bab ii (kulit) sip
DESCRIPTION
fixTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka bakar merupakan salah satu trauma yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari bahkan sering kali merupakan kecelakaan massal
(mass disaseter) luka bakar tergolong kasus epidemik yang serius dalam
tahun-tahun belakangan ini. Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenajat,2001). Penanganan dan perawatan
luka bakar sampai saat ini masih merupakan problem yang berat dan masih
merupakan tantangan bagi kita, karena sampai saat ini angka morbiditas dan
mortalitas yang masih tinggi. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan
memerlukan ketentuan serta biaya yang mahal, tenaga terlatih dan terampil.
Di Amerika dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya
dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu kematian/tahun. Di indonesia sampai
saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan
jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit Luka bakar RSU Dr.
Soetomo surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari
2000 sampai Desember 2000) sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh
penderita bedah plastik yang dirawat yaitu sebanyak 219, jumlah kematian
akibat luka bakar sebanyak 28 penderita atau sekitar 26,41% dari seluruh
penderita luka bakar yang dirawat, kematian umumnya terjadi pada luka
bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera
pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan (Noer,
2006).
Luka bakar disebabkan oleh kontak dengan sumber panas seperti api, air
panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi (Smeltzer, Suzanna, 2002). Pada
situasi tertentu (misalnya kebakaran rumah, ledakan mobilatau seperti
timbulnya awan paas gunung Merapi) akan mengakibatkan pasien tidak
hanya mengalami luka bakar, tetapi juga menghirup udara panas dan atau
keracunan karbon monoksida (CO).Kondisi yang demikian akan
1
mengakibatkan pasien mengalami gangguan pada saluran pernapasan yang
dapat menjadi penyebab kegagalan pernapasan sehingga menimbulkan
kematian.
Oleh sebab itu, pasien luka bakar memerlukan penanganan yang serius
dimana dalam hal ini peran perawat sangat penting dalam memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif. Selain itu, diperlukan kerjasama
dengan tim medis yang lainnya seperti dokter, fisioterapis, ahli gizi dan
bahkan psikiater.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kulit?
2. Bagaimana definisi, etiologi, dan klasifikasi pada pasien dengan kasus
Luka Bakar?
3. Bagaimana pathofisiologi dan WOC pada pasien dengan kasus Luka
Bakar?
4. Bagaimana manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan
terapi , serta komplikasi pada pasien dengan kasus Luka Bakar?
5. Bagaimana Asuhan Keperawatan yang didapatkan pada pasien dengan
kasus Luka Bakar?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi dari kulit.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, dan klasifikasi pada
pasien dengan kasus Luka Bakar.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pathofisiologi dan WOC pada pasien
dengan kasus Luka Bakar.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan terapi, serta komplikasi pada pasien dengan
kasus Luka Bakar.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Asuhan Keperawatan yang didapatkan
pada pasien dengan kasus Luka Bakar.
.
2
BAB II
TINJAUAN MEDIS
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit
Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia, 15% dari berat badan
(BB) dewasa adalah kulit. Kulit menerima 1/3 volume sirkulasi darah tubuh
dengan ketebalan bervariasi antara 0,5- mm. Fungsi utama kulit adalah
sebagai pelindung. Satu inci (2,5 cm) kulit terdiri atas 650 kelenjar keringat,
20 pembuluh darah, 60.000 melanosit, dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit
memiliki aksesoris (bagian pelengkap) seperti rambut, kuku, dan kelenjar
keringat/sebasea. Klein (1998)menjabarkan bahwa satu meter persegi kulit
terdiri atas 15 kelejar sebasea, hampir 1 meter panjang pembuluh darah, 100
meter kelenjar keringat, 3.000 sel sensori di ujung atau akhir serabut saraf,
hamper 4 meter saraf, 25 aparatus tekanan untuk mencatat rangsangan
sentuhan, 200 ujung saraf untuk mencatat rangsangan nyeri, 2 aparatus
sensori untuk dingin, 12 aparatus sensori untuk panas, 300.00 sel epidermal,
dan 10 rambut.
1. Epidermis
Epidermis adalah lapisan paling luar dan paling tipis dari kulit.
Epidermis tidak memiliki pembuluh darah dan sistem persarafan. Fungsi
epidermis adalah sebagai sistem imun yang pertama dari tubuh manusia
3
atau dikenal dengan istilah First Skin Immune System (SIS). Sel utama
epidermis merupakan sel spitel skuamosa berjenjang (keratinosit). Antara
epidermis dan dermis ada lapisan tipis yang membatasi dan disebut
Basement Membrane Zone (BMZ).
Epidermis merupakan variasi ketebalan antara 0,4-0,6 mm dan
memiliki 5 stratum/jenjang. Lokasi epidermis yang paling tebal terletak di
telapak kaki dan telapak tangan. Menurut Van De Graff dan Fox (1986),
epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan kulit paling luar atas), yaitu
stratum korneum, stratum lusidum, stratum grabulosum, stratum spinosum,
dan lapisan yang menempel pada dermis adalah stratum basale atau
germinativum. Berikut ini adalah gambaran setiap lapisan dari lapisan
paling bawah.
a. Stratum germinativum atau disebut juga stratum basale adalah lapisan
paling dalam dari epidesmis yang berlokasi dekat dermis. Sel ini
merupakan sel hidup berinti karena mendapatkan disfungsi oksigen dan
nutrisi dari dermis. Stratum germinativum merupakan sel yang mulai
melakukan pembelahan sel (mitosis) pada proses regenerasi sel
keratinosit epidermis (kornifikasi/deskuamasi).
b. Stratum spinosum adalah lapisan setelah germinativum dan memiliki
inti sel keratinosit besar. Lapisan ini merupakan hasil pembelahan sel
yang berkaitan dan melakukan migrasi sel ke arah atas.
c. Stratum granulosum mengandung sel granular (granular lamelar) dan
keratin. Pasa lapisan ini, sel berinti mulai mati dan terus terdorong ke
atas.
d. Stratum lusidum hanya ditemukan di telapak tangan dan telapak kaki.
Pada lapisan ini, terdapat sel mati yang tidak memiliki inti.
e. Stratum korneum adalah lapisan paling atas dari epidermis yang
merupakan sel keratin mati, tipis, tidak berinti, dan berfungsi sebagai
waterproof (anti-air).
Epidermis memiliki empat sel utama, yaitu sel keratinosit, sel
langerhans, sel merkel, dan sel melanosit. 90% sel yang ada di epidermis
adalah sel keratinosit. Sel Langerhans ada bebrapa di antara sel keratinosit
4
yang terletak di stratum spinosum dan berfungsi sebagai sistem imun
pertama dari tubuh dengan mengenali limfosit T. sel Merkel berada di
antara stratum balase yang berfungsi sebagai rangsangan sentuhan.
Melanosit berada di antara stratum spinosium yang berfungsi sebagai
pemberi warna dan proteksi dari ultravio;et (UV) pada kulit.
Sel epitel yaitu sel keratinosit pada epidermis melakukan proses
regenerasi sel (pengantian sel) yang dikenal dengan proses kornifikasi atau
keratinisasi atau deskuamasi. Kegiatan ini berlangsung selama 4-6 minggu.
Proses kornifikasi ata keratinisasi terjadi di stratum basale, sel keratinosit
bermitosis, hingga ke atas stratum korneum. Hal ini biasanya dapat dilihat
pada kondisi kulit yang kering setia dua bulan (45-75 hari). Perlindungan
tubuh yang utama pada epidermis dilakukan oleh stratum korneum, yaitu
dengan mempertahankan air dalam tubuh dan mempertanhankan benda
asing tetap di luar tubuh.
2. Dermis
Dermis adalah lapisan kedua dari kulit yang merupakan jaringan ikat
(connective tissue), memiliki banyak pembuluh darah, dan dikenal sebagai
“pabriknya kulit” karena memiliki sistem persarafan dan kelenjar tubuh.
Epidermis dan dermis dipisahkan oleh lapisan tipis yang disebut BMZ atau
Dermal Epidermis Junction (DEJ). Lapisan ini mengalami gangguan saat
kejadian bula (blister) (Sams, 1990).
Dermis terdiri dari jaringan ikat, protein kolagen dan elastin, fibroblas,
sistem imun (makrofag, sel mast, limfosit), dan sistem saraf (korpuskel
Messner, korpuskel, pacini, ujung saraf tepi). Dermis memiliki dua lapisan
utama, yaitu papolare dan retikulare, dengan tebal papilare atau berlima
dari retikulare (merekat pada hypodermis).
a. Papilare berfungsi sebagai penguat dari epidermis dalam satu ikatan
membrane. Flexus pembuluh darah dari papilare membersihkan asupan
nutrisi dan oksigen ke epidermis melalui BMZ yang disebut papillary
loops/flexus.
b. Retikulare memiliki pembuluh darah perifer yang banyak berikatan
yang disebut cutaneous fluxes. Kolagen disekresi oleh fibroblast dan
5
berfungsi sebagai protein pemberi kekuatan dan fleksibilitas (tensile
and strength). Elastisitas disekresi oleh fibroblast dan berfungsi sebagai
protein untuk elastisitas/pengembalian (elastic recoil). Sel mast berada
di dermis dan granulanya mengandung heparin, protease, dan
histamine. Dermis memiliki beberapa reseptor sensori. Aksesoris kulit
terdapat di dermis seperti akar rambut, kelenjar ekrin, apokrin, dan
sebase. Dermis memiliki ketebalan hingga 0,5 mm (Bryant, 1987).
Referensi lain mengatakan bahwa ketebalan dermis 2-4 mm yang
bergantung pada lokasinya. Jika di daerah punggung, dermisnya lebih
tebal dan dermis yang paling tipis ada di daerah kepala.
Kolagen adalah protein untama dari dermis yang disekresi oleh
fibroblast sebagai tropokolagen. Kolagen adalah protein yang berfungsi
sebagai penguat (kontraksi/tensil) kulit. Dermis noramal yang utama pada
manusia mengandung kolagen tipe I sebanyak 77-85% dan tipe III 15-22%
(Gay &Miller, 1978). Kolagen tipe V dan VI juga ditemukan dalam
jumlah kecil. Protein kolagen terdiri atas prolin, glisin, dan hidroksilisin.
Elastin adalah protein lain yang ditemukan di dermis yang berfungsi
sebagai pemberi elastisitas kulit. Elastisin serat protein seperti kolagen dan
kandungan utamanya adalah prolin dan glisin. Protein kolagen dan elastin
serta protein lainnya yang ada disebut ground substance. Sebagai SIS
kedua, dermis memiliki makrofag, sel mast, dan limfosit; dan sebagi pusat
sensasi, dermis memiliki korpuskel Pacini, korpuskel Meissner, dan ujung
saraf tepi.
3. Hypodermis
Hypodermis atau lapisan subkutan adalah lapisan paling tebal dari kulit,
terdiri atas jaringan lemak (paling besar), jaringan ikat, dan pembuluh
darah. Hypodermis memiliki fungsi sebagai penyimpan lemak, control
temperature, dan penyangga organ di sekitarnya. Pada setiap bagian, tubuh
memiliki ketebalan epidermis, dermis, dan hypodermis yang berbeda
bergantung pada lokasinya. Misalnya, di kepala, dermis tipis, namun di
paha, tangan dan kaki, dermis tebal; di telapak kaki dan tangan, epidermis
6
tebal, namun di wajah dan daerah kemaluan, epidermis tipis. Hypodermis
tebal pada gluteus, abdomen, dan mammae.
4. Rambut
Salah satu aksesoris atau adneksa klit adalah rambut. Rambut
merupakan bentuk pili dan keluar epidermis sebagai yang mati. Rambut
juga merupakan sel keratinosit yang menjaga kesatuan protein
ekstraselular. Batang rambut (shaft) berada di bagian superficial dan akar
rambut (papilla) berada dalam kulit (dermis) yang dikelilingi folikel
rambut. Rambut memiliki bulbus (bulb) yang merupakan sel epitel yang
menjadi rangsang saraf jika rambut bergerak.
Otot arektor pili berperan dalam menahan rambut yang bergerak.
Kelenjar sebasea berada di sekitar rambut yang berfungsi sebagai pelumas
dan mencegah kuman masuk melalui pori-pori rambut. Setiap individu
memiliki warna rambut yang berbeda bergantung pada tipe sel keratin,
sedangkan uban terbentuk karena sintesis enzim tirosinase menurun.
Rambut mengalami pertumbuhan (pergantian rambut) dari akar rambut
sebagaimana pergantian sel. Proses ini dikenal sebagai tahap anagen,
katagen, telogen, dan kembali lagi ke anagen. Anagen merupakan fase
aktif pertumbuhan rambut, terjadi selama 2-6 tahun. Katagen adalah satu
fase transisi di setiap kegiatan anagen, biasanya terjadi selama 1-2 minggu,
dan dilanjutkan ke fase telogen (istirahat) selama 5-6 minggu. Setelah fase
katagen dan telogen, rambut akan digantikan dengan matriks rambut yang
baru dan melalui proses anagen kembali, dan seterusnya.
5. Kuku
Kuku merupakan aksesoris kulit lainnya, berbentuk seperti piringan
keras, dan masih merupakan sel keratinosit epidermis. Kuku terdiri atas
badan kuku (nail body), area kuku yang bebas (free edge), lunula yaitu
area penebalan stratum balase, hiponikium (dasar kuku/nail bed) yaitu area
penebalan stratum korneum, eponikium (kutikula) yaitu epithelium yang
menduduki perbatasan kuku, dan nail root (akar kuku) yaitu bagian dalam
epitel hingga nail matrix (matriks kuku) yang menjadi pusat regenerasi
kuku.
7
Regenerasi kuku terjadi sebagaimana sel melakukan pembelahan secara
mitosis. Sel superficial matriks mengubah sel kuku dengan rata-rata
pemrtumbuhan1 mm dalam satu minggu. Jika akar kuku tercabut, matriks
kuku masih dapat mengubah kuku walaupun dengan bentuk yang kurang
baik.
6. Kelenjar Kulit
Kelenjar kulit ada dua, yaitu sebaceous (oil) gland dan sudorifereous
gland (kelenjar keringat). Sebaceous (oil) gland atau kelenjar sebasea
berada di folikrl rambut, tempat ekskesi dalam dermis. Pada lapisan kulit
yang tebal seperti telapak tangan dan telapak kaki, rambut tidak tumbuh.
Kelenjar sebasea memproduksi sebum yang berfungsi sebagai pelembab
rambut, melindungi pori-pori dari masuknya benda asing dan kuman,
sebagai waterproof, dan mencegah kuman tumbuh dan berkembang.
Sudoriferous gland atau kelenjar keringat terdiri atas dua macam, yaitu
kelenjar keringat skrin dan apokrin.
a. Kelenjar keringan ekrin (eccrine) adalah bagian yang keluar dari
dalam dermis dan berbentuk saluran pipa pada akhir pori-pori
epidermis. Produksi keringat sekitar 600 ml/hari rata-rata pada orang
dewasa (produksi keringat akan lebih banyak jika sedang atau setelah
berolahraga). Produksi keringat yang tehitung (sensible) adalah 200 ml,
sedangkan yang tidak terhitung (insensible) adalah 400 ml. Fungsi
utama kelenjar keringat ekrin adalah sebagai teroregulasi tubuh. Pada
perhitungan keseimbangan cairan biasanya dikenal dengan Insensible
Water Loss (IWL).
b. Kelenjar keringat apokrin (apocrine) berada pada batang rambut
yang merupakan kelenjar keringat dengan lokasi terbatas pada ketiak
(aksila), parineal (pubis), putting sus dan area kehitamannya (areola),
dan pada pria di daerah dagu (jenggot). Apokrin merupakan bagian
yang keluar dari dalam dermis atau lapisan subkutan. Saluran terbuka di
dalam folikel rambut bercampur dengan sebum, lemak, dan protein
sehingga sekresinya sedikit kental (viscous). Kelenjar apokrin tidak
berfungsi hingga masa pubertas.
8
Fisiologi Kulit
Secara biologis, kulit memiliki beberapa fungsi utama, yaitu sebagi
proteksi terhadap bahan kimia, bakteri, dan virus pathogen; sebagai pusat
sensasi terhadap rasa sakit, sentuhan, tekanan, dan suhu; sebagai tempat
sintesis vitamin D dengan bantuan sinar matahari; sebagai sistem termogulasi
tubuh dengan mekanisme primer pada siskulasi dan keringat; dan sebagai
ekskresi tubuh, yaitu hasil keluaran keringat. Beberapa referensi mengatkan
bahwa kulit dapat berfungsi sebagai kosmetik. Berikut ini adalah penjelasan
detail/lengkap dari masing-masing fungsi.
a. Kulit memiliki funsi proteksi terhadap bahan kimia, bakteri, dan virus
pathogen. Fungsi proteksi dimulai dari kelenjar sebasea (sebum) yang di
keluarkan dari akar rambut (pori-pori). Kelenjar ini mengandung protein
dan lemak yang dapat mencegah kuman masuk melalui pori-pori rambut.
Jika kelenjar sebasea idak bekerja, sel Langerhans yang memiliki
kemampuan mengenali mikroorganisme dan antigen, menagkap dan
memproses penempelan limposit T sehingga kuman dapat diatasi. Pigmen
melanin selain berfungsi zat pewarna kulit juga berfungsi sebagai
pelindung, terutama terhadap sinar UV. Dermis memiliki banyak
konstribusi dalam fungsi proteksi, dimulai dari sel mast yang berfunsi
sebagai reaksi alergi, melawan parasit, menstimulasi kemotaksis,
mendorong fagositosis dan membantu perbaikan jaringan ikat dan
pembentukan pembuluh darah. Makrofag merupakan hasil deferensiasi
dari monosit, sebagai antibakteri, dapat memproses dan menghadirkan
imunikompeten sel limfoit, dapat mengeluarkan factor pertumbuhan
(growth factor), sitokin dan terlibat dalam koagulasi, penyembuhan luka,
dan remodeling jaringan.
b. Sensasi terhadap rasa sakit, sentuhan, tekanan, dan suhu. Sel markel
merupakan el penentuan rasa yang memiliki fungsi utama sebagai mekano
reseptor. Reseptor lainnya yang memiliki fungsi sensasi, yang ada pada
dermis adalah korpuskel Meissner yang bertugas menerima sentuhan,
Korpuskel Paccini yang bertugas menerima sentuhan, nyeri, dan suhu.
9
c. Sintesis vitamin D terjadi di kulit dengan bantuan sinar matahari, yaitu
mengubah sterol menjadi kolekalsiferol (vitamin D). vitamin D di ubah
menjadi kalsitriol yang memiliki fungsi sebagai precursor penyerapan
kalsium di usus halus.
d. Termoregulasi pada kulit memiliki mekanisme primer yaitu melalaui
sirkulasi dan keringat. Sirkulasi pada kulit merupakan kegiatan reaksi
vasodilatasi dan vasokonstriksi pada pembuluh darah dermis dan
hypodermis. Pada saat vasodilatasi, terjadi reaksi pelepasan panas melalui
konduksi, konversi, radiasi, dan evaporasi. Pada saat vasokonstriksi,
terjadi reaksi fisik sebagai rambut berdiri, perifer menjadi dingin dan
pucat. Kelenjar keringat yang sangat berperan pada fungsi termoregulasi
adalah kelenjar keringat apokrin yang mengeluarkan cairan insensible dan
sensible dari tubuh. Kegiatan ini dapat mempertahankan suhu dalam
tubuh.
e. Ekskresi tubuh terjadi dari hasil keluaran kringat. Keringat ini
menghasilkan 99% air, natrium, klorida, urea, sulfat, dan fosfat. Epidermis
memiliki ikatan yang kuat, namun masih ada ruang untuk masukknya
beberapa lemak ke dalam kulit ( sebagai proses absorbsi kulit ).
B. Definisi
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang di sebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, dan radiasi.
(Smeltzer, suzana, 2002)
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
dan radiasi yang mengakibatkan kerusakan atau kehilangan jaringan yang
mengenai lapisan epidermis, dedermis, dan lemak (Moenandjat, 2001).
10
C. Etiologi
Penyebab dari luka bakar adalah:
1. Thermal
Merupakan penyebab yang paling sering memindahkan kekuatan dari
sumber panas kepada tubuh (lidah api, permikaan yang panas, logam yang
panas dan lelehan-lelehan yang panas).
2. Bahan Kimia
Di industri : Asam kuat atau basa kuat diantarannya asam
hidrokloride atau alkali.
Di rumah tangga : Drainase alat pembersih (terkena secara tidak
sengaja) pembersih cat, desinfektan.
3. Listrik
Disebabkan oleh percikan atau busur atau oleh arus listrik yang menyalur
ke tubuh.
4. Luka bakar radiasi
5. Cedera akibat suhu sangat tinggi (Moenandjat, 2001).
D. Klasifikasi
Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan terapi dan
perawatan, luka bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman
luka, dan keseriusan luka, yakni:
1. Berdasarkan penyebab
a. Luka bakar karena api
b. Luka bakar karena air panas
c. Luka bakar karena bahan kimia
d. Luka bakar karena listrik
e. Luka bakar karena radisasi
f. Luka bakar karena suhu tinggi.
11
2. Berdasarkan kedalaman luka bakar
a. Luka bakar derajat I
1) Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
2) Kulit kering, hiperemi berupa eritema
3) Tidak dijumpai Bulae
4) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
5) Penyembuhan derajat spontan dalam waktu 5-10 hari
b. Luka bakar derajat II
1) Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi
2) Dijumpai Bulae
3) Nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi
4) Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di
atas kulit normal
Luka derajat II ini dibedakan menjadi 2, yaitu:
Derajat II dangkal (Superficial)
12
1) Kerusakan mengenai superficial dari dermis
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh
3) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari
Derajat II dalam (Deep)
1) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian masih utuh
3) Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung epitel yang tersisa.
Biasannya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.
c. Luka bakar derajat III
1) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih
dalam
2) Organ-organ kulit seperti folike-folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea mengalami kerusakan
3) Tidak dijumpai Bulae
4) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering
letaknya lebih rendah di bandingkan kulit sekitar .
5) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal
sebagai Eskar
6) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-
ujung saraf sensori mengalami kerusakan atau kematian
7) Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses epitelasi
spontan dari dasar luka.
3. Berdasarkan tingkat keseriusan luka
Amarican Brunt Association menggolongkan luka bakar menjadi 3
kategori, yaitu:
a. Luka bakar mayor
1) Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa dan lebih
dari 20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness lebih dari 20%
13
3) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan
perineum.
4) Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa menghitungkan
derajat dan luasnya luka
5) Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.
b. Luka bakar moderat
1) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10-20%
pada anak-anak
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%
3) Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan
perineum.
c. Luka bakar minor
Luka bakar minor seperti yang di definisikan oleh Trofino dan Griglak,
adalah:
1) Luka bakar dengan luas kurang 15% pada orang dewasa dan kurang
dari 10% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%
3) Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.
4) Luka tidak sirkumfer
5) Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur
14
4. Ukuran luas luka bakar
Dalam menentukan luas luka bakar kita dapat menggunakan beberapa
metode, yaitu:
a. Rule of Nine
Untuk dewasa:
1) Kepala dan leher : 9%
2) Dada depan dan belakang : 18%
3) Abdomen depan dan belakang : 18%
4) Tangan kanan dan kiri : 18%
5) Paha kanan dan kiri : 18%
6) Kaki kanan dan kiri : 18%
7) Genital : 1%
Total : 100%
Untuk badan anak-anak ® “Rule Of Fives”
Kepala : 18 %
Dada depan dan belakang : 18%
Abdomen depan dan belakang : 18%
Tangan kanan dan kiri : 18%
Kaki kanan dan kiri : 28%
Total : 100%
15
b. Diagram
Penentuan luas luka bakar secara lebih lengkap dijelaskan dengan
diagram Lund dan Browder
Lokasi Usia (Tahun)
0-1 1-4 5-9 10-15 Dewasa
Kepala 19 17 13 10 7
Leher 2 2 2 2 2
Dada & Perut 13 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13 13
Pantat Kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Pantat Kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Kelamin 1 1 1 1 1
Lengan Atas Kanan 4 4 4 4 4
Lengan Atas Kiri 4 4 4 4 4
Lengan Bawah Kanan 3 3 3 3 3
Lengan Bawah Kiri 3 3 3 3 3
Tangan Kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan Kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha Kanan 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
Paha Kiri 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
Tungkai Bawah Kanan 5 5 5,5 6 7
Tungkai Bawah Kiri 5 5 5,5 6 7
Kaki Kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki Kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
E. Pathofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energy dari sumber panas ke
tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahlan melalui konduksi atau radiasi
kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis,
maupun jaringan subcutan. Tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit
kontak dengan sumber panas.
16
Cidera luka bakar mempengaruhi semua system organ. Besarnya respon
patofisiologis ini adalah berkaitam erat dengan luasnya luka bakar dan
mencapai massa stabil ketika terjadi luka bakar kira-kira 60% seluruh luas
permukaan tubuh.
Tingkat keperawatan tergantung pada luas dan kedalaman luka bakar yang
menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar dan berlangsung
sampai 48-72 jam pertama. Kondisi ini ditandai dengan pergeseran cairan dan
komponen vaskuler ke ruang intertstitum. Bila jaringan terbakar, vasodilatasi
meningkat permeabilitas kapiler, dan timbul perubahan permeabilitas sel pada
yang luka bakar dan di sekitarnya. Dampaknya jumlah cairan yang banyak
berada pada ekstra sel, sodium chloride dan protein lewat melalui daerah
yang terbakar dan membentuk gelembung-gelembung dan oedema atau
keluar melalui luka terbuka. Akibat adanya oedema luka bakar lingkungan
kulit mengalami kerusakan. Kulit sebagai barier mekanik berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan diri yang penting, dari organism yang masuk.
Terjadinya kerusakan lingkungan kulit akan memungkinkan mikro organisme
masuk dalam tubuh dan menyebabkan infeksi luka yang dapat memperlambat
proses penyembuhan luka. Dengan adanya oedem juga berpengaruh terhadap
peningktan peregangan pembuluh darah dan syaraf yan dapat menimbulkan
rasa nyeri juga dapat mengganggu mobilitas pasien.
Dengan kehilingan cairan dari sitem vaskuler, terjagi homo kosentrasi
dan hematokrit naik, cairan darah menjadi kurang lancer pada daerah luka
bakar dan nutrisi kurang. Adanya cedera luka bakar menyebabkan tahanan
vaskuler perifer meningkat sebagai respon stress neurohormonal. Hal ini
menigkatkan afterlut jantung dan mengakibatkan penurunan curah jantung
lebih lanjut. Akibat penurunan curah jantung lebih lanjut. Akibat penurunan
curah jantung, menyebabkan metabolism anaerob dan hasil akhir produk
asam di tahan karena rusaknya fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis
metobolik yang menyebabkan perfusi jaringan terjadi tidak sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi sakit
akut. Periode ini di tandai dengan anemi dan malnutrisi. Anemi berkembang
akibat banyak kehilangan eritrosit. Keseimbangan nitrogen negative mulai
17
terjadi pada waktu terjadi luka bakar dan disebabkan kerusakan jaringan
kehingan protein, dan akibat respon stres ini terus berlangsung selama periode
akut karena terus menerus kehilangan protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbul karena obstruksi saluran nafas bagian atas
atau karena efek shock hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas di
sebabkan karena inhalasi bahan yang merugikan atau udara yang terlalu
panas, menimbulkan iritasi kepada saluran nafas, oedema laring dan obstruksi
potensial.
18
F. WOC
19
G. Manifestasi Klinis
Penilaian dalam memberikan terapi dan perawatan, luka bakar di
klasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman lukan, dan keseriusan luka:
1. Luka bakar derajat I: merah dan kering, mungkin terdapat bulla, memucat
dengan tekanan, sedikit atau tidak ada edema, kesemutan, super
sensitifitas, nyeri yang hilang dengan pendingi.
2. Luka bakar derajat II: luka yang nyeri, merah atau pucat, berbecak, bulla,
edema, cairan eksudat, folikel rambut intak, kepucatan dengan tekanan,
sensitive terhadap udara dingin.
3. Luka bakar derajat III: eskar putih pucat, merah cerry, cokelat atau hitam,
kulit terbuka dengan lemak yang terlihat, edema, tidak memucat dengan
tekanan, tidak nyeri, folikel rambut dan kelenjar keringat rusak.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan penunjang
Menurut Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan
diaknostik pada penderita luka bakar meliputi :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu
diperoleh segera setelah pasien tiba di fasilitas perawatan.
2) Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat
menurun pada luka bakar massif.
3) Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa
pada konsentrasi oksigen 50 %, FiO2= 0,5) mencurigakan adanya
trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat
meningkat pada fase lanjut.
4) Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian
oksigen dapat menutupi keparahan keracunan kerbon monoksida
yang dialami penderita. Pada trauma inhalasi, kadar COHb akan
menurun setelah penderita menghirup udara normal. Pada kadar
COHb 35-45% (berat), bahkan setelah tiga jam dari kejadian kadar
COHb masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15%
20
setelah 3 jam kejadian ini merupakan bukti kuat adanya trauma
inhalasi
5) Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan
biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa kalium terhadap
peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium
dapat menyebabkan henti jantung.
6) Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma
terutama albumin hilang ke dalam jaringan yang cedera sekunder
akibat peningkatan permeabilitas kapiler.
7) Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan
kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.
8) BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal
9) Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol,
memungkinkan penilaian status mental pasien dan antisipasi
terjadinya gejala-gejala putus obat.
10) Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada,
tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha kanulasi pada vena
sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumothoraks atau
hematorak. Pasien yang juga mengalami trauma tumpul yang
menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann radiografi
dari seluruh vertebrata, tulang panjang, dan pelvis
11) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap
12) Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar
listrik karena disritmia jantung adalah komplikasi yang umum
13) CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien
dengan penyimpangan neurologik yang menderita cedera listrik.
21
I. Penatalaksanaan Terapi
1. Penatalaksanaan luka bakar
Pertolongan pertama saat kejadian menurut Sjamsuhidayat (2010)
1) Luka bakar suhu atau thermal
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh,
misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar
dengan kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan
berguling-guling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas.
Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan diri ke air
dingin atau melepas baju yang tersiram air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah
merendam daerah luka bakar dalam air mengalir selama sekurang-
kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya
mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan
proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang
akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi
tetap meluas.
2) Luka bakar kimia
Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering
mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan luka
karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan,
padahal daya rusak masih terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia
secara masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir
dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis.
Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu
untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat
menambah kerusakan jaringan.
Sebagai tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan
keadaan umum, serta pemberian cairan dan elektrolit.
22
Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat
10% dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor
menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor
akan terikat menjadi kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada luka
dalam, mungkin diperlukan debridemen yang disusul skin grafting dan
rekonstruksi.
Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera
berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan garam 0,9% secara
terus menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit.
3) Luka bakar arus listrik
Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung
muatan listrik selama masih terhubung dengan sumber arus. Kemudian
kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung paru. Cairan parenteral harus
diberikan dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang
diperkirakan karena kerusakan sering jauh lebih luas. Kadang luka
bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan ternyata
lebih dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan berwarna
gelap karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini
mengharuskan pengeluaran urin 75-100 ml per jam. Selain itu, urin
harus dirubah menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang
menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening
atau pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah
besar cairan, maka harus diberikan diuretik yang kuat bersama manitol.
Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per
dosis) mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal
berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi
anggota gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.
Otot jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG)
harus dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan jantung dan
pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis
dan merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama
pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila dilakukan tes
23
elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada
tahap segera setelah cedera karena arus yang melewati kavitas
peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan.
4) Luka bakar radiasi
Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari
kontaminan sehingga harus menggunakan pelindung. Prinsip penolong
penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker,
baju pelindung, dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus
dicari dan dihentikan, dan benda yang terkontaminasi dibersihkan
dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di
tempat aman.
Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan.
Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia,
trombositopenia, dan kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin
tidak digunakan obat-obatan yang menekan fungsi sumsum tulang.
2. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan luka bakar diberikan berdasarkan luas dan keparahan luka
bakar serta pertimbangan penyebabnya. Resusitasi cairan penting dalam
menangani kehilangan cairan intravaskular. Oksigen diberikan melalui
masker ventilasi arti visial. Luka bakar dapat obat tropikal dan dibiarkan
terbuka, terpajan udara atau ditutupi dengan kasa luka bakar berat
memerlukan debridemen luka atau tranplantasi.
Anak yang menderita luka bakar mendapatkan analgesik atau narkotik
untuk mengurangi rasa nyerinya, pada luka bakar berat kebutuhan nutrisi
dipenuhi dengan memberikan diet tinggi kalori dan protein atau dukungan
nutrisi melalui intravena.
Pemberian cairan intravena (Mortone, 2012) cara menghitung kebutuhan
cairan:
Cara evans:
1) Luas luka dalam % X BB (kg) menjadi ml NaCL per 24 jam
2) Luas luka dalam % X BB (kg) menjadi ml plasma per 24 jam
24
3) Sebagai penganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan
2.000cc glukosa 5% per 24jam. Jumlah cairan (1+2+3) separuhnya
diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya.
Cara Baxter: % X BB X 4 ml
Jumlah cairan separuhnya diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan
elektrolit, yaitu larutan ringer-laktat karena terjadi deficit ion NA.
Contoh:
seorang dewasa BB 50 kg, luka bakar seluas 20% permukaan kulit.
Diberikan: 50x20=1.000 ml larutan Nacl 0,9% dan juga 1.000 ml plasma
sebagai kebutuhan dasar. Jumlah cairan dalam 8 jam pertama sama dengan
jumlah cairan untuk 16 jam berikut yaitu masing-masing 2.000 mi; 24 jam
berikutnya 2.000ml.
Rumus Baxter:
20x50mlx4= 4.000 ml pada hari pertama dan 2.000ml pada hari kedua.
Pemberian cairan dapat ditambah, jika perlu bila penderita dalam keadaan
syok atau jika dieresis kurang.
3. Penatalksanaan Pre Hospital (P3k)
a. Putuskan sumber api
b. Anjurkan korban berguling dilantai
c. Dinginkan luka, menyiram air mengalir untuk mencegah luka bakar
yang lebih dalam.
d. Segera antar ke Rumah Sakit
e. Luka akibat: Zat kimia ® siram dengan air mengalir 20 – 30 menit.
Listrik ® ingat gunakan isolator bagi penolong.
4. Penatalaksanaan Ruang Emergency ® Pas Kritis
a. Bebaskan jalan nafas dan obstruksi
b. Beri O2
25
c. Hindarkan infeksi ® buka pakaian, bersihkan luka dan tutup kain
steril.
d. Pasang infus (sesuai program)
Pemberian cairan peroral berupa: 1,5 gravitasi soda + 3 gravitasi
garam dapur dalam 1 liter air ® luka bakar kurang 30%.
e. Pasang NGT
f. Pasang cateter
g. Pasang CVP ® luka bakar lebih 40%
h. Analgetik ® IV
i. Timbang berat badan
j. Observasi kesadaran
k. Observasi distribusi O2 ke ekstremitas ® perifer
l. Perawatan luka bakar
m. Pencegahan terhadap tetanus
n. Isolasi untuk mengurangi infeksi silang.
Pemberian Cairan
1. Luka bakar kurang 20% ® oral
2. Luka bakar 20 – 30% ® infuse, oral
3. Luka bakar 40 – 60% ® infus saja
4. Luka bakar lebih 60% ® resusitasi cairan tidak menjamin berhasil
100%
Cara Pemberian
8 jam I : 50% formula
16 jam II : 50% formula
Kebutuhan 48 Jam I:
a. Formula Evans
1 cc X kg BB X % = colloid
1 cc X kg BB X % = elektrolit
2000 cc = glukosa 5%
b. Formula Brooks
½ X kg BB X % = colloid
26
1 ½ X kg BB X % = elektrolit
2000 cc = glukosa 5%
c. Formula Baxter = Formula Parklan
4 X kg BB X % = Ringer laktat
Kebutuhan Cairan /24 Jam
100 cc X luas tubuh X % luka bakar X 24 jam
- Pruduksi urine normal
Produksi urine normal ± 1500 cc
Kebutuhan Nutrisi /24 Jam
Sebelum Luka Bakar Sesudah Luka Bakar
Protein 0,8 /kg BB 2-4 g/BB sebelum LB
Kalori 1.700-3.000 3.500 - 5.000
Vit. C 5 mg 1 – 2 gr
Vit. Bc 4 – 10 X keb. Nutrisi
5. Perawatan Luka
Tujuan:
- Mengurangi rasa sakit
- Melindungi luka dari trauma serta infeksi
- Membersihkan luka dari kotoran, mengurangi penguapan
- Membantu mempercepat tumbuhnya sel epitel
- Mencegah cacat/celloid ® kontraktur
a. Perawatan Terbuka
2) Buka pakaian
3) Bersihkan luka dan bersihkan dengan anti septic
4) Biarkan terbuka
(+) ® - Tidak perlu waktu untuk membalut
- Ekonomis tenaga
- Ekonomis terhadap kasa verband
- Untuk luka dangkal
(-) ® - Keropeng terbentuk dalam 24 – 48 jam
27
- Teliti terhadap tanda-tanda infeksi
- Hanya sesuai untuk muka atau perineal
b. Perawatan Tertutup
1) Dapat dikerjakan sejak awal
2) Cocok untuk setiap jenis luka bakar
3) Cuci luka dengan NaCl 0,9% kalau perlu
4) Blister diameter kurang 6 cm biarkan
5) Luka oles obat topical
6) Tutup kasa steril dan tebal
7) Balut tekan
8) Khusus ekstremitas beri posisi fungsional
9) Cegah pembendungan
10) Luka bakar bersih ® pertahankan balutan selama 3 – 5 hari
11) Luka bakar ® wet dressing intensive
Sifat-Sifat Obat Topikal Yang Ideal
1. Harus mempunyai sifat anti septic yang lama
2. Tidak boleh menimbulkan resistensi yang lama
3. Menahan hilangnya air dan panas
4. Tidak boleh mengganggu repitelasasi spontan
5. Tidak bersifat toksis kalau diserap
6. Larut dalam air
Fasilitas Untuk Luka Bakar Yang Ideal
1. Ruang steril, suhu dan humidity yang bisa diatur (suhu terbaik
30%, humidity = 45%
2. Intercom untuk komunikasi dari pasien dan keluarga
3. Alat-alat tenun steril dan cukup jumlahnya (1:10)
4. Kamar rendam, air panas/dingin serta katrol
5. Bed Cirkle dengan Bed Cradle
6. Suplai O2, Suction Pump
28
7. CVP set, alat-alat infus, dll
8. Cairan infus yang cukup banyak
9. Obat-obat emergency, AB, analgetik, ATS, Toxoid, dll
10.Obat-obat topical yang cukup, kasa, pembalut, cream, larutan
desinfektan, dll.
c. Perawatan Khusus Untuk Tempat-Tempat Tertutup
Mata : - Sebaiknya terbuka ® tanpa obat
- Daerah bibir diberi salep
Tangan : - Elevasi tangan ® 48 – 72 jam I
- Balutan tebal ® posisi fungsional
- Fisioterapi segera
Ektremitas bawah:
- Elevasi kaki 48 – 72 jam I
- Pembalut elastis dipertahankan sampai 3 bulan
- Latihan dan istirahat cukup
- Lebih cepat mobilisasi tanpa memperburuk keadaan luka
Leher : - Posisi ekstensi minimal 2 jam ganti
- Terbuka
d. Penanggulangan Efek Psikologis
- Stress mental : therapy komunikasi ® konsul psikiater
- Putus asa : therapy komunikasi ® konsul ahli agama
- Takut cacat : therapy komunikasi
- Tidak kooperatif : therapy komunikasi
e. Revalidasi Oleh Tim Kesehatan Rumah Sakit
Fisioterapis, Ahli bedah, Ahli anastesi, Psikiater Occupational
therapy, Social warker.
29
J. Komplikasi Lanjut Luka Bakar
Komplikasi yang sering kali dialami oleh klien luka bakar yang luas
antara lain: curling ulcear, sepsis, pneumonia, gagal ginjal akut, deformitas,
kontraktur, hipertrofi jaringan parut, dan dekubitus.
1. Hipertrofi jaringan parut
Hipertrofi jaringan parut merupakan komplikasi kulit yang biasa
dialami pasien dengan luka bakar yang sulit dicegah, akan tetapi masih
bisa diatasi dengan tindakan tertentu. Terbentuknya hipertrofi jaringan
parut pada pasien luka bakar dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
a. Kedalaman luka bakar
b. Sifat kulit
c. Lamanya waktu penutupan kulit
d. Penanduran kulit
Jaringan parut mengalami pembentukan secara aktif pada 6 bulan
postluka bakar dengan warna awal merah muda dan menimbulkan rasa
gatal, pembentukan jaringan parut terus berlangsung dan warna berubah
menjadi merah, merah tua sampai coklat dan teraba keras/tegang, setelah
12-18 bulan, jaringan parut akan mengalami tahap maturasi dan warna
menjadi coklat muda dan teraba lebih lembut/lemas.
Pembentukan hipertrofi jaringan parut ini tidak dapat dicegah tetapi
dengan tindakan konservatif dapat diatasi sejak minggu-minggu awal
fase penyembuhan luka (fase pembentukan kolagen). Sering kali
tindakan pembedahan juga diperlukan untuk mengatasi jaringan parut
terutama jika mempengaruhi fungsi gerak atau sendi, mengakibatkan
imobilitas dan mengganggu serta citra tubuh pasien. Pembedahan yang
dilakukan bisa berlangsung berulang kali (perlu lebih sekali tindakan
pembedahan).
2. Kontraktur
Kontraktur adalah komplikasi yang hampir selalu mengenai luka bakar
dan menimbulkan gangguan fungsi pergerakkan. Beberapa tindakan yang
dapat di cegah atau mengurangi komplikasi kontraktur adalah:
30
a. Pemberian posisi yang baik dan benar sejak dini (awal cedera luka
bakar).
b. Ambulasi yang dilakukkan 2-3 kali /hari sesegera mungkin
(perhatikan jika ada fraktur) pada pasien yang terpasang berbagai
alat infasif (misal ivlines, NGT, monitor EKG, dll) perlu disiapkan
dan dibantu (ambulasi pasif).
c. Preasure garment adalah pakaian yang dapat memberikan tekanan,
yang bertujuan menekan timbulnya hipertrofi scar, dimana
pengguanaan preasure garmen ini dapat mengambat mobilitas dan
mendukung terjadinya kontraktur.
31
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LUKA BAKAR
A. Pengkajian
1. Anamnese
a. Data Demografi
Nama, umur, alamat, pekerjaan.
Umur : Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok umur,
insidennya lebih tinggi pada kedua kemompok ujung kontinum usia.
Orang yang usianya lebih lebih muda dari 2 tahun, dan lebih tua dari 60
tahun mempunyai angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar yang sama.
Seseorang yang berusia kurang dari 2 tahun akan lebih muda terkena
infeksi karena respon imun yang imatur, dan orang yang tua mengalami
proses degenaratif yang memperumit proses penyembuhan.
b. Keluhan utama :
Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan,
jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea,
dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
c. Riwayat penyakit sekarang:
Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita
terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma
inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan
kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
d. Riwayat penyakit masa lalu:
Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit
yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan
cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung
kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal,
pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes,
gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi
cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal
32
jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat
terganggu.
e. Status kesehatan umum
Kaji tentang kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan
(BB), dan pemeriksaan luka bakar (apakah termasuk luka bakar berat,
sedang atau ringan)
1) Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk
menentukan luas luka bakarnya.
2) Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman). (Sjaifuddin,
2006)
2. Pemerikasaan fisik
a. Breathing
Kaji adanya tanda distress pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak,
malas bernafas, atau adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada
mata atu tenggorokan, hal ini menandakan adanya iritasi pada mukosa.
Adanya sesak napas atau kehilangan suara, takipnea atau kelainan pada
auskultasi seperti krepitasi atau ronchi. (Sjaifuddin, 2006)
b. Blood
Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang
hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan
interstisial menyababkan kondisi hipovolemik. Volume cairan
intravascular mengalami defisit, timbul ketidak mampuan
menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok).
Sjaifuddin (2006)
c. Brain
Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida
dapat berkisar dari sakit kepala, sampai koma, hingga kematian.
d. Bledder
Haluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan
aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone antideuretik serta aldosteron.
33
e. Bowel
Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi
dan mual. Selain itu pembentukan ulkus gastrduodenal juga dikenal
dengan Curling’s biasanya merupakan komplikasi utama dari luka
bakar.
f. Bone
Penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya
mengalami patah tulang punggung atau spine.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan melalui rute abnormal (luka).
2. Gangguan rasa nyaman nyeri (akut) berhubungan dengan kerusakan kulit
atau jaringan, pembentukan oedema, manipulasi jaringan cidera
(Doengoes)
3. Resiko tinggi terhadap kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan trauma: cidera jalan nafas atas langsung oleh api,
pemanasan,udara panas, dan kimia atau gas (Doenges,2000)
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
cidera termal.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penuruhan kekuatan dan
tahanan.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak kuatnya pertahanan perifer,
trauma.
7. Kerusakan integritas kulit (Graft) berhubungan dengan trauma,
kerusakan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial atau luka bakar
dalam) (Doenges,2000).
C. Perencanaan Keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan melalui rute abnormal (luka).
Tujuan :
34
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x6 jam volume cairan
dan elektrolit dalam batas normal.
Kriteria hasil :
Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh pengeluaran
individu adekuat (pengeluaran urine menurun), tanda-tanda vital stabil
(TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100 x/menit, RR: 16-24 x/menit, suhu: 36,5-
37,5ºC) membran mukosa (lembab) .
No. Intervensi Rasional
Intervensi perubahan cairan:
1. Identifikasi faktor
penyebab, awitan
(onset),
spesifikasi usia,
luas luka bakar ,
kedalaman luka
bakar, dan adanya
riwayat penyakit
lain.
Parameter dalam menentukan intervensi
kedaruratan. Perpindahan dan kehilangan
cairan yang cepat selama periode awal pasca
luka bakar mengharuskan perawat untuk
memeriksa tanda-tanda vital dan urine output
dengan sering di samping meniali tekanan vena
sentral, tekanan arteri pulmonalis, serta
curahan jantung pada pasien luka bakar yang
sakitnya berat. Pemberian cairan infus
dilakukan menurut program medis. Volume
cairan yang diinfuskan harus sebanding dengan
volume urine output. Pencatatan intake dan
output cairan yang cermat serta berat badan
pasien juga diperhatikan. Kadar elektrolit
serum harus dipantau. Perawat biasanya
merupakan petugas pertama untuk mengenali
terjadinya ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Kolaborasi skor
dehidrasi
Menentukan jumlah cairan yang akan
diberikan sesuai dengan derajat dehidrasi dari
individu.
3. Lakukan
pemasangan
Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut,
maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian
35
IVFD
(intravenous fluid
drops)
cairan intravena disesuaikan dengan derajat
dehidrasi. Pemberian cairan 1-2 L Ringer
Laktat secara tetesan cepat sebagai kompensasi
awal hidrasi cairan diberikan untuk mencegah
syok hipovolemik.
4. Dokumentasi
dengan akurat
tentang intake dan
output cairan.
Sebagai evaluasi penting dari intervensi hidrasi
dan mencegah terjadinya over hidrasi.
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit:
1. Evaluasi kadar
elektrolit serum.
Untuk mendeteksi adanya kondisi
hiponatremi dan hipokalemi sekunder dari
hilangnya elektrolit dari plasma.
2. Dokumentasikan
perubahan klinik
dan laporkan
dengan team
medis.
Perubahan klinik seperti penurunan urine
output secara akut perlu diberitahu kepada
tim medis untuk mendapatkan intervensi
selanjutnya dan menurunkan resiko terjadinya
asidosis metabolik.
3. Monitor khusus
ketidakseimbangan
elektrolit pada
lansia.
Individu lansia dapat dengan cepat
mengalami dehidrasi dan menderita kadar
kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat
diare. Individu lansia yang menggunakan
digitalis harus waspada terhadap cepatnya
dehidrasi dan hipokalemia pada diare.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri (akut) berhubungan dengan kerusakan kulit
atau jaringan, pembentukan oedema, manipulasi jaringan cidera
(Doengoes).
Tujuan :
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 4x6 jam diharapkan nyeri
berkurang atau terkontrol dan menunjukkan ekspresi wajah atau postur
tubuh rileks.
36
Kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang terkontrol, menunjukkan wajah ekspresi
wajah atau postur tubuh rileks. Berpartisipasi dalam aktifitas dan tidur atau
istirahat dengan tepat.
No. Intervensi Rasional
1. Kaji derajat, kaji
kedalaman, dan
luasnya lesi luka
bakar, serta apakah
adanya order khusus
dari tim dokter dalam
melakukan perawatan
luka.
Mengidentifikasai kemajuan atau
penyimpangan dari tujuan yang
dihrapkan.bagian utama dari peranan
perawat selama fase akut dan fase lainnya
dalam perawatan luka bakar adalah
mendeteksi serta mencegah infeksi.
Perawat bertanggungjawab untuk
menciptakan lingkungan yang aman serta
bersih dan meneliti luka bakar dengan
cermat guna mendeteksi tanda-tanda dini
infeksi. Hasil pemeriksaan kultur dan
pemeriksaan hitung sel darah putih harus
dipantau.
2. Buat kondisi balutan
dalam keadaan bersih
dan kering.
Kondisi bersih dan kering akan
menghindari konstaminasi komensal dan
akan menyebabkan rspons inflamasi lokal
dan akan menyebabkan respons inflamasi
lokal dan akan meperlama penyembuhan
luka.
3. Lakukan intervensi
untuk menurunkan
infeksi.
Tempatka pasien pada ruang perawatan
khusus, seperti ruang perwatan luka bakar
untuk mencegah infeksi. Monitor dan
evaluasi adanya tanda dan gejala infeksi
sistemik. Pemantuan yang ketat terhadap
37
tanda-tanda vital dan pencatatan setiap
perubahan yang serius pada fungsi
respiratorius, renal, atau gastroinastinal
dapat mendeteksi dengan cepat dimulainya
suatu infeksi. Orang-orang yang menderita
penyakit menular tidak boleh mengunjungi
pasien sampai mereka sudah tidak lagi
berbahaya bagi kesehatan pasien tersebut.
4. Lakukan perwawata
luka:
a. Lakukan
perawatan luka
steril setiap hari.
b. Bila perlu
premedikasi
sebelum
melakukan
perawatan luka.
c. Bersihkan luka
jenis cairan yang
disesuaikan dengan
kondisi individu.
Perawatan luka sebaiknya dilakukan setiap
hari untuk membersikan debris dan
menurunkan kontak kuman masuk
kedalam lesi. Intervensi dilakukan dalam
kondisi steril sehingga mencegah
kontaminasi kuman ke lesi pemfigus.
Pasien dengan lesi yang luas dan nyeri
harus mendapatkan permedikasi dahulu
dengan preparat analgetik sebelum
perawatan kulitnya dilakukan.
Pada luka yang mulai mongering,
pembersihan debris (sisa fagositosis,
jaringan mati) dan kuman sekitar luka
dengan mengoptimalkan kelebihan dari
iodine providum sebagai antiseptic dan
dengan arah dari dalam keluar dapat
mencegah kontaminasi kuman ke jaringan
luka. Antiseptic iodine providum
mempunyai kelemahan dalam menurunkan
proses epitelisasi jaringan sehingga
memperlambat pertumbuhan luka, maka
38
d. Hindari
menggunakan
BAHP (bahan alat
habis pakai) untuk
tidak digunakan
pada sisi luka
bakar lainnya.
harus diberikan dengan alcohol atau
normal saline.
Perawat dapat tanpa sengaja
mempermudah migrasi mikrooragnisme
dari luka bakar yang satu ke luka bakar
lainnya dengan menyentuh lukanya atau
balutan. Linen tempat tidur dapat
memperluaskan luka infeksi melalui
kolonisasi mikroorganisme luka bakar atau
kontaminasi fese. Memandikan bagian-
bagian tubuh yang tidak terbakar dan
mrngganti linen yang dilakukan secara
teratur dapat membantu mencegah infeksi.
5. Kolaborasi
penggunaan antibiotic.
Antibiotik injeksi diberikan untuk
mencegah invasi kuman yanh bisa masuk.
Peran perawat mengkaji adanya reaksi dan
riwayat alergi antibiotic serta memberikan
teratur sesuai pesanan dokter.
3. Resiko tinggi terhadap kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan trauma: cidera jalan nafas atas langsung oleh api,
pemanasan,udara panas, dan kimia atau gas (Doenges,2000)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x6 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan pada jalan nafas pasien.
Kriteria hasil :
Frekuensi pernafasan dalam rentang normal, menunjukkan bunyi nafas
jelas, bebas dispneu atau sianosis.
No. Intervensi Rasional
1. Kaji dan monitor
jalan napas
Deteksi awal untuk interpretasi intervensi
selanjutnya. Salah satu cara untuk
mengetahui apakah pasin bwernapas atau
39
tidak dengan menempatkan telapak tangan
di atas hidung dan mulut pasien untuk
merasakan hembusan napas. Gerakkan
thoraks dan diafagma tidak selalu
menandakan pasien bernapas.
2. Tempatkan pasien di
bagian resusutasi.
Untuk memudahkan dalam melakukan
monitoring status kardiorespirasi dan
intervensi kedaruratan.
3. Beri oksigen
41/menit dengan
metode kanul atau
sungkup non-
rebretahing.
Pemberian oksigen di lakukan pada fase
awal pasca bedah. Pemenuhan oksigen
dapat
4. Lakukan`tindakan`ke
daruratan jalan napas
agresif.
Tindakan perawatan pulomoner yang
agresif, termasuk tindakan membalikkan
tubuh pasien, mendorong pasien untuk
batuk serta bernapas dalam, memulai
inspirasi kuat yang periodik dengan
spirometri, dan mengeluarkan timbunan
sekret melalui pengisapan trakhea jika
diperlukan.
5. Berikan sekresi pada
jalan napas dan
lakukan suctioning
apabila kemampuan
mengevakuasi secret
tidak efektif.
Kesulitan pernapasan dapat terjadi akibat
sekresi lendir yang berlebihan.
Membalikkan pasien dari satu sisi ke sisi
lainnya memungkinkan cairan yang
terkumpul untuk keluar dari sisi mulut.
Jika gigi pasien mengatup, mulut dapat
dibuka secara manual, tetapi hati-hati
dengan spatel lidah yang dibungkus
dengan kasa. Mukus yang menyumbat di
faring atau trahkea diisap dengan ujung
pengisap faringial atau kateter nasal yang
40
dimasukkkan ke dalam nasofaring atau
orofaring.
6. Instruksikan pasien
untuk pernapasan
dalam dan
melakukan batuk
efektif.
Pada pasien luka bakar disertai inhalasi
asap dengan tingkat tolerensi yang baik,
maka pernapasan diafragma dapat
meningkatkan ekspansi paru.Untuk
memberbesar ekpansi dada dan pertukaran
gas, beragam tindakan seperti meminta
pasien menguap atau dengan melakukan
inspirasi maksimal. Batuk juga di dorong
untuk melonggarkan sumbatan mukus.
7. Evaluasi dan monitor
keberhasilan
intervensi
pembersihan jalan
napas.
Apabila tingkat tolerasi pasien tidak
optimal, maka lakukan kolaborasi dengan
tim medis untuk segera dilakukan terapi
endoskopik atau pemasangan tamponade
balon.
41
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
cidera termal.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 4x6 jam diharapkan pasien
memperolehkembali beratbadan yang hilang. Pasien berpartisipasi dalam
memilih makanan.
Kriteriahasil:
Menunjukkan pemasukkan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolik.
No
.
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi
pasien, turgor kulit,
berat badan, daerajat
penurunan berat
badan, integrasi
mukosa oral,
kemampuan menelan,
dan riwayat
mual/muntah.
Memvalidasi dan menetapkan derajat
masalah untuk menetapkan pilihan
intervensi yang tepat.
Berat badan pasien ditimbang setiap hari
(kalau perlu dengan timbangan tempat
tidur).
Lesi oral dapat mengakibatkan disfagia
sehingga memerlukan pemberian makanan
lewat sonde atau terapi nutrisi parenteral
total.
Formula enteral atau suplemen enteral
yang diprogramkan diberikan melalui
sonde sampai pemberian peroral dapat
ditoleransi.
Penghitungan jumlah kalori per hari dan
pencatatan semua intake serta output
secara akurat sangat penting.
2. Evaluasi adanya alergi
makanan dan
kontraindikasi
makanan.
Beberapa pasien mungkin mengalami
alergi terhadap beberapa komponen
makanan tertentu dan beberapa penyakit
lain, seperi diabetes miletus, hipertensi,
42
gout, dan lainnya dapat memberikan
manifestasi terhadap persiapan komposisi
makanan yang akan diberikan.
3. Fasilitasi pasien dalam
memenuhi asupan
nutrisi.
Pemberian cairan oral harus dimulai
dengan perlahan-lahan ketika bising usus
mulai terdengar kembali. Toleransi pasien
perlu diperhatikan. Jika tidak terjadi
vomitus dan distensi abdomen, pemberian
cairan dapat ditingkatkan secara bertahan
dan paisen dapat melanjutkan intervensi
nutrsinya dengan diet normal atau
makanan sonde.
Jika tujuan untuk memenuhi kebutuhan
kalori tidak dapat dicapai melalui nutrisi
oral, selang nasogastrik (sonde lambung)
dapat dipasang dan digunakan untuk
pemberian nutrisi enteral dengan formula
khusus secara bolus atau kontinu.
4. Lakukan dan ajarkan
perawat mulut
sebelum dan sesudah
makan, serta sebelum
dan sesudah
intervesi/pemeriksaan
peroral.
Menurunkan rasa tak enak karena sisa
makanan dan bau obat yang dapat
merangsang pusat muntah.
5. Dukung dan bantu
pasien yang
mengalami anoreksia.
Pasien yang mengalami anoreksia
memerlukan dorongan dan dukungan dari
perawat untuk meningkatkan asupan
makanannya. Lingkungan pasien sedapat
mungkin harus dibuat menyenangkan pada
jam-jam makan. Memesan makanan yang
disukai pasien dan menawarkan kudapan
43
yang kaya akan protein serta vitamin
merupakan cara-cara untuk mendorong
pasien agar mau meningkatkan secara
bertahan asupan makanannya.
6. Berikan makan
dengan perlahan pada
lingkungan tenang.
Pasien dapat berkonsentrasi pada
mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar.
7. Anjurkan pasien dan
keluarga untuk
berpartisipasi dalam
pemenuhan nutrisi.
Meningkatkan kemandirian dalam
pemenuhan asupan nutrisi sesuai dengan
toleransi individu.
8. Kolaborasi dengan
ahli diet untuk
menetapkan
komposisi dan jenis
diet yang tepat.
Merencanakan diet dengan kandungan
nutrisi yang adekuat untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan energy dan kalori
sehubungan dengan status hipermetabolik
pasien.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penuruhan kekuatan dan
tahanan.
Tujuan :
Setelah dilakukaan tindakan keperawatan selama 3x6 jam diharapkan
terjadi peningkatan mobilitas sesuai dengan tingkat toleransi individu.
Kriteria hasil :
Menyatakan dan menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas,
mempertahankan fungsi dibuktikan oleh adanya kontraktur dan
menunjukkan teknik atau perilaku yang memampukan melakukan
aktivitas.
No. Intervensi Rasional
1. Kaji kemam[uan
dalam peningkatan
mobilitas fisikpada
seluruh ekstermitas.
Membantu dalam mengantisipasi dan
merencanakan pertemuan kebutuhan
individual.
44
2. Kaji kemampuan
dan hambatan
motorik pada seluruh
ekstermitas.
Hambatan biasanya terjadi akibat adanya
kontraktur sendi atau akibat nyeri apabila
menggerakkan ekstermitas.
3. Fasilitasi pasien
dalam pemenuhan
mobilisasi.
Prioritas dini adalah mencegah komplikasi
akibat imobilitas. Bernapas dalam,
membalikkan tubuh dan mengatur posisi
yang benar merupakan praktik keperwatan
yang esensial untuk mencegah atelektasis
dan pneumonia, serta untuk mengendalikan
edema dan dan mencegah dekubitus juga
kontraktur.Tempat tidur khusus
(airfluideized bed dan rotation bed)
mungkin berguna, dan upaya duduk serta
ambulasi yang deni perlu dianjurkan.
Apabila ekstermitas bawah turut terbakar,
perban tekan elastic harus sudah dipasang
sebelum pasien diletakkan dalam porsi
tegak
4. Lakukan latihan
ROM pada seluruh
ekstermitas.
Latihan ROM yang optimal dapat
menurunkan atrofi otot, perbaikan sirkulasi
perifer dan mencegah kontraktur pada
ekstermitas. Lakukan secara bertahap sesuai
dengan tingkat toleransi individu.
5. Evaluasi
kemampuan
mobilisasi dan
kebutuhan alat
bantu.
Luka bakar berada dalam keadaan dinamis
selama satu satuh atau lebih sebelum
lukanya menutup. Selma periode waktu ini
harus diusahakan berbagai upaya yang
agresif untuk mencegah kontraktur dan
pembentukan parut yang hipertrofik.
Perawat harus memantau bagian tubuh yang
dibidai untuk mendeteksi tanda-tanda
45
insufisiensi vaskuler dan kompresi saraf.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak kuatnya pertahanan perifer,
trauma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x6 jam
diharapkan luka tidak terinfeksi oleh mikroba, suhu tubuh normal, tidak
ada bengkak, kemerahan atau purulen.
Kriteria hasil:
infeksi dapat terkontrol,suhu tubuh normal
No. Intervensi Rasional
1. Kaji derajat,
kondisi kedalaman,
dan luasnya lesi
luka bakar, serta
apakah adanya orde
khusus dari tim
dokter dalam
melakukan
perawatan luka.
Mengidentifikasi kemajuan atau
penyimpangan dari tujuan yang diharapkan.
Bagian utama dari peranan perawat selama
fase akut dan fase lainnya dalam perawatan
luka bakar adalah mendeteksi serta
mencegah infeksi. Perawat bertanggung
jawab untuk menciptakan lingkungan yang
aman serta bersih dan meniliti luka bakar
dengan cermat guna mendeteksi tanda-tanda
dini infeksi. Hasil pemeriksaan kultur dan
pemeriksaan hitung sel darah putih harus
dipantau.
2. Buat kondisi
balutan dalam
keadaan bersih dan
kering.
Kondisi bersih dan kering akan menghindari
kontaminasi komensal dan akan
menyebabkan respon imflasi local dan akan
memperlama penyembuhan luka.
3. Lakukan intervensi
untuk menurunkan
infeksi
Tempatkan pasien pada ruang perawatan
khusus, seperti ruang perawata luka bakar
untuk mencegah infeksi. Monitor dan
efaluasi adanya tanda dan gejala infeksi
sistemik. Pemantauan yang ketat terhadap
tanda-tanda vital dan pencatatan setiap
46
perubahan yang serius pada fungsi
respiratorius, renal, atau gastrointestinal
dapat mendeteksi dengan cepat dimulainnya
suatu infeksi.
Tindakan apsepsis yang mutlak harus selalu
dipertahankan selama pelaksanaan
perawatan kulit yang rutin.
Mencuci tangan dan menggunakan sarung
tangan steril ketika melaksanakan prosedur
tersebut diperlukan setiap saat.
Ketika keadaanya meliputi bagian tubuh
yang luas, pasien harus dirawat dalam
sebuah kamar pribadi untuk mencegah
kemungkinan infeksi silang dari pasien-
paien lain.
Para pengunjung harus mengenakan pakaian
pelindung dan mencuci tangan mereka
sebelum menyentuh pasien.
Orang-orang yang menderita penyakit
menular tidak boleh mengunjungi pasien
sampai mereka sudah tidak lagi berbahaya
bagi kesehatan pasien tersebut.
4. Lakukan peawatan
luka :
Lakukan
perawatan luka
steril setiap hari
Bila perlu
pemerdikasi
sebelum
melakukan
perawatan luka
Perawatan luka sebaiknya dilakukan dalam
kondisi steril sehingga mencegah
kontaminasi kuman ke lesi pemfigus.
Pasien dengan lesi yang luas dan nyeri harus
mendapatkan premidikasi dahulu dengan
preparat analgesik sebelum perawatn
kulitnya mulai dilakukan.
47
Berihkan luka
jenis cairan
yang
disesuaikan
dengan kondisi
invidu
Hindari
menggunakan
BAHP (bahan
alat habis pakai)
untuk tidak
digunakan pada
sisi luka bakar
lainnya.
Pada luka yang sudah mulai mongering
pembersihan debris (sisa fagositosis,
jaringan mati) dan kuman sekitar luka
dengan mengoptimalkan kelebihan dari
iodineprovidum sebagai antiseptic dan
dengan arah dari dalam keluar dapat
mencegah kontaminasi kuman ke jaringan
luka.
Antiseptik iodine providum mempunyai
kelemahan dalam menurunkan proses
epitalisasi jaringan sehingga memperlambat
pertumbuhan luka maka hrus dibersihkan
dengan alcohol atau normal saline.
Perawat dapat tanpa sengaja mempermudah
migrasi mikroorganisme dari luka bakar
yang satu ke luka bakar lainnya dengan
menyentuh lukanya atau balutan. Linen
tempat tidur dapat menyebarluaskan infeksi
melalui kolonisasi mikroorganisme luka
bakar atau kontaminasi feses. Memandikan
bagian-bagian tubuh yang tidak terbakar dan
mengganti linen yang dilakukan secara
teratur dapat membantu mencegah infeksi.
5. Kolaborasi
penggunaan
antibiotik.
Antibiotik injeksi diberikan untuk
mencegah aktivasi kuman yang bisa masuk.
Peran perawat mengkaji adanya reaksi dan
riwayat alergi antibiotic serta memberikan
antibiotic sesuai pesanan dokter.
7. Kerusakan integritas kulit (Graft) berhubungan dengan trauma, kerusakan
kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial atau luka bakar dalam)
(Doenges,2000).
48
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam 4x6 jam dihatapkan
intergitas kulit membaik secara optimal.
Kriteria hasil :
Penyembuhan tepat waktu pada area luka bakar.
No
.
Intervensi Rasional
1. Kajiatau catat
ukuran, warna,
kedalaman luka, dan
perhatikan
kerusakan jaringan
kulit yang terjadi
pada luka.
Menjadi data dasar untuk memberikan
informasi intervensi perawatan yang akan
digunakan.
2. Lakukan tindakan
peningkatan
integritas jaringan.
Perwawatan luka biasanya menjadi
komponen satu-satunya yang paling
menghabiskan waktu dalam perwawatan
luka bakar pasca fase darurat. Perawat harus
memahami dasar pemikiran dan implikasi
keperwawtan untuk berbagai carsa
pendekatan dalam penatalaksanaan luka
bakar.
3. Pada perawatan luka
tertutup:
Lakukan
pergantiaan
balutan pada
perawatan luka
bakar tetutup.
Balutan pada pasien luka bakar biasanya
dilakukan di bagian perawatan ±20 menit
sesudah pemberian analgetik. Masker,
penutup rambut, apron plastik yang sekali
pakai atau gaun bedah dan sarung tangan
steril harus dikenakan oleh petugas
kesehatan pada saat melepas balutan atau
kasa penutup luka. Pembalutan luar dapat
digunting dengan gunting yang ujungnya
49
Evaluasi kondisi
luka bakar dan
tutup luka.
Pilih
penggunakan
kasa untuk
pembalut luka.
tumpul atau gunting perban, sedangkan
balutan yang kotor dilepas dan dibuang
dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan
untuk pe,buangan bahan-bahan yang
terkontaminasi. Balutan atau kasa yang
menempel pada luka dapat dilepas tanpa
menimbulkan sakit jika sebelumnya
dibasahi atau diguyur dengan larutan salin.
Pembalut sisanya dapat dilepas dengan hati-
hati dan perlahan-lahan memakai forsep
atau tangan yang mengenakan sarung
tangan steril.
Pasien bisa turut serta melepas pembalutnya
sehingga dapat mengendalikan sendiri
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri.
Kemudian luka dibersihkan dan
didebridemen untuk menghilangkan debris,
setiap preparat topical yang tersisia,
eksudat, dan kulit yang mati. Gunting serta
forceps yang steril dapat digunakan untuk
memangkas nekrotik yang lepas dan
mempermudah pemisahan kulit yang sudah
mati.
Selama pelaksanakaan prosedur ini, luka
dan kulit disekitarnya diinspeksi dengan
teliti. Warna, bau, ukuran, eksudat, tanda-
tanda reepitelisasi dan krakteristik lainnya
dari luka, serta jaringan nekrotik dan setiap
perubahan dari pergantian pembalut
sebelumnya harus dicatat. Jiak lukanya
bersih, daerah yang terbakar dilakukan
swabbing (disapu dengan mengguanakan
50
Lakuakan
komunikasi
efektif.
suatu cairan dan dikeringkan dengan
menggunakan kassa) sampai kering dan
preparat topical yang diresepkan dioleskan
pada daerah tersebut. Luka tersebut
kemudian ditutup dengan berbagai lapis
kasa pembalut. Pada kondisi luka bakar
daerah lengan bisa menggunakan mitela
sederhan untuk memudahkan mobilisasi.
Kasa yang tipis digunakan pada daerah
persendian untuk memungkinkan gerakan
sendi (kecuali jika pada daerah tersebut
terdapat cangkokan sehingga gerakan
merupakan kontraindikasi). Kasa yang tipis
juga dipasang pada daerah yang akan
dipasang bidai yang didisain untuk
mengikuti kontur tubuh sehingga
menghasilakn posisi yang benar.
Pemasangan kasa pembalut yang melingkar
juga harus dilakukan disebelah distal hingga
proksimal.
Komunikasi yang akrab dan kerja sama
antara pasien, dokter bedah, perawat, dan
anggota tim perawatan lainnya yang sangat
esensial untuk menghasilkan perawatan luka
yang optimal. Daerah-daerah luka yang
berbeda pada pasien tertentu mungkin
memerlukan berbagai teknik perawatan.
Diagram yang dipasang pada sisi tempat
tidur sangat berguna untuk memberitahukan
petugas mengenai program terakhir
perawatan luka bakar, bentuk bidai yang
harus dipasang di alas balutan dan jenis-
51
Penuhi kebutuhan
balutan oklusif
terutama pada
perawatan luka
bakar dengan
graft.
Lakukan
perawatan
balutan oklusif.
jenis latihan perlu diikuti balutan dipasang
kembali.
Pemakaian balutan memiliki peranan sendiri
dalam perawatan luka bakar yang khusus.
Balutan oklusif merupakan kasa tipi yang
sebelumnya sudah dibubuhi dengan
preparate atibiotik topical atau yang
dipasang sesudah luka bakar diolesi dengan
salep atau krim antibiotic. Balutan oklusif
paling sering digunakan daerah luka bakar
dengan cangkokan kulit yang baru. Balutan
ini dipasang dalam kondisi steril diruang
operasi. Tujuannya adalah untuk melindungi
graft dan meningkatkan kondisi yang
optimal bagi pelekatan pencangkokan
tersebut pada lokasi respiaenya. Idealnya,
balutan ini harus dibiarkan pada tempatnya
pada 3 hingga 5 haridan sesudah itu dilepas
oleh dokter yang memeriksa keadaan graft.
bila dipasang balutan oklusif, tindakan
kewasapadaan harus diambil untuk
mencegah agar dua permukaan tubuh tidak
saling bersentuhan, seperti diantara jari-jari
tangan dan kaki, telingan dan kulit kepala,
dan daerah-daerah dibawah payudara, setiap
tempat fleksi, atau diantara lipatan genitalia.
Kesejajaran tubuh fungsional dipertahankan
dengan pemakaian bidai atau pengaturan
posisi tubuh pasien yang ceramat.
4. Pada perawatan luka
terbuka.
Kaji keperluan
Kadang-kadang luka bakar dibiarkan
terbuka agar terkena udara. Perawatan luka
tatap dilaukakn sesuai dengan cara yang
52
perawatan luka
bakar terbuka.
Fasilitasi
lingkungan untuk
perawatan luka
bakar terbuka.
dijelaskan sebelumnya dan prerapat topical
(yang paling sering dipakai,
maefeindaseata) dioleskan pada luka bila
tidak dibalut. Keberhasilan metode
perawatan terbuka yang dilakukan perawat
dapat dilakukan dengan menjaga
lingkungan yang kondusif dan perawata
yang berhubungan langsung dengan
hubungan pasien dalam melakukan
intervensi keperawatan harus mengenakan
masker, tutup kepala serta gaun yang steril
dan sarung tangan steril; para pengunjung
diajurkan untuk menggunakan jubah
penutup tidak boleh menyentuh ranjang dan
memberikan sesuatu dengan tanganya pada
pasien.
Beberapa rumah sakit besar memiliki
fasilitas memungkinkan untuk
meminimalkan infeksi silang, maka sebagai
dokter keinginan pasien luka bakar dirawat
secara terbuka dengan mempertahankan
lingkungan yang bersih dan bergantung
pada efensiensi preparate antibakteri topical
dalam membatasi infeksi luka bakar. Oleh
karena itu, pada kondisi kamar pasien harus
dijaga pada suhu hangant yang nyaman
dengan kelembapan 40-50 persen untuk
mencegah kehilangan cairan melalui
penguapan (evaporasi) yang berlebihan
disamping untuk mempertahankan suhu
tubuh pasien. Sebuah kelambu dapat
diletakkan diatas tubuh pasien untuk
53
mencegah agar selimut tidak mengenai
bagian tubuh yang terbakar, untuk
memperkecil efek aliran udara mengingat
pasien luka bakar sangat sensitive terhadap
aliran udara, dan untuk menutupi tubuh
pasien.
6. Kolaborasi untuk
intervensi debridem.
Debridem merupakan sisi lain pada
perawatan luka bakar. Tindakan ini
memiliki dua tujuan:
Untuk menghilangkan jaringan yang
terkontaminasi bakteri oleh benda asing
sehingga pasien dilindungi terhadap
kemungkinan infasi bakteri.
Untuk menghilankan jaringan yang
sudah mati atau escar dalam persiapan
bagi graft dan kesembuhan luka.
Sesudah terjadi luka bakar derajat dua dan
tiga, bakteri yang terdapat pada antar muka
jaringan yang terbakar dan jaringan viable
yang ada dibawahnya berangsur-angsur
akan mencairan serabut-serabut kolagen
yang menahan escar pada tempatnya selama
seminggu pertama atau kedua pasca-luka
bakar. Semua enzim proteolitik dan enzim
alami lainnya menyebabkan fenomena ini.
7. Lakukan perawatan
pascadebridemen.
Debridement mekanis meliputi penggunaan
gunting bedah dan forsep untuk
memisahkan dan mengangkat jaringan
nekrotik. Teknik ini dapat dilakukan oleh
dokter atau perawat yang berpengalaman,
dan biasanya debridement mekanis
dikerjakan setiap hari pada saat pengatian
54
balutan serta pembersihan luka.
Debridement dengan cara-cara ini
dilaksanankan sampai tempat yang masih
terasa sakit dan mengeluarkan darah.
Preparate hemostatik atau balutan tekan
dapat digunakan untuk menghentikan
perdarahan dari pembuluh darah yang kecil.
8. Lakukan perawatan
yang
pascadebridement.
Kasa beranyaman kasar yang ditaruh pada
luka bakar dalam keadaan kering atau basah
sampai kering (ditaruh dalam keadaan basah
dan dibiarkan mongering sendiri) akan
menimbulakn efek membersihakan luka
(debridement) secara perlahan-lahan dari
eksudat dan jaringan nekrotik ketika kasa
pembalut tersebut dilepas.
9. Gunakan kasa
antimikroba pada
lesi luka bakar.
Preparat kasa antimikroba bisa digunakan
untuk menurunkan respons inflamasi luka.
Perawat memasang dan menggunakan
secara hati-hati dan tepat pada area luka
bakar.
Setelah preparate kasa antimikroba
dipasang, maka tutup dengan kasa kering
dan dipasang balutan elastic secara tertutup.
10. Tingakatkan asupan
nutrisi.
Diet TKTP diperlukan untuk meningkatkan
asupan dari kebutuhan pertumbuhan
jaringan.
11. Evaluasi kerusakan
jaringan dan
perkembangan
pertumbuhan
jaringan.
Apabila masih belum mencapai dari kriteria
evaluasi 5x24jam, maka perlu dikaji ulang
faktor-faktor menghambat pertumbuhan dan
perbaikan dari lesi.
12. Kolaborasi untuk Pasien dengan luka bakar luas cenderung
55
pemberian albumin. mengalami penurunan kadar albumin darah.
Hipoalbuminemia akan menurunkan
peningkatan integritas jaringan sehingga
diperlukan albumin tambahan agar terjadi
peningkatan integritas jaringan yang ideal.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
dan radiasi yang mengakibatkan kerusakan atau kehilangan jaringan yang
mengenai lapisan epidermis, dedermis, dan lemak (Moenandjat, 2001).
Pasien luka bakar memerlukan penanganan yang serius dimana dalam
hal ini peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan
yang komprehensif. Selain itu, diperlukan kerjasama dengan tim medis yang
lainnya seperti dokter, fisioterapis, ahli gizi dan bahkan psikiater.
B. Saran
Kita sebagai perawat sebaiknya memahami dan dapat mengaplikasikan
segala sesuatu yang terdapat dimakalah ini agar terciptanya perawat yang
56
professional dalam menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif
khususnya perawatan luka bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Nanda NIC-NOC. 2013. Paduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional.
Jilid 2. Yogyakarta:
Arisanti, P Irma. 2013. Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta:
EGC.
Effendi, Christantie. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta: Salemba Medika.
57
58