bab ii landasan konsep dan teori analis 2.1 tinjauan ... bab ii.pdfpenelitian sebelumnya berjudul...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALIS
2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya berjudul “Analisis Kebijakan Penanganan
Kemacetan Lalu Lintas di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang”
yang dilakukan oleh Feby Anisia Purnama Sari pada tahun 2011.
Dari hasil penelitian tersebut, dijelaskan bahwa kemacetan lalu lintas yang
terjadi di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang disebabkan oleh
jumlah pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi yang semakin tidak terkendali
setiap tahunnya. Hal tersebut beriringan dengan perkembangan kota yang semakin
pesat sehingga menimbulkan dampak negatif yaitu kemacetan lalu lintas. Oleh
sebab itu, dibutuhkan alternatif kebijakan yang mampu untuk menanganani
permasalahan tersebut yaitu membuat kebijakan yang terbagi dalam tiga aspek
ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Jadi, alternatif kebijakan yang dapat
diterima dalam upaya mengurangi kemacetan lalu lintas adalah dengan cara
menyediakan angkutan umum massal BRT (Bus Rapid Transit). Kebijkaan ini
memiliki tingkat prioritas tertinggi karena dianggap solusi yang paling tepat dan
mendapat persepsi paling baik dari masyarakat luas.
Penelitian lainnya berjudul “Implementasi Kebijakan Program Trans
Jakarta/Busway Dalam Rangka Mengurangi Kemacetan di DKI Jakarta” yang
dilakukan oleh Dessy Budiyanti pada tahun 2012. Dalam penelitian ini dijelaskan
mengenai fenomena kemacetan di Jakarta yang dari waktu ke waktu semakin
memprihatinkan. Ketidakseimbangan pertumbuhan jumlah kendaraan dengan
pembangunan infrastruktur jalan raya yang ada di Jakarta menjadi penyebab
13
utama permasalahan. Jalannya implementasi kebijakan program Trans
Jakarta/Busway sebagai moda transportasi umum yang bertujuan untuk mengatasi
kemacetan di Jakarta ternyata masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh
gagalnya instansi terkait dalam memanfaatkan transportasi tersebut baik dari segi
kecepatan, kenyamanan, dan keamanan. Selain itu teknologi yang dipakai saat ini
masih belum berhasil, jadi dibutuhkan teknologi yang lebih maju serta dibutuhkan
dukungan dan peran masyarakat terhadap keberhasilan Trans Jakarta.
Penelitian dengan topik kemacetan lalu lintas, di Jalan Teuku Umar
Kawasan Jatingaleh Semarang memiliki fokus penelitian, menemukan alternatif
kebijakan yang tepat dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di daerah tersebut.
Penelitian dengan topik kemacetan lalu lintas di Jakarta memiliki fokus penelitian
pada implementasi kebijakan program Busway atau Trans Jakarta dalam rangka
mengurangi kemacetan lalu lintas di daerah tersebut. Sedangkan pada penelitian
ini memiliki fokus penelitian pada sinergitas masyarakat lokal dan Pemerintah
Kabupaten Gianyar dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Kelurahan Ubud.
2.2 Landasan Konsep
2.2.1 Konsep Kemacetan Lalu Lintas
Jika arus lalu lintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai terjadi.
Kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu besarnya sehingga kendaraan
sangat berdekatan satu sama lain. Kemacetan total apabila kendaraan harus
berhenti atau bergerak lambat (Tamin, 2000).
14
Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas
jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang mengakibatkan
kecepatan bebas ruas jalan tersebut mendekati atau melebihi 0 km/jam sehingga
menyebabkan terjadinya kemacetan (MKJI, 1997).
Kemacetan lalu lintas terjadi karena beberapa faktor, seperti banyak
pengguna jalan yang tidak tertib, pemakai jalan melawan arus, kurangnya petugas
lalu lintas yang mengawasi, adanya mobil yang parkir di badan jalan, permukaan
jalan tidak rata, tidak ada jembatan penyeberangan, dan tidak ada pembatasan
jenis kendaraan. Banyaknya pengguna jalan yang tidak tertib, seperti adanya
pedagang kaki lima yang berjualan di tepi jalan, dan parkir liar. Selain itu, ada
pemakai jalan yang melawan arus. Hal ini terjadi karena kurangnya jumlah
petugas lalu lintas dalam mengatasi jalannya lalu lintas terutama di jalan-jalan
yang rawan macet (Boediningsih, 2011). Beberapa faktor yang ada dalam arus
lalu lintas adalah:
1. Transportasi
Transportasi adalah memindahkan atau mengangkut barang atau
penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Transportasi dikatakan baik,
apabila perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan, frekuensi
pelayanan cukup, aman, bebas dari kemungkinan kecelakaan dan kondisi
pelayanan yang nyaman (Morlok, 1981). Untuk mencapai kondisi yang
ideal, sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen
transportasi ini, yaitu kondisi prasarana (jalan), sistem jaringan jalan,
kondisi sarana (kendaraan) dan sikap mental pemakai fasilitas transportasi
tersebut (Sinulingga, 1999).
15
2. Teknik Perlalu-Lintasan
Suatu transportasi dikatakan baik, apabila waktu perjalanan cukup cepat,
tidak mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman bebas dari
kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Untuk
mencapai kondisi yang ideal seperti itu sangat ditentukan oleh berbagai
faktor yang menjadi komponen transportasi, yaitu kondisi prasarana (jalan)
serta sistem jaringannya dan kondisi sarana (kendaraan), serta yang tak
kalah pentingnya ialah sikap mental pemakai fasilitas transportasi tersebut
(Sinulingga, 1999).
Untuk mengetahui tentang transportasi kota dalam aspek perencanaan dan
pelaksanaannya, maka penting sekali untuk memahami aspek teknik
perlalu lintasan (Traffic Enginering), teknik lalu lintas angkutan darat
meliputi: karakteristik volume lalu lintas, kapasitas jalan, satuan mobil
penumpang, asal dan tujuan lalu lintas, dan pembangkit lalu lintas
(Sinulingga, 1999).
3. Karakteristik Volume Lalu Lintas
Di dalam suatu perlalu-lintasan dikenal lalu lintas Harian (LHR) atau
AADT (Average Annual Daily Traffic) yaitu jumlah kendaraan yang lewat
secara rata-rata dalam sehari (24 jam) pada suatu ruas jalan tertentu,
besarnya LHR akan menentukan dimensi penampang jalan yang akan di
bangun. Volume lalu lintas ini bervariasi besarnya, tidak tetap, tergantung
waktu, variasi dalam sehari, seminggu maupun sebulan dan setahun. Di
dalam satu hari biasanya terdapat dua waktu jam sibuk, yaitu pagi dan sore
hari. Tapi ada juga jalan-jalan yang mempunyai variasi volume lalu lintas
16
agak merata. Volume lalu lintas selama jam sibuk dapat digunakan untuk
merencanakan dimensi untuk menampung lalu lintas. Makin tinggi
volumenya, makin besar dimensi yang diperlukan. Suatu volume yang
over estimate akan membuat perencanaan menjadi boros, sedangkan
volume yang under estimate akan membuat jaringan jalan cepat
mengalami kemacetan, sehingga memerlukan pengembangan pula (Yusra,
2012)
Dari penjelasan tersebut, arus lalu lintas memiliki beberapa komponen
penting yaitu transportasi, teknik perlalu lintasan, dan volume lalu lintas.
Komponen tersebut memiliki beberapa faktor yang apabila tidak berjalan dengan
baik, maka arus lalu lintas akan terganggu dan menyebabkan terjadinya
kemacetan. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang menyebabkan kemacetan lalu
lintas diantaranya kendaraan yang parkir di badan jalan, volume lalu lintas yang
meninPgkat pada jam sibuk, dan kurangnya manajemen lalu lintas.
2.2.2 Konsep Manajemen Lalu Lintas
Manajemen lalu lintas dapat diartikan sebagai suatu pengelolaan lalu lintas
untuk mencapai suatu pergerakan yang efisien, nyaman dan selamat baik untuk
pergerakan barang ataupun pergerakan orang. Untuk mencapai pergerakan yang
efisien, peran manajemen lalu lintas sangat ditopang oleh hasil-hasil analisis lalu
lintas yang selaras dengan hukum-hukum fisika dan matematika (Priyanto, 2010).
Manajemen lalu lintas sudah berkembang sejak tahun 1930 an, diawali
oleh Greenshields (dalam Priyanto, 2010) yang mengaplikasikan hubungan antara
volume dan kecepatan kendaraan. Greenberg (dalam Priyanto, 2010)
mengembangkan hubungan antara volume dan kecepatan pada kondisi lalu lintas
17
padat, sedangkan Underwood (dalam Priyanto, 2010) meneliti hubungan antara
volume dan kecepatan pada kondisi lalu lintas ringan.
Drew (dalam Priyanto, 2010) mengatakan bahwa analisis lalu lintas
mempunyai kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan model
matematika biasa, hal ini disebabkan karena model tersebut dalam analisis
berkaitan dengan obyek yang bergerak dan banyak dipengaruhi oleh perilaku
manusia, kondisi sosial ekonomi dan teknologi. Gazis (dalam Priyanto, 2010)
mengatakan bahwa perilaku manusia ikut berperan, dan komponen-komponen
utama dari sistem berubah, seperti jumlah kendaraan bertambah besar, jalan harus
dirancang pada standar yang lebih tinggi untuk lebar, kemiringan, dan lain-lain.
Dalam pengelolaan lalu lintas, menurut Priyanto (2010) terdapat dua
manajemen lalu lintas yang mampu digunakan untuk mengatasi permasalahan
yang berkaitan dengan kemacetan lalu lintas. Manajemen yang pertama adalah
manifestation problems atau permasalahan yang kita lihat sehari-hari, sedangkan
yang kedua adalah root problems atau penyelesaian yang terkait dengan akar
permasalahan.
Untuk itu, upaya penanganan kemacetan lalu lintas dilihat dari masalah
yang terjadi sehari-hari adalah:
1. Membatasi kecepatan kendaraan
2. Menambah fasilitas pejalan kaki dan tempat parkir.
3. Menambah rambu, marka dan papan petunjuk.
4. Menerapkan jalan satu arah
5. Perbaikan kondisi simpang
6. Pemisahan sepeda motor
18
7. Pemisahan kendaraan tidak bermotor
Sedangkan upaya penanganan kemacetan lalu lintas dilihat dari akar
permasalahannya adalah:
1. Pengaturan jam sibuk
2. Meningkatkan okupansi kendaraan
3. Mengurangi kebutuhan perjalanan
4. Mengurangi panjang perjalanan (Priyanto, 2010)
Dalam penelitian ini, manajemen lalu lintas diperlukan dalam upaya
mengatasi kemacetan lalu lintas. Menurut pemaparan tersebut, manajemen lalu
lintas yang dimaksud adalah menambah fasilitas pejalan kaki dan tempat parkir
serta pengaturan jam sibuk.
2.2.3 Batasan Pengertian Wisatawan
Menurut Norwal (dalam Yoeti, 1996) wisatawan adalah seorang yang
memamsuki wilayah asing dengan maksud tujuan apapun, asalkan bukan untuk
tinggal permanen atau untuk usaha-usaha yang teratur melintasi perbatasan dan
yang dapat mengeluarkan uangnya di negeri yang dikunjungi, uang tersebut telah
diperolehnya bukan di negeri tersebut, tetapi di negeri lain.
Sedangkan menurut Ogilive (dalam Yoeti, 1996) wisatawan adalah semua
orang yang memenuhi dua syarat, pertama bahwa mereka meninggalkan rumah
kediamannya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan kedua bahwa
sementara mereka pergi, mereka mengeluarkan uang di tempat yang mereka
kunjungi tidak dengan mencari nafkah di tempat tersebut.
19
Lebih lanjut lagi, Karyono (1997) mengklarifikasikan wisatawan menjadi
enam bagian sesuai dengan sifat perjalanan yang dilakukan, yaitu:
1. Foreign Tourist (Wisatawan asing)
Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang datang memasuki
suatu negara lain yang bukan merupakan negara dimana ia biasanya
tinggal. Wisatawan asing disebut juga wisatawan mancanegara atau
disingkat wisman.
2. Domestic Foreign Tourist
Orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal di suatu negara karena
tugas, dan melakukan perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia
tinggal. Misalnya, staf kedutaan Belanda yang mendapat cuti tahunan,
tetapi ia tidak pulang ke Belanda, tetapi melakukan perjalanan wisata di
Indonesia (tempat ia bertugas).
3. Domestic Tourist (Wisatawan Nusantara)
Seorang warga negara suatu negara yang melakukan perjalanan wisata
dalam batas wilayah negaranya sendiri tanpa melewati perbatasan
negaranya. Misalnya warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan
ke Bali atau ke Danau Toba. Wisatawan ini disingkat wisnus.
4. Indigenous Foreign Tourist
Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugasnya atau jabatannya
berada di luar negeri, pulang ke negara asalnya dan melakukan perjalanan
wisata di wilayah negaranya sendiri. Misalnya, warga negara Perancis
yang bertugas sebagai konsultan di perusahaan asing di Indonesia, ketika
20
liburan ia kembali ke Perancis dan melakukan perjalanan wisata di sana.
Jenis wisatawan ini merupakan kebalikan dari Domestic Foreign Tourist.
5. Transit Tourist
Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu Negara tertentu
yang terpaksa singgah pada suatu pelabuhan atau airport atau stasiun
bukan atas kemauannya sendiri.
6. Business Tourist
Orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis bukan wisata tetapi
perjalanan wisata akan dilakukannya setelah tujuannya yang utama selesai.
Jadi perjalanan wisata merupakan tujuan sekunder, setelah tujuan primer
yaitu bisnis selesai dilakukan.
Wisatawan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wisatawan
mancanegara. Yaitu wisatawan yang bukan berasal dari Indonesia dan sedang
berkunjung di Kelurahan Ubud bukan dalam rangka untuk bekerja dan menetap
secara permanen.
2.2.4 Konsep Respon Wisatawan
Menurut Sobur (2003) respon merupakan istilah psikologi yang digunakan
untuk menyebutkan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera.
Hal yang menunjang dan melatarbelakangi ukuran sebuah respon adalah sikap,
persepsi, dan partisipasi. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang karena
sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku
jika menghadapi suatu rangsangan tertentu. Respon juga diartikan sebagai suatu
tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail,
21
penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada
suatu fenomena tertentu.
Lebih lanjut, Mulyani (dalam Sobur, 2003) menyebutkan bahwa terdapat
tiga faktor yang mempengaruhi respon seseorang, yaitu:
1. Individu yang bersangkutan, artinya melihat dan berusaha memberikan
interpretasi tentang apa yang dilihat dan dipengaruhi oleh sikap, motif,
kepentingan, dan harapan.
2. Sasaran respon, yaitu berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat
sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap respon individu yang melihat.
Dengan kata lain, gerakan, suara, ukuran, tindakan-tindakan, dan ciri-ciri
lain dari sasaran respon turut menentukan cara pandang individu.
3. Faktor situasi, respon dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam
situasi dimana respon itu timbul mendapat perhatian. Situasi merupakan
faktor yang turut berperan dalam pembentukan atau tanggapan individu.
Dalam penelitian ini, respon diambil dari wisatawan mancanegara
terhadap masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di Kelurahan Ubud. Hal ini
untuk melihat respon wisatawan, apakah mereka memaklumi atau merasa tidak
nyaman. Respon tersebut penting karena Ubud sebagai destinasi pariwisata
membutuhkan wisatawan sebagai penggerak industri pariwisata, agar Ubud tidak
ditinggalkan oleh wisatawan dikemudian hari akibat merasa tidak nyaman lagi
dengan adanya kemacetan lalu lintas.
22
2.2.5 Batasan Pengertian Masyarakat
Koentjaraningrat (1993) menjabarkan definisi masyarakat sebagai
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.
Linton (1993) menjelaskan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia
yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu membuat
keteraturan dalam kehidupan bersama dan mereka menganggap sebagai satu
kesatuan sosial. Ciri-ciri masyarakat pada umumnya sebagai berikut :
1. Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang.
2. Bergaul dalam waktu cukup lama. Sebagai akibat hidup bersama itu,
timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan antarmanusia.
3. Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
4. Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama
menimbulkan kebudayaan karena mereka merasa dirinya terikat satu
dengan yang lainnya.
Menurut penjelasan tersebut, maka yang dimaksud masyarakat adalah
sekelompok individu yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu sistem adat
istiadat. Sedangkan yang dimaksud masyarkat lokal dalam penelitian ini adalah
msayarakat yang mendukung adat-istiadat desa pakraman.
23
2.2.6 Batasan Pengertian Desa Pakraman
Menurut Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 menyebutkan, desa
pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali, yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, secara
turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa, yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus
rumah tangganya sendiri.
Selanjutnya menurut Sukmiwati (2012) desa pakraman adalah suatu
kesatuan masyarakat hukum adat, yang eksistensinya dilandasi oleh adanya
kehendak bersama dari kelompok orang, karena tuntunan kodratnya untuk hidup
bersama dengan orang lain dalam suatu wadah untuk memenuhi kepentingan.
Desa pakraman sebagai organisasi kemasyarakatan di tingkat desa memiliki kultur
dalam kehidupan sehari-hari yang tidak akan lepas dari adat.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan
organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat
tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola
hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali.
2.2.7 Konsep Masyarakat Aktif
Menurut Etzioni (dalam Poloma, 2010) masyarakat aktif adalah
masyarakat yang menguasai dunia sosialnya. Mereka sangat berbeda dengan
masyarakat pasif dimana para anggotanya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan
luar atau kekuatan aktif lainnya. Masyarakat aktif mampu mengidentifikasi
dinamika-dinamika yang terjadi di lingkungannya. Melalui sekolompok
24
intelektual dalam masyarakat, yang memiliki pengetahuan yang baik, mereka
mampu mencari jalan keluar atau solusi atas dinamika yang ada.
Berbeda dari masyarakat pasif, yang pada dasarnya tidak tanggap pada
kebutuhan para anggotanya dan menundukkan mereka pada kekuatan yang tidak
dimengerti atau tidak diinginkan. Masyarkat aktif lebih berusaha untuk
memberikan keluasan bagi transformasi struktur guna memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar para aktor sosial (Poloma, 2010).
Dari penjelasan tersebut, maka masyarkat lokal Ubud termasuk golongan
masyarakat yang aktif. Hal ini dikarenakan, apabila mereka termasuk masyarakat
yang pasif, mereka tidak akan mempu mengidentifikasi dinamika-dinamika apa
saja yang sedang dihadapi oleh lingkungannya. Dalam penelitian ini, kemacetan
merupakan salah satu dinamika yang sedang dihadapi. Mereka memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang dihadapi disertai
tujuan untuk dapat mengatasi masalah tersebut.
2.2.8 Konsep Sistem Pariwisata
Dalam sistem pariwisata, ada banyak aktor yang berperan dalam
menggerakkan sistem. Secara umum, mereka dikelompokkan dalam tiga pilar
utama yaitu: masyarakat, swasta dan pemerintah (Pitana dan Gayatri, 2005).
Pada masyarakat, yang termasuk di dalamnya adalah masyarakat umum
yang ada pada destinasi, sebagai pemilik sah dari berbagai sumber daya yang
merupakan modal pariwisata seperti kebudayaan. Selain itu, terdapat kelompok
lain yang termasuk yaitu tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM dan media
masa. Selanjutnya dalam kelompok swasta adalah asosiasi usaha pariwisata dan
para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah adalah berbagai wilayah
25
Masyarakat adat,
tokoh, intelektual,
wartawan, LSM
Swasta
Perhotelan
BPW 1 Transportasi, saluran
perilaku konsumen
2 Keputusan membeli produk 3 Perencanaan
4 Pemantauan
Pemerintah
- Pusat
- Provinsi
- Kabupaten/kota
Pendukung, pemilik
modal pariwisata
Regulator
Fasilitator
Pelaku langsung
pelayanan wisata
administrasi, mulai dari pemerintah pusat, negara bagian, provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan seterusnya (Pitana dan Gayatri, 2005)
Gambar 2.1
Sektor Pariwisata dalam Tiga Pilar Utama
Sumber: Pitana dan Gayatri, 2005
Selanjutnya Mill dan Morrison (1985) mengembangkan sistem pariwisata
model jaring laba-laba (spider’s web), terdapat empat komponen yang terkandung
didalamnya yaitu permintaan (demand), perjalanan (travel), pemasaran
(marketing) dan daerah tujuan wisata (destination) dimana masing-masing
komponen saling terkait satu sama lain.
Daerah tujuan wisata (destination) terdiri dari atraksi wisata dan pelayanan
dimana masing-masing bagian saling mempengaruhi untuk mewujudkan kepuasan
wisatawan. Karena kepuasan wisatawan akan mempengaruhi sistem penjualan
perjalanan serta terkait erat dengan aspek pemasaran. Subsistem tujuan wisata
memiliki tiga komponen. Pertama, kondisi fisik destinasi yang terkait dengan
26
iklim, keragaman atraksi baik yang alami maupun buatan. Kedua, berupa
komponen tipologi atraksi, fasilitas, infrastruktur, transportasi, dan hospitality.
Ketiga, desain dan pembangunan destinasi wisata (Mill dan Morrison, 1985).
Gambar 2.2
Sistem Pariwisata Model Mill & Morrison
Sumber: Mill & Morrison, 1985
Salah satu komponen yang penting dalam suatu destinasi wisata adalah
faslitas, infrastruktur dan transportasi yang baik. Pemenuhan komponen ini sangat
penting demi keberlangsungan industri pariwisata yang terus diminati oleh
wisatawan. Permasalahan seperti kemacetan lalu lintas adalah salah satu akibat
dari tidak terpenuhinya komponen tersebut dengan baik.
Dalam sistem pariwisata tersebut terdapat hubungan antara masyarakat
lokal dan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator. Dalam penelitian ini,
masyarkat lokal dan Pemerintah Kabupaten Gianyar melakukan tindakan yang
sinergis untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Dengan tindakan yang
dilakukan secara bersama-sama, maka pelaksanaan tugas diharapkan akan lebih
baik dan efisien.
Permintaan
(Demand)
Perjalananan
(travel)
Pemasaran
(Marketing)
DTW
(Destination)
27
2.2.9 Konsep Koordinasi
Menurut Handoko (2003) koordinasi merupakan suatu sistem dan proses
interaksi untuk mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan kesederhanaan berbagai
kegiatan inter dan antar institusi-institusi di masyarakat melalui komunikasi dan
dialog-dialog antar berbagai individu. Sedangkan menurut Stoner dan Wankel
(1986) koordinasi adalah proses menyatupadukan tujuan-tujuan dan kegiatan-
kegiatan dari unit-unit (bagian-bagian atau bidang-bidang fungsional) suatu
organisasi yang terpisah untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi secara efisien.
Tanpa adanya koordinasi, individu-individu dan bagian-bagian tidak dapat
melihat peranan mereka dalam organisasi. Mereka akan mulai mengikuti
kepentingan-kepentingan khusus mereka sendiri, seiring dengan mengorbankan
sasaran-sasaran organisasi yang lebih luas.
Menurut pemaparan tersebut, maka dalam penelitian ini koordinasi
diperlukan oleh masyarakat lokal dan Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam
mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan baik dari masyarakat
lokal maupun pemerintah memerlukan kerjasama dan interaksi diantara keduanya,
agar dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai menghasilkan suatu tindakan yang tepat
pada sasaran yang telah ditentukan.
2.2.10 Konsep Interaksi Sosial
Menurut Soekanto (dalam Ali, 2004) interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, antara
individu dan kelompok, serta antar kelompok. interaksi sosial merupakan kunci
semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar
satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang
28
saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk
kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi.
Soekanto (dalam Ali, 2004) melanjutkan, interaksi sosial merupakan suatu
fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai
sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan
norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik
jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik.
Hubungan yang terjadi antar warga masyarakat berlangsung sepanjang
waktu. Rentang waktu yang panjang serta banyaknya warga yang terlibat dalam
hubungan antar warga melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial. Dengan
demikian interaksi sosial mempunyai dua bentuk, yakni interaksi sosial yang
mengarah pada bentuk penyatuan (proses asosiatif) dan mengarah pada bentuk
pemisahan (proses disosiatif).
Proses asosiatif merupakan proses menuju terbentuknya persatuan atau
integrasi sosial. Proses disosiatif sering juga disebut sebagai proses oposional
(oppositional process) yang berarti cara berjuang melawan seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
Interaksi sosial asosiatif adalah bentuk interaksi sosial yang menghasilkan
kerja sama. Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka
mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
yang penting dalam kerja sama yang berguna (Soekanto dalam Ali, 2004).
29
Dalam penelitian ini, interaksi yang dilakukan oleh masyarakat lokal Ubud
dan Pemerintah Kabupaten Gianyar menghasilkan suatu kerja sama yang positif.
Hal ini menyebabkan timbulnya suatu persatuan dan kesadaran bahwa mereka
memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu mengatasi masalah kemacetan
lalu lintas. Kerja sama tersebut membentuk suatu integrasi sosial diantara
masyrakat lokal dan pemerintah, melalui komunikasi ataupun interaksi yang pada
akhirnya bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.2.11 Konsep Sinergi
Menurut Deardorff dan Williams (2006) sinergi adalah sebuah proses
dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan menghasilkan
pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan jumlah dari pengaruh mereka
secara individual. Sinergi bukanlah sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan
manusia tetapi suatu istilah yang berarti melipatgandakan pengaruh (multiplier
effect) yang memungkinkan energi pekerjaan atau jasa individu berlipatganda
secara eksponensial melalui usaha bersama. Sinergi kelompok dideskripsikan
sebagai tindakan yang berkembang dan mengalir dari kelompok orang yang
bekerja bersama secara sinkron satu sama lain sehingga mereka dapat bergerak
dan berfikir sebagai satu kesatuan.
Jika sub-sub sistem bekerjasama, maka hasil yang diperoleh akan lebih
efektif dibandingkan bekerja secara sendiri-sendiri. Sinergi sering dikaitkan
dengan gabungan dimana dua organisasi yang bersatu akan lebih efisien
dibandingkan dengan jika dua organisasi berjalan sendiri-sendiri, terutama pada
organisasi-organisasi yang mengelola produk.
30
Konsep sinergi pada prinsipnya bahwa, di dalam mencapai suatu tujuan,
usaha yang dilakukan secara tersistem dan bersama-sama hasilnya akan lebih
besar dibandingkan dengan secara sendiri-sendiri. Kegiatan bersama dari bagian
yang terpisah, tetapi saling berhubungan secara bersama-sama akan menghasilkan
efek total yang lebih besar dari pada jumlah bagian secara individu dan terpisah.
Dalam suatu organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerja
sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Kesuksesan suatu organisasi,
sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara
sinergis, jika seluruh anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain, dan
memahami juga dampak dari kinerja unit lainnya. Seringkali dalam organisasi
anggota hanya memahami apa yang dikerjakan dan tidak memahami dampak dari
pekerjaannya pada unit lainnya. Kerugian sering terjadi akibat ketidakmampuan
untuk bersinergi satu dengan lainnya, pemborosan biaya, tenaga dan waktu
(Deardoff dan Williams, 2006).
Dalam penelitian ini, masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di
Kelurahan Ubud tidak bisa diatasi dengan hanya mengandalkan salah satu pihak.
Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang besar dan berdampak pada
banyak segi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Apabila
masyarakat lokal dan pemerintah mampu bersama-sama untuk melakukan
tindakan yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut, hasil yang
didapat akan lebih baik dan efisien daripada dilakukan oleh salah satu pihak saja.
Masyarakat lokal dan pemerintah daerah perlu melakukan tindakan yang
sinergis melalui interaksi dan gabungan dengan berbagai pihak yang terkait.
Pemerintah daerah sebagai fasilitator dan regulator bekerja sama dengan
31
Kepolisian Sektor Ubud, Bendesa Desa Pakraman Ubud, Lurah Ubud, Forum
Komunikasi Desa Pakraman Kecamatan Ubud (FKDPU), dan Satuan Pecalang
Ubud serta masyarakat lokal itu sendiri.
2.3 Teori Analisis
2.3.1 Teori Integrasi Sosial
Integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan
satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi
sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai
tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun tantangan sosial yang terjadi
secara sosial budaya (Baton dalam Maryati, 2007).
Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
saling berbeda yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga
menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat.
Menurut Cooly (dalam Maryati, 2007) agar integrasi dapat terbentuk dalam
kehidupan masyarakat, diperlukan kerjasama dalam suatu kepentingan atau tujuan
yang ingin dicapai oleh pihak-pihak terkait.
Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di
antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental. Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat
sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation).
Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial
lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas (cross-cutting loyalities)
dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial (Baton dalam Maryati,
2007).
32
Dalam penelitian ini, integrasi sosial terjadi berbagai elemen dalam
masyarakat lokal Ubud, antara masyarakat lokal Ubud dengan Pemerintah
Kabupaten Gianyar, dan antara keduanya dengan pihak-pihak terkait yaitu
Kepolisian Sektor Ubud, Bendesa Desa Pakraman Ubud, Lurah Ubud, FKDPU,
dan Satuan Pecalang Ubud, dalam menangani masalah kemacetan lalu lintas di
Kelurahan Ubud.