasi faktor-faktor berpengaruh pada satu atau lebih kejadian-kejadian
yang lalu agar dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja. Terdapat berbagai
metode evaluasi terstruktur untuk mengidentifikasi akar penyebab (root cause)
suatu kejadiaan yang tidak diharapkan (undesired outcome). Menurut (Adrianto &
Kholil, 2015) ada lima metode yang populer untuk mengidentifikasi akar penyebab
(root cause) suatu kejadiaan yang tidak diharapkan (undesired outcome) dari yang
sederhana sampai dengan kompleks yaitu :
1. Is/Is not comparative analysis,
2. 5 Why methods,
3. Fishbone diagram,
4. Cause and effect matrix,
5. Root Cause Tree
14
b. Failure Mode Analysis (FMEA)
Metode ini dikembangkan sekitar tahun 1960-an, ketika gerakan mutu mulai
timbul. Pemakaian secara formal dimulai di industri dirgantara sekitar tahun itu,
dimana kepedulian terhadap keselamatan penerbangan sangat tinggi. Sasaran awal
FMEA adalah mencegah terjadinya kecelakaan (Adrianto & Kholil, 2015).
FMEA merupakan metode evaluasi kemungkinan terjadinya kegagalan dari
sebuah sistem, desain, proses, atau service untuk dibuat langkah penanganannya
(Yumaida, 2011). FMEA adalah metode yang sistematis dan proaktif untuk
mengevaluasi sebuah proses untuk mengidentifikasi dimana dan bagaimana proses
tersebut dapat gagal dan untuk menilai dampak relatif dari kegagalan yang berbeda,
dengan tujuan untuk mengidentifikasi komponen mana dari suatu proses yang
paling penting untuk dilakukan usaha perbaikan (Parenrengi, 2011). Langkah-
langkah dalam proses FMEA adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi fungsi pada proses produksi/jasa
2. Mengidentifikasi potensi failure mode proses produksi/jasa
3. Mengidentifikasi potensi efek dari kegagalan produksi/jasa
4. Mengidentifikasi penyebab kegagalan proses produksi/jasa
5. Mengidentifikasi mode deteksi proses produksi/jasa
6. Menentukan rating terhadap severity, occurance, detection dan RPN proses
produksi/jasa
7. Memberikan usulan perbaikan
Langkah pertama metode FMEA yaitu penilaian terhadap tingkat severity.
Severity adalah sebuah penilaian pada tingkat keseriusan suatu efek atau akibat dari
potensi kegagalan pada suatu komponen yang berpengaruh pada suatu hasil kerja
atau dampak yang ditimbulkan dari terjadinya resiko-resiko tersebut. Selanjutnya
dilakukan penilaian terhadap tingkat occurance, nilai frekuensi kegagalan
menunjukan keseringan suatu masalah yang terjadi akibat penyebab potensial.
Kemudian dilanjutkan dengan penilaian tingkat detection atau kemudahan dalam
pendeteksian terjadinya resiko. Penilaian tingkat detection sangat penting dalam
menemukan potensi penyebab yang menimbulkan kerusakan serta tindakan
15
perbaikannya (Sari, 2018). Berikut merupakan penjelasan mengenai petunjuk
pemberian skor terhadap ketiga proses FMEA (Carlson, 2014).
a. Petunjuk Pemberian Skor Dampak (Severity = S)
Pemberian skor pada severity berdasarkan pada impact yang akan
ditimbulkan. Hal ini bertujuan agar dampak yang akan terjadi akan terlihat pada
aspek tersebut. Skor ini meliputi aspek jadwal, cost, dan technical. Berikut
merupakan tabel untuk skor severity :
Tabel 2 Skor Severity
Effect Severity Rank
Dangerously High
Kegagalan dapat menyebabkan
cidera fisik bagi pengguna atau
pekerja
10
Extreamly High Kegagalan dapat menyebabkan
pelanggaran peraturan pemerintah 9
Very High
Kegagalan menyebabkan
produk/proses tidak dapat dioprasikan
atau diperbaiki
8
High
Kegagalan menyebabkan
ketidakpuasan konsumen secara
signifikan
7
Moderate Kegagalan dapat menyebabkan
kerusakan parsial pada produk/proses 6
Low
Kegagalan mempengaruhi performa
produk/proses sehingga dapat
menyebabkan adanya complain
5
Very Low Penurunan kinerja secara signifikan 4
Minor Penurunan kinerja 3
Very Minor
Kegagalan kemungkinan dapat
menyebabkan konsekuensi secara
minor, namun kemungkinan
hal tersebut untuk terjadi sangat kecil
2
None Tidak disadari oleh pelanggan dan
tidak berpengaruh pada produk/proses 1
b. Petunjuk Pemberian Skor Kemungkinan (Occurance = O)
Pemberian skor pada occurance bertujuan untuk mengidentifikasi
kemungkinan terjadinya risiko. Berikut merupakan tabel untuk skor occurance :
Tabel 3 Skor Occurance
Effect Occurance Rank
Very High : Failure
is almost inevitable Lebih dari 1x terjadi setiap harinya 10
High : Failures
occur almost as
often as not
1x terjadi setiap 3 hingga 4 hari 9
16
High : Repeated
failures 1x terjadi setiap minggu 8
High : Failures
occur often 1x terjadi setiap bulan 7
Moderately High :
Frequent Failure 1x terjadi setiap 3 bulan 6
Moderately :
Sometimes Failure 1x terjadi setiap 6 bulan 5
Moderately Low :
Infrequent Failure 1x terjadi setiap tahun 4
Low : Relatively few
failures 1x terjadi setiap 1 hingga 3 tahun 3
Low : Relatively few
failures and far
between
1x terjadi setiap 3 hingga 5 tahun 2
Remote : failure is
unlikely 1x terjadi setiap lebih dari 5 tahun 1
c. Petunjuk Pemberian Skor Deteksi (Detection = D)
Pemberian skor pada detection bertujuan untuk mengukur tingkat
efektivitas metode yang digunakan. Selain itu, tujuan skor detection adalah
mengukur terjadinya suatu risiko. Deteksi yang akan dilakukan digunakan untuk
mendeteksi peristiwa yang memiliki risiko sehingga dapat membuat tindakan
untuk menangani risiko tersebut secara tepat. Berikut merupakan tabel untuk
skor detection :
Tabel 4 Skor Detection
Detection Detection : Likelihood of Detection Rank
Almost
Impossible Pengecekan hampir tidak mendeteksi kegagalan 10
Very Remote Sangat kecil kemungkinan untuk pengecekan bisa
mendeteksi kegagalan 9
Remote Kecil kemungkinan untuk pengecekan bisa
mendeteksi kegagalan 8
Very Low Pengecekan mempunyai peluang yang rendah
untuk mendeteksi kegagalan 7
Low Pengecekan kemungkinan mendeteksi kegagalan 6
Moderate Pengecekan kemungkinan akan mendeteksi
kegagalan 5
Moderately
High
Pengecekan kemungkinan cukup besar akan
mendeteksi kegagalan 4
High Pengecekan kemungkinan besar akan mendeteksi
kegagalan 3
Very High Pengecekan hampir pasti dapat mendeteksi
kegagalan 2
Almost Certain Pengecekan pasti dapat mendeteksi kegagalan 1
17
d. Penentuan Level Risiko
Dalam Metode FMEA terdapat cara metode perhitungan dengan cara
membuat nilai prioritas risiko (RPN). Risk Priority Number dilakukan setelah
penentuan skor nilai Severity, Occurance, dan Detection. Risk Priority Number
(RPN) merupakan penilaian dari beberapa hal yaitu, level krisis dari severity,
yang merupakan dampak dari aktifitas kegagalan yang terjadi, tingkat keparahan
dapat dikurangi melalui perubahan proses pada aktivitas, occurance atau tingkat
kemungkinan terjadinya suatu kegagalan dan detection atau kemampuan untuk
mendeteksi aktifitas kegagalan potensial yang mungkin terjadi. Nilai ini
digunakan untuk mengidentifikasi mode kegagalan yang paling kritis serta
mengarahkan pada tindakan korektif (Sari, 2018). Adapun rumus dari RPN
adalah sebagai berikut:
RPN = (Nilai Dampak) x (Nilai Kemungkinan) x (Nilai Deteksi) (6)
Total nilai RPN ini dihitung untuk tiap-tiap kesalahan yang mungkin terjadi. Bila
proses tersebut terdiri dari kelompok-kelompok tertentu maka jumlah
keseluruhan RPN pada kelompok tersebut dapat menunjukkan bahwa betapa
gawatnya kelompok proses tersebut bila suatu kesalahan terjadi (Adrianto &
Kholil, 2015). Berikut ini merupakan penentuan nilai risiko berdasarkan RPN :
Tabel 5 Skala nilai RPN
Level Risiko Skala nilai RPN
Very Low x < 20
Low 20 ≤ x < 80
Medium 80 ≤ x < 120
High 120 ≤ x < 200
Very High x > 200
Dengan pengkategorian nilai RPN, maka akan diketahui nilai risiko berdasarkan
tingkatan level risiko seperti tabel diatas. Risiko yang memiliki level paling
tinggi akan menjadi prioritas dalam menentukan tindakan antisipasi sehingga
operasional perusahaan tetap berjalan dengan lancar.
18
c. Penentuan Jumlah Sampel
Menurut Sugiyono (2014) menyatakan bahwa sampel merupakan bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Hal tersebut yang dianggap
bisa mewakili seluruh populasi. Jika populasi yang akan diteliti dalam jumlah besar
dan peneliti memiliki keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti bisa
menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut. Apa yang dipelajari dari
sampel akan diberlakukan untuk populasi.
Penentuan jumlah sampel dilakukan untuk mengetahui jumlah responden
minimal dalam penelitian ini. Dikarenakan populasi yang akan diteliti oleh peneliti
belum diketahui secara pasti jumlahnya, maka rumus penentuan jumlah sampel
menggunakan Rumus Bernoulli (Kristiana, 2018).
n ≥ (𝑍
∝
2)2 . 𝑝 . 𝑞
𝑒2
Keterangan :
n = jumlah sampel minimum
Z = Nilai distribusi normal
∝
22 = Tingkat kepercayaan
e = tingkat kesalahan
p = probabilitas populasi yang tidak diambil sebagi sampel
q = probabilitas populasi yang diambil sebagi sampel
2.8 Penelitian Terdahulu
Berikut beberapa penelitian terdahulu mengenai metode Lean dan Six Sigma
yang diterapkan pada pelayanan (service).
Tabel 6 Penelitian Terdahulu
No Penulis
dan Tahun Judul penelitian Hasil penelitian
1
(Firdian &
Santoso,
2013)
Aplikasi Metode
ServQual dan Six
Sigma dalam
menganalisis Kualitas
Layanan PT. PLN
(Persero) Unit
Pelayanan Jaringan
(UPJ) Dinoyo Malang
Penggunaan integrasi Metode Servqual dan
Metode Six Sigma memberikan sebuah
gambaran bahwa PT. PLN (persero) UPJ
Dinoyo belum memberikan pelayanan yang
baik dikarenakan tingginya harapan konsumen
dari pada persepsi. Selain itu, pada tingkat
Sigma UPJ Dinoyo masih berada pada level 2.
19
Level ini masih jauh dari target level six sigma
yang seharusnya ada pada level 6.
2
(Paramita
et al.,
2017)
Penilaian Kepuasan
Konsumen terhadap
Kualitas Pelayanan
menggunakan Metode
ServQual dan Six
Sigma (Studi Kasus
Restoran Dahlia,
Pasuruan)
Hasil dari penelitian ini yaitu kepuasan
konsumen restoran dahlia masih dirasa kurang
memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Selain
itu, terdapat atribut yang menjadi prioritas
perbaikan yang memiliki nilai Gap negatif
terbesar. Karena nilai Gap tersebut, nilai sigma
yang dihasilkan juga sangat kecil masih jauh
dari target level sigma.
3 (Santoso,
2006)
Upaya Peningkatan
Kualitas Pelayanan
Jalan Tol Semarang-
Bawean Dengan
Integrasi Metode
Importance
Performance Gap
Analysis, Lean, Dan
Six Sigma
Pada penelitian ini metode yang digunakan
yaitu Servqual – Quality Function Deployment
– Six Sigma. Implementasi Metode Servqual
dan Six Sigma dilakukan pada PT Kereta Api
Indonesia yaitu pada Stasiun Tawang dan
Stasiun Gambir Sedangkan implementasi
Metode Servqual dan Quality Function
Deployment dilakukan pada PT Pos Indonesia.
Keduanya implementasi metode ini
menghasilkan perbaikan prioritas untuk
meningkatkan kualitas layanan pada industri
jasa dengan memperhatikan faktor internal dan
eksternal.
2.9 Integrasi ServQual, Six Sigma, dan Failure Mode Analysis (FMEA)
Dalam mengintegrasikan konsep ServQual dalam Six Sigma dan Failure
Mode Analysis diperlukan atribut-atribut yang bernilai skor gap negatif pada
perhitungan ServQual. Dimensi ServQual dapat dipergunakan sebagai salah satu
alat yang valid untuk mengukur gap (kesenjangan) antara pelayanan yang diterima
dengan pelayanan yang diharapkan. Layanan atau jasa sifatnya adalah intangible
(yang tidak bisa diukur, tapi berhubungan dengan perasaan pelanggan)
(Paramitasari, 2017). Langkah-langkah dalam penelitian ini akan menggunakan
urutan proses Six Sigma yaitu Define, Measure, Analyze, dan Improve.
1. Perhitungan ServQual
Berdasarkan pengolahan data voice of customer, langkah selanjutnya yang akan
dilakukan adalah pembuatan kuesioner. Berdasarkan atribut-atribut yang telah
dibuat, kemudian akan dilakukan perhitungan ServQual untuk menghitung rata
– rata skor tingkat harapan dan tingkat kinerja berdasarkan dimensi kualitas.
20
Perhitungan ini digunakan untuk menghitung skor gap ServQual. Nilai tingkat
harapan dan tingkat kinerja dihitung berdasarkan hasil kuesioner yang
didapatkan dengan menggunakan skala Likert. Dari hasil skor tiap atribut
kemudian di hitung nilai gap nya berdasarkan rumus pada persamaan (1).
2. Pengukuran DPMO dan Nilai Sigma
Langkah selanjutnya yaitu perhitungan Defect per Million Oppontunity
(DPMO) dan nilai Sigma. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui sampai
berapakah nilai sigma dari pelayanan tersebut. Perhitungan ini menggunakan
rumus sesuai langkah-langkah yang dijelaskan pada konsep Six Sigma diatas.
3. Improve menggunakan Failure Mode Analysis (FMEA)
Langkah perbaikan yang akan diusulkan menggunakan analisis FMEA.
Analisis ini digunakan untuk mendapatkan nilai severity, occurance, dan
detection. Nilai severity, occurance dan detection diperoleh untuk tiap potensi
risiko. Usulan perbaikan diprioritaskan berdasarkan pada nilai RPN tertinggi,
dengan memfokuskan pada masalah yang memiliki prioritas tertinggi. Langkah
selanjutnya yaitu rekomendasi perbaikan terhadap penyebab ketidakpuasan
masyarakat terhadap pelayanan dokumen administrasi kependudukan.
21