bab ii landasan konsep dan teori analis 2.1 tinjauan ... bab ii.pdfpenelitian sebelumnya berjudul...

21
12 BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALIS 2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya berjudul “Analisis Kebijakan Penanganan Kemacetan Lalu Lintas di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang” yang dilakukan oleh Feby Anisia Purnama Sari pada tahun 2011. Dari hasil penelitian tersebut, dijelaskan bahwa kemacetan lalu lintas yang terjadi di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang disebabkan oleh jumlah pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi yang semakin tidak terkendali setiap tahunnya. Hal tersebut beriringan dengan perkembangan kota yang semakin pesat sehingga menimbulkan dampak negatif yaitu kemacetan lalu lintas. Oleh sebab itu, dibutuhkan alternatif kebijakan yang mampu untuk menanganani permasalahan tersebut yaitu membuat kebijakan yang terbagi dalam tiga aspek ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Jadi, alternatif kebijakan yang dapat diterima dalam upaya mengurangi kemacetan lalu lintas adalah dengan cara menyediakan angkutan umum massal BRT (Bus Rapid Transit). Kebijkaan ini memiliki tingkat prioritas tertinggi karena dianggap solusi yang paling tepat dan mendapat persepsi paling baik dari masyarakat luas. Penelitian lainnya berjudul “Implementasi Kebijakan Program Trans Jakarta/Busway Dalam Rangka Mengurangi Kemacetan di DKI Jakarta” yang dilakukan oleh Dessy Budiyanti pada tahun 2012. Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai fenomena kemacetan di Jakarta yang dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan. Ketidakseimbangan pertumbuhan jumlah kendaraan dengan pembangunan infrastruktur jalan raya yang ada di Jakarta menjadi penyebab

Upload: dinhdung

Post on 29-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALIS

2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya berjudul “Analisis Kebijakan Penanganan

Kemacetan Lalu Lintas di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang”

yang dilakukan oleh Feby Anisia Purnama Sari pada tahun 2011.

Dari hasil penelitian tersebut, dijelaskan bahwa kemacetan lalu lintas yang

terjadi di Jalan Teuku Umar Kawasan Jatingaleh Semarang disebabkan oleh

jumlah pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi yang semakin tidak terkendali

setiap tahunnya. Hal tersebut beriringan dengan perkembangan kota yang semakin

pesat sehingga menimbulkan dampak negatif yaitu kemacetan lalu lintas. Oleh

sebab itu, dibutuhkan alternatif kebijakan yang mampu untuk menanganani

permasalahan tersebut yaitu membuat kebijakan yang terbagi dalam tiga aspek

ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Jadi, alternatif kebijakan yang dapat

diterima dalam upaya mengurangi kemacetan lalu lintas adalah dengan cara

menyediakan angkutan umum massal BRT (Bus Rapid Transit). Kebijkaan ini

memiliki tingkat prioritas tertinggi karena dianggap solusi yang paling tepat dan

mendapat persepsi paling baik dari masyarakat luas.

Penelitian lainnya berjudul “Implementasi Kebijakan Program Trans

Jakarta/Busway Dalam Rangka Mengurangi Kemacetan di DKI Jakarta” yang

dilakukan oleh Dessy Budiyanti pada tahun 2012. Dalam penelitian ini dijelaskan

mengenai fenomena kemacetan di Jakarta yang dari waktu ke waktu semakin

memprihatinkan. Ketidakseimbangan pertumbuhan jumlah kendaraan dengan

pembangunan infrastruktur jalan raya yang ada di Jakarta menjadi penyebab

13

utama permasalahan. Jalannya implementasi kebijakan program Trans

Jakarta/Busway sebagai moda transportasi umum yang bertujuan untuk mengatasi

kemacetan di Jakarta ternyata masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh

gagalnya instansi terkait dalam memanfaatkan transportasi tersebut baik dari segi

kecepatan, kenyamanan, dan keamanan. Selain itu teknologi yang dipakai saat ini

masih belum berhasil, jadi dibutuhkan teknologi yang lebih maju serta dibutuhkan

dukungan dan peran masyarakat terhadap keberhasilan Trans Jakarta.

Penelitian dengan topik kemacetan lalu lintas, di Jalan Teuku Umar

Kawasan Jatingaleh Semarang memiliki fokus penelitian, menemukan alternatif

kebijakan yang tepat dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di daerah tersebut.

Penelitian dengan topik kemacetan lalu lintas di Jakarta memiliki fokus penelitian

pada implementasi kebijakan program Busway atau Trans Jakarta dalam rangka

mengurangi kemacetan lalu lintas di daerah tersebut. Sedangkan pada penelitian

ini memiliki fokus penelitian pada sinergitas masyarakat lokal dan Pemerintah

Kabupaten Gianyar dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Kelurahan Ubud.

2.2 Landasan Konsep

2.2.1 Konsep Kemacetan Lalu Lintas

Jika arus lalu lintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai terjadi.

Kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu besarnya sehingga kendaraan

sangat berdekatan satu sama lain. Kemacetan total apabila kendaraan harus

berhenti atau bergerak lambat (Tamin, 2000).

14

Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas

jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang mengakibatkan

kecepatan bebas ruas jalan tersebut mendekati atau melebihi 0 km/jam sehingga

menyebabkan terjadinya kemacetan (MKJI, 1997).

Kemacetan lalu lintas terjadi karena beberapa faktor, seperti banyak

pengguna jalan yang tidak tertib, pemakai jalan melawan arus, kurangnya petugas

lalu lintas yang mengawasi, adanya mobil yang parkir di badan jalan, permukaan

jalan tidak rata, tidak ada jembatan penyeberangan, dan tidak ada pembatasan

jenis kendaraan. Banyaknya pengguna jalan yang tidak tertib, seperti adanya

pedagang kaki lima yang berjualan di tepi jalan, dan parkir liar. Selain itu, ada

pemakai jalan yang melawan arus. Hal ini terjadi karena kurangnya jumlah

petugas lalu lintas dalam mengatasi jalannya lalu lintas terutama di jalan-jalan

yang rawan macet (Boediningsih, 2011). Beberapa faktor yang ada dalam arus

lalu lintas adalah:

1. Transportasi

Transportasi adalah memindahkan atau mengangkut barang atau

penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Transportasi dikatakan baik,

apabila perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan, frekuensi

pelayanan cukup, aman, bebas dari kemungkinan kecelakaan dan kondisi

pelayanan yang nyaman (Morlok, 1981). Untuk mencapai kondisi yang

ideal, sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen

transportasi ini, yaitu kondisi prasarana (jalan), sistem jaringan jalan,

kondisi sarana (kendaraan) dan sikap mental pemakai fasilitas transportasi

tersebut (Sinulingga, 1999).

15

2. Teknik Perlalu-Lintasan

Suatu transportasi dikatakan baik, apabila waktu perjalanan cukup cepat,

tidak mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman bebas dari

kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Untuk

mencapai kondisi yang ideal seperti itu sangat ditentukan oleh berbagai

faktor yang menjadi komponen transportasi, yaitu kondisi prasarana (jalan)

serta sistem jaringannya dan kondisi sarana (kendaraan), serta yang tak

kalah pentingnya ialah sikap mental pemakai fasilitas transportasi tersebut

(Sinulingga, 1999).

Untuk mengetahui tentang transportasi kota dalam aspek perencanaan dan

pelaksanaannya, maka penting sekali untuk memahami aspek teknik

perlalu lintasan (Traffic Enginering), teknik lalu lintas angkutan darat

meliputi: karakteristik volume lalu lintas, kapasitas jalan, satuan mobil

penumpang, asal dan tujuan lalu lintas, dan pembangkit lalu lintas

(Sinulingga, 1999).

3. Karakteristik Volume Lalu Lintas

Di dalam suatu perlalu-lintasan dikenal lalu lintas Harian (LHR) atau

AADT (Average Annual Daily Traffic) yaitu jumlah kendaraan yang lewat

secara rata-rata dalam sehari (24 jam) pada suatu ruas jalan tertentu,

besarnya LHR akan menentukan dimensi penampang jalan yang akan di

bangun. Volume lalu lintas ini bervariasi besarnya, tidak tetap, tergantung

waktu, variasi dalam sehari, seminggu maupun sebulan dan setahun. Di

dalam satu hari biasanya terdapat dua waktu jam sibuk, yaitu pagi dan sore

hari. Tapi ada juga jalan-jalan yang mempunyai variasi volume lalu lintas

16

agak merata. Volume lalu lintas selama jam sibuk dapat digunakan untuk

merencanakan dimensi untuk menampung lalu lintas. Makin tinggi

volumenya, makin besar dimensi yang diperlukan. Suatu volume yang

over estimate akan membuat perencanaan menjadi boros, sedangkan

volume yang under estimate akan membuat jaringan jalan cepat

mengalami kemacetan, sehingga memerlukan pengembangan pula (Yusra,

2012)

Dari penjelasan tersebut, arus lalu lintas memiliki beberapa komponen

penting yaitu transportasi, teknik perlalu lintasan, dan volume lalu lintas.

Komponen tersebut memiliki beberapa faktor yang apabila tidak berjalan dengan

baik, maka arus lalu lintas akan terganggu dan menyebabkan terjadinya

kemacetan. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang menyebabkan kemacetan lalu

lintas diantaranya kendaraan yang parkir di badan jalan, volume lalu lintas yang

meninPgkat pada jam sibuk, dan kurangnya manajemen lalu lintas.

2.2.2 Konsep Manajemen Lalu Lintas

Manajemen lalu lintas dapat diartikan sebagai suatu pengelolaan lalu lintas

untuk mencapai suatu pergerakan yang efisien, nyaman dan selamat baik untuk

pergerakan barang ataupun pergerakan orang. Untuk mencapai pergerakan yang

efisien, peran manajemen lalu lintas sangat ditopang oleh hasil-hasil analisis lalu

lintas yang selaras dengan hukum-hukum fisika dan matematika (Priyanto, 2010).

Manajemen lalu lintas sudah berkembang sejak tahun 1930 an, diawali

oleh Greenshields (dalam Priyanto, 2010) yang mengaplikasikan hubungan antara

volume dan kecepatan kendaraan. Greenberg (dalam Priyanto, 2010)

mengembangkan hubungan antara volume dan kecepatan pada kondisi lalu lintas

17

padat, sedangkan Underwood (dalam Priyanto, 2010) meneliti hubungan antara

volume dan kecepatan pada kondisi lalu lintas ringan.

Drew (dalam Priyanto, 2010) mengatakan bahwa analisis lalu lintas

mempunyai kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan model

matematika biasa, hal ini disebabkan karena model tersebut dalam analisis

berkaitan dengan obyek yang bergerak dan banyak dipengaruhi oleh perilaku

manusia, kondisi sosial ekonomi dan teknologi. Gazis (dalam Priyanto, 2010)

mengatakan bahwa perilaku manusia ikut berperan, dan komponen-komponen

utama dari sistem berubah, seperti jumlah kendaraan bertambah besar, jalan harus

dirancang pada standar yang lebih tinggi untuk lebar, kemiringan, dan lain-lain.

Dalam pengelolaan lalu lintas, menurut Priyanto (2010) terdapat dua

manajemen lalu lintas yang mampu digunakan untuk mengatasi permasalahan

yang berkaitan dengan kemacetan lalu lintas. Manajemen yang pertama adalah

manifestation problems atau permasalahan yang kita lihat sehari-hari, sedangkan

yang kedua adalah root problems atau penyelesaian yang terkait dengan akar

permasalahan.

Untuk itu, upaya penanganan kemacetan lalu lintas dilihat dari masalah

yang terjadi sehari-hari adalah:

1. Membatasi kecepatan kendaraan

2. Menambah fasilitas pejalan kaki dan tempat parkir.

3. Menambah rambu, marka dan papan petunjuk.

4. Menerapkan jalan satu arah

5. Perbaikan kondisi simpang

6. Pemisahan sepeda motor

18

7. Pemisahan kendaraan tidak bermotor

Sedangkan upaya penanganan kemacetan lalu lintas dilihat dari akar

permasalahannya adalah:

1. Pengaturan jam sibuk

2. Meningkatkan okupansi kendaraan

3. Mengurangi kebutuhan perjalanan

4. Mengurangi panjang perjalanan (Priyanto, 2010)

Dalam penelitian ini, manajemen lalu lintas diperlukan dalam upaya

mengatasi kemacetan lalu lintas. Menurut pemaparan tersebut, manajemen lalu

lintas yang dimaksud adalah menambah fasilitas pejalan kaki dan tempat parkir

serta pengaturan jam sibuk.

2.2.3 Batasan Pengertian Wisatawan

Menurut Norwal (dalam Yoeti, 1996) wisatawan adalah seorang yang

memamsuki wilayah asing dengan maksud tujuan apapun, asalkan bukan untuk

tinggal permanen atau untuk usaha-usaha yang teratur melintasi perbatasan dan

yang dapat mengeluarkan uangnya di negeri yang dikunjungi, uang tersebut telah

diperolehnya bukan di negeri tersebut, tetapi di negeri lain.

Sedangkan menurut Ogilive (dalam Yoeti, 1996) wisatawan adalah semua

orang yang memenuhi dua syarat, pertama bahwa mereka meninggalkan rumah

kediamannya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan kedua bahwa

sementara mereka pergi, mereka mengeluarkan uang di tempat yang mereka

kunjungi tidak dengan mencari nafkah di tempat tersebut.

19

Lebih lanjut lagi, Karyono (1997) mengklarifikasikan wisatawan menjadi

enam bagian sesuai dengan sifat perjalanan yang dilakukan, yaitu:

1. Foreign Tourist (Wisatawan asing)

Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang datang memasuki

suatu negara lain yang bukan merupakan negara dimana ia biasanya

tinggal. Wisatawan asing disebut juga wisatawan mancanegara atau

disingkat wisman.

2. Domestic Foreign Tourist

Orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal di suatu negara karena

tugas, dan melakukan perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia

tinggal. Misalnya, staf kedutaan Belanda yang mendapat cuti tahunan,

tetapi ia tidak pulang ke Belanda, tetapi melakukan perjalanan wisata di

Indonesia (tempat ia bertugas).

3. Domestic Tourist (Wisatawan Nusantara)

Seorang warga negara suatu negara yang melakukan perjalanan wisata

dalam batas wilayah negaranya sendiri tanpa melewati perbatasan

negaranya. Misalnya warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan

ke Bali atau ke Danau Toba. Wisatawan ini disingkat wisnus.

4. Indigenous Foreign Tourist

Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugasnya atau jabatannya

berada di luar negeri, pulang ke negara asalnya dan melakukan perjalanan

wisata di wilayah negaranya sendiri. Misalnya, warga negara Perancis

yang bertugas sebagai konsultan di perusahaan asing di Indonesia, ketika

20

liburan ia kembali ke Perancis dan melakukan perjalanan wisata di sana.

Jenis wisatawan ini merupakan kebalikan dari Domestic Foreign Tourist.

5. Transit Tourist

Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu Negara tertentu

yang terpaksa singgah pada suatu pelabuhan atau airport atau stasiun

bukan atas kemauannya sendiri.

6. Business Tourist

Orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis bukan wisata tetapi

perjalanan wisata akan dilakukannya setelah tujuannya yang utama selesai.

Jadi perjalanan wisata merupakan tujuan sekunder, setelah tujuan primer

yaitu bisnis selesai dilakukan.

Wisatawan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wisatawan

mancanegara. Yaitu wisatawan yang bukan berasal dari Indonesia dan sedang

berkunjung di Kelurahan Ubud bukan dalam rangka untuk bekerja dan menetap

secara permanen.

2.2.4 Konsep Respon Wisatawan

Menurut Sobur (2003) respon merupakan istilah psikologi yang digunakan

untuk menyebutkan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera.

Hal yang menunjang dan melatarbelakangi ukuran sebuah respon adalah sikap,

persepsi, dan partisipasi. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang karena

sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku

jika menghadapi suatu rangsangan tertentu. Respon juga diartikan sebagai suatu

tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail,

21

penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada

suatu fenomena tertentu.

Lebih lanjut, Mulyani (dalam Sobur, 2003) menyebutkan bahwa terdapat

tiga faktor yang mempengaruhi respon seseorang, yaitu:

1. Individu yang bersangkutan, artinya melihat dan berusaha memberikan

interpretasi tentang apa yang dilihat dan dipengaruhi oleh sikap, motif,

kepentingan, dan harapan.

2. Sasaran respon, yaitu berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat

sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap respon individu yang melihat.

Dengan kata lain, gerakan, suara, ukuran, tindakan-tindakan, dan ciri-ciri

lain dari sasaran respon turut menentukan cara pandang individu.

3. Faktor situasi, respon dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam

situasi dimana respon itu timbul mendapat perhatian. Situasi merupakan

faktor yang turut berperan dalam pembentukan atau tanggapan individu.

Dalam penelitian ini, respon diambil dari wisatawan mancanegara

terhadap masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di Kelurahan Ubud. Hal ini

untuk melihat respon wisatawan, apakah mereka memaklumi atau merasa tidak

nyaman. Respon tersebut penting karena Ubud sebagai destinasi pariwisata

membutuhkan wisatawan sebagai penggerak industri pariwisata, agar Ubud tidak

ditinggalkan oleh wisatawan dikemudian hari akibat merasa tidak nyaman lagi

dengan adanya kemacetan lalu lintas.

22

2.2.5 Batasan Pengertian Masyarakat

Koentjaraningrat (1993) menjabarkan definisi masyarakat sebagai

kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat

tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.

Linton (1993) menjelaskan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia

yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu membuat

keteraturan dalam kehidupan bersama dan mereka menganggap sebagai satu

kesatuan sosial. Ciri-ciri masyarakat pada umumnya sebagai berikut :

1. Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang.

2. Bergaul dalam waktu cukup lama. Sebagai akibat hidup bersama itu,

timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur

hubungan antarmanusia.

3. Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.

4. Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama

menimbulkan kebudayaan karena mereka merasa dirinya terikat satu

dengan yang lainnya.

Menurut penjelasan tersebut, maka yang dimaksud masyarakat adalah

sekelompok individu yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu sistem adat

istiadat. Sedangkan yang dimaksud masyarkat lokal dalam penelitian ini adalah

msayarakat yang mendukung adat-istiadat desa pakraman.

23

2.2.6 Batasan Pengertian Desa Pakraman

Menurut Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 menyebutkan, desa

pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali, yang mempunyai satu

kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, secara

turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa, yang

mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus

rumah tangganya sendiri.

Selanjutnya menurut Sukmiwati (2012) desa pakraman adalah suatu

kesatuan masyarakat hukum adat, yang eksistensinya dilandasi oleh adanya

kehendak bersama dari kelompok orang, karena tuntunan kodratnya untuk hidup

bersama dengan orang lain dalam suatu wadah untuk memenuhi kepentingan.

Desa pakraman sebagai organisasi kemasyarakatan di tingkat desa memiliki kultur

dalam kehidupan sehari-hari yang tidak akan lepas dari adat.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan

organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat

tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola

hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali.

2.2.7 Konsep Masyarakat Aktif

Menurut Etzioni (dalam Poloma, 2010) masyarakat aktif adalah

masyarakat yang menguasai dunia sosialnya. Mereka sangat berbeda dengan

masyarakat pasif dimana para anggotanya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan

luar atau kekuatan aktif lainnya. Masyarakat aktif mampu mengidentifikasi

dinamika-dinamika yang terjadi di lingkungannya. Melalui sekolompok

24

intelektual dalam masyarakat, yang memiliki pengetahuan yang baik, mereka

mampu mencari jalan keluar atau solusi atas dinamika yang ada.

Berbeda dari masyarakat pasif, yang pada dasarnya tidak tanggap pada

kebutuhan para anggotanya dan menundukkan mereka pada kekuatan yang tidak

dimengerti atau tidak diinginkan. Masyarkat aktif lebih berusaha untuk

memberikan keluasan bagi transformasi struktur guna memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dasar para aktor sosial (Poloma, 2010).

Dari penjelasan tersebut, maka masyarkat lokal Ubud termasuk golongan

masyarakat yang aktif. Hal ini dikarenakan, apabila mereka termasuk masyarakat

yang pasif, mereka tidak akan mempu mengidentifikasi dinamika-dinamika apa

saja yang sedang dihadapi oleh lingkungannya. Dalam penelitian ini, kemacetan

merupakan salah satu dinamika yang sedang dihadapi. Mereka memiliki

kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang dihadapi disertai

tujuan untuk dapat mengatasi masalah tersebut.

2.2.8 Konsep Sistem Pariwisata

Dalam sistem pariwisata, ada banyak aktor yang berperan dalam

menggerakkan sistem. Secara umum, mereka dikelompokkan dalam tiga pilar

utama yaitu: masyarakat, swasta dan pemerintah (Pitana dan Gayatri, 2005).

Pada masyarakat, yang termasuk di dalamnya adalah masyarakat umum

yang ada pada destinasi, sebagai pemilik sah dari berbagai sumber daya yang

merupakan modal pariwisata seperti kebudayaan. Selain itu, terdapat kelompok

lain yang termasuk yaitu tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM dan media

masa. Selanjutnya dalam kelompok swasta adalah asosiasi usaha pariwisata dan

para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah adalah berbagai wilayah

25

Masyarakat adat,

tokoh, intelektual,

wartawan, LSM

Swasta

Perhotelan

BPW 1 Transportasi, saluran

perilaku konsumen

2 Keputusan membeli produk 3 Perencanaan

4 Pemantauan

Pemerintah

- Pusat

- Provinsi

- Kabupaten/kota

Pendukung, pemilik

modal pariwisata

Regulator

Fasilitator

Pelaku langsung

pelayanan wisata

administrasi, mulai dari pemerintah pusat, negara bagian, provinsi, kabupaten,

kecamatan, dan seterusnya (Pitana dan Gayatri, 2005)

Gambar 2.1

Sektor Pariwisata dalam Tiga Pilar Utama

Sumber: Pitana dan Gayatri, 2005

Selanjutnya Mill dan Morrison (1985) mengembangkan sistem pariwisata

model jaring laba-laba (spider’s web), terdapat empat komponen yang terkandung

didalamnya yaitu permintaan (demand), perjalanan (travel), pemasaran

(marketing) dan daerah tujuan wisata (destination) dimana masing-masing

komponen saling terkait satu sama lain.

Daerah tujuan wisata (destination) terdiri dari atraksi wisata dan pelayanan

dimana masing-masing bagian saling mempengaruhi untuk mewujudkan kepuasan

wisatawan. Karena kepuasan wisatawan akan mempengaruhi sistem penjualan

perjalanan serta terkait erat dengan aspek pemasaran. Subsistem tujuan wisata

memiliki tiga komponen. Pertama, kondisi fisik destinasi yang terkait dengan

26

iklim, keragaman atraksi baik yang alami maupun buatan. Kedua, berupa

komponen tipologi atraksi, fasilitas, infrastruktur, transportasi, dan hospitality.

Ketiga, desain dan pembangunan destinasi wisata (Mill dan Morrison, 1985).

Gambar 2.2

Sistem Pariwisata Model Mill & Morrison

Sumber: Mill & Morrison, 1985

Salah satu komponen yang penting dalam suatu destinasi wisata adalah

faslitas, infrastruktur dan transportasi yang baik. Pemenuhan komponen ini sangat

penting demi keberlangsungan industri pariwisata yang terus diminati oleh

wisatawan. Permasalahan seperti kemacetan lalu lintas adalah salah satu akibat

dari tidak terpenuhinya komponen tersebut dengan baik.

Dalam sistem pariwisata tersebut terdapat hubungan antara masyarakat

lokal dan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator. Dalam penelitian ini,

masyarkat lokal dan Pemerintah Kabupaten Gianyar melakukan tindakan yang

sinergis untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Dengan tindakan yang

dilakukan secara bersama-sama, maka pelaksanaan tugas diharapkan akan lebih

baik dan efisien.

Permintaan

(Demand)

Perjalananan

(travel)

Pemasaran

(Marketing)

DTW

(Destination)

27

2.2.9 Konsep Koordinasi

Menurut Handoko (2003) koordinasi merupakan suatu sistem dan proses

interaksi untuk mewujudkan keterpaduan, keserasian, dan kesederhanaan berbagai

kegiatan inter dan antar institusi-institusi di masyarakat melalui komunikasi dan

dialog-dialog antar berbagai individu. Sedangkan menurut Stoner dan Wankel

(1986) koordinasi adalah proses menyatupadukan tujuan-tujuan dan kegiatan-

kegiatan dari unit-unit (bagian-bagian atau bidang-bidang fungsional) suatu

organisasi yang terpisah untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi secara efisien.

Tanpa adanya koordinasi, individu-individu dan bagian-bagian tidak dapat

melihat peranan mereka dalam organisasi. Mereka akan mulai mengikuti

kepentingan-kepentingan khusus mereka sendiri, seiring dengan mengorbankan

sasaran-sasaran organisasi yang lebih luas.

Menurut pemaparan tersebut, maka dalam penelitian ini koordinasi

diperlukan oleh masyarakat lokal dan Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam

mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan baik dari masyarakat

lokal maupun pemerintah memerlukan kerjasama dan interaksi diantara keduanya,

agar dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai menghasilkan suatu tindakan yang tepat

pada sasaran yang telah ditentukan.

2.2.10 Konsep Interaksi Sosial

Menurut Soekanto (dalam Ali, 2004) interaksi sosial merupakan

hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, antara

individu dan kelompok, serta antar kelompok. interaksi sosial merupakan kunci

semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar

satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang

28

saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk

kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi.

Soekanto (dalam Ali, 2004) melanjutkan, interaksi sosial merupakan suatu

fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai

sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan

norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik

jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik.

Hubungan yang terjadi antar warga masyarakat berlangsung sepanjang

waktu. Rentang waktu yang panjang serta banyaknya warga yang terlibat dalam

hubungan antar warga melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial. Dengan

demikian interaksi sosial mempunyai dua bentuk, yakni interaksi sosial yang

mengarah pada bentuk penyatuan (proses asosiatif) dan mengarah pada bentuk

pemisahan (proses disosiatif).

Proses asosiatif merupakan proses menuju terbentuknya persatuan atau

integrasi sosial. Proses disosiatif sering juga disebut sebagai proses oposional

(oppositional process) yang berarti cara berjuang melawan seseorang atau

sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.

Interaksi sosial asosiatif adalah bentuk interaksi sosial yang menghasilkan

kerja sama. Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka

mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan

mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk

memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya

kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta

yang penting dalam kerja sama yang berguna (Soekanto dalam Ali, 2004).

29

Dalam penelitian ini, interaksi yang dilakukan oleh masyarakat lokal Ubud

dan Pemerintah Kabupaten Gianyar menghasilkan suatu kerja sama yang positif.

Hal ini menyebabkan timbulnya suatu persatuan dan kesadaran bahwa mereka

memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu mengatasi masalah kemacetan

lalu lintas. Kerja sama tersebut membentuk suatu integrasi sosial diantara

masyrakat lokal dan pemerintah, melalui komunikasi ataupun interaksi yang pada

akhirnya bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.2.11 Konsep Sinergi

Menurut Deardorff dan Williams (2006) sinergi adalah sebuah proses

dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan menghasilkan

pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan jumlah dari pengaruh mereka

secara individual. Sinergi bukanlah sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan

manusia tetapi suatu istilah yang berarti melipatgandakan pengaruh (multiplier

effect) yang memungkinkan energi pekerjaan atau jasa individu berlipatganda

secara eksponensial melalui usaha bersama. Sinergi kelompok dideskripsikan

sebagai tindakan yang berkembang dan mengalir dari kelompok orang yang

bekerja bersama secara sinkron satu sama lain sehingga mereka dapat bergerak

dan berfikir sebagai satu kesatuan.

Jika sub-sub sistem bekerjasama, maka hasil yang diperoleh akan lebih

efektif dibandingkan bekerja secara sendiri-sendiri. Sinergi sering dikaitkan

dengan gabungan dimana dua organisasi yang bersatu akan lebih efisien

dibandingkan dengan jika dua organisasi berjalan sendiri-sendiri, terutama pada

organisasi-organisasi yang mengelola produk.

30

Konsep sinergi pada prinsipnya bahwa, di dalam mencapai suatu tujuan,

usaha yang dilakukan secara tersistem dan bersama-sama hasilnya akan lebih

besar dibandingkan dengan secara sendiri-sendiri. Kegiatan bersama dari bagian

yang terpisah, tetapi saling berhubungan secara bersama-sama akan menghasilkan

efek total yang lebih besar dari pada jumlah bagian secara individu dan terpisah.

Dalam suatu organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerja

sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Kesuksesan suatu organisasi,

sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara

sinergis, jika seluruh anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain, dan

memahami juga dampak dari kinerja unit lainnya. Seringkali dalam organisasi

anggota hanya memahami apa yang dikerjakan dan tidak memahami dampak dari

pekerjaannya pada unit lainnya. Kerugian sering terjadi akibat ketidakmampuan

untuk bersinergi satu dengan lainnya, pemborosan biaya, tenaga dan waktu

(Deardoff dan Williams, 2006).

Dalam penelitian ini, masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di

Kelurahan Ubud tidak bisa diatasi dengan hanya mengandalkan salah satu pihak.

Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang besar dan berdampak pada

banyak segi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Apabila

masyarakat lokal dan pemerintah mampu bersama-sama untuk melakukan

tindakan yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut, hasil yang

didapat akan lebih baik dan efisien daripada dilakukan oleh salah satu pihak saja.

Masyarakat lokal dan pemerintah daerah perlu melakukan tindakan yang

sinergis melalui interaksi dan gabungan dengan berbagai pihak yang terkait.

Pemerintah daerah sebagai fasilitator dan regulator bekerja sama dengan

31

Kepolisian Sektor Ubud, Bendesa Desa Pakraman Ubud, Lurah Ubud, Forum

Komunikasi Desa Pakraman Kecamatan Ubud (FKDPU), dan Satuan Pecalang

Ubud serta masyarakat lokal itu sendiri.

2.3 Teori Analisis

2.3.1 Teori Integrasi Sosial

Integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan

satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi

sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai

tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun tantangan sosial yang terjadi

secara sosial budaya (Baton dalam Maryati, 2007).

Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang

saling berbeda yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga

menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat.

Menurut Cooly (dalam Maryati, 2007) agar integrasi dapat terbentuk dalam

kehidupan masyarakat, diperlukan kerjasama dalam suatu kepentingan atau tujuan

yang ingin dicapai oleh pihak-pihak terkait.

Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di

antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang

bersifat fundamental. Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat

sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation).

Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial

lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas (cross-cutting loyalities)

dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial (Baton dalam Maryati,

2007).

32

Dalam penelitian ini, integrasi sosial terjadi berbagai elemen dalam

masyarakat lokal Ubud, antara masyarakat lokal Ubud dengan Pemerintah

Kabupaten Gianyar, dan antara keduanya dengan pihak-pihak terkait yaitu

Kepolisian Sektor Ubud, Bendesa Desa Pakraman Ubud, Lurah Ubud, FKDPU,

dan Satuan Pecalang Ubud, dalam menangani masalah kemacetan lalu lintas di

Kelurahan Ubud.