bab ii ladasan teori a. dasar-dasar perencanaan pajakeprints.mercubuana-yogya.ac.id/2267/3/bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LADASAN TEORI
A. Dasar-Dasar Perencanaan Pajak
1. Manajemen Pajak
Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan
dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
Tujuan Manajemen Pajak dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar.
b. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
Tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi
manajemen yang terdiri dari:
1) Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Perencanaan Pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak
dimana pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap
peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tin dakan
penghematan pajak yang akan dilakukan.
10
Tujuan Perencanaan Pajak adalah merekayasa agar beban pajak
(Tax Burden) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada
tetapi berbeda dengan tujuan pembuatan Undang-undang maka tax
planning disini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat
ekonomis kedua-duanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan
setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang
laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun
diinvestasikan kembali.
Strategi Umum Perencanaan Pajak.
a. Tax Saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarifyang lebih rendah.Misalnya, perusahaan yang
memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta dapat melakukan
perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk
uang
b. Tax Avoidance
Tax Avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari
pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak.
Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah
11
tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena
natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal 21.
c. Tax Evasion
Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan
Dengan menguasai peraturan pajakyang berlaku, perusahaan dapat
menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa: Sanksi administrasi:
denda, bunga, atau kenaikan; Sanksi pidana: pidana atau kurungan.
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang
berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan
ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga
batas waktuyang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam
hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya
setelah bulan penyerahan barang.
Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan, Wajib Pajak sering
kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat
dikreditkan yang merupakan pajakdibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22
atas pembeliansolar dan/atau impor dan Fiskal Luar Negeri atas perjalanan
dinas pegawai.
2) Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implemetation)
12
Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor
yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka
langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal
maupun materiel. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban
perpajakannya telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan. Dan jika
dalam pelaksanaannya menyimpang dari peraturan yang berlaku maka
praktek tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak.
Untum mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu
dikuasai dan dilaksanakan yaitu antara lain :
a. Memahami ketentuan dan peraturan perpajakan dengan mempelajari
peraturan perpajakan seperti UU, PP, Keppres, KMK, SK, dan SE
DitJen Pajak, kita dapat mengetahui peluang-peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak.
b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat
Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam menyajikan
informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk LK dan
menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak (UU KUP
pasal 28).
13
3) Pengendalian Pajak (Tax Control)
Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa
kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun materil.
Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan
pembayaran pajak. Oleh sebab itu pengendalian dan pengaturan arus
kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya
pembayaran pajak dilakukan saat akhir tentu lebih menguntungkan
dibandingkan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk
pemeriksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari
jumlah pajak terutang.
2. Motivasi Dilakukan Perencanaan Pajak
Ada 3 unsur perpajakan yang memotivasi dilakukannya perencanaan
pajak yaitu :
a. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy)
Kebijaksanaan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai
sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai
aspek kebijaksanaan pajak ada faktor-faktor yang mendorong
dilakukannya perencanaan pajak yaitu :
14
1) Jenis Pajak yang akan dipungut
Ada berbagai tipe pajak yang harus menjadi pertimbangan
utama baik berupa pajak langsung maupun pajak tidak langsung serta
cukai seperti :
PPh Badan dan Orang Pribadi.
Pajak atas Capital Gain.
Withholding tax, gaji, upah, sewa, bunga, dan royalty.
Pajak atas ekspor, impor dan bea masuk.
Pajak atas undian/hadiah.Bea Materai.
Capital transfer taxes/transfer duties.
Lisensi usaha dan pajak perdagangan lainnya.
Adanya berbagai kewajiban jenis pajak yang harus dibayar
dimana masing-masing jenis pajak tersebut mempunyai sifat perlakuan
sendiri-sendiri misalnya Bea Masuk akan dianggap sebagai biaya yang
dapat dikurangkan dari PKP atau bisa dimintakan restitusi apabila kita
melakukan ekspor barang.
Sedangkan PPh adalah pajak atas laba atau penghasilan yang
dapat mengurangi besarnya penghasilan bersih setelah pajak. Maka
agar tidak menganggu atau tidak menderaskan cashflow perusahaan,
15
perlu adanya perencanaan pajak yang baik agar bisa menganalisis atas
transaksi apa, terkena pajak apa, dan perlu dana berapa sehingga
diketahui berapa penghasilan bersih setelah pajak.
2) Subjek Pajak
Indonesia mengadakan pemisahan antara Badan Usaha
dengan pribadi pemiliknya (pemegang saham), yang akan
menimbulkan pajak ganda. Adanya perbedaan perlakuan perpajakan
atas pembayaran dividen kepada pemegang saham dari Badan Usaha
dimana pemegang saham adalah orang pribadi atau perorangan dan
pemegang saham adalah berbentuk Badan Usaha (PT), maka disini
menimbulkan usaha untuk perencanaan pajak dengan baik agar
beban pajaknya rendah dan meringankan arus kas (cashflow)
perusahaan sehingga bisa dimanfaatkan untuk tujuan lain.
Disamping itu adanya pertimbangan untuk menunda pembayaran
deviden dengan cara meningkatkan jumlah laba yang ditahan, yang
bagi perusahaan juga akan menimbulkan penundaan pajak.
3) Objek Pajak
Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas obyek pajak
yang secara ekonomis hakekatnya sama akan menimbulkan usaha
16
perencanaan pajak, agar beban pajak rendah. Jadi karena objek pajak
merupakan basis perhitungan (tax bases) besarnya pajak, maka
dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan
merencanakan pajak yang tidak lebih dan tidak kurang.
a) Undang-undang Perpajakan (Tax Law)
Kita menyadari bahwa kenyataannya di manapun tidak ada
undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara
sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh
ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan DIrektur Jendral
Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut
bertentangan dengan Undang-undang itu sendiri karena disesuaikan
dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan
lain yang ingin dicapainya.
b) Administrasi Perpajakan (Tax Administration)
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak
adalah memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak itu ikut
mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan
dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara
17
menganalisis secara cermat dan memanfaatkan peluang atau
kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja
dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda
atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama (karena
pemerintah mempunyai tujuan lain tertentu) dengan memanfaatkan:
Perbedaan tarif pajak (Tax Rates).
Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan
pajak (Tax Base).
Loopholes, Shelters dan Havens.
Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak
Agar Tax Planning berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka
perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap
berikut :
Analisis informasi yang ada.
Buat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.
Evaluasi pelaksanaan rencana pajak.
Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak.
Mutakhirkan rencana pajak.
18
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah
berjalan, namun juga masih perlu mempertimbangkan setiap perubahan yang
terjadi baik undang-undang maupun pelaksanaannya di negara dimana aktivitas
tersebut dilakukan yang mungkin mempunyai dampak terhadap komponen dari
suatu perjanjian, yang berkenaan dengan perubahan yang terjadi di luar negeri
atas berbagai macam pajak maupun aktifitas informasi bisnis yang tersedia
sangat terbatas. Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang
perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan
memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun
situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat
yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu
mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
B. Implementasi Perencanaan Pajak
1. Tahapan dalam Membuat Peerencanaan Pajak
Agar perencanaan pajak (tax planning) dapat berhasil sesuai dengan
yang diharapkan, Suandy (2006) menjelaskan urutan tahap-
tahap yang seharusnya dilakukan :
a. Menganalisis informasi yang ada (analysis of the existing data base).
Dalam tahap pertama yaitu menganalisis informasi yang ada
(analysis of the existing data base), yang dapat dilakukan adalah
19
menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam
suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak (tax
burden) yang harus ditanggung. Untuk itu, ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan :
1) Fakta yang relevan
Dalam melakukan perencanaan pajak, seorang manajer dituntut
untuk benar-benar menguasai situasi yang dihadapi. Manajer harus
selalu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi baik dari
segi internal maupun dari eksternal perusahaan sehingga
perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat.
a) Faktor-faktor pajak, terdiri dari :
1) Tipe pajak yang ada
Dalam merencanakan pajak, manajer harus mengetahui secara
pasti kewajiban perpajakan apa saja yang berhubungan dengan
perusahaan, baik pajak lokal maupun pajak luar negeri.
2) Penafsiran atas undang-undang atau perjanjian
Menajer harus berhati-hari dalam menafsirkan atau
menentukan
definisi dari suatu perjanjian, karena perjanjian umumnya
20
merumuskan istilah-istilah tertentu namun tidak didefinisikan secara
khusus.
3) Faktor penghubung
Faktor-faktor penghubung yang memperngaruhi besarnya
beban pajak antara lain :
4) Bentuk badan dari pembayar pajak
Setiap negara mempunyai perlakuan sendiri-sendiri atas
kewajiban perpajakannya tergantung dari bentuk badan wajib
pajak. Masing-masing bentuk badan akan memperoleh
perlakukan yang berbeda mulai dari beban pajak, pengurangan
dan pembatasan yang diberikan maupun tarif pajak yang
diberlakukan.
5) Sumber penghasilan
Sumber penghasilan merupakan dasar pertimbangan apakah
wajib pajak akan dikenai pajak atau tidak. Terutama bagi
negara yang menganut system perpajakan schedular (schedular tax
system) dimana dalam sistem ini diatur apa saja yang dikenakan pajak,
21
siapa saja yang dikenai pajak, apa dasar pengenaan pajaknya, berapa
tarifnya, apa saja yang di kurangkan, dan lain sebagainya.
6) Sifat dari transaksi atau operasi
Dalam merencanakan pajak, manajer harus memperhatikan
setiap aspek perpajakan yang melekat dalam setiap transaksi yang
akan dilakukan, karena transaksi tertentu mungkin akan mendapatkan
perlakuan yang menguntungkan atau sebaliknya.
7) Hubungan antara pembayar dengan pihak lain.
Perlakuan pajak dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain
dengan siapa dan dalam bentuk apa kita berhubungan. Bahkan,
ada beberapa negara yang memberikan perlakukan khusus terhadap
perusahaan yang melaporkan keuntungan dan kerugiannya secara
terkonsolidasi dengan anak perusahaannya.
8) Insentif Pajak
Insentif pajak adalah salah satu fasilitas perpajakan yan
g diberikan kepada investor luar negeri untuk aktivitas tertentu atau
untuk suatu wilayah tertentu. Insentif ini diberikan guna
22
pembangunan ekonomi suatu negara khususnya negara
berkembang.
b) Faktor Non Pajak Lainnya
1) Masalah badan hukum (legal entity)
Pemilihan bentuk hukum dari badan usaha sering dibuat
sebagai fungsi dari seluruh peraturan (baik pajak maupun non
pajak) dengan tujuan administrasi pembentukan dan
pembubaran badan hukum yang bersangkutan.
2) Masalah mata uang dan nilai tukar
Masalah nilai tukar mata uang memberikan dampak yang besar
pada kondisi keuangan suatu perusahaan. Nilai tukar yang
berfluktiasi memberikan resiko usaha yang cukup tinggi, terutama
pada posisi laba rugi jika perusahaan mempunyai banyak transaksi
ekspor/impor atau penjaman dalam bentuk mata uang asing. Dalam
hal ini, manajer harus membuat suatu strategi yang baik seperti
mengatasi kerugian akibat fluktuasi nilai mata uang asing dengan
menggunakan forward market, SWAP maupun future market.
3) Masalah pengawasan devisa (exchange control)
23
Hal ini sangat mempengaruhi manajer dalam membuat
perencanaan pajak karena bagaimanapun pengaturan
pengawasan devisa berdampak pada transfer pembayaran,
misalnya pembayaran pinjaman dari residen ke bukan residen.
4) Masalah program insentif investasi
Pilihan insentif yang diberikan oleh pemerintah dapat merang
sang perusahaan untuk melakukan investasi ditempat tersebut.
5) Masalah faktor non pajak lainnya
Faktor-faktor seperti hukum dan sistem administrasi yang
berlaku, kestabilan ekonomi dan politik, tenaga kerja, pasar, tenaga
profesional, fasilitas perbankan, iklim usaha, bahasa, sistem
akuntansi, dan lain-lain juga harus dipertimbangkan oleh manajer
dalam menyusun perencanaan pajak.
b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak
(design of one or more possible tax plans).
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih
atas tindakan-tindakan berikut ini :
1) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasiona.
24
2) Pemeliharaan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau
menjadi residen dari negara tersebut.
3) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
c. Evaluasi atas perencanaan yang telah dilakukan adalah tahap untuk
membuat perencanaan pajak yang ketiga. Perencanaan pajak
merupakan bagian dari seluruh perencanaan strategik perusahaan.
Maka evaluasi sangat diperlukan untuk melihat sejauh mana
keberhasilan pelaksanaan suatu perencanaan pajak. Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut
Bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan.
Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan
baik.
Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan tetapi gagal
d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak
(debugging the tax plan).
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik
atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat.
Dengan demikian, keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak
25
harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Akan sangat
membantu jiika pembuatan suatu rencana disertai dengan gambaran
atau perkiraan berapa peluang kesuksesan dan berapa laba potensial
yang akan diperoleh jika berhasil maupun kerugian potensial jika terjadi
kegagalan.
e. Memutakhirkan Rencana Pajak
Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu
dilakukan sebagaimana sering dilakukan oleh masyarakat yang dinamis.
Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan
datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seseorang manajer akan
mampu mengurangi akibat yang akan merugikan dari adanya
perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil
kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
2. Strategi Umum Perencanaan Pajak
a. Tax Saving
Tax Saving merupayan upaya efisiensi beban pajak melalui
pemilihan alternatif pengunaan pajak dengan tarif yang lebih
rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan
pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam
26
bentuk uang. Salah satu caranya dengan memberikan tunjangan PPh
Pasal 21 dengan menggunakan metode Gross Up.
Metode ini merupakan metode pemotongan pajak oleh
perusahaan dengan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya
sama besar dengan jumlah pajak yang terutang. Metode Gross Up
dapat memberikan keadilan pada kedua belah pihak, karena bagi
perusahaan tunjangan pajak dapat diakui sebagai biaya, sedangkan
bagi pegawai bisa diakui sebagai penghasilan.
Perhitungan tunjangan pajak pada metode Gross Up
diformulasikan untuk menyamakan jumalah pajak yang akan
dipotong dengan tinjangan pajak yang diberikan perushaaan kepada
karyawan.
Rumus dari metode ini untuk menghitung besarnya tunjangan
PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
1) Lapisan 1 ( Rp0 - Rp 47.500.000 )
= ( PKP setahun - Rp0 ) x 5 + Rp0
95
2) Lapisan 2 ( Rp 47.500.000 – Rp 217.500.000 )
= ( PKP setahun – Rp 47.500.000 ) x 15 + Rp 2.500.000
85
27
3) Lapisan 3 (Rp 217.500.000 – Rp 405.000.000 )
= PKP setahun – Rp 217.500.000 ) x 25 + Rp 32.500.000
75
4) Lapisan 4 ( > Rp 405.000.000 )
= (PKP setahun – Rp 405.000.000 ) x 30 + Rp 95.000.000
70
Sumber : http://perpajakan-indo.bolgspot.co.id/2014/09/fgf.html?m=1
b. Tax Avoidance
Tax Avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan
menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan
merupakan onjek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih
mengalami kerugian, perlu merubah tunjangan karyawan dalam
bentuk uang menjadi bentuk pemberian natura karena natura
bukan merupakan objek PPh Pajak Pasal 21.
c. Menhindari pelanggaran atas Peraturan Perpajakan.
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan
dapat menghindari timbulnya sanks perpajakan berupa sanksi
administrai (denda, bunga, atau kenaikan ) dan sanksi pidana (
Pidana atau kurungan ).
28
d. Menunda Pembayaran Kewajiban Wajib Pajak.
Menunda pembayaran kewajiban wajib pajak tanpa melangar
peratura yag berlaku dapat dilakukan melalui penundaan
pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda
penerbitan faktur pajakkeluaran hingga batas waktu yang
diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal
ini, penjualan dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan.
Wajib pajak sering kurang memperoleh informasi tentang
pembayaran pajak yang dapat dikreditkan, yang merupakan
pajak dibayar dimuka. Misalnya PPh Pasal 22 atas impor, PPh
Pasal 23 atas penghasilan jasa atau sewa.
Setelah mengetahui dengan jelas tahapan-tahapan dalan
membuat perencanaan pajak, kita dapat secepatnya menyusun
strategi untuk mengefisienkan beban pajak tentunya yang sesuai dengan
kondisi perusahaan. Strategi tersebut menurut Suandy (2006) dan Zain
(2005) dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Memilih bentuk badan hukum yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan jenis usaha.
29
b. Memilih lokasi berdirinya perusahaan dimana lokasi tersebut
hendaknya mendapatkan insentif atau fasilitas perpajakan dari
pemerintah.
c. Mengambil keuntungan yang maksimal dari pengecualian,
potongan atau pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak yang
diperbolehkan oleh undang-undang.
d. Mengingat bahwa di Indonesia pembagian dividen antar corporate
(inter corporate dividend) tidak dikenaipajak, maka sebaiknya
perusahaan didirikan dalam satu jalur usaha (corporate company)
sehingga dapat menguntungkan masing-masing badan usaha.
e. Memisahkan profit center dan cost center didalam perusahaan.
f. Pemilihan metode pembukuan, cash basis atau accrual basis.
Penurunan PPh Pasal 25
a. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan kesejahteraan
karyawan. Karena Indonesia termasuk negara
yang cenderung sering
mengalami inflasi, maka metode penilaian persediaan yang
disarankan adalahmetode rata-rata (average). Metode ini akan
menghasilkan beban pokok penjualan (BPP) yang lebih tinggi
dibandingkan metode penilaian persediaan yang lain. BPP yang tinggi
30
akan menurunkan laba kotor sehingga penghasilan kena pajak juga ikut
mengecil.
b. Selain pembelian langsung, perusahaan dapat
mempertimbangkan untuk memperoleh aktiva tetap melalui sewa guna
usaha karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek
dari umur aktiva dan dapat dibiayakan seluruhnya, sehingga aktiva
tersebut dapat dibiayakan lebih cepat daripada melalui penyusutan
jika membeli secara langsung.
c. Memilih metode penyusutan dan amortisasi yang paling sesuai dan
menguntungkan bagi perusahaan.
d. Menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi
yang bukan objek pajak.
e. Mengoptimalkan jumlah kredit pajak yang diperbolehkan.
f. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan dengan withholding tax.
g. Memberikan tunjangan PPh pasal 21 kepada karyawan dengan cara
gross up.
h. Menunda pembayaran kewajiban pajak sampai dengan mendekati
tanggal jatuh tempo.
i. Menghindari pemeriksaan pajak.
Pemeriksaaan pajak biasa dilakukan terhadap wajib pajak yang :
1. SPT lebih bayar
31
a) Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara:
Mengajukan pengurangan pembayaran lumpsum (angsuran
masa) PPh pasal 25 ke KPP yang bersangkutan
jika pada tahun yang bersangkutan diperkirakan akan terjadi
kelebihan pembayaran pajak.
b) Mengajukan permohonan pembebasan pasal 22 impor jika
perusahaan melakukan impor.
2. SPT Rugi.
a. Tidak memasukkan atau terlambat memasukkan SPT.
b. Ada informasi pelanggaran.
c. Memenuhi kriteria yang ditetapkan Dirjen Pajak
C. Pajak Penghasilan
1. Definisi Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan biasa disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 21
adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau badan
hukum lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak
penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, kemudian
mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai Undang-Undang Nomor 7
& Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 & Tahun 1994, Undang-
32
Undang Nomor 17 & Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Nomor 36
& Tahun 2008.
Di Indonesia, awalnya pajak penghasilan diterapkan pada perusahaan
perkebunan-perkebunan yang banyak didirikan di Indonesia. Pajak tersebut
dinamakan dengan Pajak Perseroan (PPs). Pajak Perseroan adalah pajak
yang dikenakan terhadap laba perseroan dan diberlakukan pada tahun 1925.
Setelah pajak dikenakan hanya untuk perusahaan-perusahaan yang
didirikan di Indonesia, berangsur-angsur akhirnya diterapkan pula pajak
yang dikenakan untuk perorangan atau karyawan yang bekerja di suatu
perusahaan. Pada tahun 1932 misalnya, diberlakukan yang disebut dengan
Ordonasi Pajak Pendapatan. Ordonasi Pajak Pendapatan ini dikenakan
untuk orang Indonesia maupun orang yang bukan penduduk Indonesia
tetapi memiliki pendapatan di Indonesia. Setelah itu pada tahun 1935
diberlakukan Ordonasi Pajak Pajak Upah yang mengharuskan majikan
memotong gaji atau upah pegawai untuk membayar pajak atas gaji atau
upah yang diterima.
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Berikut dasar hukum pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu:
33
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
Dari berbagai jenis undang-undang yang mengatur tentang pajak yang
ada di Indonesia, UUD 1945 Pasal 23A merupakan induk sumber hukum dari
semua undang-undang yang ada. UUD 1945 Pasal 23 berisi tentang aturan
dalam hal keuangan negara yang meliputi penyusunan anggaran belanja, mata
uang negara, dan peraturan tentang perpajakan. Khusus perpajakan disusun
dalam pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dari isi pasal
tersebut jelas sekali jika pasal 23A merupakan sumber hukum utama dari
peraturan-peraturan yang menetapkan sistem dan tata cara seluruh perpajakan
yang berlaku di Indonesia.
Melihat pajak yang berlaku di Indonesia, tentu kita mengenal berbagai
jenis pajak yang umum sering kita bayar per tahunnya, seperti PBB (Pajak
Bumi dan Bangunan) dan PPh (Pajak Penghasilan). Secara hukum masing-
masing dari jenis pajak tersebut diatur terpisah berdasarkan undang-undang
yang berbeda, pemisahan aturan hukum disebabkan karena setiap pajak
memiliki ruang lingkup yang berbeda, sehingga membutuhkan penyesuaian
peraturan secara tepat. Setiap undang-undang yang dibuat untuk mengatur jenis
perpajakan tertentu pada dasarnya secara menyeluruh merupakan bentuk tindak
lanjut dari undang-undang dasar pasal 23A.
34
2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 didalamnya mengatur tentang
ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Sebelum terbentuknya undang-
undang ini, sebenarnya sudah terdapat undang-undang yang memiliki tujuan
dan aturan hukum yang sama yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
Hadirnya UU No.16 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983. Perubahan undang-undang ini didasari oleh beberapa hal
yang berkaitan dengan perbaikan dalam pelaksanaan undang-undang ini yaitu
lebih memberikan kesejajaran dalam keadilan dan meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat atau wajib pajak dan yang lebih penting adalah
menciptakan kepastian hukum yang lebih tegas.
Dalam UU No.16 Tahun 2000 menjelaskan beberapa informasi yang
bersifat umum, seperti siapa saja yang memiliki kewajiban perpajakan beserta
ruang lingkup yang meliputi keseluruhan tentang perpajakan pada umumnya.
Selain itu dalam undang-undang ini juga mengatur tentang fungi dan
mekanisme penggunaan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), faktor-faktor
tentang pengukuhan pengusaha kena pajak, fungsi dan tata cara dalam surat
pemberitahuan, dan tata cara pembayaran pajak secara prosedural yang benar.
35
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
Pada dasarnya undang-undang ini merupakan bentuk perubahan untuk
yang ketiga kali dari undang-undang sebelumnya. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 merupakan bentuk pertama dari undang-undang yang berlaku
mengenai beberapa peraturan tentang pajak penghasilan (PPh). Perubahan
kedua pada undang-undang ini terjadi pada tahun 1994, dimana beberapa pasal
mengalami perubahan isi dan ketentuan yang lebih relevan dengan
perkembangan kondisi negara. Beberapa jenis undang-undang lainnya banyak
yang mengalami perubahan saat itu, sehingga untuk mendukung perubahan
tersebut dibutuhkan penyesuaian pada undang-undang pajak penghasilan agar
secara keseluruhan isi mampu menguatkan dan memiliki keterikatan yang lebih
dengan undang-undang lainnya.
Undang-Undang No.17 Tahun 2000 didalamnya berisi tentang
penjelasan dan ketentuan yang berkaitan dengan keseluruhan ruang lingkup
pajak penghasilan. Undang-undang ini memiliki beberapa pasal didalamnya
yang menyebutkan perihal tentang siapa saja yang termasuk sebagai subjek
pajak penghasilan, penggolongan jenis-jenis pajak penghasilan, berbagai jenis
usaha yang diwajibkan membayar pajak, ketentuan tentang penyebutan objek
pajak penghasilan, perhitungan besarnya pajak penghasilan yang harus
dikeluarkan oleh wajib pajak, dan penghasilan tidak kena pajak.
36
4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan perubahan kedua
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, undang-undang ini merupakan
dasar peraturan tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak
Penjualan atas barang mewah. Jika melihat isi pembukaan dalam undang-
undang ini akan terlihat beberapa kepentingan terhadap pelaksanaan aturan
yang menjadi acuan dalam melakukan perubahan terhadap undang-undang
sebelumnya. Perubahan dalam undang-undang diwujudkan untuk
meningkatkan jaminan kepastian hukum dan meratanya tingkat keadilan, selain
itu perubahan yang terjadi bersifat mempermudah dalam penerapan sistem
perpajakan tanpa mengabaikan fungsi pengawasan pengamanan penerimaan
negara yang ditujukan untuk menggerakkan pembangunan nasional .
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 memuat beberapa
peraturan mengenai penjelasan tentang apa saja yang termasuk jenis barang dan
jasa kena pajak, kegiatan ekspor, impor dan perdagangan, subjek-subjek yang
kena pajak, ketentuan untuk melaporkan dan menyetor pajak yang terhutang,
perihal ketentuan objek pajak, dan ketentuan tentang pajak atas penjualan
barang mewah beserta ruang lingkup baik jenis maupun hingga perhitungan
didalamnya mulai dari aturan tarif minimum dan maksimum atas pajak barang
mewah.
37
5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 merupakan pengganti dari
undang-undang sebelumnya yang telah berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1997. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 didalamnya berisi
aturan dan prosedural tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Mengingat
sifat pajak adalah kewajiban yang harus dibayar, maka dalam penerapan harus
terdapat mekanisme pengawasan dan ketegasan terhadap ketidakpatuhan dalam
segala upaya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban tertanggung oleh
subjek pajak. Itulah salah satu alasan mengapa undang-undang ini mengalami
perubahan, selain dipengaruhi juga oleh faktor perubahan sistem hukum
nasional dan tatanan kehidupan masyarakat yang membutuhkan akan
meningkatnya kepastian hukum dan memberikan keadilan bersama.
6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 memuat tentang perubahan atas
peraturan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur tentang bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan. Dilihat dari isi yang ada dalam undang-undang ini meliputi
beberapa ketentuan mengenai pengertian umum tentang bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan, penjelasan tentang perolehan hak atas tanah dan bangunan
beserta maksud dari adanya hak atas tanah dan bangunan, surat ketetapan dan
38
surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, penjelasan tentang
objek pajak atas tanah dan bangunan, dan pemindahan serta pelepasan hak atas
tanah dan bangunan.
7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Merupakan undang-undang yang mengatur segala ketentuan yang
berkaitan tentang pengadilan pajak yang berlaku di Indonesia. Hal yang
menjadi dasar dan tujuan dari penetapan undang-undang ini adalah bahwa
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang
tujuannya menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, terselenggaranya pembangunan nasional yang merata
di seluruh Indonesia, belum adanya lembaga hukum yang bertindak sebagai
mediator dalam penyelesaian sengketa pajak, dan tujuan yang paling terpenting
adalah mampu menciptakan kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian
sengketa pajak. Dilihat dari isi undang-undang ini, didalamnya menjelaskan
tentang beberapa ketentuan umum mengenai susunan lembaga pajak, fungsi
dan prosedural dalam perpajakan, kedudukan pengadilan pajak, dan susunan
dari pengadilan pajak..
39
8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 merupakan
pengganti dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang sebelumnya telah
berlaku dalam perpajakan Indonesia. Undang-undang ini secara keseluruhan
mengatur pelaksanaan dan aturan tentang pajak bumi dan bangunan yang
berlaku di Indonesia. Pengubahan undang-undang ini ditujukan untuk lebih
meningkatnya peran pajak dalam pembangunan nasional khususnya dalam
kegiatan perekonomian, menjaga agar perkembangan ekonomi terus
terselenggara dan berjalan dengan baik sesuai dengan kebijakan pembangunan
yang berlaku, dan untuk meningkatkan kepastian hukum yang berkaitan dengan
sistem perpajakan yang terus berkembang. Perubahan undang-undang ini
memuat beberapa aturan mengenai objek pajak yang tidak termasuk dalam
hitungan pajak bumi dan bangunan serta ketentuan terhadap penetapan nilai
jual objek pajak beserta ruang lingkup yang terkandung dalam pajak bumi dan
bangunan.
3. Wajib Pajak dan Kewajibannya
a. Wajib Pajak
Pengertian Wajib Pajak adalah Orang Pribadi dan Badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
40
peraturan perundang-undangan perpajakan (Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 Tentang KUP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang PPh dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN
dan PPnBM serta peraturan pelaksanaannya). Wajib Pajak tersebut
terdiri dari :
1) Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari
Usaha.
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari
Pekerjaan Bebas.
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Mempunyai Penghasilan Dari
Pekerjaan.
2) Wajib Pajak Badan
Badan milik Pemerintah (BUMN dan BUMD).
Badan milik Swasta (PT, CV, Koperasi, Lembaga dan
Yayasan).
3) Wajib Pajak Bendahara sebagai pemungut dan pemotong pajak
Bendahara Pemerintah Pusat.
Bendahara Pemerintah Daerah.
b. Kewajiban Wajib Pajak setelah mempunyai NPWP
41
1) Wajib Pajak Wiraswasta/Usahawan yang punya penghasilan bruto
(omzet) dibawah 4,8 Milyar setahun.
Untuk wajib pajak wiraswasta atau usahawan dengan omzet
dibawah 4,8 milyar setahun yang mempunyai NPWP jangan lupa
menjalankan kewajiban pajaknya sebagai berikut :
Membayar pajak 1% dari penghasilan bruto (omzet) sesuai
dengan PP 46 setiap bulan. disetor ke bank atau kantor pos paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya. contohnya, pajak bulan
Januari dibayar paling lambat tanggal 15 bulan februari, pajak
bulan februari dibayar paling lambat tanggal 15 bulan Maret.
Begitu seterusnya
Lapor SPT Tahunan PPh OP (laporan pajak tahunan) dengan
menggunakan formulir 1770 setahun sekali. Laporan pajak
disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
contohnya, SPT Tahunan tahun 2016 dilapor paling lambat
tanggal 31 Maret tahun 2017
2) Wajib Pajak Wiraswasta/Usahawan yang punya penghasilan bruto
(omzet) diatas 4,8 Milyar setahun.
Untuk wajib pajak wiraswasta atau usahawan dengan omzet
diatas 4,8 milyar setahun yang punya NPWP jangan lupa
menjanlankan kewajiban pajaknya sebagai berikut :
42
Membayar angsuran pajak PPh Pasal 25 setiap bulan. disetor
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya ke bank atau kantor
pos. contohnya, angsuran pajak PPh pasal 25 bulan Januari
dibayar paling lambat tanggal 15 bulan Februari, pajak bulan
Februari dibayar paling lambat tanggal 15 bulan Maret. begitu
seterusnya.
Melapor SPT PPh Pasal 25 setiap bulan apabila statusnya NIHIL
(tidak ada pembayaran). Kalau statusnya Kurang Bayar (ada
pembayaran setiap bulan) maka tidak wajib melaporkan SPT
masa PPh Pasal 25 selama sudah memegang bukti setor yang
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN). Kalau penyetoran PPh Pasal 25 sudah divalidasi dengan
NTPN maka SPT PPh Pasal 25 dianggap sudah dilaporkan pada
saat itu juga. SPT masa PPh Pasal 25 dilapor setiap bulan paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Lapor SPT Masa PPN setiap bulan khusus untuk yang sudah
dikukuhan sebagai PKP. SPT masa PPN dilapor setiap bulan,
paling lambat akhir bulan berikutnya. misalnya SPT masa PPN
bulan Maret wajib dilaporkan paling lambat tanggal 31 April.
43
Lapor SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (laporan pajak tahunan
pribadi) dengan menggunakan formulir 1770. Dilapor setahun
sekali, paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
3) Wajib Pajak Karyawan Swasta, Pegawai Swasta, PNS, TNI, Polri,
Pensiunan, Pejabat Negara, dll
Orang pribadi yang bekerja sebagai karyawan, pegawai, PNS
memang tidak membayar pajak penghasilan atas gaji mereka secara
lansung. Pajak penghasilan pegawai, karyawan, maupun PNS
dipotong secara langsung dari gaji dan disetorkan oleh pemberi kerja
atau bendahara.
Walapun pajaknya dipotong dari gaji, Wajib Pajak pegawai
karyawan, dan PNS punya kewajiban melaporkan pajak atas
penghasilannya setahun sekali. karyawan swasta, pegawai dan PNS
tidak memiliki kewajiban pelaporan pajak bulanan. karyawan swasta,
pegawai, maupun PNS hanya melaporkan pajak tahunan.
Laporan pajak tahunan disampaikan paling lambat tanggal 31
Maret tahun berikutnya. misalnya, SPT Tahunan tahun pajak 2016 harus
dilapor paling lambat tanggal 31 Maret tahun 2017. SPT Tahunan untuk
pegawai, karyawan swasta maupun PNS menggunakan formulir ,
dengan ketentuan sebagai berikut :
44
Untuk karyawan, pegawai atau PNS yang mempunyai penghasilan
setahun diatas Rp 60 juta menggunakan formulir SPT Tahunan
1770 S.
o SPT Tahunan PPh Karyawan swasta atau pegawai swasta
yang menggunakan formulir 1770 S wajib melampirkan
bukti potong 1721-A1.
o SPT Tahunan PPh untuk PNS, TNI, Polri, Pejabat Negara
dan pensiunan yang menggunakan formulir 1770 S
wajib melampirkan bukti potong 1721-A2.
o Yang membuat bukti potong 1721 A1 adalah pemberi kerja,
sementara yang membuat bukti potong 1721-A2 adalah
bendahara.
Untuk karyawan, pegawai atau PNS yang mempunyai penghasilan
setahun dibawah Rp 60 juta menggunakan formulir SPT Tahunan
1770 SS. SPT Tahunan 1770 SS tidak wajib dilampirkan dengan
bukti potong 1721.
4) Badan Usaha – PT, CV, Koperasi, Yayasan, Lembaga
Wajib Pajak badan usaha ; Perusahaan, PT, CV, Koperasi,
Yayasan, dan lembaga yang punya NPWP jangan lupa kewajiban
pajaknya, yaitu sebagai berikut :
45
Lapor SPT Masa PPh Pasal 25 setiap bulan. Laporan pajak bulanan
SPT Masa PPh Pasal 25 harus dilaporkan paling lambat tanggal 20
bulang berikutnya. Kalau SPT masa PPh Pasal 25 NIHIL wajib
dilapor, sementara SPT masa PPh Pasal 25 Kurang Bayar (ada
pembayaran) tidak perlu dilapor selama sudah mempunyai slip
setoran pajak yang sudah divalidasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN). Kalau sudah mentapat validasi NTPN
maka SPT masa PPh Pasal 25 dianggap sudah dilaporkan pada saat
itu juga.
Lapor SPT Masa PPh Pasal 21 setiap bulannya. SPT Masa PPh pasal
21 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Menyetorkan pemotongan pajak pegawainya (PPh pasal 21) bila
terdapat pemotongan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Lapor SPT Masa PPN setiap bulannya, khusus untuk wajib pajak
yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). SPT
Masa PPN wajib dilaporkan setiap bulan, paling lambat dilapor
diakhir bulan bulan berikutnya.
Lapor SPT Tahunan Badan setahun sekali menggunakan fomulir SPT
1771 setahun sekali. SPT Tahunan badan 1771 paling lambat
dilaporkan tanggal 30 April tahun berikutnya.
46
D. Jenis-Jenis Pajak Penghasilan
1. Pajak Penghasilan Pasal 21
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut,
dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan
penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan
komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan
lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun. Di kesempatan ini
akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai
Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau
bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang
dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai
berhenti bekerja).
a. Pemotong PPh Pasal 21
1) Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
2) Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah.
3) Dana pensiun atau badan lain seperti jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) dan badan-badan lainnya.
47
4) Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
serta badan yang membayar honorarium ataupembayaran lain
kepada jasa tenaga ahli, orang pribadi dengan status subjek pajak
luar negeri, peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
5) Penyelenggaraan kegiatan, termasuk badan pemerintah organisasi
yang bersifat dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yeng menyelenggarakan kegiatan.
b. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1) Pegawai.
2) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termauk ahli warisnya.
3) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
c. Penerima pPenghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21.
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultant atau pejabat lain dari
negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
1) Bukan Warga Negara Indonesia.
2) Di Indonesia tida menerima atau memperoleh penghasilan lain
diluar jabatan atau pejerjaan tersebut serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.
48
3) Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh
Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan Warga Negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia.
d. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21
1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik
berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara
teratur berupa uang pensiun atau sejenisnya.
3) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.
4) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah
yang dibayarkan secara bulanan.
5) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan.
6) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan
dengan nama apapun.
49
e. Tidak termasuk Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1) Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2) Penerimaan dalam bentuk natuna atau kenikmatan dalam bentuk
apapunyang diberikan oleh Wajib oajak atau Pemerintah, kecuali
diberikan oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang
bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan norma
perhitungan khusus (deemed profit).
3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun pendirinya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua kepada badan penyelenggaraan tunjangan hari
tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
dibayar oleh pemberi kerja.
4) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
5) Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari
Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan
formal/informal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
50
f. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 adalah sebagai berikut :
1) Rp 24.300.000 untuk Wajib Pajak orang pribadi.
2) Rp 2.025.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang Kawin.
3) Rp 24.300.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami.
4) Rp 2.025.000 tambahan untuk keluarga sedarah, perhitungan anak
paling banyak 3, jika lebih tetap dihitung 3 anak untuk setiap
keluarga.
g. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008
Pasal 17 Tarif Penghasilan Orang Pribadi adalah sebagai berikut :
51
Tabel 2.1
Tarif Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Lapisan Penghasilan Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000 5 %
Diatas Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 15 %
Diatas Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 25 %
Diatas Rp 500.000.000 30 %
Sumber : UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
Bagi Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikenai pemotongan
PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih
tinggi dari tarif normal.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
a. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 22
Mardiasmo (2011 : 246) mengemukakan bahwa Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh :
1) Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang.
52
2) Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun badan swasta
berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau dibidang lain.
3) Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
b. Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
1) Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC), atas
barang impor.
2) Direktorat Jendral Perbendaharaan (DJPb). Bendaharawan
Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran
atas penyerahan barang.
3) BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana
yang bersumber dari APBN atau APBD, kecuali badan-badan
tersebut pada angka 4.
4) Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan
Urusan Logistik (BULOG), PT Telkom, PT PLN, PT Garuda
Indonesia, Pt Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank
BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber
baik dari APBN maupun non APBN.
5) Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri
rokok, industri kertas, industri baja dan indutri otomotif, yang
53
ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas penjualan hasil
produksinya dalam negeri.
6) Produsan atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas.
7) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Dirjen
Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau
ekspor mereka dari pedagang pengepul.
8) WP Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
c. Tarif PPh Pasal 22
1) Atas impor :
a) Yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% dari
nilai impor.
b) Yang tidak menggunakan API, 7,5% dari nilai impor.
c) Yang tidak dikuasai, 7,5% dari harga jual lelang.
2) Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DPJb, Bendahara
Pemerintah, BUMN/BUMD sebesar 1,5% dari harga pembelian
tidak termasuk PPN dan tidak final.
3) Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen
atau importer bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai
berikut :
54
a) Bahan bakar minyak sebesar :
i. 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada SPBU Pertamina.
ii. 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada SPBU Pertamina dan non SPBU.
b) Bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk
PPN.
c) Pelumas sebesar 0,3 dari penjualan tidak termasuk PPN.
5) Atas penjualan bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor
oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikananyang ditunjuk
sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul sebesar
0,25% dari harga pembelian yang tidak termasuk PPN.
d. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak terutang PPh,
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2) Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan PPN,
dilaksanakan oleh DJBC.
3) Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan
untuk di ekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
55
4) Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang
lainnya , jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000.000 dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5) Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum,benda-benda pos.
6) Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang
perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7) Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
8) Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-
barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,pengerjaan
dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Dirjen
Bea dan Cukai.
9) Pembayaran untuk pembelian gabah dan beras oleh Bulog.
3. Pajak Penghasilan Pasal 23
a. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang
dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang
oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
56
kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya.
b. Pemotong PPh Pasal 23
1) Badan pemerintah.
2) Subjek pajak badan dalam negeri.
3) Penyelenggaraan kegiatan.
4) Bentuk usaha tetap (BUT).
5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6) Wajub Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh
Direktur Jendral Pajak.
c. Penerimaan Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1) Wajib Pajak dalam negeri.
2) Bentuk usaha tetap (BUT).
d. Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1) 15% dari jumah bruto atas :
a) Deviden kecuali pembagian deviden kepada orang pribadi
dikenakan final, bunga, royalty.
b) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal
21.
2) 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan bangunan.
57
3) 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan.
4) 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya.
5) Untuk yang tidak non NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23.
Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk :
a) Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh
Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.
b) Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material.
c) Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk
selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga.
d) Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh
pihak kedua kepada pihak ketiga.
58
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku :
1) Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa
catering.
2) Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa,
telah dikenakan pajak yang bersifat final.
e. Pengecualian Pemotongan PPh Pasal 23
1) penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2) Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi.
3) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
b) Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai
usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
4) bagian labayang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi.
59
5) Sisa hasil usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
6) Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
4. Pajak Penghasilan Pasal 25
Menurut Undang-Undang PPh Nomor 36 tahun 2008 Pasal 2,
ketentuan angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan antara lain sebagai
berikut :
a. Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Standar Pemberitahuan
tahunan (SPT) Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan :
1) Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dalam Pasal 21 dan
Pasal 23
2) Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22
3) Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diagi 12
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
60
b. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk
bulan-bulan sebelum SPT Pajak Penghasilan disampaikan sebelum
batas waktu penyampaian SPT Pajak Penghasilan sama dengan
besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
c. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
d. Dirjen Pajak berwenang untuk menetapkan perhitungan besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu,
sebagai berikut :
1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
3) SPT Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat
batas waktu yang ditentukan.
4) Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian
SPT Pajak Penghasilan.
5) WP membetulkan sendiri SPT Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan
sebelum pembetulan.
6) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
61
e. Menteri Keuangan menetapkan perhitungan besarnya angsuran pajak
bagi :
1) Wajib Pajak baru.
2) Bank, BUMN, BUMD, WP masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan harus
membuat laporan keuangan berkala.
3) WP orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi
0,75% daro peredaran bruto.
5. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
Berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 tahun 2008, Pajak
Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 adalah pajak atas pengasilan berupa bunga
deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham
dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta
berupa tanah atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajak yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
a. Pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2
1) Koperasi
2) Penyelenggara kegiatan
3) Otoritas bursa
4) Bendaharawan
62
b. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 4 Ayat 2
1) Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2) Penerima hadian undian.
3) Penjual saham dan sekuritas lainnya.
4) Pemilik properti berupa tanah dan atau bangunan.
c. Tarif Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 Ayat 2
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dikenakan tarif 20%.
Pengecualian :
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi RP.
7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah.
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang
didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan,
sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan yang
sebagaimana dimakssud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kapling siap
63
bnagun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana atau rumah
susun sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.
Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2 tidak
dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omsset
penghasilan yang telah dipotong PPh Final.
6. Riset Sebelumnya
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh INDAH YULIA
PUSPITASARI (B12.2009.01454) dengan judul “PENERAPAN TAX
PLANNING ATAS PAJAK PENGHASILAN (PPh) BADAN (STUDI
KASUS PADA CV.SCRONICA SARI).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ole penulis pada
CV.SCRONICA SARI maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Tax Planning yang dipakai dalam penelitian ini difokuskan pada:
a. Tunjangan Kesehatan Kepada Karyawan.
b. Memberikan Bonus Gaji Kepada Karyawan
c. Biaya Perawatan Kendaraan
2) CV Sronica Sari adalah perusahaan jasa catering yang termaju di
daerah Mangkang.
3) CV Scronica Sari hanya melakukan kegiatan pembukuan dengan
menyajikan laporan Laba/Rugi untuk pemasukan dan pengeluaran
kas untuk pembiayaan kegiatan operasional.
64
4) CV Scronica Sari belum memiliki karyawan khusus untuk
menangani pajak. Jadi secara langsung tidak melakukan kegiatan
tax planning.
5) Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan CV Scronica Sari adalah
Wajib Pajak yang taat. Hal ini terlihat dari tidak adanya sanksi
ataupun denda dari pihak perpajakan kepada CV Scronica Sari.
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DEBORA NOVAYANTI
(1006811406.FE UI 2012) dengan judul “ ANALISIS PENERAPAN
PERENCANAAN PAJAK PPh 21 SEBAGAI UPAYA
MENGOPTIMALKAN PAJAK PENGHASILAN (STUDI KASUS
PT.A)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ole penulis pada
PT.A maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan terbagi menjadi 2
cara, yaitu :
a. Pemberian Tunjangan Tunai
Pemberian tunjangan kesehatan secara tunai pada
karyawan. Tunjangan kesehatan yang diberikan akan
menambah penghasilan karyawan, tunjangan tersebut
boleh dibebankanoleh perusahaan.
65
Memberi tunjangan makan dalam bentuk tunai pada
karyawan. Tunjangan makan tersebut dibayarkan perbulan
oleh perusahaan. Tunjangan makan yang diberikan kepada
karyawan dapat dijadikan beban oleh perusahaan.
Memberikan tunjangan transportasi pada karyawan dalam
bentuk tunai. Tunjangan transportasi yang diberikan
kepada karyawan dapat dijadikan beban oleh perusahaan.
b. Pemberian Natura
Pemberian natuna atau kenikmatan yang diberikan
oleh perusahaan adalah dalam bentuk pemberian voucher
pulsa telepon yang digunakan untuk kebutuhan karyawan.
Natura dalam bentuk voucher telepon dapat dibebankan
sebesar 50%.
2) Selisih yang terjadi setelah menerapkan perencanaan pajak
merupakan penghematan pajak yang diperoleh oleh perusahaan.
Dimana sebelum penerapan perencanaan pajak, pajak penghasilan
yag harus dibayar perusahaan Rp.426.355.441 dan setelah
melakukan perencanaan pajak menjadi Rp. 307.561.567. Sehingga
diperoleh penghematan pajak sebesar Rp. 118.793.874 selisih
tersebut dapat digunakan perusahaan untuk hal yang lebih berguna
dan bermanfaat.
66
3) Semua perencanaan pajak yang ditetapkan oleh PT.A sudah sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ENI RAMAYANTI BR
JAWAK (070522081.2009) Universita Sumatra Utara dengan judul
“PENERAPAN TAX PLANNING ATAS PAJAK BADAN PADA PT.
AGRIN PUTRA CITRA OPTIMA CABANG MEDAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ole penulis pada PT.
AGRICON PUTRA CITRA OPTIMA CABANG MEDAN maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. PT Agricon Putra Citra Optima adalah perusahaan jasa yang
sudah tersebar di 6 kota besar di Indonesia termasuk kota Medan.
b. PT Agricon Putra Citra Optima sebagai cabang perusahaan hanya
melakukan kegiatan pembukuan dengan menyajikan laporan
Laba/Rugi untuk pemasukan dan pengeluaran kas untuk
pembiayaan kegiatan operasional cabang Medan. Selebihnya
ditangani langsung oleh perusahaan pusat yang berkedudukan di
Bogor.
c. Kegiatan pembukuan dilaksanakan berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku umum Kegiatan pembuatan
laporan keuangan dilakukan oleh Branch Manager yang dibantu
oleh Finance Branch Administrator.
67
d. PT Agricon Putra Citra Optimamelakukan revaluasi terhadap
aktiva tetap.
e. Efisiensi terhadap Pajak Penghasilan Badan yang terutang dapat
dilakukan dengan cara :
Pemanfaatan pengembangan dan pendidikan SDM (Sumber
Daya Manusia).
Diadakan pos khusus untuk tunjangan pensiun.
Diadakan revaluasi atas aktiva.
f. Dalam pemenuhan kewajban perpajakan PT Agricon Putra Citra
Optima adalah Wajib Pajak yang taat. Hal ini terlihat dari tidak
adanya sanksi ataupun denda dari pihak perpajakan kepada PT
Agricon Putra Citra Optima.
4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ROY CHANDRA
SIHOTANG, UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG 2017 dengan
judul “ANALISIS PENERAPAN PENERAPAN PERENCANAAN
PAJAK (TAX PLANNING) PPH PASAL 21 DALAM UPAYA
EFISIENSI BEBAN PAJAK PENGHASILAN BADAN USAHA
(Studi Kasus Pada PT.XYZ)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ole penulis pada PT.
XYZ maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
68
a. Tax Planning mampu megefisiensikan beban pajak penghasilan
badan pada PT.XYZ. Hal ini terlihat dari adanya penghematan
yang timbul tiap tahun dilakukan tax planning. Besarnya
penghematan pajak yang didapat perusahaan tahun 2013 sebesar
Rp. 10.541.000, tahun 2014 sebesar Rp. 21.355.750 dan tahun
2015 sebesar Rp. 24.474.000.
b. Berdasarkan uji beda yang dilakukan atas penerapan tax planning
pada tahun buku 2013 sampai dengan tahun buku 2015 besarnya
penghematan pajak/efisiensi yang didapat perusahaan adalah
signifikan dimana probabilitas yang dihasilkan sebesar 0,047 lebih
kecil dari tingkat signifikan sebesar 0,05.
c. Komponen dalam laporan keuangan PT.XYZ digunakan
untukmenghemat pajak penghasilan adalah pemaksimalan elemen
beban gaji yang berhubungan dengan PPh Pasal 21 dengan memilih
metode gross-up dalam menghitung besaran PPh Pasal 21 terutang
yang menimbulkan akun tunjangan PPh Pasal 21 dalam laporan
keuangan perusahaan yang secara fiskal dapat diakui sebagai
pebgurang penghasilan. Selanjutnya memaksimalkan deductible
expense dimana laporan keuangan perusahaan terdapat pada akun
beban entertaiment yang dikoreksi fiskal karena tidak adanya
daftar nominatif penerima entertaiment.
69
Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat
mereklasifikasi biaya tersebut kedalam pemberian honor atau
imbalan kepada pihak ketiga. Perhitugan pajak dilakukan dengan
cara gross-up sehingga penghematan pajaknya dapat dilakukan
secara optimal.
5. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RESTU MUTMAINNAH
MARJAN (A31110115) UNIVERSITAS HASANUDIN MAKASAR
2014 dengan judul “PENGARUH KESADARAN WAJIB PAJAK,
PELAYANAN FISKUS, DAN SANKSI PAJAK TERHADAP
KEPATUHAN FORMAL WAJIB PAJAK (Studi di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Makassar Selatan)
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan ole
penulis yaitu mengenai pengaruh kesadaran wajib pajak, pelayanan
fiskus, dan saksi pajak terhadap kepatuhan formal wajib pajak orang
pribadi maka dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut :
a. Kesadaran Wajibb Pajak berpengaruh positif dan sigifikan
terhadap kepatuhan formal wajib pajak. Hal ini menunjukkan
bahwa makin tinggi kesadaran wajib pajak, maka kepatuhan formal
wajib pajak pun akan tinggi.
b. Sanksi Pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepatuhan formal wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa makin
70
tinggi sanksi wajib pajak, maka kepatuhan formal wajib pajak pun
akan tinggi.
c. Kemampuan perusahaan regresi ini untuk menjelaskan besarnya
variasi yang terjadi dalam variabel terkait adalah sebesar 54,8%,
sementara 45,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dipergunakan dalam persamaan regresi ini.